TWENTY PAST TEN ANTE MERIDIEM
“Rul, oper, Rul!”
Syahrul mengedarkan pandangan, mencari sosok orang yang telah menyerukan namanya. Bola mata Syahrul kini dipenuhi oleh lambaian seseorang di seberang sana. Syahrul telah berancang-ancang akan menendang bola itu ke arah laki-laki yang sudah berdiri di sana dengan penuh percaya diri. Baru saja kaki kanannya akan menendang, tapi seseorang sudah lebih dulu menendang bola itu dari arah belakangnya.
“BEGO SYAHRUL!” maki Aksara, laki-laki yang tadi meminta operan bola itu.
Aksara melimpahkan rasa kesal dengan memukul asal udara di sekitarnya. Apabila udara itu dapat hidup mungkin saat ini kedua telinga Aksara dipenuhi kalimat tak bersahabat akibat telah memukulnya secara tiba-tiba. Mulut Aksara tak berhenti bergerak, menandakan sang empu masih asyik melantunkan berbagai cemooh atas kejadian itu.
Sementara sang tersangka yang telah mengambil bola itu hanya bisa terkekeh dengan masa bodoh. Lagi pula mereka sedang bertanding untuk mendapatkan perolehan nilai tertinggi, jadi, sangat tidak masalah bukan?
Seorang laki-laki yang masih mengenakan jaket hitam di bawah terik sinar matahari siang ini spontan berlutut, memukul-mukul lapangan bak kesetanan ketika bola tersebut tak berhasil ia tangkap, pun artinya tim mereka kecolongan satu skor dari tim sang lawan.
“SYAHRUL TOLOL!”
Lagi-lagi Syahrul menjadi kambing hitam atas kekalahannya. Setelah dipikir-pikir, itu kembali lagi pada keberuntungan tim mereka, sehingga dapat disimpulkan bahwa permainan kali ini belum menjadi kesempatan untuk mereka menang.
Jagat berlari menghampiri sang empu yang sudah membuat tim mereka memekik kegirangan atas skor baru yang berhasil dicetaknya. “Good job, Jay!” puji Jagat sembari mengepalkan lengan kanan di hadapan Jaya.
Jaya tersenyum sekilas di tengah-tengah kegiatan membalas kepalan tangan Jagat. Sesaat kemudian rekan-rekan satu timnya berbondong-bondong berlari dan melayangkan pelukan secara kompak untuknya. Jaya bukan sedang percaya diri, namun dilihat dari bagaimana ketika rekan-rekan setimnya berlari ke arahnya membuat rasa kepercayaan diri Jaya berkali-kali lipat mendominasi. Apalagi saat beberapa orang yang menonton di pinggir lapangan memberikan tepuk tangan meriah untuknya.
“HARRI SIA YANG BENER JADI KIPERNYA!” keluh Rakha. Wajah Rakha terlihat frustasi, terlihat dari laki-laki itu terus-menerus mengacak-ngacak rambutnya tak beraturan. Hal itu sontak seperti tengah memberi umpan kepada angin yang sedari tadi terus berkelana di sekelilingnya. Tiupan angin itu berhasil membuat sebagian rambut Rakha bergerak, pun turut menggerakkan seragam putih yang sudah tak rapi lagi.
Dipenuhi perasaan jengkel Harri melempar bola tersebut ke sembarang arah. “SIA AJA ATUH SINI YANG JADI KIPER BIAR SIA TAU KALAU JADI KIPER TEH TIDAK SEMUDAH KAYAK SIA MENCACI MAKI AING, YA, MONYET!” hardik Harri dengan kedua alis saling menyatu satu sama lain.
Beruntung suasana di sekitar mereka cukup ramai sehingga mampu meredam tiap-tiap rangkaian kata tak senonoh dilantunkan tim yang masih tak terima akibat kebobolan gawang begitu saja. Pun seakan alam sedang memihak kepadanya, sebab sedari tadi mereka tak dapat menemukan sang guru di sekitar mereka.
Seharusnya di waktu siang bolong ini mereka tengah menikmati satu piring nasi dengan berbagai lauk-pauk di atasnya, akan tetapi terkecuali pada istirahat hari ini mereka semua tampak lebih memilih berdiri di bawah sang surya tengah memancarkan sinar yang berkali-kali lipat terasa terik dari hari sebelumnya.
Mereka tak peduli dengan seragam yang sudah tak beraturan. Mereka tak peduli dengan keringat terus-menerus membasahi dan mengaliri tiap sisi wajahnya. Yang mereka pedulikan saat ini hanyalah melepas penat setelah digempur oleh berbagai mata pelajaran yang sukses sudah membuat otaknya mendidih.
Bahkan, Aksara dan Yolan yang notabenenya bukan anak XI IPA 4 pun mereka ikut bergabung untuk bermain bola bersama kelas tersebut. Padahal di lapangan sebelah terlihat jelas mereka sedang bermain basket, akan tetapi pada kesempatan ini kedua orang itu lebih memilih bergabung dengan permainan bola kaki.
Setelah saling mengumpat dan menyerukan ketidakadilan, permainan pun kembali dimulai. Kini Yolan tengah fokus menggiring bola untuk dimasukkan ke dalam gawang yang dijaga ketat oleh Harri. Hasan dan Jaya sibuk berlari mengikuti ke mana Yolan berlari—berancang-ancang apabila sewaktu-waktu Yolan akan mengoperkan bola kepada salah satu dari mereka. Sementara Jagat berdiam diri di depan Joni yang sedang menjaga gawang dari serangan sang lawan.
Ketika merasa bahwa dua orang dari tim lawan yang perlahan mencoba mendekatinya, Yolan bergegas menendang bola tersebut ke arah Jaya. Jaya yang cukup tahu gelagat dari Yolan segera mengatur posisi agar tendangan itu bisa pas menuju kedua kakinya. Tepat sekali. Kini bola itu sudah berada di antara kaki Jaya. Laki-laki itu sibuk menggiring dan menjauhkan asetnya dari sang lawan yang sedari tadi terus mengganggu.
Entah terlalu berlarut pada sebuah gawang di depan atau memang dirinya terlalu berambisi untuk mencetak gol kembali, atas kelengahan dirinya Jaya dibuat terkejut dengan sebuah kaki yang secara tiba-tiba muncul untuk merebut bola itu sampai akhirnya….
Brugh!
Badan Jaya sukses tersungkur dengan kedua telapak tangan mencoba menahan agar wajahnya tak langsung mengenai lapangan di bawahnya.
“Jay!”
Yolan terkejut dan langsung berlari menghampiri Jaya yang masih terdiam sembari berlutut. “JAY SI KAMU NGGAK APA-APA?!” Yolan begitu panik ketika melihat tak ada pergerakan apapun dari Jaya selain rintihan kesakitan yang sedang laki-laki itu tahan dengan mati-matian.
“Anjing, siapa tadi yang sliding aing?” tanya Jaya dengan intonasi suara cukup rendah. Jaya perlahan menarik kedua tangannya yang semua berada di atas lapangan. Jaya meringis saat menyadari beberapa batu-batuan telah memenuhi telapak tangannya, pun luka gores yang tertutupi pasir-pasir halus.
“ANJIR, INI MAH SI KAMU HARUS CEPET-CEPET KE UKS!”
Jaya mengangkat kepala, lalu berdiri secara perlahan. Ia mencoba mengepalkan kedua telapak tangan untuk menghilangkan rasa denyut yang terus-menerus menghujam permukaan kulitnya.
“Jay, sorry, Jay, aing nggak bermaksud tackle maneh asli!” Cipta menyatukan kedua tangan sembari menundukkan kepala akibat rasa bersalah telah membuat teman satu kelasnya cedera.
Jaya tersenyum dan mengangguk. Ia tak tahu mengapa perasaan marah yang semula membludak itu seketika lenyap. “Santai,” ucap Jaya sekilas.
Jaya membalikkan tubuh, mengangkat kedua tangannya di udara. “Aing ke UKS dulu, maraneh lanjutin aja.” Jaya melirik ke arah sekitar untuk menemukan seseorang untuk mengganti dirinya dalam bermain bola. “Ilyas! Gantiin aing, dong.” Ilyas yang kebetulan tak sedang melakukan aktivitas apapun itu langsung mengangguk dan bergabung ke dalam lapangan untuk menggantikan Jaya.
“Mau dianterin nggak?”
Jaya menjawab pertanyaan Jagat dengan sebuah gelengan. “Nggak perlu, anjing. Aing bukan anak kecil, kali.” Jaya berdecak kesal. Semanja-manjanya ia di dalam rumah, tak mungkin pula akan memperlihatkan sifat itu kepada rekan-rekan sekolahnya.
Sepanjang perjalanan Jaya sibuk membersihkan pasir dan bebatuan kecil yang memenuhi permukaan kulit telapak tangannya. Selama itu pun ia berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Bayangkan saja, tubuhnya terhempas cukup kencang sehingga tanpa persiapan apapun ia hanya mengandalkan kedua tangannya sebagai pelindung bagian tubuhnya yang lain. Pun, sayangnya usaha tersebut sia-sia sebab kini salah satu celana laki-laki itu sudah bolong akibat kejadian beberapa saat lalu.
Kedua kaki jenjang Jaya menyusuri tiap-tiap lorong untuk menuju ruangan UKS. Jaya awalnya cukup tak percaya diri bahwa ruangan itu akan terbuka, sebab saat ini adalah sedang waktu istirahat berlangsung. Jaya pastikan mereka yang bertugas untuk berjaga pun sedang melaksanakan istirahatnya.
“Eh, Kak Jaya ngapain ke sini?”
Suara itu. Jaya cukup kenal dengan suara itu. Lantas Jaya segera mendongak dan tepat sekali. Pemilik suara itu tak lain adalah adik kelasnya yang kemarin malam sukses membuat dirinya dilanda kebingungan.
Jaya menyembunyikan kedua lengan di balik punggungnya. “Mau minta obat merah, ada kan di dalem?” tanya Jaya, menatap Syifa dan ruangan UKS yang sudah tertutup rapat itu secara bergantian.
“Obat merah?” Kedua mata Syifa mengedip cepat. “Obat merah buat siapa emangnya Kak Jaya?” Ini bukan semata-mata dirinya ingin membangun sebuah konversasi kecil di antara mereka, bukan. Hanya saja ia berhak tahu sebagai anggota dari ekstrakurikuler PMR.
“Buat Jaya.”
Syifa spontan menelaah penampilan kakak kelasnya itu dari ujung rambut hingga ujung kaki, namun belum sampai kaki laki-laki itu Syifa dibuat terkejut ketika dapati lutut celana kakak kelasnya itu sobek dengan sebagian luka gores pada lutut laki-laki itu.
“Kak Jaya abis jatoh?”
Jaya mengangguk. “Iya, ada kan obat merahnya di dalem?” ulang Jaya, tak ingin membuang-buang waktu untuk sekadar berdiri dan berdiam diri di depan pintu yang masih tertutup rapat. Karena demi apapun semenjak ia berjalan hingga telah sampai pada tempat tujuannya, rasa denyut itu belum hilang juga.
“Ada!” Syifa mengangguk, salah satu tangannya bergerak untuk meraih kunci ruangan tersebut. “Ayo, Syifa bantu obatin lukanya Kak Jaya!” Tangan kiri gadis itu telah berada di knop pintu, sementara tangan lainnya berusaha membuka kunci ruangan dengan tergesa—tak ingin membuat pasiennya menunggu lama.”
Cklek!
Pintu itu telah terbuka sempurna. Syifa perlahan mendorong pintu ruangan itu. Decit suara bawah pintu yang bergesekkan dengan lantai di bawahnya cukup mengganggu indera pendengaran mereka berdua. Jaya melirik ke arah lantai yang telah dipenuhi oleh puluhan pasir halus yang sudah berkumpul satu sama lain seakan hanya tempat itu satu-satunya yang dapat menerima kehadiran mereka.
Jaya mengikuti langkah gadis itu untuk berjalan ke dalam ruangan UKS. Bau ciri khas obat-obatan yang bercampur obat mereka menyeruak dan berbondong-bondong berusaha memasuki indera penciumannya. Tenang, sunyi, dan sejuk menjadi salah satu kata sambutan dari mereka ketika ia telah berhasil berada di dalam ruangan itu.
“Kak Jaya tangannya dicuci dulu, ya, sambil Syifa mau nyari obat merahnya dulu.”
Jaya mengangguk, berjalan ke arah wastafel untuk membersihkan tangannya dari kotoran yang menempel. Gemercik suara air yang mengalir mulai tercipta di tengah-tengah suasana sunyi. Kepala Jaya menunduk seiring dengan kedua tangan sibuk membersihkan luka gores tersebut. Semula bulir-bulir keringat yang telah memenuhi wajahnya kini tak tersisa sedikit pun. Entah pergi ke mana Jaya pun tak tahu.
“Sini duduk, Kak Jaya, Syifa mau kasih obat merahnya,” ucap Syifa selepas Jaya telah menutup kran air tersebut, menepuk kursi di sebelahnya yang kosong.
Jaya membalikkan tubuh, mengibas-ngibaskan tangan agar air pada tangannya akan segera menghilang selagi berjalan ke arah kursi yang dimaksud adik kelasnya.
“Kayak gini Kak tangannya.” Syifa memperagakan kedua telapak tangan yang menengadah, sengaja agar Syifa dapat mengobati luka itu dengan mudah.
Jaya tak banyak berkomentar, laki-laki itu langsung menuruti setiap titahan yang diminta adik kelasnya.
Syifa meraih dua helai tisu untuk menghilangkan bekas air yang masih tercetak jelas pada kedua tangan laki-laki itu dengan hati-hati. “Kak Jaya abis jatoh dari mana, kok, sampe kayak gini,” penasaran Syifa di sela-sela kegiatannya. Kepala gadis itu mendongak sebentar untuk menatap sang kakak kelas yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Ketika gadis itu kembali menundukkan wajah, Jaya segera membalasnya. “Abis main bola.” Syifa manggut-manggut. Kini jemari gadis itu dengan lincah meraih beberapa kapas sebelum akhirnya obat merah itu sudah Syifa teteskan secara perlahan ke atas permukaan kapas putih.
“Eh.” Jaya menginterupsi kegiatan gadis itu dengan menarik kembali kedua lengannya penuh keraguan.
Syifa menoleh, memberikan tatapan penuh tanya. “Kenapa Kak Jaya?” tanya Syifa.
Jaya menunjuk sekilas ke arah botol obat merah yang terbuka. “Perih nggak itu obat merahnya….” Jaya berucap dengan nada lirih, kemudian membuang sembarang tatapannya.
Syifa terkekeh. “Kak Jaya takut sama obat merah?” ledek Syifa, mengangkat kapas dipenuhi obat merah itu ke arah sang kakak kelas.
“Nggak.”
“Terus kenapa nanya perih atau nggak?”
“Ya… nanya aja, emang nggak boleh?”
“Nih, ya, Kak Jaya. Kalau misalnya Kak Jaya takut diobatin sama obat merah berarti tandanya Kak Jaya nggak boleh jatoh-jatoh lagi! Main bolanya harus lebih hati-hati!”
Jaya udah hati-hati kali, tapi emang lawan main Jayanya aja yang main kayak kesetanan, batin Jaya. Ia hanya terdiam dan membiarkan gadis itu menyelesaikan ucpannya tanpa berniat untuk menginterupsinya barang sedetik.
“Udah sama Jaya sendiri aja obatinnya.” Tangan Jaya kembali menengadah, berharap gadis itu akan memberikan kapas yang sudah dipenuhi obat merah tersebut kepadanya.
Syifa menggeleng. “Justru kalau diobatin sama diri sendiri bakalan kerasa lebih sakit tau, Kak!”
“Ya udah, kalau gitu pelan-pelan.”
Syifa tersenyum puas ketika laki-laki itu kembali menyerahkan kedua tangannya. Maka agar tak menyia-nyiakan kesempatan itu, Syifa kembali mengambil sebuah kapas baru dan meneteskan obat merah untuk ia oleskan ke atas permukaan kulit sang kakak kelas itu.
“Perih nggak, Kak?” Jaya menggeleng menjawab pertanyaan itu.
Napas Jaya tercekat ketika merasakan terpaan angin pelan pada kedua tangannya. Ia terbelalak sesaat ketika menyadari angin tersebut berasal dari mulut sang gadis yang tengah meniup kedua tangannya. Jaya membeku. Ia tak pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya.
“Luka Kak Jaya yang di tangan jangan ditutup, ya. Tapi Kak Jaya harus hati-hati jangan sampe nanti kena batu atau pasir lagi.”
Jaya mengangguk, kendati kalimat itu tak terdengar jelas sebab pikirannya saat ini sedang dipenuhi oleh hal lain.
“Luka Kak Jaya yang di lutut mau Syifa yang pasangin atau Kak Jaya sendiri yang pasangnya?”
Belum genap dua detik kalimat itu tersampaikan, Jaya buru-buru menyambarnya. “Jaya.” Tangan laki-laki menengadah. “Jaya sendiri yang pasang.” Syifa segera menyerahkan kain kasa itu kepada Jaya yang beruntungnya laki-laki itu dengan cepat meraihnya tanpa harus susah payah Syifa mengulangi kalimatnya.
Baru beberapa detik kain kasa serta plester itu berpindah ke tangan milik Jaya, namun seketika tatapan Jaya sukses dipenuhi oleh berbagai pertanyaan.
Jaya menatap benda pada genggamannya. “Plesternya emang nggak ada yang lain?” tanya Jaya ragu.
Syifa mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan untuk menatap sebuah barang yang masih setia laki-laki itu pegang seakan tak ada niat untuk segera memasangkannya pada luka terbuka itu.
Syifa menggeleng. “Nggak ada lagi, Kak. Itu plester yang biasa dibawa Syifa, soalnya kalau mau ambil plester biasa kunci lemarinya ada di Ibu Rita,” jelas Syifa. Ia dapat mendengar jelas suara helaan napas yang dikeluarkan dari mulut kakak kelas itu seperti tengah memikul beban yang sangat berat.
“Kak Jaya keberatan, ya, pake plester itu?” tanya Syifa. “Atau mau coba Syifa beliin dulu ke warung belakang buat plesternya biar Kak Jaya nggak pake plester yang itu?”
Jaya menggeleng cepat. “Nggak usah, udah pake yang ini aja.”
Jaya memang sedikit risih dengan pola gambar dari plester itu yang tak konkret dengan usianya saat ini, akan tetapi jika keegoisannya justru membuat orang lain kesusahan, maka mau tak mau ia harus menerima itu.
Jaya spontan mengaduh kala kulitnya yang memiliki luka itu bersentuhan langsung dengan obat merah yang masih basah dan sangat terasa pada permukaan kulitnya. Ia segera menggigit bibirnya untuk meredam semua ucapan bahkan erangan kesakitan yang mungkin tak sadar akan dilontarkan olehnya. Lututnya kini berdenyut. Tiap denyutan itu ia melontarkan segala kalimat yang tak sepatutnya ia ucapkan di dalam hati.
Syifa menarik kedua ujung bibirnya kala melihat laki-laki itu tengah mengobati lukanya sendiri. Entah apa yang telah merasuki dirinya, hingga senyuman itu tiap detiknya justru makin melebar. Di antara semua objek dan kegiatan yang bisa ditatap olehnya, entah mengapa pandangan serta perhatian miliknya secara tiba-tiba terjatuh pada rambut laki-laki itu yang sedari tadi terus mengikuti arah gerak sang empu—terhempas ke kanan; kiri; bawah; dan atas dengan bergantian.
Jaya mengernyit ketika mendapati Syifa yang tengah menatapnya tanpa berkedip sedikit pun. “Kenapa?” tanya Jaya setelah menyelesaikan untuk memasang kain kasa pada luka lututnya.
“Eh?” Syifa mengerjap cepat ketika kesadarannya kembali. Ia cukup malu saat laki-laki itu menyadari bahwa tengah memergoki dirinya yang menatap ke arah sang kakak kelas tanpa berkedip. “Nggak, bukan apa-apa, Kak. Syifa cuman penasaran sama sesuatu….”
“Apa?”
Syifa menelan ludah. Ia sibuk menimang-nimang apakah ia harus mengatakan hal ini atau sebaliknya.
“Penasaran apa?” ulang Jaya sebab gadis itu tak kunjung menjawab pertanyaan darinya.
“Hair routine Kak Jaya apa aja?”
Alis Jaya menukik. “Maksudnya?”
“Syifa mau tau hair routine-nya Kak Jaya, soalnya Syifa perhatiaan kayaknya rambut Kak Jaya halus banget keliatannya.” Syifa menunjuk malu-malu ke arah kepala laki-laki itu.
Syifa tidak sedang berusaha mencari topik demi mereka berdua dapat menghabiskan waktu lebih lama, tidak. Syifa benar-benar dibuat penasaran pasalnya setiap bertemu dengan laki-laki itu, rambut Kak Jaya sukses menghipnotis dirinya. Acap kali menatapnya seperti terdapat gaya magnet seakan meminta kedua tangannya untuk terulur mengusap rambut laki-laki itu.
“Setiap liat rambut Kak Jaya, Syifa suka jadi pengen nyoba ngelus. Kayaknya beneran sehalus itu….”
Entah sadar atau tak sadar, dengan lancang Syifa berucap terus terang. Jujur Jaya sendiri yang mendengar kalimat itu cukup kaget, namun beruntungnya ia masih dapat menahan reaksi pada mimik wajahnya.
Jaya berdeham, melirik ke arah pintu ruangan pun pada kedua jendela di sebelah pintu tersebut.
“Eh… kenapa, Kak Jaya?” Syifa terkejut dengan gerak-gerik laki-laki itu secara tiba-tiba. “Kenapa nunduk? Kak Jaya pusing?”
Jaya menggeleng dalam posisi yang masih menunduk. “Katanya mau ngelus rambut Jaya? Nih Jaya kasih.” Laki-laki itu benar-benar tak bergerak sedikit pun dari posisinya. Kendati ia tak tahu kapan gadis itu akan mengulurkan tangannya.
Syifa terdiam dengan kedua mata yang terbelalak. Syifa masih sibuk mencerna kejadian di depannya yang memperlihatkan seseorang yang disukainya tengah menundukkan kepala, memberinya kesempatan untuk melakukan keinginannya yang ia ucapkan beberapa saat lalu.
Maka, dengan tangan yang bergetar. Syifa mengulurkan tangan untuk menuju rambut sang kakak kelas. “Maaf, ya, Kak,” ucap Syifa ketika telapak tangannya berhasil menyentuh permukaan rambut laki-laki itu.
Sesuai dengan dugaannya, bahwa rambut laki-laki itu benar-benar halus. Dibandingkan dengan rambut miliknya, rambut laki-laki itu jauh lebih baik daripada rambut miliknya. Jika mengharuskan ia mengelus rambut itu selama apapun, ia tanpa berpikir dua kali; tanpa berpikir lama; akan langsung menyetujuinya. Sebab mengelus rambut sang kakak kelas itu telah memberikan candu terbaru untuknya selain melihat ketika laki-laki itu tersenyum; bagaimana ketika kedua matanya berubah bak bulan sabit.
“Udah?” tanya Jaya saat merasakan bahwa tak ada lagi telapak tangan yang bergerak secara beraturan pada kepalanya. “Syifa?” Jaya menoleh dan langsung disambut oleh senyuman terbaik yang dimiliki oleh gadis itu.
“UDAH! MAKASIH KAK JAYA!”
Jaya terperanjat mendengar ucapan penuh antusias itu. Bahkan jemarinya refleks menutup salah satu telinganya yang menjadi sasaran empuk suara gadis itu.
Jaya berdiri. “Ya udah kalau gitu Jaya balik ke kelas dulu, ya. Makasih udah mau ngobatin Jaya.”
Setelah menyelesaikan ucapannya, laki-laki itu benar-benar melangkah menjauhi tempatnya berada. Seharusnya Syifa membalas kalimat pamit dari sang kakak kelas, namun jangankan untuk ia membuka suara dan bergerak, untuk ia berkedip dan menelan saliva pun sepertinya tak kuasa.
Jaya melangkah cepat bak dikejar anjing yang sudah ia jahili dengan melemparkan beragam batu secara bertubi-tubi.
Jaya mengusap wajah kasar. Jari-jari laki-laki itu saling menekuk dan memukul pelan kepalanya dengan cepat. “Anjing! Anjing! Anjing!” Kemudian berakhir memutar pelipis kepalanya seakan ia tengah diberi permasalahan cukup serius. Namun siapa sangka, gerakan tangan itu justru dalih untuk menepis segala tentang kenangan beberapa saat lalu di dalam ruang kesehatan yang telah berhasil mengisi pikirannya ditiap langkah yang ia ambil.
Puspas Niskala Universe.
by NAAMER1CAN0