TAMU TAK DIUNDANG.
Harri dibaluti rasa cemas ketika pikirannya mulai kembali pada sang kekasih yang mengendari kendaraan roda duanya. Terakhir kali melihatnya, ia bisa pastikan bahwa Fara memang pandai dalam mengendarakannya. Namun, rasa cemas dan khawatir tetap saja menghantui dirinya.
Pintu rumahnya sudah Harri tutup kembali. Ia baru saja membalikkan tubuhnya dan langsung dihadapkan dengan adiknya yang menatapnya penuh kebingungan.
“Teh Isel mana, A?” tanya Kaila, melirik kanan kirinya dan nihil tidak dapat menemukan sosok seseorang yang sedang dicarinya. Kedua matanya kini tertuju pada bola mata sang kakak berharap yang lebih tua akan segera menjawab pertanyaannya.
“Udah pulang.”
“Ih, kok, pulang? Padahal katanya tadi mau makan mie dulu. Kaila masih pengen main barbie ....”
Harri menelan ludahnya dengan susah payah. Ia mengelus surai adiknya dengan pelan agar Kaila tidak merasakan kesedihan akibat ditinggalkan Fara atas perintahnya. “Ya, udah, ayo Aa temenin main barbie.” Sontak hal tersebut mampu mengejutkan Kaila yang mendengarnya. Mata Kaila membulat dengan mulut yang menganga. “Aa beneran mau main barbie sama Kaila?” Harri menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari mengangguki ucapan Kaila bahwa dirinya bersedia untuk bermain bersama adiknya. Sudah terlanjur menyerahkan diri, jadi, mau tak mau Harri harus menepati ucapannya.
“Asik!”
Dengan penuh rasa riang, Kaila menarik lengan Harri untuk berjalan menuju kamarnya. Betapa terkejutnya Harri kala melihat keadaan kamar Kaila yang sedikit berantakan. Apalagi ditambah dengan beberapa mainan yang berserakan dimiliki adiknya.
“Aa ini harus ngapain?” tanya Harri dengan hati-hati setelah mendudukkan dirinya di seberang Kaila.
Kaila menyerahkan satu barbie lengkap dengan seragam putih yang membaluti tubuh itu bak koki terkenal. “Aa mainin barbie ini, Aa nanti pura-puranya jadi koki terus Kaila jadi pelanggannya. Nah, nanti ternyata masakan Aa ada racunnya terus Kaila berubah deh dari reporter yang bawain berita, ya!” antusias Kaila menjelaskan alur dari permaianan yang akan mereka perankan.
“Kenapa peran Aa jadi orang jahat ...,” cicit Harri dengan pelan, tidak terima karena dirinya mendapatkan sebuah peran yang jahat.
“Oh, Aa nggak mau jadi orang jahat?”
“Ya, nggak mau .... Menurut kamu aja we.” Harri memutar bola matanya dengan malas kala jawaban tak masuk akal dari Kaila memasuki gendang telinganya.
Kaila membawa kedua matanya untuk menatap ke arah dinding kamarnya dengan sembarang sembari mengetukkan jari telunjuk di dagunya dengan irama konstan. “Hm ... ya udah, Aa jadi koki aja tapi nanti ada orang yang jelek-jelekin restaurant Aa terus Kaila dateng jadi reporter, deh!” Harri menghela napasnya ketika sang adik menyerukan peran yang diinginkannya dengan bersikukuh.
“Ya udah, mulai.”
Harri meraih barbienya, lalu menuju dapurnya seakan sedang memasak dan menyiapkan sebuah menu yang telah dipesan oleh para pelanggan.
“Misi,” ucap Kaila sembari menggerakkan tangan barbienya seolah sedang memencet bel yang berada di depan kasirnya.
Tak lama barbie Harri datang sembari menyeka keringatnya karena sedari tadi berhadapan dengan beberapa kompor yang sukses membuatnya kegerahan.
“Mau pesan apa, Teh?”
“Ibu, di sini makanan paling disukai apa, ya?”
“Tumis daging naga,” jawab Harri dengan kesal. Ingin segera menyelesaikan permainan ini, namun Harri tidak ingin membuat adiknya bersedih. Lagipula ini pun atas kemauannya sendiri untuk menemani adiknya yang merasa kesepian selepas ditinggalkan kekasihnya sebelah pihak.
“AA IH YANG BENER! MASA ADA DAGING NAGA!”
Harri terkekeh mendengar sebuah protesan yang dilayangkan oleh adiknya. Bibir Kaila mengecurut dengan kedua alis yang bertaut. “Oke, ulang-ulang.”
Kaila menghela napasnya, ia mengulangi ucapan sebelumnya dengan nada dan tekanan suara yang sama dengan sebelumnya. “Ibu, di sini makanan paling disukai apa, ya?”
“Tongseng daging dinosaurus.”
“AA IH! KAILA MAH SEBEL AH NGGAK MAU MAIN BARBIE LAGI SAMA AA!” Kaila melempar pelan barbienya yang sedari tadi ia pegang. Tangannya sudah bersedekap di dada akibat rasa kesal yang sedang dirasakannya.
Yes, batin Harri yang kemudian sudah berancang-ancang untuk berdiri dan meninggalkan kamar adiknya. Akhirnya ia kini dapat terbebas dari permainan yang bahkan sebelumnya ia tak pernah sekali pun terbesit untuk memainkannya jika tidak terpaksa seperti sekarang ini.
“Aa mau ke mana?”
Intrupsi dari adiknya mampu menghentikan langkah Harri. Lantas ia segera membalikkan badannya dan menatap Kaila yang masih terduduk dengan raut wajah cemberut yang sangat terlihat jelas ditangkap oleh kedua matanya. “Aa diusir, kan, tadi? Aa mau balik ke kamar.”
“Ih Kaila tadi boongan aj—–”
Suara klakson mulai terdengar dari arah depan rumahnya. Kaila yang sebelumnya sedang mengucapkan sesuatu pun seketika terhenti dan kembali membungkam mulutnya. Matanya menatap kedua netra sang Kakak penuh dengan pertanyaan yang ingin diberikan jawaban sesegera mungkin.
“Itu temen Aa, A Aksa sama A Yolan. Nanti kamu jangan sebut Teh Isel di depan mereka, ya. Terus nanti kalau mau main barbie mending sama mereka, mereka jago banget dibanding Aa Harri apalagi sama yang namanya A Yolan.”
Sebenarnya Kaila masih ingin mendapatkan jawaban lain selain jawaban yang terlontar beberapa detik lalu, namun kini sang kakak sudah menghilang dalam pandangannya. Hingga akhirnya Kaila mengedikkan kedua bahunya dengan tak acuh dan kembali bermain barbie itu sendirian.
“Lama banget si monyet bukain pintu, teh!” kesal Aksara yang sedari tadi sudah berdiri di depan pintu, namun sang pemilik rumah tak kunjung membukakan pintunya.
Harri hanya terkekeh dan membukakan pintu rumahnya dengan lebar. “Maaf, Mang, tadi aing abis dipaksa main barbie sama si Kaila.” Sontak Harri dengan refleks memukul pundak Aksara kala lelaki itu menertawai dirinya. “Sia ketawa, cabut dari rumah aing!” Aksara pun segera membungkam mulut menggunakan tangannya, akan tetapi tubuhnya tak bisa menyembunyikan bahwa lelaki itu sedang menahan tawanya terlihat dari tubuhnya yang sedikit bergetar.
“Mana pesenan aing?” Tangan Harri menengadah, siap menerima pesanannya secara sembarang untuk menyelamatkan hubungannya dari kedua orang di hadapannya ini.
“Pesenan sia sangat menyusahkan!” ketus Yolan sembari menyerahkan beberapa makanan yang sebelumnya masih asyik menggantung di atas motornya.
Harri segera merampas makanan tersebut, lalu memeriksanya satu per satu takut ada yang terlewatkan. Padahal ia pun sudah lupa pesanan apa saja yang sudah dimintanya. “Parah banget sia bilang pesenan Mama aing menyusahkan!”
Yolan menggelengkan kepalanya secara cepat. Pandangannya sibuk menilik ke arah belakang pintu yang sudah terbuka lebar. “Tenang, indung aing lagi nggak ada,” sahut Harri seakan mengetahui raut ketakutan yang diperlihatkan Yolan.
“Monyet, terus kenapa maneh pesen ini martabak kalau misalnya Mama maneh nggak ada di rumah!” murka Yolan tidak bisa dibendung lagi sendirian. Pasalnya ia hari ini sudah menghabiskan satu bar bensin untuk menuju kediamannya. Ditambah di pertengahan jalan, ia disuruh putar balik secara paksa untuk membelikan camilan yang mana hal itu membuat rasa sebalnya memuncak.
“Buat malem, anying. Sekalian biar maraneh bisa makan martabaknya, soalnya di rumah aing lagi nggak ada apa-apa.”
“Tapi Mama nyangu?”
“Beungeut sia nyangu. Hayu ah abus, asa siga rentenir kieu di laluar.” (Muka lu masak nasi. Ayo ah masuk, kayak rentenir aja pada di luar.)
Ketiganya tertawa lalu mengikuti langkah Harri untuk memasuki kediamannya. Pertama kali yang menyambut kedatangan mereka adalah rasa sejuk menengkan dan keheningan yang tak biasanya mereka rasakan ketika sudah memasuki kediaman Harri.
“Si kembar lagi nggak ada, ya?” tanya Yolan secara asal dan mendudukkan dirinya di salah satu sofa. Suara hempasan tubuhnya secara tiba-tiba pun menjadi pengisi keheningan di antaranya.
Harri mengangguk, mengiakan pertanyaan dari Yolan. Ia pun ikut untuk mendudukan diri di sofa ruang tamunya. Punggungnya ia sandarnya dengan nyaman pada sofa yang didudukinya.
“Eh?” heran Aksara saat kakinya tak sengaja menendang sesuatu di bawah meja. Ia menunduk untuk melihat sebuah barang yang ditendangnya. Aksara mengernyitkan dahinya ketika sebuah barang tak asing yang pertama kali dilihatnya. “Ini jaket cewek siapa, njir?” tanya Aksara sembari mengangkat satu jaket warna kuning gading ke udara.
Mampus aja anjing, Isel teledor.
Jujur Harri sangat terkejut, namun ia harus tetap memasang wajah seolah tak terjadi apa-apa agar kedua temannya itu tak mencurigai gerak-geriknya.
“Punya si Kaila, deh, kayaknya. Masa we punya aing.”
“Punya indung maneh juga bisa, sih.” Harri lagi-lagi mengangguki ucapan Yolan. Di dalam hatinya Harri sedang berterima kasih karena Yolan secara tidak langsung membantu dirinya dalam menyembunyikan sesuatu.
“Kayak kenal gini jaketnya,” ucap Aksara yang langsung dibalas Harri, “iya, ya, kenapa adik aing malah mau beli jaket yang pasaran kayak gitu. Nggak di mana-mana aing juga nemuin jaket kayak gitu.” Harri mengangkat kedua bahunya disertai gelengan kecil. Tak tahu saja sedari tadi Harri sedang mengontrol detak jantungnya yang sedang berpacu dengan cepat.
“Eh, Mang Yol maneh tadi dicariin Kaila disuruh buat ke kamarnya ceunah.” Yolan menukikkan kedua alisnya, ia dibaluti rasa bingung saat Harri mengatakan bahwa Kaila mencari dirinya. Tak biasanya. “Ngapain ceunah?” Harri hanya menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa karena itu hanyalah sebuah ucapan spontanitas untuk mengalihkan pembahasan mengenai jaket yang ditemui Aksara sebelumnya di bawah meja.
Tidak mau membuat Kaila menunggu lama, pada akhirnya Yolan sudah melangkahkan dirinya untuk menghampiri Kaila yang berada di kamarnya. Sedangkan Aksara kini sudah mulai mengeluarkan laptopnya untuk mengerjakan tugas sekolahnya yang sempat terganggu oleh jaringan internetnya yang tidak stabil.
“Sa, aing bawa air minum dulu ke dapur.”
Aksara membalas ucapan Harri dengan sebuah anggukkan tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.
“Anjir, anjir, anjir. Ini mah double headshot anjing, hari Rabu teh hari ter-bad banget untuk aing!”
Kolase Asmara Universe.
by NAAMER1CAN0