ZEBRA CROSS: 01.35 PM
Syifa mengetuk-ngetukkan bosan jemari lentik miliknya itu di atas etalase kaca. Tangan lainnya yang terbebas setia menopang dagu sang empu sembari sesekali tatapan gadis itu mengelilingi ruangan yang cukup padat oleh para pengunjung yang berdatangan.
Lembaran kertas yang sudah tersusun rapi di bawah lengannya seakan tak dipedulikan oleh seorang pria di depan sana. Jangankan untuk mendatanginya, untuk sekadar pria itu menoleh ke arah ia dan kumpulan kertas itu pun tak melakukannya.
Jika ia tahu bahwa fotokopi ini sedang ramai oleh pengunjung, mungkin ia akan berbalik arah untuk menuju tempat fotokopi di seberang. Namun, apa yang bisa ia lakukan ketika sebuah ibarat bahwa nasi pun sudah menjadi bubur.
Tubuh Syifa refleks menegak kala melihat pria itu justru menghampiri seorang siswi yang ia pastikan bahwa sosok gadis itu belum genap sepuluh menit berada di dalam ruangan ini. Kedua alis Syifa saling bertaut; garis-garis pada dahinya kian tercetak dengan raut wajah menahan penuh rasa kesal.
“Pa, kok dia duluan?! Kan, Syifa duluan yang udah selesai nge-print-nya dari tadi!” keluh Syifa tak terima dirinya diterobos begitu saja oleh salah satu pengunjung di sana.
Jari-jari pria itu bergerak cepat seiring rentetan kalimat yang terus-menerus disenandungkan oleh gadis itu. “Bentar, ya, Neng. Ini nanggung soalnya cuman nge-print aja tanpa ngejilid,” tenang sang pemilik fotokopi, berharap setelahnya pria itu tak akan dilempari oleh kalimat protes secara bertubi-tubi.
Syifa tak peduli jika dirinya dianggap tak sopan oleh seorang gadis yang kini sedang menatap tak suka ke arahnya—apalagi ia sendiri tak mengetahui asal-usul gadis itu, entah siswi yang sepantar dengannya; lebih muda; atau bahkan parahnya lebih tua. Syifa tak memikirkan sampai sejauh itu, sebab ada hal lain yang lebih penting ia pikirkan. Ucapan darinya pun hanya sebatas rasa impulsif belaka di luar kendalinya kala itu.
Ingin kembali mencecar dengan berbagai kalimat yang belum sempat ia salurkan, namun ia pun mau tak mau harus menelan paksa rentetan kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya sebab tak ingin dirinya dicap sebagai orang tak sabaran.
Selepas asyik bergelut dengan isi pikirannya, pria itu akhirnya datang dan mulai meraih tumpukkan lembaran kertas itu yang sudah ia rapikan sesuai nama pemiliknya.
“Mau dijilid warna apa, Neng?”
“Biru, ya, Pa.”
Pria itu membalas ucapannya dengan anggukkan. “Ada print gambar berwarna nggak, Neng?” Sang pemilik fotokopi menekuk lembaran kertas itu untuk menghitung berapa banyak kertas yang terpakai dengan cara cepat. Ada rasa takjub ketika Syifa asyik menatap kejadian itu bahkan tanpa berkedip sedikit pun.
Lantas, saat ia kembali teringat dengan pertanyaan terakhir yang diucapkan pria itu, Syifa bergegas menggelengkan kepala. “Nggak ada, Pa. Paling print gambar logo sekolah aja di awal,” sahut Syifa setelah tersadar dari lamunan.
Hal yang paling disenangi olehnya ketika harus berada di tempat fotokopi adalah melihat pemandangan sang pemilik dengan telaten menyulap kertas tak beralaskan itu dengan berbagai kertas yang memiliki warna dapat memanjakan indra penglihatannya. Apalagi ketika tumpukkan kertas itu dipotong untuk menyesuaikan ukuran dengan kertas berwarna di bawahnya. Aneh memang,
Hingga akhirnya….
“Semuanya lima puluh sembilan ribu, ya, Neng.”
Lamunan ia terhentikan oleh suara pria itu yang telah menginterupsinya. Sontak jemari Syifa terulur untuk meraih meraih dua lembar uang berwarna biru dan ungu untuk diserahkan kepada orang tersebut.
“Neng, nggak ada kembalinya. Seribunya mau di-ke-permenin aja nggak?” tawar pria tersebut sukses membuat Syifa mendecih pelan. Bukan karena ia tak suka karena kembaliannya tidak berbentuk uang, melainkan setelah ia harus bersabar antreannya diserobot, lalu sekarang kesialan lain mendatanginya secara bertubi-tubi.
“Boleh, tapi Syifa mau permen kopiko, ya, Pa.”
Maka, agar pria itu dapat melayani pelanggan lainnya yang telah saling menunggu satu sama lain, pria itu meraih beberapa permen sesuai permintaan gadis itu dan diserahkan kepada sang empu.
Maka, agar pria itu dapat melayani pelanggan lainnya yang telah saling menunggu satu sama lain, pria itu meraih beberapa permen sesuai permintaan gadis itu dan diserahkan kepada sang empu.
“Terima kasih, Pa!”
Tiga kata tersebut menjadi akhir dari pertemuan mereka, sebab kini Syifa telah berancang-ancang meninggalkan tempat fotokopi itu. Sementara pria pemilik tempat itu sudah berpindah pada pelanggan lain dan melakukan hal sama kepadanya seperti beberapa menit yang lalu.
“Udah ngantre lama, kembalinya pake permen, eh permennya susah dibuka gara-gara kepanasan!” rutuk Syifa.
Tumpukkan makalah yang cukup tebal itu ia apit di antara ketiaknya, sedangkan jemarinya sibuk membuka bungkus permen yang entah mengapa permen itu seakan tak menginginkan untuk disantap olehnya.
“Arghh, kesel sendiri Syifa bukanya juga!”
Malang sekali, tanpa melibatkan rasa kasihan permen dengan bungkus sudah tak beraturan itu Syifa lempar sembarang arah. Masa bodoh dengan racauan dari permen itu nanti, Syifa tidak memedulikan akibat rasa kesal yang masih menyelimuti dirinya.
Syifa melirik ketiga permen lain yang tengah asyik bersemayam di kantong seragam miliknya itu, niat ingin meraihnya dan melempar seperti permen sebelumnya, namun dengan cepat ia mengurungkan niatnya. Perkataan ibunya kembali terngiang-ngiang untuk tidak membuang-buang makanan, pun tak boleh membuang sampah sembarangan. Lantas, bekas permen yang sudah dibuang olehnya, Syifa kembali raih dan membuangnya di tempat sampah yang tak jauh dari tempatnya berada.
“Maaf, ya, permen tadi Syifa buang, soalnya kamu ngeselin!” ucap Syifa sembari menatap iba tong sampah di depannya.
Getaran pada saku rok sekolah itu berhasil menjadi sebuah alarm untuknya. Syifa menepuk jidatnya tak berperasaan. Kulit putih itu perlahan berubah menjadi merah akibat tindakannya beberapa sekon lalu. “Syifa hampir aja lupa buat cepet-cepet nyerahin tugas makalah ini sebelum pelajarannya selesai!” Gadis itu terburu mengangkat sedikit rok sekolah hingga di atas mata kaki agar tak menyulitkan dirinya dalam berlari.
Suara klakson yang terdengar nyaring lantaran tak sabaran dibunyikan oleh saban insan di dalam kendaraan roda empat itu mengalun ramai dan mengisi penuh indra pendengarannya. Lengkap sudah ketika para kendaraan itu entah mengapa justru seperti tengah saling menunggu kendaraan lainnya untuk melaju. Entah datang dari mana, angkutan umum berwarna hijau biru muda itu mulai memenuhi jalanan yang tengah ia telusuri untuk kembali ke lingkungan sekolah. Sepanjang perjalanan ia dapat merasakan bagaimana tiap pengendara tengah menahan amarah di tengah-tengah kemacetan pun keadaan cukup terik. Panas, pengap, pegal, dan bosan. Tanpa harus mengalaminya, ia cukup paham yang sedang dirasakan para pengendara di sana.
Kedua kakinya sibuk melangkah sembari melafalkan kalimat permintaan agar jalanan menuju sekolahannya tak semacet seperti sekarang ini. Perlahan macet oleh kendaraan itu berangsur mereda. Tak ada lagi para kendaraan yang berbondong-bondong saling berlomba siapa yang paling lama berdiam diri di bawah panasnya sang surya. Kini hanya ada keadaan jalanan yang padat merayap. Syifa sendiri cukup dibuat heran dengan jalanan itu yang tiba-tiba macet, tak seperti biasanya.
Syifa mempercepat langkahnya ketika zebra cross di depan sana sudah mulai terlihat. Kepala gadis itu bergerak ke kanan dan ke kiri, memperhatikan tiap kendaraan yang terus berlalu-lalang tanpa berniat untuk mengistirahatkan sejenak mesin itu, sekadar memberikan sedikit jalan untuknya menyeberang.
Syifa diselimuti penuh keraguan tatkala kaki gadis itu baru saja mengambil satu langkah untuk berada di garis start zebra cross, namun sayangnya langkah tersebut justru dibawa kembali ke tempat sebelumnya saat tiba-tiba sebuah motor cukup kencang melintasinya begitu saja.
“Harusnya kalau ngelewatin zebra cross itu jalanin motornya pelan-pelan!” gerutu Syifa, meskipun kalimat penuh rasa kesal itu tak sampai kepada telinga sang pengendara. “Bukannya ada peraturan berkendara kalau ngelintas ke tempat-tempat kayak sekolah gitu kecepatan kendaraannya harus dikurangi, ya?” tanya Syifa kepada diri sendiri.
Setahu dirinya, pada tiap sekolah memiliki Zona Selamat Sekolah (ZoSS). Salah satu contohnya tidak memperbolehkan berkendara di kawasan sekolah lebih dari 30 km/jam atau bahkan 40 km/jam sesuai dengan rambu lalu-lintas yang terpasang di sekitar sekolah. Tolong ralat dirinya jika informasi masih kurang tepat. Namun, ia cukup yakin dengan informasi yang pernah dijelaskan oleh ayahnya ketika di rumah kala itu.
“Mau ke mana, Syifa?”
Sedang asyik-asyiknya bergumul dengan isi pikirannya, sekonyong-konyong kalimat itu terucap di tengah-tengah suasana cukup bising lantaran beberapa kendaraan yang melintas memakai knalpot yang sudah jelas-nelas melanggar etika pun peraturan dalam berkendara.
“KAK JAYA?!”
Entah terkejut atau senang, yang pasti kedua mata gadis itu sukses membulat sempurna. Seper sekian detik kemudian kedua mata itu menyipit sebab gadis itu saat ini tengah mati-matian menarik kedua ujung bibirnya.
“Syifa mau ke mana?” ulang Jaya, menatap bergantian antara gadis itu yang sedari tadi berdiam diri di pinggir jalan, lalu menatap gerbang sekolah di seberang sana.
“Syifa tadi abis dari tempat fokotopi-an bawah, abis nge-print tugas bahasa Indonesia kelasnya Syifa, Kak Jaya!” Syifa mengangkat makalah itu, memberi bukti konkret atas balasan dari pertanyaan kakak kelas itu.
Jaya merespons jawaban itu dengan menganggukkan kepalanya pelan.
Syifa menatap heran laki-laki di sampingnya yang secara tiba-tiba muncul di sekitarnya. “Kak Jaya sendiri ngapain ada di sini?” tanya Syifa balik.
Jaya melirik ke arah belakang yang Syifa sendiri tak tahu ke arah mana laki-laki menunjuknya. “Jaya abis mindahin motor ke parkiran halaman rumah Bu Tatiek.”
“Lho, kenapa dipindahin?” Syifa bertanya dengan kedua alis yang menyatu.
“Biar bisa bolos mata pelajaran bimbingan konseling di Aula nanti,” timpal Jaya penuh kejujuran.
Syifa menepuk dahi setelah mendengar jawaban yang ia tak pernah menyangka bahwa laki-laki itu akan mengatakan hal tersebut. “IH, KAK JAYA BANDEL!” Sementara Jaya yang telah berucap demikian hanya merespons ucapan itu dengan tawa kecil.
Lantunan tawa itu seketika terhenti setelah menyadari ada pertanyaan lain yang akan ia sampaikan. “Kenapa nggak nyeberang?” heran Jaya, memandang gadis itu bergantian dengan objek di hadapannya.
“Jalanannya dari tadi belum kosong-kosong juga, Kak Jaya.”
Syifa bukan sedang menjual kisah menyedihkan agar mendapat perhatian dari laki-laki itu, bukan. Hanya aja kekurangan lainnya yang Syifa punya yaitu tak bisa melintasi jalan raya yang ramai akan kendaraan yang berlalu-lalang, terkecuali jalanan itu cukup sepi, baru ia bisa leluasa melintasi tanpa harus bantuan orang lain.
Dahi Jaya mengernyit. “Oh alah, ternyata Syifa nggak bisa nyeberang, ya.” Ada nada kekehan kecil setelah selesai kalimat itu ia ucapkan, namun lantunan tawa itu tak terdengar oleh gadis itu, sebab mampu tertimpa oleh suara kendaraan yang mendominasi.
Baru saja ia ingin menepis perkataan dari kakak kelasnya itu dan mengklarifikasi bahwa dirinya bukan tidak pandai dalam menyeberang, hanya saja kendaraannya dari tadi saling egois tak memberinya waktu untuk melintas walau beberapa detik. Dasar denial. Padahal sudah jelas-jelas ia memang tak bisa karena rasa takut yang menyelimuti dirinya.
“Ya udah, ayo, bareng Jaya. Jaya juga mau balik ke sekolah,” ajak Jaya.
Syifa bahkan belum mengiakan kalimat itu, tetapi Jaya sudah lebih dulu melangkah untuk melintasi jalanan cukup mengerikan untuknya. Katanya ngajak nyeberang bareng, tapi kenapa Kak Jaya malah nyeberang sendirian!
Merasa dirinya tak diikuti oleh seseorang di belakang, pun ia tak mendengar sayup derap langkah kaki yang lain, Jaya segera membalikkan badan. Alih-alih mengikuti langkahnya, gadis itu masih diam sembari memperlihatkan tatapan penuh rasa takut.
“Ayo nyeberang.”
Kepala laki-laki itu bergerak seolah tengah memberi isyarat kepada Syifa yang masih asyik berdiam diri. Melihat laki-laki itu akan kembali meninggalkannya, Syifa dengan cepat membawa kedua kakinya untuk mengikuti langkah Kak Jaya. Salah satu tangannya yang terbebas itu tanpa disadari telah menarik belakang seragam kakak kelasnya, bahkan gadis itu sampai meremasnya. Untung saja tak membuat seragam laki-laki itu keluar.
Merasa ada seseorang yang sedang menarik belakang seragam sekolahnya, Jaya otomatis menoleh. Ia cukup dibuat terkejut ketika dapati sang adik kelas seolah tengah menjadikan seragam sekolahnya sebagai panduan untuk gadis itu melangkah.
Jaya melirik lengan gadis itu sejenak, kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke depan seperti semula. Lantas, entah rasa keberanian itu datang dari mana, kini lengannya telah mencengkeram erat pergelangan tangan sang adik kelas. Pun, cengkeraman pada seragam laki-laki itu otomatis terlepas kala tangannya ditarik pelan oleh sang empu.
Syifa sukses membeku kala merasakan jelas bagaimana dinginnya dari telapak tangan laki-laki itu mampu meredakan rasa panas pada kulitnya. Apabila laki-laki itu tak berjalan dengan menggerakkan tangan, mungkin ia akan berdiam diri di tengah-tengah zebra cross, bahkan mungkin ia akan dilayangkan oleh bising suara klakson yang tak terima akibat kehadirannya yang membuat para pengendara tak dapat melajukan kendaraan.
Seper sekian sekon kemudian dahi Syifa mengernyit, menatap hampa tangan kanannya yang sudah tak dicengkeram oleh laki-laki itu. Sadar tak sadar ia meloloskan napas kekecewaan akibat kejadian itu.
Namun hal itu tak berangsur lama ketika laki-laki itu kembali menggenggam pergelangan tangannya disertai posisi sang empu yang telah berpindah ke sisi sebelah kiri—semula Kak Jaya berada di sisi sebelah kanannya. Kepala Syifa spontan mendongak, menatap tak percaya bahwa kakak kelasnya akan kembali menggenggam tangan miliknya. Banyak hal yang ingin ia ucapkan, sebenarnya, tetapi ia lebih memilih untuk menelan semua pertanyaan yang sudah siap ia tuturkan demi menikmati tiap detik waktu yang berjalan dengan laki-laki itu. Tak ingin ada sisa waktu yang terlewatkan secara sia-sia, tentunya.
Seharusnya Syifa saat ini menatap jalananan di depan atau bahkan menatap jalanan di bawahnya yang sedang sibuk ia lewati. Akan tetapi pandangan ia justru dipenuhi oleh cengkeraman laki-laki itu pada pergelangan tangannya. Tolong ingatkan ia nanti untuk tak membasuh pergelangan tangan kanannya atau tolong ingatkan untuk siapapun tak boleh menyentuh pergelangan tangan kanan miliknya sampai waktu yang akan ditentukan nanti.
Yah. Syifa mengerang kecewa kala cengkeraman laki-laki itu terlepas begitu saja setelah mereka berhasil sampai di gerbang sekolahnya.
“Kenapa nggak masuk?” Jaya cukup keheranan melihat gadis itu terus-menerus terdiam sembari menatap dirinya tanpa berkedip. Jujur saja dirinya cukup salah tingkah ditatap seperti itu, takut akan ada suatu hal aneh pada wajahnya.
Syifa menggeleng, menepis jauh-jauh lamunan dirinya. “Kak Jaya sendiri kenapa nggak masuk?” Bukannya menjawab, Syifa malah menimpali pertanyaan itu dengan pertanyaan baru.
“Jaya masih harus mindahin motor temen Jaya dulu.”
Syifa lagi-lagi mengangguk, sebab tak tahu harus merespons apalagi.
“Uhm… Kak Jaya.”
Jaya menoleh dengan salah satu alis yang terangkat.
“Tangannya sakit nggak?” Syifa menunjuk kedua tangan laki-laki itu melalui tatapannya. “Soalnya tadi abis genggam pergelangan tangan Syifa,” ucap Syifa malu-malu, kepala gadis itu tertunduk sampai kalimatnya selesai ia ucapkan.
Jaya yang diberi pertanyaan itu tanpa sadar mengikuti arah tunjuk adik kelasnya yang telah membantu mengobati lukanya akibat permainan bola pada istirahat pertama.
Anying, ini anak frontal banget ngomongnya. Mana malah aing yang salah tingkah denger omongannya. “Oh,” seru Jaya, menengadahkan kedua telapak tangannya. “Nggak sakit, kok.” Jaya mengangkat telapak tangan penuh goresan itu dan mensejajarkan dengan tatapan Syifa saat ini.
Syifa tersenyum, cukup lega mendengar jawaban itu. Suasana di antara mereka seketika menghening. Baik Syifa maupun Jaya tak ada lagi yang ingin melontarkan kalimat lainnya.
“Ngomong-ngomong Kak Jaya pasti malu, ya, pake plester yang dari Syifa tadi pagi.”
Mampus. Pandangan Jaya terjatuh pada sebuah plester yang terlihat jelas di balik seragam celananya. Bagaimana tak dapat terlihat ketika kain abu-abu itu justru mempertontonkan lukanya dengan sukacita kepada siapapun.
“Eh, plesternya ada, kok, di kelas Jaya.” Jaya memang tak sepenuhnya bohong, lantaran beberapa plester yang diberikan gadis itu memang betul-betul telah ia simpan di tas miliknya yang berada di kelas. “Jaya ganti pake plester ini, soalnya….”
“Soalnya malu, ya, Kak?”
Jaya menggeleng dengan rasa panik. “Nggak!” Bahkan kedua tangannya ikut mengibas agar gadis itu dapat mempercayai ucapannya.
Syifa tak kuasa menahan tawanya ketika melihat raut panik yang tercetak pada wajah Kak Jaya. “Syifa bercanda doang, kok, Kak Jaya. Nggak dipake juga nggak apa-apa!”
“Nanti Jaya pake,” timpal Jaya cepat. “Tapi nggak di sekolah, nanti Jaya pakenya di rumah,” lanjut Jaya berhasil membuat gadis itu bungkam.
Wajahnya memang terlihat tenang, tetapi siapa sangka bahwa kini Jaya tak henti melontarkan berbagai sumpah serapah atas jawaban darinya secara spontanitas itu.
“Kalau gitu Jaya duluan, ya, Syifa, soalnya nanti takut keburu bel mata pelajaran selanjutnya.”
“Eh, bentar, Kak Jaya!” cegat Syifa.
Gadis itu buru-buru merogoh saku seragamnya setelah melihat laki-laki itu kembali membalikkan tubuh untuk menunggu kalimat apa selanjutnya yang akan ia ucapkan.
“Ini buat Kak Jaya!” Tiga permen sebelumnya yang berniat akan ia buang justru kini ia serahkan pada laki-laki itu.
Jaya terlihat kebingungan menatap ketiga permen yang berada di atas telapak tangan Syifa. “Maksudnya?” tanya Jaya.
“Ini permennya buat Kak Jaya, itung-itung udah bantuin Syifa nyeberang tadi!” Syifa menggerakkan tangannya, berusaha melempar sebuah isyarat agar Jaya segera meraih ketiga permen tersebut.
Mulanya Jaya akan menolak, sebab ia menolong adik kelas itu dengan ikhlas. Namun ketika melihat sorot penuh harapan dari gadis itu untuk ia meraih permen tersebut sukses mengurungkan niatnya dalam menolak pemberian Syifa.
Jaya mengangguk. “Makasih, ya, Syifa.” Ketiga permen itu telah Jaya raih, kemudian ia masukkan ke dalam saku seragam. Setelahnya laki-laki itu melemparkan sebuah senyuman sebelum akhirnya Jaya kembali melanjutkan langkahnya, takut apabila ia justru telat mengikuti pelajaran selanjutnya. Mengingat setelah jam pelajaran kosong ini berakhir adalah mata pelajaran dengan guru yang terkenal dengan ketegasannya. Iya benar, guru fisika yang ditakuti oleh seluruh murid di kelasnya.
Syifa tak bisa untuk menahan senyumannya saat lagi-lagi dunia seakan tengah berpusat kepadanya hari ini. Meskipun ia selalu mendapatkan potongan-potongan momen kecil, namun baginya itu sudah lebih dari cukup. Potongan kejadian cukup berarti yang harus selalu ia kenang, sebab ia tak tahu apakah nanti ia akan merasakan hal itu kembali?
Puspas Niskala Universe.
by NAAMER1CAN0