SEMESTA LARA.


Harri menggelengkan cepat kepalanya kala satu suapan nasi goreng yang masih mengeluarkan kepulan asap itu, tak sabar ia santap dengan lahap. Baru saja beberapa detik makanan itu masuk kini mulutnya terbuka sukarela. Ia sengaja untuk memberi ruang agar rasa panas yang sedang ia rasakan akan berangsur mereda atau bahkan menghilang. Tangannya ikut mengibas, berharap bahwa angin-angin buatan darinya itu dapat bantu menetralisir rasa panas nasi goreng dalam mulutnya.

Hanhying hanas!” ucap Harri, mulutnya bergerak tak beraturan sebab tak mampu menahan rasa panas yang sudah membuat lidahnya melepuh.

Yolan dengan cepat menyerahkan es teh manis miliknya agar segera diteguk oleh Harri ketika kedua rungunya mendengar sebuah keluhan tak berujung menghilang.

Harri meraih minuman itu dan mulai diteguknya tak sabaran. Netranya memejam dengan helaan napas lega ia senandungkan kala air dingin tersebut berhasil mengaliri mulut dan tenggorokannya yang melepuh.

Hanupis, Mang Yols!” Harri mengangkat jempol kanannya sebagai gestur ucapan terima kasih sebab telah membantu dirinya. Yolan yang melihat pergerakan dari Harri pun menganggukkan kepalanya seakan itu bukan menjadi sesuatu hal yang besar baginya.

Aing mau beli ayam geprek,” ucap Jaya secara tiba-tiba. Matanya berbinar kala menatap suatu tempat makan. Sadar tak sadar, Jaya telah menelan ludahnya sebab tak tahan ingin segera menyantap menu makan yang sudah ia idam-idamkan sedari tadi.

Rakha yang persis berada di samping Jaya pun mengerutkan dahinya, merasa heran dengan ucapan satu temannya itu. “Itu maneh bawa bekel anjir, Jay!” timpal Rakha, sembari menunjuk kotak bekal Jaya menggunakan dagunya.

Jaya melirik sekilas ke arah bekal makan siangnya. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke arah depan dan menggeleng pelan. “Aing mau ayam geprek, tolong abisin dong, daks. Soalnya kata si Mama bekelnya harus abis.” Jaya mulai membuka kotak bekalnya, lalu menyendokkan nasi tersebut secara sembarang untuk segera ia suapkan kepada teman-temannya satu per satu.

Aksara menjadi orang pertama yang dipaksa Jaya untuk menghabiskan bekal makan siangnya. Tanpa sebuah sanggahan maupun penolakan, Aksara dengan sukarela membuka mulutnya untuk menyantap satu suapan penuh dari seseorang di hadapannya. Hal ini sudah biasa terjadi mengingat Jaya tidak menyukai sayuran sehingga setiap orang tuanya membawakan dirinya menu makan siang sayur, ia akan selalu meminta teman-temannya untuk menghabiskannya.

Harri memutar bola matanya malas. “Apa jadinya, ya, kalau aing bilang sejujurnya ke Mama Sumarni kalau anaknya nggak pernah makan sayur. Semua itu fake!” ucap Harri selepas menelan paksa satu suapan dari Jaya. Ia sudah sangat lelah menghadapi situasi seperti ini yang acap kali terjadi.

Sok mun sia wani ngomong mah.”

Silakan aja kalau lu berani ngomong.

Jaya menggulung lengan bajunya dengan tangannya sudah mengepal sempurna. Ia mengangkat tinggi-tinggi kepalan tangan itu untuk memperlihatkan secara jelas ke arah lelaki yang telah berniat mengungkapkan kejadian sebenarnya. Jua, matanya melotot memberi kesan lebih seram dan serius bahwa ucapannya tak sedang bermain-main.

Gelak tawa mengudara. Lantangnya tawa renyah dari mereka berhasil menyita perhatian beberapa pasang mata insan di sekelilingnya. Sebuah meja yang tak bersalah pun menjadi korban atas kejadian konyol di siang hari ini. Perut-perut yang seharusnya kram karena terlalu banyak diisi nasi pun malah harus terasa kram akibat banyak tertawa.

Salah satu orang di sana spontan melunturkan tawanya ketika benda dalam saku seragam sekolahnya mulai bergetar dan mengalihkan perhatian sang empu. Diraihlah benda tersebut dengan cepat. Kerutan di dahinya membuat seseorang di hadapannya melayangkan sebuah pertanyaan penuh penasaran lantasan mimik wajah Jagat berbanding terbalik dengan mimik wajah keempat temannya.

“Kenapa, Gat?” tanya Rakha.

Jagat menatap obsidian Rakha lalu berganti untuk menatap lamat seseorang di samping lelaki itu. “Yolan, Grace bilang cek handphone kamu penting.” Jagat kembali memasukkan ponsel tersebut pada tempat semula. Ia mengangkat bahunya tatkala Yolan melontarkan sebuah pertanyaan yang sama sekali Jagat sendiri tak mengetahui jawabannya.

Tawa yang semula mendominasi di tengah-tengah ingar-bingar kantin sekolahnya kini mulai meredup. Keheningan terjadi secara tiba-tiba. Mereka sengaja memberikan sedikit ruang agar Yolan tak terganggu dengan sebuah kelakar yang telah dilontarkan Jaya sebelumnya.

“AKSA HAYU KITA KE KELAS TEMEN SI KITA LAGI NANGIS CEUNAH!”

Aksara yang baru saja akan menyuapi dirinya kembali dengan nasi kuning tersebut langsung ia urungkan. Badannya sukses menegak, lalu sepersekian detik kemudian sang empu telah sukses berpijak—menjadikan kedua tungkainya untuk menopang tubuhnya—dan siap untuk segera berlari menuju kelasnya.

“Temen kalian siapa?” tanya Jaya penasaran, meskipun ia sendiri mungkin tak akan mengenal orang tersebut.

“SI FARA!” panik Yolan, terlihat jelas dari kedua bola matanya yang membesar. “SI DIA JARANG NANGIS, KAYAKNYA LAGI ADA MASALAH BESAR! SI KAMI IZIN KE KELAS DULUAN, YA!” pamit Yolan. Ia meraih pergelangan Aksara agar dapat menyambangi langkahnya. Yolan benar-benar berharap bahwa ia bisa secepat mungkin sampai di kelasnya.

Ucapan itu sukses membuat lelaki kelahiran bulan Juni menghentikan kunyahan nasi goreng dalam mulutnya. Tanpa harus berpikir panjang ia terburu untuk segera berlari menuju kelas sang kekasih. Jaya dan Jagat yang melihat tindakan gegabah Harri pun ikut menyusul sang empu tanpa harus berpikir dua kali.

Rakha makin dibuat bingung ketika ketiga temannya sudah meninggalkan dirinya seorang diri. Mau tak mau ia pun ikut untuk berlari dan mengikuti seseorang di depannya sebelum ia kehilangan jejak itu.

“Anying ih kenapa pada lari?! Padahal aing baru aja nyuap mi?!” Rakha terus-menerus melayangkan celotehan meskipun tak ada seseorang yang dapat mendengarnya, terkecuali orang-orang yang tak sengaja ia lewati.

Aksara dan Yolan mengerjapkan matanya dengan cepat ketika merasakan sebuah angin kencang berduyun-duyun menyerbunya. Yolan menyipitkan keduanya matanya untuk mencari tahu sang tersangka. Setelah ditelusuri, tak ayal itu berasalkan dari seseorang yang sudah berlari mendahului keduanya. Beberapa detik kemudian, angin tersebut berkali-kali lebih cepat mereka rasakan saat kedua orang yang dikenalnya mengikuti jejak sang empu sebelumnya.

“INI TEH KENAPA JADI KAYAK LAGI AJANG LOMBA LARI GINI, ANYING!” ketus Aksara di tengah-tengah kegiatan larinya. Yolan yang mendengar lelucon tersebut lantas segera menepuk kepala Aksara agar temannya itu kemabli fokus pada tujuan awal mereka berdua.


Pikiran Harri kini sedang kacau-balau. Bayangkan saja ketika temannya dengan lantang menyebutkan bahwa seseorang yang penting dalam hidupnya sedang merasa terpuruk. Ia berulang memeriksa ponselnya, takut akan seseorang di sana telah mengirimkan sebuah pesan namun tak kunjung dibalasnya. Namun ternyata hanya ada notifikasi dari salah satu aplikasi ojek online-nya.

Bulir-bulir keringat yang sudah menghiasi dahinya ia tak acuhkan begitu saja. Terlebih ketika perlahan ia merasakan perutnya kram akibat berlari setelah makan siang yang tak sampai selesai itu.

Punteun-punteun, cai panas!”

Permisi-permisi, air panas!

Harri merentangkan kedua lengannya, meminta akses sedikit ruang agar dirinya dapat berlari dengan leluasa di tengah-tengah keramaian koridor anak sosial.

“Sel!”

Teriakan itu bagai seruan mutlak pun bagai titahan agar dirinya secepat mungkin mendongkakkan kepalanya dan menatap sang empu. Bahkan tanpa harus menimangnya dua kali pun ia sangat hafal dengan suara bariton tersebut. Suara bariton dari lelaki yang sangat disayanginya.

Hati Harri teriris kala obsidiannya menangkap jelas derai air mata yang keluar dari netra indah sang kekasih. Harri segera berlari munuju tempat perempuan itu yang masih memancarkan tatapan sendu. Persetan dengan hubungannya yang akan terbongkar setelah ini. Jua, Harri tak peduli seberapa banyak pasang mata tengah tertuju padanya, yang ia pedulikan saat ini hanyalah satu, perasaan kekasihnya sedang memendam sendirian.

“Sel?! Kenapa, Sel?! Aku di sini! Aku di sini!”

Harri merengkuh tubuh kekasihnya sembari mengelus punggung perempuan itu penuh kasih. Fara yang diperlakukan seperti itu membuat tangisnya kian pecah.

Grace dengan raut penuh pertanyaan mulai bangkit dari tempat duduknya. Ia sengaja mengosongkan kursi tersebut agar lelaki itu dapat duduk dengan nyaman di atas kursi miliknya.

“Jay, Gat, punteun,” titah Harri. Netranya menatap satu per satu para siswa yang berada di kelasnya. Tanpa melanjutkan ucapannya jua membutuhkan penjelasan secara rinci, Jaya dan Jagat mengangguk secara serempak. Mereka berdua mulai mengusir para siswa di kelas yang sedang disinggahinya untuk memberikan seseorang di sana ruang dalam meluapkan rasa sedihnya dengan nyaman.

Aksara, Rakha, dan Yolan yang baru saja menginjakkan kakinya di sana pun disuguhi sebuah pemandangan yang penuh akan tanda tanya.

Aku di sini, Sel. Kamu nangis aja, nggak apa-apa. Aku di sini, ya, geulis. Aku di sini.

Mereka bertiga tak bisa berkutik selepas mendengar runtutan kalimat yang keluar dari birai Harri. Pun, kedua kaki mereka seakan sulit untuk sekadar melangkah dan mendekati kedua orang tersebut.

“Kamu tau mereka ada hubungan?” bisik Grace pelan ke arah kekasihnya.

Jagat menoleh dan tersenyum simpul. “Nanti, ya, kalau masalah itu. Kamu ada air minum?” Grace menganggukkan kepalanya, tangannya dengan cekatan meraih air minum miliknya dan segera diserahkan kepada sang kekasih.

Jagat meraih botol minum yang diserahkan Grace untuknya. “Nanti aku ganti, ya.” Jagat mengelus surai Grace sekilas sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya untuk mendekati kedua orang yang masih setia berpelukan.

“Perlu saya buatin surat pulang nggak, Ri? Takutnya Fara mau pulang,” ucap Jagat, dijawab langsung sebuah anggukkan dari seorang perempuan yang masih setia membenamkan wajahnya di pundak Harri.

“Mau, katanya.”

“Oke, sebentar, ya.” Jagat menyerahkan botol air minum milik kekasihnya ke arah Harri. “Kamu kasih dia minum kalau udah selesai nangis biar tenggorokkannya nggak sakit.” Harri meraih air minum tersebut disertai senyuman kecil. Jagat yang paham akan senyuman itu pun hanya bisa membalasnya dengan menganggukkan kepalanya.

“Jay, tutupin CCTV tolong. Saya mau ke ruang TU dulu buatin surat izin pulang buat Fara,” ucap Jagat saat dirinya persis di samping lelaki itu. Jaya yang mendapatkan perintah itu pun lagi-lagi hanya mengangguk tanpa sebuah bantahan yang keluar dari birainya.

“Sama aing, biar lebih gampang dapet izinnya,” ucap Rakha secara tiba-tiba sebab tak sengaja mendengar obrolan kecil antara Jagat dengan Jaya yang tak jauh dari tempatnya berpijak. Jagat yang mendapatkan tawaran tersebut justru dengan senang hati menerimanya.

Setelah kepergian Jagat dan Rakha, baik Aksara maupun Yolan setia berdiam diri di depan pintu kelasnya untuk mencegah seseorang akan masuk. Meskipun sebenarnya ada jutaan pertanyaan yang ingin ia lontarkan kepada dua sejoli itu, namun setelah melihat situasinya saat ini mereka hanya bisa bungkam terlebih dahulu. Tak mau memperkeruh suasana yang sebelumnya sudah keruh.

“Ayah ... Ayah ....”

Harri mengangguk paham atas sebuah frasa yang akan diucapkan perempuan dalam dekapannya. Tangannya tak henti mengelus punggung Fara pun sesekali ia bergerak untuk mengelus surai hitamnya.

Setelah merasa dirinya tenang, Fara mulai berani untuk melepaskan pelukan mereka. Kepalanya menunduk, enggan menatap seseorang di depannya. Sebab malu apabila matanya terlihat membesar pasca kegiatan nangisnya beberapa saat lalu.

Tanpa mengeluarkan suaranya, Fara memperlihatkan layar ponsel yang berisikan roomchat dirinya dengan sang ayah. Harri membulatkan matanya, jujur ia sedikit terkejut ketika membacanya. Harri pun mati-matian untuk menahan raut wajahnya agar tidak berekspresi yang berlebihan, takut akan perempuan itu kembali bersedih.

Harri menarik ponsel itu dari genggaman Fara, lalu mengunci layarnya dan kembali ia serahkan pada sang empu. “Ceritanya nanti aja, ya?” Harri menangkat dagu Fara dengan pelan. Ia tersenyum dan mulai menghapus jejak air mata yang masih terlihat jelas di kedua pipi merah sang kekasih.

“Mau pulang sendiri atau aku temenin?” tanya Harri. Kedua tangannya kini sibuk melepas jaket hitam yang membaluti tubuhnya. “Terus, nanti mau pulang ke Kopo atau ke Setia Budi?” lanjutnya setelah jaket hitam itu berhasil ia lepaskan pada tubuhnya.

“Sendiri aja, nanti mau pulang ke Setia Budi.”

“Boleh.” Harri menyodorkan botol minum yang sebelumnya telah diserahkan Jagat kepadanya. “Minum dulu, biar nggak serak.” Fara melirik sekilas ke arah perempuan di seberangnya yang masih setia berdiri dan memandang ke arahnya dilengkapi sebuah senyuman manisnya. Perempuan itu mengangguk seolah memberi izin bahwa dirinya diperbolehkan untuk meneguk air bening milik orang tersebut.

“Pake jaket aku, ya. Ada penutup kepalanya, takutnya nanti kamu malu lewatin orang-orang.” Fara mengangguk dan mengizinkan sang kekasih untuk memakaikan jaket hitam itu pada tubuhnya. “Nanti pas udah pulang aku nyusul ke rumah Nenek-Kakek, ya.” Harri merapikan rambut Fara sebelum ditutup oleh balutan kain tebal.

“Nanti jangan nangis lagi, ya, geulis, takut pusing. Tunggu aku kalau mau nangis lagi, tunggu ini aku dateng.” Harri menepuk bahunya secara bergantian dengan bangga. Fara yang melihat tindakan kekasihnya itu sukses membuat dirinya tertawa secara tak sadar.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0