PULANG


https://open.spotify.com/track/6xeqCawPZngDVqw2W2aGaR?si=4a424a26e1324658


Bentakan-bentakan kecil tak bisa lepas begitu saja dengan cepat dalam isi kepala Harri. Bentakan sekecil apa pun memungkinkan menjadi salah satu penghuni terlama di hati, meninggalkan bekas yang sulit untuk ia halau sendiri.

Tetapi, bentakan kecil yang diberikan oleh orang paling disegani di dalam rumah apakah sama dengan bentakan yang mungkin tak sengaja ia berikan untuk mereka? Apakah mereka dapat merasakan rasa sakit yang sama? Rasa sakit yang berakhir membuat kedua kakinya melangkah tak tahu arah. Melangkah dan terus melangkah sampai-sampai tak tahu di mana ia saat ini berada. Melangkah mengikuti setiap angin berembus. Melangkah mengikuti air mengalir. Dan melangkah mengikuti burung-burung beterbangan riang tanpa arah yang pasti.

Terkadang Harri merasa iri dengan keberadaan sang burung di atas sana yang selalu riang beterbangan tanpa perlu khawatir akan tersesat. Ketika sedang merasa gundah, mereka akan beterbang. Mengepakkan sayap, membiarkan tubuh mereka diterjang kerasnya embusan angin.

Bagaimanapun, tindakan dirinya saat ini tetap salah. Tak seharusnya ia berlari dan meninggalkan rumah tanpa satu patah kata yang terucap. Benar kata kekasihnya, dengan ia memilih jalan seperti ini justru secara tidak sadar bahwa ia telah memberi contoh hal yang salah kepada tiga adiknya di rumah. Bodoh. Harri sangat bodoh. Susah payah ia menjadi sosok kakak yang berusaha untuk selalu melindungi para adiknya—menjadi garda terdepan di setiap masalah, namun hari ini ia justru telah mengacaukan dengan dalih emosi sesaat yang tumbuh—dan membiarkan emosi tersebut mengontrol dirinya.

Tak seharusnya ia mengedepankan rasa egois ketika di belakang sana banyak orang-orang yang bergantung padanya. Apabila bisa memutar kembali waktu, mungkin Harri dengan lantang menginginkan sejak dini hari itu ia lebih memilih tidur di kamar dengan segala perasaan gundah dibandingkan pergi berkelana tanpa arah dan menciptakan permasalahan baru.

Apalagi yang perlu ia cari kala berawal dari kaki itu melangkah sampai berhenti, potongan-potongan kejadian tersebut masih melekat jelas di dalam kepala. Jika angin tak bisa ikut membawa segala ingatan perihal kejadian telah membuatnya kecewa, lalu apalagi yang harus ia jadikan opsi lain? Apakah opsi tersebut tidak jauh lebih baik dengan ia membawa kedua kakinya untuk kembali pulang pada rumah yang selalu ia elu-elukan pada semua orang?

Sebab, Harri selalu berpikir bahwa permasalahan yang datang berawal dari rumah, akan terselesaikan di rumah pula. Sehitam-hitamnya keadaan rumah dalam pandangannya sendiri, akan terdapat ruang tersendiri untuk dirinya memandang bangunan itu seperti dilapisi emas pada setiap sisinya. Satu permasalahan yang datang menghampirinya tidak akan membuat seluruh pandangan Harri terhadap keluarga sepenuhnya tertutup. Bagaimanapun, keluarganya adalah rumah terbaik sepanjang masa yang Harri punya.

Pun, Harri selalu berpikir selelah-lelahnya ia mendapatkan title sebagai kakak tertua, akan jauh lebih lelah kedua orang tua yang sudah merawat ia beserta ketiga adiknya sedari kecil. Untuk menjaga dan menjadi garda terdepan bagi ketiga adiknya seharusnya tidak semelelahkan itu.

Harri menarik napas panjang. Jemari laki-laki itu mencengkeram erat tas berwarna abu yang telah ia pinjam dari kekasihnya. Harri tatap sejenak bangunan yang tak terlalu megah di depan, sebelum akhirnya Harri memutuskan untuk melangkah melewati gerbang yang menjadi saksi utama atas kepergian dirinya sejak pagi hari itu.

Satu hal yang Harri rasakan ketika kedua kakinya sudah berada persis di depan pintu, ia tak bisa mendengar keributan yang biasa selalu bantu menghangatkan rumah mereka. Entah keributan dari kedua adik kembar yang saling merengek karena menolak untuk disuruh tidur, keributan dari Papa Asep dengan si kembar saling berebut saluran televisi, atau keributan teriakan dari Kaila karena diganggu si kembar ketika sedang belajar. Harri tertawa kecil, bahkan kenangan-kenangan seperti itu yang akan selalu ia rindukan. Bagaimana ia mampu meninggalkan rumahnya ini dengan semudah itu?

Ah, berbicara perihal televisi, mungkin benda itu masih rusak sehingga ia tak dapat mendengar sedikit pun siaran televisi seperti biasanya. Pun, ketika Harri tak sengaja menangkap jam pada pergelangan tangan, Harri sendiri disadarkan oleh waktu yag telah menunjukkan malam hari. Pantas saja kediamannya sunyi, sebab mungkin mereka telah berlarut dalam tidurnya masing-masing.

Agar tak membangunkan seisi rumah atas kedatangannya yang tak tahu malu ini—datang dan pergi sesuka hati—Harri mendorong pelan-pelan pintu di hadapannya. Setelah pintu terbuka, Harri tak langsung masuk, melainkan laki-laki itu membuka sepatunya terlebih dahulu dan menjinjing untuk disimpan di atas rak sepatu.

Betapa terkejutnya Harri ketika pintu itu sudah sepenuhnya ia buka, sebuah teriakan pun kedatangan seseorang langsung menyergap kedatangannya.

Aa!”

Dan, ya, teriakan tersebut berasal dari ketiga adiknya beserta Mama Iis. Mereka berempat berbondong-bondong memeluk tubuh Harri. Bahkan, mereka tak mengizinkan Harri untuk menyapa barang sejenak.

Harri tak begitu memikirkan sepatunya yang terjatuh. Bila lantai rumahnya kotor, ia sendiri akan membersihkannya.

Mendengar isakan tangis begitu memilukan dan saling bersahutan, secara tak sadar membuat air mata Harri mengalir tanpa diduga-duga. Harri merengkuh erat tubuh Mama Iis yang berkali-kali mengatakan permohonan maaf dan mengatakan betapa rindunya perempuan tersebut kepadanya.

Meskipun pandangan Harri mengabur, tetapi ia masih bisa lihat jelas sosok Papa Asep yang berdiri di depan sana tanpa berniat menghampirinya. Walau dengan pandangan tak begitu jelas, Harri menyadari tatapan dari Papa Asep menyorotkan kekhawatiran begitu mendalam.

Mau tahu rasa sakit yang menusuk relung hati dan tak bisa disembuhkan oleh semua hal yang ada di muka bumi ini? Yaitu jawabannya ketika Papa Asep berniat mendekati Harri namun laki-laki itu justru menundukkan wajah dan bersembunyi di ceruk leher Mama Iis dengan tangan berusaha melindungi kepalanya. Jangan tanyakan seberapa hancur perasaan Papa Asep malam itu. Papa Asep sangat jarang memperlihatkan tangisan kepada anak-anaknya. Namun malam itu, air mata Papa Asep mengalir bersamaan dengan rasa penyesalan yang sudah tak bisa ia hindari.

Apa yang sudah Papa Asep perbuat sampai-sampai memberikan rasa trauma dan ketakutan dari putra kesayangannya. Rasanya Papa Asep ingin sekali mengembalikan waktu untuk memperbaiki sedari awal. Sebab Papa Asep tahu, jika sudah begini, untuk mendapatkan kepercayaan dari putra sulungnya mungkin akan sulit atau bahkan tak bisa mengembalikan seperti sedia kala.

Tubuh Papa Asep merosot, berlutut di lantai dengan kepala menunduk—menutupi wajahnya sedang menangis.

Mama Iis mengendurkan pelukan, meraih wajah Harri dan mengusap air mata yang mengalir pada pipi putra sulungnya. “Aa ke mana aja kasep? Mama kangen Aa, Aa makan nggak? Aa tidur di mana?” Tak peduli dengan air mata yang terus mengalir bahkan sudah terjatuh membasahi bagian depan baju tidurnya, Mama Iis hanya ingin melepaskan segala rindu dengan Harri yang sudah pergi tanpa memberi kabar.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus diucapkan Mama Iis tanpa berniat untuk Harri jawab. Sebab apabila boleh jujur, ia sendiri tak kuasa untuk menjawab rentetan pertanyaan itu. Harri ingin kejadian kemarin dianggap menjadi kejadian selewat yang tak perlu dipikirkan. Harri pun malu sendiri ketika harus mengingatnya.

Di depan sana, Harri bisa lihat Papa Asep yang masih setia berlutut di lantai. Tak berniat bangkit lantaran masih menyesal dengan perbuatan yang sudah membuat putra sulungnya pergi tak tahu arah.

“Maafin Mama, ya, Aa….”

Apabila sebelumnya Harri berpikir bahwa kejadian ini seratus persen karena ulahnya yang terlalu egois untuk mencari kesenangan sendiri. Maka, lain dengan Mama Iis yang beranggapan bahwa permasalahan ini memang murni atas keteledorannya. Mama Iis terlalu mudah menyimpan rasa percaya pada orang lain sampai-sampai dirinya berakhir tertipu.

Harri menggelengkan kepala. “Udah, Ma, udah. Ini bukan salah Mama, emang Aa juga salah nggak liat situasi.” Harri mengelus punggung Mama Iis dengan beraturan. “Lain kali kalau ada apa-apa jangan lupa langsung bilang Aa atau Papa, ya, Ma. Mama jangan nutup-nutupin sendiri kayak kemaren. Aa sedih liatnya.”

Mama Iis tersenyum seraya mengangguk. Tangan Mama Iis bergerak menyugar rambut Harri yang sedikit basah karena keringat.

Aa, Aa jangan pergi-pergi lagi… Kaila sedih banget kalau nggak ada Aa di rumah. Maafin Kaila kalau selama ini Kaila bandel, tapi jangan pergi tinggalin Kaila sendiri lagi, ya.”

Tangis Harri kembali pecah ketika mendengar ucapan yang sukses menyayat hatinya. Ingatan Harri kembali pada saat hari di mana kedua orang tuanya bertengkar hebat dan Kaila mengucapkan sebuah kalimat yang tak diduga-duga akan dikatakan oleh seorang anak SD.

Aa, kalau misalnya nanti Papa sama Mama beneran pisah. Kaila mau ikut sama Aa, ya. Kaila nggak mau ikut Papa atau Mama. Kaila pengen ikut Aa aja. Kaila nggak mau kepisah sama Aa.”

Tubuh Harri merosot, berlutut menggunakan kedua kaki yang ditekuk dan segera memeluk tubuh Kaila erat-erat. “Aa nggak akan pergi lagi, Aa ada di sini, ya, geulis, ya, bageur. Maafin Aa kemarin udah ninggalin Ila sendirian.” Harri mencium puncak kepala Kaila, menenangkan si kecil dari tangisan yang belum terlihat tanda-tanda akan segera berhenti.

Pandangan Harri kemudian tertuju pada si kembar—sibuk memeluk dari belakang punggung Harri. Tak berselang dari situ Harri dibuat tertawa kecil lantaran Aariz yang jarang sekali menangis di hadapan Harri, kini si bungsu tak malu untuk memperlihatkan tangisannya.

Hidung yang memerah dengan bibir mengerucut. Seharusnya Harri merasa iba. Namun anehnya Harri justru menangkap pemandangan itu sangat lucu.

“Kenapa si kembar belum pada tidur, Ma?”

Mama Iis menghapus jejak air mata di kedua pipi Aarash dan Aariz yang telah mengering. “Tadi Papa bilang katanya Aa mau pulang, jadinya si kembar bangun lagi terus mau nungguin Aa barengan di ruang tengah,” sahut Mama Iis sembari tersenyum, seakan masih tak percaya dengan kehadiran Harri di depannya.

Harri hampir saja lupa akan keberadaan sang kepala keluarga di depan sana.

Harri memutuskan pandangan dari Papa Asep, memandang si kembar dengan senyuman begitu manis dari sebelumnya. “Hayu tidur lagi, kasep, besok sekolah, kan?”

Mereka berdua menggelengkan kepala kompak. “Nggak mau, takut kalau Aarash tidur nanti Aa keluar lagi dari rumah,” kata Aarash lengkap dengan raut cemberut, masih teringat jelas keberadaan si sulung yang tiba-tiba menghilang.

Bagai sedang dilempar ribuan batu-batuan, hati Harri mencelus. Laki-laki itu merasakan nyeri di bagian dada bersamaan dengan kalimat yang selesai diucapkan Aarash.

Harri tersenyum kecil dan menggeleng pelan. Kedua tangannya terbuka untuk merangkul Aarash dan Aariz. “Nggak, bageur. Aa bakalan ada di rumah terus, nggak akan keluar cari angin lagi!” timpal Harri berusaha meyakinkan.

Ketika Harri bergerak ke kanan dan ke kiri—memeluk si kembar penuh kasih sayang, tiba-tiba saja telinga Harri mendengar suara yang berasal dari dalam tas. Sontak Harri langsung melepaskan rangkulan.

“Ma!” panggil Harri dengan sedikit nada seperti berteriak. “Aa tadi nggak sengaja ketemu tukang parabot serba lima ribu terus beli ini!” Harri melepaskan tas, menariknya ke pangkuan dan mulai membuka ritsleting perlahan. “Aa beli tempat makan buat Kaila, Aarash, Aariz, beli baskom kecil, sama beli gelas kecil buat Papa minum!” Barang-barang tersebut Harri keluarkan secara satu per satu sembari menyusunnya di atas lantai, mempersilakan Mama Iis untuk melihat langsung dengan barang telah dibelinya.

Lagi-lagi tetesan air dari mata Mama Iis terjatuh. Mama Iis terburu menghapus sebelum Harri akan melihatnya. Mama Iis dibuat tersentuh akan perlakuan si sulung yang masih sempat-sempatnya memikirkan penghuni rumah di saat dia sendiri berada dalam keadaan yang tidak sedang baik-baik saja.

“Semuanya berapa Aa? Nanti Mama ganti, ya, uangnya.”

Kepala Harri menggeleng cepat. “Nggak usah, Ma! Aa emang mau beliin aja buat kalian!” balas Harri, menolak akan kalimat dari Mama Iis yang mengatakan akan mengganti uangnya.

Harri tak berbohong, ia membeli barang-barang itu memang atas kemauannya sendiri. Harri masih ingat dengan keluhan si kecil yang mengatakan tempat makannya sudah tak bisa menutup sempurna. Pun, dari keluhan Papa Asep mengenai perlu mengganti gelas kaca dengan gelas plastik agar si kembar tak akan memecahkan kembali ketika membawanya.

“Makasih, ya, Aa kasep.”

Harri mengangguk riang, membuat sedikit rambut-rambutnya ikut bergerak naik dan turun.

Aa udah makan? Aa lagi mau makan apa kasep? Mama masakin bentar, ya?”

“Nggak usah, Ma. Kalau Aa boleh minta, Aa mau mi kuah pake telur aja boleh nggak?”

“Boleh, Aa. Mama buatin, ya, Aa jangan ke mana-mana.”

Jangan ke mana-mana. Baru kali ini Harri benci mendengarkan kalimat tersebut.

Aarash mau ikut bantuin masakin mi buat Aa Harri!”

Aariz juga!”

Kaila menyeka air mata yang tersisa di pelupuk mata. “Aa, Ila juga mau ikut ke dapur, ya.” Harri mengangguk mempersilakan Kaila untuk ikut bergabung bersama mereka yang sudah lebih dulu memasuki dapur.

Harri menghela napas panjang. Matanya menatap Papa Asep masih berlutut di atas lantai yang terasa sangat dingin lantaran waktu sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam.

Harri berjalan pelan-pelan menuju Papa Asep berada. “Pa,” panggil Harri tak kunjung mendapatkan balasan dari sang kepala keluarga.

Papa Asep sebenarnya mendengar jelas panggilan itu, namun ia terlalu enggan untuk sekadar mendongakkan kepala dan menjawab panggilan tersebut.

“Papa.”

Akhirnya, pada panggilan kedua pun Papa Asep berhasil menatap balik kedua bola mata Harri setelah semua keberanian sudah Papa Asep kumpulkan.

“Pa—”

Sayangnya, belum sempat Harri mengucapkan maksud kalimat tersebut sampai akhir, akan tetapi Papa Asep lebih dulu memotongnya dan membuat Harri mau tak mau memilih untuk kembali bungkam.

Aa,” panggil Papa Asep dengan tatapan kembali mengabur. “Papa minta maaf, ya, Aa. Papa nggak bermaksud buat Aa sakit hati sama perkataan dan tingkah laku Papa.” Papa Asep menjeda sedikit kalimatnya untuk mengais udara dalam-dalam. “Maaf kalau selama ini Papa masih belum bisa jadi Papa yang baik buat Aa dan adik-adik Aa.”

Tangis Papa Asep kembali pecah. Untuk pertama kali Harri melihat Papa Asep menangis sambil berlutut. Memohon-mohon untuk dimaafkan segala kesalahan yang telah diperbuat dan telah memberikan goresan luka di hati Harri.

Harri menggeleng cepat, ikut berlutut dan mendekap tubuh Papa Asep. “Nggak! Papa udah jadi Papa terbaik buat Aa dan adik-adik Aa! Aa emang masih sakit hati sama omongan Papa, tapi jangan khawatir nanti juga Aa bakalan lupa sendiri!”

“Tapi, Aa—”

“Pa, Aa emang kecewa sama Papa. Tapi bukan berarti Papa gagal. Papa justru berhasil ngedidik Aa dan adik-adik Aa buat jadi orang yang bertanggungjawab. Tapi, maaf, Pa, buat kali ini Aa ngelanggar dan malah lari dari masalah. Aa terlalu egois buat diri sendiri, maafin Aa, ya, Pa.”

Aa nggak salah, Papa yang salah. Papa salah nggak bisa ngontrol emosi Papa sampe akhirnya tanpa sadar Papa ngebentak dan ngucapin kata-kata yang nggak seharusnya Papa ucapin ke Aa.”

Harri mengangguk selaras dengan tangan masih sibuk mengeratkan pelukan pada tubuh Papa Asep. Rasanya sangat jarang ia dapat memberikan atau merasakan pelukan hangat dari Papa Asep. Dirinya terlalu gengsi untuk sekadar memeluk tubuh Papa Asep.

Papa Asep melepaskan pelukan, mencengkeram erat bahu Harri dan memberikan senyuman.

Aa kasep, atos rengse bageur milarian anginna?

“Aa ganteng, udah selesai nyari anginnya?”

Harri tersenyum dan mengangguk.

Kumaha? Atos puas teu acan milarian anginna ayeuna? Atanapi masih hoyong milarian deui angin anu sanes?

“Gimana? Udah puas belum nyari anginnya sekarang? Atau masih mau nyari lagi angin yang lain?”

Masih dengan senyuman terpancar pada wajah laki-laki itu, Harri kembali mengangguk. “Atos, Papa. Aa atos puas milarian anginna.

“Udah, Papa. Harri udah puas nyari anginnya.”

Papa Asep mengulas sebuah senyuman selaras dengan tangan yang memgusap bahu Harri.

Janteun, angin mana anu paling Aa resep? Angin di Bandung atanapi angin di Sumedang?

“Jadi, angin mana yang paling Aa suka? Angin di Bandung atau angin di Sumedang?”

Harri menggerakkan sedikit kaki yang terlipat ke belakang, sekadar menggoyangkan kecil agar tak merasa pegal.

“Ternyata kesimpulan yang udah Aa dapet dari hasil berkelana, yaitu sebaik-baiknya angin yang udah Aa cari, masih nyamanan angin di kamar Aa,” sahut Harri. “Angin dari kipas angin Aa di kamar lebih nyegerin dan lebih bisa bantu hal berisik di kepala Aa ilang gitu aja,” tambah Harri dengan senyuman masih tercipta jelas pada wajah tampan laki-laki berkelahiran bulan Juni itu.

Harri menggaruk belakang kepala. “Oh iya, Pa—” Harri sedikit memberikan jeda pada ucapannya buat Papa Asep yang mendengar kalimat itu terheran. “Aa bawa oleh-oleh dari kegiatan beberapa hari ini Aa berkelana nyari angin dari Bandung sampe Sumedang.”

Tatapan Papa Asep masih setia menyelami bola mata Harri. Diam-diam Papa Asep tersenyum sebab ketika melihat wajah tampan putra sulungnya, Papa Asep teringat seperti kembali pada zaman saat muda dulu. Seperti sedang berkaca lantaran saking miripnya wajah Harri dengan wajah miliknya yang sudah sedikit tercipta keriputan. Rambut hitam lurus, bola mata berwarna hitam, hidung bangir, dan tata cara bagaimana laki-laki itu berucap persis seperti dirinya dahulu. Hanya saja, Harri memiliki jiwa sosialisasi dan keberanian lebih besar dari Papa Asep dulu ketika berada di bangku yang sama.

“Hadiah dari kegiatan berkelana kemaren yaitu.. Aa bawa angin-angin itu di sini.” Tangan Harri bergerak untuk menepuk pundak. Kemudian diakhiri dengan tawa renyah.

Papa Asep ikut terkekeh mendengar guyonan tersebut. “Nanti Papa kerokin Aa, Papa bakalan bantu usir oleh-oleh yang nggak sengaja Aa bawa waktu Aa sibuk nyari angin di luar.”

Harri mengangguk cepat. “Ok!” jawab Harri lantang dengan memberikan gestur hormat.

Baik Harri maupun Papa Asep masih setia pada posisinya—berlutut di atas lantai tanpa beralaskan apa pun. Dingin yang bermula hanya terasa pada kaki mereka, secara tiba-tiba justru membuat suasana di tengah-tengah mereka ikut dingin pula. Tak ada obrolan lagi. Hanya ada keheningan dan kecanggungan. Harri dan Papa Asep seolah enggan untuk beranjak—takut hal tersebut akan meciptakan perhatian dari salah satu mereka.

Anjir suku aing singsiremeun kieu?! Ieu si Babe iraha rek nantungna, nya.

“Kaki gue kesemutan gini?! Ini Babe kapan mau berdirinya, ya.”

Harri berkali-kali menelan ludah, jakun laki-laki itu bergerak turun dan naik. Ada sedikit keraguan dalam dirinya untuk mengajak Papa Asep berbincang. Harri menyesal, kejadian paling membodohkan itu justru berakhir membuat Papa Asep sedikit menjaga jarak dengannya.

“Papa,” panggil Harri lagi.

Papa Asep menoleh, memperlihatkan raut penuh tanya atas panggilan yang baru saja diucapkan Harri. Papa Asep hanya bisa setia menunggu sampai Harri akan kembali melanjutkan kalimatnya.

“Boleh nggak nanti kalau Mama selesai buatin mi, Aa mau minta Papa buat suapin Aa?”

Kerutan di dahi Papa Asep berangsur hilang dengan penjelasan dari Harri yang mengatakan permintaan akan laki-laki itu minta untuk dimanjakan malam hari ini. Papa Asep lantas bersemangat mengiakan, Papa Asep berharap dengan perlakuan itu bisa membuat hubungannya bersama Harri akan kembali seperti dulu.

Aa! Mi nya udah selesai Mama masak! Aa mau makan di mana?!

Harri terkekeh mendengar teriakan yang melengking dari dapur. Harri beranjak sembari menjawab pertanyaan dari Mama Iis yang ikut teriak pula. “Aa makan di ruang tengah, Ma! Nanti disuapin Papa!”

Harri melirik Papa Asep. “Iya, kan, Pa?” tanya Harri memastikan, takut apabila Papa Asep sewaktu-waktu akan menarik janji tersebut.

Papa Asep mengangguk mengiakan.

Satu yang bisa Harri jadikan pembelajaran yaitu untuk tidak melakukan segala sesuatu ketika emosi dirinya sedang tidak stabil. Nalarnya seakan buntu, tak bisa memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi saat ia sudah memilih jalan sesuai keinginannya saat itu.

Sekecewa apa pun ia terhadap Papa Asep, namun Papa Asep adalah Papa terbaik sepanjang masa baginya.

Satu kesalahan yang telah diperbuat Papa Asep, tak mampu melenyapkan segala kebaikan yang sudah dilakukan sang kepala keluarga tersebut.

Sebaik-baiknya manusia, pasti pernah melakukan kesalahan. Yang membedakannya, apakah dari kesalahan itu bisa diambil pelajaran atau justru mengulang untuk kesekian kali.

Hari ini, hari Minggu pukul setengah dua belas malam, Harri menutup rasa kecewa dan membuang seluruh jiwa ego yang sempat mengontrol dirinya. Malam ini, perihal rasa sedih, rasa sakit, dan rasa kecewa sudah Harri kubur dalam-dalam. Harri tak perlu susah payah memikirkan hal buruk ketika kenyatannya ia justru tengah dikelilingi hal-hal baik dan kebahagiaan yang tak bisa diukur oleh apa pun.

Harri kembali menangis. Kali ini bukan karena sepenggal memori saat itu, melainkan menangis penuh haru saat dirinya tersadar berada di situasi sedang disuapi mi kuah oleh Papa Asep dan ditemani Mama Iis beserta ketiga adiknya di ruang tengah.

Ketika Harri sibuk membuka mulut dan mengunyah, ketiga adiknya sibuk bercerita. Bahkan, televisi yang sempat dinyalakan Kaila kini sama sekali tak diindahkan keberadaannya. Jika televisi bisa berbicara mungkin barang itu akan merajuk, merajuk karena di antara keenam orang di sana tak ada satu pun yang melirik ke arahnya.

Omong-omong perihal televisi Harri tak tahu sejak kapan barang tersebut sudah terpasang rapi di tempat semula. Padahal sebelumnya televisi itu tergeletak di lantai dengan serpihan kaca di sekelilingnya. Dan, apabila Harri lihat lebih rinci, televisi itu tampak baru. Ah! setelah mencoba mengingatnya ternyata televisi itu memang sudah diganti sesuai dengan apa yang Papa sebutkan di dalam pesan tadi.

Manis, pahit adalah sebuah bentuk dari penjabaran mengenai keluarga kecilnya. Tak ada keluarga yang sempurna. Termasuk keluarga Harri sendiri. Maka dari itu, mulai hari ini Harri bertekad untuk membuat keluarga kecil itu terasa sempurna. Sempurna karena hanya ada gelak tawa yang mengudara dibandingkan tangisan suara.


Kolase Asmara Universe

by NAAMER1CAN0