SEBUAH RENCANA BESAR
Berbagai suara dari semua arah mulai menghampiri, seolah suara-suara tersebut berusaha mengambil atensi miliknya untuk sekadar mengedarkan pandangan ke arah sumber suara itu. Kaki milik gadis berambut hitam sebahu itu terhenti, dengan kedua mata sesekali melirik ke tiap-tiap tempat yang sudah terisi untuk menemukan sosok tengah dicarinya.
Syifa sontak meremas tali tas yang sedang mengalung pada pundak ketika beberapa pasang mata mulai tertuju padanya. Sementara, tangan lain yang terbebas menggenggam erat-erat sebuah gelas berisikan salah satu minuman favoritnya.
Cairan di dalam gelas itu beberapa kali ikut bergerak mengikuti langkah sang empu, seakan telah menyerahkan diri sepenuhnya untuk dibawa ke mana saja.
Tak lama, senyum gadis itu mulai terlihat saat matanya berhasil menemukan lambaian dari seseorang di depan sana. Walau sesekali pandangannya harus terhalang oleh beberapa orang yang berlalu-lalang di depannya.
Dengan perasaan bahagia yang masih menggebu-gebu, lantas Syifa segera berlari untuk menghampiri arah lambaian itu berada. Akan tetapi, ketika tinggal menyisakan beberapa langkah lagi, kedua alisnya seketika menyatu saat mulai menyadari dari sekumpulan orang-orang yang sangat terasa asing untuknya.
Sial! Sepertinya gadis itu salah menghampiri orang.
Malu rasanya ketika mengingat betapa riangnya ia telah menghampiri meja itu hingga ia rela harus berlari ke meja sana. Syifa menggerutu kecil. Membalikkan tubuh untuk kembali ke tempat semula sebelum sekumpulan orang itu menyadari dirinya yang ikut terpanggil atas lambaian salah satu dari orang-orang tersebut.
Bayangkan saja, Syifa sendiri tak memiliki keberanian sebesar itu untuk sekadar datang ke kafe hanya seorang diri. Ironisnya, justru hari ini ia berada di tengah-tengah situasi sangat kikuk.
Ingatkan nanti untuk ia luapkan segala rasa emosi yang sudah memenuhi lubuk hatinya pada seseorang yang memiliki ide untuk bertemu di tempat ini.
Kala gadis itu sibuk bermonolog dengan dirinya sendiri, sebuah notifikasi sekonyong-konyong muncul dan sukses membuyarkan segala lamunan. “Nah, gini dong! Harusnya A Harri dari tadi itu kirim pesan buat Syifa!” Lagi-lagi gerutu Syifa sembari mengerucutkan bibirnya sebal.
A Harri Agung Cipaaaaa di manaaaaaa Aa sama yang lainnya udah di sini ih dari tadiii
Pasalnya, Syifa sampai berpikir bahwa kakak kelas itu tengah menjahilinya. Kalau saja pesan itu tak segera sampai, mungkin saat ini Syifa sudah berdiam di pinggir jalan—menunggu ojek online untuk pulang.
Syifa mengerutkan dahi. “Yang lainnya? Berarti, A Harri nggak sendirian?” Alih-alih mengirimkan pertanyaan itu kepada laki-laki di seberang sana, Syifa justru melontarkan pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Memang dasar! Kalau sudah begini terkadang otaknya tak berfungsi dengan baik.
Lantas, kedua jempol gadis itu mulai menari di atas layar ponsel tengah di genggamnya. “A Harri, Syifa udah di depan kasir dari tadi. A Harri di mana itu?” Tanpa sadar, Syifa mengucapkan ulang kalimat yang telah ia ketik untuk membalas pesan dari kakak kelasnya.
Sembari menunggu balasan, Syifa kembali menyeruput minuman. Ia melakukan segala kegiatan agar terlihat sibuk dan tidak menjadi tontonan dari orang-orang sekitar. Kekhawatiran itu tak berangsur lama, lantaran balasan pesan tersebut telah kembali ia terima.
A Harri Agung Tunggu, aa ke situu
Gadis itu mengangguk mengiakan selepas membaca balasan dari kakak kelasnya, walaupun Harri tak dapat melihat anggukan darinya itu.
Maka, dengan kesabaran penuh Syifa kembali memasukkan ponsel dan menunggu orang tersebut akan segera menghampirinya. Ia sudah tak tahu bagaimana untuk mendeskripsikan keadaannya saat ini. Satu gelas green tea latte tak tanggal pada genggamannya. Pintu masuk yang terus didatangi orang-orang. Bahkan, sedari ia berdiam di tempat ini, Syifa belum melihat satu pun orang yang meninggalkan tempat ini.
Seharusnya ia menikmati satu gelas minuman berwarna hijau itu dalam keadaan duduk, namun nyatanya ia justru menikmati sembari berdiri. Apabila ibunya tahu mungkin Syifa akan dicecar dengan kalimat, jangan minum sambil berdiri nggak sopan dilihatnya! Nggak boleh minum sambil berdiri nggak baik buat pencernaan! atau bahkan, minumnya sambil duduk, masa kalah sama kucing yang minumnya sambil duduk!
Kucing, katanya. Masa dirinya disamakan dengan makhluk berbulu lucu itu?
Namun, ya, Syifa sendiri tak punya pilihan lain. Apabila ia jongkok di tengah-tengah kerumunan justru Syifa lebih takut menjadi buah bibir dari orang-orang sekitar yang tak sengaja melihat.
Entah karena memang sedang kehausan, mencoba menepis kegelisahan, atau bahkan sengaja menyibukkan diri dengan terus-menerus meminum ice green tea latte itu, hingga tanpa sadar hampir menyisakan setengahnya lagi. Berbicara mengenai minuman berwarna hijau ini, Syifa benar-benar sangat menyukainya, sampai-sampai apabila dalam sehari apabila Syifa tak mengonsumsi makanan ataupun minuman green tea akan merasa lesu. Memang sehebat itu eksistensi green tea pada hidupnya.
Selama ia berdiri tepat di samping pohon buatan yang tak jauh dari kasir berada, Syifa menyadari sebuah momen yang cukup membuat dirinya melongo. Pasalnya, sedari tadi Syifa tak menemukan ada orang yang datang seorang diri. Jangankan untuk duduk dan menikmati secangkir minuman di salah satu meja yang telah disediakan, untuk Syifa melihat kedatangan orang secara sendiri pun—selama dirinya diam di sini—sama sekali tak ada.
Ketika tengah sibuk berargumentasi dengan isi pikirannya sendiri, sebuah panggilan disertai tepukkan kecil pada pundak kirinya mulai menyadari Syifa dari sebuah lamunan.
“Heh!” ucap seseorang itu sembari penuh keheranan lantaran gadis itu hanya terdiam mematung dengan kedua mata yang tidak berkedip sedikitpun.
Syifa harus mengapresiasi dirinya yang tak mudah terkejut akan hal-hal seperti ini. Bayangkan saja, apabila ia hampir kelepasan berteriak atau bahkan melemparkan gelas yang sedang ia genggam, bisa saja ia menjadi tontonan gratis dari para pengunjung kafe.
Harri bahkan kerap mengikuti arah pandang Syifa, namun setelah ditelusuri, gadis itu hanya menatap kosong ke sebuah pohon yang berada persis di sebelah pintu masuk. “Udah lama dari tadi di sini, Cip?” tanya Harri mencoba mengalihkan atensi Syifa.
Syifa menghela napas sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Bahkan minuman Syifa hampir mau abis saking udah lamanya Syifa mondar-mandir nyari A Harri!” ucap Syifa sembari mengangkat gelasnya, memamerkan minuman miliknya yang benar-benar tinggal menyisakan sedikit.
Wajah gadis itu memperlihatkan sarat kekesalan dan Harri bisa melihat raut wajah itu sendiri, tentunya.
Harri hanya menanggapi ucapan Syifa dengan tawa kecil. “Ih, ai Aa juga itu udah pesenin Cipa minuman green tea,” balas Harri.
“A Harri tau dari mana Syifa suka minuman green tea?”
“Soalnya Aa kalau ke kafe sama pacar Aa, terus pacar Aa lagi nggak mau minum kopi suka mesen green tea atau red velvet. Mana tadi teh Aa debat dulu mau pesenin Cipa green tea atau red velvet,” ucap Harri, sembari kembali mengingat beberapa saat lalu ketika dirinya sibuk berbedat dengan keempat temannya perkara minuman apa yang akan dipilih.
“Ini pesenin apa ya buat si Syifa nanti?”
“Es kopi susu aja.”
“Kalau anaknya nggak bisa minum kopi gara-gara punya sakit lambung gimana anying? Bisa-bisa maneh diamuk orang tuanya.”
“Yaudah es teh manis aja kalau gitu.”
“Anjir udah kayak di warteg aja pesennya es teh manis!”
“Udahlah kata aing maneh chat aja anaknya mau pesen apaan gitu cepet soalnya mau pesen takut ngantri.”
“Ah lama lagi, udah antara green tea atau red velvet aja. Soalnya kalau aing sama si Fara ke kafe suka pesen minuman di antara dua itu.”
“Ya udah green tea aja kata si aku, kayaknya si dia bakalan suka.”
“Jangan! Gimana kalau misalnya dia tim green tea teh kayak rumput?”
“Daripada red velvet takut kemanisan?”
“Udahlah, saran saya pesenin aja air mineral biar aman.”
“Anjir udah kayak ngunjung di rumah orang aja disuguhinnya air putih.”
“Ah, berisik bagong! Udah aing suruh si Aa-nya pilihin nanti ajalah. Maraneh pada fix belum ini pesenannya?”
Tiba-tiba saja Harri tertawa membuat Syifa yang berada di sebelah laki-laki itu terheran-heran. Bagaimana tidak, ketika kakak kelasnya itu sedang bercerita justru berakhir diam dan sibuk dengan imajinasinya sendiri.
“Terus lanjutannya gimana A Harri?”
“Akhirnya pilih green tea soalnya red velvet-nya abis. Buang-buang waktu Aa aja dalam berdebat itu mah!”
Syifa tak habis pikir dengan cerita yang baru saja didengarnya. Lagi pula, mengapa tak langsung bertanya kepadanya saja apabila kakak kelasnya itu akan memesankan minuman terlebih dahulu? Jika tahu begitu, mungkin saja saat ini Syifa tidak akan merasa kesusahan membawa gelasnya berjalan ke sana dan ke sini sejak tadi.
Laki-laki itu bersiap-siap untuk melangkah, melanjutkan perjalanan menuju ke tempatnya kembali. “Hayu, ah, Cip, takut keburu malem nanti Cipa dicariin orang tua Cipa. Lagian yang lainnya udah pada nungguin juga,” tukas Harri saat melihat jarum jam akan menunjukkan pukul setengah delapan.
“Yang lainnya?” tanya Syifa, “yang lainnya siapa, A? Jadi bukan ketemuan sama Syifa aja?” Berbeda dengan sebelumnya yang hanya melontarkanpertanyaan itu pada dirinya sendiri, sekarang Syifa sudah dapat melayangkan pertanyaan itu langsung kepada kakak kelasnya.
Syifa mendengkus kesal saat pertanyaan darinya itu tak digubris sama sekali oleh Harri. Laki-laki itu justru saat ini sudah berjalan beberapa langkah mendahuluinya.
Masih dengan berbagai pertanyaan mengenai mengapa kakak kelasnya itu mengajak bertemu di kafe ini, lalu apa saja yang sudah disiapkan kakak kelasnya, bahkan hingga siapa saja yang diajak kakak kelas itu masih terus-menerus menghantui pikiran Syifa.
Satu yang baru saja diperhatikan oleh dirinya yaitu sedari tadi ketika melewati beberapa meja, kedua telinganya tak henti mendengar sebuah sapaan yang dilayangkan untuk laki-laki di sampingnya. Sehingga, Syifa secara tidak sadar bergumam, “banyak banget yang kenal sama A Harri.” Namun, setelah dipikir-pikir, jangankan di luar sekolah, di dalam sekolah pun kakak kelasnya itu memang cukup dikenal di berbagai kalangan. Tak heran pula, sebab laki-laki itu memiliki kepribadian yang cukup telaten dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Syifa sedikit iri dengan jiwa sosialisasi kakak kelas itu, lantaran sangat berbanding terbalik dengan dirinya.
Syifa refleks menarik ujung kaos Harri kala kedua matanya menangkap jelas kelima orang laki-laki yang tengah tertawa karena salah satu dari mereka melemparkan sebuah lelucon yang terdengar samar di telinganya. “A Harri ….” Suara gadis itu sangat pelan. Bahkan, masih terkalahkan oleh meja-meja sebelah yang sedang bercengkerama dengan teman sebayanya.
“Sumpah si aku sampe mau bilang ‘Aksaaa awas nanti si kamu ketabrak orang yang mau mundurin motor!’ eh, taunya si aku malah telat!”
“Si Aksa beneran ketabrak?”
“Beneran! Si Aksa langsung nyungsep itu si aku malu banget, mana lagi rame di sananya!”
“Sumpah aing kayaknya nggak bakalan dateng ke kafe ini lagi lah, Anjing.”
Langkah Harri sontak terhenti dan menolehkan wajah ke belakang untuk melihat mengapa Syifa telah menarik pakaiannya. “Kenapa, Cip?” tanya Harri memastikan, karena demi apa pun ia tak bisa mendengar ucapan dari arah belakangnya.
“Kenapa ada temen-temen A Harri juga?” tanya Syifa, menunjuk ke arah meja itu dan menatapnya sekilas. Raut gadis itu tak bisa disembunyikan. Selain tak pandai berakting, dirinya pun kurang mahir untuk menutupi suatu hal.
Harri tak langsung menjawab pertanyaan dari yang lebih muda. Laki-laki itu justru meraih pundak Syifa dan menariknya kecil, seolah sedang berusaha membuat gadis itu melangkahkan kaki untuk segera mengikuti langkah miliknya.
“Nanti Aa jelasin di sana, sekarang Cipa ikut dulu sama Aa.”
Jadi, 'yang lain' yang diomongin A Harri di-chat tadi itu ternyata temen-temennya A Harri, ya ....
Sebenarnya masih banyak hal yang harus ia tanyakan kepada Harri, namun setelah langkahnya kini telah berada persis di meja itu, semua pertanyaan yang semula berlalu-lalang dalam pikirannya hilang dalam sekejap. Syifa mematung untuk beberapa saat. Kedua matanya tak berhenti mengedip. Hingga sebuah suara mulai menginterupsinya dan menyadarkan dirinya dalam sebuah lamunan.
“Duduk, Dek, sini!” ucap salah satu laki-laki di sana sembari menepuk kursi kosong di sebelahnya. “Jangan berdiri terus nanti pegel.”
Jagat menyingkirkan gelas kopi miliknya, takut menjadi alasan gadis itu enggan untuk duduk. “Sini duduk, Syifa.” Jagat bangkit, berpindah ke tempat Rakha dan mempersilakan Syifa duduk di samping Harri. Sebab, hanya Harri satu-satunya yang dikenal adik kelas itu.
Kemudian tak lama berselang dari situ, suara nyaring dari kursi yang ditarik seketika mengheningkan tengah keramaian di meja sana. Pandangan mereka semua saling tertuju kepada Syifa yang sibuk mendudukan diri.
Harri yang melihat Syifa sudah nyaman dengan duduknya lantas bersuara, “oke, Aa mau kenalin dulu temen-temen Aa di sini. Itu yang tadi ngasih duduk ke Syifa namanya Jagat, di pinggirnya Rakha, kita bertiga satu kelas sama Ajay. Kalau kita mah kayaknya Syifa udah tau soalnya udah beberapa kali sempet pernah ketemu juga,” ucap Harri sembari diam-diam dibenarkan oleh Syifa, karena tak jarang Syifa kerap melihat Kak Jaya bersama ketiga orang tersebut. “Nah, kalau yang dua itu namanya Aksa sama Yolan, mereka anak IPS. Takutnya Syifa bertanya-tanya dua orang itu siapa, sedangkan biasanya Syifa sering liat cuman kita berempat aja.” Harri menjelaskan satu per satu dari mereka, walaupun sebenarnya Syifa sendiri sudah mengenali beberapa kakak kelasnya—kecuali Aksara dan Yolan yang notaben masih terasa asing.
Syifa tersenyum dan mengangguk. “Salam kenal, ya, Kak, aku Syifa kelas sepuluh IPA tujuh!”
Beruntung, perkenalan itu disambut baik oleh keempat orang di seberang Syifa. Sehingga, Syifa tak perlu merasa khawatir apabila di atas meja itu terasa canggung akan kehadirannya.
“Terus, alasan si kamu ngajak kita semua sampe Syifa ke sini apa?” tanya Yolan penasaran, sebab sedari tadi Yolan dilanda pertanyaan yang tak kunjung hilang dalam kepalanya.
Harri menepuk jidat. “Oh iya, aing lupa.” Sepersekian detik setelahnya, Harri menarik kursi. Kedua tangannya melambai seolah tengah memberikan isyarat kepada keempat teman di seberang untuk lebih mendekatkan tubuh mereka.
Tentu, Syifa yang berada di samping Harri ikut mencondongkan tubuh ke samping—menyodorkan telinga kanan dan membukanya lebar-lebar agar tak ada sepatah kalimat yang tak bisa ia dengar.
“Jadi, gini, daks. Syifa ini suka sama si Ajay—”
“Aa, ih!” potong Syifa cepat, sembari melangkan cubitan asal pada lengan kakak kelas di sampingnya. Jelas, Harri yang tak mengira akan dilayangkan cubitan seperti itu lantas mengaduh.
Harri mengelus-elus lengan cepat, menghilangkan rasa sakit yang kemudian berubah menjadi panas dari cubitan Syifa. “Sakit ai, Syifa! Kan, Aa teh belum jelasin sampe inti kenapa udah main nyubit-nyubit aja!” Sementara keempat orang di sana hanya melayangkan kekehan dari pemandangan yang baru saja dilihatnya.
“Syifa beneran suka sama temen si aku Jaya?”
Dengan kepala tertunduk—malu-malu—Syifa akhirnya mengangguk mengiakan ucapan tersebut.
Aksara menggelengkan kepala cepat. “Anjir, aing masih nggak nyangka modelan si Ajay ada yang sukain.”
“Parah anjir maneh, kalau si Ajay denger pasti nggak mau bantuin kerusakan di kosan maneh lagi, Sa.”
“Nggak gitu maksudnya, Mang Rakuy!”
Melihat kericuhan yang lagi-lagi mereka perdebatkan, Jagat hanya bisa menghela napas untuk kesekian kali. “Lanjutin, Ri, jadi gimana?” tanya Jagat, mencoba membalikan konsentrasi mereka pada topik awal.
“Sekarang Aa mau nanya dulu sama Syifa.” Harri memiringkan sedikit tubuhnya ke samping. “Syifa beneran suka dan mau sama si Ajay, kan?”
Syifa mengangguk semangat. “Iya, Syifa beneran suka sama Kak Jaya!”
Jawaban lugu dari Syifa sukses membuat Aksara, Rakha, dan Yolan yang tengah menyeruput kopi tersedak dengan bersamaan. Mereka serempak memukul dada untuk menghilangkan batuk yang sudah membuat fokus Harri, Jagat, dan Syifa terpecah.
Harri memilih tak menghiraukan gangguan tersebut. “Kalau gitu, Syifa harus ikutin kata-kata Aa, ya, kalau mau berjalan lancar.”
Syifa menoleh, sedetik kemudian kedua alisnya menyatu dengan kerutan pada dahi gadis itu sudah mulai samar-samar terlihat.
“Syifa mulai pulang dari sini, kurangin interaksi sama Ajay. Syifa harus bisa main tarik-ulur. Cowok biasanya bakalan ngerasa kehilangan kalau kebiasaan sebelumnya mulai berubah. Syifa jangan dulu chat Jaya duluan, di sekolah kalau ketemu Jaya jangan disapa. Pokoknya tarik-ulur aja,” jelas Harri dengan khusyuk. “Kalau kemarin Syifa yang narik si Ajay, sekarang giliran Syifa yang ngulur. Biarin si Ajay yang narik Syifa.”
Syifa terdiam untuk beberapa saat. Perkataan dari Harri itu selalu ia ulang dalam kepala.
“Tapi kalau misalnya gagal?” Syifa bertanya balik, “soalnya Kak Jaya nggak pernah chat Syifa duluan. Jadi, kalau misalnya ternyata saran dari A Harri gagal gimana?”
Jagat yang sedari tadi hanya menyimak obrolan itu, perlahan menyandarkan punggung dan menggeser gelas kopi yang hampir habis. “Harri bener, saya dulu ada di posisi itu. Tarik ulur emang ampuh. Dicoba dulu, Syifa, kalau nggak dicoba kita nggak akan tau hasilnya kayak gimana.” Jagat mengulas sebuah senyuman di akhir kalimat dengan maksud tengah memberikan semangat untuk adik kelas itu.
Yolan mengangguk. “Iya si aku juga mengakui itu, kadang si aku juga suka pake trik tarik-ulur buat tau sejauh mana doi interest sama kita.”
Syifa kembali diam. Meskipun terbesit ada perasaan tak ingin melakukan hal itu. Namun sepertinya untuk mengikuti saran dari kakak kelasnya itu, tak masalah. Terlebih beberapa di antara mereka sudah memberikan pengalaman dan semangat untuk dirinya.
“Kalau misalnya si Ajay nge-chat Syifa kabarin aja Aa, nanti Aa bantu.” Syifa masih setia diam. “Percaya sama Aa, bakalan berhasil. Cipa percaya nggak sama Aa sama temen-temen Aa?” tanya Harri masih tetap berusaha meyakinkan Syifa atas rencana yang selama ini sudah ia susun sebaik mungkin.
Masih dengan perasaan ragu, akhirnya Syifa menganggukkan kepala. Ia benar-benar berharap semoga rencana yang sudah disusun kakak kelasnya itu akan berjalan lancar.
“Semangat, Syifa!”
“Semangat, Syifa!”
Syifa tak tahu harus berekspresi apa setelah mendengar respons positif dari kelima kakak kelasnya. Bahkan, untuk terlintas pikiran meminta bantuan pada kakak kelas di sebelahnya saja sebenarnya tak pernah ada dalam kepala Syifa. Namun, siapa sangka justru bukan hanya satu orang yang membantunya, melainkan lima orang sekaligus.
Puspas Niskala Universe
by NAAMER1CAN0