Pundak yang kuat.

cw // mention of death


Nalendra Elvano, Program Sarjana Fakultas Teknik Geologi, dengan predikat Pujian.

Kaki jenjangnya kini ia langkahkan untuk menuju tempat di mana dekan fakultasnya berada. Ia tersenyum saat sebuah ijazah sudah berada di tangannya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih. Tubuh gagahnya kini sudah kembali terduduk pada kursinya. Hari ini hanya dirinya yang melaksanakan prosesi wisuda, rekannya; Yohan, Haekal, Jevon, Rendi, Sean, Chakka, dan Sagara telah melaksanakannya pada gelombang III, hanya dirinya yang melaksanakan pada gelombang IV.

Riuh tepuk tangan telah menyadarkan dari lamunannya. Ia tak menyangka dirinya bisa berjuang hingga pada titik ini setelah semua lika-liku yang telah ia alami. Dirinya pun sempat ingin menyerah jika abangnya yang menyadarkan. Sosok anak kontrakan menjadi penyemangat dirinya untuk segera menyelesaikan masa studinya. Tepat empat tahun lebih beberapa bulan akhirnya dirinya bisa gelar baru pada namanya, Nalendra Elvano, S.T.

“Ganteng, selamat ya. Mamah dan Bapak bangga sama si ganteng.”

Ucapan dari Yunita- Ibunda Yudi- telah membuat senyuman pada wajah Nalen tercetak sangat jelas.

“Mamah makasih ya udah mau bela-belain jadi wali buat Nalen, maaf kalo Nalen ngerepotin Mamah dan Bapak,” sahut Nalen. Tepukan pada pundaknya kini mengalihkan atensinya, “Bapak nggak suka kamu bilang kayak gitu, kamu ini udah kami anggap kayak anak sendiri. Nggak usah sungkan,” jawab Abraham- ayahnya Yudi.

Lagi-lagi ia ingin berterima kasih kepada Yudi karena telah memberikan kebahagian untuk dirinya, telah meminjamkan kedua sosok malaikat yang sangat rendah hati.

“Len,” panggil Kale, teman dekatnya sejak mahasiswa baru. “Lu hebat, hebat bisa sampe titik saat ini. Lu manusia terhebat dan terkuat yang pernah gua kenal.”

“Nggak usah lebay,” jawabnya sambil memukul pelan bahu temannya. “Lucu nggak sih, Le? dari semester satu kita nempel mulu, tiap semester sambil matkul yang sama, bahkan sampe wisuda pun tetep barengan.”

Kale tertawa pelan memperlihatkan matanya yang menghilang. “The real soulmate.

“Oh iya Le, gua mungkin nggak bakal tinggal di Indonesia lagi. Gua bakalan lanjutin studi ke Belanda.” Nalen menolehkan wajahnya ke samping untuk sekadar melihat wajah temannya.

“Glad to hear that. Gua juga kebetulan mau bilang, kalo gua mau lanjutin S2 di amerika.”

Nalen tertawa dan mulai merangkul pundak temannya, “untung bukan Belanda,” ucapnya.

“Tapi jujur tadinya gua niat ke Belanda, untungnya nggak jadi. Soalnya gua punya firasat lu lanjutin di sana,” jawab Kale dengan kekehan.

“Len, thank you udah mau temenan sama gua. Sorry kalo selama 4 tahun ini gua masih banyak salahnya, gua bangga bisa kenal sama lu. Thank you udah mau jadi orang pertama yang rela mengulurkan tangan lu cuman buat bantuin gua. Kebaikan lu nggak akan pernah gua lupain,”

“Sama-sama, Le. Gua juga mau berterima kasih sama lu, lu bener-bener ngebantu gua selama di dunia perkuliahan. Rela bohongin paman lu, bahkan satu gedung SBA demi bantuin gua.”

Kale pun memeluk badan temannya setelah mengakhiri kalimat itu, “baik-baik di sana Len, semoga di sana lu bisa temuin kebahagiaan lu.” Nalen hanya bisa mengangguk dan tersenyum mendengar ucapan itu. Ia pun sama berharapnya semoga di sana ia bisa merasakan banyak kebahagiaan. Pelukan itu terlepas saat kedua maniknya menangkap sosok kedua puluh dua teman kontrakan di hadapannya, Kale pun kini sudah beralih tempat tak bersama dirinya lagi.

“Selamat wisuda, bro,”

“Keren temen aing akhirnya sarjana juga,”

“Ini baru adik gua, yang kemaren gua nggak kenal,”

“Selamat wisuda, Abang,”

“Keren, gua bangga sama lu.”

Pujian demi pujian kini telah memasuki gendang telinganya. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya, kedua matanya pun mulai tepejam seiring dengan senyuman semakin bahagia.

“Makasih, ini berkat lu semua juga. Makasih udah mau bantu gua sampe titik ini, it's such an honor for me.”

Kedua netra matanya tak sengaja menatap sekumpulan orang-orang yang tak lagi muda di depan matanya.

“Lu nggak sendirian lagi, ada kita, ada mereka yang selalu ada buat lu.”

Hati Nalen terenyuh mendapat tuturan itu. Iya. Itu semua orang tua dari anak-anak kontrakan yang sengaja mereka datangkan untuk hadir di acara wisudanya. Ia tak tahu harus berterima kasih seperti apalagi, sebuah kalimat saja tak cukup.

Tak peduli jika ia dilihat oleh banyak orang. Ia kini terduduk dengan kedua tangan yang menutup wajahnya. Topi nya sudah terjatuh seiring dengan kepala yang semakin merunduk.

“Udah anjir jangan nangis,” panik Donny sambil membantu adiknya untuk kembali berdiri dengan gagahnya, yang dibantu masih terdiam pada kegiatan duduknya.

“Gua ... gua beruntung punya teman sekaligus keluarga kayak kalian.”

Sebuah pelukan erat pun kini sudah bisa ia rasakan pada tubuhnya. Ia tak bisa melihat namun ia sudah pastikan bahwa semua anak kontrakan kini sedang memeluk dirinya. Tak peduli jadi pusat perhatian, hari ini ia hanya ingin menikmati sebagai orang yang paling beruntung dan paling bahagia.


Tiga hari dari prosesi wisuda pun telah berlalu. Kini mereka semua sudah sampai di kota kelahirannya, Surabaya. Ia sedang rindu dengan rumahnya sehingga ia memberanikan diri untuk kembali dan bertemu dengan rumahnya.

Tak hanya dirinya, namun kini sudah terdapat kedua puluh dua penghuni kontrakannya yang mengantarkan dirinya pada sebuah tempat peristirahatan Oma untuk yang terakhir kalinya. Kakinya masih terasa lemas, ia masih merasakan usapan hangat yang bisa dirasakan di kedua pundaknya. Usapan kecil yang selalu memberikan getaran hangat ke sekujur tubuhnya. Bahkan, ia masih merasa bahwa ini hanyalah sebuah cuplikan di dalam mimpinya. Namun sayangnya tidak, apa yang berada di depannya kini memang kenyataan yang harus ia lalui.

Ia berlutut dan mengusap nisan itu. Bibirnya melengkung ke atas namun sorot matanya sudah mulai kosong. Tangisnya ia tahan sekuat mungkin, ia tak mau terlihat lemah oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka harus melihat seorang Nalendra yang kuat, yang gagah, dan yang tak pernah mengenal kata nyerah.

“Oma, Alen berhasil. Alen berhasil nepatin janji Alen, tapi kayaknya di sini cuman Alen aja yang nepatin janji kita, ya? Malah Oma sendiri yang ingkar,”

Ia menghela nafasnya sesaat. Matanya ia bawa menuju langit sekadar menghilangkan air mata yang akan terjatuh jika ia terus-terusan menatapnya ke bawah.

“Oma, padahal harapan Alen dikit lagi bakal terlaksana. Tapi ternyata Tuhan lebih sayang sama Oma, ya? Padahal di sini Alen masih jauh lebih membutuhkan sosok Oma di sisi Alen,”

“Kadang Alen bingung, kenapa orang-orang suka banget buat ninggalin Alen? Apa Alen nggak layak buat sekadar dicintai?”

“Oma, kenapa harus Oma yang pergi duluan? Kenapa bukan Alen? Bahkan keberadaan Alen aja nggak ada yang mengharapkan, Alen hidup cuman buat Oma. Lantas, kalo Oma pergi, siapa lagi yang bakal mengharapkan kehadiran Alen? Nggak ada Oma, nggak ada lagi.”

Kini pertahanannya hancur. Bulir-bulir air mata itu pun mulai menetes seiringan dengan pundaknya yang mulai bergetar. Jordi yang melihat itu pun langsung mengusap pundak adiknya, namun yang diusap pun malah menghindarinya.

Penghuni lainnya yang mendengar itu pun hanya bisa menundukkan kepalanya. Isakan-isakan kecil pun mulai terdengar yang diakibatkan oleh tuturan pria yang sedang berlutut di tempat peristirahatan terakhir Omanya. Hati mereka yang mendengarnya pun serasa dihantam oleh ribuan batu, apalagi Nalendra yang merasakan itu semua.

“Oma, Alen janji. Alen bakal wujudin impian Oma. Oma senengkan akhirnya impian Oma tercapai? Walaupun bukan Oma sendiri yang pergi ke sana,”

“Tolong doain Alen ya, Oma? Doain biar Alen bisa dan selalu membanggakan Oma, doain Alen bisa rasain usapan tangan Oma di pundak Alen lagi,” ucapnya dengan tertahan. Secara tiba-tiba ia menolehkan wajahnya ke samping dan belakang secara cepat saat merasakan sesuatu pada pundaknya. Namun para penghuni kontrakannya tak ada yang sedang menyentuh dirinya. “Oma, Alen bisa rasain usapan hangat tangan Oma di pundak Alen. Oma ... itu Oma, 'kan? Oma yang usap pundak Alen?” Nalen mengusap kembali nisan tersebut.

Kini air matanya mulai ikut menetes percis di atas nisan seiring dengan badannya yang lebih menunduk dari sebelumnya. Kedua tangannya ia bawa untuk memeluk nisan itu dengan erat, seakan dirinya sedang memeluk sosok orang ia sayanginya selama ini. Dadanya ia pukul dengan kencang agar menghilangkan rasa sesak yang dirasakannya. Rasa sesak karena tangisannya ia tahan.

Tangisan pun mulai terasa mengeras namun terasa begitu memilukan karena sang empu seperti susah payah untuk menahan tangisnya agar tidak pecah. Yudi yang melihat itu pun langsung menghampiri adiknya lalu memeluknya dengan erat. Ia usap punggung itu dengan pelan.

“Udah-udah, nggak apa-apa nangis aja. Seseorang nangis bukan karena ia lemah, tapi karena dengan tangisan bisa buat dirinya sedikit lega. Nangis aja, nggak akan ada yang peduli.”

Mendengar tuturan tersebut, tangis dirinya pun kian pecah. Isakan tangis itu semakin mengeras, bahkan kini badannya ikut bergetar dengan hebat, pun butiran air mata yang menetes pada bahu pria yang sedang mendekapnya saat ini mulai deras. Ia menangis dengan kencang sehingga kesulitan untuk bernafas. Pun Yudi masih setia untuk memeluk adiknya lengkap dengan sebuah elusan di punggungnya.

Oma, tolong jaga Alen, ya? Tolong kasih petunjuk Alen di setiap langkah yang akan Alen tuju. Tolong bantu Alen ya, Oma? Tolong untuk selalu berada di sisi Alen, walaupun raga sudah tak ada tapi rasa kasih sayang Oma buat Alen selalu ada, dan Alen selalu yakin bahwa Oma pasti dan selalu ada di samping Alen sampai kapanpun.

Sejujurnya Alen masih belum ikhlas atas kepergian Oma, tapi kini Alen akan mengikhlaskan Oma. Oma, istirahat yang tenang, ya? Alen janji, Alen bakalan sering buat doain Oma. Tapi maaf ya Oma, maaf kalau nanti Alen jarang untuk mengunjungi Oma ke sini, karena Alen akan mengejar cita-cita Oma di negeri kincir. Alen bakal wujudin keinginan yang sudah lama Oma harapkan.


Story of Nalen Universe.

by NAAMER1CAN0