SAMBUNGAN TELEPON
Peluh keringat menghiasi dahi Jaya selaras dengan lengan kaos terus ditarik menuju pundak. Bulir-bulir tetesan air asin itu berjatuhan, menyebabkan kondisi di beberapa bagian kaos menjadi basah. Ke mana perginya angin sampai-sampai Jaya tak bisa merasakan sedikit pun udara sejuk untuk menghilangkan rasa gerah?
“De, ambilin wadah satu lagi buat nampung oli gardan. Nanti selesai ganti oli mesin, Dede langsung ganti oli gardannya.”
Jaya beringsut, berlari demi membawakan wadah baru sesuai permintaan Papa Jajang. Keringat yang sedari tadi terus menyombongkan diri tak lain dan tak bukan salah satunya karena kegiatan Jaya yang terus-menerus berlari membawa barang ini dan barang itu. Sialnya, seolah tengah dipermainkan, jarak barang satu dengan barang lainnya sangat berjauhan.
Dengan napas masih terengah-engah, Jaya mulai melepaskan baut. Entah karena fokusnya terpecah belah atau kurang hati-hati, oli mesin meleber keluar dan mengotori lantai. Jaya memaki dirinya saat sadar kalau wadah untuk menampung oli bekas tak disimpan persis di bawahnya.
Melihat oli mesin tak lagi menetes, Jaya segera meraih corong untuk mengganti dengan oli mesin yang baru. Setelah selesai, Jaya singkirkan wadah terisi oli bekas menuju tempat lebih aman agar tak tersenggol dan tumpah—dan membuat Jaya menambah pekerjaan baru.
Jaya merasa sangat sibuk ketika sedang memperbaiki motor, ponsel dalam kantongnya terus berbunyi. Hingga akhirnya Jaya mengalah untuk memastikan siapa yang sedari tadi telah meneleponnya, setelah membaca sebuah nama pada lockscreen ponsel, Jaya hanya bisa mengerutkan dahi sembari membalas pesan itu.
Jaya memasukkan kembali ponsel, dan mengelap tumpahan oli mesin telaten. “Kata Dede, sih, ada kemungkinan pelampung bensinnya yang bermasalah, Pa,” ucap Jaya menduga-duga. Sebab, dua hari kemarin ketika Jaya menggunakan motor Teh Ivanka, fuel meter-nya masih aman.
“Belum tau, masih Papa cari penyebabnya.” Papa Jajang menjawab tanpa mengalihkan pandangan.
“Kayaknya bukan dari aki atau speedometer-nya, Pa. Soalnya tadi waktu Dede pake, speedometer-nya masih jalan normal. Teteh juga bilang di grup speedometer-nya jalan.”
Papa Jajang mengangguk. “Iya, bukan speedometer-nya yang bermasalah.”
Jaya bangkit, membersihkan tangan dengan sisa kain lap lainnya yang masih baru. Jaya mencoba membuka tangki bensin. Kedua mata Jaya menyipit, memperhatikan bagian dalam tangki yang terhalang genangan bensin. “Tapi kalau karena tangki bensinnya yang penyok mah kayaknya nggak, ya, Pa. Soalnya Dede liat asa masih aman-aman aja.”
Papa Jajang tak merespons ucapan Jaya. Sang kepala keluarga sibuk melempaskan pelampung bensin. Sedang Jaya bergantian memperhatikan aktivitas Papa Jajang dan menatap sekitar.
Papa Jajang melepaskan soket kabel, lalu menghubungkan kabel dengan pelampung bensin. Papa Jajang melirik fuel meter yang tidak memperlihatkan tanda-tanda bergerak sedikit pun. Maka, setelah itu, Papa Jajang bergegas melepaskan pelampung bensin dan memeriksa dengan teliti.
Helaan napas yang terdengar sontak membuat Jaya mengalihkan perhatian pada Papa Jajang. Selepas menyadari Papa Jajang seakan sedang mencari sesuatu, dengan cepat Jaya menyerahkan avometer. Dugaan Jaya benar, alat itu langsung diraih Papa Jajang dan langsung sibuk mengecek kondisi kabel menggunakan avometer bersamaan dengan pelampung dinaik-turunkan.
“Bener kata Dede, pelampung bensinnya yang harus diganti.”
Jaya melongok di balik bahu Papa Jajang. “Mau Dede beliin aja sekarang nggak?” tawar Jaya.
“Udah tutup, toko yang biasa bukanya cuman sampe jam tujuh malem,” kata Papa Jajang seraya melirik kondisi langit makin menggelap. Papa Jajang sudah hafal dengan jam operasi toko tersebut, sebab selain toko itu menjadi langganannya, Papa Jajang pun kenal dengan sang pemilik toko.
“Terus, kalau besok Teteh mau pergi keluar gimana, Pa?”
“Bisa pake motor Papa dulu, atau pake mobil sekalian mumpung besok Mama sama Papa libur.” Jawaban penuh keyakinan dari Papa Jajang langsung membuat Jaya mengiakan.
Sejujurnya Jaya kurang menyukai pekerjaan yang ditunda-tunda, sengaja diberhentikan sebentar lalu kembali dilanjutkan pada keesokan harinya. Menurutnya, pekerjaan yang dilakukan setengah-setengah nantinya akan kurang maksimal. Namun, mau bagaimana lagi? Toh, itu semua atas perintah dari Papa Jajang sendiri untuk dilanjutkan di esok hari.
“Pa! Sekalian tolong benerin remnya, soalnya setiap Teteh rem suka ada bunyinya!” teriak Teh Ivanka dari dalam rumah.
Mendapatkan tatapan dari Papa Jajang tanpa bersuara, Jaya pun paham. Melalui tatapan itu, Papa Jajang seolah-olah sedang berbicara dan memberinya komando untuk melaksanakan keluhan dari sang kakak. Lantas, tanpa berlama-lama, Jaya langsung mengabulkan permintaan Teh Ivanka saat itu juga.
Bunyi suara ketika melakukan pengereman, ditimbulkan karena keadaan kampas rem yang kotor. Sehingga, Jaya mau tak mau perlu membongkarnya. Pada rem bagian ban depan, Jaya tak perlu sampai membongkarnya karena kampas rem berada di samping ban. Sedangkan untuk rem bagian belakang ban, Jaya perlu membongkarnya—melepaskan knalpot sampai ban, karena kampas rem berada di tengah-tengah.
Baik Jaya maupun Papa Jajang memiliki kesibukannya masing-masing. Jaya sampai melupakan pekerjaan sebelumnya yang belum sama sekali melanjutkan aktivitas mengganti oli gardan. Seharusnya, tadi setelah mengganti oli mesin, Jaya langsung mengganti oli gardan. Namun, Jaya malah dibuat salah fokus dan berakhir mengabulkan permintaan Teh Ivanka untuk membenarkan rem motornya yang berisik.
Di tengah-tengah sedang fokus membenarkan rem, telepon yang berada di saku bokser Jaya kembali berdering. Ah, janjinya. Jaya tak langsung mengangkat, melainkan ia perlu buru-buru memasangkan kembali komponen motor terlebih dahulu yang telah ia bongkar. Jaya takut komponen-komponen itu nantinya akan berceceran dan berakhir menambah pekerjaan baru.
Merasa ponselnya masih berdering, Jaya langsung berdiri dan merogoh benda pipih itu. Takut kalau sambungan teleponnya terlanjur mati. “Pa, bentar ada telepon, Dede angkat dulu.” Jaya memamerkan layar ponselnya, namun Papa Jajang tak melirik, dan membalas ucapan Jaya dengan berdeham kecil.
Jaya menjauhi Papa Jajang, berpindah ke tempat agak sepi agar berisik dari pekerjaan sang kepala keluarga tak mengganggu. “Halo, Syifa? Kenapa?” Jaya kebingungan saat sapaan darinya tak dibalas dari seberang sana. Jaya menarik telepon, mengintip ingin memastikan kalau telepon itu masih tersambung.
“Maaf baru bisa ngangkat sekarang. Kenapa?”
Jaya menyandarkan pundak pada tiang tembok rumah yang menghubungkan atap dan teras. “Halo?” Panggil Jaya untuk kedua kalinya. Jaya bahkan sudah merelakan fakta kalau ponselnya sudah kotor. Di layar ponselnya tercetak bekas jejak debu, oli telah mengering, juga kotoran-kotoran lain berasalkan dari komponen motor.
Ketika baru saja telepon itu akan dimatikan, sebuah suara akhirnya membalas. Namun, alih-alih mendengar suara syifa yang lemah lembut, telinga Jaya justru mendengar suara laki-laki yang lebih berat dan terkesan seperti bapak-bapak.
“Halo, ini dengan kakak kelasnya Syifa?”
Mata Jaya menyipit kebingungan. Jaya sampai memastikan kembali bahwa sambungan telepon ini berasalkan dari telepon Syifa melalui fitur Instagram. “Iya? Ini dengan siapa, ya, maaf?” jawab Jaya ragu-ragu.
“Ini dengan Ayahnya Syifa.”
Jaya spontan memelotot, mulutnya menganga seolah tak percaya. Kemudian ia merasa kalau saat ini juga waktu telah berhenti, menyisakan detak jantung bertalu-talu lebih cepat dari biasanya. Lidahnya terasa kelu. Kata-katanya tertahan di tenggorokan susah untuk diucapkan.
Jaya meremas dada, berusaha mengontrol detakan di dalam sana. “Kenalin, Pak, sebelumnya saya Jaya.” Jaya memperkenalkan diri, walau jauh di dalam sana ia masih bertanya-tanya dan tak menemukan jawaban satu pun tentang alasan mengapa Ayahnya Syifa tiba-tiba meneleponnya.
“Salam kenal juga, ya, Jaya. Ini Ayahnya Syifa, Ayah Isal. Tadi siang katanya kamu mampir ke rumah terus bantu benerin semprotan toilet yang rusak. Maaf, ya, niatnya mampir malah jadi harus bantu benerin kerusakan yang ada di rumah kami.”
Jaya menggeleng cepat. Saking cepatnya Kepala Jaya sampai terbentur tembok. Jaya mengaduh pelan, mengusap-ngusap bekas benturan guna menyamarkan rasa sakit. “Nggak apa-apa, Pak. Malah Jaya yang harusnya minta maaf karena lancang nyentuh yang ada di rumah Bapak tanpa izin dulu. Tadi kebetulan Jaya ikut mampir ke rumah niatnya mau istirahat sebentar karena kebetulan cuacanya lagi panas banget.”
Telinga Jaya mendengar seseorang di seberang sana sedang terkekeh-kekeh. Entah karena suara benturan tadi terdengar sampai sana, atau karena jawaban darinya yang menyiratkan ketakutan. Entahlah, Jaya sendiri tak tahu.
“Nggak apa-apa, Jaya, Bapak jadinya merasa diuntungkan soalnya jadi nggak perlu manggil tukang sekaligus benerin semprotannya, hehehe.”
Jaya ikut menimpali dengan tawa meski terdengar canggung.
“Kalau misalnya di rumah Ayah Syifa lagi ada perabotan rumah yang rusak, bisa hubungin Jaya aja, Pak. Jaya siap bantu benerin, daripada harus keluar uang bayar tukang, hehehe.” Tawa pelan itu mengisyaratkan betapa gugupnya Jaya saat ini.
“Kakak kelasnya Syifa memang bisa?”
Kakak kelasnya Syifa, katanya. Jaya menggelengkan kepala guna menghalau tindakan yang hampir dibuat salah fokus.
Kalau nggak bisa, Jaya nggak akan sampai rela nawarin, Pak. Jaya menggelengkan kepala, menepis keinginan untuk menjawab pertanyaan dengan kalimat itu. Jaya takut kalau sewaktu-waktu ia keceplosan mengutarakan kalimat yang terlintas di kepala. “Kebetulan kalau tentang perabotan di rumah Jaya bisa benerin, tapi kalau kerusakan elektronik—kayak kerusakan televisi, laptop, komputer, Jaya belum terlalu bisa karena masih harus banyak latihan, Pak.”
“Keren ….” Pujian itu menimbulkan senyuman pada wajah Jaya. Jaya memandang ke arah kakinya yang sedang digerak-gerakan—seakan sedang menggambar di atas lantai secara sembarang. “Oh iya, tadi juga anak saya yang bungsu bilang kalau Jaya antar dia ke tempat lesnya. Terima kasih lagi, ya, Jaya.”
“Iya, Pak, sama-sama. Itu juga karena kebetulan Jaya mau pulang, jadi sekalian aja nganterin Ary ke tempat les.” Cengiran di akhir kalimatnya kentara kalau Jaya sedang salah tingkah. Gelagatnya tak henti bergerak-gerak seperti cacing sedang kepanasan.
“Rumah Jaya di mana?”
“Di Bojongsoang, Pak,” balas Jaya cepat, kemudian berdeham untuk mengurangi rasa bersemangat dalam menjawab pertanyaan dari Ayah Syifa.
“Maaf jadi ngerepotin berulang kali, ya.”
“Hehehe, nggak apa-apa, Pak. Nanti kalau di rumah ada kerusakan dan butuh bantuan, Jaya siap buat bantuin.” Jaya mengubah kakinya untuk menahan beban. “Syifa nyimpen nomor Jaya, kok, kalau Bapak sewaktu-waktu butuh bantuan Jaya.”
“Iya, makasih. Kalau gitu Bapak balikin teleponnya ke Syifa, ya, Jaya.”
“Iya, Pak.” Badan Jaya refleks menegak, seolah-olah Ayah Syifa berada di hadapannya. Bahkan, Jaya sampai ikut menundukkan kepala, mempersilakan Ayah Syifa untuk menarik diri.
Terdengar suara grasah-grusuh sebelum akhirnya ia mendengar suara yang lemah lembut, namun terasa menggebu-gebu dalam menyapanya. “Halo, Kak Jaya?”
Pundak Jaya terjatuh, melepaskan segala beban yang semula bertumpuk di sana. “Syifa, kenapa nggak bilang kalau yang mau ngomong sama Jaya itu Ayahnya Syifa.” Jaya menggaruk-garuk kepala sembari sesekali memperhatikan Papa Jajang yang sibuk mengotak-ngatik motor Teh Ivanka. Bibirnya perlan memucat.
“*Syifa juga nggak tau, Kak Jaya. Ayah Isal tadi tiba-tiba minta Syifa hubungin Kak Jaya gitu aja. Maaf, ya, Kak Jaya, Syifa langsung main telepon aja tadi. Mana spam banget lagi.*” Terdengar suara penyesalan, dan hal itu ikut membuat Jaya ikut menyesal pula.
“Nggak apa-apa. Lain kali bilang dulu, ya, biar Jaya ada persiapan buat ngobrol sama Ayah Syifanya.” Jaya menghela napas. Percakapan tadi dengan Ayah gadis itu terulang kembali di kepala, sehingga Jaya hanya bisa memohon kalau percakapan tadi bukanlah percakapan terakhir dengan beliau.
“Iya, Kak Jaya. Kak Jaya ini masih sibuk, ya?” tebak Syifa, mungkin gadis itu di seberang sana bisa mendengar berisik bunyi peralatan motor yang berasalkan dari Papa Jajang.
Jaya melirik ke arah Papa Jajang yang masih bergelut dengan motor si sulung. “Iya, kebetulan belum selesai benerin motornya. Masih ada yang mau disampein nggak Syifa?”
Bukan maksud Jaya untuk segera mengakhiri sambungan telepon itu. Hanya saja, apabila masih ada yang ingin disampaikan oleh gadis itu, Jaya akan meminta waktu sebentar untuk menyelesaikan tugasnya agar percakapan mereka tak terpotong.
“Nggak, Kak Jaya. Nggak ada lagi yang mau Syifa sampein sama Kak Jaya.”
Jaya manggut-manggut. “Yaudah kalau gitu Jaya tutup, ya, teleponnya.” Jaya medongak, memandang langit dengan secuil senyuman terlukis pada wajahnya.
“Iya. Makasih, ya, Kak Jaya.”
Ketika baru saja Jaya akan menutup sambungan telepon, Syifa dengan cepat kembali bersuara dan menggagalkan pergerakan Jaya menekan tombol merah.
“Eh, Kak Jaya, sebentar!”
Jaya kembali menempelkan ponsel pada telinganya. “Ya?”
“Semangat, ya, benerin motornya. Tadi di rumah Ayah Syifa nggak henti muji-muji Kak Jaya, tau.” Syifa terkekeh-kekeh, dari bagaimana gadis itu tertawa Jaya jadi dibuat penasaran. Pujian apa yang tak henti Ayah Syifa ucapkan sampai gadis itu tertawa menahan rasa geli?
“Syifa tutup, ya, teleponnya. Dadah, Kak Jaya!”
Belum sempat Jaya membalas, sambungan itu benar-benar telah diputuskan secara sepihak oleh Syifa. Jaya bergeming dengan kondisi mata membulat, kemudian pada detik selanjutnya mengedip-ngedip seakan tengah berusaha memberi sinyal pada otaknya agar ia tak diberikan gelagat salah tingkah untuk kesekian kalinya.
Jaya berjalan mendekati Papa Jajang dengan kondisi wajah tersenyum lebar. “Pa, Dede mau cuci motor sekarang.” Benda pipih itu sudah Jaya masukkan kembali ke dalam bokser bergambarkan kepala tengkorak.
Papa Jajang menengok. “Lah, Dede, kan, tadi lagi benerin rem. Emangnya udah selesai?”
“Udah.” Telunjuk Jaya bergerak menunjuk ban depan dan belakang secara bergantian. Papa Jajang pun mengikuti arah tunjuk dari si bungsu. Dan benar saja, pekerjaan itu telah selesai dengan kondisi seperti semula.
Merasa tak ada lagi tanda-tanda Papa jajang akan membalas, Jaya kembali berbicara. “Dede mau cuci motor. Benerin motor Tetehnya Papa lanjutin sendiri aja, ya.”
Si bungsu pergi melewati Papa Jajang begitu saja.
“Lah, Dede, itu oli satunya lagi belum diganti!” teriak Papa Jajang berharap si bungsi akan memutar badan dan kembali berjongkok—menyelesaikan aktivitas mengganti oli gardan yang belum tersentuh sama sekali. “Motor Papa nggak usah dicuci! Kemarin banget baru Dede cuci!”
Sayangnya, Jaya sama sekali tak mengindahkan kalimat dari Papa Jajang. Kini, dua motor sudah distandar dua di hadapannya. Selang air di arahkan pada masing-masing motor secara bergantian. Aliran air keluar dari selang dan membasahi setiap bagian motor.
Papa Jajang yang bisa menyaksikan aksi si bungsu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Mana ada orang yang rajin mencuci motor setiap hari? Terlebih, mana ada orang yang selalu mencuci motor pada malam hari. Dalam keadaan cuaca panas maupun hujan, si bungsu selalu bersemangat mencuci motor. Normalnya, orang-orang tidak akan mencuci motornya ketika sedang hujan.
Dan, yang lebih Papa Jajang bingungkan adalah, Papa Jajang selalu menyaksikan bagaimana raut wajah si bungsi saat mencuci motor. Si bungsu akan tersenyum lebar dengan berbagai jenis tawa keluar dari mulutnya. Papa Jajang bahkan pernah sampai terpikirkan akan mendatangkan orang pintar demi mengusir jin yang mungkin sudah memasuki tubuh anaknya.
Seperti saat ini, si bungsu sedang tertawa kegirangan sendiri di tengah-tengah kegiatan mencuci motor, seolah-olah sudah berhasil mendapatkan hadiah terbaik yang tak ternilai harganya.
Puspas Niskala Universe by NAAMER1CAN0