TIDAK RELA.
“KAILA?!” teriak Harri kala kedua tungkainya telah memasuki kediamannya. Ia dengan terburu berlari menaiki anak tangga rumah untuk menuju salah satu ruangan yang ia pastikan orang yang sedang dicarinya berada di sana dengan peluh keringatnya sedari tadi sudah membasahi dahinya.
“Kaila!”
Suara gemuruh yang secara tiba-tiba datang mampu membuat kedua orang tersebut menghentikan aktivitasnya, mulai terusik dengan kehadiran seseorang tanpa sebuah salam yang terucap.
“Kenapa Aa?” sahut Kaila dengan lembut, berbanding terbalik dengan sang kakak yang menyerukan namanya penuh rasa emosi yang dipendamnya.
Baik Kaila maupun Fara menolehkan wajahnya pada seseorang yang masih berdiam diri di depan pintu sembari berupaya mengatur napasnya.
“Kamu ngapain bantuin Kaila dandan?” tanya Harri sewot, melihat kekasihnya malah membantu sang adik dalam kegiatan berkencannya.
“Ya, emang kenapa? Ada larangannya kah aku nggak boleh bantuin Kaila dandan?” tanya Fara kembali, dahinya mengernyit kala ucapan itu mampu membuat dirinya bertanya-tanya.
Harri mendengkus, tungkainya berjalan menghampiri sang adik yang masih asyik terduduk di depan cermin besar. “Nggak usah dandan-dandan gitu, ini pipi kamu jangan terlalu merah, Aa nggak suka.” Harri mencoba mengelus pelan kedua pipi merona adiknya dengan pelan, berharap polesan merah muda itu akan menghilang. Fara otomatis menepis tangan kekasihnya kala lelaki itu terus-menerus berusaha menghilangkan hasil riasannya. Enak saja mahakaryanya harus disia-siakan begitu saja. Padahal Harri belum tahu saja seberapa lama ia berupaya membuat adik iparnya terlihat lebih cantik dari biasanya yang memang sudah cantik.
“Itu nggak terlalu merah, Harri. Lagian aku pakein blush on itu biar Kaila nggak terlalu pucet!” sanggah Fara, tak terima hasil riasannya dicela begitu saja oleh seseorang di hadapannya.
Kaila hanya bisa mengatupkan bibirnya dengan kedua mata yang mengerjap penuh kebingungan melihat adegan dua orang di sampingnya yang sedang beradu argumentasi tanpa henti.
Harri berdecak kesal, ia bangkit dari kegiatan jongkoknya lalu berjalan untuk duduk di ujung ranjang milik sang adik. Mulutnya tak henti komat-kamit dalam mengeluarkan umpatan-umpatan yang berada di dalam mulutnya.
Fara mengerlingkan matanya malas. Ia kembali memusatkan pandangannya untuk menatap obsidian hitam melalui pantulan cermin. “Kamu rambutnya mau Teh Isel catok curly, kepang, iket satu, atau mau digerai aja?”
Kaila yang baru saja akan menjawab pertanyaan itu langsung mengurungkan niatnya ketika sebuah suara lebih dulu menginterupsinya. Ia pun hanya bisa menghela napasnya dengan penuh kesabaran.
“Nggak usah gitu-gituan, kayak biasa aja!” timpal Harri secara tiba-tiba. Padahal dirinya sedang bermain games online namun hal tersebut tidak mengurungkan niatnya turut andil dalam kegiatan kencan pertama adiknya.
“Aku ngomong sama Kaila, kamu nggak diajak!” sewot Fara. Rasanya ia ingin layangkan cubitan secara bertubi-tubi pada seseorang yang sedang terfokuskan pada benda persegi dalam genggamannya. Fara kembali menoleh untuk menatap Kaila dari pantulan cermin di depannya. “Mau diapain rambutnya?” bisik Fara, tak mau seseorang di sana kembali ikut campur dalam obrolannya.
“Kaila mau dicurly aja.”
Fara mengacungkan jempolnya tanpa mengeluarkan suaranya, takut seseorang di sana kembali terpancing emosinya. Dalam keadaan diam, Fara mulai meraih rambut Kaila secara perlahan. Fara tak lupa merapikan rambut itu terlebih dahulu menggunakan sisir merah muda bergambarkan barbie. Kemudian ia membagi rambut yang lebih muda ke dalam beberapa bagian, agar proses curly rambutnya lebih mudah.
Harri sesekali melayangkan tatapan tak suka pada adiknya yang masih didandani oleh sang kekasih. Entah mengapa rasanya ia sangat tidak rela melepas adik kesayangannya mulai memasuki tahap remaja. Harri sangat tidak rela ketika nanti harus melihat adiknya bersedih karena patah hati, ia tidak rela ketika adik yang selalu ia sayangi harus disakiti oleh seorang lelaki di luar sana.
“Aa, kenapa liatin Kailanya gitu banget, ih!” protes Kaila ketika tak sengaja netranya menangkap jelas tatapan dari sang kakak yang sulit untuk ia tafsirkan sendirian.
Harri menggeleng pelan. Ia kembali memainkan games-nya yang sempat terhenti karena pikirannya yang secara tiba-tiba melayang jauh di luar kendalinya.
“Pulang jam berapa? Nanti ke mana aja? Share live location jangan lupa. Harus udah di rumah sebelum jam tujuh malem. Kalau udah pulang terus Aa nggak ada, suruh kakak kelas cowok kamu itu tungguin sampe Aa pulang. Etika.”
Kaila memejamkan matanya ketika runtutan ucapan tanpa henti itu berduyun-duyun memasuki indra pendengarannya. Ia layangkan sebuah senyum simpul kepada sang kakak yang sudah berdiam ikut mengantarkan dirinya sampai pintu gerbang rumah.
“Iya, Aa. Nanti Kaila kirim live location-nya, Kaila belum tau mau ke mana aja.” Dengan penuh kesabaran Kaila menjawab pertanyaan dari si sulung satu per satu. “Terus itu matanya jangan kayak gitu, ah, Kaila takut! Aa juga jangan galak-galak nanti ke kakak kelas Kailanya!”
“Nggak janji,” timpal Harri dingin.
Fara mengembuskan napasnya, merasa lelah dengan sikap posesif kekasihnya. Sifat posesif yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. “Kaila nanti hati-hati, ya! Kalau udah beres kencan harus cerita sama Teh Isel!” Kaila mengangguk penuh semangat, mengiakan permintaan dari kakak iparnya itu.
“Bawa jaket Aa, kalau dingin pake jaket Aa jangan pake jaket cowok itu. Modus.” Harri melepaskan jaket hitam yang semula membaluti tubuhnya, lalu ia menyerahkan pada sang adik. Karena tidak mau membuat amarah kakaknya muncul kembali, ia pun langsung meraihnya tanpa berkomentar atau sekadar menyanggahnya.
Deru suara motor yang baru saja datang mampu menghentikan obrolan yang dipenuhi rasa kekesalan di dalamnya. Seorang lelaki mulai turun dari motornya, lalu membuka helmnya untuk menghampiri sang pemilik rumah yang sudah berdiam diri lebih dulu di sana.
“Selamat sore, A, Teh,” sapa lelaki tersebut sembari mencium lengan Harri dan Fara secara bergantian.
Harri berdeham kecil membalas sapaan itu. Ia masih sulit menerima sebuah fakta bahwa adiknya sudah remaja.
“Nanti pulangnya jangan kemaleman ya, Iyas, kalau bisa jam tujuh udah pulang,” ucap Fara diiringi dengan senyuman kecilnya.
Satria—atau biasa disapa Iyas menganggukkan kepalanya. Tangan kanannya yang semula memegang helm, sudah ia pindahkan ke tangan kirinya. Sedang tangan kanan yang sudah terbebas membawa jempolnya di udara. “Siap, Teh! Iyas izin ajak Ila nya keluar dulu.”
“Ila siapa?”
“Kaila, A.”
“Ula Ila Ula Ila, itu panggilan khusus dari aing buat adik aing!”
“Siap, A, maaf maksudnya Kaila.” Iyas menundukkan kepalanya, merasa bersalah sebab ucapannya malah dihadiahi amukan dari seseorang di hadapannya.
Kaila menggelengkan kepalanya melihat kakak sulungnya tak memedulikan ucapannya bahwa ia harus ramah dan tidak boleh marah-marah pada kakak kelasnya itu.
“Kak, mau jalan sekarang?” ujar Kaila, berupaya memecahkan kecanggungan yang terjadi di antaranya. Iyas pun mengangguk, menyetujui ucapan dari Kaila. Untung saja adik kelasnya itu segera berucap demikian, karena demi Tuhan sedari tadi jantung Iyas berdegup kencang bahkan hingga kedua pelipisnya sudah dipenuhi oleh bulir-bulir keringat yang entah sejak kapan sudah menampakkan dirinya di sana.
“A, Teh, Iyas pamit dulu,” Iyas kembali meraih kedua tangan orang yang lebih tua di depannya itu. Hingga ketika lengannya kembali memegang lengan seseorang lelaki di depannya membuat degup jantungnya kembali berpacu dengan cepat. Ia pun dengan terburu mencium lengan itu dan ingin bergegas menuju kendaraan roda duanya yang sudah terparkir.
“Ya,” sahut Harri singkat. Bahkan netranya tak menatap balik netra yang sudah menatapnya lebih dulu.
“Jangan marah-marah!” Kaila mengembungkan pipinya kesal akibat perlakuan kakaknya yang terkesan sangat kasar. “Hm,” Harri lagi-lagi berdeham. Ia membawa kepala adiknya untuk bubuhi kecupan di puncak kepalanya. “Inget pesen, Aa.”
Tanpa harus diulangi pun Kaila masih ingat betul tiap-tiap untaian kata yang diserukan oleh kakak sulungnya itu. “Iyaa, Aa!”
Pandangan Harri pun kini ia bawa untuk menatap pergerakkan kedua sejoli di depannya itu. Harri berjalan cepat menyambangi kendaraan motor itu ketika lelaki yang tak dikenalnya secara tiba-tiba akan membantu memasangkan helm di kepala adiknya.
“Nggak usah modus! Aing aja yang pakein, itu adik aing.” Harri merampas sebuah helm yang berada di genggaman Iyas, padahal Iyas belum mengizinkannya namun sang empu telah lebih dulu melancarkan aksinya.
“Pake helm sendiri, ini pengaitnya kalau mau dipasang kayak gini,” Harri mengajari adiknya agar ia mampu memakai helm tanpa harus dibantu oleh lelaki itu. “Kalau mau dibuka, tarik yang ini.” Kaila sudah tidak habis pikir dengan tingkah kakaknya ini, padahal orang tuanya pun tidak mempermasalahkan dalam kencannya hari ini.
“Siap, maaf, A.”
“Maneh jangan ngerem mendadak! Lain kali pake tas biar maneh nggak bakalan modus sama adik aing!” Seperti memiliki dendam tersendiri pada Iyas, Harri terus-menerus melayangkan ucapan kekhawatiran bahwa Iyas akan mengambil kesempatan dari adiknya. “Aing bawa dulu tas, deh. Biar maneh nggak modus!”
“Nggak usah, kita udah telat! Nanti takut macet terus pulangnya kemaleman! Kan Aa yang bilang pulangnya harus jam tujuh teng!”
Harri yang semula akan melangkahkan kakinya pun langsung mengurungkan niatnya. Ia pun pada akhirnya mengalah dan menuruti ucapan adiknya tanpa mengeluarkan suaranya kembali.
Baik Iyas maupun Kaila kini sudah terduduk di atas motor dengan jaket hitam milik sang kakak sudah membaluti tubuh gadis itu. Ucapan dari Iyas menjadi sebuah kata terakhir sebelum akhirnya mereka berdua mulai menjauhi Harri dan Fara yang masih terdiam diri di depan pintu gerbang rumahnya.
“Aku pulang, ya, Yang. Mau lanjutin skripsi.”
Harri tidak menggubris ucapan kekasihnya, bak kata-kata itu ia anggap seperti angin lalu. Fara yang tidak mendapatkan respons akan ucapannya pun berdecak pelan, sebal merasa teracuhkan.
“Apa aing buntutin si Kaila aja, ya, Yang? Hati aku nggak nerima si Kaila udah kenal cinta, anying!”
Fara menepuk dahinya, ternyata kekasihnya masih saja tak menerima proses pendewasaan dari adiknya. Padahal ia sendiri lebih dulu mengenal cinta sejak berada di sekolah menengah pertama, jauh daripada Kaila yang baru mengenal cinta sejak memasuki tingkat dua di sekolah menengah atasnya.
Kolase Asmara Universe.
by NAAMER1CAN0