SEBUAH TANGIS MEMILUKAN


Malam ini hanya ada suara dentingan jarum jam yang menemani dirinya di tengah-tengah kesunyian sedang dirasakannya. Lelaki berzodiak gemini menegakkan tubuhnya dengan punggung yang sahaja ia sandarkan pada headboard ranjang di belakangnya. Kelima jarinya mengetuk pelan di atas paha miliknya yang terjulur lurus ke depan sembari menunggu sebuah panggilan darinya akan diangkat oleh seseorang di seberang sana.

Seharusnya ia saat ini berada di atas meja dengan mulut yang dipenuhi oleh berbagai hidangan makan malamnya. Namun ketika ia hendak bersiap-siap pergi, tiba-tiba saja sebuah pesan tunggal sampai pada ponselnya. Sehingga mau tak mau ia lebih memilih untuk urung pergi ketimbang mengetahui bahwasannya kedua adik bungsunya sedang menangis tersendu-sendu.

Sudah hampir satu menit lamanya ia menunggu dengan tatapan kosong tepat ke depan layar televisi yang hanya menampilkan gerak-gerik tanpa bersuara. Hingga tepat di menit satu tiga puluh tiga detik panggilan itu terputus sebab sang empu tak kunjung jua mengangkatnya. Helaan napas ia loloskan begitu saja. Saat hendak beranjak dari atas ranjangnya tiba-tiba sebuah panggilan riang melantun pada ponsel miliknya, tanpa berpikir panjang Harri segera mengangkatnya sembari kembali menyandarkan punggungnya.

“Halo, Ila. Si kembar mana?”

Alih-alih menjawab pertanyaan darinya, seseorang di sana justru menyerukan namanya dengan sebuah isakkan kecil. Lantas Harri segera menegakkan tubuhnya dan membawa kedua tungkainya untuk berjalan asal di tempat sedang ia singgahi.

Aa….”

Harri tersenyum dan menghela napasnya terlebih dahulu sebelum menjawab panggilan dari seseorang di seberang sana. “Ini Aarash atau Aariz?” tanya Harri, matanya memejam ketika otaknya berusaha bekerja untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja ia loloskan.

Ini Aarash,” jawab Aarash seadanya.

“Aariz mana?”

Aarash menggelengkan kepalanya kendatipun Harri tak bisa melihat jawaban dari pergerakan adiknya di tengah-tengah suara isakkan yang masih terdengar lirih di telinganya.

Ada di sini.” Si kecil melambaikan tangannya, walaupun kenyataannya hanya kembarannya—Aarash—yang bisa melihat pergerakan darinya.

“Udah jangan nangis lagi, ya, kasep. Aa nggak apa-apa, da, Aa juga nggak nangis.” Harri melebarkan senyuman tatkala mengucapkan kalimat tersebut. Ada rasa iba di dalamnya saat ia harus mengetahui bahwa kedua adiknya susah payah mengeluarkan air mata karena dirinya.

Aariz nggak nangis, Aarash aja yang nangis mah.”

Aku nangis soalnya kasian liat Aa Harri kalah!

Oh, kok sekarang nggak nangis lagi?

Kamu diem jangan ganggu aku lagi ngomong sama Aa Harri, Aa aku!

A Harri juga Aa aku, bukan cuman Aa kamu aja.”

Pertikaian demi pertikaian asyik diserukan oleh kedua orang di seberang sana hingga melupakan bahwa dirinya masih berada di sini. Harri kini sibuk membuka lebar-lebar kedua telinganya untuk mendengarkan semua runtutan klausa pertikaian yang sepertinya tak kunjung reda. Ternyata menyatukan kedua adiknya memang sangat sulit saat menyadari bahwa sikap keduanya yang saling bertolak belakang.

“Udah, udah, jangan ribut. Kan, kemarin Aa nitip pesen jangan ribut kalau Aa lagi nggak ada di rumah. Aarash sama Aariz lupa?”

Maaf,” timpal keduanya dengan kompak sembari mengangguk, membuat surai mereka ikut terhempas akibat pergerakan itu.

Tapi, Aa kalah. Aa nggak menang…,” Seseorang di sana nampaknya menjeda ucapannya sejenak, sebelum akhirnya beberapa sekon kemudian si kecil kembali melanjutkan ucapannya. “Padahal Aa sebelumnya udah semangat buat lomba, terus setiap hari suka latihan biar menang.” Setelah itu si kecil kembali terisak sedang satu orang lainnya hanya berdecak melihat kembarannya kembali menangis.

Harri terkekeh mendengar ucapan Aarash dengan lantang mengatakan bahwa ia sedang bersedih atas kekalahan yang baru saja diterima oleh rekan timnya. Ia melirik jam dinding sekilas sebelum akhirnya ia membawa kedua tungkainya untuk berhenti di depan jendela, memperlihatkan pencakar langit di tengah keadaan gelap gelita yang hanya ditemani oleh rembulan dan gemerlap bintang di sekitarnya.

Kasep, bageur, dengerin Aa, ya, sebentar.” Harri memindahkan benda pipih itu pada telinga sebelah kirinya, sedangkan tangan kanannya sudah berancang-ancang membuka pintu balkon agar dapat memandang lebih jelas pemandangan indah kota Malang di malam hari. “Aa latihan bukan karena buat menang, tapi buat ngelatih skill Aa dalam bermain futsal.” Angin malam tanpa permisi langsung menerpa wajah tampannya saat kedua kakinya sukses menyambangi tempat itu. Matanya sontak mengedar, menghitung satu per satu bintang di atas sana dalam hatinya.

Skill itu apa?” tanya Aariz secara tiba-tiba

“Keahlian, keterampilan.”

Oh.”

Harri kembali memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kanan untuk memudahkan dalam berinteraksi dengan kedua adiknya. “Aarash sama Aariz mau liat pemandangan di sini, nggak? Di sini pemandangannya lagi bagus pisan, Aa lagi di ketinggian lantai dua puluh delapan.” Harri melirik ke arah bawahnya lalu memejamkan sejenak matanya dan menghirup dalam-dalam udara segar di kota yang terkenal dengan wisatanya nan beragam.

Setelah membuka kedua matanya Harri langsung dikejutkan dengan sebuah panggilan video, nampaknya si bungsu teramat riang untuk ikut melihat pemandangan yang tak bosan ia elu-elukan saat berada dalam panggilan.

Geser dikit aku nggak keliatan muka A Harri, Aarash.”

Kamu aja atuh yang pegangnya, aku pegel dari tadi pegang terus hp-nya!

Tanpa mengeluarkan suaranya Aariz langsung meraih ponsel yang diserahkan Aarash kepadanya. Namun bukannya kedua anak tersebut segera bertegur sapa dengannya, justru salah satu dari mereka kembali saling melayangkan seruan tak suka.

Aariz, ih, muka aku nya nggak keliatan! Itu muka kamu semua!

Ya udahlah kamu aja lagi yang pegang, kamu ribet dari tadi salahin aku terus!

Lagi-lagi Harri bergeming oleh tindakan kedua adiknya selalu mempermasalahkan hal kecil yang seharusnya bagi ia sendiri hal itu tak perlu susah payah dibuat pusing. Denyut kepalanya makin terasa ketika layar ponselnya terus-menerus bergerak tak beraturan, membuat dirinya yang memandang sukses memijat sekilas pelipis kepalanya seraya mengembuskan napas dengan kasar melihat kejadian itu yang hampir setiap hari selalu ia rasakan.

“Liat di bawah hotel yang Aa tempatin ada kolam renangnya.” Harri berucap sembari mengarahkan kamera belakang menuju tempat yang ia maksud di bawah sana, dalam hatinya ia berharap bahwa si kecil dapat melihat tempat itu sebab jarak pun pencahayaan sangat minim.

Namun nampaknya kekhawatirannya tak kunjung bertahan lama, sebab kini senyuman miliknya makin merekah tatkala dua pasang mata nampak berbinar memandang ke arah layar ponsel miliknya. Hanya selang beberapa detik saja ia mampu membuat kedua orang itu kembali akur tanpa melayangkan celotehan, seperti sebelumnya.

Ih keren banget! Aa renang nggak?

Harri menggeleng. “Nggak, Aa nggak bawa baju lebih buat renang,” timpal Harri menjawab pertanyaan antusias dari Aarash.

Ih sayang banget,” sahut Aarash dijawab tawa kecil olehnya.

A Harri bobonya sama siapa aja?

Harri kembali menekan salah satu ikon untuk mengarahkan kamera tersebut pada wajahnya. “Aa tidur sama A Ajay, A Jagat, sama A Jojo.” Sementara Aariz yang baru saja melayangkan pertanyaan hanya menjawab ucapan Harri dengan sebuah anggukkan yang panjang.

Aa udah makan?

“Belum, kalau adik-adik Aa udah makan belum, kasep?”

Harri terkekeh melihat jawaban kompak dari si kembar yang saling menganggukkan kepalanya untuk sekadar menjawab pertanyaan darinya. Terkadang ia berhasil dibuat gemas oleh tingkah kedua adiknya, namun saat yang bersamaan pula ia selalu dibuat naik pitam oleh kelakuan adik-adiknya yang sulit mengerti akan perintahnya.

Apaan kamu belum makan, Ii!” Aarash menolehkan wajahnya seraya memasang sarat amarah yang tercipta pada wajahnya. Kemudian tak lama ia kembali memandang layar ponselnya sembari mencebikkan bibirnya gemas. “Aa, Aariz belum makan dia bohong!

“Kenapa belum makan, kasep? Kalau nanti Aariz sakit gimana?” tanya Harri dengan lembut, tak mau membuat suasana adiknya buruk apabila ia berbicara dengan nada yang terkesan kasar.

Nanti.”

“Jangan lupa nanti langsung makan, ya, bageur, abis telfon sama Aa.”

Aariz mengangguk. “Iya.” Si kecil beranjak untuk membawa kedua tungkainya berdiri dan menjadikannya sebagai tumpuan tubuhnya. “Aa juga.”

Belum sempat Harri untuk membalas ucapan itu, akan tetapi Aariz lebih dulu meninggalkannya. Padahal Harri sudah berancang-ancang untuk bertanya maksud dari ucapan si kecil, namun setelah ia berusaha mencerna sendirian sebuah senyuman pun telah sekonyong-konyong terukir pada wajahnya. Ia menggelengkan kepalanya tatkala menyadari bahwa si kecil sama khawatir dengan dirinya.

“Ya udah kalau gitu Aa matiin, ya. Aa mau mandi dulu abis itu nanti Aa mau makan.”

Iya, Aa tidurnya jangan kemaleman, ya. Nanti pulangnya juga hati-hati.”

“Iya, kasep.”

Setelah lambaian tangan yang memenuhi obsidiannya pun ucapan perpisahan, kini layar ponselnya kembali kosong tak memperlihatkan kedua orang yang sebelumnya asyik bertukar kabar dengannya. Harri mengunci layar ponselnya terlebih dahulu sebelum ia masukkan secara asal pada salah satu saku di celananya. Kemudian tangannya saling menggenggam satu sama lain dan ia istirahatkan di atas pembatas balkon untuk sekadar menikmati suasana sunyi sendirian.

Rasa hampa menyergap dirinya saat sekelebat memori menghampirinya bersamaan dengan tiupan angin mendatangi tubuhnya yang hanya terbalutkan kaos hitam polos dengan celana pendek di atas lututnya. Kedua adiknya memang yang selalu mengusik hari-harinya namun jauh berada di dalam lubuk hatinya ia merindukan dengan sosok si kecil yang acap kali mengisi hari-harinya dengan sejuta tingkah teramat sukses menghibur dirinya.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0