NAAMER1CAN0


First: Museum Geologi, Bandung.

Keduanya telah sampai di tempat pertama yang akan mereka kunjungi. Jagat sedikit khawatir apabila pilihan tempat di acara kencan pertamanya ini memiliki kesan yang buruk bagi Grace. Namun, kekhawatiran itu hilang saat kedua matanya melihat raut bahagia yang tercetak di wajah perempuan di sebelahnya.

“Museum dunianya kamu ternyata.”

“Kenapa?” tanya Jagat, kedua tangannya yang semula sedang sibuk membantu memasangkan sebuah tiket di pergelangan tangan Grace pun seketika terhenti.

“Ini, tempat pertama yang kamu pilih ternyata tentang dunianya kamu.”

Kebingungan itu semakin tercetak di wajah Jagat. Kedua alisnya semakin bertaut karena tidak dapat menangkap maksud dari ucapan seseorang di depannya.

“Bumi, arti nama kamu, bumi, kan?” Grace balik bertanya, “ini kita lagi di museum yang isinya tentang kamu, tentang bumi.” Sebuah cengiran Grace perlihatkan. Ternyata jokes-nya tak mampu ditangkap oleh sang empu.

“Oalah, maaf saya nggak nangkep maksud ucapan kamu tadi.” Selesai membantu Grace, kini kedua tangan Jagat sibuk untuk memasangkan tiket miliknya pada pergelangan tangan kanannya sendiri.

Grace yang melihat itu sedikit gemas, sampai akhirnya tiket tersebut Grace rampas dan dia bantu pasangkan pada pergelangan tangan Jagat. “Sini sama aku aja, padahal minta bantuan aku gratis, kok,” sindirnya.

Merasa disindir, Jagat hanya tertawa menimpali ucapan Grace tanpa berniatan untuk membalasnya. “Makasih, ya.”

Grace membalas ucapan Jagat dengan senyuman manisnya. Setelah itu mereka berdua mulai memasuki Museum Geologi, yang tak lama langkahnya terpaksa terhenti. Aroma menenangkan dari Museum mulai menyeruak dan memanjakan indra penciuman mereka berdua.

“Mau ke arah barat atau ke arah timur dulu?” tawar Jagat. Tatapannya kini dia alihkan pada perempuan di sampingnya.

Museum Geologi ini terbagi menjadi dua lantai, masing-masing lantai memiliki tiga ruangan yang berbeda. Seperti pada lantai satu memiliki tiga ruangan utama, yaitu ruang orientasi yang berisikan peta geografi Indonesia. Ruang sayap barat berisikan mengenai geologi Indonesia yang mencakup sistem tata surya dan sebagainya. Sedangkan pada ruang sayap timur berisikan mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup atau evolusi zaman manusia primitif.

Pada lantai dua terbagi menjadi tiga ruangan, yang mana pada ruangan barat dikhususkan untuk staff Museum Geologi. Ruangan tengah berisi informasi pertambangan emas di dunia. Dan terakhir, pada ruangan timur berisikan mengenai mineral, bebatuan, sumberdaya, serta informasi mengenai bencana tanah longsor, dan lainnya. [1]

“Ke situ dulu, boleh?” tunjuk Grace pada sebuah ruangan tepat di sebelah kiri Jagat berdiri.

“Boleh.”

Jagat melangkah mundur agar Grace bisa berjalan lebih dulu. Kemudian tak lama Jagat menyusul langkah Grace dan menyejajarkannya dengan perempuan itu.

Grace seketika menghentikan langkahnya, lalu menatap sebuah kerangka fosil hewan purba yang membuat dirinya takjub saat melihatnya.

“Kamu percaya nggak, kalau misalnya Ayam itu masih ada sangkut pautnya sama hewan purba? Tepatnya keturunan Tyannosaurus rex?” ujar Jagat secara tiba-tiba, mengikuti Grace berdiam diri dan menatap kerangka hewan purba di depannya.

Grace secara cepat menolehkan wajahnya dan menatap lekat lelaki di sampingnya dengan raut penuh tanya. “Emang iya?” Kerutan di dahinya menandakan bahwa Grace kebingungan dengan pertanyaan tiba-tiba dari Jagat.

Jagat mengangkat bahunya. “Nggak tau juga, sih. Ada yang bilang mirip karena dulu ada peneliti yang nemuin kalau protein dari T-Rex punya kemiripan dengan protein yang dimiliki Ayam. Ada juga yang bilang kalau tulang kaki T-Rex mengandung matriks serat kolagen dan protein yang buat fleksibilitas pada tulang. Kalau kamu perhatiin, sekilas kakinya pun mirip sama kaki yang dimiliki Ayam. Cuman saya juga kurang tau, sih, benar atau enggaknya.” [2]

Sebagai anak sosial, Grace hanya mampu mengedipkan kedua matanya dengan cepat. Otaknya cukup sulit untuk mencerna ucapan yang baru dijelaskan oleh lelaki di sampingnya. Entahlah, Grace merasa bahwa lelaki di sebelahnya memiliki keunikan tersendiri.

Jagat yang menyadari Grace hanya diam pun terkekeh. “Maaf, kamu nggak ngerti, ya? Ya udah, kita lupain aja, ya.” Jagat menepuk pelan kepala Grace agar perempuan itu cepat tersadar dari lamunannya.

“Nanti.”

“Iya?”

“Aku belajar dulu, nanti kalau aku udah paham kita bahas sama-sama.”

Lagi-lagi Jagat hanya bisa terkekeh saat mendengar ucapan dari Grace. Bagaimana saat kedua matanya melihat rasa antusias dari Grace membuat Jagat merasa tidak enak, sebab dia telah membuat Grace kesusahan untuk mempelajari dari sebuah fakta atas kerandoman dirinya.

“Iya, boleh. Tapi, jangan dipaksa, ya. Kalau nggak paham juga nggak masalah, kok. Anyway, mau, lanjut?” Jagat memiringkan sedikit badannya, memberi sedikit jarak agar Grace bisa berjalan lebih dulu. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celananya, berusaha untuk menyembunyikan rasa gugup yang sedang dirasakannya.

Dengan senang hati Grace mengangguk dan mulai berjalan untuk memasuki sebuah ruangan di seberangnya yang belum sama sekali mereka injak.

“Kamu tau nggak kalau bangunan Museum ini dibangunnya itu 94 tahun yang lalu, berarti sekitar tahun 1928 dan menghabiskan biaya sebesar 754,5 juta Yen, kalau dirupiahkan mungkin sekitar 83 triliun lebih kali, ya? Itu pada tahun 1928, yang katanya dulu makanan itu masih sekitar satu rupiah. Kebayang nggak semahal apa?” [1]

Grace mendengarkan penjelasan dari Jagat tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari lelaki itu. Kedua kaki mereka dengan riang menyelusuri setiap ruangan yang mereka lewati. Entah bagaimana lagi dia harus deskripsikan lelaki di sampingnya, Grace terlalu bingung untuk menjelaskannya.

“Terus, museum ini kapan dibukanya?”

Jagat menolehkan wajahnya ke sebelah kanan dan dapati tatapan penuh penasaran dari perempuan di sebelahnya. Awalnya Jagat mengira bahwa Grace tidak mendengarkan penjelasannya, namun, dia salah.

“Didirikan 16 Mei 1928, terus dibuka lagi dan diresmikan 23 Agustus 2000.”

“Lebih tua museum ini dibandingkan umur aku ternyata.” Pandangan Grace mulai memperhatikan sekitar setelah menyelesaikan ucapannya.

“Iya, lebih tua museum ini seratus dua puluh tiga hari dibanding kamu yang lahir 24 Desember tahun 2000.”

Seketika Grace menghentikan kegiatan untuk memandang sekitarnya tatkala telinganya mendengar jelas bahwa tanggal lahirnya secara terang-terangan diucapkan oleh lelaki di sampingnya.

“Lho, kok kamu tau tanggal lahir aku?”

Feeling.

Feeling.

“Lho?” Kini Jagat sendiri yang dibuat terkejut saat Grace dengan sengaja mengucapkan sebuah kata yang sering dia gunakan.

“Udah aku tebak, jawabannya pasti kayak gitu.”

Lalu, keduanya mulai tertawa bersama. Hati Jagat menghangat ketika melihat sebuah tawa tulus yang terlontar dari Grace; perempuan yang disukainya.

Grace sedikit canggung ketika dapati Jagat yang sedang tersenyum sambil memandang ke arahnya. Salah tingkah. Grace sudah lama tidak merasakan momen seperti ini, sehingga jantungnya sulit untuk dia atur.

“Cantik, ya,” ucap Grace, matanya sibuk memandangi satu per satu bebatuan yang memiliki warna berbeda serta daya tarik tersendiri di matanya.

Jagat yang mendengar itu dengan spontan mengangguk dan menatap perempuan di sebelahnya. “Iya, cantik.”

Dahi Grace mengerut saat dapati lelaki di sebelahnya malah memandang ke arahnya, lengkap dengan sebuah senyuman manis yang tercetak di bibirnya.

“Kenapa? Kok liatin aku?”

“Kamu bilang cantik, kan? Iya, saya setuju. Kamu emang cantik.”

Grace terdiam. Padahal yang dimaksud oleh dirinya adalah batu-batuan di depan matanya.

“Kayaknya beneran udah mulai, ya.”

Lagi-lagi Jagat yang dibuat heran oleh ucapan Grace. “Mulai? Mulai apa?” tanyanya, kedua alisnya pun sudah mulai menyatu, menandakan bahwa Jagat tidak main-main dengan rasa penasarannya.

“PDKT-nya. Jadi, beneran udah mulai, ya?”

Mata Jagat dengan refleks melebar, namun, seperkian detik kemudian suara tawa pun mulai mengisi kekosongan atmosfer di sekitarnya.

“Maaf, saya terlalu terbawa suasana tadi. Tapi, iya. Saya udah mulai. Kalau kamu ngga nyaman, jangan sungkan buat bilang saya, ya.”

Sebenarnya jika boleh jujur Grace sedikit terkejut saat lelaki di sebelahnya menjawab pertanyaannya dengan jujur. Grace kira, Jagat akan memberikan sebuah sanggahan.

Keheningan mulai tercipta. Mereka berdua saling terdiam, enggan untuk memulai percakapan.

“Kamu tau nggak? Batu-batuan di sini bukan cuman yang dari Indonesia. Melainkan, ada juga dari negara lain,” ucap Jagat, mangawali pembicaraan agar keduanya tidak merasa canggungan.

Namun, pertanyaan yang secara tiba-tiba dilontarkan Jagat pun cukup membuat Grace tertarik untuk mendengarnya. “Iya?”

“Iya, kamu liat ini.”

Jagat menunjuk salah satu batu berwarna terang dengan telunjuknya. “Batu warna kuning itu namanya Caramel Quartz asalnya dari negara Madagaskar.” [3]

Grace kembali mengalihkan pandangannya yang semula menatap batu berwarna kuning di hadapannya, kini menatap Jagat di sebelahnya. “Kamu emang suka ke tempat-tempat bersejarah kayak gini, ya? Soalnya dari tadi aku perhatiin, kayaknya wawasan kamu luas. Padahal ini pertama kali kamu masuk sini, kan?”

Grace sedari tadi sudah menyadari bahwa lelaki di sampingnya ini memiliki wawasan yang cukup luas mengenai tempat-tempat bersejarah. Dirinya sedikit merasa sudah mulai tertarik dengan kepribadiaan Jagat yang baru diketahuinya itu.

Lagi-lagi Jagat dibuat tertawa. “Iya, saya suka sama hal bersejarah kayak gini. Lagi pula, saya, kan, yang ngajak kamu ke sini. Udah seharusnya saya tau sama tempatnya biar saya bisa kasih tau kamu. Kalau misalnya kamu pun tau, kan, jadi enak, kita bisa bertukar pikiran bersama,” jelas Jagat, kedua kakinya mulai melangkah untuk menuju tempat yang lainnya. Grace hanya bisa mengekori ke mana Jagat akan melangkah.

Sudah puas dengan ruangan yang berada di lantai satu, mereka mulai menjelajahi lantai dua. Di lantai dua ini Jagat lebih banyak diam, sebab, Grace mulai menjelaskan bagaimana awal mula terbentuknya longsor, apa saja kerusakan yan ditimbulkan oleh letusan gunung berapi. Jagat tentu sangat senang mendengar antusias Grace saat menjelaskan hal tersebut.


Second: Museum Gedung Sate, Bandung.

Gedung Sate atau biasa disebut dengan Gouvernements Bedrijven merupakan gedung yang dirancang oleh ahli tim Belanda oleh lulusan Arsitek, Fakultas Teknik Delft Nederland. Gedung Sate berdiri pada tanggal 27 Juli 1920. Bangunan Gedung Sate cukup unik karena memiliki ciri khas ornamen berbentuk seperti tusuk sate. Terdapat enam bulatan yang menyerupai tusuk sate dengan enam bulatan yang menancap melambangkan biaya pembangunan dari Gouvernements Bedrijven yaitu sebanyak enam juta gulden atau setara dengan empat puluh sembilan miliar lebih mata uang rupiah. [4]

“Aku sering lewatin Gedung Sate ini, tapi, baru kali ini nginjek ke dalemnya.”

Jagat tersenyum dan mengangguk menyetujui ucapan Grace. “Sama, saya juga.”

Langkah Grace berhenti pada salah satu sebuah maket yang telah menarik atensinya untuk dia pandangi.

“Ini kurang lebih gambaran dari Gedung Sate secara keseluruhan dari arah atas, ya?”

Lagi-lagi Jagat mengangguk. Sedari tadi senyuman yang tercipta pada bibirnya tak pernah dia lunturkan setelah menginjakkan kakinya di Museum Gedung Sate ini.

“Bumi pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum,” tukas Jagat.

Grace melirik pada sebuah kalimat yang telah diucapkan Jagat. Mendengar ucapan itu membuat rasa penasaran Grace mulai muncul. “Sejauh ini, gimana perasaan kamu waktu pindah ke Bandung?” tanya Grace. Akankah apa yang dulu dirasakannya akan sama dengan yang Jagat rasakan?

Jagat memejamkan kedua matanya sejenak, seolah sedang berpikir kenangan-kenangan apa saja yang sudah terukir di kota ini.

“Beruntung? Beruntung karena Bandung sangat ramah nyambut kedatangan saya, beruntung karena saya bisa kenal dengan teman-teman saya, juga, beruntung karena saya bisa kenal dan dipertemukan sama kamu.”

Bukan jawaban ini yang Grace harapkan. Seketika suasana pun mulai menghangat. Entah karena cuaca Bandung yang sedang cerah, atau akibat ucapan Jagat yang telah sukses membuat dirinya tersipu. Bahkan, kini kedua pipinya mulai menampakkan warna merah muda yang bertabrakan dengan olesan blush on-nya.

“I-itu bagus gambarnya, dari FSRD IPB. Keren ... iya, keren,” ucap Grace terbata.

Mata Jagat mulai menghilang saat mendengar salah satu universitas yang telah disebutkan Grace. Badan Jagat sedikit bergetar, merasa lucu dengan tingkah perempuan di depannya.

“ITB, Mega. Di IPB nggak ada Fakultas Seni Rupa dan Desain, kecuali kalau fakultasnya kolaborasi sama Fakultas Bisnis. Nanti, jadi FSRDB; Fakultas Seni Rupa dan Desain Bisnis.”

“I-iya, itu maksudnya! Aku kepleset tadi ngomongnya!”

Kekehan Jagat kian mengeras. Grace semakin dibuat salah tingkah atas kebodohannya sendiri. Ingin rasanya Grace berlari menuju rumahnya, namun, itu sangat mustahil baginya.

“Lagipula itu bukan Fakultas Seni Rupa dan Desain, melainkan inisial pembuat gambar tersebut, maybe? Karena di situ ditulis FRSDX, bukan FSRD.”

Jagat senang membuat seseorang di depannya semakin salah tingkah. Bahkan, saat ini Jagat masih setia menggoda perempuan itu. Jagat belum tau saja, jika Grace ingin melebur karena saking malunya atas ucapan spontan yang dilontarkan.

“Kamu udah pernah naik Bandros?” Jagat mulai mengalihkan pembicaraan, tidak tega melihat Grace yang semakin malu atas kejahilan darinya.

“Bandung tour on bus?”

“Iya.”

Grace mengangguk. “Udah sama Fara, waktu pertama kali pindah ke Bandung.”

“Kaget nggak waktu lewatin Asia Afrika? Eh, kamu lewatin Asia Afrika, kan?” Jagat hampir melupakan, bahwa tidak semua kendaraan itu melewati daerah Asia Afrika. Mengingat Bandros mempunyai tiga rute yang berbeda, tergantung dengan tempat Bandros beroperasikan.

“Lewat, kok, aku waktu itu naik dari Alun-Alun Bandung. Dan, iya. Aku kaget waktu hantu-hantu di sana tiba-tiba ngagetin. Jangan-jangan, kamu juga gitu?”

Jagat kembali teringat saat momen pertama kalinya dia menaiki kendaraan itu. Teman-temannya mulai heboh karena secara tiba-tiba hantu-hantu itu mulai berdatangan dan mengejutkan teman-temannya. Jujur, baginya itu tidak mengejutkan. Justru, Jagat sendiri malah dikejutkan oleh teriakan Aksara karena telah menjadi sasaran para hantu-hantu itu.

Grace memiringkan kepalanya ketika melihat Jagat malah tertawa secara tiba-tiba. Grace jadi sedikit takut, takut apabila lelaki di hadapannya dimasuki oleh penunggu tempat yang mereka singgahi saat ini.

“Jagat, are you okay?” lirih Grace, bahkan tangan kanannya mulai mengibas di depan muka Jagat.

“Ah, maaf.” Jagat mulai tersadar dari kegiatan nostalgianya. “Nanti abis ini kita ke Museum Asia Afrika, ya. Tapi, sebelum ke sana kita makan dulu. Kamu mau makan apa?”

“Batagor ... aku jadi pengen batagor setelah liat gambar itu ada lukisan gerobak batagor,” ungkap Grace, telunjuknya dia arahkan pada sebuah gambar di depannya.

“Hahaha, boleh. Kita cari batagor di daerah sini, ya.”

Grace mengangguk antusias, bahkan saking antusiasnya dia mulai meninggalkan Jagat yang masih terdiam di tempatnya. Saat dirasakan dia berjalan hanya seorang diri, Grace pun membalikkan tubuhnya.

“Ayo! Katanya mau cari batagor?”

Jagat hanya bisa menggelengkan setelah menyadari raut yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan raut wajah sebelumnya. “Emang bener, maniak jajanan ternyata,” gumam Jagat sebelum akhirnya dia mulai melangkahkan kakinya menyusul Grace yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.

“Abang, batagornya satu jangan pedes dan banyakin kecapnya, ya, Bang. Makasih.”

Setelah mengucapkan pesanannya, Grace menoleh ke seseorang di belakangnya. “Kamu beneran nggak mau batagor?” tanya Grace yang dijawab gelengan dari Jagat.

“Nggak, kamu aja. Saya mau cari makanan lain, tunggu di sini sebentar, ya?” Grace mengangguk, telunjuknya menunjuk pada salah satu tempat kosong di hadapannya. “Aku tunggu di situ, ya.”

“Iya.”

Setelah itu, Jagat mulai menjauh dan menghilang pada pandangan Grace. Pegal berdiri, Grace mulai menghampiri tempat yang telah ditunjuknya beberapa saat lalu.

Lima belas menit berlalu, Jagat mulai kembali dengan beberapa jajanan di tangannya. Selama itu pun, Grace sudah menyantap batagornya lebih dulu, karena takut makanan itu dingin.

“Kok lama? Liat, batagor aku bahkan mau abis bentar lagi.” Grace mengangkat piringnya, memperlihatkan bahwa ucapannya tidak bohong.

“Maaf, tadi yang antri beli lumpia basah ternyata banyak juga. Nih, tadi saya beliin es cendol. Suka es cendol, nggak?” Grace mengangguk dengan cepat, dengan tangan yang sudah menengadah; siap menerima minuman yang diberikan oleh Jagat.

Jagat hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat mulut perempuan di hadapannya sudah dipenuhi dengan makanan yang telah dia pesan. Minuman yang Jagat tawari sebelumnya pun kini sudah berpindah tangan pada seseorang di depannya.

“Mau telur gulung?” tawar Jagat kembali, mengangkat satu kantung plastik yang telah dipenuhi oleh jajanan kesukaan Grace. Sebenarnya Jagat sedikit trauma untuk menikmati makanan yang berada di genggamannya saat ingatannya kembali pada kejadian tenggorokan dirinya sakit setelah mengonsumsi jajanan tersebut.

Mata Grace berbinar saat melihat jajanan favoritnya. “Boleh?” tanyanya dengan pelan.

“Boleh, saya emang beliin untuk kamu, kok, itu.” Jajanan tersebut mulai Jagat serahkan pada Grace, yang tak lama Grace raih dengan senang hati.

“Kamu nggak mau, kah?” Jagat menggeleng pelan, lalu, tak lama dia berdoa sebelum akhirnya mulai menikmati makanan yang telah dipesan sebelumnya; lumpia basah.

“Berapa tempat lagi yang mau kita kunjungi?”

Jagat mengangkat telapak kanannya di udara lalu melipat jempolnya.

“Empat tempat lagi?” tanya Grace, memastikan ketika melihat Jagat memberikan gestur angka empat pada telapak tangan kanannya.

Jagat mengangguk. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Grace, sebab, mulutnya kini sedang dimanjakan oleh jajanan yang telah dibelinya beberapa saat lalu.


Third: Museum Asia Afrika dan Museum Sri Baduga.

Tak berbeda dengan yang mereka berdua lakukan pada museum sebelumnya. Mereka berbincang sembari menikmati peninggalan-peninggalan bersejarah serta dengan sebuah momentum berharganya.

Seperti saat ini mereka berada di salah satu museum yang telah diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 24 April 1980. Tujuan di dirikan Museum ini tak lain adalah untuk menyajikan peninggalan, memberikan informasi terkait Konferensi Asia Afrika yang telah diselenggarakan pada 18-24 April 1995 di Bandung. Selain itu, tujuan di dirikan museum ini untuk mengenang peristiwa Konferensi Asia Afrika yang mana hal itu merupakan sumber inspirasi dan motivasi untuk bangsa di Asia Afrika. [5]

Tak jauh dengan museum sebelumnya, bahwa di Museum Asia Afrika ini menyediakan ruangan audio visual seperti pada museum sebelumnya; Museum Gedung Sate yang memiliki ruangan dokumenter.

Berbeda dengan Museum Gedung Sate dan Asia Afrika yang banyak memperlihatkan sejarah yang berkaitan dengan negara lain. Museum Sri Baduga ini lebih condong memperlihatkan sejarah mengenai Jawa Barat yaitu seperti kerajinan tangan sunda, perkakas (peralatan), dan lain sebagainya.

Di Museum Sri Baduga ini tidak hanya memperlihatkan peninggalan dari koleksi aslinya, di sini juga memperlihatkan dengan menggambarkan melalui koleksi miniatur, replika, maket, serta foto.

Museum Sri Baduga didirikan pada tahun 1974. Dahulu bangunan ini di tempati oleh bangunan kantor kecamatan; Kawedanan Tegallega (mantan divisi administratif di Bandung). Museum Sri Baduga diresmikan pada tanggal 5 Juni 1980, namun, dahulu lebih dikenal dengan Museum Negeri Provinsi Jawa Barat. Penamaan Museum ini diambil dari nama raja sunda, yaitu: Sri Baduga. [6]

“Capek nggak?”

“Enggak. Kan, masih ada dua tempat terakhir.”

Jagat melirik sekilas pada benda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Lalu mulai membuka ponselnya untuk melihat jadwal selanjutnya serta estimasi waktu kedatangan, akankah tercukupi atau sebaliknya.

Jagat menghela napasnya secara kasar. Ponsel itu dia masukkan kembali ke dalam kantong celananya. Justru reaksi yang diperlihatkan Jagat membuat Grace terheran.

“Kenapa? Kok, hah?” tanya Grace, memperagakan Jagat menghela napasnya dengan penuh penekanan.

“Kayaknya kita nggak bisa ke tempat selanjutnya,” lirih Jagat, saat mengetahui bahwa saat ini sudah menunjukkan pukul 16.30, sedangkan tempat selanjutnya tutup pada pukul 17.00. Apalagi mengingat jarak dari tempat yang sedang dia singgahi untuk menuju ke tempat itu cukup jauh.

“Emang tadinya mau ke mana?” penasaran Grace. Merasa tidak enak melihat raut sedih yang secara tidak langsung Jagat perlihatkan. Jagat tidak memperlihatkan melalui raut wajahnya, dia memperlihatkan melalui nada suaranya. Dan Grace sudah mafhum akan hal itu.

“Selasar Sunaryo Art Space.”

“Ya udah, nggak masalah, kok. Kapan-kapan lagi aja kalau gitu.”

“Maaf, ya.”

Grace menggeleng dan memperlihatkan senyumannya. “It's okay, kok, serius!”

“Ya udah, kita lanjut keliling Bandung aja, ya. Mau?”

“Mau!” antusias Grace, “tapi janji dulu jangan lewat Asia Afrika, ya, takut tiba-tiba dikagetin.”

“Dikagetin sama hantu?”

“Iya, sama hantu.”

Keduanya mulai tertawa. Grace merasa senang saat menyadari lelaki di depannya ini mulai memperlihatkan tawanya kembali.


Angin dengan riang mulai menerpa kulit putihnya. Rambutnya yang terurai mulai terhempas terbawa angin. Tak banyak yang mereka obrolkan. Mereka saling melempar pertanyaan saat ada sebuah kejadian yang menarik untuk diobrolkan. Jika tidak, mereka berdua sama-sama menikmati sejuknya serta nyamannya kota Bandung di sore hari.

“Kamu bisa motor kopling?” Jagat menolehkan sedikit kepalanya agar yang di belakang dapat mendengar pertanyaannya dengan jelas.

“Nggak bisa, kenapa emang?”

“Nggak.”

Lampu merah sudah tergantikan dengan lampu hijau. Namun, bukannya Jagat melanjutkan perjalanan. Dia malah membawa kendaraannya untuk menepi di salah satu jalanan yang tak jauh dengan tempat mereka berdiam sebelumnya.

“Eh, kenapa, kok, berhenti?” heran Grace, “kamu mau ke mana?” Grace semakin terheran ketika melihat Jagat mulai turun dari motornya dan melepaskan helm yang melindungi kepalanya.

“Tunggu di sini sebentar, ya. Saya titip ini, saya mau bantuin Nenek itu buat nyebrang.”

Grace meraih helm yang sebelumnya Jagat serahkan. Kemudian matanya mengikuti ke tempat yang Jagat tuju. Di sana memperlihatkan seorang perempuan lansia yang kesulitan untuk membelah jalanan, karena para pengendara saling berbondong-bondong melajukan kendaraan tanpa berniat untuk menghentikan sejenak dan memberikan jeda untuknya melintas.

Kedua ujung bibir Grace terangkat setelah melihat lelaki itu berjongkok dan kemudian seseorang di belakangnya mulai menaiki punggung itu. Senyuman dari orang tersebut sangat tulus, Grace bisa merasakannya walaupun berjarak jauh.

“Maaf tadi saya tiba-tiba ninggalin kamu sendirian,” ucap Jagat dengan ngos-ngosan. “‘Makasih, ya.” Tangannya terulur untuk meraih helm yang berada di genggaman Grace dan memakainya kembali.

Padahal Grace sendiri sama sekali tidak merasa keberatan. “Aku cariin minum dulu deh, ya? Kamu kayaknya capek banget.” Jagat mulai menaik kembali pada kendaraannya, kemudian disusul oleh Grace.

“Udah?”

“Udah.”

Perjalanan mulai mereka lanjutkan, rasa dahaga yang semula Jagat rasakan kini sudah menghilang tatkala merasakan suasana sejuknya kembali.

Tak terasa mereka sudah menghabiskan hampir satu jam setengah untuk berkeliling kota Bandung. Jagat sengaja mengulur waktu, sebab, masih asyik menikmati waktu berduanya dengan Grace.

“Kaki kamu sakit nggak?” tanya Jagat, motornya dia bawa dengan kecepatan pelan.

“Nggak, kok. Kenapa?”

“Jalan sedikit nggak apa-apa, ya? Sedikit aja, kok.”

Dahi Grace mengernyit. Merasa terheran saat Jagat mengucapkan kata tersebut tanpa berniatan untuk menjelaskan secara rinci.

“Motor kamu mogok?”

Jagat menggeleng dan mulai mematikan mesin motornya. “Bukan, kita mau lewatin orang yang lagi ibadah. Suara knalpot motor saya sedikit berisik, takut ganggu acara ibadah mereka. Kalau kamu capek nggak apa-apa duduk aja.”

Jagat lebih dulu turun dari motornya dan berancang-ancang untuk mendorong kendaraannya.

“Lho, kenapa turun?”

“Aku juga mau jalan. Nggak boleh, emang?” Alis kanan Grace terangkat, sedikit tersinggung dengan ucapan Jagat. “Aku mau bantu dorong.”

“Aneh, orang-orang nggak ikutan matiin mesin motornya.” Grace mendengus tatkala melihat kendaraan yang berlalu-lalang begitu saja tanpa memiliki niat untuk mematikan sejenak mesin motornya.

“Hey, itu kembali lagi sama kesadaran diri sendiri aja. Kita harus menjadi contoh terlebih dulu, agar orang-orang bisa mengikuti apa yang kita mulai. Coba liat ke belakang, itu salah satu bukti dari omongan saya.” Jagat mengarahkan spion motornya ke arah belakang agar Grace bisa melihat tanpa harus menolehkan wajahnya.

Memang dasar, sudah diberi alternatif mudah, Grace malah bersusah payah menegokkan wajahnya ke belakang. Matanya melebar saat dapati empat kendaraan motor yang mengikutinya untuk mendorong melewati masjid yang mereka lewati.

“Iya, kan?”

“Iya.”

Jagat sangat ingat dengan perkataan kedua orang tuanya yang selalu mengatakan, “kalau kamu ingin dicontoh orang lain, maka, kamu lakukan terlebih dahulu. Perlihatkan itu, agar orang-orang bisa mengikuti jejak yang kamu lakukan.” Oleh sebab perkataan itu, Jagat selalu mengaplikasikan ucapan orang tuanya pada kehidupan yang dia jalani.


“Mau soto ayam atau soto daging?”

Grace nampak berpikir sejenak. Kedua menu itu sangat mengiurkan untuk dia santap sebagai menu makan malamnya.

“Soto daging deh,” ucap Grace, setelah lima menit Jagat menunggu jawaban dari seseorang di sampingnya. “Eh, ayam, deh.”

Baru saja Jagat akan menuliskan menu itu, namun tiba-tiba Grace mengubah pesanannya.

“Ya udah, saya soto daging kalau gitu. Nanti kalau mau, cicipi punya saya, ya.”

Grace mengangguk dan mengacungkan jempolnya di udara. Merasa senang akhirnya dia tidak perlu menyesali apabila dirinya salah dalam memesan makanannya.

“Kamu udah sering ke sini?” Grace membuka suaranya ketika Jagat kembali dan mendudukan dirinya persis di seberangnya.

“Nggak sering banget, pernah beberapa kali aja. Itu juga karena diajak Harri.”

Pesanan makan malam mereka kini sudah rapi berada di atas meja. Kepulan asap menandakan bahwa makanan itu masih panas, bagi siapa saja yang menyantapnya sudah dapat dipastikan akan membuat lidah melepuh dengan cepat.

“Kok punya kamu nggak dikasih daun bawang, tomat, sama seledri?”

“Jaga-jaga, aja, takut kamu tiba-tiba mau tuker sama soto saya.”

Entah sudah keberapa kali dirinya harus merasakan jantungnya yang berdebar secara tiba-tiba atas perlakuan lelaki di depannya itu. Tapi, Grace harus tetap bersikap normal. Jika Jagat adalah kelelawar, sudah Grace pastikan dia akan merasa terganggu oleh bunyi detak jantungnya yang sulit dkontrol sedari tadi.

“Udah boleh makan?”

“Boleh, tapi hati-hati masih panas.”

Mereka berdua mulai berdoa sebelum akhirnya menyantap menu makan malamnya. Mata Grace melebar, tatkala kuah soto itu mulai mengalir di tenggorokannya.

“Enak?” Grace mengangguk, enggan untuk menjawab karena mulutnya kini sedang sibuk untuk mengunyah.

“Abisin, ya. Kalau masih kurang nambah lagi aja.”

Saat keduanya sedang asyik menikmati sotonya dengan diselingi obrolan ringan. Atensi Jagat mulai teralihkan saat satu orang anak yang menghampiri mejanya sambil berkata.

Kak, mau beli tisunya?” Jagat melirik sekilas. Masih banyak dagangan anak tersebut yang belum laku terjual.

“Berapa satunya, Dek?”

“Satunya lima ribu aja, Kak.”

“Itu sisa berapa?”

Adik kecil itu melirik dagangannya, lalu dihitung satu per satu untuk mengetahui jumlah secara pastinya. “Ada dua puluh dua lagi, Kak.”

“Kakak beli, ya, semuanya.” Jagat mulai meraih dua lembar uang berwarna merah di dompetnya, kemudian dia serahkan pada yang lebih muda. “Kamu umur berapa?”

“Sembilan tahun.”

Kalau boleh jujur Jagat sedikit terkejut saat mengetahui usia dari adik di depannya. Padahal seharusnya anak tersebut istirahat di rumahnya sambil menikmati serial kartun favoritnya.

“Kamu udah makan belum?” Melihat gelengan tersebut membuat Jagat menarik satu kursi di sampingnya secara cepat.

Jagat kembali menarik dua lembar uang yang telah diserahkannya. “Sini, makan dulu. Uangnya bakalan Kakak kasih lagi, kalau kamu makan dulu.” Uang tersebut Jagat masukkan ke dalam saku kemejanya. Sengaja agar si kecil mau makan malam bersama.

“Kasian Mama, kalau aku makan sendirian.”

“Iya, nanti Kakak bungkusin buat Mama kamu juga, ya. Sekarang kamu makan dulu.” Jagat sudah berdiri dari kegiatan duduknya, dia mulai membantu si kecil untuk menaiki kursi di sebelahnya.

“Kamu mau nambah lagi nggak? Biar saya sekalian pesenin bareng sama pesenan Adeknya.”

“Boleh?”

“Boleh, soto daging, kan?” Grace manggut-manggut, mengiakan ucapan Jagat.

“Oke, tunggu sebentar, ya. Saya titip adeknya.”

Grace sedikit bingung, pasalnya dia sedikit canggung apabila dihadapkan dengan seseorang yang lebih muda darinya. Dengan Junior saja yang notabennya adik sendiri, Grace suka dibuat bingung untuk topik yang akan mereka bicarakan. Apalagi dengan orang asing.

“Adek, minum dulu. Ini minuman Kakak, sih, tapi Kakak belum minum, kok. Adek pasti aus, kan?” Grace menyerahkan minumannya, kemudian mengarahkan sedotan agar si kecil bisa meneguk minuman itu.

“Makasih, Kak,” ucap si kecil setelah menyelesaikan kegiatan minumnya.

“Lho?” Jagat terheran setelah melihat si kecil sedang asyik meneguk minuman, padahal Jagat baru saja memesannya.

“Itu minum aku, aku kasihin dulu ke dia. Kasian pasti aus,” jelas Grace, menyadari raut Jagat yang kebingungan.

“Ya udah, kamu minum dulu aja punya saya. Saya nggak aus-aus banget, kok.”

“Iya.”

Setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit, pesanan si adek pun telah datang.

“Tunggu dulu, ya, jangan langsung dimakan. Masih panas. Kamu bisa makan sendiri?”

Anak kecil itu mengangguk. “Bisa, Kak. Aku, kan, udah sembilan tahun!”

“Nama kamu siapa?”

“Aden, nama aku Aden.”

“Pelan-pelan, ya, Aden, makannya. Berdoa dulu.”

Mata Jagat tak lepas dari anak kecil di sebelahnya. Matanya selalu mengawasi, takut apabila anak tersebut kesusahan untuk menyantap makan malamnya.

“Mama kamu emang di mana?”

Dwi sebwang sanha, Kak.” (Di seberang sana, Kak.)

Jagat dan Grace hanya bisa terkekeh gemas saat mendengar jawaban dari si kecil. Mulutnya sedang dipenuhi makanan, namun, dia tetap berusaha untuk bicara meskipun gagal dan malah terdengar sangat lucu.

“Abisin, ya, nanti nasinya nangis kalau nggak kamu abisin.”

“Kamu anak tunggal, ya?” Grace secara tiba-tiba bertanya.

Jagat menatap seseorang di depannya sambil menaikkan alis kanannya. “Kamu nanya saya?” tunjuk Jagat pada dirinya sendiri.

“Iya.” Grace mengangguk.

“Iya, saya anak tunggal, kenapa tuh?” tanya Jagat kembali.

“Nggak, keliatan aja dari cara kamu ngajak ngobrol anak kecil. Soalnya, kalau kamu seorang Kakak cara ngomongnya nggak kayak gitu.”

“Gitu gimana?”

Grace menghela napasnya. “Ya pokoknya gitu, aku susah jelasin.”

Jagat terkekeh kecil. “Kamu juga abisin, ya, makanannya.”

Grace mengerutkan dahinya. “Kamu juga abisin makanannya, soalnya dari tadi kamu diemin nggak kamu sentuh lagi. Kasian dia, kamu cuekin.”

Setelah mendengar itu, Jagat mulai meraih kembali sendoknya dan menyantap makan malamnya yang sempat tertunda beberapa saat lalu.

Grace menggeleng melihat tingkah laku itu, lalu mengikuti Jagat untuk kembali menikmati makan malamnya.

“Tisunya mau kamu bawa pulang?”

Jagat mengangguk. Tangan kanannya meraih satu gelas minumnya untuk dia teguk terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan dari Grace.

“Iya, saya bawa satu. Sisanya saya kasih buat Bapa di sini, kayaknya lebih membutuhkan dibandingkan saya.”

“Aku juga mau satu kalau gitu, boleh?”

“Boleh, Mega.”

Keduanya kini telah menyelesaikan makan malamnya. Mata Jagat membentuk sebuah lengkungan saat melihat isi piring Grace dan Aden tidak menyisakan sisa makanan sedikit pun. Rasa hangat mulai menjalar di tubuhnya, tatkala obsidian hitamnya tak sengaja melihat Grace sedang asik berbincang dengan si kecil.

Lucu, kamu selalu lucu, Mega.

“Kakak-kakak, makasih banyak, ya!” Aden antusias sangat kedua tangannya dipenuhi dengan menu makan malam yang lezat untuk dia bawakan kepada adik juga Mamanya.

“Iya sama-sama, jangan lupa itu sotonya buat Mama sama Adik kamu, ya.” Jagat mengelus surai si kecil sambil merapikan anak rambut yang tertiup angin malam.

Anak kecil itu memberikan sebuah gestur hormat, seakan ucapan darinya adalah sebuah perintah yang wajib dia lakukan.

“Siap, Kak! Dadah, aku duluan, ya!”

Setelah adegan saling melambaikan tangan itu, Jagat mulai menaiki motornya.

“Ayo, takut macet. Nanti saya telat pulangin kamu.”

Jagat sudah bersiap dengan helmnya, helm Grace sudah dia serahkan pada sang empu. Motornya sudah dia nyalakan. Jagat saat ini benar-benar takut tidak bisa menepati janjinya.

“Tenang aja, masih satu jam lagi, kok.” Grace menenangkan Jagat setelah memposisikan dirinya dengan nyaman di atas joke motor lelaki itu.

“Takutnya macet, Mega. Apalagi kalau jam pulang kerja kayak gini.”

“Ayah sama Bunda aku lagi keluar kok, mereka lagi makan malam di luar kayaknya. Jadi, kamu jangan khawatir.”

Janji adalah janji. Mau ada atau tidak ada Ayahnya Grace, Jagat tetap harus mengantarkan Grace pulang sebelum waktu menujukkan pukul delapan malam.

Dewi fortuna seperti sedang berada dipihaknya kali ini. Jagat berhasil mengantar Grace pulang dua puluh menit sebelum pukul delapan. Kini Jagat sedang menunggu ayah Grace pulang, berniat untuk berpamitan sekaligus memberitahu bahwa dia telah menepati janjinya. Padahal Grace sudah bilang tidak perlu ditunggu karena mereka akan pulang larut. Namun, seakan ucapannya bagai angin lalu oleh Jagat. Jagat tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk menunggu ayah Grace pulang.

Satu jam telah berlalu, Jagat sedari tadi hanya duduk di depan rumah Grace sambil menunggu kepulangan ayah Grace. Jagat merasa tidak enak apabila menunggu di dalam, mengingat hanya ada mereka berdua di dalam rumah tersebut.

“Lho, kamu kok nunggu di luar?” ucap Helia; Ibunda Grace.

Jagat tentu terkejut dengan seseorang yang secara tiba-tiba mengajaknya untuk berbicara. Bahkan, saking terkejutnya dia hampir melepaskan ponsel yang berada di genggamannya.

“Eh, Tante.” Jagat berdiri lalu mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan yang lebih tua.

“Kenapa nunggunya di luar?” tanya Helia kembali, karena yang lebih muda tidak kunjung menjawab pertanyaannya.

“Hehe, iya, Tante. Saya nggak enak kalau nunggu di dalem, nggak ada siapa-siapa soalnya.” Jagat menggaruk belakang kepalanya. Merasa canggung dengan jawaban yang diucapkannya.

Helia menengok ke arah kanan dan kirinya, seperti sedang mencari seseorang. “Grace nya ke mana emang?”

“Di dalem, Tante.”

“Lho, kamu sejak kapan di sini?” Kini Benedict yang dikejutkan dengan seseorang yang berada di rumahnya.

“Malem, Om,” sapa Jagat, sambil mencium tangan Benedict.

“Minum kamu kurang nggak? Biar Tante buatkan dulu,” ucap Helia, saat matanya tak sengaja menangkap satu cangkir kopi yang kini tidak menyisakan sedikit pun cairan hitam itu.

“Nggak usah, Tante, terima kasih. Habis ini saya mau pulang, kok. Saya cuman mau pamitan aja sama Om dan Tante. Karena tadi pagi saya ngajak Meg—Grace keluar atas adanya persetujuan, Om. Jadi, saat ngantar pulang pun saya harus laporan. Kalau saya sudah menepati janji saya, Om.” Benedict tersenyum, kedua lengannya menepuk pundak yang lebih muda dengan pelan.

“Saya percaya, kok. Tanpa kamu laporan, pun, saya sudah percaya. Terima kasih, ya, sudah jagain anak saya.”

“Sama-sama, Om, justru saya yang harusnya bilang terima kasih. Terima kasih sudah mengizinkan saya pergi dengan anak, Om.”

“Sebelumnya, maaf, ya, Om dan Tante. Bukannya saya kurang menikmati waktu dengan Om dan Tante. Tapi, kebetulan saya sudah dicari Bunda saya. Jadi, kalau begitu saya izin pamit, ya, Om dan Tante.” Jagat kembali mencium kedua tangan yang lebih tua sebelum akhirnya pamit untuk pulang.

Benedict dan Helia tertawa setelah mendengar ucapan dari Jagat.

“Nggak mau, Tante, panggilkan dulu Grace nya?”

Jagat menggeleng cepat. “Nggak usah, Tante. Kasian, kayaknya dia capek. Nggak apa-apa, kok.”

Helia mengangguk dan kembali mengurungkan niatnya yang semula sudah siap untuk memanggil putri sulungnya.

“Besok jangan lupa, ya, Nak.”

“Iya, siap, Om. Pukul sepuluh pagi saya sudah di sini.”

“Kalau begitu, mari, Om, Tante.”

“Iya, hati-hati,” ucap Benedict dan Helia kompak.

Sang pemilik rumah mengangguk dan mempersilakan yang lebih muda berpamitan. Keduanya tetap memperhatikan kendaraan roda dua itu meninggalkan pekarangan rumahnya, hingga akhirnya motor tersebut sudah hilang dari pandangan keduanya.

“Kayak kamu pas muda, Mas. Bedanya kamu nggak seramah dia.”

“Mana ada.”

Benedict dan Helia saling melemparkan sebuah tawa dengan kedua kakinya yang mulai memasuki kediamannya.


Sumber:

[1] Sejarah lengkap by Ellen Ferranda. [2] Jalan tikus by Ayu Kusumaning Dewi. [3] Detik travel by Wisma Putra. [4] ABS Bandung School by Hasna Nurul T. P. [5] Travels promo by Maya. [6] Sejarah lengkap by Henry Hafidz.


From Jij Bent Mooi Alternate Universe.

by NAAMER1CAN0


Jagat merasakan jantungnya kali ini berkali lipat lebih berdebar dibandingkan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Atas kebodohannya yang dia perbuat, maka, Jagat mau tak mau harus menanggung akibatnya. Seperti saat ini, Jagat telah memberanikan diri untuk mengajak Grace berkencan secara terang-terangan.

Mesin motor sudah dia mematikan, pun dengan Jagat yang sudah beranjak dari motornya untuk segera memasuki kediaman rumah seseorang yang akan diajaknya berkencan. Jagat menghirup udara sebelum akhirnya menghembuskan secara kasar. Dia kini sudah siap untuk mengetuk pintu di depannya.

Tangan kanannya baru saja akan mengetuk pintu itu, namun, seseorang di balik pintu tersebut sudah lebih dulu membukanya. Lantas, Jagat semakin dibuat kikuk setelah mengetahui seseorang yang telah membuka pintunya tak lain adalah ayah dari perempuan yang dia sukai.

“Selamat pagi, Om.” Jagat menyapanya dengan suara yang sedikit bergetar. Tangannya sudah terulur untuk mencium pria paruh baya di depannya. Tentu dengan senang hati Benedict; ayah Grace, menerima uluran tersebut.

“Saya Jagat, Om,” ucap Jagat, mengetahui seseorang di depannya sedang dibuat bingung akibat kehadirannya secara tiba-tiba.

Benedict mengangguk. “Iya saya tau, kok.” Benedict membalikkan tubuhnya sekilas untuk melirik benda bulat yang terpampang di dinding putih rumahnya. “Bukannya di rundown kalian berangkat pukul delapan, ya?” Mata Benedict kembali menatap seseorang yang lebih muda di depannya.

“Iya, Om.”

“Kalau gitu, nanti kamu yang harus nunggu, dong, jatuhnya?” Alis kanan Benedict terangkat seiring dengan sebuah pertanyaan yang dilontarkan.

Jagat tersenyum saat pertanyaan itu memenuhi rungunya. “Lebih baik saya yang nunggu, daripada Grace yang harus nunggu saya karena datang terlambat, Om.”

Keheningan mulai tercipta. Benedict dan Jagat mulai terlarut dalam pikirannya masing-masing. Mereka enggan untuk memulai percakapan.

“Beneran bisa main golf?” tanya Benedict, setelah selama sepuluh menit mereka saling terdiam.

Jagat mengangguk mengiakan ucapan sang pemilik rumah. “Bisa, Om. Kebetulan saya sama ayah saya memang suka main berdua.”

“Menarik.”

Jagat memiringkan kepalanya, seolah sedang memastikan atas ucapan yang baru didengarnya. “Iya, Om? Maaf?”

Benedict menggeleng pelan, kedua ujung bibirnya terangkat, memberi sinyal bahwa dirinya tidak mengatakan apa pun.

“Nggak, itu silakan diminum.”

Jagat perlahan meraih cangkir yang sudah tersimpan rapi di atas meja di hadapannya. “Saya minum, ya, Om,” ucap Jagat sebelum akhirnya minuman tersebut dia teguk hingga menyisakan setengah, karena terlalu gugup sebab ini pertama kalinya dia berbicara dengan ayah Grace.

“Oh iya, Om, selain yang disebutkan tadi malam. Kira-kira masih ada yang Grace tidak sukai atau dihindari nggak, ya, Om?”

Jagat tidak mau acara kencan pertamanya memiliki kesan buruk, sehingga dirinya perlu mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai oleh seseorang yang akan berkencan dengannya.

Jagat sudah siap dengan kedua telinganya untuk mendapatkan informasi tambahan, selain informasi yang sudah dia dapatkan sebelumnya.

Benedict tidak langsung menjawab, melainkan dia memejamkan kedua matanya sejenak untuk mengingat kebiasaan yang selalu dihindari oleh putrinya.

“Ah!” seru Benedict. Lantas, Jagat yang sedari tadi memperhatikan pun hanya bisa menyatukan kedua alisnya setelah mendengar seruan tersebut.

“Dia nggak suka seledri, daun bawang mentah, lada putih, dan tomat.”

Jagat saat ini hanya memfokuskan dirinya pada seseorang yang lebih tua. Telinganya sudah dia buka lebar dan sudah mempersiapkan otaknya untuk mengingat hal yang tidak disukai oleh Grace.

“Itu yang tadi yang nggak dia sukai, kalau yang disukai … ini hal wajib, kalau dia makan harus ada air mineral dan air berasa. Makan dia sedikit banyak, jadi, jangan heran kalau nanti kamu lagi makan sama dia, dia bakalan tiba-tiba nambah porsi.”

Tawa Jagat memecah seiring dengan ucapan yang baru didengarnya. Bahkan, Benedict pun ikut tertawa dan menggelengkan kepalanya saat mengingat bahwa putrinya sangat gemar menikmati makanan.

“Nggak masalah, Om, selagi makanannya habis saya suka-suka aja liatnya.”

Benedict tersenyum dan membenarkan posisi duduknya. “Habis, kok. Dia nggak suka sisain makanan kalau makanan itu nggak cocok di lidahnya.”

“Saya percaya, kok, sama kamu.”

Jagat menolehkan wajahnya, kepalanya dia bawa miring seakan meminta penjelasan kembali karena kedua telinganya tidak menangkap dengan begitu jelas ucapan dari pria yang lebih tua.

“Maaf, gimana, Om?” tanyanya.

“Nggak, saya nitip Grace, ya.”

Sorot mata itu … tanpa dijelaskan secara rinci pun Jagat sudah mengerti. Sorot mata itu persisi seperti sorot mata yang selalu diberikan oleh kedua orang tua kepadanya.

“Sesuai rundown dan janji saya, saya bakal antar Grace pulang tidak lebih dari jam delapan malam, dan bisa saya pastikan Grace pulang dengan selamat tanpa lecet sedikit pun.”

“Mau pergi sekarang?” ucap Grace secara tiba-tiba. Padahal sebelumnya Benedict sudah siaga untuk membalas ucapan anak muda di depannya. Namun, kedatangan anaknya membuat dirinya mengurungkannya.

Jagat refleks berdiri dan kemudian tak lama disusul oleh Benedict. “Udah siap?” Grace mengangguk. “Pakai sepatu aja jangan flatshoes takut kaki kamu lecet, pakai yang buat kamu nyaman. Pakai sendal biasa juga nggak masalah, kok.”

Benedict mulai bernapas lega setelah melihat interaksi keduanya dan dirinya bisa mempercayai orang tersebut sepenuhnya.

“Iya, pakai sepatu, kok. Kalau pakai sendal takut item sebagian kakinya.”

“Maaf, ya, saya nggak pakai mobil. Soalnya takut perjalanan kita abis kejebak macet, apalagi kalau weekends kayak gini.”

“Nggak apa-apa, Jagat,” sahut Grace, “Ayah, aku berangkat dulu, ya. Bilangin Bunda aku berangkat.”

“Om, kalau gitu saya pamit, ya, Om. Janjinya bakal saya tepati.” Jagat mengangkat telapak tangan kanannya, lalu dibawa sejajar dengan mukanya seolah sedang bersumpah dengan janjinya yang sudah disepakati secara bersama sebelumnya.

Benedict terkekeh melihat tingkah dari yang lebih muda. “Iya, hati-hati, ya.”

Grace lebih dulu mencium tangan Benedict, kemudian disusul oleh Jagat sebelum keduanya benar-benar meninggalkan rumah mewah yang memiliki daya tarik tersendiri di matanya. Tentu, sebagai tuan rumah yang baik, Benedict ikut mengantarkan dan memantau anak sulungnya.

“Nak, jangan lupa, ya, nanti.”

Jagat yang baru saja menyalakan mesin motornya langsung dia matikan agar bisa menjelas suara dari seseorang yang sedang berdiri di depan pintu terdengar dengan jelas. Dahinya mengkerut karena tidak bisa menangkap ucapan dari pria paruh baya itu.

“Ah!” seru Jagat ketika Benedict memperagakan sebuah gerakan. Jagat mengangkat jempol kanannya sebagai balasan dari usaha yang telah diberikan Benedict. “Siap, Om!” sahut Jagat dengan semangat.

“Tadi bahas janji-janji, emang janji apa?” tanya Grace, setelah memposisikan dirinya di atas motor Jagat dengan nyaman.

“Oh, itu, janji sebelum jam delapan malem kamu udah di rumah.”

“Kalau tadi, jangan lupa apa kata ayah?” Grace masih dibuat penasaran ketika ayahnya dengan mudah bisa akrab dengan seseorang yang terbilang sangat asing.

“Ada, deh.”

“Ih!”

Mesin motor sudah Jagat hidupkan, bahkan kopling motornya sudah dia injak dan bersiap untuk memulai perjalan bersama dengan seseorang yang sedang berada di belakangnya. Jagat berharap apa yang mereka lakukan hari ini akan berkesan dan membuat perempuan itu bahagia atas usahanya.



“Jagat.”

Jagat terperanjat dari kegiatan duduknya. Dia refleks berdiri tatkala melihat sosok seorang perempuan yang telah hadir dan berdiam diri di depan pintu seolah-olah sedang menunggu dirinya untuk mempersilakan masuk.

“Sini, masuk. Pintunya biarin dibuka aja.”

Jagat kembali mendudukkan dirinya pada sebuah sofa yang beberapa saat lalu menjadi tempat dia untuk menunggu kekasihnya.

“Apa?” tanya Grace, matanya menatap obsidian hitam di depannya dengan sedikit terheran.

Bibir Jagat mengerucut, pandangannya menunduk untuk menatap lantai kamarnya. “Udah maafin aku, kan?” tanya Jagat. Kesepuluh jari-jarinya sibuk memainkan ujung baju yang sudah kusut.

Alih-alih menjawab, Grace menghela napasnya. Dia mulai berjalan mendekati Jagat yang kini sedang mendudukkan dirinya di atas sofa.

“Kenapa belum makan?” tanya Grace, seolah menulikan telinganya untuk pertanyaan yang beberapa lalu dilontarkan oleh kekasihnya.

Grace melepaskan ranselnya lalu disimpan sembarang di lantai. Sedangkan barang yang berada di tangannya dia simpan rapi di atas meja. Lalu menyusul Jagat untuk duduk di sebelahnya.

“Pait, mulut aku pait.”

Untuk kedua kalinya, helaan napas pun mulai memenuhi gendang telinga Jagat. Jagat tak berani untuk sekadar menolehkan wajahnya dan menatap obsidian hitam perempuan di sebelahnya. Sehingga hanya bisa menatap lantai kamarnya dengan setia.

“Bunda sama Ayah kamu, mana?”

“Di jalan.”

“Abis dari mana, emang?” Jagat mengedikkan bahunya. Dia tak mampu menjawab beberapa pertanyaan dari kekasihnya. Kepalanya sangat pening saat sebuah suara memenuhi gendang telinganya.

“Makan dulu ya—”

“Boleh?”

Ucapan Grace terpotong saat lelaki itu secara tiba-tiba menginterupsi ucapannya. Bola mata Grace mengikuti lirikan Jagat. Dia melirik sekilas pahanya lalu kembali menatap Grace dengan tatapan memohon.

“Mau tidur di sini?” Grace memastikan agar dirinya tak salah menangkap sebuah sinyal dari pemilik rambut hitam-kecoklatan.

Jagat mengangguk. Anak rambutnya menaik turun dengan riang. “Iya, boleh?”

“Sini.”

Mendengar persetujuan itu. Sebuah bantal yang telah dipegang dirinya pun langsung diletakkan di atas kaki kekasihnya. Jagat mulai merebahkan kepalanya di sana. Matanya dia bawa memejam untuk menghilangkan rasa pening di kepalanya.

Punggung tangannya dia letakkan di atas dahi lelaki di bawahnya. Rasa panas pun mulai terasa oleh kulit sensitifnya. Sudah Grace pastikan bahwa Jagat sama sekali tidak memakan obat, karena terbukti dari rasa panasnya yang tak kunjung hilang.

“Kamu kemarin nggak neduh dulu, ya?” tanya Grace.

Jagat berdeham dengan suara yang amat pelan, namun masih bisa terdengar jelas oleh kedua telinga milik Grace.

“Nanti abis ini makan, ya. Aku udah beli bubur, takut nanti terlanjur dingin kalau dilamain.”

Jagat mengangguk kecil sebagai respons dari pertanyaan yang baru dilontarkan Grace beberapa detik yang lalu.

“Tadi harusnya pelajaran apa di sekolah?”

“Hm … Jepang, PKN, Kimia, Inggris, kayaknya.”

Dahi Grace mengernyit. “Kok kayaknya?”

Ay … please. Kepala aku pusing jangan diajak ngomong terus, ya? Aku pengen bobo sebentar aja, boleh?”

Jagat dengan refleks membuka kedua bola matanya. Dia tatap kedua manik yang mulai memenuhi indra penglihatannya. Satu yang Jagat lihat, sorot mata itu bukan hanya menampakkan sorot kekhawatiran. Namun, menampakkan sorot yang begitu meneduhkan untuk siapa pun yang melihatnya.

“Iya, maaf, ya, Agat. Sini bobo lagi, ya?”

Tangan Grace terulur untuk sekadar mengusap kedua bola mata indah milik kekasihnya itu. Menurutnya dengan cara ini bisa ampuh membuat seseorang dengan cepat tertidur. Dulu saat dia kecil, dia selalu suka apabila orang tuanya mengusap lembut matanya atau mengusap punggungnya hingga dia terlelap.

“Mana?”

“Apanya yang mana?” heran Grace. Guratan halus pun sudah mulai tercetak pada dahinya. Matanya menyipit setelah mendengar ucapan itu.

Jagat mengecurutkan bibirnya seperti sedang berlomba dengan hidungnya yang bangir. “Puk-pukin kepala akunya, mana?”

Grace terkekeh kecil. Dia tak habis pikir lelaki yang dulu dikenalnya memiliki sifat manja yang tidak pernah diperlihatkan pada siapa pun. Dia bahkan mafhum bahwa orang yang terlelap dalam pangkuannya memiliki sifat yang manja apabila bertemu dengan bundanya.

Tak mau membuat orang yang dicintainya menunggu lama, telapak kanannya pun ia ulurkan untuk mengelus dan merapikan rambut yang sangat menarik perhatiannya. Dia tidak bisa mendeskripsikan saat rambut-rambut halus itu dengan riang menyentuh telapak tangannya. Dia sangat menyukai tekstur dari rambut yang sedang dielusnya kini. Rambut itu sangat halus dan lembut membuat siapa pun yang melihatnya akan dengan sukarela untuk mengelusnya.

Senyum Grace merekah saat melihat kedua kelopak mata itu mulai terpejam kembali. Dengkuran pelan pun menjadi pengisi sebuah alunan di ruangan yang sedang dia tempati. Sesekali Grace menyentuh alis, kelopak mata, pun dengan hidung dari sang empu yang sedang nyaman menidurkan kepala di atas pangkuannya.

Grace sangat suka semua yang ada pada diri Jagat. Jagat memiliki daya tarik tersendiri di matanya. Bukan hanya di matanya bahkan di mata kedua orang tua serta adiknya, Jagat memiliki ruang tersendiri yang begitu spesial.

“Kok berhenti?” ucap Jagat. Dia membuka matanya, sebab kegiatan yang disukainya harus terhenti begitu saja.

Jagat menarik tangan Grace, lalu disimpan kembali di atas kepalanya. Dia arahkan gerakan mengelus seperti kegiatan sebelumnya yang terhenti.

“Puk-pukin lagi kayak gini, Agat suka dipuk-pukin sama Mega. Puk-pukin lagi Agat sampe bobo, ya?”

Bisa Grace rasakan kini perutnya seperti sedang berterbangan kupu-kupu setelah mendengar ucapan yang amat sangat dia hindari apabila di dengar secara langsung. Jangankan secara langsung, mendengar lewat voice note atau bahkan membaca lewat ketikan saja Grace masih bisa merasakan kegelian itu.

“Mau aku nyanyiin nina bobo?”

“Sayang, please, aku bukan anak kecil ....”

Grace tak bisa lagi menahan tawanya. Gelak tawanya pecah saat melihat raut ketidaksukaan yang Jagat perlihatkan untuknya. Bukannya takut, namun, hal tersebut malah membuat kegemasan di mata Grace.

“Kalau gitu, kamu mau aku nyanyiin lagu apa?” tanya Grace. Telapak tangannya dengan lihai mengusap pipi serta dahi Jagat yang masih menciptakan rasa panas saat menyentuhnya.

“Apa aja, asal jangan lagu anak kecil.”

Alih-alih menjawab, Grace hanya menganggukkan kepalanya seolah paham dengan tuturan yang baru dilontarkan oleh Jagat.

“Bintang kecil di langit yang biru—”

“Ay!”

Mata Grace menghilang saat sebuah tawa mulai mengisi ruangannya itu. Tawanya semakin lebar sebab lelaki yang berada di pangkuannya semakin mengerucutkan bibirnya dengan sebal, bahkan kedua lengannya sudah dia telungkupkan di atas dadanya.

Kamu lucu banget, Agat. batin Grace. Dia pun mulai mengulas senyumannya dengan telapak tangan yang melanjutkan aktivitas sempat terhenti beberapa saat lalu; mengelus rambut kekasihnya.


From Jagat Lingga Erlangga Universe; Jij Bent Mooi.

by NAAMER1CAN0


Jika dapat dideskripsikan, mungkin gerbang rumah Grace telah berhasil menjadi saksi bisu mereka berdua yang terlampau sering menjemput dan mengantar sang pemilik rumah. Langit yang tadinya cerah pun kian menggelap. Tanpa ditunggu pun langit tersebut sudah dapat dipastikan akan mengalirkan bulir-bulir hujan.

Saya duluan, ya.

Iya, terima kasih, Jagat.

Entah mengapa saat berhadapan dengan Grace seperti memiliki daya magnet pada kedua ujung bibirnya untuk selalu ditarik melengkung. Iya, benar. Jagat lagi-lagi hanya membalas dengan sebuah senyumannya.

Baru saja dia akan menarik pedal gasnya, namun tiba-tiba sebuah teriakan pun mengalihkan atensinya. Bukan hanya mengalihkan perhatian Jagat, juga mengalihkan perhatian perempuan yang masih setia berdiri sambil menatap ke arahnya.

BANG KBBI!

Panggilan itu tidak asing di telinga Grace. Ah. Jadi sebutan KBBI yang sempat Grace lihat di postingan media sosial adiknya itu untuk panggilan lelaki yang kini sedang memandang adiknya dengan tatapan penuh tanya.

Eh, Nio.” Hendak bangkit dari motornya, pun segera dia urungkan saat melihat yang lebih muda kini telah menghampirinya terlebih dahulu.

Bang, ayo masuk dulu. Soalnya mau hujan, kita main games sama Nio di dalem.

Jagat tentunya tidak akan menolak ajakan itu, bahkan dirinya pun dengan suka rela akan langsung menerima ajakan itu. Tetapi dia hanya bisa memandang ke dalam rumah itu dengan tatapan yang memancarkan sebuah raut kekhawatiran. Junior yang bisa menangkap raut wajahnya pun langsung terkekeh.

Bunda sama Ayah lagi nggak di rumah, mereka lagi ke Yogyakarta. Kalau nggak salah pulangnya lusa, di dalem cuman ada kita berdua sama pekerja rumah.

Junior berjalan lebih dulu meninggalkan Jagat dan Grace yang diam tak bergeming di tempatnya. Padahal Junior sudah membantu membuka gerbang rumahnya agar kendaraan yang lebih tua bisa dimasukkan ke dalam rumahnya.

Bang, ayo.

Grace merasa terheran saat melihat Jagat bukannya bergegas masuk, melainkan menatap dirinya dengan raut yang sulit untuk Grace artikan. “Kenapa?

Boleh?” Kedua alis Grace bertaut seiring dengan ucapan itu yang memenuhi gendang telinganya.

Boleh apa?

Masuk?

Tentu Jagat sendiri perlu perizinan dari pemilik rumah, terlebih dari Grace yang memiliki peran lebih penting di dalam rumah tersebut.

Ah, kirain apa. Boleh, masuk aja.” Grace menggeser sedikit badannya agar Jagat bisa memasukkan kendaraannya dengan leluasa, karena kendaraan itu cukup besar dibandingkan dengan kendaraan roda dua miliknya yang terbilang lebih kecil.

Permisi, ya. Kalau gitu maaf, saya duluan masuknya,” ucap Jagat, melintasi Grace yang masih setia berdiri di posisi terbarunya.

Grace menggelengkan kepalanya saat melihat bahwa Jagat tidak mengendarai kendaraannya, melainkan mendorong dengan kedua tangannya.

Nggak habis pikir batin Grace sebelum akhirnya dia mengekori Jagat dari belakang dan menutup gerbangnya, karena sang adik sudah lebih dulu meninggalkannya.


Abang mau minum apa? Biar Nio ambilin.

Apa aja boleh, kok, Nio.

Jus wortel? Jus bayam? atau Jus labu?

Jagat menelan ludahnya dengan terpaksa tatkala mendengar sebuah menu yang diucapkan oleh yang lebih muda. Sejujurnya Jagat tidak terbiasa mengkonsumsi jus sayuran. Bukannya dia tak suka sayuran, hanya saja dia lebih menyukai jus yang berbahan dasarkan dari buah-buahan apabila dibandingkan dengan sayuran.

Adek, ih, jangan bercanda!” timpal Grace, matanya melotot menatap kejahilan dari adiknya.

Hehe, bercanda, Abang. Mau coklat panas atau susu strawberry aja?” tanya Junior.

Jagat terdiam sejenak sambil memikirkan sebuah minuman yang akan diminumnya. Saat hendak mulutnya akan mengeluarkan satu patah kata namun secara tiba-tiba telah disanggah terlebih dahulu oleh lelaki di depannya.

Ah, lama. Strawberry aja, ya.

Ingin melontarkan sebuah protesan, akan tetapi Jagat terlalu enggan karena masih ada Grace di ruangan tersebut.

Coklat aja, Dek. Dia nggak suka strawberry.” Junior membalikkan kembali tubuhnya dan menatap Jagat yang terduduk manis di atas sofa yang empuk itu.

Emang, iya, Bang? Abang nggak suka strawberry?” tanya Junior penasaran.

Jagat menggelengkan kepalanya. “Enggak, kok. Saya suka-suka, aja.” Senyuman pun tercipta di wajahnya setelah menyelesaikan kalimat itu.

Oh, ya udah. Kalau gitu strawberry aja, ya, Bang?” tawar Junior kembali.

Jagat ingin merutuki dirinya sendiri dengan ucapan yang terlalu gegabah itu. “Nggak apa-apa, coklat aja kalau gitu, Nio.” Jagat terkekeh pelan.

Yeu, kalau itu, sih, Abang beneran nggak suka!” Jagat tidak menjawab, melainkan membalas perkataan Junior dengan memperihatkan sederetan gigi putihnya.

Kakak mau, nggak?” Gelengan pun Junior dapatkan dari seseorang yang masih berdiri di depan pintu rumahnya. “Nggak, Kakak mau ke atas.

Aku duluan ke atas, ya, Jagat,” pamit Grace.

Iya, Meg.

Setelah itu Jagat ditinggalkan seorang diri di dalam ruangan yang cukup besar, meskipun tidak sebesar ruangan yang berada di rumahnya. Matanya melirik ke setiap sudut ruangan untuk mencari sebuah informasi baru untuknya, karena menurutnya kesempatan ini tidak akan datang untuk kedua kali dengan mudahnya. Untung saja ada adik kelasnya yang membantu, sehingga Jagat bisa menginjakkan kakinya di rumah orang yang dia kagumi.

Itu foto masa kecilnya dia, Bang.

Jagat menolehkan wajahnya pada seseorang yang baru saja menyimpan minuman ke atas meja di depannya.

Lucu.” Jagat bergumam, namun tak siapa sangka bahwa ucapannya masih dapat di dengar oleh seseorang yang baru saja datang menghampirinya lengkap dengan dua buah gelas di kedua tangannya.

Junior mengangguk menyetujui ucapan dari kakak kelasnya. “Iya, kakak emang lucu. Diminum, Bang.

Saya minum, ya, Nio. Terima kasih.” Jagat meraih sebuah gelas di depannya, lalu meniupnya perlahan sebelum akhirnya dia teguk dan di letakkan kembali di tempat asalnya.

Kemajuan udah sampai mana, Bang?” penasaran Junior. Tangan kanannya sibuk untuk menyalakan sebuah permainan konsol di layar persegi panjang di hadapannya. Lalu tak lama menyerahkan satu buah stik PS pada lelaki di sebelahnya.

Jagat meraih sebuah stik PS yang diberikan oleh Junior. “Belum, masih di situ-situ aja. Tapi, saya udah mau mulai bergerak, sih.

Matanya masih setia menatap lekat sebuah televisi di depannya. “Yang ini aja games-nya,” ucap Jagat, karena terlalu pusing sedari tadi Junior hanya memindah-mindahkan tanpa berniatan untuk memilih salah satu permainan yang akan dimainkan.

Oke, Nio tim Madrid, ya, Bang.

Boleh, saya Liverpool kalau begitu.

Mereka berdua mulai memilih tim kebanggannya masing-masing. Saat ini mereka sedang bermain games PES 2022. Jagat memang bukan tipikal anak yang gemar bermain games pada sebuah konsol seperti ini. Jagat lebih menyukai sebuah permainan yang mengasah otaknya ataupun mengasah kemampuannya seperti halnya bermain catur atau bermain olahraga.

Kalau kalah harus ngikutin yang menang, ya?” Junior berucap dengan menaikkan kedua alisnya seolah-olah sedang membuat taruhan antar keduanya.

Sebelum bermain pun Jagat sendiri sudah memiliki perasaan bahwa dirinya akan kalah dari adik kelasnya itu. Namun bukan Jagat namanya jika harus mengalah begitu saja.

Keduanya telah sepakat untuk membuat taruhan apabila di antara mereka ada yang menang. Jagat belum tahu saja, Junior saat ini sedang tersenyum dengan bangga. Junior berharap bahwa kali ini dia akan menang agar bisa melancarkan aksinya itu.

Gelak tawa menggelegar pada setiap penjuru ruangan yang mereka tempati. Junior tertawa sangat puas karena bisa melihat untuk pertama kalinya kakak kelasnya kalah oleh dirinya.

Kalah, Abang, kalah!” ejek Junior, tak lupa jempol kirinya dia bawa untuk melawan gravitasi.

Nio, yakin dare-nya itu?” Junior mengangguk dengan semangat. Sudah lama dia menantikan sebuah momen ini.

Jagat menghembuskan napasnya dengan kasar. Dia mulai bangkit dari tempat duduknya lalu bergegas untuk menuju keluar ruangan dan mulai meraih ponselnya.

Junior yang hanya melihat punggung itu pun berdiam diri dan menajamkan indra pendengarannya. Senyum Junior semakin melebar saat melihat sebuah anggukkan yang diberikan lelaki itu.

Gimana? Mau, Bang?

Lagi-lagi Jagat mengangguk. “Mau.” Jagat kembali mendudukkan dirinya di sebelah yang lebih muda, lalu menyimpan ponselnya secara sembarang di atas meja. Tangan kanannya mulai meraih gelas yang sempat dinikmatinya beberapa saat lalu, dan kembali meneguk tanpa menyisakan satu tetes minumannya.

Bang, pindah ke kamar Nio aja, kita buat strategi sambil nunggu mereka dateng.

Junior mulai bangkit dari kegiatan duduknya, ruangan itu sudah kembali bersih seperti sebelumnya. Jagat mengekori Junior dari belakang. Selama di perjalanan menuju kamar adik kelasnya itu, Jagat dibuat takjub oleh beberapa lukisan yang terpampang jelas di setiap dinding yang dia lewati.

Ini kakak kamu yang lukis semua, Nio?

Iya, kakak yang lukis. Ada beberapa juga lukisan buatan bunda,” sahut Junior tanpa menghentikan langkahnya untuk sekadar menatap pada yang lebih tua.

Kamu bisa main piano?” tanya Jagat kembali. Entah mengapa setiap objek yang dipandangnya membuat rasa penasaran yang secara tiba-tiba muncul begitu saja pada dirinya.

Di sini yang bisa main piano cuman ayah aja.

Jagat mengangguk-anggukkan kepalanya saat mendengar jawaban itu. “Setidaknya ada kesamaan sama diri saya kalau gitu,” gumam Jagat.

Kenapa, Bang?” Junior membalikkan tubuhnya ketika kedua telinganya samar-samar mendengar sebuah ucapan yang sangat tidak jelas bagi dirinya.

Nggak,” Jagat menggeleng. “Kamu salah denger kayaknya.

Junior membuka pintu kamarnya dan mempersilakan lelaki yang sedikit lebih tinggi beberapa sentimeter untuk lebih dulu masuk. Jagat pun mulai memasukki kamar dengan warna nuansa biru langit itu. Matanya begitu segar saat disandingkan dengan warna yang terlihat baru di matanya, karena selama ini Jagat hanya memandangi kamarnya yang bernuansakan warna gelap.

Suara hujan yang sebelumnya deras pun kini kian mereda. Setelah itu, suara gemuruh hujan kini digantikan oleh gemuruh kendaraan roda dua yang sudah memberikan sebuah bunyi klakson sebagai tanda kehadiran mereka.

Here we go, let's begin.


Jij Bent Mooi Alternate Universe.

by NAAMER1CAN0



Dari awal Jagat berniat untuk mempertemukan anak-anak Brokat dengan Solurds, namun dirinya sedikit ragu mengingat perbedaan bahasa yang akan menghambat komunikasi untuk kedua belah pihak temannya.

“Mana temen lu di Bandung, Jal?” tanya Hartigan sambil celingak-celinguk mencari keberadaan temannya itu. Jagat pun ikut mencari keberadaan teman-temannya karena mereka tidak datang bersama.

“Woi, Ler.”

Merasa terpanggil, Jagat pun menolehkan wajahnya ke arah sumber suara, dan benar saja teman-temannya baru saja sampai.

“Ini kenalin teman saya dari Jakarta dari paling ujung kiri ada Samuel, Hartigan, Horace, dan yang paling ujung kanan ada Farzan,”

“Kalo ini dari paling kanan ada Harri, Jaya, Yolan, Aksa, dan Rakha yang di ujung kiri sana.”

Jagat memperkenalkan satu persatu temannya. Mereka pun hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda perkenalan satu sama lain, canggung rasanya setelah melihat bahwa terlihat perbedaan satu sama lain.

Anying anak kota pisan eta tampilanna, beda jeung si Jagat. Aing jadi curiga.” (Anying anak kota banget itu tampilannya, beda sama si Jagat. Gua jadi curiga.) Rakha berbisik kecil tepat di telinga Aksa. Aksa pun setuju dengan pendapat Rakha bahwa ia pun merasakan keganjalan setelah melihat dari teman Jakartnya.

“Mau main ke mana ini, Ler?”

What? Who’s Ler?

“Galer, panggilan Jagat,” jawab Harri.

Farzan memberikan tatapan tak percayanya. Bagaimana bisa temannya itu dipanggil dengan sebutan yang … sedikit vulgar?

What the fuck … for real?

Anying Hag, si eta apaleun arti Galer sigana,” (Anying Hag, dia tau arti Galer kayaknya.) bisik Aksa yang kemudian dianggukki Harri. “Galer mah pan lain bahasa sunda ai sia, makana si eta ngarti. Tapi da maksud aing mah lain kadinya manggil Galer teh.” (Galer kan bukan bahasa sunda, makanya dia ngerti. Tapi kan maksud gua tuh bukan kesitu manggil dia Galer.)

“Udah udah nggak apa-apa,” tenang Jagat pada Farzan, “terserah kalian aja mau kemana, kita ngikut.”

Akhirnya setelah berdebat antara pergi ke Braga atau Asia Afrika, sebagian besar dari mereka pun menyetujui untuk pergi ke Asia Afrika. Anak-anak Brokat tidak tahu harus memilih pergi kemana, namun setelah mendengar kata Asia Afrika seperti tempat yang menarik jadi mereka memutuskan untuk memilih tempat tersebut.

Hayu,” ajak Yolan sambil melangkahkan kakinya lebih dulu untuk menuju kendaraan umum.

“Tapi mobilnya—“

“Kita naik angkot,” jawab Rakha memotong pembicaraan Samuel yang belum selesai untuk diucapkan. Samuel sedikit geram karena ini kali pertamanya ada seseorang yang berani memotong pembicaraan orang.

Dahi Hartigan menyatu memberikan garis-garis halus yang tercetak jelas. “Angkot itu apa?”

“Angkutan Kota, kendaraan umum semacem taksi versi murah,” jawab Jaya.

“Seratus ribu?” Hartigan kembali bertanya pada pria di sampingnya yang sempat menjawab pertanyaannya beberapa saat lalu. “Apanya seratus ribu?” tanya balik Jaya sambil menaikkan alis kanannya.

“Naik angkot katanya murah, berapa emang? Seratus ribu sekali naik?”

Aneh. Jaya tak habis pikir orang di sebelahnya ini orang yang habis keluar dari Gua kah?

“Seratus ribu itu bisa buat maneh balik ke Jakarta,” jawab Jaya asal. Ia sejujurnya merasakan lelah saat mengetahui pria yang baru ia kenal ini banyak bertanya.

Wow impressive,” takjub Hartigan. Ia pun berlari ke arah depan untuk sekadar memberitahukan kepada teman-temannya agar esok hari pulang menggunakan angkutan umum saja untuk kembali ke tempat asalnya, Jakarta.

“Lu kata siapa?” tanya Horace, Hartigan pun menunjuk ke arah Jaya. Jaya yang tiba-tiba ditunjuk pun hanya bisa memberikan tatapan penuh tanyanya.

“Eh, bro, emang bener ke Jakarta pake angkutan umum seharga seratus ribu?” tanya Horace untuk memastikan. Pasalnya ia sedikit ragu dengan semua perkataan yang telah dilontarkan Hartigan mengingat Hartigan tipekal orang yang selalu penuh dengan candaan.

Anjing … dia percaya dong,” batin Jaya. Ia hanya bisa memberikan senyumannya, entahlah sepertinya ia salah untuk mengajak orang untuk bercanda.

“Eh maneh mau kemana anjir?” Yolan berteriak saat melihat rekan barunya akan masuk pada angkutan umum yang berada di depannya. Sontak hal itu membuat yang lainnya menolehkan kepalanya kepada sumber suara.

“Lah, kan katanya naik angkot?” tanya Hartigan. “Bukan yang itu anjir, beda jurusan. Tuh ambil angkot yang dibelakang.”

Hartigan pun semakin dibuat bingung, jadi angkutan umum ini banyak variasinya?

“Oh jadi gini ya suasana di dalem angkot, ada live musicnya keren.” Farzan berucap sambil melihat keliling.

Aksara hanya bisa memperhatikan sejenak tingkah laku keempat temannya yang baru ia kenal hari ini. Sedikit aneh, tingkah lakunya seperti orang yang tak pernah merasakan ini semua.

Yolan sedikit terkejut saat melihat keempat teman dari Jakartanya itu serentak memberikan satu lembar uang berwarna merah muda.

Anying maraneh bisa teu mere duit teh anu pas kitu goceng, ulah cepe kabeh anying.” (Anying lu semua bisa nggak ngasih uang tuh yang pas lima ribu, bukan seratus ribu semua.) Yolan berdecak melihat kejadian itu, sedangkan yang lainnya hanya bisa berdiam diri sambil mengedip-ngedipkan matanya.

“Jal, dia ngomong apa?”

“Gua juga enggak ngerti, Ras.” Jaya menghela napasnya. Ia bawa uang berwarna biru di dompetnya lalu diserahkan pada Yolan. “Pake duit aing aja yang ini, kalo pake seratus ribu takut nggak ada kembalian buat penumpang lainnya.”

“Nggak usah,” Jaya menaikkan alisnya setelah mendengar tuturan tersebut. “Ambil aja duit lu, udah pake duit ini aja. Nggak apa-apa kasih aja semuanya.” Farzan meraih empat lembar uang berwarna merah muda dari lengan teman-temannya. Lalu kembali menyerahkan kepada Yolan.

Buset, jaya pisan ieu angkot timbang ka asia afrika dibonusan opat ratus rebu.” (Buset, jaya banget ini angkot timbang ke asia afrika dibonusin empat ratus ribu.) Harri terbenganga setelah melihat kejadian yang sangat amat asing di matanya.

Maraneh mau keliling Indonesia nggak?” tanya Harri.

“Udah pernah,” jawab Horace.

Hening. Semuanya tiba-tiba tak ada yang berani untuk bersuara. Bahkan Harri yang mengajak pun kini diam tak bergeming. Entah ia yang salah berucap atau memang ia yang masih terkejut atas jawaban dari pria baru itu.

“Oke, aing bodo amat sama fakta itu. Tapi di Bandung juga kalian bisa keliling Indonesia.”

Yang dijelaskan Harri memang benar adanya. Ia benar-benar tak bermain dengan ucapannya.

“Tapi gua males jalan,” ucap Farzan yang diangguki yang lainnya. Bandung di siang hari cukup membuat badannya sedikit berkeringat, mestipun tidak sepanas di Jakarta, namun jika berkeliaran di jalanan akan cukup membuat badannya sedikit lengket.

“Tenang, kita naik bandros.” Dengan bangga Harri menaik turunkan kedua alisnya. Namun, kelima temannya termasuk Jagat memberikan sedikit raut heran.

“Bandros tuh apa, Ri?”

“Bandung Tour on Bus, jadi bandros kayak kendaraan yang bakalan anterin kita keliling Kota Bandung,” jelas Rakha secara singkat.

Samuel teringat sesuatu. “Oh, kayak double deckersnya yang di London kali, ya?” tanyanya.

Naon double deckers teh?” (Apa double deckers tuh?) tanya Aksa pada Rakha. Namun, Rakha hanya membalas dengan gelengan.

“Bus tingkatnya di London yang warna merah itu,” jawab Jagat karena ia tak sengaja mendengar pertanyaan dari Aksa. Aksa yang mendengar jawaban dari Jagat hanya bisa terkagum. “Keren pisan maneh bisa tau, Gat.”

“Lah, ya iyalah orang dia suka-“

“Hayu buru daks naik, bisi kaburu pinuh.” Yolan memotong pembicaraan Hartigan yang belum sempat ia selesaikan. Bisa-bisanya teman barunya Jagat tak mengetahui bahwa London sudah seperti rumah kedua bagi keluarga Jagat.

“Halo selamat siang kepada Aa Aa ganteng yang sedang terduduk manis di bangkunya masing-masing, perkenalkan saya Mira yang akan membantu dalam memandu perjalanan hari ini. Jadi, nanti untuk rute hari ini akan mulai dari Gasibu menuju Asia Afrika lalu dilanjut Braga lalu menuju Dago dan kembali ke Gasibu. Buat yang belum pernah keliling Indonesia, seperti saya. Jangan khawatir sebentar lagi kita akan berkeliling Indonesia secara bersama.”

Pemandu dari Bandros pun mulai menyapa dan menjelaskan rute mana saja yang akan dilewatinya. Ia pun menjelaskan bahwa Bandros ini akan membawa penumpang untuk berkeliling Indonesia, tak hanya itu Pemandu pun akan menjelaskan mengenai sejarah tempat/bangunan tertentu di perjalanan.

Sebuah pengalaman baru untuk dirinya. Selama di Jakarta ia tak pernah merasakan jalan-jalan bersama seperti saat ini, rasanya sangat sejuk saat melihat masih banyaknya hijau-hijauan yang menyegarkan padangannya. Selama ini ia di Jakarta sering di sapa oleh sebuah bangunan-bangunan megah yang saling berlomba-lomba menjadi bangunan paling tinggi.

“Mana kok belum keliling Indonesia?” tanya Farzan. Pemandu pun tak sengaja mendengar ucapan itu langsung bersuara.

“Aa, Aa dari mana asalnya?”

“Saya?” tunjuk Farzan pada dirinya sendiri sambil menolehkan wajahnya ke kiri dan ke kanan. Pemandu itu tersenyum dan menganggukan kepalanya.

“Saya dari Jakarta,”

“Wah, selamat datang di Bandung. Jadi berkeliling Indonesia di sini itu dalam artian bahwa bus ini akan melewati jalan-jalan daerah yang ada di Indonesia. Seperti tadi kita telah melewati jalan Kalimantan, lalu saat ini kita sedang berada di jalan Riau.”

Ah. Dirinya mulai paham maksud dari keliling Indonesia. Ternyata bus ini akan melewati nama-nama jalan sesuai dengan nama daerah yang ada di Indonesia, maka dari itu Harri menyebutnya bahwa Bandros ini akan mengantarkan kita keliling Indonesia. Cukup menarik.

“Aa Aa ganteng, saat ini kita sedang berada di Jalan Asia Afrika, jalan yang dipenuhi oleh hantu-hantu yang berkeliaran,”

“Loh, ini daerah bekas pembunuhan atau giman-“

“ANJING!”

“BANGSAT GUA KAGET!”

“FCK!”

“MOTHERFCKER!”

“ANYING!”

Bukan hanya anak-anak Brokat, bahkan Aksara yang notaben anak Bandung sendiri masih sering terkejut saat melewati Asia Afrika karena hantu-hantu yang berkeliaran akan mengejutkan penumpang di dalam Bandros seperti saat ini Hartigan benar-benar terkejut karena hantu-hantu tersebut menarik kakinya dari bawah, padahal dirinya sedang bertanya mengapa di daerah sini banyak hantu-hantu yang berkeliaran.

“Maafin temen-temen saya ya Mbak, kalo kaget emang bahasanya agak susah untuk dikontrol.” Jagat menundukkan kepalanya sebentar lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal dan diikuti oleh Harri, Jaya, Rakha, juga Yolan.

Setelah turun dari Bandros mereka pun tertawa bersama saat mengingat kejadian di dalam Bandros yang membuat kelima dari sepuluh orang terkejut karena hantu-hantu Asia Afrika.

“Ai sia udah Hag, istigfar.” Jaya menoyor Kepala Harri karena selepas mereka turun dari Bandros Harri tak berniat untuk berhenti tertawa.

Harri memegang kedua lututnya pun dengan badan yang ditundukkan sembilan puluh derajat. “Aing nggak kuat anying, lawak pisan. Apalagi muka si eta, aduh aing poho ngaranna saha.” (Gua nggak kuat anying, lawak banget. Apalagi muka dia, aduh gua lupa namanya siapa.)

Harri tak sadar bahwa kini kedua matanya mengeluarkan bulir-bulir air mata, Hartigan yang merasa ditunjuk pun hanya bisa memberikan raut kesalnya. Kesal karena ia merasa sedang diomongkan tapi ia sendiri tak mengerti arti dari obrolan itu. Mereka semua sepakat bahwa tidak jadi untuk menuju Asia Afrika karena kejadian sebelumnya masih membekas dan membuat mereka-anak-anak brokat- menolak untuk pergi ke sana.

“Itu apaan?” tunjuk Samuel pada sebuah gerobak yang tak jauh dari tempat ia berada.

Jaya menolehkan wajahnya. “Cilok.”

“Enak?” Jaya mengangguk. “Maneh mau beli?”

“Berapa harganya?”

“Lima ratus,”

“Lima ratus ribu?” Jaya menggeleng, “lima ratus perak lah anying, masa iya lima ratus ribu.”

“Tunggu aja di sini, biar aing yang beliin.” Jaya melangkahkan kedua kakinya untuk berjalan ke arah gerobak cilok berada, tak lupa ia pun menarik Yolan yang sedang asik berdiam diri sendirian. Mau tak mau Yolan pun mengikuti tarikkan Jaya, mengingat tenaga Jaya sedikit lebih kuat darinya.

Tak lama Jaya pun kembali dengan membawa sepuluh bungkus cilok lengkap dengan bumbu kacangnya. Lalu ia menyerahkan satu persatu kepada temannya, namun Farza mengernyit setelah mengetahui bahwa makanan yang dipegangnya berbahan dasarkan kacang.

“Lu jangan makan ini, buat gua aja.” Farzan menarik satu bungkus cilok yang baru saja akan Jagat santap.

“Loh, maneh jangan gitu anying. Kalo masih kurang nanti aing beliin, balikin itu ciloknya ke si Erlangga.” Yolan menarik kembali satu bungkus yang telah dirampasnya dari lengan Jagat, lalu Yolan kembali menyerahkan pada Jagat. Jagat hanya bisa terdiam melihat pemandangan itu.

He has a peanut allergy, so please you better shut up.

Yolan mengerti sekarang, perdebatan kecil itu membuat yang lainnya hanya bisa memandang ke arah sumber keributan dengan mulut yang dipenuhi oleh makanan yang baru dibelinya. Yolan pun kembali meraih satu bungkus cilok dari lengan Jagat, lalu menyerahkan kembali pada Farzan.

Sorry, my bad.

Jagat hanya menggeleng, “santai aja bukan salah kamu.” Lalu kedua tangannya ia ulurkan untuk menepuk pundak Yolan agar temannya itu tak menyalahkan dirinya sendiri.

Makan cilok aja enggak bikin kenyang, hayu urang dahar siang.” (Makan cilok aja enggak bikin kenyang, ayo kita makan siang.) Rakha bangkit dari kegiatan jongkoknya, lalu membuang sampah ciloknya ke tempat sampah.

“Maraneh mau makan apa?”

“Terserah lu aja.”

Rakha mengangguk lalu mengeluarkan benda perseginya untuk mencari tempat makan yang akan menjadi tempat teman makan siangnya hari ini. Rakha pun mulai mencari tempat makan yang berada di sekitar Gasibu untuk meminimalisir perjalanan yang jauh.


Jagat Lingga Erlangga Alternate Universe.

by NAAMER1CAN0


“Passport?”

“Udah,”

“Baju anget?”

“Udah,”

“Surat-surat penting?”

“Udah,”

“Visa?”

“Udah,”

“Charger, laptop, handphone?”

“Udah,”

“Sambel terasi?”

Semuanya terdiam setelah mendengar pertanyaan itu.

“Kok diem, Abang lupa ya bawa sambel terasinya?” tanya Jio lengkap dengan sebuat kerutan di dahinya.

“Abang beli aja di sana deh kalo itu,”

“Ih nggak-nggak, bawa sekarang. Hemat uang!” Jio menyerahkan beberapa kantong sambal terasi ke arah abangnya. Nalen pun dengan terpaksa meraihnya.

“Oke …,” jawab Nalen dengan pasrah. Ia pun mulai memasukkan beberapa sambal terasi ke dalam kopernya, semoga aja nggak kena pas pengecekan. Lagipula lebih baik ia turuti kemauannya daripada si bungsu marah.

“Hati-hati di sana, jangan salah pergaulan,” ucap Jordi.

“Kalo ada apa-apa hubungi kita,” timpal Donny yang mulai mengeluarkan suaranya.

“Belanda sama Indonesia beda berapa jam?”

“Belanda lebih lambat 6 jam,” sahut Mario. Yohan pun hanya menganggukan kepalanya.

“Salam buat kincir Belanda,” ucap Haekal dengan tiba-tiba.

Nalen tertawa mendengar ucapan itu. Kadang ia merasa senang mendapatkan sosok teman humoris seperti saat ini, di saat suasana sedah sendu masih saja ia rela untuk membangkitkan suasanya yang penuh haru ini.

“Iya, nanti gua bawa balik kincirnya buat lu.” Haekal pun hanya bisa memukul pundak rekannya dengan pelan. Ia sendiri ingin menangis, namun sedikit malu jika harus dilihatkan secara terang-terangan.

“Harus banget pergi, ya?”

Semuanya kembali terdiam setelah mendengar tuturan dari si bungsu. Nalen menghela nafasnya pelan lalu bejalan ke arah yang lebih muda.

“Iya harus, maaf ya? Abang egois dulu buat kali ini aja, nggak apa-apa, ‘kan?”

Jio hanya bisa menunduk mendengarnya. Berat hatinya untuk mengiyakan ucapan tersebut, namun lebih berat lagi jika ia menolaknya.

“Tapi Jio bentar lagi mau wisuda,”

Nalen mengangkat kedua lengannya. Ia mengusak surai itu dengan lembut. “Iya, Jio hebat. Kalo waktunya memungkinkan nanti Abang dateng, tapi kalo nggak … nanti Abang kasih apapun yang Jio minta.”

“Apapun?”

“Iya, apapun,”

“Jio minta Abang buat dateng,”

Nalen dibuat bungkam. Sial, triknya salah. Manjanya Jio kembali lagi, padahal akhir-akhir ini ia sering mempelihatkan sisi dewasanya. Bahkan, percaya tak percaya dia pun kini sudah memiliki seorah kekasih.

“Kecuali itu—“

“—berarti nggak bisa apapun.”

Jio memainkan ujung jaketnya. Ia lebih tertarik untuk memainkannya daripada harus melihat dan menatap abangnya.

“Kapan flight?”

Nalen menolehkan wajahnya kepada sumber suara. “Jam 16.15,” jawabnya.

“Yaudah sana, udah mau jam empat,”

“Nanti, masih ada waktu. Gua mau di sini, ngabisin dulu waktu sama kalian,”

“Anjing, jangan buat melow lah!” ucap Derry dan Jevon secara bersamaan. Lalu mereka berdua pun melakukan high five setelah menyelesaikan kalimatnya karena telah berucap dengan kompak.

“Kuliah yang bener nanti, jangan main bolos-bolos. Malu, udah mau magister masih leha-leha,” ucap Luthfi.

“Lu setelah kerja emang jadi dewasa gini ya, Bang? Kayak udah ada aura bos-bosnya,”

Nalen menghentikan ucapannya setelah merasakan sebuah cengkraman di bahu kanannya. “Iya iya, gua bakalan rajin biar bisa balik ke sini cepet.”

“Tapi pertanyaannya, kalo gua balik, kalian masih di kontrakan nggak?”

“Masih,”

“Selalu,”

“Tetep di sana,”

“Kontrakan for life,”

“Jangan khawatir, kontrakan itu bakalan jadi milik kita. Si Chakka udah tanda tangan kontrak mau dibeli,”

“Hah sumpah?” Teguh tertegun dengan jawaban yang telah ia dengar dari Sagara.

“Iya Bang, gua beli aja sekalian. Biar jadi tempat peristirahatan kita, siapa tau kalo kita udah berkeluarga nanti kontrakan itu bisa jadi villa dan tempat buat kita liburan sekeluarga,”

“Buset, nggak nyesel gua pernah adu jotos, ngegembel, sedih-sedihan sama lu pada kalo akhir-akhirnya bakalan kayak gini.” Adrian bertepuk tangan dengan pelan saat mendengar jawaban dari Chakka. Memang tuan muda Chakka ini tak ada tandingannya, tanpa berkoordinasi tau-tau sebentar lagi kontrakannya menjadi milik bersama.

“Iya, tunggu gua ya. Gua bakalan pulang secepet mungkin,”

“Kita selalu nunggu lu beserta gelar baru lu, Nalendra Elvano, S.T. goes to Nalendra Elvano, S.T., M.Sc..”

Senyum Nalen semakin cerah setelah mendapatkan tuturan kata tersebut. Bukan hanya dirinya yang bangga dengan apa yang ia akan ambil, namun kedua puluh dua rekannya pun sama bangganya. Seketika kata rumah pun sudah bisa ia dapatkan. Rumah baginya adalah mereka, mereka yang akan menjadi tempat singgah bahkan tempat untuk berkeluh kesah dirinya.

Kebersamaan mereka pun harus terhenti setelah mendapatkan sebuah pengumuman bahwa pesawat yang akan terbang ke negara kincir itu akan flight dalam beberapa menit ke depan. Ia pun langsung bersiap-siap dan mulai memeluk rekannya satu persatu sambil mengatakan kata perpisahan.

Safe flight,”

“Jangan lupa berdoa,”

“Hati-hati, ya,”

“Jangan lupa bahagia,”

“Inget tujuan lu pergi ke sana itu apa,”

“Jangan lupa untuk kembali,”

“Kontrakan selalu terbuka buat lu,”

“Jangan lost contact,”

“Jaga kesehatan,”

“Kurangi minum kopi,”

“Jangan terlalu banyak ngerokok,”

“Makan yang sehat,”

“Jangan kebanyakan gadang,”

“Udah sampe sana, wajib kabarin kita,”

“Setiap jam jangan lupa kabarin kita,”

“Semangat, bro,”

“Jangan sedih, kita selalu ada buat lu. Jangan ngerasa kesepian lagi,”

“Jangan ragu buat pc gua kalo mau berkeluh kesah,”

“Tetap mabar walaupun kita LDR,”

“Gua pinjem mobil dan motor lu ya. Hati-hati,”

“Jangan boros, beli yang menurut lu perlu aja,”

“Abang, jangan ragu buat telfon Jio kalo kangen Jio ya. Maksudnya kalau Abang mau ngobrol sama Ibu, Jio bakalan seneng banget, hati-hati di sana ya Abang.”

Yudi membantu membawa tas yang melingkar pada punggungnya. Ia berjalan mendahului Nalendra yang masih berpamitan dengan rekan-rekan lainnya.

Tak lama Yudi menyerahkan kembali tasnya, ia dekap tubuh itu dengan erat seakan tak rela untuk melepaskannya.

“Tolong jangan hilang kabar, gua nggak suka lu kayak gitu. Jangan mikir macem-macem, inget tujuan lu terbang ke sana karena apa dan untuk siapa. Buat Oma bangga, jangan pernah berpikir buat nyerah. Kabarin gua tiap jam, tiap menit, bahkan tiap detik pun gua rela. Telfon gua kalo lu butuh orang buat cerita, butuh orang buat bersandar. Jangan sungkan telfon nyokap gua kalo lu kangen sama tempat singgah lu, ngokap gua pasti seneng. Kalo ada apa-apa jangan dipendem sendirian, jangan kebawa pergaulan yang salah, jangan seks bebas, konsumsi drugs, minum alcohol. Kabarin gua kalo udah sampe sana. Last, gua bakalan selalu ada buat lu sampe kapan pun, jadi jangan sungkan buat jadiin gua dan temen-temen lainnya sebagai Rumah.”

Yudi melepas pelukannya dan menepuk pundak Nalen dengan cukup bertenaga. Ia usak rambut adiknya sebelum akhirnya ia rapihkan kembali.

“Gih sana, ketinggalan pesawat nanti nangis,”

“Bang, makasih. Makasih udah mau bantu gua ini-itu, gua nggak tau lagi kalo nggak ada lu bakal gimana. Lu udah gua anggap kayak abang kandung gua, makasih udah jadi saksi bisu perkembangan hidup gua. Mulai dari sedih sampe seneng lu saksiin itu semua. Maaf kalo gua masih banyak salah, gua pasti kangen sama lu, mamah, dan bapak. Salam buat mereka, bilang anak bungsunya nanti bakalan ngasih undangan buat hadir di wisuda magister gua.”

Yudi tersenyum. Baru kali ini ia merasakan perpisahan yang penuh haru, ia daritadi sedang menahan tangisnya, entahlah berat hatinya untuk meninggalkan pria di hadapannya. Menurutnya pria yang sedang ada di hadapannya ini sebuah malaikat yang harus ia jaga, sebuah malaikat yang penuh sisi kerapuhan sehingga ia sendiri harus menjadi sandaran untuknya.

“Iya, gua pasti tunggu moment itu.”

Nalen pun melambaikan tangannya kepada rekan-rekan yang sedang memperhatikannya. Ia tarik kedua ujung bibirnya untuk tersenyum, tak lupa ia pun menepuk pundak abangnya sebelum ia benar-benar terbang ke negara kincir.

Yudi hanya bisa menatap punggung yang semakin lama semakin hilang dari pandangannya. Air matanya mulai menetes namun dengan sigap ia menyekanya dengan cepat.

“Hati-hati, jagoan,

Nalendra Elvano, sosok orang hebat dan kuat yang pernah gua temui.”

Sebab nama tersebut menjadi alasan mengapa dirinya tumbuh menjadi orang yang kuat.

Nalendra: orang yang tak pernah mengenal lelah dan gigih.

Elvano: hadiah dari Tuhan berupa anak yang kuat.

Nalendra Elvano, orang yang tak pernah mengenal lelah berupa hadiah dari Tuhan sebagai anak yang kuat.


Story of Nalen Universe.

by NAAMER1CAN0


Sebuah kertas yang sedang ia genggam telah menuntun dirinya untuk datang ke kota- Pontianak- ini. Kota yang sangat jauh dari tempatnya berada, ia harus menyebrangi pulau dan menyita beberapa hari untuk bisa sampai di sini. Kertas tersebut adalah kertas peninggalan Omanya terakhir yang mengatakan bahwa ia masih memiliki kedua orang tua. Selama dua puluh dua ia hidup, ia berpikir jika ia tak memiliki orang tua, ia berpikir bahwa orang tuanya sudah meninggal. Entah harus sedih atau senang, yang pasti ia merasakan kecewa setelah mengetahui hal ini.

Mobil yang sedang ditumpangi keduanya pun kini telah terparkir sempurna di dalam perumahan mewah yang tak jauh dari pusat kota. Nalen kini sedang mengatur degup jantungnya yang tak beraturan. Basa-basi apa yang harus ia sampaikan saat bertemu dengan Ibunya setelah dua puluh dua tahun tidak bertemu?

“Yang mana rumahnya?”

Itu pertanyaan dari Yudi yang telah menyadarkannya dari sebuah lamunan. Awalnya dirinya sempat menolak Yudi untuk ikut bersamanya, karena Abangnya pasti membutuhkan istirahat setelah lembur kerja, namun, ya, mau gimana lagi? Yudi tipekal orang yang keras kepala.

“Itu di ujung.” Nalen menunjuk sebuah rumah dengan nuansa putih dan memiliki halaman yang cukup luas bila dibandingkan dengan rumah yang berada di sekitarnya.

“Eh, lu mau ke mana, Bang?” tanya Nalen saat melihat Yudi bersiap-siap untuk keluar dari mobilnya.

“Mau samperin Ibu lu, 'kan?”

“Lu diem di sini aja, biar gua aja yang masuk,”

“Tapi—”

“—ini gua maksa.”

Yudi pun dibuat bungkam setelah mengetahui bahwa ia dilarang untuk ikut bersama pria di sampingnya. Akhirnya ia pun mengalah dan kembali menyandarkan punggungnya pada kursi kemudi.

“Kabarin kalo ada apa-apa,”

“Iya.”

Kedua kakinya ia bawa untuk keluar mobil, tak lupa untuk merapikan pakaiannya. Ia tak mau kesan pertama yang diberikan tidak sempurna, bahkan jari-jarinya pun dengan mahir menyisir rambutnya agar terlihat lebih rapih.

Atensinya kini telah tersita oleh sebuah kegiatan yang berada di dalam jangkauan pandangannya. Sebuah keluarga kecil yang sedang sibuk dengan beberapa hidangan di atas meja dan diiringi oleh sebuah candaan hangat.

Degup jantungnya semakin cepat setelah kedua maniknya tak sengaja menangkap sebuah wanita berambut panjang lengkap dengan sebuah baju putih yang menggantung pada tubuhnya. Cantik. Satu kata yang ia deskripsikan saat melihat sosok perempuan tersebut.

Bibirnya terangkat ke atas seiring dengan sorot matanya yang mulai sendu. Apakah benar perempuan yang ia pandangi saat ini adalah Ibu kandungnya?

“Maaf, anda siapa, ya?”

Sial. Batinnya.

Perempuan itu kini mulai berjalan menghampiri pria asing yang beberapa saat lalu menatap ke arah keluarganya. Ia sedikit khawatir bahwa pria tersebut bukanlah pria yang baik.

“Maaf sebelumnya, saya sedang mencari sosok perempuan yang bernama Rana Rembulan—“

“—ada keperluan apa, ya? Kebetulan itu dengan saya sendiri.”

Nalen tak bisa menyembunyikan rasa rindunya. Kedua tangannya ingin ia cepat-cepat lingkarkan pada tubuh perempuan itu, namun dirinya cukup waras untuk tak melakukan hal yang menurutnya konyol.

“Boleh bicara sebentar? Ada yang harus saya obrolkan,”

“Oh iya, nama saya Nalendra Elvano.”

Nalen mengulurkan tangan kanannya kepada sosok perempuan di hadapannya. Tak lama perempuan itu pun menarik uluran tangannya dan tak lupa mengenalkan kembali siapa dirinya.

Mamah!

Iya sebentar Nak, mamah sedang ada tamu. Kalian makan duluan saja ya,” jawab Rana dengan sedikit teriakan agar kedua anaknya dapat mendengar jawaban darinya.

“Maaf, jadi apa yang harus diobrolkan, ya?” Rana kembali bertanya kepada pria asing di hadapannya.

Nalen terdiam sebentar. Jujur dirinya sangat bingung apa yang harus ia ucapkan saat ini. Dialog-dialog yang sudah ia siapkan di sepanjang jalan pun kini mulai sirna, bahkan dirinya tak ingat pernah menyiapkan sebuah dialog untuk pertemuan hari ini.

Rana pun dibuat bingung dengan sosok pria dihadapannya, namun dirinya cukup familiar dengan wajah dari pria ini. Mirip seseorang.

“Ibu.”

Satu kata lolos dari mulutnya. Satu kata yang membuat Rana melebarkan matanya. Nalen tak berani untuk sekadar menatap prempuan di hadapannya.

“Maaf?”

“Ibu, ini Alen. Anak Ibu …,”

“Sepertinya anda salah orang, anak saya masih kecil,” sanggahnya dengan cepat.

“Ibu ini Alen, anak Ibu dan anak Ayah Faadhil Keswara. Ini Alen, Bu.”

Nalen memberanikan dirinya untuk menatap kedua manik perempuan di hadapannya. Entah ia akan senang atau kecewa dengan reaksinya, itu bisa diurus nanti.

“Saya nggak kenal Faadhil Keswara, saya nggak kenal Nalendra Elvano. Anda benar-benar salah orang, saya rasa.”

Nalen memberikan sebuah foto yang menampakkan perempuan tersebut dengan sosok ayahnya. Perempuan itu pun hanya bisa terdiam setelah melihat sebuah gambar yang menampakkan dirinya memakai gaun berwarna putih.

“Ayah di mana, Bu? Alen mau ketemu sama Ayah,”

“Dia sudah meninggal 20 tahun yang lalu,” jawabnya, ia mengalihkan pandangannya ke samping seolah sedang membuang muka.

Hatinya seperti sedang dilempar oleh ribuan batu. Sesak dan sakit. Harapannya untuk bertemu dengan Ayahnya harus ia kubur dengan hidup-hidup.

“Dia punya penyakit stroke, waktu itu dia sedang bekerja di Singapura. Pun dimakamkan di sana,”

“Sudah, ‘kan? Anda hanya mau tahu keberadaan Ayah anda? Kalau gitu saya pamit.”

Nalen menahan lengan perempuan tersebut dengan cepat. “Bu, ini Alen. Alen anak Ibu … anak pertama Ibu.”

“Bu, dua puluh tahun Alen nggak pernah merasakan pelukan hangat dari Ibu. Jangankan pelukan, tegur sapa pun nggak pernah. Alen cuman butuh pelukan Ibu,”

“Maaf, tapi saya nggak kenal kamu. Saya hanya punya dua anak, itu pun masih TK.”

Rana bersikeras dengan ucapannya bahwa ia tak memiliki anak selain si kembar. Entah apa yang sedang ia sembunyikan, atau bahkan ia tak mengingatnya?

“Bu, selama ini Alen tinggal sama Oma. Shara Nirmala, itu Ibunya Ibu ‘kan?”

“Bu, Alen jauh-jauh datang ke sini cuman mau bertemu sama Ibu. Alen mau diakui kayak kedua anak Ibu, Alen butuh diakui,” lanjutnya.

“Sudah, ya? Kamu mending pulang, sia-sia kamu datang ke sini, karena saya benar-benar nggak kenal kamu.”

Rana melepaskan genggaman pada lengannya. Ia pun berjalan membelakangi pria yang menyebutkan bahwa ia adalah putra sulungnya. Benarkah?

“Oma, Shara Nirmala, Ibunya Ibu udah meninggal.”

Rana menghentikan langkah kakinya. Bola matanya melebar setelah mendengar tuturan tersebut. Tatapan matanya mulai kosong. Ia kembali berjalan seakan tak peduli dengan apa yang telah disampaikan oleh pria asing itu. Berbeda dengan tingkahnya, degup jantungnya mulai perpacu cepat setelah mendengar tuturan tersebut.

“Alen mohon, Alen nggak apa-apa nggak Ibu akui. Tapi Alen mohon, Ibu datang ya ke makam Oma? Datang ke tempat peristirahatan Oma untuk terakhir kalinya? Oma berpesan kalau dia rindu sama Ibu. Selama dua puluh tahun Oma sembunyiin keberadaan Ibu, dan selama itu pula Oma udah menyimpan rasa rindu buat Ibu. Alen mohon, Ibu datang, ya?”

Tubuhnya kini sudah berlutut di atas aspal. Ia tak peduli jika menjadi bahan tontonan orang yang berlalu lalang, dirinya hanya ingin Ibunya datang ke tempat peristirahatan terakhir Oma-nya.

Tak tega dengan sebuah suara yang menyimpan banyak beban itu, ia pun kembali dan membantu pria asing di hadapannya untuk kembali berdiri. Ia pun hanya manusia biasa yang memiliki rasa iba terdahap seseorang.

“Jangan kayak gini, nanti orang lain berpikiran macam-macam tentang saya.”

Nalen pun berdiri dari kegiatan memohonnya dengan bantuan sebuah uluran tangan. Sorot matanya memancarkan sebuah permohonan. Rana tak tega untuk melihatnya hingga pada akhirnya ia pun memalingkan wajahnya ke arah lain asalkan tak memandang sorot mata itu.

“Kamu pulang, ya? Kalau perlu saya kasih ongkos untuk kamu pulang.”

Rana mengeluarkan beberapa lembaran uang berwarna merah muda dan menyerahkan tepat pada wajah Nalen. Merasa terhina dengan perlakuan tersebut, Nalen pun mulai angkat bicara.

“Sebegitu menyedihkannya saya di mata anda? Memang. Hidup saya sudah hancur selama dua puluh tahun ini, saya nggak punya sosok Ibu dan Ayah sejak kecil. Sebuah olokan pun sudah biasa bagi saya, saya pikir saya akan mendapatkan kebahagian setelah saya datang ke sini. Ternyata harapan saya hanya sebatas angan-angan, bahkan kini hidup saya pun sudah tak punya siapa-siapa lagi. Memang benar, saya hidup pun tak ada gunanya, tak ada yang mengharapkan. Saya heran, kenapa anda rela susah payah melahirkan saya jika pada akhirnya saya sendiri tak dianggap kehadirannya oleh Ibu kandungnya sendiri?”

“Saya cuman mau diakui, nggak lebih. Saya pun ingin merasakan seperti anak-anak di luar sana yang berkeluh kesah dengan orang tuanya, yang mendapat hangatnya pelukan. Itu saja—”

“—maaf, tapi saya tetap nggak kenal siapa kamu.” potong Rana, ia memalingkan wajahnya. Ia menggigit pipi dalamnya untuk menahan sesuatu yang mulai bergejolak di dadanya.

“Oke kalau begitu. Terima kasih atas waktunya, maaf saya sudah menganggu. Selamat sore, semoga Anda dan sekeluarga disehatkan selalu. Oh iya, terima kasih atas penawarannya, saya masih mempunyai uang.”

Nalen meraih tangan perempuan itu lalu mengecupnya sebelum akhirnya ia kembali. Rana hanya terdiam setelah mendapat perlakuan tersebut, hangat. Ia rasanya ingin mengenggam lengan tersebut dengan waktu yang sedikit lebih lama. Bulir air matanya mulai terjatuh membasahi kedua pipinya seiring dengan menatap punggung yang mulai menjauh dari pandangannya.

“Itu siapa sayang? Kok nggak disuruh masuk?”

Rana terkejut dengan sebuah suara yang menyadarkannya. Ia usap air matanya dengan cepat, lalu berbalik untuk menatap suaminya.

“Nggak tau, salah orang katanya. Lagi cari alamat tapi yang punya rumah udah pindah, aku juga nggak kenal.”

Pria paruh baya lengkap dengan sebuah piring di kedua lengannya pun hanya mengangguk.

“Yaudah ayo kita makan, kasian si kembar udah lapar.”

Rana pun meraih satu piring di lengan suaminya. Pria paruh baya itu hanya tersenyum dan mengecup pelipis istrinya dengan pelan. Rana pun tersenyum merasakan kehangatan dari keluarga barunya.

Maaf. Ibu nggak bermaksud begitu. Ibu terlalu takut untuk mengenang masa lalu, dan kamu salah satu cuplikan dari masa lalu Ibu.


Pada dasarnya hatinya sudah rapuh, setelah pertemuan ini hatinya pun semakin rapuh. Padahal tadinya ia berharap bahwa pertemuan hari ini akan mengembalikan hatinya, ternyata tidak.

Rasa sakit yang ia rasakan dari cemooh teman-temannya sejak Sekolah Dasar tak ada apa-apanya setelah merasakan bahwa dirinya tak dianggap oleh orang tuanya, bahkan telah dipandang sebelah mata olehnya. Ia semakin menyesal setelah mengetahui bahwa Ayahnya sudah tak ada. Dua orang yang ia sayangi meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Tak benar-benar kembali. Ia pun menolehkan kembali pandangannya ke belakang, berhadap perempuan itu masiuh memandanginya. Ia hanya bisa tersenyum miris setelah melihat adegan sebuah keluarga yang sedang tertawa sambil saling menyuapi satu sama lain. Ia boleh merasakan iri, ‘kan?

Harusnya Alen yang duduk di sana Bu, harusnya Alen yang Ibu elus kepalanya, harusnya Alen Bu ….

***

“Eh, kok cepet, sih?”

“Ketemu nggak, lu?” tanya Yudi kembali setelah melihat Nalen yang kini sudah mendudukkan dirinya di kursi sebelahnya. Nalen hanya mengangguk.

“Lemes amat si kayak Balon oddo,”

Nalen tersenyum setelah mendengar sebuah lelucon yang cukup menghibur dirinya. “Ayo pulang Bang, kita pulang ke Jatinangor.”

“Buset, langsung nih?”

Nalen menganggukkan kembali kepalanya. “Iya.”

Yudi cukup mengerti dengan suasana hati dari Adiknya ini. Sangat terlihat jelas dengan cara jalan dia sebelum dan sesudahnya, namun ia sendiri tak berani untuk menanyakan hal lainnya. Biarkan adiknya yang cerita sendiri.

Oma, maaf. Alen nggak bisa bawa Ibu buat dateng ke rumah barunya Oma. Alen udah berusaha, tapi usaha Alen nggak berarti. Oma, maafin Alen ya. Alen gagal, lagi.

Kali ini adalah kala pertama dan terakhirnya ia untuk mencari Ibunya. Nyatanya mengapa harus ia cari jika apa yang ia cari pun tak mau menampakkan dirinya? atau minimal menghargai usahanya.

Hidup sendiri dan sebatang kara tak semenyedihkan itu. Ia sempat ingin berputus asa namun konyol baginya setelah semua hal menyedihkan ini menimpanya, mengapa harus nyerah pada saat ini? Ibaratkan ia sudah terlanjur basah, jadi ya sudah berenang saja sekalian. Lagipula, untuk saat ini ia harus berfokus pada keinginan Oma-nya yang harus segera ia realisasikan.


Story Of Nalen Universe.

by NAAMER1CAN0


“Lu bener-bener baik-baik aja, 'kan?”

Nalen mengangkat alisnya seiring dengan pertanyaan yang baru masuk ke dalam gendang telinganya. “Baik, kenapa emang?”

Yudi menggelengkan kepalanya. “Enggak, gua kayak ngerasa akhir-akhir ini lu sering ngelamun. Lebih lesu, kayak nggak ada semangat hidupnya lagi.” Nalen hanya tertawa, tak ada sedikit pun niatnya untuk membalas perkataan itu.

“Lu gimana kerjanya Bang, aman?” tanya Nalen, kedua maniknya menatap ke arah yang lebih tua.

“Aman kok, cuman masih sedikit canggung karena masih baru,” sahutnya. “Oh iya, Oma gimana? Sehat?”

Sesuai dugaannya, pertanyaan ini lambat laun pun akan dilontarkan. Ia sedang menimang-nimang untuk menjawabnya, haruskah menjawab secara jujur atau sebaliknya?

“Ini dibungkus semua, A?” Mereka pun dikejutkan oleh pertanyaan itu, lalu dengan kompak mereka menolehkan wajahnya kepada sumber suara dan langsung menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Iya Pak, semuanya dibungkus. Nanti dipisahin ya Pak, dijadiin sepuluh-sepuluh.” Amang sate pun hanya mengacungkan jempolnya di udara.

Untung saja penjual sate tersebut bertanya pada tepat waktu, hingga dirinya tak perlu bersusah payah untuk menjawab pertanyaan itu. Harusnya sejak kembali ke kontrakan ia menghindari Yudi. Entah bagaimana Yudi bisa mengetahui suasana dirinya akhir-akhir ini. Mereka tidak mengetahui alasan dirinya tidak turut menghadari acara wisuda para tertuanya, yang mereka ketahui bahwa dirinya sedang merindukan rumahnya. Padahal bahkan rumahnya pun sudah hilang.

“Eh Nalen,” panggil pria asing. Nalen dan Yudi pun menolehkan wajahnya kepada sumber suara. Tercetak jelas garis memanjang pada dahinya sebagai tanda ia kebingungan siapa yang memanggil namanya.

“Oi Kale,” jawabanya sambil berjalan untuk memberikan sapaannya.

“Bang,” sapa Kale- teman satu kelas Nalen- pada Yudi dan kemudian dijawab anggukkan.

“Lah, gua kira lu di sc bantuin angkatan dekor?”

“Oh iya, kerjain tuh tugas bego, ngulang tau rasa lu,” lanjutnya. Lagi-lagi Nalen hanya tertawa dan memukul sedikit pundak temannya. “Iye, nanti gua kerjain elah. Btw thanks Le udah mau bantuin gua, bantuan lu sangat berharga.”

“Siap sama-sama, sorry ya gua nggak bisa ke surabaya. Gua cuman bisa ngucapin turut berduka cita.”

Yudi menegakkan tubuhnya. Sebentar apa katanya? Berduka cita? Siapa yang berduka?

Nalen yang mendengar perkataan itu hanya bisa diam mematung. Pasalnya ia tidak memberitahu anak-anak kontrakan perihal meninggal Oma-nya. Ia melirik Yudi yang terduduk di bangku melalui ekor mata kanannya. Sial.

“Sorry, siapa yang berduka, ya?”

“Oma-nya Nalen, Bang,”

Bagai dihempas pada bebatuan karang di pesisir pantai. Kakinya kini melemas, ia mungkin akan ambruk jika tak segera mendudukan kembali pada sebuah kursi si belakangnya. Bibir Nalen seakan kelu, tenggorokkannya mulai mengering. Bahkan untuk berucap satu kata pun sangat sulit.

“Yaudah gua duluan ya Len, Bang,” pamit Kale. “Sekali lagi turut berduka cita ya, Len.” Kale menepuk pundak temannya sebelum ia benar-benar pergi.

“Bilang sama gua, itu bohong 'kan?”

Bak tuli, kini telinganya tak mampu mencerna perkataan dari abangnya. Bibirnya masih mengatup dengan sempurna. Pertanyaan itu bagai angin lalu untuknya, bahkan ia sendiri sangat enggan untuk mengadahkan kepalanya. Batu-batuan di tanah lebih menarik untuk ia lihat dibandingkan dengan netra pria di hadapannya.

“Please ... bohong 'kan Len?”

Nalen tidak menjawab, namun ia menatap mata abangnya. Terlihat jelas kilatan kesedihan yang terpancar. Hati Yudi mencelos saat melihatnya. Jika tidak dalam keadaan seperti ini mungkin dirinya akan menangis dengan keras.

***

Setelah mengantar pesanan dari para penghuni kontrakannya, Yudi terburu-buru sambil menarik lengan adiknya untuk mengikuti langkah kakinya.

Di sinilah mereka berada, di sebuah taman kontrakannya. Yudi mengusap wajahnya dengan kasar, rasanya ia sangat sulit untuk berkata. Hatinya begitu pilu.

“Len, sumpah gua heran. Kenapa lu tutupin, Anjing.” Yudi mengacak surainya dengan kasar. Ia sangat kecewa dengan kenyataan yang baru diketahuinya beberapa saat yang lalu. “Sebegitu nggak percayanya lu sama kita? Gua kurang apa sih Len, bahkan gua udah nganggep lu kayak adik gua sendiri,” lanjutnya. Kedua tangannya ia bawa untuk mencengkram kerah baju yang lebih muda. Sorot kekecewaan pun tercetak jelas pada maniknya.

“Maaf Bang ... gua waktu itu ...,” henti Nalen. Ia pejamkan matanya sekilas, rasa sesak di dadanya mulai muncul kembali. Rasa yang paling ia benci. Rasanya sangat sakit bila dirasakan.

” ... waktu itu percis di mana besok kalian bakalan wisuda. Gua udah mau ancang-ancang buat tidur, tapi ternyata gua dapet kabar kalau misalnya Oma kritis dan masuk IGD. Gua di situ kalut dan langsung pergi ke Surabaya. Tapi, belum sempet nyampe rumah sakit ... Oma ... Oma dipanggil duluan-” Ia menundukkan kepalanya. Kedua tangannya ia bawa untuk menutupi wajahnya. Entah bagaimana kini cengkraman pada kerah bajunya sudah melonggar, “-gua waktu itu bener-bener hancur Bang ... padahal kalau misalnya gua waktu itu lebih cepet mungkin bisa ketemu dan ngobrol sama Oma buat terakhir kalinya. Nyatanya Tuhan nggak merestui hal itu,”

“Maaf gua waktu itu sempet hilang, maaf ... gua cuman nggak mau ngerusak suasana bahagia kalian, itu aja.”

Tak kuasa menahan tangisnya, kini bulir-bulir air mata itu mulai terjatuh. Air mata itu jatuh beriringan dengan sebuah tangan yang mendekap tubuhnya. Ia tenggelamkan wajahnya pada pundak itu. Bahkan ia pernah berjanji untuk selalu memberikan pundaknya untuk orang-orang yang ia sayangi, tapi ternyata ia lupa bahwa dirinya pun samanya membutuhkan pundak untuk sekadar bersandar.

“Maaf. Maaf gua nggak bisa dateng pada hari itu. Maaf gua nggak bilang tentang hal ini, gua takut Bang. Gua takut terlihat lemah di mata lu semua, gua takut terlihat menyedihkan, bahkan sekarang gua takut buat jadiin lu semua rumah gua Bang. Gua takut.”

Diam-diam air mata Yudi pun mengalir, namun dengan cepat ia hapus jejak air mata tersebut. Saat ini ia sedang menjadi tempat untuk adiknya bersandar.

Tak sengaja mendengar. Jio kini hanya bisa terduduk dengan lemas. Niatnya ia akan memanggil kedua abangnya untuk makan bersama, namun berakhir mendengar cerita yang seharusnya tak ia dengar. Sadar dengan sosok itu, Nalen pun segera menegakkan kembali badannya dan menghapus air matanya dengan cepat. Ia berjalan ke arah Jio dan membantunya untuk berdiri.

“Abang ...,” lirih Jio saat merasakan Nalen membantunya untuk berdiri. Bukannya menjawab Nalen hanya tersenyum seakan hal yang baru saja ia ceritakan tak pernah terjadi.

“Ayo bangun, kita makan.”

Jio pun mulai berdiri, namun tetap kakinya masih terasa lemah untuk sekadar ia langkahkan. Namun berkat bantuan tangan Nalen, sehingga ia bisa berjalan dan kembali duduk pada tempatnya asal.

Mungkin sedihnya sudah terlalu banyak. Air matanya sudah banyak terkuras, hingga kini ia hanya bisa menangis dalam diam. Ia harus terlihat baik-baik saja, ia tak mau dianggap lemah. Ia kuat.

Anjing, gua gagal ... sorry.” Yudi hanya bisa berucap pada dirinya sendiri. Tanpa sadar air bening pun mulai menetes pada kedua pipinya. “Gua benci liat lu sok kuat, gua benci lu pura-pura baik-baik aja. Gua benci itu Len.” Punggung yang ia tatap pun kini sudah menghilang pada pandangannya.


Story of Nalen Universe.

by NAAMER1CAN0

cw // mention of death , mention of cigarettes tw // death , angst


Rasa kantuknya sudah hilang setelah mendapatkan sebuah pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Tanpa berpikir panjang ia pun langsung meraih jaket serta kunci mobilnya. Kakinya ia langkahkan untuk ke luar dari kontrakan, ia melangkah sepelan mungkin untuk meminimalisir kegaduhan yang ditimbulkannya.

Perasaannya kini sangat kalut, ia seperti sedang kesetanan saat membelah jalanan yang terlihat kosong karena waktu menujukkan dini hari. Di dalam perjalanan ia tak lepas untuk memberikan doa untuk Oma-nya. Bagaimana bisa, beberapa minggu yang lalu Oma-nya sudah terlihat sehat, namun kali ini harus masuk rumah sakit kembali terlebih kini kondisinya semakin memburuk.

Dunianya serasa hancur setelah mendapatkan sebuah telfon. Suara itu bukan suara Oma-nya, melainkan suara pengasuh Oma-nya. Belum sempat sampai, namun ia mendapatkan kabar buruk. Mendapatkan kabar bahwa Oma-nya pergi untuk selamanya. Padahal sedikit lagi ia bisa melihat Oma-nya.

Bahu yang selama ini ia selalu ia tegakkan pun seketika runtuh. Lagi-lagi ia ditinggalkan oleh orang yang disayanginya, pandangannya seketika kabur. Ia tidak bisa memandang jalanan dengan benar, sehingga ia segera menepikan mobilnya kembali.

“Oma ...,” ucap Alen yang terhenti oleh isakkan tangisnya. “Sekarang tujuan hidup Alen apa kalau bukan buat bahagiakan, Oma?”

Dadanya bak dihantam oleh bebatuan yang besar. Rasa sesak mulai menyeruak di dadanya. Tepat pada hari ini para Abangnya melaksakan wisuda, namun dirinya dengan tidak tahu dirinya meninggalkan tanpa memberikan satu atau bahkan dua patah kata.

Jangankan untuk memberitahu penghuni kontrakannya, untuk melanjutkan nyetir saja dirinya tidak kuat. Badannya begitu lemas, ia berharap bahwa kejadian ini adalah mimpi. Mimpi terburuk yang ia alami, namun nyatanya tidak.


Di sinilah ia berada, dirinya sudah di hadapan orang yang dia sayangi. Orang tersebut sudah terbujur kaku lengkap dengan sebuah kain putih yang menutup tubuhnya. Tangisnya kembali pecah, kakinya kini tidak bisa menopang tubuhnya. Ia ambruk di hadapan jenazah Oma-nya.

“Alen ... Oma udah nggak sakit lagi, ikhlas, ya anak ganteng?”

Hanya itu yang bisa diucapkan oleh pengasuhnya. Namun bagai sebuah angin, perkataan itu tak ia dengarkan.

“Alen boleh liat dan meluk Oma buat terakhir kalinya?”

“Boleh?” lanjutnya dengan penuh harap. Kedua matanya tak lepas dari Omanya yang sedang terbujur kaku.

Perawat itu pun menganggukkan kepalanya dan mempersilakannya untuk menghampiri orang yang telah terbaring kaku di atas ranjang.

“Boleh tinggalin Alen sama Oma berdua?”

“Alen mohon ... lima menit aja, tolong?” mohonnya. Sorot mata itu memancarkan keputus asaan dirinya. Sebenarnya Mariam- pengasuh Omanya- sedikit khawatir untuk meninggalkan Nalendra berdua dengan Oma-nya. Setelah mengingat bahwa dirinya akan benar-benar hancur, tapi setelah melihat tatapan permohonannya ia pun tak mau menyanggahnya.

“Oma, masih banyak yang harus Alen lakuin. Masih banyak keinginan Alen yang perlu Alen wujudin, bahkan Alen pun belum buat Oma bangga. Tapi kenapa, Oma ninggalin Alen sendirian?”

“Oma ... kalau Oma pergi, Alen sama siapa? Alen sekarang nggak punya siapa-siapa. Alen nggak punya rumah lagi buat Alen singgahi, rumah Alen kini udah hilang,”

“Oma, kenapa bukan Alen aja yang gantiin Oma? Kenapa harus Oma? Oma banyak yang sayang. Bahkan harusnya Alen yang terbaring kaku di sana, harusnya Alen Oma—

—Oma ... Alen sekarang nggak punya tujuan lagi. Apa boleh Alen nyerah? Alen nyerah sama semuanya. Alen ngerasa kalau kehadiran Alen ada dan tidak adanya nggak akan mempengaruhi apapun, karena pada dasarnya Alen ada pun nggak ada yang mengharapkannya,”

“Oma, tapi kalau Alen nyerah kita nggak akan pernah ketemu. Alen nggak mau itu, Alen mau ketemu sama Oma. Oma, please Alen mohon, Oma bangun ya? Alen nggak kuat buat berdiri sendirian, dunia terlalu kejam untuk Alen. Waktu kecil Alen punya cita-cita jadi superman biar bisa jagain Oma, tapi sekarang Alen udah nggak bisa jadi superman-nya Oma lagi,”

“Oma, jadi minggu lalu itu minggu terakhir kita ketemu, ya? Alen nyesel, harusnya hari itu Alen lebih banyak habisin waktu sama Oma. Kalau bukan Oma, nanti siapa lagi yang marahin Alen kalo Alen bandel minum kopi dan ngerokok setiap hari? Siapa yang buatin makanan kesukaan Alen? Siapa yang bisa Alen ajak cerita? Siapa yang nemenin Alen wisuda nanti? Bahkan janji kita buat mengukir kenangan juga harus sirna, Oma.”

Diam-diam Mariam mendengar percakapan itu semua. Hatinya sangat sedih, kali pertamanya ia melihat Nalen yang menangis dengan pilu selain saat ia balita. Ia pun langsung masuk ke dalam ruang jenazah lalu memeluk Majikannya.

“Alen masih punya Bibi, Bibi bakalan selalu ada buat Alen, Bibi yang bakal buatin Alen masakan kesukaannya, Bibi yang bakal siap untuk mendengarkan cerita Alen. Alen punya Bibi, Alen jangan nyerah. Oma bakalan marah kalau cucunya gampang nyerah, Oma selalu bilang kalau Alen cucu yang hebat, cucu yang kuat. Jadi tolong, Alen kuat, ya? Kita kuat secara sama-sama.”

Sudah hampir 25 tahun Mariam kerja dengan Oma, tandanya Mariam pun menjadi saksi bisu mulai dari dirinya bayi hingga beranjak dewasa. Bahkan untuknya Mariam pun sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri, begitu pun kebalikannya bahwa Mariam pun sudah menganggap Nalen sebagai keponakannya.

“Alen udah makan? Makan dulu, yuk? Bibi temenin. Oma-nya sekarang mau dimandiin dulu,”

Nalen menggelengkan kepalanya. Jangankan untuk makan, untuk minum pun ia tak berselera. Siapa sih yang masih bisa merasakan kenikmatan itu di atas penderitaan yang sedang dialaminya?


“Tidur yang nyenyak ya, Oma? Oma sekarang udah nggak perlu bolak-balik check up darah, nggak perlu minum obat. Oma udah bisa istirahat dengan tenang. Alen ngiri sama Oma, ternyata Tuhan pun sebegitu sayangnya, ya sama Oma?”

Nalen menaburkan bunga terakhirnya seiring dengan ucapannya yang terhenti. Ia siram rumah baru untuk Omanya sebelum ia harus kembali ke rumahnya. Keadaannya kali ini sudah lusuh, baju yang berantakan, rambut yang sudah tak karuan, kantong mata yang membesar dan terdapat warna hitam, serta rasa pening yang kini dirasakannya.

Saat prosesi pemakaman dilakukan ia merasakan beberapa notifikasi di handphonenya, hingga pada akhirnya kini sudah tak berbunyi kembali. Entah karena sudah tak ada yang menghubungi atau handphonenya yang sudah mati total.

“Sabar, ya? Bibi ada di sini dan selalu akan selalu ada di sini.”

Mariam mengelus punggung kecil majikannya. Ia peluk punggung itu, yang dipeluk pun tak memperlihatkan gerakan untuk menolak.

“Kita pulang, yuk? Kita persiapan buat tahlilan. Alen mau kan ngajiin yasin buat Oma?”

Nalen mengangguk untuk menjawab pertanyaannya tanpa memutuskan pandangan kepada sebuah kayu yang memperlihatkan identitas Omanya.

“Yaudah yuk, kita pulang sekarang. Kita kasih waktu buat Oma istirahat.” Mariam menuntun Nalen untuk berdiri bersamanya. Namun setelah melihat majikannya akan mengeluarkan suaranya, ia pun memberi sedikit waktunya kembali.

“Istirahat, ya Oma. Nanti Alen bakalan sering buat ngunjungi Oma, jadi Oma jangan bosen-bosen kalo Alen kunjungi, ya?”

Ia bawa kedua bibirnya untuk tersenyum. Ia kembali mengelus nisan itu untuk terakhir kalinya sebelum pada akhirnya ia berdiri dari kegiatan jongkoknya dan kembali ke rumahnya, kembali menjalankan realitanya, dan menjalankan hari-harinya tanpa kehadiran orang yang ia sayangi.


Story of Nalen Universe.

by NAAMER1CAN0