SETENGAH DUA PAGI


Akha mau es krim coklat, nggak mau es krim vanilla! Mama! Papa ambil es krim, Akha!

Mamaa! Liat Papa rusakin gambar Akha!

Mama, kata Papa tadi malem Mama tidurnya kentut.

Rakha terbangun dalam tidur. Keringat bercucuran datang dari pori-pori dahi Rakha saat laki-laki itu sibuk berdoa agar malam ini dapat tidur dengan nyenyak dan tenang. Namun lagi-lagi, pada kenyatannya Rakha harus terbangun dengan perasaan campur aduk.

Rakha mengatur napas, memundurkan tubuh guna bersandar pada kepala ranjang. Rakha menyeka asal keringat, tak peduli apabila nanti ujung baju tidurnya akan menguning jika terus-menerus melakukan kegiatan yang selalu terulang-ulang setiap harinya.

Satu hal yang paling Rakha takuti adalah ketika langit sudah gelap dan memaksakan dirinya untuk berbaring di atas ranjang, mempersilakan segala mimpi-mimpi tak diundang untuk datang dan menggerakkan alam bawah sadar dirinya tak tahu arah. Padahal Rakha sudah berkali-kali memohon untuk tidak didatangkan mimpi paling Rakha hindari.

Siapa yang pernah bilang apabila mimpi hanyalah bunga tidur, ketika bangun nanti akan hilang dengan sendirinya? Buktinya, mimpi-mimpi itu masih melekat jelas dalam ingatan Rakha.

Rakha sangat tidak menyukai apabila harus terbayang-bayang oleh segala kesedihan yang bahkan ia sendiri sudah berusaha dengan segala cara melupakannya. Lantas, bagaimana bisa mimpi tersebut terus mendatanginya?

Rakha lelah, ingin beristirahat setidaknya tanpa harus mengkhawatirkan mimpi itu datang kembali.

Mimpi di mana pada beberapa tahun lalu, ada sebuah keluarga kecil yang selalu memperlihatkan kebahagiaan. Di dalam rumah itu hanya ada gelak tawa, bahkan kedua telinganya pada saat itu tak pernah mendengar ada tangisan walau sebentar. Seolah hanya sebuah tawalah yang dapat memasuki indra pendengarannya.

Rumah itu sangat hangat, seperti asal di mana tempat matahari akan terbit.

Rumah itu sangat indah, seperti sengaja ditaburi bunga-bunga bermekaran pada halaman depan. Memasang umpan agar seluruh orang tahu bahwa di sini ada kehadiran rumah yang hampir mendekati kata sempurna.

Kala itu, rasa kantuk akan cepat muncul saat usapan hangat mendarat di atas puncak kepalanya, menciptakan kedua ujung bibir menaik sempurna. Kedua mata Rakha akan selalu terpejam, selalu berdoa kemakmuran keluarganya ini semoga tak cepat hilang.

Namun sayang, doa Rakha saat itu mungkin terbawa oleh angin serta burung-burung yang berterbang riang di atas rumahnya. Masa kejayaan keluarganya itu berakhir menjadi kenangan memahitkan. Sebenarnya sekadar mengingat—membayangkan bahwa dulu ia pernah seberuntung itu, mendapatkan rumah paling diidam-idamkan semua orang, sangat malas. Sebab, ketika lagi-lagi ingatan itu muncul, dadanya selalu terasa sesak. Puluhan—bahkan ratusan pukulan yang Rakha berikan pada dadanya tak dapat merubah apa pun. Keluarga kecilnya sudah tak semanis dulu.

Rakha dihantui penyesalan, mengapa rumah paling ia elu-elukan harus hancur lebur bersamaan dengan harapan terpaksa ia kubur?

Rakha menarik napas, lalu mengembuskan dengan kasar. Laki-laki dengan pakaian kusut di bagian bahu itu lantas beranjak, berjalan menuju dapur. Setelah lelah bermimpi, Rakha menjadi haus. Rakha ingin cepat-cepat meneguk air minum di dalam kulkas yang dingin untuk menjernihkan isi kepala.

Di sela-sela perjalanan, Rakha melirik sebuah jam yang menunjukkan setengah dua pagi. Keadaan rumah Rakha sangat sepi—walau setiap hari keadaan seperti ini—akan tetapi, Rakha merasa bahwa Papa Supriyadi tak pulang malam ini. Tetapi setelah dipikir-pikir, malam tadi Papa Supriyadi tak mengirimkan pesan apa pun perihal akan atau tidaknya pulang. Sehingga, Rakha cukup yakin apabila Papa Supriyadi saat ini sudah berbaring di atas ranjang demi mengistirahatkan segala rasa lelah yang ada.

Ada orang yang memang senang dengan kesunyian karena ingin meraup sebanyak-banyaknya ketenangan guna melepaskan diri dari kehidupan yang bajingan. Ada pula ditemani kesunyian karena semesta yang menuntutnya secara demikian rupa tanpa diberi kesempatan menolak bahwa sebenarnya ia sangat tidak suka dengan kesunyian.

Jikalau ditanya apa Rakha tidak takut berjalan-jalan sendirian di tengah keheningan dan waktu dini hari seperti ini? Jawabannya, iya. Rakha sejujurnya sangat takut, takut apabila tiba-tiba ia dicegat oleh sosok bayangan ketika ingin mengambil air minum. Namun pada akhirnya, Rakha mencoba menepis hal-hal buruk tersebut agar tak merasa ketakutan sendiri.

Ketika menyisakan beberapa langkah lagi untuk menuju dapur, kedua telinga Rakha tak sengaja mendengar bunyi denting alat makan dari arah ruang makan. Sontak kaki Rakha otomatis melangkah mendekati sumber suara itu.

Di sana memperlihatkan sang kepala keluarga tengah menundukkan kepala, menikmati satu piring makanan berat ditemani oleh kesunyian. Pencahayaan yang minim, suara yang berusaha dipelankan agar meminimalisir kebisingan dan akan membangunkan anak semata wayangnya dari tidur yang nyenyak.

Rakha menghela napas. Tangan laki-laki itu terulur menyentuh dada dan meremasnya sejenak. Entah mengapa saat melihat pemandangan itu hati Rakha tiba-tiba berdenyut kembali.

Rakha tak dapat mendeskripsikan apa pun, selain merasa iba melihat sang papa duduk sendirian dan menikmati makan malam dengan khusyuk, seakan kejadian ini sudah biasa dilakukan pria paruh baya tersebut.

Sejujurnya, ini bukan kali pertama Rakha menemukan Papa Supriyadi sedang menikmati makan malam sendirian di waktu dini hari. Sebelum-sebelumnya Rakha juga pernah, dengan kondisi yang sama. Rakha terbangun dari tidur dan merasa kehausan. Namun, saat itu Rakha lebih baik mengagalkan perjalanan menuju dapur dan seolah-olah pemandangan itu tak pernah Rakha temukan. Rakha tak kuasa menahan rasa sakit menyadari betapa kesepiannya Papa Supriyadi malam itu. Andai saja semuanya tidak seperti ini, mungkin Papa Supriyadi tengah ditemani sang mama dan saling bertukar cerita tentang hari ini—seperti yang biasa mereka lakukan.

Rakha membalikkan tubuh, mengapus air mata yang telah membuat pemandangannya mengabur. Ia tarik dalam-dalam udara, sebelum akhirnya berjalan menuju kulkas. Rakha meraih satu gelas dan mengisikannya dengan air sampai penuh. Lalu, Rakha meneguknya tak sabaran. Setelah selesai, Rakha ulangi lagi dengan mengisi air pada gelasnya dan gelas baru—tetapi untuk kali ini dengan air hangat.

Kini kedua kaki Rakha telah melangkah mendekati Papa Supriyadi. Rakha bisa lihat jelas bagaimana Papa Supriyadi terkejut melihat kedatangan Rakha tanpa disangka-sangka. Rakha hanya merespons keterkejutan itu dengan senyuman lalu menyimpan satu gelas air hangat untuk sang Papa.

“Baru makan, Pa?” tanya Rakha, menarik satu kursi dan mendudukkan di sana.

Papa Supriyadi mengangguk mengiakan. “Iya, tadi Papa mau tidur tapi tiba-tiba laper. Jadi, Papa ke dapur buat ambil makan.”

Rakha manggut-manggut, menatap lahapnya Papa Supriyadi menikmati satu piring nasi dengan sayur bayam dan ayam goreng yang telah dibuatkan Bibi. Rakha cukup sadar diri tak begitu mahir dalam urusan memasak dan membereskan pekerjaan rumah, sehingga Papa Supriyadi berinisiatif mencari seseorang yang akan membantu memasak dan membereskan segala pekerjaan rumah. Tidak sampai menginap. Bibi bekerja dari pagi sampai sore. Rumahnya pun tak jauh dengan keberadaan rumah Rakha. Jadi, Papa Supriyadi cukup tenang dan mempercayakan perihal rumah kepada Bibi.

“Rakha mau makan lagi nggak? Itu di dapur masih ada satu potong ayam sama satu porsi sayur bayam.”

Rakha menggeleng pelan, menolak secara halus. “Nggak, Pa. Rakha mau nemenin Papa aja.”

Sudut bibir Rakha terangkat menyadari kebiasaan sang Papa yang selalu lupa membawa gelas air minum ketika makan. Mungkin Papa Supriyadi masih terbayang dengan kehadiran mama yang akan selalu membawakan satu gelas air hangat.

Ah, berbicara akan hal itu Rakha jadi merindukan masa-masa dahulu yang selalu makan malam di meja yang sama. Bertukar cerita, saling melemparkan candaan, dan selalu menjahili mama sampai-sampai mama merengut sebal.

Rakha menghela napas berat. Helaan napas itu tak disangka-sangka sampai ke telinga Papa Supriyadi. “Kenapa? Lagi ada masalah?” tanya Papa Supriyadi khawatir, menyadari raut wajah tak biasa yang diperlihatkan Rakha.

Kepala Rakha menggeleng pelan. “Nggak.” Rakha terdiam sejenak, berpikir untuk mencari topik pembicaraan lain agar tak merasa canggung.

“Pa.”

“Hmm?” Papa Supriyadi menjawab panggilan Rakha dengan dehaman.

“Rakha nanti mau olimpiade biologi. Tolong doain Rakha, ya, Pa. Rakha mau bawa piala pulang biar Rakha bisa banggain Papa.”

Papa Supriyadi meletakkan sendok serta garpu dengan pelan, meraih gelas dan meneguk air demi menghilangkan nasi serta lauk-pauk lain yang mungkin masih bersarang di kerongkongan. “Rakha, mau menang atau nggak, Papa tetep bangga sama Rakha. Dengan Rakha dipercayai sekolah buat jadi perwakilan olimpiade aja Rakha udah hebat.”

Satu yang Rakha senangi dari Papa Supriyadi adalah beliau selalu tahu bagaimana cara mengapresiasi hal kecil yang bahkan Rakha sendiri tak pernah merasa bangga akan hal itu. Tetapi, Papa Supriyadi akan selalu mengucapkan beribu-ribu kata syukur dan kalimat pujian untuknya. Rakha senang. Setidaknya, keberadaan Rakha benar-benar sangat dihargai.

“Kapan lombanya? Di mana?”

“Masih bulan depan. Di Jakarta.”

“Kabarin Papa, ya, nanti Papa bakalan hadir buat dukung Rakha.”

“Papa, kan, ngajar.”

“Nggak apa-apa, masalah itu bisa Papa atur.”

Rakha tersenyum dan mengangguk. Ego Rakha cukup tinggi, sehingga saat ini tengah mati-matian menahan agar air matanya tak terjatuh detik itu juga.

Untuk mengalihkan perhatian Rakha, laki-laki kelahiran bulan Maret itu meneguk air secara perlahan. Walaupun Rakha berusaha menahan air matanya tak terjatuh dan mengaliri kedua pipi, setidaknya Rakha tak menahan air untuk mengaliri kerongkongannya.

“Rakha kalau udah lulus nanti mau dilanjut kuliah jurusan apa?”

Rakha meneguk ludah. “Psikologi, Pa,” jawab Rakha dengan sedikit nada lirih.

Dahi Papa Supriyadi mengerut. “Kenapa Rakha mau pilih jurusan itu?”

Soalnya Rakha mau nyembuhin luka dan berusaha damai dengan keadaan Rakha sekarang ini.

Rakha tertawa canggung. “Nggak tahu, Pa, pengen aja.” Kepala Rakha menunduk, berusaha menghindar kedua mata Papa Supriyadi tengah menatap lekat ke arahnya. Rakha takut merasa terintimidasi akan kalimat itu. Terlebih, Rakha takut melihat respons sang kepala keluarga dan menolak akan keinginannya itu.

Papa Supriyadi tersenyum, meski senyuman tampannya itu tak bisa dilihat Rakha. “Papa dukung-dukung aja apa pun kemauan Rakha, karena yang jalanin semuanya Rakha sendiri. Tapi, Papa cuman nitip ambil jurusan yang punya prospek kerja tinggi, ya. Papa mau Rakha nanti punya pekerjaan sendiri yang bisa menghidupi segala keperluan Rakha dengan cukup.”

Kalimat-kalimat petuah sukarela Papa Supriyadi ucapkan itu Rakha masukkan ke dalam kepala. Rakha akan selalu mengingatnya di setiap Rakha melangkah.

“Papa gimana tadi di kampus? Ada kejadian-kejadian lucu mahasiwa-mahasiswa Papa kayak waktu itu lagi nggak?”

Papa Supriyadi tertawa kecil, tiba-tiba kembali teringat dengan kekonyolan para mahasiswa tadi ketika Papa Supriyadi masuk kelas dan langsung mengumumkan bahwa hari ini akan diadakan kuis dadakan sebelum mata kuliah di mulai. Ricuhnya kelas pada saat itu tak bisa Papa Supriyadi jelaskan, yang pasti erangan kekecewaan dan teriakan menolak akan ide kuis menjadi salah satu reaksi paling mendominasi dan paling Papa Supriyadi ingat.

Kadang ada kalanya Rakha akan selalu menagih segala cerita tentang hari ini maupun hari-hari kemarin yang sudah Papa Supriyadi jalani. Sebab, Rakha cukup mafhum bahwa Papa Supriyadi pun membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Rakha hanya ingin memastikan bahwa Papa Supriyadi menjalani hari-harinya dengan baik-baik saja.

Rakha selalu berpikir, bahwa selama ini ia masih bisa tertawa lepas karena akan kehadiran teman-temannya di sekolah. Lalu bagaimana dengan Papa Supriyadi? Apakah beliau juga sama seperti dirinya yang selalu tak sabar berangkat sekolah demi bertemu dan membuat kenangan-kenangan konyol bersama teman-temannya?

Jam setengah dua pagi menjadi salah satu di antara banyaknya waktu yang paling Rakha senangi. Di jam setengah dua pagi, Rakha akhirnya dapat kembali menceritakan segala hal tanpa perlu merasa khawatir dengan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Di jam setengah dua pagi, Rakha akhirnya tahu berapa sulitnya dengan pekerjaan sang Papa yang sedang dijalani. Di jam setengah dua pagi, Rakha tahu akan impian sang Papa untuk melanjutkan kuliah S3. Di jam setengah dua pagi, Rakha kembali merasakan membuatkan secangkir kopi untuk Papa Supriyadi dan bertukar cerita sampai pagi. Lalu, di jam setengah dua pagi, Rakha tahu bahwa selama ini ia masih mendapatkan kasih sayang yang sama besarnya seperti kasih sayang sang Papa sewaktu keluarga mereka masih utuh.

Untuk sekarang Rakha hanya memohon satu, Rakha ingin Papa Supriyadi sehat selalu agar bisa lihat Rakha sukses di kemudian hari. Rakha akan selalu membuat Papa Supriyadi bangga karena telah membesarkan dirinya penuh kasih sayang.

Dari Rakha untuk Papa di masa depan

Papa, Rakha bakalan selalu bangga punya Papa sehebat Papa. Papa selalu ngajarin Rakha gimana perlunya menghargai waktu dan usaha. Papa selalu ngasih semangat Rakha untuk selalu nuntut ilmu. Papa secara nggak langsung udah jadi panutan buat Rakha. Waktu Rakha besar nanti, Rakha berharap bisa sama hebatnya kayak Papa.

Papa, makasih udah bertahan demi Rakha. Tungguin Rakha sukses, ya, Pa. Rakha berharap Papa sehat selalu. Rakha bakalan selalu berdoa biar Papa dikasih kemudahan di setiap langkah Papa ambil, dan dijauhkan dari orang-orang yang nggak suka sama Papa.

Papa, Rakha ada di sini. Kalau Papa mau cerita, jangan sungkan bilang Rakha. Nggak selalu harus di jam setengah dua pagi. Kapanpun Papa boleh minta Rakha. Nanti Rakha buatin satu gelas kopi dan pisang goreng buat teman cerita kita nanti.

Papa, terima kasih, ya.

Salam hangat, Rakha Prathama.


Jagat Universe

by NAAMER1CAN0