SALING SIRIK
Tetesan gemuruh suara air yang jatuh perlahan menghilang setelah Harri memutar keran air tersebut ke arah yang berlawanan. Laki-laki yang mengenakan kaos hitam bergambarkan salah satu logo band musik favoritnya itu mengibas-ngibaskan tangan di atas wastafel, mempercepat menghilangkan bulir-bulir air pada telapak tangannya. Kegiatan itu hanya dilakukan beberapa detik saja, sebab kini laki-laki itu sedang asyik menggosokkan tangan pada sisi pakaian yang dikenakannya.
Harri membalikkan tubuh, berancang-ancang akan kembali ke kamarnya setelah kegiatan mencuci gelas telah selesai. Akan tetapi, suara derap langkah seseorang disertai bunyi beberapa benda yang berjatuhan justru mengurungkan niat Harri untuk melanjutkan langkahnya. Sedetik kemudian, sosok adik kecil dengan ciri khas rambut ikalnya yang ikut bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti langkah kakinya berlari itu sudah berada di hadapannya.
“Aa Harri!”
Harri mengangkat salah satu alis. “Kulan kasep.” Mata Harri tak mau diam, terus mengikuti pergerakkan adiknya melangkah.
“Aa, tolong ambilin gelas.” Aarash menunjuk pada sebuah lemari atas persis di belakang laki-laki yang masih asyik berdiri. “Aarash mau minum tapi tangan Aarash nggak nyampe!” Bibir adik kecil itu mengerucut, merasa kesal sebab tak dapat meraih gelas itu sendiri.
Harri spontan menggigit pipi dalam dengan mata yang memejam. Sesekali telapak tangan laki-laki itu menutupi wajahnya, kemudian bergerak mengacak-acak rambutnya secara asal. Anjing! Lucu ginilah adik aing teh! Bukannya bergegas meraih gelas itu dan menyerahkannya, namun sepertinya Harri nampak tak bisa berkutik atas aksi adiknya yang menggemaskan.
“Aa, kenapa malah merem?” heran Aarash. Laki-laki kecil yang berumur sembilan tahun itu menyimpan mainannya di bawah—di pinggir kakinya. Setelahnya, kaki Aarash tampak tak mau diam. Terus berjinjit, mencoba berusaha meraih gelas itu walaupun aksinya harus terbuang sia-sia.
Harri melirik sekilas, lalu membuka pintu lemari itu secara sengaja. “Mau gelas ini bukan?” Diraihlah salah satu gelas yang berjejer rapi dengan sembarang. Harri mengangkat gelas tersebut kemudian dibalas anggukkan oleh si kecil.
“Iya!” Mendengar jawaban antusias itu, rasa jahilnya tiba-tiba saja datang. Harri kembali menyimpan gelas tersebut di tempat semula. Spontan aksi menjengkelkan itu telah sukses membuat Aarash berkacak pinggang sembari raut wajah dipenuhi tanda tanya.
“Kenapa malah disimpen lagi?” Padahal tangan Aarash sudah menengadah, sudah siap meraih gelas yang akan diserahkan kakak sulung kepadanya.
Harri berlutut, lalu membawa salah satu jarinya menunjuk pipi sebelah kanan. “Cium Aa dulu, baru Aa bawain gelasnya,” ucap Harri, tak henti menepuk jemari telunjuknya di atas permukaan pipi kanan.
Cup!
Senyum Harri melebar tatkala mendapatkan sebuah kecupan yang diberikan adiknya. Maka, sesuai ucapannya beberapa detik lalu, Harri kini telah beranjak untuk kembali meraih gelas tersebut untuk diberikan kepada Aarash.
“Pipi kiri Aa nya belum.” Harri dengan gesit menyembunyikan gelas yang akan diraih oleh Aarash. Laki-laki itu menyodorkan pipi kirinya, lalu benar saja hanya dalam hitungan beberapa detik sebuah kecupan kembali dilayangkan oleh Aarash untuknya.
“Mangga ieu bageur.”
Belum genap sepuluh detik Harri menyerahkan gelas plastik itu, akan tetapi Aarash telah cepat meraihnya. Mungkin si kecil takut apabila Harri akan kembali menjahilinya.
“Eh, mau ke mana?” Harri menarik ujung belakang kaos Aarash ketika melihat adiknya berancang-ancang akan meninggalkannya tanpa melontarkan sebuah kalimat terpenting. “Bilang apa dulu sama Aa?” ucap Harri.
“Makasih Aa!”
Cengkeraman pada belakang kaos Aarash kini telah terlepas, mempersilakan adiknya untuk kembali melanjutkan langkah menuju dispenser. “Sami-sami kasep,” timpal Harri sembari memberikan kecupan singkat pada puncak kepala Aarash, lalu Harri menepuk; mengelus; mengacak-acak; rambut Aarash dengan penuh rasa kasih sayang.
“Kok cuman Aarash yang dicium, kenapa Aariz nggak dicium juga?” interupsi Aariz yang baru saja menonton kejadian cukup membuat dirinya dibakar api cemburu, sebab niat ingin memanggil kembarannya yang tak kunjung kembali ke kamar, eh ia malah disuguhkan oleh pemandangan kakak sulungnya yang tengah asyik mencium kepala kembaran yang hanya beda beberapa menit dengannya. Sungguh menjengkelkan bukan?
Harri terkekeh. Laki-laki itu mengibaskan tangan seolah tengah memanggil adik bungsunya untuk segera menghampiri. Tak seperti biasanya yang terlihat dingin dan terkesan tak acuh, justru kini adiknya itu langsung mengikuti titahannya tanpa ia harus susah payah mengulanginya untuk kedua kali.
“Mana kenapa belum cium Aariz juga?” Aariz kesal sebab kakak sulungnya tak kunjung memberikan kecupan yang diminta seperti halnya Harri memberikan kecupan tersebut untuk kembarannya.
“Tadi Aarash cium pipi Aa dulu baru Aa cium kepala Aarash,” jelas Harri. Menyodorkan pipi kanannya, memberikan isyarat agar Aariz melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Aarash beberap menit lalu.
Aariz mendengkus disertai kepala yang menggeleng. “Aariz nggak mau,” sanggahnya cepat.
Mendengar jawaban penolakan dari Aariz, spontan Harri langsung berdiri. “Ya udah kalau nggak mau mah nggak apa-apa, sih, Aa nggak rugi juga,” sahut Harri dengan kedua pundak terangkat.
Emosi Aariz memuncak ketika melihat raut wajah penuh ejekan yang diperlihatkan Aarash untuknya. Harri tak tahu saja bahwa adik kecilnya itu kini sedang mati-matian menahan kalimat agar tidak menyumpahi kembarannya.
Harri melirik ke arah bawah ketika merasakan ujung kaosnya sedang ditarik seseorang. “Apa?” tanya Harri sedikit ketus.
Harri mau tak mau harus menahan teriakannya kala melihat jemari adik bungsunya bergerak pelan, seakan-akan Aariz antara terpaksa dan malu untuk menyuruhnya kembali berlutut. “Sini dulu Aariz mau bisikin sesuatu sama Aa,” kilahnya.
Harri tak menyimpan rasa curiga sehingga ketika ia dipinta untuk berlutut—menyamakan tinggi tubuhnya dengan tinggi tubuh Aariz. Laki-laki itu telah menyerahkan telinga kanannya ke hadapan mulut si kecil, sengaja agar mempermudah Aariz akan membisikkan suatu kata nantinya.
Namun, alih-alih mendengarkan kalimat yang dilontarkan Aariz, Harri justru merasakan pipi kanannya basah, pun suara kecupan setelahnya.
Apabila ditanya terkejut atau tidak, tentu saja sudah jelas terkejut. Pasalnya, di antara ketiga adiknya (Kaila, Aarash, dan Aariz) hanya si bungsu lah—Aariz—memiliki jiwa gengsi yang besar.
Jika diibaratkan sebuah lilin, mungkin saat ini ia akan meleleh dan menyatu dengan lantai di bawahnya yang kemudian akan terinjak-injak sang pemilik rumah tanpa rasa belas kasihan.
Bukan hanya Harri yang terkejut, Aarash yang sedari tadi hanya menyaksikan kejadian itu dengan satu gelas air minum di tangannya pun ikut terkejut. Bahkan parahnya, air yang seharusnya ia telan dan mengaliri tenggorokan justru membeludak keluar melewati celah-celah bibirnya yang terbuka.
“Mana cepet cium kepala Aariz!” ketus Aariz dengan rona merah yang sudah menghiasi kedua pipinya. Kaki si kecil menghentak, berusaha menyadarkan kakak sulungnya yang terlihat sudah terbawa jauh oleh segala pikiran dalam isi kepala.
Bukan Harri namanya jika memberikan keinginan si kecil dengan mudahnya. Laki-laki itu kembali menyodorkan pipi lain yang belum dikecup oleh adiknya. “Satu lagi belum, nanti pipi kiri Aa sirik. Sirik kayak Aariz liat Aa nyium Aarash,” ejek Harri.
Jika bukan karena Aarash, mungkin Aariz tak akan pernah mau mengabulkan keinginan kakaknya yang tak bosan selalu menjahilinya.
Cup!
Harri bangga. Entah pergi ke mana ego si bungsu saat ini, sebab Harri teramat senang diberikan kecupan oleh kedua adiknya yang sangat sulit ia pinta apabila bukan dalam keadaan seperti sekarang ini.
Harri mengulas senyuman. Tangan laki-laki itu terulur untuk meraih kepala Aariz dan segera memberikan kecupan hangat pada pundak kepala adiknya itu.
Aariz senangnya bukan main setelah merasakan kepalanya telah dikecup kakaknya. Terlampau senang, bahkan ia sampai menjulurkan lidah ke arah Aarash yang kini terlihat tak terima melihat adegan itu.
Aarash tahu betul raut wajah itu. Raut wajah kemenangan yang dihiasi ledekan di dalamnya. Aarash tahu itu.
Maka, Aarash dengan cepat menyimpan gelas. Kakinya ia bawa untuk menghampiri kedua orang itu yang masih berdiam di tempatnya.
“Aa, Aarash mau lagi dicium Aa yang lama!”
Tubuh Harri sempoyongan ketika merasakan tangannya ditarik begitu saja cukup bertenaga.
“Aariz juga mau lagi, Aa jangan cium Aarash!”
Tangan kanan ditarik Aarash, lalu tangan kiri ditarik Aariz. Tubuh Harri bergerak ke kanan dan ke kiri setiap detiknya berlalu.
“Ini Aa Aarash!”
“Ini Aa Aariz!” sahut Aariz tak mau kalah.
Sementara Harri yang berada di tengah-tengah situasi saat ini hanya bisa memejamkan mata dan berusaha menulikan pendengarannya yang sukses dibuat pegang oleh kedua adiknya.
“Udah, udah!” Harri melepaskan cengkeraman dari tangan kedua adiknya.
“Aarash mau main sama Aa,” ucap Aarash menatap Harri sembari memperlihatkan sorot mata penuh harap.
Aariz menggeleng ribut. “Jangan sama Aarash, Aa mainnya sama Aariz aja!” balas Aariz, berusaha meraih kembali tangan Harri namun gagal, sebab Harri lebih dulu melangkah mundur.
“Lepasin dulu!” Harri melepaskan kedua tangan si kembar yang sedari tadi menarik dirinya ke arah yang berlawanan. “Iya, iya! Nanti Aa main sama kalian berdua,” tenang Harri, tatapannya bergerak mengelilingi tempat yang tengah ia pihak. “Tapi, boong. Kabuuuur!” Harri berlari setelah mengetahui jalan pintas mana yang akan ia lewati agar terbebas dari si kembar yang sedang merebutkan dirinya.
“AA!” teriak Aarash dan Aariz kompak melihat kakak sulungnya meninggalkan keduanya di dapur.
Apabila sudah begini, kabur menjadi salah satu alasan terbaik untuk terbebas dari kedua adiknya. Lelah rasanya ketika tubuhnya hanya satu, namun si kembar tak mau saling mengalah untuk mengajaknya main ini dan itu. Padahal setelah dipikir-pikir main bersama adalah pilihan yang terbaik. Bukannya yang satu minta main robot-robotan dan satu lagi minta main bola. Ingat, dirinya bukan amoeba yang bisa membelah diri begitu saja!
Kolase Asmara Universe
by NAAMER1CAN0