TEMARAM CAHAYA SANG BULAN


Entah sudah berapa banyak saya melewati jalanan ini, jalanan yang selalu saya lalui untuk menjemput dan mengantarkan Grace pulang. Saya tidak terlalu ingat secara pasti. Namun, hal itu tak pernah melunturkan semangat saya untuk selalui melewati jalanan ini. Walau bagi sebagian orang jalanan ini mereka hindari karena tak semulus jalanan lain seperti di jalanan Dago. Saya hanya bisa menimpali ucapan itu dengan tawa kecil, walaupun diam-diam saya membenarkan tentang perbedaan jalanan di kedua tempat itu yang sangat bertolak belakang. Hanya mengiakan tanpa saya berniat ikut membicarakan seperti yang lain.

Perut saya tiba-tiba keroncongan. Saat cacing-cacing saya di dalam perut sudah mulai bernyanyi, bertepatan dengan motor saya sedang berhenti di lampu merah yang cukup padat. Pukul tujuh malam menjadi waktu saya hindari untuk pulang karena akan merasakan kemacetan seperti sekarang ini.

Saya membawa pandangan saya untuk melihat sekeliling, memastikan ada satu atau dua pedagang yang menepi ataupun berjualan di sana untuk memberi asupan cacing-cacing di perut saya. Sayangnya, di depan sana saya tak dapat melihat apa-apa selain pohon besar dengan penerangan yang minim—gelap. Saya tidak tahu mengapa lampu yang seharusnya menerangi jalanan itu justru mati. Apabila dilihat-lihat, lampu itu baru saja mati karena saya bisa merasakan ketidakacuhan orang yang bertugas menangani hal tersebut. Pun, di ujung jalan tersebut ada lampu yang masih menyala.

Lampu sudah berubah hijau, saatnya saya bergegas menarik pedal gas.

Saya tak membawa motor untuk melaju lurus, melainkan saya membelokkan motor menuju jalanan lain yang mungkin saya pikir akan ada beberapa pedagang beroperasi di sana. Semoga saja.

Senyum saya mengembang setelah sadar tepat di arah Selatan sana ada tenda penjual pecel lele yang tak begitu sepi, namun tak begitu ramai pula. Jika dilihat dari sini hanya ada enam motor yang terparkir. Mungkin salah satunya motor sang penjual karena motor itu terlihat sudah dimodifikasi.

Saya memarkirkan motor tepat di sebelah motor sudah saya ceritakan tadi—dimodifikasi. Standar motor sudah saya turunkan bersamaan dengan kunci motor yang saya lepas. Saya sempat mencuri-curi pandang ke dalam tenda melalui spanduk bertuliskan ‘Pecel Lele Pak Amin’ yang sedikit sudah sobek di bagian samping.

Saya cukup heran, di antara seluruh menu makanan yang disajikan mengapa hanya satu-satunya ikan Lele yang ditampilkan di spanduk tersebut? Sementara Ayam, Bebek, serta makanan lain menjadi figuran saja. Padahal setelah saya coba tengok masuk ke dalam tenda, hampir seluruh pengunjung makan Ayam goreng. Lalu mengapa Pak Amin hanya menuliskan ikan Lele? Namun, ya sudahlah, mungkin itu trik jualan beliau.

Saya berjalan masuk ke dalam tenda.

Saya tidak tahu apakah Pak Amin itu yang sedang bertugas menggoreng segala lauk-pauk, yang sedang mengulek sambal, atau bahkan yang baru berangkat mengantarkan piring ke meja pengunjung. Saya tidak menyebutkan satu orang lainnya, karena hanya orang tersebut satu-satunya wanita yang ada di sana. Dan, saya pastikan seratus persen bahwa wanita itu bukan bernama Amin.

“Mau makan di sini atau dibawa pulang, A’?” kata wanita itu menyapa hangat kedatangan saya yang terlihat kebingungan mencari di mana Pak Amin.

“Dibungkus dua, ya, Bu. Saya mau nasi uduk dan ayam goreng, nggak usah pakai sambal,” jawab saya kemudian dibalas senyuman wanita itu.

Saya terduduk di salah satu bangku yang dekat dengan keberadaan kompor. Tujuan saya duduk di sini agar memudahkan membayar dan pergi dari sini. Lantaran saya takut apabila sewaktu-waktu tempat ini menjadi ramai tiba-tiba. Namun, baru saja saya duduk satu menit, badan saya sudah kegerahan sendiri. Mungkin karena panasnya dari tungku api itu—asapnya terbang ke arah saya. Saya sendiri tak begitu mempermasalahan selagi bukan asap sate dan asap akibat membakar sampah.

Satu hal yang saya bingungkan adalah saya sedang merasa kelaparan, tetapi saya justru meminta pesanan makanan tadi dibungkuskan. Bukan karena saya rakus karena sekaligus membeli dua, saya hanya berniat akan memakan nasi pecel ayam tersebut bersama satpam di rumah saya yang sedang bekerja.

Apabila kedua orang tua saya sedang bekerja dan tidak bisa pulang, saya selalu meminta pada pekerja di rumah untuk tak dibuatkan malam malam. Saya berpikir, untuk apa saya makan di atas meja sendirian dengan lauk-pauk yang hampir memenuhi meja? Saya pun tidak bisa untuk menghabiskan itu semua. Sehingga, saat di waktu-waktu seperti ini, saya lebih memilih untuk membeli makan di luar saja.

Angin pun tahu apa yang harus beliau antarkan pada penciuman saya. Saya selalu menyukai bau harum ayam yang digoreng dengan minyak panas memenuhi wajan, lalu ditambah dengan bau harum dari kubis goreng. Saya tidak memesan kubis goreng tersebut, mungkin itu milik orang lain yang sengaja digoreng di tempat penggorengan yang sama dengan pesanan saya.

Berbicara perihal kubis goreng, saya pernah sekali mencobanya, namun saya tidak melanjutkan karena setelahnya ada sedikit gangguan pada tenggorokannya saya. Sehingga saya mengambil langkah untuk menghindari makanan yang sering dipuja-puja oleh teman-teman saya.

Saya pernah beberapa kali menikmati satu piring ayam pecel dengan teman-teman saya. Ketika kami selesai memesan lalu duduk, obrolan-obrolan hangat pun langsung tersajikan di atas meja. Dan, tepat beberapa menit setelahnya, pesanan akhirnya datang. Saya sempat kebingungan, padahal saya merasa bahwa mereka baru saja memesan makanan itu, namun tanpa disangka-sangka datang secepat kilat. Hal itu kontradiktif ketika saya melakukan secara sendirian—menunggu pesanan saya selesai. Mungkin apabila dilakukan dengan bersama-sama saya tidak berpacu pada waktu yang tiap detiknya berganti.

“A’, pesenannya udah selesai.”

Akhirnya, setelah saya beberapa kali ganti posisi duduk, pesanan saya pun selesai juga.

Saya bangkit. “Semuanya berapa, Bu?” ucap saya seraya mengeluarkan dompet—siap untuk menarik uang dan bayar.

“Tiga puluh enam ribu, A’.”

Saya mengangguk, meraih uang berwarna merah muda lalu diserahkan kepada sang Ibu penjual. “Kembaliannya nanti tolong dikasih sama orang yang keliatan butuh satu atau dua piring nasi aja, ya, Bu. Terima kasih,” kata saya selepas melihat Ibu penjual akan menyerahkan kembalian kepada saya.

Muhun mangga, A’. Hatur nuhun.”

Saya tersenyum, menundukkan sedikit kepala sebelum akhirnya membawa kedua langkah kaki saya untuk kembali ke atas motor. Saya sudah sangat tidak sabar untuk menikmati makanan ini selagi masih panas-panasnya.

Saya tak tahu apakah Ibu penjual itu akan benar-benar mengabulkan permintaan saya untuk kembalian tersebut diberikan kepada orang yang kelaparan atau tidak. Saya berharap kalau Ibu penjual itu akan mengabulkan permintaan saya. Lagi pula, tidak baik apabila harus memakan yang memang bukan hak miliknya.

Satu bungkus makan malam itu saya gantungkan pada setang motor, lalu memakai kembali helm sebelum saya menyalakan mesin motor dan melaju untuk pulang. Saya sempat kebingungan karena tak melihat kehadiran juru parkir seperti di tempat-tempat biasanya. Pada detik selanjutnya, saya pun akhirnya paham mengapa tempat pecel lele itu lebih ramai dibandingkan dengan pecel lele yang baru saja saya lewati. Sebab, di sana terdapat juru parkir yang sedang berdiri sembari memantau motor satu dua yang terparkir.

Sepanjang perjalanan saya dibuat berpikir bahwa hidup ini kalau tidak dipertemukan dengan kesenangan, ya, dipertemukan dengan kesedihan. Banyak orang-orang yang baru membuka lapak untuk berjualan, dan ada pula yang baru selesai berjualan. Hidup akan selalu berjalan, berputar. Dan, yang membuat saya sedih adalah bagaimana anak-anak yang bukan usianya justru harus ikut berkelana mencari uang di waktu yang seharusnya mereka beristirahat di atas hangatnya kasur dengan satu gelas air teh hangat. Namun, mau bagaimana lagi? Hidup itu ketika ada yang berada di puncak, maka ada pula yang berada di akar. Tidak adil, namun itulah takdir.

Dahi saya mengerut kala melihat keberadaan seorang pria sedang mengubek-ubek tempat sampah. Seolah terdapat dorongan untuk menepikan kendaraan, akhirnya saya pun mengikuti keinginan tersebut.

Saya matikan mesin, menarik kunci tersebut bersamaan dengan saya turun dari motor dan berjalan menghampiri pria tersebut.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya saya tiba-tiba—semoga saja kedatangan saya tidak mengejutkan beliau.

Sayangnya, keinginan saya hanya sekadar harap-harap lantaran saya bisa melihat dengan jelas bagaimana kedua bahu pria tersebut menaik dengan bola mata melebar.

Saya terburu-buru menyatukan kedua tangan di depan wajah, meminta maaf karena kedatangan saya yang tiba-tiba ini membuat beliau terkejut.

“Bapak lagi cari apa? Ada yang bisa saya bantu?” Saya mengulangi pertanyaan sebelumnya. Sebab, saya pikir beliau sedang mencari sesuatu barang kehilangan sampai perlu mengubek-ubek tempat tersebut.

Saya bisa lihat beliau mulai menggelengkan kepala dengan memberikan senyuman tipis untuk saya. Ah, senyuman itu begitu hangatnya.

“Nggak, Dik. Bapak sedang cari sisa-sisa makan, barangkali masih ada satu atau dua makanan yang masih bisa layak Bapak makan.”

Bagai disambar petir, tubuh saya langsung membeku. Aliran darah saya seakan berhenti beberapa saat. Lidah saya kelu. Kedua ujung bibir saya sulit untuk ditarik. Pun, kedua mata saya sulit untuk memperlihatkan sorot mata teduh.

Saya meneguk ludah, melirik ke arah setang motor sampai akhirnya saat ini saya sudah bisa menarik kedua ujung bibir saya membentuk suatu lengkungan indah.

“Pak, saya kebetulan tadi abis beli pecel ayam. Bapak mau nggak temenin saya makan?” Menyadari beliau saya diam saja, lantas saya segera melanjutkan kalimat. “Saya kebetulan sedang lapar, Pak. Saya nggak biasa makan sendirian, makanya apa Bapak bersedia temenin saya makan?”

Raut keraguan itu terpancar, dan saya bisa merasakannya.

“Saya kebetulan beli dua nasi, Pak. Nanti kita makan di pinggir sana.” Saya menunjuk pada sebuah tempat di bawah pohon—aman dari lalu-lalang orang—tepat di seberang warung kecil yang dipenuhi oleh para ojek online.

“Tapi badan saya kotor, Dik.”

Saya menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, Pak. Badan saja juga kotor, kok, saya kebetulan abis ke tempat yang banyak debunya.” Saya menggerakkan kedua tangan, memberi isyarat untuk beliau tunggu sebentar selagi saya berlari menuju motor dan membawa makanan yang tergantung.

“Yuk, Pak? Kebetulan saya udah laper….”

Saya tak dapat membunyikan kesenangan yang ada di raut wajah saya ketika akhirnya beliau mengangguk mengiakan. Kami berdua berjalan menuju tempat yang sudah saya maksud. Beliau dengan menenteng kantong keresek beserta satu karung—entah apa di dalamnya, dan saya mendorong motor.

Sesampainya di sana, saya langsung terburu-buru duduk dan membuka makanan malam kami berdua. Saya berusaha menyembunyikan rasa pilu ketika tak sengaja melihat binar yang terdapat di kedua bola mata beliau. Saya tak tahu, apabila keinginan saya untuk menikmati pecel ayam bersama satpam di rumah saya justru diberikan jalan untuk menikmati dengan beliau.

“Pak, sebentar, ya, saya beli minum dulu sekalian beli air buat kita cuci tangan!” ucap saya kembali berdiri dan berlari menuju warung di depan. Saya ingin berterima kasih kepada sang pemilik warung telah mendirikan dagangannya di tempat yang tepat. Sehingga saya tidak perlu berlari jauh sampai ujung jalan.

Saya senang ketika beliau selalu menyambut saya dengan senyuman hangat. Bahkan, beliau masih enggan membuka makanan tersebut karena saya habis membeli air yang dijanjikan.

“Ini, Pak!” Saya menyerahkan dua botol air minum. “Yang satu buat minum, yang satunya lagi buat cuci tangan, ya, Pak.”

Saya membuka tutup botol dan mulai mengalirkan air tersebut ke atas tangan saya—saya sekarang sudah siap untuk menikmati makan malam itu.

“Silakan dimakan, Pak.”

“Adik dulu, soalnya Adik yang ngasih Bapak makan. Jadi sebaiknya dimulai dari orang yang ngasih lebih dulu.”

Saya tersenyum. “Kalau gitu barengan aja, Pak,” balas saya, berancang-ancang mengambil secuil nasi untuk dimasukkan ke dalam mulut.

Kami mulai menikmati makan malam. Kami duduk di pinggi trotoar, saling bersebelahan, dan saling diam karena sibuk mengunyah makanan—sekaligus sibuk mengapresiasi betapa lezatnya menu makan saya malam ini. Bukan karena apa yang ada di atas kertas nasi itu, melainkan dengan siapa saya menyantap makanan ini.

“Adik kelas berapa?”

Saya cepat-cepat menelan kunyahan makanan. “Saya SMA kelas 11, Pak.”

Beliau mengulas senyum. “Adik masih muda, tapi hatinya sangat dermawan.”

Saya membalas senyuman tersebut sembari mengucapkan terima kasih atas pujian yang sudah buat wajah saya tersipu.

“Adik rumahnya di mana?”

“Saya rumahnya di daerah Dago, Pak.”

Beliau membulatkan mulut, mungkin terkejut dengan apa yang baru saja saya ucapkan. “Jauh sekali datang ke daerah sini, Dik.”

“Saya tadi abis nganterin pulang seseorang, Pak.”

Beliau manggut-manggut. “Nanti pulangnya hati-hati, ya, jangan bawa kendaraan cepet-cepet.”

Saya mengangguk, mengiakan.

“Bapak doakan semoga semua apa yang Adik impikan bisa segera terkabulkan, ya.”

“Amin,” balas saya cepat-cepat. “Saya juga berdoa semoga Bapak disehatkan selalu, ya, Pak.”

Beliau tak menanggapi ucapan saya, melainkan beliau kembali memberikan senyuman hangat untuk saya.

“Itu botol-botol bekas, Dik. Saya kebetulan kerja cari botol-botol bekas yang masih layak biar bisa saya jual buat makan sehari-hari,” ucap beliau seperti mengetahui ke arah mana tatapan saya tertuju. “Nanti botol Adik jangan dibuang, ya, buat saya aja.”

Saya mengangguk semangat. Kemudian tatapan saya beralih pada segerombolan orang di seberang sana. Saya bisa lihat beberapa di antara mereka sedang menikmati satu botol air minum yang kemudian botol-botol itu mereka biarkan dijejerkan dengan rapi. Saya mengambil kesimpulan bahwa selesai makan nanti saya perlu menghampiri mereka dan meminta botol-botol bekas itu.

“Nama saya Aceng. Kalau Adik?”

Ah, saya bahkan sampai melupakan untuk sekadar bertukar nama. Padahal sedari tadi kami berdua sudah saling melemparkan puluhan pertanyaan.

“Saya Jagat, Pak.”

Malam itu kami berdua kembali habiskan untuk menikmati nasi pecel ayam sembari sesekali diisi dengan pertanyaan lalu diakhiri oleh tawa kecil. Saya senang, beliau sangat ramah dan tak jarang memberikan kalimat-kalimat yang mampu membuat saya merasa aman dan nyaman berada di sisi beliau.

Cahaya temaram sang bulan dengan setia menemani kami. Bising suara kendaraan justru membuat suasana di antara kami makin terasa nyala, saya senang tatkala beliau memperlakukan saya seperti anaknya. Beliau bercerita bahwa beliau tinggal seorang diri di sini—tak memiliki keluarga. Beliau pindah ke Bandung setelah diusir oleh keluarganya—di Jakarta Pusat tepat dua tahun lalu. Kemudian kemalangan lainnya, beliau diberhentikan dari pekerjaannya sehingga mau tak mau beliau harus menjalani pekerjaan ini untuk bertahan hidup. Dari cerita beliau saya dapat pelajaran untuk terus berjuang walau tidak tahu titik terang itu akan kita temukan dalam jarak waktu berapa lama. Pekerjaan apa pun tidak masalah selagi kita dapat mensyukurinya.

Ada satu hal lain yang membuat saya tertarik dan merasa tersentuh dengan sikap beliau. Padahal beliau sendiri tengah kelaparan, namun beliau masih sempat membagi nasi serta ayam beliau untuk kucing-kucing liar yang datang—duduk persis di sisi nasi kami, seakan menunggu untuk diberikan secuil ayam tersebut. Terkadang, mereka yang hidupnya serba kekurangan paling mengetahui bagaimana caranya untuk saling berbagi. Sebab, mereka perlu berada di posisi yang sama untuk dapat merasakan hal serupa.


Jagat Lingga Erlangga Universe

by NAAMER1CAN0