SEVEN POST MERIDIEM


Jaya berjalan lesu dengan dua tas ransel telah memenuhi tubuhnya—tas gitar berada di belakang punggung, sementara tas sekolah ia simpan di depan. Laki-laki itu sesekali menguap, cukup merasa lelah dengan kegiatan hari ini, kendati sebenarnya tak banyak pula aktivitas yang ia lakukan. Namun di antara semua kegiatannya, menurut Jaya sendiri untuk melakukan aktivitas membantu mengajar di mata pelajaran yang sebenarnya itu adalah hobi sendirinya cukup memberatkan. Pasalnya Jaya sehari-hari bermain musik sebatas kesenangan semata, tak ada teori yang ia pelajari, sehingga untuk berada di depan orang-orang yang mungkin banyak menganggap ia lebih paham dalam segi teoritis cukup melelahkan. Padahal kenyataannya ia seorang praktisi yang tak berlandaskan dan mendalami dalam sisi teori.

Getaran pada saku celana serta merta datang dan berhasil menghentikan langkah laki-laki pemilik senyuman yang indah. Jaya cepat-cepat meraih benda elektronik itu, lalu menekan tombol hijau.

Baru satu detik telepon itu tersambung, akan tetapi seseorang di seberang sana secepat kilat menyerangnya dengan berbagai pertanyaan yang sama saat orang tersebut terus-menerus mengirimkan sebuah pesan tersebut. Bahkan, untuk sekadar menyapa seseorang di seberang sana pun ia tak melakukannya.

Dede di mana?” ucap orang tersebut dengan nada sedikit ketus.

Jaya kembali melangkah, melanjutkan perjalanan sempat terhenti oleh sambungan telepon secara tiba-tiba itu. “Masih di sekolah baru bubar, Teteh udah selesai?” Kedua mata Jaya tak diam, laki-laki itu sedari tadi terus menatap ke sembarang arah.

Udah, cepet, ya, jemput jangan lama. Teteh kayaknya mau dateng bulan, badan Teteh mulai sakit-sakit.

Jaya mengangguk, kendati gerakan itu tak dapat dilihat oleh sang kakak. “Iya, ini udah sampe parkiran. Bentar, ya.” Jaya memindahkan benda tersebut ke tangan kirinya, sementara tangan kanan ia gunakan untuk meraih helm dan segera memasangnya. “Udah dulu, ya, ini berangkatin ke situ.”

Teteh tunggu di dalem, ya. Nanti chat Teteh kalau udah di depan.

“Iya.”

Hati-hati, De.

Itu menjadi kalimat terakhir sebelum akhirnya sambungan telepon itu sepenuhnya mati dan mengembalikan suasana sunyi. Jaya memasukkan benda elektronik itu ke tempat semula, kemudian meraih kunci motor untuk ia jalankan sesegera mungkin agar sang kakak tak menunggu dengan lama.

Deru suara motor mulai terdengar keras. Cukup disayangkan dengan sarana sekolah yang masih jauh dari kata sempurna, sebab di tempat parkiran sekolah tak ada lampu penerangan satu pun. Satu-satunya lampu yang dapat menerangi perjalanannya hanya dari lampu kendaraan miliknya itu sendiri. Walaupun di sekolahnya memiliki satpam, akan tetapi untuk sekadar memberinya satu buah lampu sangat dibutuhkan. Apalagi pada waktu-waktu seperti ini yang sudah tak ada kehadiran raja siang di langit.

Motor Jaya perlahan berjalan. Ia tak lupa menundukkan kepala ketika melewati pos satpam, memberikan salam perpisahan kepada orang di dalamnya sebelum ia benar-benar akan menarik diri sepenuhnya.

Jaya menyipitkan mata, mencoba melihat sosok gadis yang sedang berdiam diri seorang diri di halte sekolah dengan satu barang di sela-sela kaki gadis itu—barang yang sama dengan barang berada di punggungnya.

Entah mendapatkan bisikan dari mana hingga akhirnya Jaya menepikan kendaraan roda dua itu persis di hadapan sang gadis. Jaya cukup sadar akan tatapan yang dilayangkan gadis itu kepadanya. Sehingga, Jaya bergegas mematikan mesin motor, menarik standar untuk memarkirkannya dengan rapi. Laki-laki itu kemudian melepas helm, menyimpannya di atas spion dengan hati-hati, lalu turun dari motor. Jangan tanyakan mengapa ia melakukannya, sebab Jaya sendiri tak menemukan jawabannya.

“Eh, Kak Jaya!” sapa gadis itu.

Tatapan kebingungan sibuk akan menerka-nerka siapa sosok laki-laki tersebut kini telah terjawab ketika sang empu tengah berjalan menghampirinya. Syifa spontan menggeser duduknya saat melihat laki-laki itu berancang-ancang akan duduk di sebelahnya.

Jaya yang diserukan hanya membalas ucapan itu dengan senyuman. “Kenapa belum pulang, Syifa?” tanya Jaya, setelah mendudukan dirinya di tempat yang sudah diberikan gadis itu untuknya.

Syifa memperlihatkan layar ponsel miliknya kepada laki-laki di sebelahnya. “Ini Syifa lagi pesen ojek online, driver-nya masih on the way ke sini!” balas Syifa, kembali menjauhkan ponsel itu ketika sang kakak kelas sudah tak menatap benda elektroniknya. “Kak Jaya sendiri kenapa, kok, belum pulang?” Syifa menoleh, menatap laki-laki itu dari jarak yang cukup dekat.

Kenapa?

Kenapa?

Jaya sendiri tak tahu mengapa ia lebih memilih berdiam diri di sini ketimbang melanjutkan perjalanannya. Padahal sudah jelas-jelas ada seseorang yang sudah menunggu kedatangannya sedari tadi.

“Lagi nungguin temen.”

Di antara semua kebohongan yang mungkin bisa ia jadikan alasan, entah mengapa justru di bawah alam sadarnya ia lebih memilih untuk mengatakan hal tersebut.

Syifa mengangguk diiringi ber’oh’ria.

Keadaan di antara mereka tiba-tiba hening begitu saja. Akui Jaya tak pandai mencari sebuah topik untuk dijadikan obrolan dengan orang, sebab ia memang tak biasa melakukan hal itu.

Sementara gadis itu yang lebih pandai mencari topik justru asyik membungkam mulut. Bukan karena ia tak memiliki topik yang harus diperbincangkan, akan tetapi debaran jantungnya sedari tadi mengganggu konsentrasi Syifa, sehingga gadis itu memilih untuk diam.

Karena suasana itu cukup canggung, sehingga Jaya kembali mengeluarkan benda elektroniknya untuk mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang di seberang sana yang mungkin kini telah menahan kesal akibat tak dapat menemukan kedatangannya.

Jaya Adiputra Teh, sebentar ya. Dede ada urusan dulu sebentar.

Rasanya baru saja ia mengirimkan pesan tersebut, tapi seseorang di sana dengan secepat kilat membalasnya.

Teh Iva Urusan apa? Lama gak?

Urusan apa, ya, masa aing bilang lagi nungguin orang dijemput?

Jaya Adiputra Nanti dede kasih tau, gak lama. Bentar kok.

Lagian kasian juga aing kalau harus cewek sendirian malem-malem, takut ada hal-hal yang nggak diinginkan terjadi, pikirnya. Bukankah itu memang sudah tugasnya kakak kelas untuk melindungi adik kelasnya, 'kan?

Teh Iva Yaudah tapi kalo udah beres langsung otw ya de

Jaya mengangguk setelah selesai membaca kalimat terakhir yang dikirimkan sang kakak kepadanya. Bodoh rasanya, padahal sudah jelas-jelas orang tersebut tak akan bisa melihatnya.

You Iya, sebentar ya teh.

Selepas menyelesaikan pesan terakhirnya, lantas Jaya memasukkan kembali benda itu ke kantong celananya. Laki-laki itu mengarahkan pandangan ke jalanan di depan yang nampak cukup sepi. Sebab tak ada lagi angkutan umum yang berlalu-lalang seperti di siang hari. Bahkan saking banyaknya angkutan umum, tak jarang di depan sekolah acap kali macet. Seolah ia telah ditakdirkan untuk terus bersama-sama dengan kemacetan yang sering kali ditemuinya.

“Rumah Syifa emang di mana?” Jaya menolehkan wajah untuk sekadar menatap wajah sang adik kelas.

Akhirnya setelah bergumul dengan pikirannya, Jaya dapat membangun sebuah topik untuk mereka berdua perbincangkan.

Syifa cukup terperanjat ketika laki-laki itu secara tiba-tiba menodongnya dengan pertanyaan. “Rumah Syifa di daerah Baleendah, Kak Jaya!” timpal Syifa cepat, tak mau membuat laki-laki itu menunggu lama.

Jaya mengangguk-anggukkan kepala. “Oh, daerah banjir,” timpal Jaya dengan nada cukup pelan. Tetapi siapa sangka justru ucapannya itu terdengar jelas oleh sang gadis di sebelah, sehingga Syifa diam-diam memberikan reaksi ketidakterimaan akibat laki-laki itu telah memandang rendah daerah kediamannya.

“Emang Kak Jaya sendiri di daerah mana rumahnya?” Syifa mempertanyakan hal yang sama ketika laki-laki itu memberinya sebuah pertanyaan yang sebelumnya tak pernah terlintas akan menuturkan kalimat tersebut.

“Bojongsoang.”

“Oh, daerah yang sering macet itu, ya,” sindir Syifa, tak mau kalah atas perlakuan sang kakak kelas kepadanya beberapa saat lalu.

Mulanya Jaya cukup terkejut mendengar balasan dari gadis itu atas ucapannya. Namun sedetik kemudian laki-laki itu justru tertawa, merasa lucu ketika menyadari daerah kediaman mereka memiliki permasalahannya sendiri.

Syifa yang melihat kakak kelas itu tengah melantunkan tawa pun turut mengikutinya. Ia tertawa bukan atas jawaban darinya sendiri, melainkan karena laki-laki itu yang memulai memamerkan senyuman indahnya untuk kesekian kali. Apabila Syifa diberi sebuah pertanyaan pemandangan apa yang ingin ia tatap secara terus-menerus dengan tak bosan, maka, Syifa akan lantang menjawab pemandangan ketika Kak Jaya tertawa. Sebab, selain pemandangan itu cukup langka, pun karena bagaimana laki-laki itu tertawa memiliki sebuah nilai lebih dalam pandangannya.

“Masih sakit nggak jarinya?”

“Gimana, Kak Jaya?”

Jaya menatap ke arah jemari Syifa yang sibuk meremas tas gitar. “Masih sakit nggak jarinya?” ulang Jaya dengan pertanyaan yang sama—tak dilebihkan, pun tak dikurangi dari kalimat sebelumnya.

“Oh!” Syifa mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan keempat jemari yang ia keluhkan tadi siang ketika mata pelajaran seni musik berlangsung. “Udah nggak sakit, soalnya udah nggak main gitar lagi!” Syifa menyodorkan kelima jari miliknya ke hadapan sang kakak kelas.

Jaya melirik sekilas ke arah jemari itu. “Nanti kalau main gitar, dipake lagi aja silikonnya.” Syifa mengangguk, mengiakan perintah dari laki-laki itu.

“Tapi ngomong-ngomong, Kak Jaya, kan, sering main gitar, emang nggak sakit tangannya?”

Syifa cukup penasaran dengan keadaan jemari kakak kelas itu. Pasalnya laki-laki itu seringkali bermain gitar pada media sosialnya, padahal bagi dirinya yang baru memainkan sebentar saja sudah merasakan rasa sakit yang luar biasa.

Jaya menggeleng. “Nggak, udah biasa.” Laki-laki itu mengangkat tangan kirinya, mengikuti perlakuan gadis itu sebelumnya untuk memperlihatkan kondisi jemarinya saat ini. “Kulit Jaya udah keras, makanya udah nggak terlalu berasa sakit kayak awal-awal belajar,” jelas Jaya.

Syifa menundukkan wajah, mencoba mendekatkan matanya dengan jari Jaya.

“Kenapa?” tanya Jaya cukup kebingungan melihat reaksi gadis itu yang tengah menatap dirinya secara tiba-tiba.

Syifa menunjuk jemari Jaya dengan ragu-ragu. “Syifa boleh pegang nggak jari Kak Jaya itu? Mau tau sekasar apa jarinya,” pinta Syifa.

Jaya berdeham sejenak sebelum akhirnya laki-laki itu mengangguk, memberi izin gadis itu untuk melakukan keinginannya. “Pegang aja.”

Seakan mendapatkan lampu hijau, gadis itu dengan cepat meraih satu per satu jemari Jaya. Syifa mengusap-ngusap secara perlahan ujung jemari laki-laki itu, mencoba merasakan permukaan kulit sang kakak kelas.

Jaya otomatis memalingkan wajah ketika merasakan bagaimana gadis itu secara berulang melakukan kegiatan untuk mengusap keempat ujung jemarinya.

“Ih iya ternyata jari Kak Jaya udah kasar banget!” ucap Syifa setelah membandingkan dengan jemari miliknya yang terkesan lembut, walau masih terdapat beberapa kulit yang mengelupas akibat mempelajari permainan musik itu.

“Atas nama Jihan Syifa?”

Sayang sekali obrolan mereka berdua harus terhenti, sebab ojek online pesanan Syifa telah datang tanpa sadar. Padahal semula Syifa berharap bahwa ojek pesanannya akan segera datang, akan tetapi entah mengapa justru hal itu kontradiktif dengan keinginannya saat ini yang masih ingin berlama-lamaan dengan laki-laki itu.

Syifa spontan berdiri. “Iya, aku, Pa!” teriak Syifa sembari memberikan lambaian tangan tak sabaran. “Kak Jaya, Syifa duluan, ya! Maaf, ya, Syifa nggak bisa nungguin Kak Jaya sampe temennya dateng!” Bibir Syifa mengerucut, merasa tak enak karena ia harus menarik diri lebih dulu.

Jaya mengulas sebuah senyuman. “Nggak apa-apa, hati-hati, ya.”

Satu kalimat itu sukses mengembalikan debaran jantungnya yang semula telah mereda. Untaian kata-kata itu masih terngiang-ngiang dalam pikirannya. Ia harus mempersiapkan diri dari sekarang, karena mungkin saja kalimat itu akan mendatanginya secara tiba-tiba.

Syifa menerima uluran helm dari sang supir. “Kak Jaya juga hati-hati, ya, nanti pulangnya!” Gadis itu perlahan naik ke atas motor dan menyamankan posisi duduknya.

Alih-alih menjawab secara vokal, laki-laki itu lebih memilih membalasnya dengan sebuah anggukkan pun senyuman yang tak pernah lepas pada wajahnya.

“Udah bisa jalan sekarang, Neng?”

Syifa mengangguk. “Udah, Pa,” balas Syifa dengan mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan. “Dadah, Kak Jaya, Syifa duluan, ya!” Lambaian tangan itu menjadi interaksi akhir antara keduanya.

Di antara banyaknya objek di depan mata, entah mengapa perhatiannya justru tertuju pada punggung gadis itu yang perlahan mulai menghilang tertutup oleh beberapa kendaraan lainnya yang berlalu-lalang. Pertemuan singkat, namun secara tersadar sukses membuat hatinya menghangat. Satu yang ia baru sadari ketika berinteraksi dengan gadis itu dengan waktu cukup panjang, gadis itu selalu memperlihatkan sisi riangnya dalam keadaan apapun, pun rasa semangat yang terlihat selalu membara. Saking asyiknya berkelana memikirkan hal ini dan hal itu, Jaya sampai tak sadar bahwa ia harus bergegas menjemput kakak sulungnya sebelum ia akan mendapatkan sebuah ceramahan tak berujung.

“Kenapa aing ngerasa kayak ada yang aneh, ya.”


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0