Terbaring di atas ranjang.


tw // accident


Suara deru kendaraan bersatu dengan bising klakson juga derap langkah kaki tak beraturan. Kegaduhan yang berada di sekitar sama sekali tak dipedulikan oleh gadis yang tengah terburu-buru mendatangi suatu tempat. Beberapa helai rambut yang lolos dari ikatan, keringat bercucuran melewati tiap sisi dahi, juga jaket yang sepenuhnya belum ia ritsleting dengan sempurna, seakan tak menghambat ia dalam berlari.

Ketika melewati pintu masuk, bahu miliknya tak sengaja beradu dengan bahu milik orang lain yang hendak keluar Instalasi Gawat Darurat. Ia spontan membungkuk, meminta maaf atas kelalaian dirinya yang hampir membuat keduanya terjatuh. Mulut gadis itu tak berhenti menggumamkan permintaan maaf yang kemudian dibalas senyuman singkat oleh orang tersebut.

Dengan napas yang masih tersenggal-senggal, Fara kemudian berlari mencari keberadaan sang kekasih. Rasa lelah yang tengah menghantuinya ini tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kekhawatirannya selepas mendapatkan kabar bahwa kekasihnya menjadi korban kecelakaan lalu lintas.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, banyak skenario-skenario buruk yang mendatangi pikirannya, namun pada akhirnya ia segera menepis semua itu. Ia cukup percaya bahwa Harri akan baik-baik saja, bagaimana pun keadaannya.

Langkah Fara terhenti. Gadis itu memejamkan mata seraya mengatur napasnya. “Harri ….” Panggilan itu terdengar begitu lirih. Dari nada suaranya, seakan mengatakan banyaknya pertanyaan yang semula hinggap di kepalanya kemudian hilang usai melihat keadaan laki-laki itu yang terbaring di atas ranjang dengan satu tangan menutup matanya.

Tanpa perlu membutuhkan waktu lama, Harri segera menoleh. Laki-laki itu sangat tahu sang pemilik suara yang baru saja memanggilnya. “Isel.” Harri mengubah ekspresi wajah kesakitannya dengan wajah berseri, menyambut sang kekasih agar tak makin mengkhawatirkannya.

Dengan langkah gontai, Fara berjalan mendekat. “Kamu kenapa bisa sampe jatoh?” tanya Fara, tangannya tak diam untuk memberikan sentuhan pada kepala Harri—merapikan sekaligus mengusap secara beraturan. “Orang yang buat kamu jatoh mana? Tanggungjawab nggak?” Fara mengedarkan pandangan, sayangnya ia tak menemukan satu orang pun berada di sekitar ranjang Harri.

Harri mengaduh ketika ia berusaha bangkit untuk duduk, kakinya tak sengaja terlipat dan membuat luka pada lututnya ikut berdenyut. Ia menyerah untuk menegakkan punggung. Harri kembali berbaring.

“Emang udah takdirnya aja aku jatoh, Sel. Kecelakaan bukan dari aku aja yang semata-mata udah taat berkendara dan taat peraturan lalu lintas, tapi kecelakaan bisa dateng dari orang lain yang nggak aware. Untung aja aku lukanya nggak terlalu parah. Makanya setiap berkendara atau keluar rumah itu harus berdoa biar diselamatin di jalan.” Harri bisa rasakan usapan semula pada rambut berpindah menjadi usapan di bahu kirinya. “Meuni keringetan gini ih ai kamu. Lari sugan dari Kopo ke sininya?” Harri menghapus keringat Fara disertai kekehan yang terdengar menyebalkan di telinga Fara.

Fara sangat benci apabila laki-laki itu berusaha terlihat sedang baik-baik aja padahal kenyatannya tidak. Laki-laki itu selalu berusaha terlihat baik-baik saja agar orang-orang di sekelilingnya tak perlu khawatir. Bahkan, jika dompet milik laki-laki itu tak tertinggal di rumahnya, Fara pastikan Harri tidak akan pernah bilang bahwa ia mengalami kecelakaan.

Air mata lolos dari kedua mata Fara. Gadis itu menggenggam lengan Harri dan merangkul tubuh kekasihnya. Harri yang paham dengan respons itu hanya terdiam, mengelus punggung sang kekasih agar tangisan itu tak berangsur lama.

“Coba aja dari awal aku nggak minta tadi kita buat main di rumah aku, kayaknya sekarang kamu masih bisa lari-larian.”

Harri menghela napas. Salah satu alasan mengapa ia bersikeras berusaha menutupi kejadian-kejadian seperti ini, karena kekasihnya akan menyalahkan dirinya sendiri. Padahal kecelakaan yang ia alami saat itu bentuk teguran agar ke depannya ia bisa lebih hati-hati dalam berkendara. “Bukan karena kamu Isel. Kalau misalnya emang udah takdirnya aku buat jatoh dari motor, walau hari ini kita nggak ketemu juga aku pasti tetep jatoh dengan cara lain. Kita nggak bisa menghindari takdir yang udah dikasih Tuhan.”

“Tapi—”

Harri mendorong bahu Fara, melepaskan pelukan untuk menatap bola mata gadis itu. “Aku nggak apa-apa, ih, cuman luka biasa. Tadi juga udah disuntik tetanus. Liat, sekarang aja aku diajak ngobrol nyambung-nyambung aja, kan?”

Mata yang terus berkedip, ujung hidung memerah, dan air mata yang setia mengalir menjadi pemandangan yang paling Harri benci ketika melihatnya. Sebab, setelah ini mungkin gadis itu akan mengeluhkan kepalanya sakit. Pun, Harri tidak suka melihat ketika Fara sedang menangis karena dirinya.

“Udah, ih, jangan nangis ai kamu malu diliatin orang yang. Da keliatan dari sela-sela tirai, apalagi kalau ada yang kepo mah pasti sengaja noong.” Ibu jari Harri bergerak mengusap air mata yang hampir mengaliri kedua pipi Fara.

noong = ngintip

Kepala Harri menggeleng begitu menyadari ke mana arah tatapan gadis itu tertuju. “Nggak dijait, cuman dikasih obat merah. Nggak ada yang dijait, kok. Aku tadi cuman disuntik tetanus sama dirontgen soalnya motor aku tadi jatoh nimpa dada.”

“Beneran?”

“Beneran, geulis. Nggak ada yang dijait, sisanya cuman luka-luka biasa aja. Kamu pulang aja, ya? Nanti kamu pulang dianter sama Ajay, dia lagi keluar dulu sama Jagat Aksa ngurusin motor.”

Meskipun Harri tak tahu pasti sekarang menunjukkan pukul berapa, tetapi ia sangat yakin bahwa saat ini waktu sudah larut—terhitung dari ia mengirimkan pesan sekaligus memberi kabar bahwa ia kecelakaan, sampai gadis itu datang pasti membutuhkan waktu yang cukup lama.

Fara menggeleng, menolak titahan Harri. “Aku mau nunggu kamu aja. Aku pulang kalau kamu juga pulang. Nggak dirawat, kan?”

“Kamu pulang pas Ajay udah balik ke sini, ya. Aku di sini masih lama, harus nunggu hasil rontgen keluar baru bisa tau pulang atau harus dirawat.”

“Kamu di sini sama siapa nanti?”

“Ada Jagat sama Aksa. Nanti juga Rakha sama Yolan nyusul ke sini katanya, mereka lagi pada di jalan. Nanti aku kabarin kalau misalnya bisa pulang atau harus dirawat.”

Fara manggut-manggut, tak bisa membantah lagi meskipun sebenarnya ia sangat ingin menemani Harri sampai akhir. Namun, ia pun berat hati melakukannya karena mengetahui malam ini Ayah Yudhis sedang ada di rumah. Tadi saja ia keluar rumah menggunakan alasan lain, lantaran jika ia bilang alasan yang sesungguhnya mungkin Harri akan marah kepadanya.

Fara mengusap dada Harri, membantu menghilangkan rasa sakit yang mungkin masih tertinggal atau bahkan masih dirasakan oleh kekasihnya sampai detik ini. “Sakit banget emang dada kamu, Yang?”

“Iya lumayan. Abis chat kamu, aku langsung pingsan katanya. Makanya pas bangun-bangun heran sendiri soalnya tiba-tiba udah ada Jagat, Aksa, sama Ajay. Soalnya seinget aku, aku nggak chat mereka. Ternyata mereka tau dari kamu yang ngabarin duluan.”

“Maaf, ya, aku bilang mereka. Soalnya aku datengnya pasti lama, kalau cuman ngandelin aku pasti semuanya belum diurusin.”

Fara menoleh begitu merasakan punggung tangannya ditepuk Harri dengan konstan. “Gapapa. Justru aku yang harus bilang makasih. Makasih, ya, Isel.”

Bukan tanpa alasan Harri tak menghubungi teman-temannya. Ia sebenarnya sangat ingin mengabari mereka dan memberitahu keadaan sebenarnya, hanya saja saat itu sisa tenaga yang ia punya sanggup untuk mengabari Fara saja. Harri benar-benar tak sedang membawa sepersen uang pun, maka dari itu tanpa berpikir panjang ia langsung menghubungi Fara dengan maksud meminta tolong dibawakan dompetnya yang tertinggal sekaligus membawakan uang tunai.

“Oh iya, dompet aku mana, Sel? Dibawain nggak uangnya?”

Fara memelotot, menepuk dahinya. “Ah, iya!” Fara merogoh isi tas, mengeluarkan dompet hitam dan meletakkannya di atas tubuh sang kekasih. “Udah aku bawain uangnya satu juta, struknya ada di dalem.”

“Sisa saldonya berapa?”

“Nggak tau, aku nggak liat. Abis sembuh nanti, kamu ganti pin, ya, soalnya kamu udah ngasih tau aku pin ATM-nya.”

Harri membawa telapak tangan Fara dalam sebuah ngenggaman hangat. “Makasih, ya, geulis. Maaf aku udah buat kamu jauh-jauh dateng ke sini.”

Fara tersenyum manis, menganggukkan kepala seraya menghapus keringat yang tiba-tiba datang menghiasi dahi kekasihnya. Ternyata bukan hanya ia yang merasakan hawa panas, melainkan Harri yang terbaring dengan celana lebih pendek darinya pun merasakan hal yang sama.

Terlampau khawatir dengan keadaan Harri, bahkan Fara sama sekali tak sadar bahwa di dalam ruangan ini sangatlah ramai. Jerit kesakitan, suara roda yang didorong terburu-buru, bahkan sampai hiruk pikuk langkah orang-orang bercampur menjadi satu. Fara baru menyadari bahwa di tempat ini bukan hanya ada mereka berdua, melainkan ada pasien lain. Beruntung ada tirai hijau yang memisahkan ranjang Harri dengan ranjang pasien lain.

“Aduh temen-temen aing pada ke mana, ya, ini, teh.”

Kalimat itu berhasil mengembalikan kesadaran Fara yang asyik memperhatikan kericuhan di luar tirai—sibuk menerka-nerka apa yang sedang terjadi. “Kenapa? Kamu butuh apa?”

“Aku pengen kencing, dari tadi ditahan soalnya mereka belum dateng-dateng juga.”

“Yaudah sini aku aja yang bantu anterin kamu ke toiletnya,” sahut Fara, sudah bersiap-siap membantu Harri berjalan menuju toilet.

“Digendong, kan?”

Fara mendengkus. “Mata kamu digendong!”

“Masa nggak kuat, sih, gendong aku, Sel?” Alis laki-laki itu naik-turun, seperti sedang menyepelekan. “Katanya kamu kuat angkat beban berat?”

Fara berdecak kesal. Matanya memutar malas dengan tangan bersedekap. “Mana kuat aku kalau harus gendong Raja Bagong kayak kamu!”

Harri mengurai tawa. “Hahaha kurang ajar emang Ratu Bagong!” timpalnya, seraya menghadiahi sentilan kecil pada dahi Fara. Sementara yang menjadi korban ringannya jari Harri langsung mengusap-ngusap dahinya sembari mulutnya tak henti bergerak—merapalkan sumpah serapah untuk sang kekasih.


Kolase Asmara Universe

by NAAMER1CAN0