RUANG DELAPAN
Konon katanya jika merasa bahwa waktu berlalu begitu cepat, artinya ia terlalu menikmati hari demi hari yang berganti. Padahal kenyataannya, ia sama sekali tak menganggap menikmatinya. Kadang kala pada waktu-waktu tertentu, ia merasa hari begitu lamban berlalu.
Syifa masih ingat saat pertama kali menjadi anak SMA. Hari itu, ia diminta untuk mengumpulkan tanda tangan para penggurus OSIS dan MPK sebagai salah satu dari rangkaian MPLS. Menggunakan seragam SMP, rambut dikuncir pita berwarna ungu, ia beserta beberapa teman satu kelompoknya menari dan menyanyi riang di tengah lapang.
Tak terasa hanya dalam hitungan beberapa minggu lagi, ia resmi akan menjadi seorang kakak kelas. Hidup sebagai anak kelas satu tak terlalu buruk, sebab hari-harinya ia lewati dengan mengagumi seorang kakak kelas. Walau ada sedikit penyesalan karena pertemuan dengan kakak kelas itu terjadi di semester genap. Padahal, jika saja ia bertemu lebih awal, mungkin ia akan mendapatkan lebih banyak kenangan lagi bersamanya.
Momen sederhana yang selalu berhasil membuatnya riang, selalu tak sabar menunggu hari esok. Menantikan apa yang akan terjadi dan bagaimana kedua matanya sibuk mencari presensi sang kakak kelas tanpa diketahui.
Apabila diperbolehkan membuat satu permintaan, ia ingin meminta memperpanjang satu minggu kemarin untuk belajar lebih giat guna menghadapi ujian hari ini serta beberapa hari yang akan datang. Jujur saja, ia belum terlalu siap untuk bertemu dan bertempur dengan soal-soal yang akan tersimpan rapi di meja nanti. Banyak kekhawatiran kalau-kalau nilai ujiannya akan lebih kecil dari hasil nilai ujian tengah semester kemarin.
Namun, hal itu tidak menjadikannya untuk menyerah di hari pertama ujian akhir semester. Apa pun yang akan terjadi, ia harus bisa melewatinya dengan baik. Karena, apa yang ia lakukan hari ini akan berdampak di kemudian hari. Sehingga, ia tidak boleh dengan asal-asalan menjawab soal ujian. Terlintas harapan bahwa siapa pun teman satu bangkunya nanti, setidaknya orang tersebut memiliki kapasitas otak lebih lancar dibandingkan dengan kapasitas otaknya yang terkadang sering macet.
Syifa berhenti tepat di bawah papan bertuliskan kelas XI IPA 2. Kedua matanya bergerak mencari informasi dengan kelas mana ia harus saling berbagi ruangan. Saat sedang memfokuskan penglihatan, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang, sampai akhirnya tindakan itu berhasil membuatnya tersentak.
“Lagi liatin apa, Cip?” Laki-laki yang telah mengejutkan itu otomatis menyipitkan mata, mengikuti gerak-gerik sang adik kelas.
Selepas mengetahui orang tersebut adalah kakak kelasnya yang jahil, Syifa membuang napas sembari menetralisasi detak jantungnya. “Eh, A Harri! Ini Syifa lagi liat kalau kelas Syifa dapetnya sama kelas mana.”
Jawaban dari Syifa tersebut sukses menciptakan kerutan pada dahi Harri. “Emang Syifa nggak tau?” Pertanyaan itu dijawab gelengan oleh Syifa. Kemudian tanpa sadar Harri tersenyum sembari menepuk punggung Syifa pelan secara berulang. “Aa masuk duluan, Cip.”
Syifa mengangguk mengiakan. Tak lama dari kejadian itu, Syifa pun mulai tersadar akan suatu hal yang mengganjal. “Eh sebentar?” Mata Syifa sukses melebar kala menyadari ke arah mana laki-laki itu memasuki ruangan, maka tanpa berlama-lama untuk memutuskan rasa penasaran, Syifa dengan cepat mendekati pintu kelas agar bisa melihat lebih jelas dengan kelas mana kelasnya saling berbagi ruangan.
Mulutnya sukses membulat saat melihat nama kelas yang tak disangka-sangka. Apa yang sudah ia selamatkan ketika di perjalanan menuju sekolah tadi sampai-sampai ia diberi hadiah yang tak ternilai ini?
Ruang delapan kelas X IPA 7 dan kelas XI IPA 4.
Dengan senyuman yang tak bisa ditutupi, Syifa membawa langkahnya untuk cepat-cepat masuk ke dalam ruangan. Angin pagi yang terkadang membuatnya sebal—karena selalu berhasil memanggil perutnya menuju toilet di pagi hari—itu entah mengapa terasa sangat menyejukkan. Ia tak merasakan sakit perut seperti biasanya, malah perutnya tiba-tiba terasa geli.
“Selamat pagi, Arkan!” Sapaan penuh ceria dari Syifa justru mnghadirkan wajah kebingungan dari Arkan. Arkan menaikkan salah satu alis seolah sedang bertanya apakah gadis itu tadi malam tak sengaja sudah mengonsumsi makanan yang salah?
“Bahagia banget kayaknya maneh, Syif,” sahut Bima yang tak sengaja mendengar sambutan selamat pagi dari gadis itu.
Syifa tak menjawab secara lisan, melainkan menjawab dengan senyuman tak kalah lebih ceria dari sebelumnya. Bagaimana tak riang ketika dalam hitungan beberapa menit, terbesit peluang untuk ia bisa duduk bersebelahan dengan kakak kelasnya itu besar kemungkinan akan terjadi.
“Gocengan, itu budak pasti bahagia pisan karena ngira bakal satu meja sama si Ajay,” bisik Rakha sembari mengulurkan tangan ke arah Harri. “Nggak usah taruhan, si Cipa emang lagi ngarep-ngarep bakal sebelahan sama si Ajay. Soalnya dia tadi baru tau kalau misalnya kelas si Cipa satu ruangan sama kelas arurang,” balas Harri diakhiri kekehan.
Mata Rakha melebar. “Aslina?”
Harri mengangguk. “Aslina,” balas Harri sembari mengacungkan kedua jari.
“Cip!” panggil Frisilla, melambaikan tangan dari tempat duduknya. Sapaan itu sukses membuat beberapa orang yang berada di dalam ruangan ikut menoleh ke arahnya, termasuk Jaya yang sedari tadi sedang sibuk sendiri—berada persis di belakang meja Frisilla.
Ketika kedua mata mereka saling bertemu, Syifa tak bisa menghindari degup jantungnya yang begitu cepat. Senyuman yang sedari tadi menghiasi wajahnya tiba-tiba hilang saat laki-laki yang sedang terduduk di depan sana memberikan sapaan hangat melalui senyumannya. Syifa mendadak gugup, teramat gugup sampai-sampai hanya bisa mematung di tempat.
Harri menyunggingkan senyuman. “Coba tebak, kira-kira Cipa bakalan satu meja sama Aa, Jagat, atau Ajay?”
Kalimat dari Harri berhasil mengembalikan kesadaran Syifa. Kedua mata Syifa mengedip-ngedip kebingungan. “Ayo cepet, Cip, tebak-tebakan sama Aa,” ucap Harri sembari mengetuk-ngetuk jam di pergelangan tangan kiri.
Syifa berniat ingin memutar badan untuk melihat selembar kertas yang dipasang di samping papan tulis. Kertas tersebut memuat informasi dengan siapa ia akan berbagi meja, namun lanjutan kalimat dari Harri lebih cepat menggagalkan niatnya. “Jangan liat pengumumannya, Cipa tebak aja pake feeling.”
Bukan hanya Harri yang menunggu, melainkan Rakha yang sedang berkunjung ke ruangan itu dan duduk di samping Harri pun ikut menaruh perhatian. Termasuk Frisilla yang tadi sempat menyapa Syifa.
Syifa tak habis pikir, bagaimana bisa Harri berbicara selantang itu di depan orang-orang yang sebagian terasa asing untuknya. Apalagi sebagian besar di ruangan itu sudah terisi oleh kelas sebelas. Untung saja beberapa dari mereka ada yang tak tertarik dengan ucapan itu, sehingga memilih menaruh atensi pada kegiatannya sendiri.
Syifa meramat tangan. Mulutnya diam, tetapi kata hatinya tak henti menyuarakan harapannya. “Semoga sama Kak Jaya, semoga sama Kak Ja—” Ucapan itu menggantung ketika Johar datang dan melewatinya begitu saja. Laki-laki itu tanpa permisi menyimpan tasnya tepat di sebelah Jaya, lalu mendudukan diri di sana. Seketika harapan yang sedari tadi sudah ia lafalkan di dalam hati itu mendadak hilang, meninggalkan setitik kekecewaan.
“Ngiring, A,” kata Johar dan dibalas anggukkan Jaya. Sang kakak kelas itu sudah tak lagi menaruh perhatian pada Syifa yang masih berusaha mencari jawaban, melainkan Jaya sudah sibuk kembali dengan ponselnya.
Jaya sedikit kecewa, padahal ada sekelebat rasa ingin melihat gadis itu mengharapkan duduk bersamanya. Sepertinya Jaya terlalu berpikir kejauhan.
Harri berdecak. “Ah anying si eta kalah datang ti heula padahal keur nungguan ieu teh.” Tangan Harri mengepal.
Untuk kali ini Rakha menyetujui ucapan Harri. “Naha, sih, barudak kelas sapuluh teh meuni resep datang isuk-isuk heeh.”
“Ah, dia malah dateng dulu padahal lagi nunggu ini, tuh.”
“Kenapa, sih, anak-anak kelas sepuluh, tuh, pada suka dateng pagi-pagi, ya.”
Jagat menghela napas, punggungnya yang semula menyandar berubah menjadi tegak. “Saya udah ngira kamu bakalan ngasih ekspresi itu, sih.” Kepala Jagat menggeleng-geleng sembari memindahkan tas miliknya, mengosongkan meja sebelah untuk sang adik kelas. “Ekspresi kecewa, soalnya kamu nggak satu meja sama Jaya,” lanjut Jagat dengan nada sedikit mengejek.
Syifa menggeleng cepat. Setelah mendengar ucapan itu, Syifa jadi tidak enak sendiri. “Nggak, kok. Nggak gitu!” balas Syifa seraya menarik kursi dan segera duduk di sebelah Jagat.
Rasanya saat ini Syifa ingin segera menenggelamkan wajah di ember yang sudah dipenuhi air es. Wajahnya memanas ketika teringat tanpa malu ia sudah sangat percaya diri bisa duduk bersebelahan dengan kakak kelas incarannya.
Sebab tak bisa menenggelamkan wajah di ember air es, Syifa akhirnya menenggelamkan wajah di atas lipatan tangan. Untuk sekadar mengangkat wajah, lalu menatap sang tersangka sudah membuatnya begini pun terasa sulit. Bayang-bayang penuh kepercayaan diri perihal teman sebangku itu terus menghantui isi pikirannya.
“Jagat, maneh teh sing peka atuh euy. Itu temen aing teh kayaknya udah ngebul pisan kepalana. Mun keur masak cai mah geus disada titatadi mereun,” ceplos Harri sembari cengengesan.
“Jagat, lo, tuh, yang peka dong. Itu temen gue kayaknya udah berasap banget kepalanya. Kalau lagi masak air udah bunyi dari tadi kali.”
Jagat bergantian menatap Syifa dan teman sebangku Jaya. “Mau tukeran nggak duduknya sama temen kamu?” tawar Jagat.
Syifa mengangkat sedikit kepalanya. “Kak Jagat jangan digitu-gituin, please, Syifa takut Kak Jayanya nanti ilfeel….” Niat ingin mencuri pandang secara sekilas, sialnya ia justru berakhir kepergok laki-laki itu dan kini kedua mata mereka kembali bertemu. Mereka saling berpandangan untuk beberapa detik, sebab Syifa langsung memutuskan pandangan. “Maksudnya A Jagat, Syifa nggak jadi manggil Kak Jagat,” ralat Syifa walau ucapannya terdengar tak begitu jelas sebab diucapkan di antara lipatan tangannya.
Jagat spontan mengurai tawa. “Iya-iya nggak.”
Lagi pula Jagat tak sungguhan berkata demikian, mana berani harus melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh sekolah.
Sementara Harri si pencetus ide asal bersuara itu tak henti memamerkan wajah jahil. Tak disangka kejadian itu cukup menghibur dirinya sebelum bel sekolah akan bersuara dan menyita otaknya.
Harri menggeser kursi dengan sengaja agar bisa memutus jarak dengan Syifa. “Ngobrol atuh, Cip, sana mumpung satu kelas. Atau mau Aa yang bawa si Ajaynya ke sini?” tawar Harri, menaik-turunkan alis. Betapa menyebalkannya wajah itu, untung saja Syifa tak melihatnya.
“Nggak mau.”
Mata Harri menyipit, menatap Syifa yang masih asyik menundukkan kepala. “Ah, ini mah Cipa sengaja, ya, biar Aa bawa Ajaynya ke sini.”
“Kalau Aa lakuin itu Syifa bakalan marah.” Untuk kali ini kesabaran Syifa sudah dibatas ambang. Ia hanya berharap Harri akan segera meninggalkannya. Pasalnya, Syifa benar-benar takut apabila laki-laki itu nekat mengabulkan ucapannya sendiri.
“Yaudah, kalau nggak mau Aa bawa Ajaynya ke sini, berarti Cipa harus ajak ngobrol duluan,” goda Harri tanpa kasihan karena diam-diam di bawah lipatan tangannya, Syifa sedang menutupi wajah yang sudah semerah tomat.
“Nggak mau, ih, Aa!”
Rakha yang merasa nada suara gadis itu terdengar sedikit bergetar langsung menarik Harri untuk kembali ke tempatnya. “Geus ai sia, eta budak batur bisi ceurik,” ucap Rakha sembari melayangkan satu jitakan tepat di kepala Harri.
“Udah, itu anak orang takut nangis.”
Harri hanya tertawa. “Heeh emang sengaja aing, biar kayak pas SMP nangis gara-gara aing jailin.”
“Tolol.” Rakha memukul pelan kepala Harri, sebelum akhirnya bangkit untuk kembali ke ruangannya.
Ada satu hal yang Syifa bingungkan, mengapa saat ini tak ada satupun temannya yang datang menghampiri? Padahal ketiga temannya itu sedang duduk di meja yang sama. Seharusnya mereka cukup peka untuk menghampiri dirinya ketika lutut ia tak bisa dibawa berdiri karena terasa begitu lemas.
Aneh, padahal ia sendiri yang meminta untuk bisa duduk bersebelahan dengan laki-laki itu. Tapi, ketika diwujudkan dengan duduk terhalang dua orang, lututnya sudah sangat lemas. Apabila harapan itu benar-benar diwujudkan, mungkin sepanjang waktu ia hanya diam karena sekujur tubuh dibuat kaku.
“Hah? Apa Jay? Mau tukeran duduknya sama si Jagat? Maneh mau duduk semeja sama si Cipa? Emang boleh seterang-terangan itu minta tukeran tempat duduk, Jay?!”
Langkah Rakha berhenti tepat di ambang pintu. Laki-laki itu menghela napas, menggeleng-gelengkan kepala akibat terlalu lelah menyaksikan ulah Harri yang tak pernah absen barang satu hari.
Dengan secepat kilat, semua arah mata tertuju pada Jaya dengan tatapan terkejut dibalut tatapan tak percaya. Terlebih bagi teman kelasnya yang tak disangka-sangka bahwa Jaya sedang menaruh perhatian pada seorang gadis. Sebab, sehari-hari ketika di kelas, laki-laki itu hanya bisa bermain games dan tidak memperlihatkan gelagat sedang dekat dengan seorang gadis.
Demi Tuhan, bahkan Jaya sedari tadi sama sekali tak bersuara. Johar—adik kelas teman satu bangku—jadi saksinya ia asyik membungkam mulut.
Jaya memelotot. “Mana ada aing ngomong kayak gitu, Monyet!” hardik Jaya cukup keras karena teramat kesal dengan ucapan ceplas-ceplosnya Harri. Sedangkan sang tersangka tengah tertawa sembari memukul meja, bagi siapa pun yang tak sengaja mendengar tawa itu akan dibuat penasaran.
Keadaan di ruangan delapan seketika ricuh akibat kalimat yang tak henti menggoda Jaya dengan sang adik kelas.
“Oh ternyata maneh lagi deket sama yang itu Jay.”
“Ajig kata aing mah si Jagat parah Jay nikung maneh!”
“Oh si Ajay ternyata sama yang ini, daks.”
“Sikaaaat, Jay! Jangan kasih kendor!”
“Ternyata selera maneh adik kelas, ya, Jay.”
Jika saat ini tidak sedang berbagi ruangan dengan kelas sepuluh, mungkin Jaya sudah beranjak dan memukul punggung Harri secara bertubi-tubi. Sial, laki-laki itu selalu bisa menciptakan permasalahan yang bahkan ia sendiri tak ada pikiran untuk menciptakannya sendiri.
Bukan hanya Jaya yang tengah menahan rasa malu, Syifa yang sedari tadi berusaha menghindari tatapan kakak kelasnya itu justru dibuat malu berkali-kali lipat. Satu masalah tentang betapa percaya dirinya tadi pun belum mereda, malah ditambah masalah baru.
Puspas Niskala Universe
by NAAMER1CAN0