RUANG DELAPAN (bagian dua)


Berisik obrolan tentang soal ujian pada jam pertama cukup mengganggu Jaya dalam melewati segerombolan orang-orang yang diam di depan kelas dan menghalangi jalan. Lagi pula untuk apa tetap membahas soal ujian yang sudah dilaksanakan? Toh, hal itu tidak akan merubah apa pun jawaban yang sudah diisi. Apabila mereka melakukan itu untuk berjaga-jaga jika gagal dalam ujian hari ini, bukankah secara tidak langsung mereka sudah meremehkan kemampuannya sendiri?

Kerjakan dan lupakan adalah prinsip yang selalu ia lakukan ketika berhadapan dengan ujian. Setelah keluar dari ruang ujian, ia tak akan membuang waktu untuk memikirkan segala tentang soal-soal yang memusingkan. Jika hal itu ia lakukan, yang ada, obrolan tentang mengoreksi soal-soal itu berpeluang membuat sesal karena takut apabila jawaban ia dengan mereka berbeda. Sehingga hal tersebut akan mempengaruhi ujian selanjutnya.

“Gat,” panggil Jaya membuat laki-laki di sebelahnya yang sedang mengemut permen menoleh.

Jaya membasahi bibir, sedang mempertimbangkan apakah ia perlu mengucapkan hal tersebut atau tidak. “Nitip, dong, Gat. Kasihin ke temen sebangku maneh.” Akhirnya setelah pertimbangan yang lama, kalimat itu keluar juga dari mulut Jaya.

Jagat melirik sekilas pada barang yang disodorkan Jaya, kemudian menggeleng. “Males, kasihin sendiri aja sana.” Penolakan tersebut menghadirkan dengkusan tak suka dari Jaya.

“Tolong, Gat.” Jaya menggoyangkan makanan dan minuman itu, bersikeras memohon agar Jagat bersedia membantunya. Lagi pula tak biasanya satu temannya itu langsung menolak tanpa mempertimbangkan dahulu.

Jagat mengangkat alis. “Yang butuh siapa?”

Jawaban itu diucapkan secara halus, namun terkesan ketus. “Anying, yaudah nggak jadi.” Dengan begini, mungkin saja hati Jagat tiba-tiba tergerakkan untuk bersedia membantu.

Jagat mengangkat bahu tak acuh. “Yaudah, mending nggak usah. Lagian percuma juga kalau niat ngasih, tapi nggak mau nyerahin sendiri.”

Sial, selama Jaya kenal dengan laki-laki itu, ia tak pernah sekali pun ditolak untuk dimintai tolong. Bagaimana dari betapa ketusnya balasan kalimat itu, ia sudah memantapkan hati agar tidak memaksanya lagi.

Kini hanya ada dua pilihan, antara mau tidak mau ia yang harus memberikannya sendiri atau tidak melakukannya sama sekali.

Jaya bertanya-tanya apa yang sudah menjadikan laki-laki itu terkesan ketus? Apakah karena ucapan asal Harri dan beberapa teman satu kelasnya yang telah mengatakan kalimat-kalimat penuh candaan perihal teman satu bangku? Jika jawabannya iya, seharusnya Jagat tidak menjadikan dirinya sebagai samsak persoalan tersebut. Toh, ia sendiri sama-sama korban dari kejahilan mereka.

Terlampau asyik bergumul dengan pikirannya sendiri, Jaya tidak sadar bahwa langkah kaki Jagat sudah lebih dulu berhenti di depan pintu kelas. Jagat menengok pada sesuatu yang sedang Jaya pegang. “Sana kasihin sendiri sebelum saya masuk, duduk di sebelahnya, dan cengcengin kamu kalau saya lihat sendiri kamu nyerahin makanan dan minuman itu di depan mata saya.”

Paham akan ucapan itu, kepala Jaya bergerak memutar untuk memastikan bahwa tak ada Harri ataupun temannya yang lain di sekitar mereka. “Harri lagi mampir ke ruangan pacarnya,” ucap Jagat.

Sepertinya ia terlalu terang-terangan memperlihatkan gerak-gerik tersebut sampai Jagat paham dengan gelagatnya yang ketakutan.

Perlahan Jaya memasuki ruangan, berjalan menuju meja seorang gadis yang tengah sibuk dengan buku mata pelajaran ujian selanjutnya.

Tanpa kata dan terkesan tiba-tiba, Jaya langsung menyimpan satu bungkus roti coklat serta susu coklat di atas meja sang gadis. Dan, tanpa berpamitan, Jaya meninggalkan meja tersebut lalu duduk di bangkunya sendiri.

Sontak Syifa dibuat terkejut dengan kehadiran roti dan susu yang tiba-tiba di atas mejanya itu.

Syifa menutup buku, menoleh pada Jaya yang sedang bermain ponsel. “Kak Jaya, kayaknya ini Kak Jaya salah naro, deh.” Roti dan susu itu baru saja akan Syifa geser, karena ia pikir makanan dan minuman itu titipan Jagat. Namun, yang ia lihat justru Jaya tengah menggelengkan kepala. “Nggak. Itu emang buat Syifa, kok. Jangan lupa dimakan soalnya dari tadi Syifa nggak keluar kelas.”

Tangan Syifa yang semula akan memindahkan roti dan susu itu, otomatis ditarik kembali. Dengan raut wajah masih terlihat terkejut, kemudian digantikan oleh senyuman manis sebab tak menyangka bahwa ia akan merasakan kejadian itu seperti yang biasanya sering ia lihat di layar-layar kaca.

“Makasih, Kak Jaya. Syifa minum, ya, susunya.”

Jaya membalas ucapan itu dengan dehaman kecil.

Syifa mendadak membenarkan duduknya, lalu berusaha sekuat tenaga menahan raut wajah agar tak kelepasan memamerkan senyuman yang akan membuat seseorang yang baru memasuki kelas bertanya-tanya. Laki-laki itu mengisi kursi di sebelahnya, kemudian menundukkan kepala—menenggelamkan wajah di antara tangan yang dilipat di atas meja. Melihat Jagat yang tampak tengah mengistirahatkan diri, senyuman yang semula mati-matian Syifa tahan pun kembali terlihat.

Aneh. Ini hanya sebuah susu biasa, tapi ajaibnya susu itu tak henti membuat bibirnya selalu ingin memperlihatkan senyuman yang lebar. Apa yang salah dengan dirinya? Lagi-lagi segala tentang kakak kelasnya itu selalu pintar membuatnya merona dengan perlakuan kecilnya.


Sejak sang pengawas datang, lalu membagikan kertas soal dan jawaban, Syifa sama sekali belum menggerakkan jemarinya untuk mengisi identitas diri di lembar kertas jawaban. Pikirannya tengah dipenuhi oleh sosok laki-laki pemilik nomor meja lima belas. Kedua ujung bibirnya menaik, merepresentasikan gadis itu kentara amat sedang bahagia.

Mendengar batuk kecil dari seseorang di sebelahnya, kemudian kesadaran Syifa kembali. Syifa tak tahu apakah laki-laki itu sengaja batuk atau memang batuk sungguhan, tapi yang pasti ia berterima kasih karena secara tidak langsung Jagat telah mengembalikan kesadarannya untuk segera mengisi soal-soal ujian tersebut.

Situasi di ruangan cukup tenang, tak terdengar sedikit pun suara-suara bisikan, yang terdengar hanyalah suara kertas yang dibuka saling bersahutan.

Baginya, pelajaran Bahasa Indonesia tergolong mudah—tidak seperti mata pelajaran matematika yang mengharuskan bergelut dengan angka-angka, hanya saja terkadang sering terkecoh oleh jawaban yang menurutnya benar. Belum lagi dihadapkan dengan soal-soal cerita yang rata-rata panjang. Jika ia lengah sedikit dan lupa dengan apa yang sudah dibaca, maka ia harus kembali membacanya dari awal. Dan berakhir menghabiskan waktu secara cuma-cuma.

Untuk mengistirahatkan otaknya yang sudah siap mengepulkan asap, Syifa diam-diam mencuri pandang ke meja sebelah. Kepalanya tak sepenuhnya menengok, sebatas mengandalkan matanya untuk melirik.

Bila satu minggu kemarin ia tak henti memuji betapa indahnya langit sore dari loteng rumahnya, sampai berulang kali mengatakan langit sore itu adalah objek terindah yang pernah ia pandangi dan ia menyukainya, maka dengan secepat kilat ia tambahkan kalau ucapan tempo hari ada kekeliruan. Sebab, alih-alih langit sore, ternyata ia lebih menyukai pandangi Jaya yang sedang disibukkan oleh soal ujian.

Alis yang mengerut, bibir yang tak henti bergerak membaca soal tanpa suara, tubuh membungkuk, adalah pandangan yang sulit untuk bisa ia padangi lagi di kemudian hari. Hanya dengan memandang kakak kelasnya secara diam-diam itu, ia sukses tersipu. Mati-matian Syifa mengulum senyum agar tak membuat sang pengawas curiga.

Sayangnya pertahanan untuk tak mempertontonkan senyumannya itu gagal, sebab saat berniat ingin melirik kertas jawaban miliknya, mata Syifa tak sengaja menatap kotak susu yang baru setengah ia minum—sengaja karena tak ingin langsung ia habiskan. Kemudian tatapan itu terjatuh pada bungkus roti. Alih-alih membuangnya, Syifa justru sengaja menyimpannya.

Adegan mencuri-curi pandang ini mengingatkan Syifa pada saat SMP dulu. Syifa pernah berada di situasi ini. Bedanya, dulu Jaya duduk di sebelahnya.

Ada kalanya Syifa kesal dengan sang kakak kelas teman satu bangkunya itu, bagaimana tidak ketika ia berniat ingin mencuri pandang ke arah Jaya lagi, akan tetapi tubuh Jagat malah menghalanginya. Syifa bingung sendiri mengapa Jagat lebih senang mengerjakan soal dengan posisi tubuh tegap dibandingkan membungkuk. Padahal apabila Jagat sedikit membungkukkan badannya, pasti dengan mudah ia bisa untuk memandang Jaya.

Lantaran kekesalan itu tak kunjung hilang, akhirnya Syifa memilih melanjutkan mengisi soal. Walau sesekali matanya tak bisa diam karena lagi-lagi bergerak menuju tempat yang sama.

Jika ditanya berapa perbandingan persentase Syifa fokus mengerjakan soal dan fokus memandang Jaya, maka Syifa akan menjawab 90% fokus mencuri pandang, sementara sisanya persentase ia fokus mengerjakan soal.

Saat sedang hening-heningnya, tiba-tiba seseorang mengacungkan tangan. “Bu, kalau misalnya ada yang udah selesai ngerjain, udah bisa dikumpulin dan pulang belum?” tanya Jagat menghadirkan tatapan terkejut dari penghuni ruangan delapan, termasuk Syifa di sebelahnya.

Sang pengawas melirik ke arah luar melalui jendela, lalu memperhatikan jam dinding di depan kelas. “Masih jam setengah sebelas, ruangan lain juga belum ada yang keluar. Setidaknya tunggu sampai jam sebelas lebih, ya.” Jagat menurunkan tangan, kemudian mengangguk. “Dicek lagi, ya, soal sama jawabannya. Pastiin identitasnya diisi dengan benar jangan sampai ada yang terlewatkan,” lanjut sang pengawas mewanti-wanti.

Sebab penasaran apakah Jagat benar-benar telah menyelesaikan ujiannya, mata Syifa bergerak untuk mencuri pandang pada lembar jawaban kakak kelasnya itu. Setelah menyadari bahwa Jagat tidak sedang membual, Syifa otomatis memelotot. Ia tiba-tiba teringat bahwa lembar jawabannya masih banyak yang kosong. Maka, Syifa cepat-cepat mengerjakan dengan khusyuk. Melupakan sejenak presensi Jaya di meja sebelah—sang tersangka yang sudah membuat ia tak menganggap keberadaan soal ujiannya ada.

Di tengah aktivitas Syifa sedang fokus mengerjakan soal, Jaya menoleh dan tersenyum kecil melihat pemandangan itu. Kemudian senyuman itu disusul tawa sangat pelan sebab merasa gemas dengan berbagai ekspresi yang baru saja Syifa perlihatkan.

Tepat di jam sebelas lebih dua puluh dua menit, sang pengawas pun mengatakan bagi siapa pun yang elah selesai mengerjakan soal ujian, boleh dikumpulkan. Namun dengan syarat memastikan telah menanda tangani kertas kehadiran. Sang pengawas tak lupa menambahkan kalau soal ujian cukup disimpan di atas meja, sementara lembar jawaban dibawa ke depan dan disimpan di meja guru.

Jagat menengok. “Syifa, mau saya bantuin nggak?” tanya Jagat sangat pelan terkesan seperti berbisik.

Alis Syifa menyatu keheranan. “Bantuin apa, A? A Jagat mau bantuin Syifa isi soal ujiannya?” balas Syifa sedikit berharap apabila Jagat akan mengiakan ucapannya.

Jagat menggeleng pelan. Laki-laki itu terburu mengemasi barang sembari menatap meja sebelah. “Udah saya bantuin, nih. Jangan lupa fokus sama soal, ya, soalnya itu masih banyak yang belum kamu isi,” kata Jagat sebelum akhirnya laki-laki itu mengedipkan mata dan meninggalkan meja mereka.

Syifa hanya bisa menatap kepergian Jagat dengan berbagai pertanyaan masih bersarang di kepala. Bantuan apa yang dimaksud kakak kelasnya itu?

Di tengah kebingungan yang masih melanda, Syifa tak sengaja menolehkan wajah—berniat ingin menatap bangku di sebelahnya yang kosong, namun berujung beradu tatap dengan mata milik Jaya. Syifa spontan memelotot lalu memutuskan pandangan untuk kembali membaca soal.

Sementara Jaya yang mendapatkan respons itu hanya kebingungan. Mengapa gadis itu begitu terburu-buru memutus pandangan ketika mata mereka saling bertemu?

Syifa menggurutu kesal di dalam hati. “Ah! A Jagat kenapa malah pulang duluan, jadinya Syifa udah nggak bisa ngintip Kak Jaya diem-diem lagi!


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0