RAMAI, RINAI, dan PERISAI


Jaya menengadahkan salah satu tangannya setelah ia berhasil memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Ia tengah memastikan tetesan air yang mulai turun dan membasahi dirinya itu bukan lah berasal dari cairan sekitarnya. Kemudian, ia membawa kepalanya untuk mendongak, memperhatikan eksistensi raja siang yang masih asyik berdiam diri di atas langit sana. Bekas tetesan itu perlahan ia usap menggunakan tangan lainnya, seolah ia tidak mengizikan cairan itu dapat membasahi tubuhnya.

Samar-samar kerutan pada dahinya mulai tercetak seiring dengan raut wajah dipenuhi tanda tanya oleh cuaca siang ini yang sulit ia deskripsikan. Jaya tahu betul bagaimana ketika beberapa menit lalu kulitnya perlahan terbakar oleh matahari di atas sana, namun keanehan lainnya justru ia rasakan ketika bulir-bulir air berduyun-duyun turun dari langit dan melapisi kulit yang semula terbakar oleh sinar matahari itu.

Tak lama dari situ, bulir-bulir air yang semula menampakkan dirinya secara perlahan seakan malu untuk memamerkan eksistensinya berubah menjadi tetesan air yang tak henti jatuh disertai suara bergemuruh cukup nyaring. Terlampau gemuruh sehingga mampu menyamarkan suara bising dari ruangan yang tengah dipijaknya.

Ketika kedua matanya sibuk mencari keberadaan kedua teman yang sudah lebih dulu di dalam kantin, lambaian tangan itu berhasil ia temukan dengan cepat. Maka, tanpa menunggu lama ia bergegas menarik diri untuk segera menghampiri kedua orang tersebut.

“Lama pisan, dari mana aja maneh? Urusan apaan?” ucap Rakha bak sebuah kalimat sambutan untuk Jaya yang baru saja mendudukkan dirinya di salah satu kursi kosong. “Hag mana?” tanya Rakha setelah menyadari bahwa tak ada orang lain berada di belakang laki-laki itu.

Jaya bangkit dari kursi, lalu memutar badannya sedikit ke arah laki-laki itu untuk sekadar menepuk pelan saku belakang celana sekolahnya. “Abis ambil ini,” balasnya, kemudian kembali duduk dengan nyaman.

Rakha terdiam melihat pemandangan itu, cukup terkejut dengan tingkah Jaya yang menurutnya menjawab secara lisan tidaklah begitu berat.

“Harri mana, Jay?”

Jaya mengedikkan bahu tak acuh, ia lebih memilih untuk meraih salah satu gelas yang ia yakini bahwa gelas itu tak ayal adalah miliknya sendiri. “Punya aing kan?” Anggukkan yang diberikan Jagat menjadi sebuah lampu hijau, hingga akhirnya cairan di dalam gelas itu tak ragu Jaya sesap sampai menyisakan setengah bagian.

“Taro di sini punteun lah tangan aing penuh soalnya!”

Mereka bertiga serempak menolehkan wajah ketika mendengar suara yang tak asing secara tiba-tiba mendominasi. Salah satu dari mereka terkejut ketika melihat pemandangan bahwa terdapat dua adik kelas yang tengah kesulitan membawa satu mangkuk mi ayam dan satu mangkuk bakso, sementara sang pelaku hanya berdiri sembari mengarahkan orang tersebut untuk menyimpan mangkuk pesanannya di meja seberang Jaya.

Nuhun pisan nya!” ucap Harri, menepuk punggung kedua adik kelasnya sebagai salam perpisahan terakhir. Sebab setelahnya, kedua orang itu dengan cepat menarik diri dari mereka yang masih saling terdiam sembari menatap satu sama lain secara bergantian.

Ai sia nyuruh-nyuruh adik kelas!”

Harri mengaduh ketika merasakan sebuah tepukkan yang sengaja diberikan Rakha padanya dengan tak berperasaan. “Aduh! Sakit, Anying!” keluh Harri, mengusap-ngusap bekas pukulan itu dengan harapan rasa sakitnya akan berangsur hilang. “Dia sendiri yang mau bantuin aing, lagian seksama manusia teh harus saling tolong menolong!”

“Tapi manusia modelan kayak sia nggak patut buat ditolong, Anying.”

Harri menatap sinis orang yang baru saja menyerukan ucapannya. “Eh sia bacot, Jajang! Diem aja sia, aing lagi kesel pisan sama maneh!” tunjuk Harri, sembari memperlihatkan emosi yang makin meluap-luap.

Jagat menghela napas dengan berat kala adegan tersebut tak pernah luput dalam pandangannya. “Dompet kamu jadinya siapa yang nemuin, Jay?” tanya Jagat, mencoba menghentikan pertikaian itu yang tampaknya belum terlihat ada tanda-tanda akan berhenti.

Jaya sudah berancang-ancang membalas ucapan itu, akan tetapi sebuah suara lebih dulu mengambil alihnya tanpa permisi.

“Adik kelas yang kemarin dianterin si Ajay waktu renang,” sahut Harri cepat.

Rakha menaikkan kedua alis, merasa tertarik dengan sebuah fakta baru yang baru didengarnya. “Maneh beneran lagi deket sama itu anak, Jay?”

Jaya menggeleng. “Nggak.”

Ingin kembali menimpali ucapan itu, tetapi mereka justru seketika dibuat bungkam kala dapati seseorang datang dengan membawa dua piring—telah memenuhi kedua tangan pria itu. Lantas, mereka bergegas ucapkan kalimat terima kasih secara bersama-sama saat piring tersebut sudah berpindah menuju mejanya.

“Aksa sama Yolan mana?” Jaya celingak-celinguk menyadari ketidakhadiran kedua rekan teman lainnya. Kemudian tak lama tatapannya kembali terarah pada piring berisikan siomay dengan saus kacang di atasnya. Sesekali laki-laki itu mengaduk siomay, berusaha meratakan bumbu itu agar semua bagian terkena saus kacang.

Jagat yang akan memasukkan satu suapan bekal makan siangnya seketika terhenti. “Dia makan siang di kelas bareng anak-anak kelasnya,” timpal Jagat, sebelum akhirnya satu suapan bekal makan siang itu ia masukkan ke dalam mulut.

Kalimat itu menjadi kalimat penutup mereka di siang ini. Sebab setelahnya tak ada lagi rentetan kalimat yang mereka ucapkan, seakan satu piring di hadapan mereka jauh lebih mampu menarik perhatiannya dibandingkan objek lain yang ada.

Hingga tiba-tiba saja langkah seseorang yang mendekat, pun diikuti kalimat setelahnya berhasil membuat mereka berempat serempak mendongakkan kepala.

“Halo Kak Jaya, selamat makan, ya!”

Bukannya mendarat dalam mulut, tetapi satu suapan itu justru mendarat kembali di atas piring berisikan siomay yang baru termakan sebagian olehnya.

Lambaian tangan itu seketika memenuhi pandangannya, bagaimana ketika gadis itu berucap sembari memamerkan senyumannya disertai angin datang dan membantu helai rambut gadis itu tergerak, membuat kesan yang jauh lebih indah dari pemandangan lainnya yang ada.

Jaya berdeham, memutuskan pandangan secara sepihak dengan seseorang di seberang sana yang masih setia melambaikan tangan tanpa rasa malu apabila gadis itu akan menjadi sorotan orang di sekelilingnya. Jaya menegakkan tubuhnya, mencoba berekspresi senormal mungkin agar tak menjadi buah pembicaraan ketiga temannya yang kini tengah melemparinya dengan tatapan ejekkan.

“Selamat makan Kak Jaya,” ulang Harri dengan bibir mencebik, tak lupa nada bicara yang ia buat selucu mungkin agar lebih mendalami peran.

“Sapaannya kok nggak digubris, sih, Kak Jaya?”

“Minimal bales hai juga dong, Kak Jaya. Iya, nggak, Gat?” Jagat mengangguk, menyetujui ucapan Rakha diselingi ketawa renyah setelahnya.

“Bacot!”

Entah apa yang membuat Jaya justru kembali melayangkan tatapan ke arah di seberang sana, hingga akhirnya tatapan mereka berdua kembali bertemu. Dan, ya, gadis itu kembali melambaikan tangan dengan raut wajah sama cerianya seperti sebelumnya. Sementara Jaya hanya merespons lambaian itu dengan mengangkat sedikit salah satu ujung bibirnya, hanya sedikit, pun itu terjadi hanya beberapa detik saja.

Liat itu adik kelas caper banget, dari tadi lambai-lambai mulu. Padahal direspons Jaya juga nggak, malu sih kalau urang.

Jaya yang tak sengaja mendengar ucapan itu refleks menjatuhkan sendoknya tanpa aba-aba. Hal itu berhasil mengejutkan ketiga temannya, terlihat dari salah satu mereka masih sibuk mengelus dada untuk menetralisir rasa terkejut.

Anying, reuwas!” (Kaget!)

Jaya berharap bahwa ucapan itu tak akan terdengar oleh gadis di seberang sana, walaupun akhirnya harapan itu harus sirna ketika melihat gadis itu menundukkan kepala. Raut wajah yang semula ceria berubah menjadi raut penuh kesedihan, tak ada lagi lambaian tangan yang ia dapatkan ketika ia sengaja mengarahkan pandangan ke arah gadis itu. Pun, ketika gadis itu menatapnya, ia hanya mendapatkan respons tundukkan kepala.

“Eh, maneh mau ke mana, Jay?!” heran Rakha saat melihat gerak-gerik Jaya yang mulai bangkit seolah akan meninggalkan mereka bersama. “Kenapa piring sama gelasnya maneh bawa?!” Lagi-lagi Rakha melayangkan pertanyaan, namun rentetan kalimat itu tak satu pun dijawab oleh sang empu.

Jagat menjadi orang pertama yang refleks bangkit dan berancang-ancang mengikuti langkah ke mana Jaya akan tuju. Selanjutnya, tak lama disusul oleh Rakha dan Harri—yang sibuk menyatukan mi ayam dengan bakso. “Ah, Anying. Aing satuin ajalah ribet!”

Mereka hanya bisa terdiam setelah menyadari bahwa temannya itu melangkah menuju meja yang sama sekali tak pernah terpikirkan jika laki-laki itu akan ikut bergabung dengan seseorang yang selalu ia tepis secara mentah-mentah ketika ditanya soal kedekatan mereka berdua.

Sorry, boleh gabung? Meja di belakang kotor.” Jaya menatap sekilas ke arah meja belakang, lalu kembali menatap satu per satu orang yang berada di meja tersebut.

Anying kotor apanya, bersih gitu!” bisik Harri tak terima kepada Rakha. “Aing juga nggak ngerti, Anying!” balas Rakha tak kalah pelan. Jagat yang mendengar ucapan itu hanya bisa menyatukan kedua alis. “Ini ada apa, sih, kok pada bisik-bisik?” Alih-alih menjawab pertanyaan Jagat, Harri dan Rakha justru membuat jarak di antara ketiganya. Menganggap seolah pertanyaan dari Jagat tak perlu susah payah mereka jawab.

Nashella melirik ke arah belakang lalu mengangguk cepat. “B-boleh, Kak. Duduk aja!” Nashella mengibasian tangan seakan menyuruh seorang di sebelahnya untuk bergeser, memberikan ruang agar kakak kelasnya itu dapat duduk dengan nyaman.

“Makasih.”

Selepas mendapat persetujuan untuk bergabung, Jaya pun akhirnya mendudukan dirinya di salah satu kursi kosong—persis di sebelah gadis yang telah melambaikan tangan kepadanya.

Aing duduk di sini!”

“Saya duluan di sini!” Jagat mencengkeram kerah seragam Harri agar tak bisa menduduki kursi miliknya.

Harri menepis tangan Jagat dan berusaha menempati kursi tersebut. “Maneh di ujung, ah!” tunjuk Harri pada salah satu bagian kursi di ujung sana.

“Kamu yang di ujung, saya duluan yang naro makan siang saya di sini!” sanggah Jagat tak mau kalah, sebab bekal makan siangnya lebih dulu ia simpan di atas meja itu.

Bekal makan siang itu Harri geser secara paksa, lalu tanpa rasa malu ia simpan mangkuk miliknya. “Aing di si—”

Rakha memutar malas kedua matanya. “—ih bagong diuk mah tinggal diuk meuni loba ceta pisan!” (Ih, duduk tinggal duduk aja kok banyak tingkah banget!)

Untuk mencegah pertikaian yang mungkin akan terjadi lagi, akhirnya Rakha mengambil langkah untuk menempati kursi yang diinginkan oleh kedua temannya itu.

“Monyet!” hardik Harri melihat mangkuknya digeser begitu saja oleh Rakha. “Jauhan sana, jangan deket-deket aing, alergi!” Harri mendorong bahu Jagat agar tak bersentuhan dengan bahu miliknya. Sementara sang empu hanya merespons kalimat itu dengan memutar malas kedua bola matanya.

“Maaf, ya, jangan dicontoh omongan temen-temen urang. Pada kasar semua,” ujar Rakha secara tiba-tiba membuat suasana makin terasa canggung. “Kenalin Rakha, kalau itu namanya Harri di sebelahnya Jagat, kalau yang di ujung sana namanya Jaya. Maaf, ya, kita tiba-tiba ikut gabung di meja kalian,” lanjut Rakha, mencoba mencairkan suasana. Terlebih ketika matanya tak sengaja menangkap raut ketegangan yang tercetak jelas pada wajah adik kelasnya itu.

Mereka yang disebutkan bergantian menggerakkan kepala, tak lupa memberikan senyum hangat untuk perkenalan dengan orang baru di hadapannya.

“Nashella, Kak, kalau yang di ujung saja ada Syifa. Di sebelah kiri sama kanan aku ada Aira sama Frisilla.”

“Salam kenal, Kak.”

Harri menyipitkan mata setelah mendengar sebuah nama yang tak begitu asing di telinganya. “Kamu teh yang satu SMP sama Cipa bukan?” tanya Harri.

Nashella mengangguk, mengiakan pertanyaan dari kakak kelasnya. “Iya, A. Aku satu SMP sama Syifa. Dulu pernah ikutan basket juga.”

“Oh, pantesan kayak kenal. Sekarang juga masih basket, kan, ya? Soalnya waktu mau jemput pacar Aa, pernah nggak sengaja ngeliat kamu.”

“Iya, A. Ikutan basket juga.”

“Yang lainnya ikut ekskul apa?” tanya Rakha.

“Aira ikut English Club, kalau Frisilla ikut Badminton. Tadinya mau ikut futsal putri, tapi nggak jadi katanya.”

Harri menelan cepat satu suap makanannya. “Kenapa nggak jadi ikut?”

“Malu soalnya yang join cuman sedikitan, A.” Frisilla terkekeh di akhir ucapannya, cukup menyesal karena telah mengucapkan kalimat yang sepatutnya tak perlu ia beberkan.

“Ikut aja, kalau latihannya weekdays emang keliatan sedikit. Tapi, kalau weekends banyakan, kok.” Jagat mencoba menjelaskan alasan mengapa tim futsal putri terlihat sepi peminat dibandingkan dengan ekstrakurikuler lainnya.

“Tuh, dengerin kata ketua futsal!”

“Iya, Kak. Nanti mau coba buat dipikir-pikir lagi.”

Rakha tak sepenuhnya gagal untuk mencoba mencairkan suasana yang penuh ketegangan. Terbukti setelahnya, mereka sibuk saling melempari dengan pertanyaan lainnya hingga secara tak sadar meja mereka menjadi meja paling berisik di antara meja lainnya. Bagaimana tidak ketika lantunan tawa itu dapat mengalahkan suara rintik hujan yang setia menemani siang mereka.

“Makan, Syifa.” Jaya berucap tanpa mengalihkan pandangan. “Makanan Syifa ada di depan, bukan di samping,” lanjutnya, kemudian kembali menyuapkan satu potong siomay ke dalam mulut.

Sementara Syifa yang tertangkap basah sedang menatap seseorang di sampingnya hanya bisa merutuki dirinya di dalam hati. Ih bodoh banget, kenapa juga Syifa nggak sadar malah natap Kak Jaya terus! Beruntungnya, ucapan itu tak bisa didengar oleh laki-laki itu. Jika bisa didengar, mungkin ia tak mungkin berani untuk sekadar menampakkan batang hidungnya di hadapan kakak kelasnya itu.

Syifa memicingkan mata, mencoba mencari tahu sebuah objek yang sukses telah menyita perhatiannya. “Syifa baru sadar, ternyata selama ini Kak Jaya punya tahi lalat deket mata, ya!” Syifa menunjuk sekilas sembari terus-menerus menatap objek itu tanpa rasa bosan.

Jaya mengunyah cepat makanannya. Menarik satu gelas air minum, lalu meneguknya untuk menghilangkan butiran saus kacang yang mungkin menempel di dinding tenggorokannya.

“Syifa juga,” ucap Jaya membuat sang empu yang diserukan namanya refleks mengernyitkan dahi dengan heran.

“Syifa juga apa, Kak?”

“Jaya juga baru tau, kalau Syifa punya lesun pipi.”

Jaya menolehkan wajah ke samping, menatap adik kelas yang masih setia memandang tahi lalatnya. Laki-laki itu menarik kedua ujung bibirnya sekilas, sebelum akhirnya kembali menyantap siomay yang sudah mulai dingin akibat terlalu lama tak disentuhnya.

Jangan tanyakan bagaimana kabar dirinya ketika debaran jantung itu justru kian berpacu teramat cepat. Syifa refleks membungkukkan tubuh, sebab ia tak ingin apabila suara debaran itu akan terdengar oleh sang empu. Bahkan, tak hanya itu ia merasa cuaca siang ini benar-benar panas meskipun keadaan saat ini sedang hujan.

Seramai-ramainya suasana di kantin saat ini, akan tetapi ia masih dapat mendengar jelas ketika laki-laki itu menyenandungkan sebuah tawa yang sangat kecil. Beruntungnya ia masih dapat mendengar suara itu, suara gelak tawa yang telah membuatnya candu kala mendengarnya.


Puspa Niskala Universe

by NAAMER1CAN0