TEMPAT TERNYAMAN


https://open.spotify.com/track/1RyqmamAZTAB9WSZpX4S3f?si=2ff6ac23fdde40aa


Rasanya sangat asing ketika ia membawa langkahnya menyusuri tiap jalanan dengan langit masih berwarna hitam pekat. Dinginnya pagi itu benar-benar terasa sampai menembus kulit. Ketika angin datang, laki-laki itu merapatkan ritsleting jaketnya—tak membiarkan sedikit pun angin pagi itu akan membuat tubuhnya tumbang.

Harri sangat was-was lantaran jalanan yang sedang ia lewati ini hanya diberikan oleh lampu-lampu di beberapa titik saja, itu pun keadaan lampunya sudah sangat remang. Beruntung, Harri masih diberikan cahaya lainnya oleh bulan di atas sana yang setia menemani Harri melewati jalanan cukup sepi ini.

Langkah Harri tergontai dengan kedua tangan sengaja disembunyikan di saku jaket—tengah membungkus tubuhnya. Helaan napas lagi-lagi keluar dari bibir Harri. Harri hanya bisa tersenyum simpul saat perkataan dari orang yang selalu Harri anggap segalanya sudah menyayat hatinya. Sekalipun perkataan itu terlontar dengan kesadaran di batas ambang. Namun, rasa sakit yang menghantam dadanya, pun bagaimana perkataan itu terlontar justru masih tertinggal di kepala dan hati Harri.

Sia teu baleg pisan jadi lanceuk, téh! Cenah rék ngabantuan urang ngajagaan adi-adi sia, tapi sia sorangan anu ingkar kana janji!

“Lo nggak becus banget jadi kakak, tuh! Katanya mau bantuin Bapa ngejagain adek-adek lo, tapi lo sendiri yang ingkar sama janji!”

Sia.

Sia.

Sia.

Untuk pertama kalinya, kata yang biasa ia ucapkan kepada teman-teman sebayanya kini terlontar dari bibir sang kepala keluarga. Kata tersebut adalah kata yang selama ini ia takuti akan keluar dari bibir Papa Asep. Kata tersebut adalah kata yang selama ini ia hindari untuk mendengar langsung dari bibir orang paling diseganinya.

Namun, hari ini, segala ketakutan itu justru mendatanginya tanpa permisi.

Bagai disambar petir, ketika kalimat itu terucap begitu saja, tubuh Harri langsung membeku. Ia masih ingat betul dengan tiap-tiap kejadian yang berada di dalam rumahnya. Bahkan, hal-hal yang tak disangka-sangka pun ikut hadir. Orang yang selama ini Harri hormati, hampir melemparkan remote televisi yang ikut tergeletak di bawah lantai bersama kepingan kaca televisi yang telah hancur melebur kepadanya. Beruntung, malam itu Tuhan langsung mengirimkan perempuan amat disayanginya yang datang dan membantu menepis barang sialan tersebut dari tangan Papa Asep. Harri tak tahu, apabila satu detik saja Tuhan telat mengirimkan malaikat tak bersayap, mungkin barang itu akan menjadi salah satu barang paling ia benci setelah laptop.

Untuk pertama kalinya, air yang selama ini selalu berhenti di pelupuk mata, mengalir begitu saja melewati kedua pipi sehingga membuat Harri tak bisa menatap jelas objek apa yang berada di hadapannya.

Untuk pertama kalinya, malam itu, ia menangis di depan mata sang kepala keluarga.

Untuk pertama kalinya, malam itu, ia selalu berpikir apa yang kurang dari dirinya sampai setiap hal masih terlihat salah di mata sang kepala keluarga?

Pun, untuk pertama kalinya, pagi itu, Harri meninggalkan sejuta kenangan di dalam rumah dengan pergi tanpa arah. Pergi tanpa satu patah kata yang terucap. Pergi tanpa menatap dan mencium kening ketiga adiknya.

Pagi itu, rasa emosi menyelimuti dirinya sampai-sampai Harri tak diperkenankan untuk berpikir jernih. Harri tak diperkenankan untuk menghalau segala permasalahan yang selama ia anggap akan berakhir baik-baik saja.

Setiap orang pasti memiliki titik terendahnya masing-masing. Baginya, mendapatkan sesuatu kata bahkan kalimat yang tak seharusnya ia dengar dari mulut orang tua adalah salah satu kesedihan yang sulit untuk dilupakan.

Papa Asep yang selalu berucap lemah lembut, yang selalu mengajarkan dirinya untuk bertutur kata yang baik dan sopan kepada siapa pun, yang tak segan akan memarahi dan memberikan berbagai kalimat nasihat, seketika hilang dan tergantikan oleh Papa Asep yang kasar.

Bahkan, Harri tak pernah sekali pun mendengar Papa Asep berucap kalimat serupa pada teman-teman sebayanya. Papa Asep adalah salah satu wujud laki-laki yang selalu menjadi panutan untuknya.

Dan, untuk pertama kalinya pula, malam itu, segala rasa hormat kepada sang kepala keluarga seketika hilang—mengalir bersamaan dengan tetesan air mata yang telah terjatuh dari kedua matanya.

Merasa kedua kakinya terasa pegal, akhirnya Harri lebih memilih untuk duduk pada salah satu batu besar dengan kondisi jalanan dilalui oleh beberapa kendaraan. Harri tak berani untuk sekadar beristirahat dalam keadaan sepi, sebab perkataan Papa Asep untuk selalu waspada di mana pun berada terus terngiang-ngiang di dalam kepala.

Tenggorokannya telah mengering. Peluh keringat sudah menghiasi dahi Harri. Kemudian, tak lama keberadaan keringat itu seketika hilang lantaran angin tiba-tiba datang dan membawa keringat tersebut dengan sukarela.

Namun sayang, angin tak bisa membawa pula segala hal buruk dalam kepala Harri.

Harri merogoh ponsel, mencari sebuah kontak untuk ia kirimkan beberapa pesan atas perasaan sedang dirasakannya saat ini. Selama jari-jari itu bergerak liar di atas layar ponsel, Harri hanya bisa memasang wajah tersenyum memaksakan. Bagaimana sekuat-kuatnya ia berusaha tersenyum, hal itu selaras dengan tusukan-tusukan mengenai hatinya.

Harri tak benci Papanya. Tidak. Harri hanya benci mengapa tadi malam ia tak bisa melarang kedua adiknya dalam bermain bola di dalam rumah. Harri hanya benci mengapa tadi malam ia sebaiknya tak mengungkapkan apa yang sedang dibutuhkannya. Harri hanya benci mengapa ia tak bisa mencegah Mama Iis dalam mempercayai satu hal yang sama sekali belum terbukti benar atau tidaknya.

Ironisnya, hal yang tak sepatutnya Harri sesali justru membuat laki-laki itu terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Terus-menerus dihantui oleh kesalahan ini, dan kesalahan itu.

Lagipula, tak semua hal bisa ia cegah.

Tak selamanya hidup dapat berjalan sesuai rencana. Harri cukup sadar berapa pun tawa yang telah ia lantunkan, pasti akan ada kesedihan dan tangisan di kemudian hari. Sebab, hidup itu akan selalu seimbang antara kesenangan dan kesedihan. Makin banyak rasa senang yang ia dapatkan, maka makin banyak pula rasa sedih kemungkinan datang mendatangi hidupnya. Dan kini, Harri percaya akan hal itu.

Selepas pesan-pesan itu ia kirimkan pada salah satu temannya. Harri kemudian mematikan data seluler yang dapat diakses oleh aplikasi tersebut. Harri ingin tenang mencari angin sampai semuanya kembali seperti semula.

Harri menyugar rambut, terdiam beberapa saat untuk ia pikirkan tempat akan didatanginya. Bodoh rasanya ketika sedang berada salam situasi ini, Harri sampai melupakan membawa buku-buku pelajaran, baju ganti, bahkan kendaraan yang biasa ia pakai. Sebab, Harri berpikir dengan membawa segala barang tersebut justru akan menyadarkan mereka bahwa ia benar-benar pergi untuk sementara waktu. Meskipun ia sendiri meninggalkan beberapa kata untuk Mama dan Papanya.

Berbicara tentang mengapa Harri bahkan tak membawa kendaraannya, ia berpikir untuk sekadar membuka garasi lalu menyalakan mesin—membuka gerbang lebar-lebar, takut membuat orang-orang di rumah terbangun dengan kebisingan yang dibuatnya. Sehingga, pada akhirnya Harri memilih untuk keluar tak membawa apa pun kecuali barang-barang berharga. Sebab, Harri masih bisa berpikir jernih untuk hidup di luar sana nanti.


Harri berdiri di depan gerbang murah sangat familier sebab ia sering kali bertemu gerbang tersebut hampir setiap hari. Bahkan, diibaratkan gerbang itu bisa berbicara, mungkin ia akan mengucapkan betapa bosan terus bertemu dengannya tak henti. Dan, saat itu pula mungkin Harri akan menjawabnya dengan tawa renyah.

Senyum Harri mengembang setelah kedua matanya menangkap sebuah postur dari gadis yang dicintainya sedang mengeluarkan motor dari garasi rumah. Harri tak beranjak sedikit pun dari tempatnya walau gadis itu perlahan berjalan mendekati gerbang rumah, kemudian sesaat kemudian Harri bisa lihat raut keterkejutan yang tercetak gelas pada wajah gadis itu.

“Isel.”

Fara terdiam di tempat dengan mulut menganga. “Harri?! Kan jadwal hari ini bukan jadwal kamu jemput aku?!” Fara mendorong gerbang rumah, membuka lebar-lebar sekaligus mempersilakan Harri untuk masuk.

“Kenapa kamu pake baju kayak ginian?” Kepala Fara kemudian celingak-celinguk seakan sedang mencari sesuatu barang yang hilang. “Motor kamu mana?”

“Grisel....”

Ketika mendengar panggilan kedua kalinya dari laki-laki itu disertai sorot mata terlihat kosong, Fara hanya bisa menepis segala hal buruk yang sempat mengisi pikirannya.

“Kenap—”

Kalimat Fara belum sepenuhnya terucap, namun sebuah rangkulan tiba-tiba saja hinggap pada tubuhnya. Apabila Fara tak segera menyeimbangkan tubuhnya, mungkin detik itu juga mereka berdua terjatuh secara bersamaan.

Pikiran Fara kalut. Berbagai pertanyaan terus-menerus datang tanpa mendapatkan jawaban yang diinginkan. Melalui rangkulan itu, Fara sadar bahwa laki-laki dalam pelukannya saat ini sedang tak baik-baik saja.

Fara tersenyum. Gadis itu meneduhkan tatapannya dengan elusan tangan tak henti diberikan pada punggung Harri. Pada detik berikutnya, elusan tersebut Fara ganti dengan tepukkan pelan. Tepukkan yang biasa Ayah Yudhis berikan ketika Fara sedang rindu dengan mendiang Ibunya.

“Soal rumah, ya?” tebak Fara kemudian dibalas anggukkan oleh Harri.

Fara tak tahu sebesar apa permasalahan itu, yang pasti ini adalah pertama kalinya Harri langsung mengeluarkan air mata ketika pelukan tersebut Fara dapatkan. Fara hanya bisa menerka-nerka apa yang telah terjadi. Fara berpikir bahwa permasalahan kali ini lebih besar dari permasalahan-permasalahan sebelumnya. Sebab, bahu Harri terus bergetar sampai kedua telinga Fara dapat mendengar jelas isakkan tersebut. Isakkan tangis memilukan yang tanpa sadar telah membuat dadanya ikut sesak pula.

Sekuat apa dia selama ini sampai-sampai tangisan itu terdengar memilukan? Sekuat apa dia selama ini sampai-sampai tubuhnya merosok dengan kepala menunduk seakan tak berani untuk sekadar berbagi pilu lewat tatapan mata untuknya. Sekuat apa dia selama ini sampai-sampai hari ini terlihat hari yang dia nantikan untuk datang.

Mau tak mau Fara pun ikut berjongkok, menyejajarkan tubuh miliknya dengan tubuh laki-laki itu. “Jangan duduk di sini, Yang, kotor!” Fara berusaha menarik kedua lengan Harri, walaupun usaha itu berakhir sia-sia karena Harri menginginkan hal sebaliknya. “Ayo masuk, Yang, nggak ada Ayah, kok di dalem! Cuman ada Bibi aja!”

Tanpa harus diberitahu keberadaan sang kepala keluarga pun Harri telah menyadarinya lebih dulu ketika ia menginjakkan kaki di depan gerbang dan tak melihat tanda-tanda keberadaan mobil Ayah Yudhis berada. Maka dari itu, Harri menyimpulkan bahwa beliau memang benar-benar tak berada di rumah.

“Nggak mau, malu muka aku lagi nangis.”

“Ya, nggak apa-apa. Emang kalau aku liat muka kamu lagi nangis kenapa? Nggak semua hal wajar yang sering kita lakuin itu jadi sumber rasa malu buat kamu!”

“Jangan liat mata aku dulu.”

Fara kembali berusaha meraih kedua lengan Harri dengan tatapan terarah pada objek di sampingnya sesuai dengan permintaan laki-laki itu untuk tak menatap wajah—terutama matanya.

“Iya! Aku nggak akan liat mata kamu, ini aku lagi liat pohon di rumah aku!”

Harri mendongakkan kepala. Seulas senyuman terbit di bibir manis laki-laki itu ketika melihat Fara tengah memandang asal pada tiap-tiap sumber hijauan di halaman rumah itu.

Harri berdiri, menopang beban tubuh menggunakan kedua kaki yang masih terasa lemas. Terima kasih kepada kekasihnya yang sigap membantu tubuh Harri untuk masuk ke dalam kediaman Fara.

“Bi! Maaf mau tolong ambilin air minum, ya!” teriak Fara saat kedua kaki miliknya telah melewati batas pintu rumah. Keduanya kini sedang berjalan menuju sofa, lalu mendudukkan Harri di sana dengan kedua mata memejam—masih menepati janji untuk tak menatap mata laki-laki itu.

“Udah, buka aja mata kamu.”

Fara membuka mata persis di hadapan wajah Harri. “Ya, nggak di depan muka aku banget! Aku kaget sendiri!” amuk Harri dikejutkan dengan kedua bola mata yang telah membulat menatap dirinya tanpa aba-aba.

Fara menarik kepalanya dari sana, kemudian gadis itu terkekeh sembari mendudukkan diri di sebelah Harri.

“Aku abis dimarahin Papa.”

Fara yang semula tengah tertawa sontak membungkam mulut saat Harri mulai menceritakan alasan di balik tangisan memilukan tadi. Fara membiarkan Harri bercerita tanpa berniat untuk ia interupsi barang sejenak. Mempersilakan Harri mengambil pusat perhatiannya kali ini. Mempersilakan suara bariton laki-laki itu memenuhi indra pendengarannya. Fara selalu siap untuk mendengarkan tanpa pernah akan merasa bosan.

“Mereka berdua berantem gara-gara aku abis minta barang yang dari awal seharusnya nggak aku minta.”

“Mama Iis baru kena tipu sampe buat tabungan Papa Asep sisa dikit.”

Mata Fara melotot. Gadis itu tampak akan mengeluarkan suaranya, namun segera diurungkan setelah melihat Harri akan kembali melanjutkan ucapannya.

Kepala Harri menunduk. “Aku di-sia-sia-in sama Papa gara-gara suatu hal yang nggak bisa aku jelasin ke kamu.” Salah satu ujung bibir Harri ditarik seolah sedang tersenyum secara terpaksa. “Maaf.”

Fara manggut-manggut. Telapak tangannya kembali meraih punggung Harri untuk ia berikan usapan-usapan kecil.

Aku nggak mau cerita soal beratnya jadi seorang sulung ke kamu, ketika kamu sebentar lagi ada kemungkinan bakalan jadi seorang kakak, Sel. Aku nggak mau buat kamu takut jadi seorang kakak. Aku yang terlalu lebay aja belum bisa jadi kakak yang baik, makanya lagi-lagi masalah kayak gini terus terjadi sama aku.

Menyadari Harri telah kembali bungkam membuat Fara memberanikan diri untuk bertanya. “Jadi, itu alesan kamu kabur dari rumah, Yang?” tanya Fara hati-hati, takut menyinggung perasaan Harri.

Harri menggeleng cepat. “Aku nggak kabur! Aku cuman keluar cari angin aja!” sanggah Harri bersungut-sungut. “Aku sakit hati banget dikasarin sama Papa, Sel. Aku belum pernah sama sekali Papa ngomong sekasar itu. Ya, walaupun aku tau diri kalau aku kasar. Tapi, kalau dikasarin orang tua itu rasanya aneh banget. Aku nggak suka....”

Fara menepuk punggung Harri, menggenggam telapak tangan laki-laki itu yang sibuk memainkan jari jemarinya.

“Aku kadang suka mikir aku terlalu lebay apa gimana baru dikasih masalah kayak gini aja sampe nangis, aku malu sama dunia. Aku seharusnya liatin sisi ceria aku ke dunia, bukan sisi lemahnya aku, Yang.”

“Hush, nggak boleh ngomong kayak gitu. Setiap orang yang hidup di muka bumi ini berhak memvalidasi perasaan mereka sendiri, berhak buat nangis sekenceng-kencengnya. Bukan cuman orang, bahkan makhluk hidup kayak hewan aja mereka bisa nangis. Tangisan—air mata yang keluar itu bukan tolak ukur seseorang lemah atau enggaknya. Itu adalah salah satu bentuk cara mengekspresikan diri, karena dengan kalimat mungkin rasa emosional di hatinya itu belum tentu bisa tersampaikan dengan baik. Kamu nggak boleh berpikiran kayak gitu lagi!”

Harri mencermati tiap-tiap untaian kata yang disusun menjadi tiap kalimat mampu menusuk sekaligus menenangkan dirinya. Sorot mata dipenuhi rasa sedih itu kemudian menatap balik kedua mata Fara.

“Aku nggak suka kalau kamu selalu berpikir, kalau kamu nangis itu salah. Itu enggak sama sekali salah Harri! Sekuat-kuatnya orang pun pasti pernah nangis.” Fara menghela napasnya sejenak. “Aku nggak suka kamu keluar rumah kayak gini…, aku tau pasti susah banget kalau kamu terus ada di rumah waktu semuanya lagi nggak baik-baik aja. Tapi, apa dengan kamu keluar gini semua masalah di rumah bakalan selesai?” Fara menatap kedua bola mata Harri sembari meraih salah satu tangan laki-laki itu. “Jawabannya enggak, Harri. Yang ada, tanpa kamu sadari, dengan kamu keluar gini malah nambah permasalahan yang nggak kamu tau.”

“Tapi, Sel—”

Genggaman Fara pada tangan Harri menguat. Gadis itu tak lupa memberi elusan kecil untuk menenangkan Harri.

“Aku tau kamu butuh waktu sendiri, tapi nggak harus dengan cara kabur, Harri. Kamu bisa diem di kamar dan kunci pintu. Kamu bisa pergi dan nginep di rumah temen kamu. Asal jangan keluar. Papa, Mama, Adik-adik kamu pasti khawatir banget, Harri. Gimana kalau misalnya dengan kamu keluar waktu ada masalah gini malah dicontoh adik-adik kamu nanti?” tanya Fara lembut, meneduhkan sorot matanya.

Harri menggeleng pelan. “Nggak mau….”

“Kadang adik-adik tuh nyontoh sikap dan sifat kakaknya. Aku cuman takut secara nggak sadar, kamu buat mereka ngelakuin hal sama persis yang kamu lakuin sekarang.”

Bersamaan dengan Fara tak sengaja melihat jam di dinding, Bibi pun datang dengan satu gelas air di atas nampan. “Kamu minum dulu.” Fara meraih gelas tersebut dan segera menyerahkan pada Harri. Setelah menangis, kadang membuat tenggorokannya pasti mengering. Pun, Fara tau laki-laki itu pasti sudah kelelahan terlihat dari cara berdiri dan berjalan pun sedikit berbeda dari biasanya. “Kamu mau sekolah nggak?”

Harri menggeleng di tengah-tengah kegiatan meneguk air minum.

“Udah bikin surat?”

Harri menjawab pertanyaan itu dengan menganggukan kepala, mengiakan.

Fara tak bertanya lagi, melainkan gadis itu berlari ke luar rumah membuat Harri yang masih asyik menikmati satu gelas air berakhir bertanya-tanya. Namun, baru saja Harri ingin bangkit untuk menyusul Fara, tiba-tiba Fara kembali dengan satu kotak makan berada di tangannya.

“Harri!” teriak Fara, berlari kecil menghampiri Harri yang terduduk di sofa dengan wajah keheranan. “Aku tadi masak nasi goreng buat bekel makan siang kita—aku sengaja bawain buat kamu. Tapi, karena kamu nggak akan sekolah, jadi kamu makan aja sekarang, ya!” Fara menyerahkan satu kotak makan itu.

Harri menatap bekal kotak makan siang itu sekilas, sebelum kembali menatap kedua bola mata Fara. “Terus bekel kamu?”

Fara menepuk pundak Harri sebanyak dua kali dengan penuh kasih sayang. “Kamu tenang! Bekel aku ada di motor!” tunjuk Fara menuju pintu—menujuk kendaraan yang terparkir di luar sana.

Harri mengulas sebuah senyuman seraya meraih kotak makan itu. “Makasih, Sel. Kamu hati-hati, ya, berangkat sekolahnya. Jangan ngebut, liat spion kalau mau belok. Jaketnya disleting yang rapet. Terus nanti kalau temen-temen aku nanya, kamu jawab nggak tau, ya.” Harri mengusap rambut Fara, kemudian diakhiri dengan menepuk pelan pada puncak kepala gadis itu.

“Iya siap!” jawab Fara sembari memberikan gestur hormat dengan senyuman lebar, sampai-sampai Harri bisa melihat jelas deretan gigi kekasihnya.

Harri menengok ke arah jam, lalu berdiri. “Ya udah cepet berangkat, Sel, takut nanti kesiangan.”

Mata Fara menyipit, dengan garis-garis halus telah memenuhi dahinya. “Kamu mau ke mana?” tanya Fara heran sebab Harri tiba-tiba berdiri, seolah akan segera keluar dari kediamannya.

“Ke...luar?” jawab Harri ragu-ragu.

Fara menggeleng cepat, mendorong tubuh Harri sampai laki-laki itu kembali terduduk di sofa. “Nggak boleh! Kamu diem aja di sini sampe aku pulang sekolah! Kamu nanti tidur di kamar tamu, nanti aku bilang Bibi buat bersihin! Jangan ke mana-mana sampe aku pulang! Nanti aku beliin kamu mi ayam pulangnya!”

Rentetan kalimat yang terus-menerus keluar dari bibir Fara membuat tawa Harri melantun.

“Harri kamu denger nggak tadi aku bilang apa!” Fara kembali bertanya sembari menghadang tubuh Harri.

“Iyaaaa, Grisel, aku denger.”

“Nanti kalau mau mandi, mandi aja, ya. Nanti aku suruh Bibi kasih kaos Ayah yang udah kecil buat kamu.”

Harri lagi-lagi mengangguk seraya memberikan senyuman terbaiknya. “Iya. Ya udah, gih, kamu berangkat.”

Harri bukan bermaksud mengusir kehadiran Fara, hanya saja waktu telah menunjukkan hampir pukul enam pagi. Harri hanya takut apabila Fara akan terlambat datang ke sekolah. Mengingat hari ini adalah hari Jum'at.

“Aku berangkat, ya. Setelah pulang sekolah aku bakalan langsung pulang cepet!”

Namun sayangnya, harapan Fara untuk bertemu Harri selepas pulang sekolah hanya sebatas angan-angan. Setelah bergulat dengan segudang mata pelajaran dan tugas-tugas di sekolah, Fara pulang disambut oleh keheningan. Tak ada Harri di sana sesuai dengan pesannya tadi pagi. Bahkan, sandal yang dipakai laki-laki itu pun telah lenyap di depan teras rumah. Awalnya Fara berpikir bahwa sandal Harri akan disimpan di dalam rumah. Akan tetapi, ternyata lenyapnya sandal itu bersamaan dengan lenyapnya Harri di dalam rumah.

Sia-sia Fara yang sudah terburu pulang dan membelikan satu bungkus mi ayam. Sebab, kehadiran Harri sudah tak di sana lagi.

Neng... tadi Harri nitipin surat ini ke Bibi,” ucap Bibi dari arah belakang kemudian berjalan menghampiri Fara yang terduduk lemas di sofa. Bibi menyerahkan satu lembar surat.

Dengan penuh perasaan campur aduk, Fara mulai membuka surat itu dan membacanya dalam diam.

“Harri....”


Kolase Asmara Universe

by NAAMER1CAN0