FIRST DATE.
First: Museum Geologi, Bandung.
Keduanya telah sampai di tempat pertama yang akan mereka kunjungi. Jagat sedikit khawatir apabila pilihan tempat di acara kencan pertamanya ini memiliki kesan yang buruk bagi Grace. Namun, kekhawatiran itu hilang saat kedua matanya melihat raut bahagia yang tercetak di wajah perempuan di sebelahnya.
“Museum dunianya kamu ternyata.”
“Kenapa?” tanya Jagat, kedua tangannya yang semula sedang sibuk membantu memasangkan sebuah tiket di pergelangan tangan Grace pun seketika terhenti.
“Ini, tempat pertama yang kamu pilih ternyata tentang dunianya kamu.”
Kebingungan itu semakin tercetak di wajah Jagat. Kedua alisnya semakin bertaut karena tidak dapat menangkap maksud dari ucapan seseorang di depannya.
“Bumi, arti nama kamu, bumi, kan?” Grace balik bertanya, “ini kita lagi di museum yang isinya tentang kamu, tentang bumi.” Sebuah cengiran Grace perlihatkan. Ternyata jokes-nya tak mampu ditangkap oleh sang empu.
“Oalah, maaf saya nggak nangkep maksud ucapan kamu tadi.” Selesai membantu Grace, kini kedua tangan Jagat sibuk untuk memasangkan tiket miliknya pada pergelangan tangan kanannya sendiri.
Grace yang melihat itu sedikit gemas, sampai akhirnya tiket tersebut Grace rampas dan dia bantu pasangkan pada pergelangan tangan Jagat. “Sini sama aku aja, padahal minta bantuan aku gratis, kok,” sindirnya.
Merasa disindir, Jagat hanya tertawa menimpali ucapan Grace tanpa berniatan untuk membalasnya. “Makasih, ya.”
Grace membalas ucapan Jagat dengan senyuman manisnya. Setelah itu mereka berdua mulai memasuki Museum Geologi, yang tak lama langkahnya terpaksa terhenti. Aroma menenangkan dari Museum mulai menyeruak dan memanjakan indra penciuman mereka berdua.
“Mau ke arah barat atau ke arah timur dulu?” tawar Jagat. Tatapannya kini dia alihkan pada perempuan di sampingnya.
Museum Geologi ini terbagi menjadi dua lantai, masing-masing lantai memiliki tiga ruangan yang berbeda. Seperti pada lantai satu memiliki tiga ruangan utama, yaitu ruang orientasi yang berisikan peta geografi Indonesia. Ruang sayap barat berisikan mengenai geologi Indonesia yang mencakup sistem tata surya dan sebagainya. Sedangkan pada ruang sayap timur berisikan mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup atau evolusi zaman manusia primitif.
Pada lantai dua terbagi menjadi tiga ruangan, yang mana pada ruangan barat dikhususkan untuk staff Museum Geologi. Ruangan tengah berisi informasi pertambangan emas di dunia. Dan terakhir, pada ruangan timur berisikan mengenai mineral, bebatuan, sumberdaya, serta informasi mengenai bencana tanah longsor, dan lainnya. [1]
“Ke situ dulu, boleh?” tunjuk Grace pada sebuah ruangan tepat di sebelah kiri Jagat berdiri.
“Boleh.”
Jagat melangkah mundur agar Grace bisa berjalan lebih dulu. Kemudian tak lama Jagat menyusul langkah Grace dan menyejajarkannya dengan perempuan itu.

Grace seketika menghentikan langkahnya, lalu menatap sebuah kerangka fosil hewan purba yang membuat dirinya takjub saat melihatnya.
“Kamu percaya nggak, kalau misalnya Ayam itu masih ada sangkut pautnya sama hewan purba? Tepatnya keturunan Tyannosaurus rex?” ujar Jagat secara tiba-tiba, mengikuti Grace berdiam diri dan menatap kerangka hewan purba di depannya.
Grace secara cepat menolehkan wajahnya dan menatap lekat lelaki di sampingnya dengan raut penuh tanya. “Emang iya?” Kerutan di dahinya menandakan bahwa Grace kebingungan dengan pertanyaan tiba-tiba dari Jagat.
Jagat mengangkat bahunya. “Nggak tau juga, sih. Ada yang bilang mirip karena dulu ada peneliti yang nemuin kalau protein dari T-Rex punya kemiripan dengan protein yang dimiliki Ayam. Ada juga yang bilang kalau tulang kaki T-Rex mengandung matriks serat kolagen dan protein yang buat fleksibilitas pada tulang. Kalau kamu perhatiin, sekilas kakinya pun mirip sama kaki yang dimiliki Ayam. Cuman saya juga kurang tau, sih, benar atau enggaknya.” [2]
Sebagai anak sosial, Grace hanya mampu mengedipkan kedua matanya dengan cepat. Otaknya cukup sulit untuk mencerna ucapan yang baru dijelaskan oleh lelaki di sampingnya. Entahlah, Grace merasa bahwa lelaki di sebelahnya memiliki keunikan tersendiri.
Jagat yang menyadari Grace hanya diam pun terkekeh. “Maaf, kamu nggak ngerti, ya? Ya udah, kita lupain aja, ya.” Jagat menepuk pelan kepala Grace agar perempuan itu cepat tersadar dari lamunannya.
“Nanti.”
“Iya?”
“Aku belajar dulu, nanti kalau aku udah paham kita bahas sama-sama.”
Lagi-lagi Jagat hanya bisa terkekeh saat mendengar ucapan dari Grace. Bagaimana saat kedua matanya melihat rasa antusias dari Grace membuat Jagat merasa tidak enak, sebab dia telah membuat Grace kesusahan untuk mempelajari dari sebuah fakta atas kerandoman dirinya.
“Iya, boleh. Tapi, jangan dipaksa, ya. Kalau nggak paham juga nggak masalah, kok. Anyway, mau, lanjut?” Jagat memiringkan sedikit badannya, memberi sedikit jarak agar Grace bisa berjalan lebih dulu. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celananya, berusaha untuk menyembunyikan rasa gugup yang sedang dirasakannya.
Dengan senang hati Grace mengangguk dan mulai berjalan untuk memasuki sebuah ruangan di seberangnya yang belum sama sekali mereka injak.
“Kamu tau nggak kalau bangunan Museum ini dibangunnya itu 94 tahun yang lalu, berarti sekitar tahun 1928 dan menghabiskan biaya sebesar 754,5 juta Yen, kalau dirupiahkan mungkin sekitar 83 triliun lebih kali, ya? Itu pada tahun 1928, yang katanya dulu makanan itu masih sekitar satu rupiah. Kebayang nggak semahal apa?” [1]
Grace mendengarkan penjelasan dari Jagat tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari lelaki itu. Kedua kaki mereka dengan riang menyelusuri setiap ruangan yang mereka lewati. Entah bagaimana lagi dia harus deskripsikan lelaki di sampingnya, Grace terlalu bingung untuk menjelaskannya.
“Terus, museum ini kapan dibukanya?”
Jagat menolehkan wajahnya ke sebelah kanan dan dapati tatapan penuh penasaran dari perempuan di sebelahnya. Awalnya Jagat mengira bahwa Grace tidak mendengarkan penjelasannya, namun, dia salah.
“Didirikan 16 Mei 1928, terus dibuka lagi dan diresmikan 23 Agustus 2000.”
“Lebih tua museum ini dibandingkan umur aku ternyata.” Pandangan Grace mulai memperhatikan sekitar setelah menyelesaikan ucapannya.
“Iya, lebih tua museum ini seratus dua puluh tiga hari dibanding kamu yang lahir 24 Desember tahun 2000.”
Seketika Grace menghentikan kegiatan untuk memandang sekitarnya tatkala telinganya mendengar jelas bahwa tanggal lahirnya secara terang-terangan diucapkan oleh lelaki di sampingnya.
“Lho, kok kamu tau tanggal lahir aku?”
“Feeling.“
“Feeling.“
“Lho?” Kini Jagat sendiri yang dibuat terkejut saat Grace dengan sengaja mengucapkan sebuah kata yang sering dia gunakan.
“Udah aku tebak, jawabannya pasti kayak gitu.”
Lalu, keduanya mulai tertawa bersama. Hati Jagat menghangat ketika melihat sebuah tawa tulus yang terlontar dari Grace; perempuan yang disukainya.
Grace sedikit canggung ketika dapati Jagat yang sedang tersenyum sambil memandang ke arahnya. Salah tingkah. Grace sudah lama tidak merasakan momen seperti ini, sehingga jantungnya sulit untuk dia atur.

“Cantik, ya,” ucap Grace, matanya sibuk memandangi satu per satu bebatuan yang memiliki warna berbeda serta daya tarik tersendiri di matanya.
Jagat yang mendengar itu dengan spontan mengangguk dan menatap perempuan di sebelahnya. “Iya, cantik.”
Dahi Grace mengerut saat dapati lelaki di sebelahnya malah memandang ke arahnya, lengkap dengan sebuah senyuman manis yang tercetak di bibirnya.
“Kenapa? Kok liatin aku?”
“Kamu bilang cantik, kan? Iya, saya setuju. Kamu emang cantik.”
Grace terdiam. Padahal yang dimaksud oleh dirinya adalah batu-batuan di depan matanya.
“Kayaknya beneran udah mulai, ya.”
Lagi-lagi Jagat yang dibuat heran oleh ucapan Grace. “Mulai? Mulai apa?” tanyanya, kedua alisnya pun sudah mulai menyatu, menandakan bahwa Jagat tidak main-main dengan rasa penasarannya.
“PDKT-nya. Jadi, beneran udah mulai, ya?”
Mata Jagat dengan refleks melebar, namun, seperkian detik kemudian suara tawa pun mulai mengisi kekosongan atmosfer di sekitarnya.
“Maaf, saya terlalu terbawa suasana tadi. Tapi, iya. Saya udah mulai. Kalau kamu ngga nyaman, jangan sungkan buat bilang saya, ya.”
Sebenarnya jika boleh jujur Grace sedikit terkejut saat lelaki di sebelahnya menjawab pertanyaannya dengan jujur. Grace kira, Jagat akan memberikan sebuah sanggahan.
Keheningan mulai tercipta. Mereka berdua saling terdiam, enggan untuk memulai percakapan.
“Kamu tau nggak? Batu-batuan di sini bukan cuman yang dari Indonesia. Melainkan, ada juga dari negara lain,” ucap Jagat, mangawali pembicaraan agar keduanya tidak merasa canggungan.
Namun, pertanyaan yang secara tiba-tiba dilontarkan Jagat pun cukup membuat Grace tertarik untuk mendengarnya. “Iya?”
“Iya, kamu liat ini.”
Jagat menunjuk salah satu batu berwarna terang dengan telunjuknya. “Batu warna kuning itu namanya Caramel Quartz asalnya dari negara Madagaskar.” [3]
Grace kembali mengalihkan pandangannya yang semula menatap batu berwarna kuning di hadapannya, kini menatap Jagat di sebelahnya. “Kamu emang suka ke tempat-tempat bersejarah kayak gini, ya? Soalnya dari tadi aku perhatiin, kayaknya wawasan kamu luas. Padahal ini pertama kali kamu masuk sini, kan?”
Grace sedari tadi sudah menyadari bahwa lelaki di sampingnya ini memiliki wawasan yang cukup luas mengenai tempat-tempat bersejarah. Dirinya sedikit merasa sudah mulai tertarik dengan kepribadiaan Jagat yang baru diketahuinya itu.
Lagi-lagi Jagat dibuat tertawa. “Iya, saya suka sama hal bersejarah kayak gini. Lagi pula, saya, kan, yang ngajak kamu ke sini. Udah seharusnya saya tau sama tempatnya biar saya bisa kasih tau kamu. Kalau misalnya kamu pun tau, kan, jadi enak, kita bisa bertukar pikiran bersama,” jelas Jagat, kedua kakinya mulai melangkah untuk menuju tempat yang lainnya. Grace hanya bisa mengekori ke mana Jagat akan melangkah.
Sudah puas dengan ruangan yang berada di lantai satu, mereka mulai menjelajahi lantai dua. Di lantai dua ini Jagat lebih banyak diam, sebab, Grace mulai menjelaskan bagaimana awal mula terbentuknya longsor, apa saja kerusakan yan ditimbulkan oleh letusan gunung berapi. Jagat tentu sangat senang mendengar antusias Grace saat menjelaskan hal tersebut.
Second: Museum Gedung Sate, Bandung.
Gedung Sate atau biasa disebut dengan Gouvernements Bedrijven merupakan gedung yang dirancang oleh ahli tim Belanda oleh lulusan Arsitek, Fakultas Teknik Delft Nederland. Gedung Sate berdiri pada tanggal 27 Juli 1920. Bangunan Gedung Sate cukup unik karena memiliki ciri khas ornamen berbentuk seperti tusuk sate. Terdapat enam bulatan yang menyerupai tusuk sate dengan enam bulatan yang menancap melambangkan biaya pembangunan dari Gouvernements Bedrijven yaitu sebanyak enam juta gulden atau setara dengan empat puluh sembilan miliar lebih mata uang rupiah. [4]
“Aku sering lewatin Gedung Sate ini, tapi, baru kali ini nginjek ke dalemnya.”
Jagat tersenyum dan mengangguk menyetujui ucapan Grace. “Sama, saya juga.”
Langkah Grace berhenti pada salah satu sebuah maket yang telah menarik atensinya untuk dia pandangi.
“Ini kurang lebih gambaran dari Gedung Sate secara keseluruhan dari arah atas, ya?”
Lagi-lagi Jagat mengangguk. Sedari tadi senyuman yang tercipta pada bibirnya tak pernah dia lunturkan setelah menginjakkan kakinya di Museum Gedung Sate ini.

“Bumi pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum,” tukas Jagat.
Grace melirik pada sebuah kalimat yang telah diucapkan Jagat. Mendengar ucapan itu membuat rasa penasaran Grace mulai muncul. “Sejauh ini, gimana perasaan kamu waktu pindah ke Bandung?” tanya Grace. Akankah apa yang dulu dirasakannya akan sama dengan yang Jagat rasakan?
Jagat memejamkan kedua matanya sejenak, seolah sedang berpikir kenangan-kenangan apa saja yang sudah terukir di kota ini.
“Beruntung? Beruntung karena Bandung sangat ramah nyambut kedatangan saya, beruntung karena saya bisa kenal dengan teman-teman saya, juga, beruntung karena saya bisa kenal dan dipertemukan sama kamu.”
Bukan jawaban ini yang Grace harapkan. Seketika suasana pun mulai menghangat. Entah karena cuaca Bandung yang sedang cerah, atau akibat ucapan Jagat yang telah sukses membuat dirinya tersipu. Bahkan, kini kedua pipinya mulai menampakkan warna merah muda yang bertabrakan dengan olesan blush on-nya.

“I-itu bagus gambarnya, dari FSRD IPB. Keren ... iya, keren,” ucap Grace terbata.
Mata Jagat mulai menghilang saat mendengar salah satu universitas yang telah disebutkan Grace. Badan Jagat sedikit bergetar, merasa lucu dengan tingkah perempuan di depannya.
“ITB, Mega. Di IPB nggak ada Fakultas Seni Rupa dan Desain, kecuali kalau fakultasnya kolaborasi sama Fakultas Bisnis. Nanti, jadi FSRDB; Fakultas Seni Rupa dan Desain Bisnis.”
“I-iya, itu maksudnya! Aku kepleset tadi ngomongnya!”
Kekehan Jagat kian mengeras. Grace semakin dibuat salah tingkah atas kebodohannya sendiri. Ingin rasanya Grace berlari menuju rumahnya, namun, itu sangat mustahil baginya.
“Lagipula itu bukan Fakultas Seni Rupa dan Desain, melainkan inisial pembuat gambar tersebut, maybe? Karena di situ ditulis FRSDX, bukan FSRD.”
Jagat senang membuat seseorang di depannya semakin salah tingkah. Bahkan, saat ini Jagat masih setia menggoda perempuan itu. Jagat belum tau saja, jika Grace ingin melebur karena saking malunya atas ucapan spontan yang dilontarkan.
“Kamu udah pernah naik Bandros?” Jagat mulai mengalihkan pembicaraan, tidak tega melihat Grace yang semakin malu atas kejahilan darinya.
“Bandung tour on bus?”
“Iya.”
Grace mengangguk. “Udah sama Fara, waktu pertama kali pindah ke Bandung.”
“Kaget nggak waktu lewatin Asia Afrika? Eh, kamu lewatin Asia Afrika, kan?” Jagat hampir melupakan, bahwa tidak semua kendaraan itu melewati daerah Asia Afrika. Mengingat Bandros mempunyai tiga rute yang berbeda, tergantung dengan tempat Bandros beroperasikan.
“Lewat, kok, aku waktu itu naik dari Alun-Alun Bandung. Dan, iya. Aku kaget waktu hantu-hantu di sana tiba-tiba ngagetin. Jangan-jangan, kamu juga gitu?”
Jagat kembali teringat saat momen pertama kalinya dia menaiki kendaraan itu. Teman-temannya mulai heboh karena secara tiba-tiba hantu-hantu itu mulai berdatangan dan mengejutkan teman-temannya. Jujur, baginya itu tidak mengejutkan. Justru, Jagat sendiri malah dikejutkan oleh teriakan Aksara karena telah menjadi sasaran para hantu-hantu itu.
Grace memiringkan kepalanya ketika melihat Jagat malah tertawa secara tiba-tiba. Grace jadi sedikit takut, takut apabila lelaki di hadapannya dimasuki oleh penunggu tempat yang mereka singgahi saat ini.
“Jagat, are you okay?” lirih Grace, bahkan tangan kanannya mulai mengibas di depan muka Jagat.
“Ah, maaf.” Jagat mulai tersadar dari kegiatan nostalgianya. “Nanti abis ini kita ke Museum Asia Afrika, ya. Tapi, sebelum ke sana kita makan dulu. Kamu mau makan apa?”

“Batagor ... aku jadi pengen batagor setelah liat gambar itu ada lukisan gerobak batagor,” ungkap Grace, telunjuknya dia arahkan pada sebuah gambar di depannya.
“Hahaha, boleh. Kita cari batagor di daerah sini, ya.”
Grace mengangguk antusias, bahkan saking antusiasnya dia mulai meninggalkan Jagat yang masih terdiam di tempatnya. Saat dirasakan dia berjalan hanya seorang diri, Grace pun membalikkan tubuhnya.
“Ayo! Katanya mau cari batagor?”
Jagat hanya bisa menggelengkan setelah menyadari raut yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan raut wajah sebelumnya. “Emang bener, maniak jajanan ternyata,” gumam Jagat sebelum akhirnya dia mulai melangkahkan kakinya menyusul Grace yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.
“Abang, batagornya satu jangan pedes dan banyakin kecapnya, ya, Bang. Makasih.”
Setelah mengucapkan pesanannya, Grace menoleh ke seseorang di belakangnya. “Kamu beneran nggak mau batagor?” tanya Grace yang dijawab gelengan dari Jagat.
“Nggak, kamu aja. Saya mau cari makanan lain, tunggu di sini sebentar, ya?” Grace mengangguk, telunjuknya menunjuk pada salah satu tempat kosong di hadapannya. “Aku tunggu di situ, ya.”
“Iya.”
Setelah itu, Jagat mulai menjauh dan menghilang pada pandangan Grace. Pegal berdiri, Grace mulai menghampiri tempat yang telah ditunjuknya beberapa saat lalu.
Lima belas menit berlalu, Jagat mulai kembali dengan beberapa jajanan di tangannya. Selama itu pun, Grace sudah menyantap batagornya lebih dulu, karena takut makanan itu dingin.
“Kok lama? Liat, batagor aku bahkan mau abis bentar lagi.” Grace mengangkat piringnya, memperlihatkan bahwa ucapannya tidak bohong.
“Maaf, tadi yang antri beli lumpia basah ternyata banyak juga. Nih, tadi saya beliin es cendol. Suka es cendol, nggak?” Grace mengangguk dengan cepat, dengan tangan yang sudah menengadah; siap menerima minuman yang diberikan oleh Jagat.
Jagat hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat mulut perempuan di hadapannya sudah dipenuhi dengan makanan yang telah dia pesan. Minuman yang Jagat tawari sebelumnya pun kini sudah berpindah tangan pada seseorang di depannya.
“Mau telur gulung?” tawar Jagat kembali, mengangkat satu kantung plastik yang telah dipenuhi oleh jajanan kesukaan Grace. Sebenarnya Jagat sedikit trauma untuk menikmati makanan yang berada di genggamannya saat ingatannya kembali pada kejadian tenggorokan dirinya sakit setelah mengonsumsi jajanan tersebut.
Mata Grace berbinar saat melihat jajanan favoritnya. “Boleh?” tanyanya dengan pelan.
“Boleh, saya emang beliin untuk kamu, kok, itu.” Jajanan tersebut mulai Jagat serahkan pada Grace, yang tak lama Grace raih dengan senang hati.
“Kamu nggak mau, kah?” Jagat menggeleng pelan, lalu, tak lama dia berdoa sebelum akhirnya mulai menikmati makanan yang telah dipesan sebelumnya; lumpia basah.
“Berapa tempat lagi yang mau kita kunjungi?”
Jagat mengangkat telapak kanannya di udara lalu melipat jempolnya.
“Empat tempat lagi?” tanya Grace, memastikan ketika melihat Jagat memberikan gestur angka empat pada telapak tangan kanannya.
Jagat mengangguk. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Grace, sebab, mulutnya kini sedang dimanjakan oleh jajanan yang telah dibelinya beberapa saat lalu.
Third: Museum Asia Afrika dan Museum Sri Baduga.
Tak berbeda dengan yang mereka berdua lakukan pada museum sebelumnya. Mereka berbincang sembari menikmati peninggalan-peninggalan bersejarah serta dengan sebuah momentum berharganya.
Seperti saat ini mereka berada di salah satu museum yang telah diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 24 April 1980. Tujuan di dirikan Museum ini tak lain adalah untuk menyajikan peninggalan, memberikan informasi terkait Konferensi Asia Afrika yang telah diselenggarakan pada 18-24 April 1995 di Bandung. Selain itu, tujuan di dirikan museum ini untuk mengenang peristiwa Konferensi Asia Afrika yang mana hal itu merupakan sumber inspirasi dan motivasi untuk bangsa di Asia Afrika. [5]
Tak jauh dengan museum sebelumnya, bahwa di Museum Asia Afrika ini menyediakan ruangan audio visual seperti pada museum sebelumnya; Museum Gedung Sate yang memiliki ruangan dokumenter.
Berbeda dengan Museum Gedung Sate dan Asia Afrika yang banyak memperlihatkan sejarah yang berkaitan dengan negara lain. Museum Sri Baduga ini lebih condong memperlihatkan sejarah mengenai Jawa Barat yaitu seperti kerajinan tangan sunda, perkakas (peralatan), dan lain sebagainya.
Di Museum Sri Baduga ini tidak hanya memperlihatkan peninggalan dari koleksi aslinya, di sini juga memperlihatkan dengan menggambarkan melalui koleksi miniatur, replika, maket, serta foto.
Museum Sri Baduga didirikan pada tahun 1974. Dahulu bangunan ini di tempati oleh bangunan kantor kecamatan; Kawedanan Tegallega (mantan divisi administratif di Bandung). Museum Sri Baduga diresmikan pada tanggal 5 Juni 1980, namun, dahulu lebih dikenal dengan Museum Negeri Provinsi Jawa Barat. Penamaan Museum ini diambil dari nama raja sunda, yaitu: Sri Baduga. [6]
“Capek nggak?”
“Enggak. Kan, masih ada dua tempat terakhir.”
Jagat melirik sekilas pada benda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Lalu mulai membuka ponselnya untuk melihat jadwal selanjutnya serta estimasi waktu kedatangan, akankah tercukupi atau sebaliknya.
Jagat menghela napasnya secara kasar. Ponsel itu dia masukkan kembali ke dalam kantong celananya. Justru reaksi yang diperlihatkan Jagat membuat Grace terheran.
“Kenapa? Kok, hah?” tanya Grace, memperagakan Jagat menghela napasnya dengan penuh penekanan.
“Kayaknya kita nggak bisa ke tempat selanjutnya,” lirih Jagat, saat mengetahui bahwa saat ini sudah menunjukkan pukul 16.30, sedangkan tempat selanjutnya tutup pada pukul 17.00. Apalagi mengingat jarak dari tempat yang sedang dia singgahi untuk menuju ke tempat itu cukup jauh.
“Emang tadinya mau ke mana?” penasaran Grace. Merasa tidak enak melihat raut sedih yang secara tidak langsung Jagat perlihatkan. Jagat tidak memperlihatkan melalui raut wajahnya, dia memperlihatkan melalui nada suaranya. Dan Grace sudah mafhum akan hal itu.
“Selasar Sunaryo Art Space.”
“Ya udah, nggak masalah, kok. Kapan-kapan lagi aja kalau gitu.”
“Maaf, ya.”
Grace menggeleng dan memperlihatkan senyumannya. “It's okay, kok, serius!”
“Ya udah, kita lanjut keliling Bandung aja, ya. Mau?”
“Mau!” antusias Grace, “tapi janji dulu jangan lewat Asia Afrika, ya, takut tiba-tiba dikagetin.”
“Dikagetin sama hantu?”
“Iya, sama hantu.”
Keduanya mulai tertawa. Grace merasa senang saat menyadari lelaki di depannya ini mulai memperlihatkan tawanya kembali.
Angin dengan riang mulai menerpa kulit putihnya. Rambutnya yang terurai mulai terhempas terbawa angin. Tak banyak yang mereka obrolkan. Mereka saling melempar pertanyaan saat ada sebuah kejadian yang menarik untuk diobrolkan. Jika tidak, mereka berdua sama-sama menikmati sejuknya serta nyamannya kota Bandung di sore hari.
“Kamu bisa motor kopling?” Jagat menolehkan sedikit kepalanya agar yang di belakang dapat mendengar pertanyaannya dengan jelas.
“Nggak bisa, kenapa emang?”
“Nggak.”
Lampu merah sudah tergantikan dengan lampu hijau. Namun, bukannya Jagat melanjutkan perjalanan. Dia malah membawa kendaraannya untuk menepi di salah satu jalanan yang tak jauh dengan tempat mereka berdiam sebelumnya.
“Eh, kenapa, kok, berhenti?” heran Grace, “kamu mau ke mana?” Grace semakin terheran ketika melihat Jagat mulai turun dari motornya dan melepaskan helm yang melindungi kepalanya.
“Tunggu di sini sebentar, ya. Saya titip ini, saya mau bantuin Nenek itu buat nyebrang.”
Grace meraih helm yang sebelumnya Jagat serahkan. Kemudian matanya mengikuti ke tempat yang Jagat tuju. Di sana memperlihatkan seorang perempuan lansia yang kesulitan untuk membelah jalanan, karena para pengendara saling berbondong-bondong melajukan kendaraan tanpa berniat untuk menghentikan sejenak dan memberikan jeda untuknya melintas.
Kedua ujung bibir Grace terangkat setelah melihat lelaki itu berjongkok dan kemudian seseorang di belakangnya mulai menaiki punggung itu. Senyuman dari orang tersebut sangat tulus, Grace bisa merasakannya walaupun berjarak jauh.
“Maaf tadi saya tiba-tiba ninggalin kamu sendirian,” ucap Jagat dengan ngos-ngosan. “‘Makasih, ya.” Tangannya terulur untuk meraih helm yang berada di genggaman Grace dan memakainya kembali.
Padahal Grace sendiri sama sekali tidak merasa keberatan. “Aku cariin minum dulu deh, ya? Kamu kayaknya capek banget.” Jagat mulai menaik kembali pada kendaraannya, kemudian disusul oleh Grace.
“Udah?”
“Udah.”
Perjalanan mulai mereka lanjutkan, rasa dahaga yang semula Jagat rasakan kini sudah menghilang tatkala merasakan suasana sejuknya kembali.
Tak terasa mereka sudah menghabiskan hampir satu jam setengah untuk berkeliling kota Bandung. Jagat sengaja mengulur waktu, sebab, masih asyik menikmati waktu berduanya dengan Grace.
“Kaki kamu sakit nggak?” tanya Jagat, motornya dia bawa dengan kecepatan pelan.
“Nggak, kok. Kenapa?”
“Jalan sedikit nggak apa-apa, ya? Sedikit aja, kok.”
Dahi Grace mengernyit. Merasa terheran saat Jagat mengucapkan kata tersebut tanpa berniatan untuk menjelaskan secara rinci.
“Motor kamu mogok?”
Jagat menggeleng dan mulai mematikan mesin motornya. “Bukan, kita mau lewatin orang yang lagi ibadah. Suara knalpot motor saya sedikit berisik, takut ganggu acara ibadah mereka. Kalau kamu capek nggak apa-apa duduk aja.”
Jagat lebih dulu turun dari motornya dan berancang-ancang untuk mendorong kendaraannya.
“Lho, kenapa turun?”
“Aku juga mau jalan. Nggak boleh, emang?” Alis kanan Grace terangkat, sedikit tersinggung dengan ucapan Jagat. “Aku mau bantu dorong.”
“Aneh, orang-orang nggak ikutan matiin mesin motornya.” Grace mendengus tatkala melihat kendaraan yang berlalu-lalang begitu saja tanpa memiliki niat untuk mematikan sejenak mesin motornya.
“Hey, itu kembali lagi sama kesadaran diri sendiri aja. Kita harus menjadi contoh terlebih dulu, agar orang-orang bisa mengikuti apa yang kita mulai. Coba liat ke belakang, itu salah satu bukti dari omongan saya.” Jagat mengarahkan spion motornya ke arah belakang agar Grace bisa melihat tanpa harus menolehkan wajahnya.
Memang dasar, sudah diberi alternatif mudah, Grace malah bersusah payah menegokkan wajahnya ke belakang. Matanya melebar saat dapati empat kendaraan motor yang mengikutinya untuk mendorong melewati masjid yang mereka lewati.
“Iya, kan?”
“Iya.”
Jagat sangat ingat dengan perkataan kedua orang tuanya yang selalu mengatakan, “kalau kamu ingin dicontoh orang lain, maka, kamu lakukan terlebih dahulu. Perlihatkan itu, agar orang-orang bisa mengikuti jejak yang kamu lakukan.” Oleh sebab perkataan itu, Jagat selalu mengaplikasikan ucapan orang tuanya pada kehidupan yang dia jalani.
“Mau soto ayam atau soto daging?”
Grace nampak berpikir sejenak. Kedua menu itu sangat mengiurkan untuk dia santap sebagai menu makan malamnya.
“Soto daging deh,” ucap Grace, setelah lima menit Jagat menunggu jawaban dari seseorang di sampingnya. “Eh, ayam, deh.”
Baru saja Jagat akan menuliskan menu itu, namun tiba-tiba Grace mengubah pesanannya.
“Ya udah, saya soto daging kalau gitu. Nanti kalau mau, cicipi punya saya, ya.”
Grace mengangguk dan mengacungkan jempolnya di udara. Merasa senang akhirnya dia tidak perlu menyesali apabila dirinya salah dalam memesan makanannya.
“Kamu udah sering ke sini?” Grace membuka suaranya ketika Jagat kembali dan mendudukan dirinya persis di seberangnya.
“Nggak sering banget, pernah beberapa kali aja. Itu juga karena diajak Harri.”
Pesanan makan malam mereka kini sudah rapi berada di atas meja. Kepulan asap menandakan bahwa makanan itu masih panas, bagi siapa saja yang menyantapnya sudah dapat dipastikan akan membuat lidah melepuh dengan cepat.
“Kok punya kamu nggak dikasih daun bawang, tomat, sama seledri?”
“Jaga-jaga, aja, takut kamu tiba-tiba mau tuker sama soto saya.”
Entah sudah keberapa kali dirinya harus merasakan jantungnya yang berdebar secara tiba-tiba atas perlakuan lelaki di depannya itu. Tapi, Grace harus tetap bersikap normal. Jika Jagat adalah kelelawar, sudah Grace pastikan dia akan merasa terganggu oleh bunyi detak jantungnya yang sulit dkontrol sedari tadi.
“Udah boleh makan?”
“Boleh, tapi hati-hati masih panas.”
Mereka berdua mulai berdoa sebelum akhirnya menyantap menu makan malamnya. Mata Grace melebar, tatkala kuah soto itu mulai mengalir di tenggorokannya.
“Enak?” Grace mengangguk, enggan untuk menjawab karena mulutnya kini sedang sibuk untuk mengunyah.
“Abisin, ya. Kalau masih kurang nambah lagi aja.”
Saat keduanya sedang asyik menikmati sotonya dengan diselingi obrolan ringan. Atensi Jagat mulai teralihkan saat satu orang anak yang menghampiri mejanya sambil berkata.
“Kak, mau beli tisunya?” Jagat melirik sekilas. Masih banyak dagangan anak tersebut yang belum laku terjual.
“Berapa satunya, Dek?”
“Satunya lima ribu aja, Kak.”
“Itu sisa berapa?”
Adik kecil itu melirik dagangannya, lalu dihitung satu per satu untuk mengetahui jumlah secara pastinya. “Ada dua puluh dua lagi, Kak.”
“Kakak beli, ya, semuanya.” Jagat mulai meraih dua lembar uang berwarna merah di dompetnya, kemudian dia serahkan pada yang lebih muda. “Kamu umur berapa?”
“Sembilan tahun.”
Kalau boleh jujur Jagat sedikit terkejut saat mengetahui usia dari adik di depannya. Padahal seharusnya anak tersebut istirahat di rumahnya sambil menikmati serial kartun favoritnya.
“Kamu udah makan belum?” Melihat gelengan tersebut membuat Jagat menarik satu kursi di sampingnya secara cepat.
Jagat kembali menarik dua lembar uang yang telah diserahkannya. “Sini, makan dulu. Uangnya bakalan Kakak kasih lagi, kalau kamu makan dulu.” Uang tersebut Jagat masukkan ke dalam saku kemejanya. Sengaja agar si kecil mau makan malam bersama.
“Kasian Mama, kalau aku makan sendirian.”
“Iya, nanti Kakak bungkusin buat Mama kamu juga, ya. Sekarang kamu makan dulu.” Jagat sudah berdiri dari kegiatan duduknya, dia mulai membantu si kecil untuk menaiki kursi di sebelahnya.
“Kamu mau nambah lagi nggak? Biar saya sekalian pesenin bareng sama pesenan Adeknya.”
“Boleh?”
“Boleh, soto daging, kan?” Grace manggut-manggut, mengiakan ucapan Jagat.
“Oke, tunggu sebentar, ya. Saya titip adeknya.”
Grace sedikit bingung, pasalnya dia sedikit canggung apabila dihadapkan dengan seseorang yang lebih muda darinya. Dengan Junior saja yang notabennya adik sendiri, Grace suka dibuat bingung untuk topik yang akan mereka bicarakan. Apalagi dengan orang asing.
“Adek, minum dulu. Ini minuman Kakak, sih, tapi Kakak belum minum, kok. Adek pasti aus, kan?” Grace menyerahkan minumannya, kemudian mengarahkan sedotan agar si kecil bisa meneguk minuman itu.
“Makasih, Kak,” ucap si kecil setelah menyelesaikan kegiatan minumnya.
“Lho?” Jagat terheran setelah melihat si kecil sedang asyik meneguk minuman, padahal Jagat baru saja memesannya.
“Itu minum aku, aku kasihin dulu ke dia. Kasian pasti aus,” jelas Grace, menyadari raut Jagat yang kebingungan.
“Ya udah, kamu minum dulu aja punya saya. Saya nggak aus-aus banget, kok.”
“Iya.”
Setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit, pesanan si adek pun telah datang.
“Tunggu dulu, ya, jangan langsung dimakan. Masih panas. Kamu bisa makan sendiri?”
Anak kecil itu mengangguk. “Bisa, Kak. Aku, kan, udah sembilan tahun!”
“Nama kamu siapa?”
“Aden, nama aku Aden.”
“Pelan-pelan, ya, Aden, makannya. Berdoa dulu.”
Mata Jagat tak lepas dari anak kecil di sebelahnya. Matanya selalu mengawasi, takut apabila anak tersebut kesusahan untuk menyantap makan malamnya.
“Mama kamu emang di mana?”
“Dwi sebwang sanha, Kak.” (Di seberang sana, Kak.)
Jagat dan Grace hanya bisa terkekeh gemas saat mendengar jawaban dari si kecil. Mulutnya sedang dipenuhi makanan, namun, dia tetap berusaha untuk bicara meskipun gagal dan malah terdengar sangat lucu.
“Abisin, ya, nanti nasinya nangis kalau nggak kamu abisin.”
“Kamu anak tunggal, ya?” Grace secara tiba-tiba bertanya.
Jagat menatap seseorang di depannya sambil menaikkan alis kanannya. “Kamu nanya saya?” tunjuk Jagat pada dirinya sendiri.
“Iya.” Grace mengangguk.
“Iya, saya anak tunggal, kenapa tuh?” tanya Jagat kembali.
“Nggak, keliatan aja dari cara kamu ngajak ngobrol anak kecil. Soalnya, kalau kamu seorang Kakak cara ngomongnya nggak kayak gitu.”
“Gitu gimana?”
Grace menghela napasnya. “Ya pokoknya gitu, aku susah jelasin.”
Jagat terkekeh kecil. “Kamu juga abisin, ya, makanannya.”
Grace mengerutkan dahinya. “Kamu juga abisin makanannya, soalnya dari tadi kamu diemin nggak kamu sentuh lagi. Kasian dia, kamu cuekin.”
Setelah mendengar itu, Jagat mulai meraih kembali sendoknya dan menyantap makan malamnya yang sempat tertunda beberapa saat lalu.
Grace menggeleng melihat tingkah laku itu, lalu mengikuti Jagat untuk kembali menikmati makan malamnya.
“Tisunya mau kamu bawa pulang?”
Jagat mengangguk. Tangan kanannya meraih satu gelas minumnya untuk dia teguk terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan dari Grace.
“Iya, saya bawa satu. Sisanya saya kasih buat Bapa di sini, kayaknya lebih membutuhkan dibandingkan saya.”
“Aku juga mau satu kalau gitu, boleh?”
“Boleh, Mega.”
Keduanya kini telah menyelesaikan makan malamnya. Mata Jagat membentuk sebuah lengkungan saat melihat isi piring Grace dan Aden tidak menyisakan sisa makanan sedikit pun. Rasa hangat mulai menjalar di tubuhnya, tatkala obsidian hitamnya tak sengaja melihat Grace sedang asik berbincang dengan si kecil.
“Lucu, kamu selalu lucu, Mega.”
“Kakak-kakak, makasih banyak, ya!” Aden antusias sangat kedua tangannya dipenuhi dengan menu makan malam yang lezat untuk dia bawakan kepada adik juga Mamanya.
“Iya sama-sama, jangan lupa itu sotonya buat Mama sama Adik kamu, ya.” Jagat mengelus surai si kecil sambil merapikan anak rambut yang tertiup angin malam.
Anak kecil itu memberikan sebuah gestur hormat, seakan ucapan darinya adalah sebuah perintah yang wajib dia lakukan.
“Siap, Kak! Dadah, aku duluan, ya!”
Setelah adegan saling melambaikan tangan itu, Jagat mulai menaiki motornya.
“Ayo, takut macet. Nanti saya telat pulangin kamu.”
Jagat sudah bersiap dengan helmnya, helm Grace sudah dia serahkan pada sang empu. Motornya sudah dia nyalakan. Jagat saat ini benar-benar takut tidak bisa menepati janjinya.
“Tenang aja, masih satu jam lagi, kok.” Grace menenangkan Jagat setelah memposisikan dirinya dengan nyaman di atas joke motor lelaki itu.
“Takutnya macet, Mega. Apalagi kalau jam pulang kerja kayak gini.”
“Ayah sama Bunda aku lagi keluar kok, mereka lagi makan malam di luar kayaknya. Jadi, kamu jangan khawatir.”
Janji adalah janji. Mau ada atau tidak ada Ayahnya Grace, Jagat tetap harus mengantarkan Grace pulang sebelum waktu menujukkan pukul delapan malam.
Dewi fortuna seperti sedang berada dipihaknya kali ini. Jagat berhasil mengantar Grace pulang dua puluh menit sebelum pukul delapan. Kini Jagat sedang menunggu ayah Grace pulang, berniat untuk berpamitan sekaligus memberitahu bahwa dia telah menepati janjinya. Padahal Grace sudah bilang tidak perlu ditunggu karena mereka akan pulang larut. Namun, seakan ucapannya bagai angin lalu oleh Jagat. Jagat tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk menunggu ayah Grace pulang.
Satu jam telah berlalu, Jagat sedari tadi hanya duduk di depan rumah Grace sambil menunggu kepulangan ayah Grace. Jagat merasa tidak enak apabila menunggu di dalam, mengingat hanya ada mereka berdua di dalam rumah tersebut.
“Lho, kamu kok nunggu di luar?” ucap Helia; Ibunda Grace.
Jagat tentu terkejut dengan seseorang yang secara tiba-tiba mengajaknya untuk berbicara. Bahkan, saking terkejutnya dia hampir melepaskan ponsel yang berada di genggamannya.
“Eh, Tante.” Jagat berdiri lalu mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan yang lebih tua.
“Kenapa nunggunya di luar?” tanya Helia kembali, karena yang lebih muda tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Hehe, iya, Tante. Saya nggak enak kalau nunggu di dalem, nggak ada siapa-siapa soalnya.” Jagat menggaruk belakang kepalanya. Merasa canggung dengan jawaban yang diucapkannya.
Helia menengok ke arah kanan dan kirinya, seperti sedang mencari seseorang. “Grace nya ke mana emang?”
“Di dalem, Tante.”
“Lho, kamu sejak kapan di sini?” Kini Benedict yang dikejutkan dengan seseorang yang berada di rumahnya.
“Malem, Om,” sapa Jagat, sambil mencium tangan Benedict.
“Minum kamu kurang nggak? Biar Tante buatkan dulu,” ucap Helia, saat matanya tak sengaja menangkap satu cangkir kopi yang kini tidak menyisakan sedikit pun cairan hitam itu.
“Nggak usah, Tante, terima kasih. Habis ini saya mau pulang, kok. Saya cuman mau pamitan aja sama Om dan Tante. Karena tadi pagi saya ngajak Meg—Grace keluar atas adanya persetujuan, Om. Jadi, saat ngantar pulang pun saya harus laporan. Kalau saya sudah menepati janji saya, Om.” Benedict tersenyum, kedua lengannya menepuk pundak yang lebih muda dengan pelan.
“Saya percaya, kok. Tanpa kamu laporan, pun, saya sudah percaya. Terima kasih, ya, sudah jagain anak saya.”
“Sama-sama, Om, justru saya yang harusnya bilang terima kasih. Terima kasih sudah mengizinkan saya pergi dengan anak, Om.”
“Sebelumnya, maaf, ya, Om dan Tante. Bukannya saya kurang menikmati waktu dengan Om dan Tante. Tapi, kebetulan saya sudah dicari Bunda saya. Jadi, kalau begitu saya izin pamit, ya, Om dan Tante.” Jagat kembali mencium kedua tangan yang lebih tua sebelum akhirnya pamit untuk pulang.
Benedict dan Helia tertawa setelah mendengar ucapan dari Jagat.
“Nggak mau, Tante, panggilkan dulu Grace nya?”
Jagat menggeleng cepat. “Nggak usah, Tante. Kasian, kayaknya dia capek. Nggak apa-apa, kok.”
Helia mengangguk dan kembali mengurungkan niatnya yang semula sudah siap untuk memanggil putri sulungnya.
“Besok jangan lupa, ya, Nak.”
“Iya, siap, Om. Pukul sepuluh pagi saya sudah di sini.”
“Kalau begitu, mari, Om, Tante.”
“Iya, hati-hati,” ucap Benedict dan Helia kompak.
Sang pemilik rumah mengangguk dan mempersilakan yang lebih muda berpamitan. Keduanya tetap memperhatikan kendaraan roda dua itu meninggalkan pekarangan rumahnya, hingga akhirnya motor tersebut sudah hilang dari pandangan keduanya.
“Kayak kamu pas muda, Mas. Bedanya kamu nggak seramah dia.”
“Mana ada.”
Benedict dan Helia saling melemparkan sebuah tawa dengan kedua kakinya yang mulai memasuki kediamannya.
Sumber:
[1] Sejarah lengkap by Ellen Ferranda. [2] Jalan tikus by Ayu Kusumaning Dewi. [3] Detik travel by Wisma Putra. [4] ABS Bandung School by Hasna Nurul T. P. [5] Travels promo by Maya. [6] Sejarah lengkap by Henry Hafidz.
From Jij Bent Mooi Alternate Universe.
by NAAMER1CAN0