NAAMER1CAN0

cw // mention of death


Nalendra Elvano, Program Sarjana Fakultas Teknik Geologi, dengan predikat Pujian.

Kaki jenjangnya kini ia langkahkan untuk menuju tempat di mana dekan fakultasnya berada. Ia tersenyum saat sebuah ijazah sudah berada di tangannya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih. Tubuh gagahnya kini sudah kembali terduduk pada kursinya. Hari ini hanya dirinya yang melaksanakan prosesi wisuda, rekannya; Yohan, Haekal, Jevon, Rendi, Sean, Chakka, dan Sagara telah melaksanakannya pada gelombang III, hanya dirinya yang melaksanakan pada gelombang IV.

Riuh tepuk tangan telah menyadarkan dari lamunannya. Ia tak menyangka dirinya bisa berjuang hingga pada titik ini setelah semua lika-liku yang telah ia alami. Dirinya pun sempat ingin menyerah jika abangnya yang menyadarkan. Sosok anak kontrakan menjadi penyemangat dirinya untuk segera menyelesaikan masa studinya. Tepat empat tahun lebih beberapa bulan akhirnya dirinya bisa gelar baru pada namanya, Nalendra Elvano, S.T.

“Ganteng, selamat ya. Mamah dan Bapak bangga sama si ganteng.”

Ucapan dari Yunita- Ibunda Yudi- telah membuat senyuman pada wajah Nalen tercetak sangat jelas.

“Mamah makasih ya udah mau bela-belain jadi wali buat Nalen, maaf kalo Nalen ngerepotin Mamah dan Bapak,” sahut Nalen. Tepukan pada pundaknya kini mengalihkan atensinya, “Bapak nggak suka kamu bilang kayak gitu, kamu ini udah kami anggap kayak anak sendiri. Nggak usah sungkan,” jawab Abraham- ayahnya Yudi.

Lagi-lagi ia ingin berterima kasih kepada Yudi karena telah memberikan kebahagian untuk dirinya, telah meminjamkan kedua sosok malaikat yang sangat rendah hati.

“Len,” panggil Kale, teman dekatnya sejak mahasiswa baru. “Lu hebat, hebat bisa sampe titik saat ini. Lu manusia terhebat dan terkuat yang pernah gua kenal.”

“Nggak usah lebay,” jawabnya sambil memukul pelan bahu temannya. “Lucu nggak sih, Le? dari semester satu kita nempel mulu, tiap semester sambil matkul yang sama, bahkan sampe wisuda pun tetep barengan.”

Kale tertawa pelan memperlihatkan matanya yang menghilang. “The real soulmate.

“Oh iya Le, gua mungkin nggak bakal tinggal di Indonesia lagi. Gua bakalan lanjutin studi ke Belanda.” Nalen menolehkan wajahnya ke samping untuk sekadar melihat wajah temannya.

“Glad to hear that. Gua juga kebetulan mau bilang, kalo gua mau lanjutin S2 di amerika.”

Nalen tertawa dan mulai merangkul pundak temannya, “untung bukan Belanda,” ucapnya.

“Tapi jujur tadinya gua niat ke Belanda, untungnya nggak jadi. Soalnya gua punya firasat lu lanjutin di sana,” jawab Kale dengan kekehan.

“Len, thank you udah mau temenan sama gua. Sorry kalo selama 4 tahun ini gua masih banyak salahnya, gua bangga bisa kenal sama lu. Thank you udah mau jadi orang pertama yang rela mengulurkan tangan lu cuman buat bantuin gua. Kebaikan lu nggak akan pernah gua lupain,”

“Sama-sama, Le. Gua juga mau berterima kasih sama lu, lu bener-bener ngebantu gua selama di dunia perkuliahan. Rela bohongin paman lu, bahkan satu gedung SBA demi bantuin gua.”

Kale pun memeluk badan temannya setelah mengakhiri kalimat itu, “baik-baik di sana Len, semoga di sana lu bisa temuin kebahagiaan lu.” Nalen hanya bisa mengangguk dan tersenyum mendengar ucapan itu. Ia pun sama berharapnya semoga di sana ia bisa merasakan banyak kebahagiaan. Pelukan itu terlepas saat kedua maniknya menangkap sosok kedua puluh dua teman kontrakan di hadapannya, Kale pun kini sudah beralih tempat tak bersama dirinya lagi.

“Selamat wisuda, bro,”

“Keren temen aing akhirnya sarjana juga,”

“Ini baru adik gua, yang kemaren gua nggak kenal,”

“Selamat wisuda, Abang,”

“Keren, gua bangga sama lu.”

Pujian demi pujian kini telah memasuki gendang telinganya. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya, kedua matanya pun mulai tepejam seiring dengan senyuman semakin bahagia.

“Makasih, ini berkat lu semua juga. Makasih udah mau bantu gua sampe titik ini, it's such an honor for me.”

Kedua netra matanya tak sengaja menatap sekumpulan orang-orang yang tak lagi muda di depan matanya.

“Lu nggak sendirian lagi, ada kita, ada mereka yang selalu ada buat lu.”

Hati Nalen terenyuh mendapat tuturan itu. Iya. Itu semua orang tua dari anak-anak kontrakan yang sengaja mereka datangkan untuk hadir di acara wisudanya. Ia tak tahu harus berterima kasih seperti apalagi, sebuah kalimat saja tak cukup.

Tak peduli jika ia dilihat oleh banyak orang. Ia kini terduduk dengan kedua tangan yang menutup wajahnya. Topi nya sudah terjatuh seiring dengan kepala yang semakin merunduk.

“Udah anjir jangan nangis,” panik Donny sambil membantu adiknya untuk kembali berdiri dengan gagahnya, yang dibantu masih terdiam pada kegiatan duduknya.

“Gua ... gua beruntung punya teman sekaligus keluarga kayak kalian.”

Sebuah pelukan erat pun kini sudah bisa ia rasakan pada tubuhnya. Ia tak bisa melihat namun ia sudah pastikan bahwa semua anak kontrakan kini sedang memeluk dirinya. Tak peduli jadi pusat perhatian, hari ini ia hanya ingin menikmati sebagai orang yang paling beruntung dan paling bahagia.


Tiga hari dari prosesi wisuda pun telah berlalu. Kini mereka semua sudah sampai di kota kelahirannya, Surabaya. Ia sedang rindu dengan rumahnya sehingga ia memberanikan diri untuk kembali dan bertemu dengan rumahnya.

Tak hanya dirinya, namun kini sudah terdapat kedua puluh dua penghuni kontrakannya yang mengantarkan dirinya pada sebuah tempat peristirahatan Oma untuk yang terakhir kalinya. Kakinya masih terasa lemas, ia masih merasakan usapan hangat yang bisa dirasakan di kedua pundaknya. Usapan kecil yang selalu memberikan getaran hangat ke sekujur tubuhnya. Bahkan, ia masih merasa bahwa ini hanyalah sebuah cuplikan di dalam mimpinya. Namun sayangnya tidak, apa yang berada di depannya kini memang kenyataan yang harus ia lalui.

Ia berlutut dan mengusap nisan itu. Bibirnya melengkung ke atas namun sorot matanya sudah mulai kosong. Tangisnya ia tahan sekuat mungkin, ia tak mau terlihat lemah oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka harus melihat seorang Nalendra yang kuat, yang gagah, dan yang tak pernah mengenal kata nyerah.

“Oma, Alen berhasil. Alen berhasil nepatin janji Alen, tapi kayaknya di sini cuman Alen aja yang nepatin janji kita, ya? Malah Oma sendiri yang ingkar,”

Ia menghela nafasnya sesaat. Matanya ia bawa menuju langit sekadar menghilangkan air mata yang akan terjatuh jika ia terus-terusan menatapnya ke bawah.

“Oma, padahal harapan Alen dikit lagi bakal terlaksana. Tapi ternyata Tuhan lebih sayang sama Oma, ya? Padahal di sini Alen masih jauh lebih membutuhkan sosok Oma di sisi Alen,”

“Kadang Alen bingung, kenapa orang-orang suka banget buat ninggalin Alen? Apa Alen nggak layak buat sekadar dicintai?”

“Oma, kenapa harus Oma yang pergi duluan? Kenapa bukan Alen? Bahkan keberadaan Alen aja nggak ada yang mengharapkan, Alen hidup cuman buat Oma. Lantas, kalo Oma pergi, siapa lagi yang bakal mengharapkan kehadiran Alen? Nggak ada Oma, nggak ada lagi.”

Kini pertahanannya hancur. Bulir-bulir air mata itu pun mulai menetes seiringan dengan pundaknya yang mulai bergetar. Jordi yang melihat itu pun langsung mengusap pundak adiknya, namun yang diusap pun malah menghindarinya.

Penghuni lainnya yang mendengar itu pun hanya bisa menundukkan kepalanya. Isakan-isakan kecil pun mulai terdengar yang diakibatkan oleh tuturan pria yang sedang berlutut di tempat peristirahatan terakhir Omanya. Hati mereka yang mendengarnya pun serasa dihantam oleh ribuan batu, apalagi Nalendra yang merasakan itu semua.

“Oma, Alen janji. Alen bakal wujudin impian Oma. Oma senengkan akhirnya impian Oma tercapai? Walaupun bukan Oma sendiri yang pergi ke sana,”

“Tolong doain Alen ya, Oma? Doain biar Alen bisa dan selalu membanggakan Oma, doain Alen bisa rasain usapan tangan Oma di pundak Alen lagi,” ucapnya dengan tertahan. Secara tiba-tiba ia menolehkan wajahnya ke samping dan belakang secara cepat saat merasakan sesuatu pada pundaknya. Namun para penghuni kontrakannya tak ada yang sedang menyentuh dirinya. “Oma, Alen bisa rasain usapan hangat tangan Oma di pundak Alen. Oma ... itu Oma, 'kan? Oma yang usap pundak Alen?” Nalen mengusap kembali nisan tersebut.

Kini air matanya mulai ikut menetes percis di atas nisan seiring dengan badannya yang lebih menunduk dari sebelumnya. Kedua tangannya ia bawa untuk memeluk nisan itu dengan erat, seakan dirinya sedang memeluk sosok orang ia sayanginya selama ini. Dadanya ia pukul dengan kencang agar menghilangkan rasa sesak yang dirasakannya. Rasa sesak karena tangisannya ia tahan.

Tangisan pun mulai terasa mengeras namun terasa begitu memilukan karena sang empu seperti susah payah untuk menahan tangisnya agar tidak pecah. Yudi yang melihat itu pun langsung menghampiri adiknya lalu memeluknya dengan erat. Ia usap punggung itu dengan pelan.

“Udah-udah, nggak apa-apa nangis aja. Seseorang nangis bukan karena ia lemah, tapi karena dengan tangisan bisa buat dirinya sedikit lega. Nangis aja, nggak akan ada yang peduli.”

Mendengar tuturan tersebut, tangis dirinya pun kian pecah. Isakan tangis itu semakin mengeras, bahkan kini badannya ikut bergetar dengan hebat, pun butiran air mata yang menetes pada bahu pria yang sedang mendekapnya saat ini mulai deras. Ia menangis dengan kencang sehingga kesulitan untuk bernafas. Pun Yudi masih setia untuk memeluk adiknya lengkap dengan sebuah elusan di punggungnya.

Oma, tolong jaga Alen, ya? Tolong kasih petunjuk Alen di setiap langkah yang akan Alen tuju. Tolong bantu Alen ya, Oma? Tolong untuk selalu berada di sisi Alen, walaupun raga sudah tak ada tapi rasa kasih sayang Oma buat Alen selalu ada, dan Alen selalu yakin bahwa Oma pasti dan selalu ada di samping Alen sampai kapanpun.

Sejujurnya Alen masih belum ikhlas atas kepergian Oma, tapi kini Alen akan mengikhlaskan Oma. Oma, istirahat yang tenang, ya? Alen janji, Alen bakalan sering buat doain Oma. Tapi maaf ya Oma, maaf kalau nanti Alen jarang untuk mengunjungi Oma ke sini, karena Alen akan mengejar cita-cita Oma di negeri kincir. Alen bakal wujudin keinginan yang sudah lama Oma harapkan.


Story of Nalen Universe.

by NAAMER1CAN0


“Adek ikut!”

Rafathar berteriak saat melihat kakak sulungnya akan meninggalakan rumahnya. Ia berlari kecil ke arah sang kakak dan memakai sebuah sendal dengan tergesa-gesa.

“Adek, Aa mau kerja kelompok bukan mau main ...,”

Rafathar meraih tangan Rafen lalu mengenggamnya seolah tak mau lepas. “Nggak apa-apa, Adek mau ikut. Nggak mau sendirian di rumah.”

Rafen pun hanya bisa menghela nafasnya setelah mendengar jawaban dari sang adik. Mau tak mau ia pun menuruti kemauan adiknya, daripada nanti menangis bisa dia sendiri yang repot.

“Ganti baju dulu, pake jaket. Aa tungguin di sini,”

“Bohong, Aa pasti mau ninggalin Adek 'kan?”

“Enggak Adek, Aa lagi panasin motor. Kalo ditinggal nanti ada yang nyuri,”

“Adek nggak percaya!”

Rafen pun langsung meraih sebuah benda persegi di kantong celananya. “Nih,” serah Rafen kepada Rafathar, “hp Aa kamu bawa sebagai jaminan. Aa nggak akan ninggalin Adek.”

“Ok, tungguin Adek yah!” Rafathar meraih benda persegi itu lalu berlari dengan cepat untuk mengganti bajunya dengan pakaian yang lebih hangat dibandingkan dengan sebelumnya.


“Inget, jangan minta pulang.” Rafen terus menerus memberikan kata tersebut agar saat ia kerja kelompok, Adeknya tidak merengek meminta pulang.

“Iyahh,” jawabnya.

“Eh Rafen, tumben bawa Adek,” ucap Farrel teman satu kelompok Rafen. Ia pun langsung memberikan sapaan serta sebuah salaman ciri khas anak-anak usia muda.

“Iya, nggak ada siapa-siapa di rumah,” jawabnya. “Sana salaman,” titah Rafen sambil mendorong sedikit punggung Adiknya.

Rafathar menggeleng pelan saat teman-teman wanita kakaknya langsung menghampiri dan menyubit gemas pipinya. Ia tarik baju kakaknya sebagai tanda meminta pertolongan. Rafen yang melihat itu hanya bisa menghela nafasnya.

Sorry ya, Adek gua nggak suka dicubitin pipinya,” ucapnya sambil membawa Adiknya ke sisi kanannya.

“Oh maaf, abisnya Adek lo ganteng banget ...,” jawab Risa.

Rafen hanya tertawa canggung mendengar jawaban itu dan mengucapkan terima kasih untuk pujian kepada Adiknya.

“Adek mau makan nggak?” Rafathar hanya menggeleng. Adiknya jadi lebih pendiam setelah mendapat cubitan di pipinya.

“Yaudah, minum aja ya. Adek main games aja, Aa mau kerja kelompok dulu. Biar nanti bisa pulang cepet,”

“Iya.”

Rafen pun pergi ke arah selatan untuk berunding mengenai tugas kelompoknya. Matanya tak bisa lepas dari sosok Adiknya yang terduduk sendirian di seberangnya.

“Sabar ya, bentar lagi.” Rafen menghampiri adiknya yang sedang asik dengan tabletnya. Tangannya ia bawa untuk mengelus puncak kepalanya.

“Mau makan nggak?”

Rafathar menggeleng.

“Kentang goreng?”

Rafathar mengangguk. “Mau.”

Rafen tersenyum. “Sebentar ya Aa pesenin, kalo ada apa-apa kasih tau aja. Aa ada di sana,” ucapnya sambil menunjuk ke tempat yang tak jauh dari adiknya berada.

Rafathar pun mengikuti arahan dari kakaknya. Setelah mengetahuinya ia hanya mengangguk paham dengan perintah itu.

“Aa pipi adek gatal.” Rafen pun menghentikan langkahnya setelah mendengar ucapan yang dilontarkan adiknya. Dengan terburu ia pun langsung membalikkan badannya dan menatap pipi sang bungsu.

“Jangan digaruk ya?” Rafen mengelus pipi adiknya dengan perlahan. “Kalo gatel usap aja kayak gini, jangan digaruk nanti pipi adek takut sakit.”

Rafen hanya bisa menatap adiknya dengan perasaan sesal. Harusnya ia lebih peka terhadap adiknya yang tak bisa disentuh oleh sembarang orang.


Eh liat deh! itu ada anak kecil, ganteng banget buset ...,

Kalo udah gede gue yakin itu anak pasti jadi artis,

Gue masukin tiktik kali ya? biar viral, lumayan bantu si adek biar jadi artis,

Sumpah ganteng banget anjir, yakin kalo dia punya kakak pasti nggak kalah ganteng!

Percakapan itu kini telah memenuhi gendang telinganya. Ia tak bisa fokus dengan apa yang ia kerjakan saat ini. Ia menatap adiknya yang kini sedang menatapnya balik. Tatapan itu seperti sebuah pertolongan.

“Apa, apa, kenapa?” tanya Rafen setelah berada di depan adiknya.

“Aa, adek sebel. Orang itu foto-fotoin adek terus, adek nggak suka ...,” ucapnya dengan sebal. Kini kedua tangannya sudah dilipat di depan dadanya.

Rafen pun segera menghampiri segerombolan perempuan itu, “hai, sorry ya. Saya kebetulan kakak dari adek yang mbaknya foto, kalo boleh minta. Boleh nggak ya, nggak fotoin adek saya lagi? maaf, tapi adek saya kurang nyaman sama hal kayak gituan.. Terima kasih atas pengertiannya.” Rafen pun tersenyum setelah mengatakan itu, badannya ia bungkukkan sedikit bertujuan sebagai tanda terima kasih. Lalu tak lama ia pun kembali menghampiri adiknya.

“Kalo Adek nggak suka, Adek bilang aja. 'Maaf ya, boleh enggak foto-foto? soalnya Adek kurang nyaman. Terima kasih.'”

“Iya, itu Aa udah beres?”

“Belum, tapi kalo Adek mau pulang ayo. Biar Aa lanjutin bagian Aa di rumah aja,”

“Nggak apa-apa? Nanti temen Aa marah nggak?” Rafen menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan adiknya, “enggak. Ayo pulang.”

Rafathar pun beranjak dari tempat duduknya lalu membantu sang kakak untuk membereskan beberapa barang yang berserakan di atas meja. Sebelum benar-benar keluar mereka berdua pun berpamitan kepada teman satu kelompoknya dan menjelaskan mengapa mereka harus pulang duluan, untungnya teman satu kelompoknya tak memusingkan hal tersebut hingga kini mereka berdua sudah bisa kembali ke rumahnya.


Sultan Kwangya Universe.

by NAAMER1CAN0

tw // mention of bullying


Ia merasakan kelegaan setelah mengetahui bahwa kamar di sebelahnya sudah terisi dengan penghuni baru. Ia sendiri bukan tipekal orang yang penakut, hanya saja jika dibiarkan terus-terusan kosong siapa tahu ada yang sengaja untuk mengisi kamar tersebut 'kan?

Ia beranjak dari tempat tidurnya lalu berjalan untuk sekadar duduk pada sebuah sofa tunggal yang tak jauh dari ranjangnya berada.

Ingatan itu kembali muncul saat ia berusia 9 tahun. Selama ia menginjakkan kakinya pada Sekolah Dasar, dirinya sangat membenci tiga hal yang hingga saat ini sangat membekas untuknya. Pertama, ia benci setiap tanggal 22 Desember; kedua, ia benci pada tanggal 12 November; dan terakhir ia membenci pada setiap waktu liburan kenaikan kelas.

Iya, benar. Ia benci saat dirinya harus tersenyum saat rekan-rekan kelasnya merayakan hari ibu dan hari ayah di depan matanya sendiri, ia benci harus pura-pura kuat nyatanya tidak. Ia benci saat selalu dititah untuk menceritakan masa liburannya. Apa yang bisa diharapkan? bahkan dirinya hanya berdiam di rumah tanpa merasakan berjalan-jalan dengan keluarganya. Bahkan ia pun benci dirinya sendiri karena tidak bisa merasakan seperti orang-orang di luar sana pada umumnya, ia benci itu. Apakah mungkin mereka meninggalkannya karena dirinya sendiri? Apakah dirinya tidak diharapkan untuk ada?

Eh Nalen, kamu kok terus-terusan merayakan hari Ibu yang diwakili Nenek kamu? emang Ibu kamu kemana?

Nalen kan nggak punya Ibu,

Kasian ya, Ibunya kok ninggalin dia?

Ayahnya juga nggak ada, soalnya sampe sekarang aku aja belum pernah ketemu sama Ayahnya,

Nalen itu yatim piatu ya?

Ih kasian, nggak bisa rasain punya Ibu dan Ayah.

Cemooh-cemooh itulah yang selalu ia dapatkan. Semasa SD-nya ia menjadi anak tertutup, tak bisa bergaul, bahkan enggan untuk memunculkan batang hidung sepersekian detik di depan publik. Namun, berkat seseorang bak malaikatlah yang bisa membuat dirinya tumbuh menjadi pria pemberani dan kuat. Shara Nirmala adalah sosok malaikat satu-satunya yang sangat berharga untuk dirinya.

Jika dipikir-pikir memang siapa yang mau berada di posisi ini? siapa yang mau di posisi bahwa ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu dan ayah? siapa yang mau melihat kegiatan rutinitas sekolahnya saat merayakan tanggal-tanggal penting? siapa yang mau? enggak ada. Bahkan jika bisa, ia pun tak mau berada dan tak mau memilih untuk di posisi saat ini.

Nalen, kamu anak yang baik. Kalo kamu mendengarkan ucapan-ucapan itu biarkan saja ya? Oma tau Nalen anak yang baik, nggak mungkin 'kan Nalen balik sakitin mereka?

Itulah sebuah kata-kata yang sering terlintas di dalam otaknya. Sebuah kata-kata tersirat bahwa dirinya tak boleh samanya seperti orang-orang yang sudah menjelekkan dirinya.

Saat ini ia sudah tak begitu mengharapkan sebuah kasih sayang dari Ibu dan Ayahnya, yang ia harapkan adalah semoga Oma-nya sehat selalu hingga dengan gagahnya ia dapat memamerkan sebuah gelar di belakang namanya. Lagi pula, ekspetasi hanya bisa dipatahkan oleh sebuah harapan, dan ia tidak mau itu.

Pelukkan dari Oma saja sudah bisa membuat dirinya tenang dan hangat, lalu apa bedanya dengan pelukkan seorang Ibu?


Story of Nalen.

by NAAMER1CAN0


Ia terkekeh dengan geli setelah membalas chat dari grup Whatsappnya. Benda persegi itu ia kembali diletakkan di atas nakas meja di samping tempat tidurnya. Niatnya dirinya ingin bercanda dengan apa yang telah ia ketikkan di dalam obrolan itu, namun setelah mendapatkan tawaran dari abangnya, ia pun langsung mengurungkan niat tersebut.

Hari demi hari pun telah berlalu. Menurutnya untuk bisa berada di posisi sekarang ini menjadi suatu hal yang paling berat untuknya. Bagaimana tidak? kemarin baru saja ia menjadi mahasiswa baru namun kini dirinya perlahan memasuki semester genap.

Perasaan sedih pun kini telah tergantikan oleh perasaan bahagianya, yang ia takutkan tak benar terjadi. Para tertua pun kini masih tinggal dengannya. Katanya sih mereka akan tetap berada di kontrakan sampai dirinya dengan gagah memakai sebuah toga berwarna merah- seperti jubah dari sebuah asrama Harry Potter; Gyffindor- dirinya sudah mengatakan bahwa ia sendiri tak apa jika para tertua akan meninggalkan kontrakan. Namun yang ia terima hanya sebuah tolakan. Jadi, ya mau gimana lagi?

Banyak yang ia sadari bahwa selama perjalanan yang ia lalui memang tidak bisa dengan mudah ia lupakan begitu saja. Para Abangnya telah banyak membantu dirinya untuk bisa mencapai pada titik ini. Mulai dari sedih, senang, bahkan susah, sudah mereka lalui secara bersama.

Lucu rasanya, dulu ia bersikeras untuk kembali ke rumah karena tak nyaman dengan lingkup kontrakan yang menurutnya tak masuk akal. Setiap pagi ia pasti disuguhkan dengan suara ricuh dari para penghuni lantai satu, belum lagi penghuni lainnya akan selalu melempar-lemparkan sebuah kesalahan, makanan yang sudah diberi nama saja sering sekali hilang bahkan sang pelaku pun tak berniat untuk sekadar menampakkan dirinya, sedikit lucu.

Ia sendiri pernah kesal dibuatnya. Makanan yang ia simpan di kulkas langsung habis dengan sekejap, bukan hanya sekali namun berkali-kali. Barang-barang dirinya sering dipinjam namun tak kunjung dibalikkan, hingga pada akhirnya ia harus marah-marah terlebih dahulu baru akan dikembalikan. Jika tidak seperti itu maka barang-barangnya akan hangus tak bersisa. Melelahkan.

Paling parah baginya adalah saat kejadian di mana penghuni kontrakan mendapatkan sebuah terror-an, bukan hal yang baru baginya karena memang di setiap tempat pasti ada penunggunya. Ibunya pernah berkata bahwa setiap memasuki tempat kita harus mengucapkan kata permisi atau salam, jangan asal masuk saja. Katanya sih etika saat berkunjung saja.

Apalagi waktu kejadian dirinya mendengar sebuah suara-suara yang tidak mengenakkan, ditinggalkan sendirian di kontrakan, eh tahunya para abang-abangnya sedang mempersiapkan sebuah kejutan ulang tahun untuk dirinya. Namun lagi-lagi apa yang bisa diharapkan pada penghuni kontrakannya? bulan November bukanlah bulan kelahirannya. Sangat lucu bukan?


Dirinya kini sedang memandang sebuah figura– di atas nakas mejanya– yang menampakkan kedua puluh tiga orang, termasuk dirinya. Ia tersenyum dengan bahagia, hangat baginya. Akhirnya setelah setiap malam ia berdoa kepada yang di atas, hari itu pun langsung dikabulkan. Ia meminta bahwa ia ingin memiliki seorang kakak yang akan menjadi pelindung untuknya. Bahkan, bukan hanya seorang melainkan Tuhan mengabulkan dua puluh dua orang kakak untuknya.

Jari-jari lentiknya kini bergerak pada sebuah lembaran kertas. Tinta hitam pun mulai mengotori sebuah kertas yang tadinya seputih susu. Bibirnya menggumamkan sebuah kata yang baginya itu adalah kata di mana ia bertemu dan memiliki kenangan terindah dengan kedua puluh dua abangnya.

Teruntuk Bang Tio: Abang terima kasih ya, berkat abang, Jio bisa tinggal di kontrakan. Abang sangat berjasa buat Jio, karena abang satu-satunya penghuni kontrakan yang kenal dan sabar sama Jio waktu itu. Maaf Jio sempat egois sama abang, maafin Jio ya? Jio waktu itu lagi enggak sadar aja. Terima kasih, Abang Tio.

Teruntuk Bang Tedja: Abang, terima kasih. Abang udah jadi sosok paling dewasa di antara semua abang-abang, abang bisa diandalkan, dan berkat abang Jio enggak takut lagi sama hal-hal mistis. Abang, semangat ya kerjanya? Terima kasih, Abang Tedja.

Teruntuk Bang Jordi: Abang, sebenernya Jio takut sama abang. Jio masih trauma sama mimpi Jio, tapi itu cuman mimpi kok. Sekarang udah nggak takut lagi! Abang makasih ya, makasih udah mau dan sering Jio repotin. Abang semangat kerjanya, kalau capek abang nggak usah maksain buat pulang ke kontrakan kok, Jio nggak masalah .... Terima kasih, Abang Jordi.

Teruntuk Bang Yudi: Abang, Jio nggak tau kalo misalnya abang nggak ada dan Jio nggak kenal abang. Abang udah sering bantuin Jio, anter jemput Jio setiap hari, abang juga yang udah ngasih saran buat yang lainnya stay di kontrakan. Abang makasih banyak ya? Maaf waktu itu Jio lagi banyak egoisnya, sekarang udah enggak! Terima kasih, Abang Iduy.

Teruntuk Bang Kenan: Abang makasih ya, abang udah sering Jio repotin. Abang, Jio pengen deh belajar jadi sosok penyabar kayak abang. Tapi kayaknya susah ... Jio nggak bisa. Abang makasih ya udah selalu sabar sama tingkah Jio. Terima kasih, Abang Kenan.

Teruntuk Bang Teguh: Abang, Jio bener-bener suka sama masakan abang. Maaf ya waktu itu Jio hampir buat kebakaran di dapur, Jio cuman nggak pinter masak aja. Tapi Jio bisa kok, suweer! Nanti ajarin Jio masak yaa abang. Terima kasih, Abang Teguh.

Teruntuk Bang Donny: Abang, makasih banyak ya. Abang udah mau direpotin sama Jio, tiap malem Jio selalu minta anter abang kalo lagi laper, Jio selalu nyusahin abang, Jio sering buat abang kesel. Abang makasih banyak udah mau tahan sama Jio ya? maaf kalo Jio banyak salahnya. Terima kasih, Abang Donny.

Teruntuk Bang Wira: Abang, Jio paham pasti waktu Jio buang air galon buat abang kesel ya? Maafin Jio ya abang, waktu itu Jio lagi pusing makanya ngelakuin itu ... sekarang udah nggak pusing lagi! sekarang Jio udah dewasa! Terima kasih, Abang Wira.

Teruntuk Bang Jeffan: Abang, makasih udah mau anter jemput Jio ke kampus kalo Bang Yudi nggak bisa, udah mau peduli sama Jio, udah mau bantuin Jio nugas, udah mau lindungin Jio. Sedangkan Jio nggak pernah ngebantu abang, Jio sedih. Lain kali, Jio juga mau bantuin abang ya ... oh iya, makasih ya abang parfumnya Jio suka! Oh iya, abang makasih ya waktu itu abang udah sadarin Jio dari keegoisan, Jio nggak tau kenapa bisa seegois itu. Jio malu kayak anak kecil aja .... Terima kasih, Abang Jeffan.

Teruntuk Bang Juan: Abang, maaf ya waktu itu Jio kasih banyak Tahu, soalnya waktu itu abang nulisnya tahu bukan tau. Jadi Jio salah ngira kan! tapi nggak apa-apa soalnya Jio suka tahu hehe, abang maaf ya kalo Jio selama ini sering buat kesel abang. Terima kasih, Abang Juan.

Teruntuk Bang Luthfi: Abang, Jio tau kalo Jio sering buat abang kesel. Tapi sebenernya abang juga sering buat Jio kesel, abang selalu teriak-teriak, lari-larian di kontrakan, itu bikin Jio sebel. Tapi abang, makasih ya udah mau ajarin Jio main ps. Berkat abang Jio sekarang udah bisa lawan teman-teman kampus Jio hehe! Terima kasih, Abang Luthfi.

Teruntuk Bang Adrian: Abang terima kasih ya, abang udah sering bantuin Jio, abang sering bantuin tugas Jio, kasih buku-buku dan materi kuliah, sering ngajarin Jio walaupun waktu itu abang udah pengen nangis .... Terima kasih, Abang Adrian.

Teruntuk Bang Mario: Abang makasih ya, abang sering buat Jio ketawa, walaupun Jio sering sebel soalnya abang selalu dengerin dangdutan tiap malem! Terima kasih, Abang Mario.

Teruntuk Bang Derry: Abang, Jio sebel sama abang soalnya abang ngeselin, suka ngejek Jio, abang yang pencetus nama Bocil. Tapi nggak apa-apa berkat abang Jio punya nama panggilan kayak Bang Yohan, Bang Yudi, sama Bang Teguh hehe. Jangan ngeselin lagi! Terima kasih, Abang Derry.

Teruntuk Bang Rendi: Abang, Jio sebenernya takut sama abang soalnya abang suka marah-marah di kontrakan. Apalagi waktu abang sama Bang Ekal kejar-kejaran sambil bawa sapu sampe patah ... abang nanti jangan galak-galak lagi ya? walaupun Jio nggak pernah kena, tapi tetep takut .... Terima kasih, Abang Rendi.

Teruntuk Bang Jevon: Abang, nanti bisa nggak kalau misalnya abang jangan suka sompral? Gimana ya ... Jio sebenernya khawatir kalau abang kena ganggu terus, tapi abang malah biasa aja, Jio jadi sebel udah khawatir sama abang. Oh iya, abang makasih juga ya udah ngajarin Jio berenang. Jio sekarang udah jago renang gaya batu hehe! Terima kasih, Abang Jevon.

Teruntuk Bang Haekal: Abang, makasih udah ajarin Jio maen bola. Berkat abang sekarang Jio sering diajak main sama temen kampus. Abang walaupun abang sering buat Jio ngelus dada, tapi abang emang sangat membantu Jio. Terima kasih, Abang Ekal.

Teruntuk Bang Nalen: Abang, jangan sedih ya? abang kalo kangen rumah bisa kok datang buat peluk Ibu Jio, anggep aja Ibu Jio rumah buat Abang. Abang makasih ya selama ini udah mau jadi tempat ngeluh buat Jio, makasih udah mau ngebantuin Jio, selalu ada buat Jio, marahin Jio kalo Jio salah. Kalau nggak ada abang mungkin Jio nggak bisa sampai dititik ini. Abang semangat terus ya? Terima kasih, Abang Nalen.

Teruntuk Bang Yohan: Abang makasih ya, abang udah selalu buat Jio ketawa. Abang udah bantu Jio kalau Jio lagi sedih, Abang kapan-kapan kita motor-motoran lagi malem-malem yuk? Jio suka, Jio seneng. Terima kasih, Abang Yoyo.

Teruntuk Bang Sean: Abang, makasih ya berkat abang Jio sekarang suka anime. Dulu Jio nggak berani nonton takut diceng-cengin, ternyata kekhawatiran Jio itu salah. Makasih ya abang berkat abang sekarang Jio berani untuk memilih dan mempertahankan sesuatu yang buat kita senang. Terima kasih, Abang Sean.

Teruntuk Bang Sagara: Abang, sebenernya Jio masih kesel gara-gara waktu itu abang ngeledek Jio jalan ke kampus, Tapi nggak apa-apa soalnya salahnya abang dikit, jadi udah Jio maafin cuman masih kesel aja. Abang makasih ya, udah mau pinjemin motor walaupun motor abang waktu itu Jio jatohin .... Terima kasih, Abang Sagara.

Teruntuk Bang Chakka: Abang, makasih ya udah mau beliin Jio ini itu. Sebenernya Jio nggak butuh-butuh amat, tapi akhirnya apa yang udah dikasih abang ternyata jadi teman sehari-hari Jio. Bang Chakka lain kali jangan sering-sering hamburin uang ya? sayang tau .... Terima kasih, Abang Chakka.

Setelah menyelesaikan tulisan terakhirnya, ia teringat dengan kejadian pertama kali menginjakkan kaki di sini. Dirinya seperti orang yang tak tahu arah. Namun, kedua puluh dua abang-abangnya menjadi jembatan baginya. Para abang-abangnya yang memberikan arahan untuk dirinya dapat mencapai tujuan.

Jio terlonjak saat mendengar sebuah teriakkan yang memanggil namanya. Dengan cepat ia pun langsung menutup sebuah buku. Betul. Itu adalah buku harian dirinya.

Sebuah buku yang sudah usang. Sebuah buku yang memiliki banyak kenangan-kenangan bagi dirinya. Mulai dari kenangan pahit saat dirinya ditinggalkan oleh orang yang ia sayangi untuk selamanya, kenangan sedih saat harus berjauhan dengan sang Ibu, bahkan kenangan senang saat dirinya menjadi orang dewasa yang menginjakkan kakinya pada suatu jenjang yang lebih tinggi, bahkan hingga bertemu dengan kedua puluh dua abangnya. Itu semua adalah kenangan terindah untuknya. Sebuah karunia besar bisa dipertemukan dengan mereka.

“Terima kasih ya Abang-abang, Jio senang bisa kenal dan bertemu Abang-abang. Ayo kita sukses sama-sama ya? Kita wujudin sebuah harapan bisa buat rumah saling berdekatan, bahkan ayo kita wujudin keinginan membuat perusahaan bersama. Jio bener-bener nunggu hal itu terjadi.”

Jio berucap sambil menyimpan sebuah buku di atas meja belajarnya. Ia usap perlahan sebelum pada akhirnya ia pergi dan meninggalkan buku tersebut terbaring sendirian di tengah megahnya sebuah ruangan.

Ia sangat berterima kasih bisa dipertemukan dengan mereka. Jika hari itu ia tidak ikut trend di salah satu media sosial, mungkin dirinya tidak akan kenal dengan para abang-abangnya.

Namun, ia kembali teringat dengan kejadian di mana ia kebingungan dengan tempat Rusa yang berada di kontrakan, padahal jika dipikir pasti orang-orang pun akan satu pendapat seperti dirinya. Katanya Adarusa, namun nyatanya tak ada rusa. Aneh.

...

Ada.ru.sa; orang yang meminjam sesuatu (tentang uang atau barang), tetapi tidak ada kemauan untuk mengembalikan barang tersebut.

FIN.


Kontrakan Adarusa Universe.

by NAAMER1CAN0


Sebuah dentingan suara piring dan sendok pun kini mulai terdengar dan menggema di ruangan tersebut. Mereka- penghuni kontrakan kini sedang terduduk di meja makan dan menyantap hidangan yang telah dibawa oleh pemilik dari kontrakannya. Mereka sih senang-senang saja mendapat makanan gratis seperti saat ini, hanya saja mereka sedikit bingung pasalnya mengapa tiba-tiba Ibu Kontrakannya rela membuat makanan sebanyak ini?

“Jadi, kalian itu sempat diterror habis-habisan, ya?”

Itu Nani, ibu kontrakan adarusa. Seketika mereka semua terdiam tanpa berani untuk menolehkan wajahnya. Bagaimana tidak? mereka sudah menutup rapat-rapat kejadian yang sempat dialaminya, namun masih sampai juga kepada telinga pemilik kontrakannya.

“Ibu dapet informasi itu dari mana?”

Nani tersenyum. Ia meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya. Ia raih gelas di atas mejanya, lalu dengan cepat meneguknya dengan perlahan.

“Sudah banyak yang bilang kok itu, soalnya bukan kontrakan ini aja. Kontrakan yang di bawah juga kena.,

“Bapak sama Ibu udah tau kok orangnya siapa, sudah minta maaf juga,”

“Kalo boleh tau, siapa Pak orangnya?” timpal Teguh.

Dani mengetuk jari telunjuk pada dahi kirinya. “Hm, siapa sih sayang? pemilik kosan depan itu ya?” tanya Dani sambil menolehkan wajah ke arah sampingnya.

Nani hanya mengangguk sebagai tanda membenarkan dari pertanyaan itu. “Iya, itu kosan depan.”

“Wah pasti ngiri itu orangnya,”

Donny mengangguk. “Padahal kan beda ya sistem kontrakan dan kosan.”

“Makanya itu,”

“Ada harga ada kualitas sih.” Wira menaikkan kedua alisnya. Ada sedikit nada sombong pada ucapannya.

“Pantesan kosan depan murah, orang sekutu sama temen si ekal.” Jordi menunjuk Haekal dengan kepalanya. Sontak hal tersebut membuat seisi kontrakan tertawa karenanya.

“Sialan Bang Jordi.”

“Oh iya Ibu, Jio penasaran deh,” ucap Jio memecahkan keheningan. Mereka pun mengalihkan perhatian kepada si bungsu.

“Iya, kenapa Jio?”

Jio meremas jarinya dengan pelan. Ia meneguk ludahnya sebelum kembali mengeluarkan suaranya. Ada sedikit rasa gugup untuk menanyakan hal ini, namun jika boleh jujur dirinya pun sedikit penasaran dari awal menginjakkan kakinya hingga sekarang jawaban dari pertanyaan itu masih belum menemukan jawabannya.

“Hm, ini kok nggak ada kamar yang nomor 13 ya Bu?”

“Hm ... maaf kalo lancang, Ibu sama Bapak percaya sama angka sial? Tapi, kalo misalkan percaya kok masih ada nomor 1 dan 3?” tanyanya.

Nani dan Dani yang mendengar itu hanya mengangkat ujung bibirnya dengan kecil. Entah mengapa pertanyaan itu akhirnya terlontar pula. Mereka berdua sudah berargumen bahwa suatu saat pasti ada yang akan menanyakan perihal penomoran kamar yang tidak sesuai.

“Kamu aja yang jawab,” ucap Nani lalu diangguki oleh Dani- suaminya.

“Bukan karena angka sial, tapi Bapak trauma sama tanggal 13. Dulu sempet putus dan mau gagal nikah sama Ibu pas ditanggal 13,” jawab Dani, ia pejamkan matanya sebentar untuk mengingat mengenai kejadian beberapa tahun yang silam itu, “dulu tuh pernah ngira kalau Ibu balikan sama mantannya gara-gara ketemuan, taunya mantan Ibu itu mau minta saran buat bantu lamar calonnya. Untung aja ada teman Ibu yang bantu ngejelasin. Kalo nggak kayaknya Ibu dan Bapak nggak bisa duduk di sini berdua.”

Entah harus sedih apa bahagia. Kedua puluh tiga penghuni kontrakannya kini hanya bisa mengedipkan matanya dengan cepat. Hening. Suasananya tiba-tiba hening setelah Dani menyelesaikan ucapannya.

“Hm ...,” gumam Jordi sambil menegakkan badannya. “Jadi nggak ada sangkut pautnya sama hal mistis ya, Pak?” tanyanya untuk memastikan kembali.

“Iya.” Dani menganggukkan kepalanya, “itu pure karena Bapak nggak suka aja sama angkanya.”

Haekal pun tertawa secara tiba-tiba. Sontak hal tersebut membuat semua yang berada di ruangan itu terkejutnya bukan main.

“Eh, istigfar lu Kal.” Derry menggoyang-goyangkan bahu Haekal. Ia sedikit takut jika temannya itu dimasukki oleh makhluk tak kasat mata.

Haekal menghempaskan goyangan pada kedua bahunya. “Nggak anjir, gua cuman ngakak. Bisa-bisanya kita udah khawatir sama angka sial, kontrakan mistis, taunya ... hahaha.” Haekal memegang perutnya. Ia tak kuasa untuk menahan tawanya. Mario dan Luthfi yang melihat itu hanya bisa ikut tertawa.

Kini tawa itu sudah menyebar. Ruangan yang tadinya hening kini berbalik 180 derajat menjadi ramai oleh suara tawaan. Mestipun mereka tak mengerti letak lucunya di sebelah mana, tapi saat mendengar tawaan itu malah menular.

“Minum nih, Jio.” Jordi menyerahkan satu gelas saat mendengar adik bungsunya terbatuk di tengah-tengah kegiatan tawanya. Bukannya dia ambil, uluran tersebut malah ia diamkan.

“Bang Jevon, Jio mau air. Tolong isiin.” Jio menyerahkan satu gelas ke arah Jevon. Jevon pun langsung membantu mengisikan cairan bening ke dalam gelasnya. Tanpa menolehkan wajah ke arah sampingnya, Jio langsung meneguk minumannya tanpa tak bersisa.

Ada perasaan sakit bagi Jordi sendiri setelah mengalami kejadian yang baru ia alami. Baru pertama kali uluran darinya ditolak mentah-mentah oleh si bungsu. Jordi hanya bisa tersenyum yang dipaksakan. Tio yang melihat kejadian itu hanya bisa bungkam lalu memalingkan wajahnya ke arah mana saja asal bukan ke arah depannya.

Jio sangat sadar betul bahwa dirinya sangat tidak sopan telah menolak bantuan. Namun, ia hanya saja sedang membiasakan dirinya tanpa harus bergantung kepada Abang kontrakannya yang akan segera lulus. Membiasakan dirinya untuk hidup menjadi seseorang yang lebih mandiri dan bisa mengandalkan dirinya sendiri.


Kontrakan Adarusa Universe.

by NAAMER1CAN0

cw // harsh words


Kini mereka semua telah sampai di kediaman Yohan Kardena atau yang biasa disapa dengan Yoyo. Hari ini merupakan hari di mana Yohan telah di lahirkan.

Assalamualaikum Tante,” sapa Tio dengan ciri khas senyuman indahnya sambil mencium tangan wanita paruh baya di hadapannya. Pun penghuni lain ikut menciumi tangan dari Ibunda Yohan.

“Ayo masuk, Tante udah masak banyak,” ucap Mamahnya Yohan dengan nada yang sedikit terdengar sangat bahagia itu. Bagaimana tidak? akhirnya setelah sekian lama ia bisa bertegur sapa kembali dekan rekan-rekan satu kontrakannya.

Mereka pun mulai melangkahkan kakinya menuju tempat yang dimaksud oleh orang yang berjalan di depannya.

“Hahaha, aneh sekali. Kalian merayakan ulang tahun Yohan, tapi Yohannya kalian tinggal di kontrakan.”

Itu Ayahnya Yohan, ia tak kuasa untuk menahan tawanya. Menurutnya ide yang baru didengarnya ini cukup menghibur dirinya setelah berkutik dengan pekerjaannya sepanjang waktu yang cukup membuatnya lelah.

“Hehe iya Om, Tante. Ini Sagara yang kasih ide,”

“Nggak apa-apa, 'kan Om, Tante?” lanjut Sagara dengan suara yang sedikit khawatir. Bagaimana tidak? orang kini kedua puluh dua anak kontrakan sudah ada di rumah Yohan, di Tasikmalaya. Sedangkan sang peran utama mereka tinggalkan di Jatinangor.

Ibunda Yohan hanya tertawa dan mengelus punggung Sagara. “Nggak apa-apa nak, itung-itung kalian berkunjung ke sini. Kami senang kok.”

Ada suara helaan yang terdengar. Cukup lega baginya setelah mendapat jawaban dari orang tua teman kontrakannya itu.

“Terus kalian gimana kaburnya sampe jauh-jauh ke Tasik gini?” tanya Ayahnya Yohan. Tangan kanannya masih sibuk memasukkan beberapa makanan ke mulutnya.

Chakka menelan makanannya secara cepat. “Kita kerjasama pura-pura ada kesibukan Tante, sama ada beberapa orang yang bilang mau pulang ke rumahnya.”

Setelah selesai dengan ucapannya Chakka pun kembali memasukkan beberapa lauk pauk ke dalam mulutnya.

“Terus dia nggak curiga?”

Mereka semua dengan kompak menggelengkan kepalanya. “Sepertinya enggak Om, semoga aja nggak curiga.”

Beberapa obrolan kecil pun kini saling terlontar satu sama lain, hingga kini meja makan pun mulai ramai dengan candaan dan tawaan. Bahkan sepertinya mereka telah terduduk lebih dari satu jam di atas meja itu, namun obrolan kecil pun masih saja asik saling dilontarkan.


Namun di lain sisi, kini ada seseorang yang sedang percaya diri bahwa dirinya sedang dipersiapkan sebuah kejutan untuknya.

“Eh, nanti gua pura-pura kaget aja jangan ya?”

“Kali ini mereka kasih surprise di sebelah mana ya? Kamar gua nggak mungkin sih, kuncinya gua bawa. Theather kayaknya udah pasaran, rooftop juga, apa di kolam renang ya?”

Yohan tak mau diam. Kakinya ia paksa untuk melangkah ke kiri dan ke kanan secara cepat yang menandakan bahwa dirinya sedikit gugup. Baru saja dirinya akan menaiki kendaraan beroda duanya dan segera meluncur ke kontrakannya, namun kegiatan itu harus terhenti setelah nama dirinya dipanggil oleh seseorang.

“Woi Yoyo!”

Yohan pun menolehkan wajahnya ke belakang, ke arah sumber suara. Alisnya ia angkat sedikit. “Kenapa, Jan?”

“Habede ye, asik dah bisa ulang tahun juga lu,” ucap Ojan- teman satu prodi sekaligus teman satu tongkrongannya.

“Gua nggak tau harus sedih apa seneng nih, akhirnya lu inget ultah gua Anjing!”

“Hahaha, profile twitter lu ada balon-balonnya. Jadi gua inget,”

Bajingan.”

Mereka pun akhirnya tertawa secara bersamaan. Selama dua tahun ia kenal dengan Ojan baru kali ini ia diucapkan tepat pada hari ulang tahunnya bahkan yang lebih mengejutkan ia mengucapkan tepat di hadapannya sendiri, sebuah kehormatan bagi dirinya.

“Kirim nomor shopee-pay lu, gua kasih kado duit aja lah ya. Biar lu sendiri yang beli barangnya,” ucap Ojan sambil mengeluarkan benda persegi di kantong celananya.

Yohan pun meninju kecil pundak Ojan. “Apaan dah anjing, nggak usah. Kayak ke siapa aja lu.”

“Udah gua kirim tuh, nomornya sama kayak nomor WA lu kan?”

Yohan pun melebarkan matanya setelah melihat nominal yang tercetak pada benda perseginya. “Anjing, kelebihan nol ini ya lu Jan?” tanya Yohan sambil memastikan kembali.

Ojan menggeleng. “Enggak, emang bener segitu. Sisanya buat traktiran lu sama anak kontrakanlah.”

Thank you Jan. Ayo dah gas gua traktir sekarang,” ucap Yohan.

Ojan hanya tertawa mendengar ucapan itu. “Traktir pake uang dari gua? Gila aja, makan duit sendiri gua jadinya.”

“Ya kagaklah anjing, pake duit gua.”

“Nanti dah sekalian sama anak-anak lain, gua mau ngejar deadline dulu hari ini,”

“Yaudah nanti gua kabarin di grup. Btw makasih Jan, sumpah dah gua jadi nggak enak.” Ojan pun menepuk pundak Yohan secara cepat, “santai aja anjir. Itung-itung ucapan terima kasih udah bantuin paper gua kemaren.”

Ojan pun akhirnya meninggalkan Yohan sendirian setelah mengatakan kata pamit karena ia harus melakukan pekerjaan yang telah diberikan dosen mata kuliahnya. Yohan pun hanya memandang punggung itu yang kini telah hilang dari pandangannya.

“Anjirlah, asik banget gua dikasih sejuta. Pesta dah ini sama anak kontrakan.”

Kendaraan roda dua itu pun kini telah berjalan melintasi padatnya kota Jatinangor pada sore hari. Biasa orang-orang sudah mulai berpulangan sehingga jalanan mulai sedikit padat daripada hari biasanya.


“Lah, sepi?”

“Tumben kontrakan di kunci?”

“Lah, belum pada balik apa ya?”

Yohan pun terheran setelah melihat bahwa kini garasi kontrakannya hanya menyisakan kendaraan beroda dua, sedangkan kendaraan beroda empat telah lenyap dari pandangannya.

Tangannya ia bawa untuk membuka pintu itu. Ada perasaan khawatir dan gugup, setelah ia berfikirkan bahwa mereka sedang membuat kejutan untuknya.

Assalamualaikum,”

Hening. Tak ada yang menjawab salam tersebut. Bahkan suara hewan jangkrik yang berada di pinggir kontrakannya pun terdengar jelas karena keadaan sepi yang sedang ia rasakan di dalam kontrakannya.

“Masa mereka lupa?”

Namun tak mau ia ambil pusing akhirnya Yohan pun segera memasuki kamarnya dan bergegas untuk membersihkan dirinya.

“Selamat ulang tahun, Yohan.”

Yohan memejamkan matanya sambil mengepalkan kedua tangannya. Ia sendirian di tengah gelapnya ruangan kamar itu. Ia berdoa terlebih dahulu sebelum pada akhirnya ia meniup lilin yang berada di dalam benda perseginya; iya itu sebuah aplikasi lilin karena di kontrakan tidak ada lilin.

“Emang bener, semakin tua semakin nggak berarti hari ulang tahun ini.”

Ada helaan nafasnya sebelum ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Suaranya memilu seperti sedang membunyikan perasaan sesuatu. Namun entah mengapa semakin lama matanya semakin berat hingga ia terlelap dalam tidurnya.

Drtt. Drtt. Drtt

Benda persegi itu kini sedang berdering. Getarannya cukup mengusik aktivitas dirinya dalam kegiatan tidurnya, dengan perasaan yang sedikit kesal, ia pun langsung menerima panggilan video itu.

Happy birthday to you~ Happy birthday to you~ Happy birthday Yohan Kardena, Happy birthday to you~

Nyanyian itu cukup membuatnya terkejut. Badannya yang semula berbaring kini telah tegap dengan sempurna. Matanya sedikit memanas setelah mengetahui siapa yang menghubunginya.

“Loh, kalian ngapain ada di rumah gua?”

Hehe lagi merayakan ulang tahun lu Yo,

“Apa-apaan rayain ulang tahun tapi yang ulang tahunnya ditinggal sendirian,”

Hahaha sengaja, abisnya kalo dikasih kejutan lu pasti udah tau alurnya.

Yo, happy birthday. Maaf kalo misalnya kita semua belum bisa jadi sosok teman, sahabat, bahkan keluarga yang terbaik buat lu. Selamat menambah usia, semoga cita-cita yang lu harapin bisa segera terwujud, semoga cita-cita lu jadi seorang duta bahasa bisa segera terlaksana, kita bakalan nunggu momen itu. Momen di mana lu bakalan ngabarin kita kalo lu udah jadi duta bahasa yang sukses, kita pasti bakalan nunggu momen itu.

Air matanya kini tak bisa ia bendung lagi. Pertahanan dirinya sudah runtuh, cairan bening itu telah membelah kedua pipinya. Hidung dan matanya kini sudah bersemu merah.

Lah kok nangis anjir?

Ia menyeka air matanya. “Gimana nggak sedih, ternyata gumaman gua sama cita-cita gua itu ada yang dengerin juga bahkan ada yang ingat. Makasih banyak ya? Gua nggak salah pilih orang yang udah gua anggap sebagai keluarga.”

Mereka hanya tersenyum mendengar itu. “Yaudah kita matiin lagi ya, kita cuman mau bilang hbd aja. Kita mau lanjutin lagi makan-makan, masih banyak menunya.

Tak sempat ia jawab, panggilan itu kini sudah terputus. Bukannya kesal, ia malah tersenyum dengan bahagia.

“Nggak apa-apa, gua nggak masalah mereka rayain tanpa gua. Gua seneng akhirnya mereka bisa sedeket itu sama orang tua gua.”

“Kontrakan adarusa, terima kasih banyak ya? berkat kalian gua bisa nemuin sosok teman dan keluarga yang sangat berarti. Tolong jaga mereka ya? Tolong buat mereka selalu bahagia, dan tolong buat mereka dapat meraih cita-citanya.”

Tiba-tiba senyuman itu pun seketika luntur setelah ia mengingat bahwa kehidupan tak akan pernah abadi. Ada kalanya mereka harus meraih masa depannya masing-masing, ada kalanya mereka egois dengan dirinya masing-masing, bahkan ada kalanya mereka berjalan menuju tujuannya masing-masing. Namun ia tetap berharap, untuk saat ini ia akan selalu berusaha menjadi sosok keluarga yang terbaik untuk teman kontrakannya. Ia akan selalu berusaha menjadi sosok yang selalu ada, sosok yang dapat diandalkan. Bahkan jika bisa, ia pun akan sama berusahanya untuk di masa depan.

Happy birthday, Liu Yangyang.


Kontrakan Adarusa Universe.

by NAAMER1CAN0


“Ih kok udah di sini lagi? Pasti lama banget ya nunggunya?” sambut Adis sambil berlari kecil untuk membuka gerbang rumahnya.

“Jangan lari-lari takut jatoh,” respon Bagas setelah melihat pacarnya berlari untuk segera menemuinya.

“Bunda sama Ayah ada?”

“Nggak ada, mereka keluar dari pagi. Kenapa emang?” tanya Adis. Alis kanannya ia angkat sebagai tanda bahwa ia penasaran dengan pertanyaan yang telah dilontarkan pacarnya.

“Enggak, kalo ada aku mau izin. Nggak enak masa jemput kamu di luar, terus main nggak pamitan sama orang rumah.” Adis tersenyum setelah mendengar jawaban itu. Tangannya ia bawa untuk mengikat rambutnya sebelum memakai helm.

“Maaf ya pake motor, belum diizinin Ayah buat bawa mobil.” Bagas menyerahkan sebuah helm berwarna putih dengan corak bunga tulip di pinggiran helmnya.

Adis menggeleng. “Nggak apa-apa, lagian pake motor seru kok! apalagi kalo sore-sore kena angin, hehe.” Ada sedikit tawaan di akhir kalimatnya. Mau tak mau Bagas tersenyum mendengar itu. Untung saja Adis tipekal orang yang tidak menuntut ini itu.

“Sini, biar aku aja yang pasangin.” Bagas menyingkirkan tangan Adis yang sedang kesusahan untuk mengunci helmnya.

Klik.

“Hehe makasih.” Senyum Adis melebar setelah helmnya sudah terkunci dengan aman. Bagas hanya mengusap punggung Adis dengan pelan.

“Mau makan dulu atau?”

“Makan dulu aja, laper!” potong Adis.

“Lagi mau makan apa?”

“Kamu suka makanan apa?”

“Apa aja aku makan,” jawab Bagas.

“Mie ayam?”

“Boleh?” lanjut Adis.

Bagas pun hanya bisa tersenyum menampilkan kedua matanya bak bulan sabit, “boleh. Yaudah sini naik, kita berangkat sekarang.” Tepuk Bagas pada jok motornya.

Bagai remaja yang baru pertama kali dimabuk cinta. Kini Bagas melajukan motornya tak lebih dari 60 km/jam yang menandakan bahwa ia sedikit lebih lambat dari hari-hari biasanya saat mengendarai motor. Berbeda jika ia berpergian sendirian mungkin kecepatan itu akan mencapai sekitar 80 km/jam.

Entah apa yang telah merasuki dirinya. Kini kedua tangannya telah melingkar sempurnya pada pinggang Bagas; kekasihnya. Bagas yang dipeluk hanya bisa tersenyum. Kekasihnya itu sangat ekspresif, jika suka akan tersenyum dan jika tidak akan berbanding terbalik.


“Panas nggak?” tanya Bagas saat keduanya telah sampai di warung mie ayam kesukaannya.

“Sedikit,” jawabnya.

“Diiket aja rambutnya,”

“Mau gini aja ah, nggak pede kalo diiket.”

Fyuh. Fyuh.

“Ih apa kok ditiup-tiup? Emang aku balon apa?” protes Adis setelah merasakan tiupan percis di depan wajahnya. Tiupan itu berasal dari pria yang memiliki mata seperti bulan sabit saat tersenyum.

“Biar nggak kepanasan lagi, cantik.” Tangan Bagas terulur untuk mengusak rambut kekasihnya dengan pelan.

“Awh- kok dipukul?” Bagas mengelus bahunya. Pukulannya bukan main.

“Jangan bilang itu!”

Bagas menyatukan kedua alisnya, tercetak jelas pada dahinya yang telah memamerkan beberapa guratan kecil. “Bilang apa?”

“Itu!”

“Itu?”

“C word!”

“Apa sih, aku nggak ngerti?”

“Jangan panggil aku cantik!”

“Loh kenapa? Kamu emang cantik kok, semua orang juga bahkan setuju sama pendapatku.”

Saat akan

First date

elus dengkul di lampu merah, iketin rambut cewek grgr rambutnya kena eskrim, gulungin bajunya krn mau masuk kuah bakso, hujan hujanan sambil berteduh si cowok ngaish jaketnya,


Green Light Universe.

by NAAMER1CAN0

cw // harsh words , mention sleeping pills , foods tw // horror


Mereka kini telah terduduk di ruangan tengah lantai dua. Mereka menunggu sang empu untuk menceritakan kejadian semuanya yang telah dirasakan sebelumnya.

Jevon menghela nafasnya sesaat sebelum benar-benar mengeluarkan sepatah katanya.

Jadi setelah dari ruang theater semua pada balik ke kamar kan, nah perasaan gua di situ masih kayak biasa aja. Tapi tiba-tiba pas gua beres mandi mulai tuh rasain hawa-hawa yang kurang enak,

Semua penghuni pun kini telah mengalihkan seluruh atensinya kepada sang sumber suara. Mereka hanya mengangguk serta menggelengkan kepala sebagai respon dari cerita yang didengarnya- enggan untuk memotong cerita.

Nah mulailah, abis mandi tiba-tiba keran kamar gua nyala lagi- eh shower deh,” ralatnya.

Terus gua di situ kayak mikir 'wah ini nggak bener.' tapi yaudah gua masih bodo amat tuh,

Nah tiba-tiba pas gua mau keringin rambut ...,” jeda Jevon, “lampu kamar gua mati, SUMPAH.

Jevon mengesap sekilas susu putih kesukaannya sebelum melanjutkan kembali ceritanya. “Gua kira kan padam total, taunya kagak anjir. Gua masih bisa denger suara spotify milik Mario- maksud gua Bang Mario,” ralat Jevon setelah mendapat pelototan dari Abangnya.

Yaudah gua nyalain aja tuh flash handphone, terus gua colokin hairdry, EH ANJINGNYA LISTRIK DI KAMAR GUA NGGAK JALAN. KAGAK MAKE SENSE KAN? GUA SAMPE SEKARANG MASIH HERAN,

Mereka semua mengangguk untuk menyetujui pertanyaan darinya.

Setau gua aliran listrik di sini sama dah, maksudnya kayak kalo kamar satu mati listrik otomatis satu kontrakan bakalan mati,” ucap Tedja.

Nah, gua juga mikir gitu Bang. Gini-gini gua dulu dapet nilai fisika paling tinggi di kelas,” sombongnya, “yaudah di situ posisinya gua mau keluar kamar, mau keringin rambut di kamar Bang Derry. Tapi ini setan nggak ngasih gua nafas yaelah, masa tiba-tiba jendela kamar gua diketok-ketok?” ucap Jevon sambil mengangkat bahunya.

Logika aja nih, siapa si yang mau manjat ke lantai 2 buat jailin kalo bukan si setan?Lagian di luar jendela kamar gua nggak ada balkonnya,

Pantes aja lu digangguin, orang mulut lu kagak ada filternya.” Nalen berucap sambil menyesap minuman berwarna hitam pekat di dalam cangkir putihnya.

Gua juga heran, kagak ada kapok-kapoknya,” timpal Wira.

Terus lu buka jendelanya?” tanya Donny dengan penuh penasaran.

Sstt, lanjuutt.” Chakka menyimpan satu jari di depan bibirnya sebagai tanda bahwa mereka semua diharapkan untuk tak menyela cerita dari sang empu.

Jevon mengangguk, “iya gua buka, tapi pas diliat nggak ada siapa-siapa. Yaudah gua tutup lagi kan, nah pas ditutup tiba-tiba pintu wc gua ada yang ngetuk-

DORR!” teriak Derry sambil menepuk pundak adik bungsunya.

ANJING!” umpat Jio secara tak sadar, “IH ABANG! JIO KESEL SAMA ABANG!” teriak Jio sambil melemparkan botol minumannya.

Derry pun terkena batunya saat botol minuman itu tak sengaja mendarat dengan sempurna di dahinya. Mereka- penghuni kontrakan lainnya pun tertawa saat melihat pemandangan itu.

Awh!” rintih Derry, “Abisnya lu denger tanpa ngedip sih, Cil,” lanjutnya. tak lupa tangannya ia bawa untuk mengelus dahinya.

Ih maaf abang, Jio nggak sengaja itu refleks,” timpal Jio lengkap dengan lengkungan bibir yang tercetak jelas pada bibirnya.

Tiga,” ucap Haekal sambil memperlihatkan ketiga jarinya. Jeffan yang mendengar itu hanya bisa menyatukan kedua alisnya, “apanya yang tiga?” tanyanya.

Ketiga kalinya si Ocil mengumpat,” jawab Haekal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jio hanya memajukan bibirnya setelah mendengar ucapan itu.

LANJUUUT.” Chakka pun sudah dibuat kesal oleh tingkah laku penghuni kontrakannya.

Yaudah sampe akhirnya gua nggak jadi keluar, terus maksain tidur. Eh pas tidur gua ke bangun gara-gara ranjang kayak ada orang yang naikin,

Terus?” tanya Adrian.

Lampu kamar gua di situ nyala-mati nyala-mati kayak lagi di bar, ditambah suara keran nyala lagi di wc. Gua udah ngantuk banget asli, mana paginya gua ada kelas. Eh taunya gua skip gara-gara bablas dan berakhir di sini,

Lagian gua bangunin lu kagak bangun-bangun, yaudah gua nggak lanjutin. Takutnya lu mau istirahat,” sanggah Yudi.

Jevon menolehkan wajahnya, “eh tapi kok bisa gua bangun-bangun ada di kamar lu sih, Bang?” tanya Jevon kepada pria di sampingnya- Yudi.

Jadi gini ...,

Flashback on.

Luthfi, Jordi, dan Yudi kini telah berada di depan pintu kamar nomor tujuh- milik Jevon. Entah mengapa sudah tiga kali dobrakan namun pintu tersebut masih enggan untuk terbuka, mereka sendiri tidak tahu apakah karena waktu telah subuh sehingga mereka masih lemah atau bahkan karena yang lain.

Eh udah, udah. Gua lupa asli kalo ternyata semua kunci ada cadangannya, nih buka pake kunci ini,” ucap Tio sambil menyerahkan kunci ke arah Jordi. Mereka bertiga yang melihat itu hanya bisa memutarkan bola matanya ,”kenapa nggak dari tadi sih, gua masih lemes. Nyawa aja belum kekumpul seratus persen,” ucap Luthfi dengan sedikit ketus.

Ya maaf yaelah,

Cklek.

Ini orang pingsan apa tidur, dah?” tanya Haekal. Kedua tangannya ia bawa untuk memastikan apakah temannya ini tidur atau pingsan.

Gimana, kal?

Haekal hanya menghela nafasnya, “tidur anjir bang, bisa-bisanya.

Yaudah gua bawa ke kamar dah, biar dia nggak rengek,” ucap Yudi. Kini badan adiknya pun telah berpindah pada punggungnya, “berat juga si Jevon.

Flashback off.

... Nah begitu.

Jevon hanya meresponnya dengan cengiran di wajahnya. Tangan kanannya ia bawa untuk menggaruk belakang kepala yang tak gatal. “Hehe iya Bang, gua sebelumnya abis minum obat tidur.

Ngapain lu minum gituan?” tanya Tio. Kini badannya ia tegakkan seakan penuh penasaran dengan apa yang telah diketahuinya.

Gua punya kebiasaan susah tidur dari SMA Bang, makanya nyokap waktu itu bawa gua ke dokter dan dikasih obat itu. Tapi gua udah jarang minum sih, paling sebagai gantinya gua bakalan olahraga sebelum tidur biar nanti nyenyak sendiri,” jawab Jevon.

Kenan menganggukkan kepalanya, “iya jangan keseringan, banyakin makan sama minum yang sehat-sehat. Kalo udah di atas jam 11 hindari main gadget,” ucapnya.

Jevon yang mendengar itu hanya bisa mengacungkan kedua jempolnya.

Eh tapi ya,” ucap Sean. Semua penghuni pun menolehkan pandangannya kepada sumber suara. Raut mereka menggambarkan rasa penasaran terhadap apa yang dikatakannya.

Apa?

Sean meneguk ludahnya secara cepat sebelum memulai cerita. “Gua semalem kena juga Bang, padahal gua nggak sompral.

Mereka pun dibuat terkejut oleh ucapan itu. Pasalnya Sean dari kemarin tidak melakukan hal-hal yang diluar batasnya.

Digimana-in?” tanya Teguh.

Semalem pas kita bubar dari ruang theater gua denger ada orang yang berenang, gua nggak yakin Bang Luthfi denger. Soalnya dia kalo tidur nggak mudah terganggu sama suara-suara,” jawabnya.

Luthfi mengangguk setuju, “iya, gua nggak denger apa-apa.

Kucing kali itu kecebur,” ucap Sagara yang berniat untuk berpikiran positif.

Oh iya, sekalian deh gua mau nanya. Lu semalem ngapain malu dinding sih, Dri?” Wira menolehkan wajahnya ke arah jam 4- tempat Adrian berada.

Adrian yang mendengar itu hanya bisa menaikkan alis kirinya, “hah? Gua semalem tidur di kamar si Derry.

Wira hanya bisa terdiam kaku setelah mendengar penjelasan dari penghuni kamar sebelahnya. “Jangan bercanda, nggak lucu sumpah.

Derry pun menggelengkan kepalanya. “Dia emang nginep di kamar gua Bang,” jawab Derry seraya memberikan fakta bahwa benar semalam itu Adrian numpang tidur di kamarnya.

Haha, udah yuk udah. Ngapain sih siang-siang cerita ginian, mending masak nggak sih? kita ngeliwet. Gua deh yang masak,” ucap Tedja sambil tertawa begitu kaku. Para penghuni pun langsung menyetujui perkataan dari Abang tertuanya.


Kini di atas meja pun kini sudah dipenuhi oleh selembaran uang untuk diadakannya makan bersama. Mereka sedang membagi jobdesk agar sesi makan bersama dapat berjalan dengan lancar.

Mario Haekal lu berdua yang belanja ya,” ucap Jordi.

Haekal menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Ia tidak setuju dengan perkataan dari Abangnya. “NGGAK MAU, GUA MAU TIDURRR.

Yaudah biar gua sama Bang Mario aja yang belanja,” ucap Nalen sambil berdiri dari duduknya. Mario yang melihat kegiatan itu pun langsung mengikutinya.

Kirim daftar belanjannya sekarang,” perintah Mario. Tanpa lama Juan pun segera mengirimkan daftar belajaannya.

Mario mengacungkan jempolnya di udara, “gua sama Nalen bebas dari bebersih sama cuci piring ya,” ucapnya sebelum ia melangkahkan kedua kakinya menuju garasi kontrakannya.

Mau capcipcup atau mau ngajuin diri nih?” tanya Rendi.

Capcipcup,” jawab mereka dengan serempak.

Gua, Tio, Kenan, Teguh, Chakka, dan Jeffan nggak termasuk ye. Kita divisi masak,” ucap Tedja.

Gua, Luthfi, Iduy, sama Jevon juga bebas ye. Kita yang cari daun pisang ke kebun orang,” ucap Jordi.

Mereka- Sagara, Haekal, Derry, Juan, Wira, Donny, Sean, Yoyo, Jio, Rendi, dan Adrian pun tak terima. Namun percuma saja karena mereka akan kalah.

Gua rasa si Jio bebas tugasin aja dah nggak apa-apa,” ucap Haekal sebelum mereka melakukan hompimpa.

Mereka mengangguk setuju, “Loh, kok Jio nggak boleh ikutan?” tanya Jio dengan raut penuh tanya.

Nggak apa-apa, lu nanti bantuin divisi yang kurang aja,” jawab Juan. Kemudian Jio pun hanya mengiyakan pernyataan dari Abangnya.

Hompimpa Alaium Gambreng, Mak Ijah pake baju gombreng. Sekali Jadi,

Jadi,

Jadi,

Hahayy, Sagara, Derry, Ekal, Juan, sama Bang Donny divisi cuci piring. Sisanya divisi nyapu sama beresin ye,” ucap Juan yang diangguki oleh seluruh penghuni kontrakannya.

Akhirnya mereka pun mulai berpencar sesuai jobdesk-nya masing-masing. Ada yang belanja ke supermarket, ada yang sedang berburu daun pisang ke kebun orang, ada yang sedang bersiap-siap untuk memasak, ada yang sedang membereskan rooftopnya, bahkan ada yang sedang tiduran dan bermain games hingga jobdesk-nya akan terpakai nanti.


Kontrakan Adarusa.

by NAAMER1CAN0

cw // harsh words


Listen this: https://open.spotify.com/track/6VgyRGeR4cw6yNGazjGFhu?si=cee17b5e16ad4f18


Gua kecewa tapi gimana ya, gua juga nggak bisa marah sama mereka,” ucapnya. Ia turun dari motornya lalu bergegas untuk memasuki kontrakannya, tak lupa sebelum masuk ia menutup gerbang terlebih dahulu.

Assalamualaikum.” Derry menghela nafasnya setelah salam yang ia ucapkan tak kunjung mendapat jawaban.

Kenapa gelap banget sih, ini orang-orang pada kemana emangnya?” Ia melangkahkan kakinya untuk menyalakan lampu, namun nihil. Lampu tersebut tak mau menyala. “Wah parah, jangan-jangan belum isi token.

Ia pun mengeluarkan benda persegi yang berada di kantong celananya dan langsung menghidupkan flash. Kedua kakinya kini ia langkahkan ke lantai 3 tempat adik bungsunya berada.

Jio? Ini obat maagnya udah abang beliin, udah makan belum? Nih abang sekalian beliin pecel ayam kesukaan Jio,” ucap Derry setelah tiba di depan pintu kamar adiknya.

Tok. Tok. Tok.

Jio?” panggilnya kembali untuk memastikan. Ia pun membuka knop pintu untuk memastikan apakah kamarnya terkunci atau tidak, “lah dikunci, ini anaknya kemana ya?

Kini ia pun sudah berada di depan pintu kamarnya. Clek. Pintu pun sudah terbuka. Pemandangan yang pertama kali ia lihat hanya keadaan gelap gurita, sialnya handphonenya pun kini telah mati total akibat sang empu lupa untuk mengisi baterainya.

Anjirlah, udah sendirian lampu mati, handphone mati. Apes banget gua hari ini, mana anak-anak nggak inget ultah gua.” Derry kini menutup pintu kamarnya, dengan perlahan ia mulai memasuki kamarnya.

Duarr.

Hari ini hari yang kau tunggu Bertambah satu tahun usiamu, bahagialah kamu Yang kuberi bukan jam dan cincin Bukan seikat bunga, atau puisi, juga kalung hati

Maaf, bukannya pelit Atau nggak mau ngemodal dikit Yang ingin aku beri padamu doa s'tulus hati

S'moga Tuhan melindungi kamu Serta tercapai semua angan dan cita-citamu Mudah-mudahan dib'ri umur panjang Sehat selama-lamanya

Hari ini, hari yang kau tunggu. Bertambah satu tahun, usiamu, bahagialah kamu,

Riuh suara nyanyian kini telah mengisi kamarnya. Ia terdiam dalam langkahnya, mulutnya menganga seakan bahwa dirinya tak menyangka bahwa anak-anak kontrakan bisa melakukan hal yang kini berada di depan matanya.

Derry tak mampu untuk menahan tangisnya. Kini kedua kakinya tak mampu lagi untuk menopang beban tubuhnya, ia ambruk bersama tangisan yang perlahan mulai keluar. Entahlah, setiap di hari lahirnya ia selalu menjadi pribadi yang lemah dan sensitif. Terbukti dengan saat ini apa yang sedang ia lakukan. Bahunya bergetar dan isak tangis mencelos dari mulutnya.

Udah anjir jangan nangis, sini tiup lilin,” ucap Adrian sambil merangkul bahu temannya.

Derry pun bangkit dari kegiatan sujudnya. Ia berjalan menuju sebuah benda kecil yang menerangi pandangannya. Tangannya dia bawa menuju dadanya serta tak lupa memejamkan matanya. Mulutnya seperti sedang mengumamkan sebuah mantra- dia sedang berdoa. Ia berdoa supaya mereka semua dapat menemukan kebahagiaannya masing-masing, ia berdoa semoga mereka semua dapat sukses di kehidupan selanjutnya, dan ia berdoa semoga mereka dijauhkan dari hal-hal buruk.

Aamiin,” ucapnya sebelum akhirnya lilin itu menghentikan cahaya penerangan.

Happy birthday bro!” ucap Mario sambil memeluk tubuh Derry dengan cepat. Punggungnya ditepuk seakan mengartikan bahwa ia telah melakukan hal yang sangat baik. “Thank you, Mario.

Abang Derry, selamat ulang tahun!

Makasih Jio,

Oh iya, itu obat maagnya abang gantungin di pintu. Sekalian sama nasi pecelnya, takutnya kamu belum makan,” lanjut Derry.

Jio menggeleng pelan, “Jio enggak maag, itu cuman pura-pura biar kita tau Bang Derry udah mau pulang atau belum, hehe.

Derry pun tersenyum. Ia sangat bahagia bisa dipertemukan dengan kedua puluh dua saudaranya, mestipun terkadang tingkah mereka selalu membuat dirinya kesal, namun itu semua tak ada artinya dibandingkan kebahagiaan yang telah ia dapatkan.

Jangan galau lagi, kita semua inget kok ulang tahun lu,” ejek Jordi. “Yaelah Bang, namanya juga lagi kecewa,” timpal Derry tak lupa dengan kekehan khasnya.

Oh iya, kita punya sesuatu buat lu. Eh Tio nyalain dong saklar lampunya, pengep anjir dipikir-pikir,” ucap Iduy. Tio yang disuruh pun hanya bisa menganggukinya.

Nah gini kan enak, ayo kita punya sesuatu buat lu,” ucap Tedja. Tangannya ia raih untuk menyeret Derry.

Haekal dan Yoyo pun membawa tas, dompet, serta handphone yang berada di dalam saku temannya.

Perasaannya kini mulai tidak enak. Di sebelah kiri ia diapit oleh Luthfi, sebelah kanan ia diapit oleh Jordi, di depannya ada Tedja lengkap dengan tangan yang masih berpegangan pada tangannya, serta di belakang diikuti oleh penghuni kontrakan lain.

Tedja mengangguk. Jordi, Luthfi, Mario, dan Iduy pun kini telah mengangkat badan Derry. Derry tak bisa menghentikan teriakannya.

Anjir, anjir apaan nih? kok gua diangkat-angkat!” teriak Derry setelah merasakan badannya diangkat. Kakinya ia bawa untuk melepaskan dari genggaman teman kontrakannya, namun nihil. Tenaganya tidak sekuat tenaga mereka.

Satu, dua, tiga ...,

Byurrr.

BANGSAT DINGIN ANJING!” teriak Derry setelah merasakan bahwa badannya dihempaskan pada sekumpulan air.

Suara tawa pun kini memenuhi pendengarannya.

Woi Bang Derry! liat sini,” ucap Jevon. Mau tak mau Derry pun memandangi teman kontrakannya.

Happy birthday!” ucap mereka dengan serentak.

Banner yang telah dipesan oleh Jevon pun kini telah dibentangkan di depan mata sang empunya. Derry hanya bisa tertegun setelah melihat desain dari bannernya. Entah dirinya harus senang atau sedih, ia sendiri bingung.

YA ALLAH JELEK AMAT GUAAA,” ucap Derry setelah melihat isi banner dari yang telah ia lihat.

NGAPAIN PAKE BANNER, GUA BERASA MAU NYALONIN JADI KETUA HIMA AJA DAH,” ketus Derry.

Nggak apa-apa, biar beda aja,” timpal Juan.

Tak hanya Derry, kini mereka pun sedang menjahili satu persatu penghuni kontrakan untuk memasuki kolam renangnya.

ANJING, GUA NGGAK MAU BASAH-BASAHAN YA,” teriak Nalen saat ia merasakan dorongan pada punggungnya yang berasalkan dari Haekal dan Jevon.

Yaelah ribet amat,” ucap Jordi. Ia pun mendorong ketiga adiknya agar masuk ke dalam kolam renang.

Byurrr.

BANGSAT BANG JORDI!” umpat mereka bertiga secara serempak.

Akhirnya mereka pun kini sedang asik bermain di dalam kolam renang. Untung saja kolam renang yang berada di kontrakan cukup luas sehingga tak masalah jika diisi oleh seluruh penghuni.

Derry pun tersenyum bahagia setelah merasakan kehangatan dan kasih sayang yang diberi dari keluarga barunya. Senyuman itu tak pernah lepas dari wajahnya, ia sangat bahagia. Benar-benar bahagia. Entah mengapa ia sangat menantikan tanggal di hari kelahirannya, salah satu alasannya karena ini. Ia selalu mendapatkan kehangatan yang diberikan oleh penghuni kontrakannya, bukan hanya sekali, bahkan dua kali dengan hari ini. Ia sendiri semakin tak sabar untuk merasakan kehangatan di tahun selanjutnya. Semoga mereka semua tetap sehat agar bisa merayakan secara bersama-bersama.

Ada satu permintaan yang sengaja ia tak beritahu, permintaan tersebut permintaan bahwa mereka akan hidup bersama selamanya hingga maut memisahkan. Namun sedikit mustahil karena ia yakin bahwa penghuni kontrakan pasti memiliki tujuan hidupnya masing-masing. Tetapi tetap saja, ia berharap itu bisa terwujud.

Happy Birthday Huang Guanheng, Hendery.


Kontrakan Adarusa special edition Hendery Birthday.

by NAAMER1CAN0

“Aa, adek marah ya sama Aa!” ucap si bungsu lengkap dengan bibir yang dilengkungkan ke bawah.

“Adek, sumpah Aa nggak sengaja,”

“Lagian, adek kenapa susun legonya di depan pintu?” bela si sulung yang tak mau kalahnya.

“Tuhkan! bukannya minta maaf malah nyalahin adek!” Rafathar menyimpan kedua tangan di pinggangnya, matanya melotot seperti akan keluar dari bola matanya. “Adek sebel sama Aa.”

Rafen pun panik setelah mengetahui bahwa adik bungsunya kini berlari sambil menangis.

“Demi Ael capek buatin eh malah diancurin Aa, wajar si Adek kesel,” ucap Rafael. “Kalo kata Ael mah GWS aja weh A,” lanjutnya sambil berlalu untuk menyusul ke mana arah adiknya berlari.

“Ya Allah, mati aja ini mah Aa ...,” gumam Rafen.

Flashback on.

“Aa temenin adek, susunin lego yang baru dibeliin mamah kemaren,” ucap Rafathar setelah dirinya membuka pintu kamar si sulung tanpa izin.

“Adek kalo masuk kamar orang itu diketuk dulu,” jawabnya.

“Ih!”

Rafathar pun berbalik dan menutup pintu. Lalu tangannya ia bawa untuk mengetuk pintu yang terbuat dari kayu.

Tok. Tok. Tok.

”...,” Rafen menghela nafasnya. Padahal maksud dirinya itu jika nanti adiknya mau memasuki kamar orang jangan lupa izin dulu, tapi ... yasudahlah namanya juga anak kecil.

“Aa lagi ngerjain tugas, sama A Ael dulu,” jawabnya.

Rafathar hanya bisa memanyunkan bibirnya, dengan bahu lemas akhirnya ia pun berjalan menuju kamar kakak tengahnya.

-

Di sinilah mereka berdua. Mereka kini sedang mengeluarkan beberapa mainan legonya. Dahi Rafael pun mengeluarkan beberapa garis yang menandakan sang empu sedang kebingungan.

“A Ael ayo mulai!” ucap Rafathar tak sabar.

“Bentar, A Ael nggak tau caranya. Ini A Ael lagi baca dulu petunjuknya.” Rafathar pun hanya bisa duduk terdiam dan menunggu pergerakan dari kakaknya.

Akhirnya setelah menunggu sekitar sepuluh menit, Rafael pun kini memulai untuk merancang lego adiknya. Tercipta jelas binar di bola mata adiknya yang mengartikan bahwa ia sedang antusias melakukannya.

“Yang ini A Ael.” Rafathar menunjuk lego di depan kakinya.

Rafael menoleh sekilas, “iya, abis ini lanjut yang itu. Sebentar.”

Setelah satu jam akhirnya mainan itu pun sudah tersusun dengan sempurna. Peluh keringat di dahi Rafael pun kini sudah bisa ia usap oleh kedua tangannya.

“YEAAAY!”

“RAFATHAR SAYANG A AEL!” Antusias Rafathar saat legonya kini selesai dirakit.

Rafathar pun langsung memeluk Rafael dengan erat. Mau tak mau Rafael pun ikut bahagia dan memeluk kembali tubuh kecil adiknya. Rasa lelah dan pusing yang dirasakan olehnya kini berganti menjadi rasa bahagia.

“A Ael cepet fotoin! Adek mau pamer ke papah,” ucap Rafathar. Rafael pun hanya bisa menuruti perintah dari adiknya.

Brakk.

Kebahagiaan itu pun hanya sesaat, kini susunan lego pun sudah hancur lebur karena keteledoran seseorang.

Flashback off.

-

Kini Rafen pun sedang membereskan beberapa mainan yang hancur karena ulah kakinya. Ia rela untuk saat ini kesalahan pada dirinya, padahal jika dilihat ia sendiri tak sepenuhnya salah. Lego itu disusun percis di tengah-tengah antara depan pintu Rafathar dan Rafen. Sehingga, kejadian yang tak diinginkan pun terjadi.