NAAMER1CAN0


Sambil dengerin ini yaa: https://open.spotify.com/playlist/1FhKKjpfjPMvsEog6XmioN?si=e1b5492e246247d3


Suara baritone itu mampu mengusik kegiatannya dalam memandang dan merekam akan keindahan malam hari ini yang telah dielu-elukan dalam hatinya. Mobil yang ditumpanginya telah berhenti dan terparkir pada suatu tempat yang telah dijanjikan lelaki itu sebelum mengantarkannya pulang. Grace menukikkan alisnya ketika netranya memandang objek di depannya yang hanya dipenuhi oleh pepohonan yang rindang. Bahkan, Grace tidak bisa melihat objek lain selain pohon-pohon itu.

“Kamu mau ngajak aku buat liat dan identifikasi pohon-pohon kah?” tunjuk Grace tanpa mengalihkan pandangan pada seseorang di sebelahnya.

Jagat merespon pertanyaan Grace dengan kekehan kecil. Dia mulai menarik rem mobilnya dan menekan salah satu tombol yang kemudian sebuah suara mulai terdengar dari arah belakangnya.

“Ikutin aku, ya, bawa arum manisnya.”

Sebelum meninggalkan kemudinya, Jagat memutarkan sebuah playlist musik secara sembarang terlebih dahulu untuk menemani kegiatannya malam ini. Setelah semuanya sudah siap, kemudian pintu mobil itu dia buka dan mengayunkan tungkainya untuk keluar dari kendaraan roda empatnya. Grace masih dipenuhi oleh tanda tanya namun dia pun segera mengikuti apa yang dilakukan lelaki itu, tak lupa meraih makanan arum manis yang telah dibelinya di tempat pasar malam sebelumnya.

“Sini duduk.” Jagat menepuk tempat kosong di sebelahnya yang sudah dia rapikan agar perempuan itu bisa duduk dengan nyaman.

Grace pun hanya mengangguk dan mengikuti perintahan itu untuk duduk di sebelah kekasihnya. Matanya refleks melebar saat melihat pemandangan indah tanah Pasundan tepat berada di depannya. Mulutnya membulat buat Jagat yang melihatnya otomatis mengulurkan tangan untuk mengusak rambut hitam lebat perempuan yang masih membeku; merasa takjub akan keindahan malam hari ini di ketinggian 700 mdpl.

“Aku kira kamu ngajak buat belajar tentang pohon-pohon yang ada di sini.”

Ucapan itu sukses menghantarkan getaran kecil pada tubuh Jagat. “Nggaklah, ngaco.”

“Kan kirain.” Grace memperlihatkan deretan giginya sembari menggaruk asal pelipisnya. “Ngomong-ngomong, kamu kenapa ngajak aku ke sini?” tanya Grace, menatap lelaki di sampingnya. Hingga detik kesepuluh lelaki itu tak kunjung menjawab pertanyaannya membuat Grace mendecak kesal.

Merasa tak diacuhkan, maka dia pun berinisiatif untuk membuka camilan yang masih berada di genggamannya. Grace perlahan menjumput sedikit demi sedikit camilan yang memiliki citra rasa manis itu untuk segera dimasukan ke dalam mulutnya.

Sadar akan sepasang mata yang sedang memperhatikan gerak-geriknya, lantas dia segera menoleh dan menyodorkan camilan ke arah lelaki itu. Namun hanya sebuah gelengan yang dia terima. Grace sendiri tak mau ambil pusing setelah lelaki itu menolak tawaran darinya. Dia pun mengulangi kegiatan yang sama untuk menjumput arum manis itu untuk dia makan. Namun alih-alih hinggap dalam mulutnya dan melebur, arum manis itu telah berpindah tangan pada lelaki yang sebelumnya menolak makanan itu dengan cuma-cuma.

“Katanya nggak mau!”

“Nggak mau kalau ambil sendiri, maunya diambilin.” Setelah ucapan itu selesai dia tuturkan, arum manis yang berada di tangannya segera dia masukkan dalam mulutnya. Rasa manis pertama kali dia rasakan yang kemudian mulai melebur dalam mulut dan mengaliri tenggorokannya dengan lihai.

“Manja,” ketus Grace yang dibalas juluran lidah oleh sang empu. “Biarin.”

“Mau lagi nggak?” Grace menyerahkan sejumput arum manis itu persis di depan mulut Jagat, akan tetapi dibalas gelengan oleh lelaki itu. “Nggak, buat kamu aja.”

“Aku nggak bakalan nawarin buat kedua kalinya, nih.”

Grace berancang-ancang mengeluarkan kata-kata ancamannya karena dia tidak mau apabila lelaki itu kembali mengusiknya saat menikmati sebuah jajanan yang disukainya.

“Enggak, sayang. Abisin aja, buat kamu semuanya.”

Grace mengangguk paham dan mulai kembali menikmati camilan itu yang sempat terhenti. Jagat yang memandang itu hanya dapat menggelengkan kepalanya ketika rambut milik perempuan itu acapkali ikut termakan.

“Makasih!” Jagat tersenyum kala perempuan itu merapalkan kata terima kasihnya atas bantuan darinya untuk menyelipkan rambut Grace ke belakang telinganya, agar lebih memudahkan perempuan itu dalam menikmati jajanannya.

“Sepuluh Januari yang lalu aku nggak pernah ngerasa nyesel karena udah telat masuk sekolah dan ikut ide konyol Harri buat lewat gerbang depan.”

Guratan-guratan halus mulai terlihat pada dahi Grace. Dia kebingungan mendengar lelaki itu secara tiba-tiba menceritakan pengalaman pada dirinya. Masih dengan mulut yang sibuk mengunyah arum manis, Grace menolehkan wajahnya ke lelaki itu dan menaruh atensinya secara penuh. Sedangkan sang empu memandang objek di depannya tanpa ada melibatkan sebuah kedipan.

“Terus, terus!”

“Aku minta bantuan Rakha sama Jaya buat bawain tas yang kita berdua lemparin lewat kantin Ibu Lilis, abis itu kita jalan lewat gerbang pura-pura abis fotokopi tugas.” Jagat mulai mengedipkan matanya perlahan karena merasa matanya sudah tak kuasa menahan rasa perih akibat terpaan angin di sekitarnya. “Abis itu kita bawa tas ke ruang OSIS karena Rakha taro di sana. Waktu perjalanan aku nggak sengaja nemu sosok perempuan yang entah mengapa terasa sangat menarik di mataku.” Dia terkekeh pelan tatkala sebuah potongan-potongan kejadian itu mulai mendatangi ingatannya kembali.

Grace tidak ingin memotong cerita yang sedang disenandungkan kekasihnya, sehingga dia hanya bisa bergeming sembari membuka lebar-lebar telinganya untuk mendengarkan setiap kata-kata yang diucapkan Jagat.

“Dari situ aku mulai cari tau dia siapa, awalnya mau nyerah karena setelah itu aku nggak bisa nemuin dia lagi. Tapi, takdir seakan ngasih kesempatan buat cari tau tentang dia. Karena setelah itu aku berhasil ketemu dan tau namanya setelah menyerahkan formulir ekstrakurikuler fotografi.” Jagat menolehkan wajahnya dan memberikan sorot mata yang dalam bagi Grace yang melihatnya. “Namanya Grace Mega Safeera, dia seorang sekretaris fotografi. Ekstrakurikuler yang aku ikutin setelah satu semester lamanya aku buat mempertimbangkan antara gabung dan nggak.”

Awalnya Grace sedikit terkejut saat menyadari bahwa lelaki di sampingnya tak lain sedang menceritakan awal mula bisa bertemu dengannya. Padahal sebelumnya Grace mengira lelaki itu sedang menceritakan perempuan lain.

“Aku merasa beruntung dipertemukan sosok perempuan perhatian, penyayang, lemah lembut kayak kamu.” Jagat menengadahkan tangan kirinya di depan wajah Grace, yang kemudian tak lama Grace segera menautkan tangan miliknya dengan milik Jagat.”

“Mega, setiap kali aku berdua sama kamu jantung aku nggak pernah nggak berdetak dengan normal. Bahkan hanya dengan liat kamu aja mampu menaklukan detak jantungku.” Jagat membawa kedua tangan yang sedang saling menggenggam itu ke depan dadanya. Tiap detakan jantung yang kian dirasakan Grace cukup membuat rasa panas yang menjalar di kedua pipinya.

“Aneh, ya. Padahal udah hampir tujuh bulan lamanya kita bersama, tapi detak jantung ini nggak pernah merasa bosan buat berpacu cepat waktu berada di sisi kamu.”

Jagat mulai melonggarkan tautan mereka lalu perlahan terlepas. Tersangka kini telah berdiri menjadikan kedua tungkainya sebagai tumpuan dalam berpijak.

“Sebentar, aku ada sesuatu,” pamit Jagat. Grace sendiri tidak mengetahui ke arah mana lelaki itu berjalan. Tak lama Jagat kembali dan mendudukan pada posisi semula. Dia kembali dengan sebuah benda yang berada di kedua tangannya.

“Kita liat bintang dan bulan pakai teropong ini.” Jagat menyerahkan satu buah benda itu dan segera Grace raih karena dia pun sangat menginginkan untuk melihat benda-benda itu dengan jelas menggunakan matanya sendiri.

Melihat rasa antusias yang diberikan perempuan itu setelah menikmati kegiatan meneropong bintang-bintang di langit malam, membuat Jagat segera menyusulnya.

“Yang itu bintangnya cantik banget mana paling terang di antara semua bintang!”

Itu menjadi satu kalimat pertama yang Grace ucapkan seusai meneropong langit malam dan memperhatikan setiap inci bintang-bintang di langit. Telunjuknya masih sibuk menunjuk pada bintang yang dimaksud dengan harapan bahwa Jagat akan ikut menyetujui dengan ucapannya.

Alih-alih menyetujui Jagat malah menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan sebuah tuturan yang diucapkan kekasihnya.

“Nggak, ada yang lebih terang kalau kamu jeli.”

“Yang mana emang versimu?” tanya Grace penuh penasaran, masih dengan matanya yang sibuk menatap langit sembari menyipitkan matanya.

Jagat tersenyum simpul. “Kamu.”

“Hah?” balas Grace penuh tanda tanya yang menyertai dirinya.

“Kamu bintang paling terang di mataku.”

“Tapi aku Awan bukan Bintang.”

“Di mataku kamu Awan yang indah dan Bintang paling bersinar.”

Seketika Grace membisu, tak mampu menimpali ucapan itu sebab kini gilirannya untuk merasakan degup jantung yang mulai berdetak dengan cepat selepas telinganya dengan jelas mendengar sebuah gombalan itu. Sedangkan sang empu hanya tertawa, menikmati kegiatan dirinya yang perlahan membisu.

Kamu ganteng banget.

Makasih udah mau bertahan samaku, ya.

Aku sayang kamu, Jagat.

Runtutan kalimat itu Grace ucapkan dalam hatinya, sebab mulutnya masih kesulitkan untuk sekadar mengucapkan sepatah kata. Bahkan apabila mulutnya tidak sedang kesusahan pun dia akan tetap memilih jalan yang sama yaitu mengucapkan dalam hatinya. Dia cukup malu untuk mengatakannya secara terang-terangan.

“Gini, ya, rasanya.”

Kata-kata yang terucap dari bibir Grace berhasil membuat Jagat menolehkan wajahnya dengan penuh tanda tanya. Bukan hanya Jagat, Grace pun terkejut setelah menyadari ucapannya bisa dia ucapkan dengan normal kembali.

“Rasanya apa?”

“Setiap kali panggil kamu sayang, perutku mules sendiri, terus abis itu jadi aneh perutnya.”

Jagat tertawa ketika kejadian yang sedang dialami Grace persis seperti dirinya dulu saat bibir manisnya tak sengaja melontarkan sebuah panggilan yang tak biasa dia ucapkan.

“Sering dilatih aja, coba.”

Seperti sedang ditantang, dia pun mulai berancang-ancang untuk mengatakan sebuah kata yang selalu membuat dirinya salah tingkah setelah mengatakannya.

“Sayang, sayang, sayang, sayang!”

“Ih, perutku makin mules!” lanjut Grace sembari memegang perutnya yang terasa sangat aneh. Aneh karena ini bukan seperti rasa mules yang biasanya dia rasakan.

Lagi-lagi Jagat melantunkan tawanya, dia menarik pelan pipi kekasihnya itu akibat rasa gemas yang tak bisa lagi dia tahan sekuat tenaga sendirian.

“Nggak usah dipaksa kalau gitu.”

“Nggak apa-apa kalau aku panggil kamu Agat aja? Itu panggilan khusus dari aku untuk kamu, kok. Panggilan sayang dariku, jangan ada yang manggil kamu dengan sebutan itu selain aku!”

“Iya, Meggie. Kamu nggak akan manggil aku Jagatie aja?”

“Nggak mau ah jelek.”

Hanya dengan satu kata mampu membuat gelak tawa keduanya melayang membuat suasana kian hangat di antaranya.

Perlahan orang-orang di sekitarnya mulai berduyun-duyun untuk meninggalkan tempatnya ini dan menyisakan dua kendaraan roda empatnya yang masih terparkir. Kendaraan miliknya dengan kendaraan milik seseorang di arah utara yang jaraknya mulai terpaut beberapa meter dari tempatnya berada—di arah timur.

“Mega.”

Keheningan yang berada di situasinya saat ini membuat Grace mampu mendengar panggilan dari Jagat dengan jelas. Grace menolehkan wajahnya dan menatap kedua bola mata Jagat dengan lamat. Dia memiringkan kepalanya untuk memberikan sebuah respons dari panggilan yang tak kunjung dilanjutkan alasan sang empu memanggil namanya.

Jagat menghela napasnya pelan, dia membawa jemarinya untuk merapikan rambut Grace yang berantakan akibat tertiup angin malam. Kemudian laki-laki itu tersenyum sembari mengusap punggung tangan Grace.

Jij bent mooi.

Seakan paham dengan raut wajah itu Jagat kembali melanjutkan ucapannya. “Kamu cantik, Mega.”

Grace tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya untuk mengelus surai lelaki di hadapannya. “Jangan ada yang ngelus rambut kamu kayak aku ngelus rambut kamu, ya. Jangan ada juga yang berani rapiin rambut kamu, terkecuali Ayah dan Bunda.”

“Iya, sayang.”

“Jagat.”

“Iya?”

“Aku sayang kamu.”

Berbeda dengan sebelumnya acapkali dia mengatakan sebuah kata yang mampu membuat perasaannya tak karuan, kini setelah ucapan itu berhasil dia lontarkan ada perasaan lega menjelajahi dirinya.

Jagat mengulas senyumnya dan mengangguk seraya paham dengan tuturan itu. Tanpa harus dia deklarasikan pun Jagat sangat paham bahwa mereka berdua memiliki perasaan yang sama.

“Aku, tau. Aku juga sayang sama kamu. Perjalanan kita masih panjang. Kita berjuang sama-sama, ya?”

Bahkan tanpa harus dijawab pun Jagat sudah tahu dengan jawaban darinya. Jawabannya iya, akan selalu iya. Grace meraih tengkuk Jagat dan membawanya untuk mendekati kepala miliknya. Grace menempelkan kening miliknya dengan kening milik Jagat. Hanya ada deru napas tenang yang mengalun di antaranya.

“Aku izin peluk, ya.”

Jagat langsung merengkuh tubuh Grace dalam dekapannya. Dia mengistirahatkan dagunya di bahu sang kekasih dengan memejamkan matanya sejenak. Seperti alunan musiknya saat ini yang sedang memainkan sebuah lagu yang telah menjadi saksi biru dan saksi pertamanya atas keberanian dia untuk mendekati perempuan itu secara terang-terangan.

Di bawah langit malam dengan pancaran sinar bulan dan ditemani jutaan bintang di sana telah menjadi saksi bahwa kedua insan itu saling mencintai satu sama lain. Perasaan itu tidak akan pernah berubah. Bahkan, setiap harinya perasaan itu kian bertambah.

Jika harus mendeklarasikan secara hiperbola mungkin perasaan cintanya untuk perempuan itu akan sama dengan banyaknya jutaan bintang di langit. Kemarin, hari ini, besok, dan hari-hari yang akan datang dia akan selalu bangga untuk menceritakan tentang perempuan itu kepada orang-orang di sekitarnya, dia akan bangga memberitahu bahwa perempuan itu sangat disayanginya setelah Bunda Tika, Oma Daliani, dan Ibu Laras; Grace. Mereka sama berharganya bagi Jagat. Perempuan-perempuan hebat yang sudah memberikan kasih sayangnya tanpa dimintanya.

And I will love you, baby, always. And I'll be there forever and a day, always. I'll be there 'til the stars don't shine.

Always.

Always.

Karena kemana pun Awan bergerak akan selalu ada Bumi yang menemani. Kemana pun Grace melangkah akan selalu ada Jagat yang mengikutinya, sejauh apapun itu.

Kisah Jagat dan Mega resmi, selesai.


Jij Bent Mooi Universe.

by NAAMER1CAN0


Sambil dengerin ini yaa: https://open.spotify.com/playlist/1FhKKjpfjPMvsEog6XmioN?si=e1b5492e246247d3


Kelap-kelip lampu pancarona mulai memenuhi obsidian ketika langkah mereka berhasil menyambangi tempat destinasinya kali ini. Hiruk-pikuk teriakan, gelak tawa, hingga obrolan dari insan-insan yang memenuhi tempat ini mereka senandungkan dengan lantang seolah-olah mereka menjadi penghuni terbahagia di muka bumi ini.

Perempuan dengan tinggi 165 cm itu sibuk mengamati setiap permainan yang sedang dilewatinya. Jemari tangan kanannya dia tautkan dengan jemari kekasihnya—agar memudahkan keduanya mengunjungi tempat yang akan dituju dan meminimalisir kehilangan jejak.

“Naik itu kayaknya seru,” tunjuk Grace pada salah satu permainan yang dipenuhi pengunjung. Entah dipenuhi pengunjung yang sekadar menonton atraksi secara gratis atau pun pengunjung yang sedang mengantre untuk segera menaikinya.

“Jangan deh, Ay.”

Mimik Grace yang semula dipenuhi rasa antusias kini telah tergantikan dengan raut kecewanya kala sebuah tolakan diserukan oleh lelaki di sampingnya. “Ih … kenapa?”

“Bahaya, cantik. Permainan yang lain aja, ya? Masih banyak, kok.”

Agar tidak melukai hati Grace akibat Jagat yang menolak keras keinginannya, maka tangan Jagat yang terbebas dia bawa untuk mengusap pundak Grace penuh kelembutan.

Kepala Grace secara spontan menunduk setelah lagi-lagi sebuah tolakan telah terlontar dari bibir manis sang kekasih. Dia mengerucutkan bibirnya sembari melepaskan tautan mereka secara sepihak. Jagat hendak melayangkan sebuah protes-an, namun dia kalah cepat dengan Grace yang sudah mendongakkan kepalanya.

Please?

Grace cerdik dalam memanfaatkan situasi di atas kelemahan yang dimilikinya. Terlihat bagaimana obsidian miliknya dengan sengaja menabrak obsidiannya bahkan untuk dia sekadar berkedip pun tidak dilakukannya.

Melihat manik Grace yang menyimpan penuh harapan membuat keteguhannya seketika runtuh hanya dalam hitungan beberapa detik saja. Helaan napas menjadi sebuah reaksi pertama yang dia serukan kala mulutnya sekonyong-konyong membisu untuk sekadar menolak kembali permohonan dari sang empu.

“Sekali aja, ya?”

Bagai orang yang telah mendapatkan sebuah hadiah paling diinginkannya, Grace sontak menganggukkan kepalanya dengan penuh riang. Bibirnya yang sebelumnya mengerucut kini telah tersenyum bahagia lengkap dengan kedua matanya membentuk bak bulan sabit.

Lupa akan presensinya, Grace telah melangkahkan kedua kakinya mendekati tempat hiburan itu tanpa mengajaknya—jangankan mengajaknya untuk menolehkan kepalanya saja dia tidak melakukan hal itu—untuk melangkah mendatangi wahana yang diincarnya. Jagat menyunggingkan senyumannya disertai gelengan kecil tatkala kedua netranya menangkap dengan jelas bagaimana perempuan itu perlahan meninggalkannya seorang dir akibat rasa antusias yang tinggi.

“Bahagia banget kayaknya sampe aku ditinggal,” ucap Jagat penuh sarkasme saat kedua tungkainya mampu mengimbangi langkah perempuan dengan pemilik rambut coklat-hitam sepunggung itu.

Merasa sedang disindir, lantas Grace impulsif meraih lengan kekasihnya untuk segera dia gandeng disertai kekehan kecil dan merapalkan permintaan maafnya.

Untung saja mereka datang dengan cepat, sehingga keduanya tak perlu menunggu lama untuk mencoba wahana yang dielu-elukan sebagian pengunjung.

“Kamu udah pernah naik wahana ini belum?” tanya Jagat dihadiahi sebuah gelengan kecil dari Grace. Mereka berdua sedang menunggu giliran untuk lekas menaiki wahana pertama setelah perdebatan beberapa saat lalu.

Jagat mengangguk merespons reaksi yang diberikan kekasihnya. “Nanti aku duluan ya yang naiknya.” Alih-alih menjawab secara verbal, Grace lagi-lagi membalas ucapan darinya dengan gestur tubuh yang kini telah mengacungkan kedua jempolnya di udara—memberi isyarat dia paham akan perintah itu.

Ombak banyu merupakan wahana yang paling diminati pengunjung pasar malam setelah wahana kora-kora. Dua wahana itu mampu memicu adrenalin bagi siapa saja yang menaikinya, termasuk kedua insan yang saat ini telah terduduk dengan kedua lengannya melingkar pada sandaran di belakangnya.

“Jangan lepas pegangan.”

Jagat mewanti-wanti agar kekasihnya tidak melakukan kegiatan yang akan membahayakan dirinya.

Runtutan perintah itu sudah ketiga kalinya yang diucapkan kekasihnya, bahkan Grace sendiri sangat ingat setiap kata yang dilontarkan. Lagi pula, dirinya tidak mungkin seceroboh itu untuk melakukan kegiatan yang terlihat konyol. Apalagi melakukan hal di luar nalar yang akan membahayakannya sendiri.

Jagat sangat was-was menyadari ini menjadi pengalaman pertama bagi Grace dalam menaiki wahana ombak banyu. Sehingga untuk lebih menyakinkan dirinya, lengan kanannya sudah mengapit lengan kiri Grace agar dirinya bisa memastikan bahwa ini akan lebih aman dari sebelumnya.

“Cantik, kalau sakit bilang, ya.”

Grace sedikit terheran kala untaian kata itu diucapkan lelaki di sebelahnya secara tiba-tiba. Dengan spontan dia menolehkan wajahnya dan memberikan raut harap bahwa Jagat akan menjelaskan secara rinci maksud dari ucapannya itu.

Tanpa mengeluarkan suaranya, Jagat menepuk lengan kiri Grace yang sedang diapit lengan kanan miliknya.

Grace mengikuti arah pandang Jagat. “Oh!” seru Grace setelah merasakan lengannya yang telah ditepuk dengan pelan. “Iya, nanti kalau sakit aku bilang,” lanjut Grace dengan anggukkan kecilnya.

Acapkali Jagat selalu menjaganya secara terang-terangan Grace lagi-lagi merasakan rasa hangat yang sedang menjalari relungnya.

Berbicara tentang wahana ombak banyu, mungkin sebagian orang mengetahui alasan dibalik wahana ini acapkali digemari para pengunjung. Wahana ini tidak hanya berputar, naik, dan turun seperti wahana biasanya. Namun, di dalamnya sudah termasuk atraksi dari para arjuna yang berlari ke sana dan kemari sembari mendorong wahana. Wahana ini tidak sama dengan wahana lainnya yang secara otomatis akan bergerak hanya dengan satu sentuhan saja. Melainkan, wahana ini perlu tenaga ekstra dari sekelompok orang untuk membantu mendorongnya agar dapat bergerak. Dan di sinilah letak keseruannya.

Pekikan pengunjung mengudara, meninggalkan bekas di tempat yang kemudian perlahan pekikan itu melebur dalam indra pendengarannya. Bahkan, alunan musik yang sengaja diputarkan masih kalah kencang dengan jeritan para pengunjung. Entah jeritan ketakutan, kebahagiaan, bahkan jeritan kepuasan yang berlomba-lomba mereka serukan.

“SERU BANGET, AKU SUKA!”

Sekonyong-konyong Grace berusaha berteriak agar suaranya dapat terdengar oleh lelaki di sampingnya, dia masih kalah dengan teriakan penuh histeris dari pengunjung sekitarnya. Dia mendengkus kala menyadari bahwa kekasihnya tak menghiraukan teriakan darinya, terlihat dari kepalanya tak bergerak sedikit pun.

“Ih!” Grace dengan sengaja mencolek bahu Jagat dengan sisa jari-jarinya yang terbebas dengan harapan bahwa lelaki berzodiakan taurus itu akan segera merespons ucapannya.

Merasa ada seseorang yang telah mencolek bahunya, lantas Jagat segera menoleh ke arah samping kanannya; menampilkan Grace yang sedang mengernyitkan dahinya bersamaan dengan bibirnya yang sudah manyun seperti sedang menahan kesal. Jagat mendekatkan bibirnya ke telinga kekasihnya seraya menaikkan alis kirinya. “Kenapa, cantik?” tanya Jagat, sembari menatap intens Grace. Dia takut bahwa perempuan itu sudah merasa tidak nyaman dengan wahana yang sedang dinaikinya.

Sangat pelan namun telinga kiri Grace masih berfungsi dengan baik untuk menangkap ucapan itu.

Melihat tanda-tanda Grace akan balik membisikkan jawabannya, maka dengan cepat Jagat mendekatkan telinga kanannya pada sang empu.

“Wahananya seru banget!”

Setelah mendengar ucapan itu Jagat kembali menjauhkan telinganya dan menatap manik sang kekasih disertai anggukkannya. “Iya, seru!” Jagat merasa lega setelah mengetahui bukan sebuah ucapan tidak nyaman yang keluar dari bibir Grace.

Tak terasa sudah hampir sepuluh menit lamanya, putaran ombak besar sebelumnya kian perlahan memelan. Para arjuna yang memeriahkan wahana itu sudah mengosongkannya. Tidak ada lagi sekelompok lelaki yang berlari dan meloncat; menyisakan dua orang lelaki berada di tengah-tengah lengkap dengan sebuah tangga besi yang dipegangnya.

“Turunnya pake tangga besi lagi?”

Jagat menggeleng membuat Grace lagi-lagi mengernyitkan dahinya. “Terus, turunnya gimana?” Seperti enggan membalas pertanyaan itu dengan ucapan verbalnya membuat Jagat segera menunjuk menggunakan dagunya tepat pada orang-orang di seberangnya yang kini memperlihatkan mereka sedang berbondong-bondong untuk meloncat dari tempat duduknya.

Bola mata Grace melebar. Dia merasa terkejut ketika mengetahui bahwa dirinya harus meloncat dari ketinggian yang tidak bisa terbilang pendek ini. Padahal meloncat bukanlah suatu keahliannya.

“Aku duluan yang turun, nanti tunggu sampe bagian tempat duduk kita ditarik ke bawah baru kamu loncat, ya. Aku bantuin kok, kamu tenang aja.”

Ah. Grace kira dia harus meloncat dari jarak ketinggian tiga meter ini. Entahlah berapa ketinggian secara spesifiknya, namun mungkin tiga meter adalah jarak yang tepat setelah melihat kakinya yang masih menjuntai di udara.

Rasa tegang mulai terasa ketika Jagat sudah meloncat lebih dulu dan merentangkan kedua tangannya tepat di bawahnya. Dia seperti memberi isyarat untuknya segera loncat. Namun, rasa ketakutan dan rasa ragu masih membaluti relungnya.

“Aku tangkep kok, Ay. Kamu jangan takut, percaya sama aku.”

Grace tidak bilang bahwa dia tidak mempercayai kekasihnya. Hanya saja dia sedang mengumpulkan keberaniannya setelah melihat salah satu pengunjung gagal dalam melompat dan terjatuh akibat kakinya mendarat tidak sempurna.

“Mau pake tangga, Teh?” Jagat baru saja akan menyuarakan jawabannya, namun dia kalah cepat dengan Grace yang lebih dulu menggelengkan kepalanya lengkap dengan kata terima kasihnya.

Grace merentangkan kedua lengannya membentuk sudut empat puluh lima derajat ke bawah—berupaya mendekati kekasihnya. Jagat yang mengetahui isyarat itu langsung memegang pinggang Grace menggunakan kedua lengannya. “Lompat sekarang, Ay.”

Lompat sekarang.

Lompat sekarang.

Lompat sekarang.

Grace menghela napasnya terlebih dahulu sebelum akhirnya dia menutup matanya dan mulai menghempaskan badan sepenuhnya ke arah lelaki di bawahnya.

Hap! Wah, beruntung banget aku dapet boneka gede.”

Ucapan Jagat sukses dihadiahi sebuah pukulan kecil dari Grace. Grace mendengkus kala menyadari bahwa dirinya disamakan dengan boneka. Dia senang-senang saja disamakan dengan boneka, karena di matanya boneka sangatlah lucu. Namun, dia sedikit malu karena kekasihnya tak mampu mengecilkan ucapan itu sehingga banyak pasang mata yang sedang menatap ke arah mereka berdua dengan penuh penasaran.

Jagat hanya bisa melantunkan gelak tawanya saat Grace mendorong kecil punggungnya dengan celotehan kecil yang tak kunjung berhenti. Bahkan, mereka berdua kini sudah keluar dari wahana ombak banyu namun celotehan dari kekasihnya tak kunjung mereda.

“Kamu itu katanya nggak suka jadi pusat perhatian, tapi tadi kamu ngomongnya kenceng banget buat semua orang mandang ke kita, tau!”

“Mana aku dikatain boneka terus Abang-abang petugasnya malah ikut ketawa kan aku jadi makin malu, ish!”

Jagat memberi sedikit tekanan yang kuat pada kedua tungkai kakinya agar perempuan di belakang itu tak mampu mendorongnya kembali. Benar saja, dalam hitungan detik Jagat tidak merasakan tubuhnya terhuyung seperti beberapa saat yang lalu.

“Kenapa?” tanya Grace merasakan lelaki itu hanya berdiam diri lalu tak lama membalikkan tubuh dan menatap kedua maniknya.

“Ay, ngegambar, yuk. Kita lomba nanti yang dapet vote paling banyak dapet hadiah dari yang kalah.”

Merasa tertarik dengan perjanjian itu, maka Grace menganggukkan kepalanya tanpa perlu mikir panjang. “Siapa takut!”


Setelah sepuluh menit yang lalu Jagat memberikan sebuah tawarannya, mereka berdua saat ini sedang terduduk lengkap dengan sebuah gambar serta alat lukis di depannya. Banyak pengunjung sekitar yang memenuhi tempat ini untuk sekadar menontonnya, ada pula yang sedang menunggu giliran untuk melukis.

Setelah berdebat untuk menentukan gambar mana yang akan mereka pilih; Jagat bersikukuh ingin menggambar Frozen dan Grace pun menginginkan hal yang sama. Sehingga mereka berdua berinisiatif untuk bersuten untuk menentukan siapa pemenangnya. Seakan Dewi Fortuna sedang berada dipihak Jagat, maka, secara harfiah Jagatlah yang berhak memilih gambar mana yang akan dipilihnya.

“Barbie—”

Yes!

“Buat kamu, Meggie.”

“Ih!”

Grace berdecak kesal ketika menyadari bahwa Jagat bukan memilih gambar tersebut untuk dia sendiri, melainkan untuk dirinya; untuk Grace. Dia yang akan mewarnai gambar barbie.

“Terserah yang menang, yang menang berhak menentukan masa depanmu, Ay.”

Seolah menolak ucapan itu memasuki telinganya, Grace secepat kilat menutup telinganya. Dia tidak mau mendengar ejekan lebih jauh yang dilontarkan kekasihnya itu. Menyebalkan.

Baik Jagat maupun Grace bukan remaja yang kurang bahagia, hanya saja sebuah tawaran yang diiming-imingkan dapat hadiah sangat tertarik untuknya. Terlihat keduanya tak mengeluarkan sepatah kata yang diucapkan, sebab mereka sedang berlomba untuk menduduki titel sang juara. Grace sudah berancang-ancang untuk segera memoleskan cairan berwarna itu untuk pertama kali pada kertas di depannya, namun seseorang di sebelahnya sedari tadi sibuk menyimpan jari telunjuk dan jempol di dagunya sembari menatap lamat-lamat kertas itu tanpa berkedip.

“Frozen itu bajunya warna apa, ya.”

Gumaman dari lelaki itu sontak membuat fokus Grace terpecahkan, mau tak mau Grace menolehkan wajahnya dan memandang Jagat yang belum mengubah posisinya.

“Aduh aku waktu itu nggak inget kamu ngewarnain di Panti, ini adeknya juga baju apa, ya. Kenapa nggak ada Upin-Ipin, ya, padahal kalau ada Upin-Ipin aku jago banget.”

“Aku cek google dulu boleh nggak, sih, Ay?” Runtutan pertanyaan dari Jagat mampu menghentikan Grace dari kegiatannya dan mengalihkan atensinya secara penuh pada lelaki itu yang sibuk bergumam pada dirinya sendiri. Jagat pun menolehkan wajahnya dan menampilkan Grace yang sedang menatap dirinya penuh kebingungan.

“Nggak boleh.”

“Hah … oke deh.”

“Kan, padahal frozennya buat aku aja!”

Sst, kamu diem. Aku lagi berusaha nginget warna bajunya nanti gagal.” Jagat menyimpan jari telunjuk di depan bibirnya sembari meniup kecil untuk memperagakan titahan itu. Matanya terpejam, sebuah usaha agar ingatannya dengan cepat datang.

“Aku kasih clue, ada hubungannya sama salju.”

“Oh, putih!” antusias Jagat riang, matanya sudah sepenuhnya terbuka dengan mulut yang membentuk bulatan sempurna.

“Kamu kenapa diem aja?” heran Grace yang tak sengaja melihat Jagat hanya terdiam tanpa berniat untuk memulai kegiatan melukisnya setelah dia memberikan sebuah clue mengenai warna pakaian kartun itu.

“Kamu bilang putih, kan? Aku udah beres gambarnya, gambarnya kan udah putih. Jadi, buat apa aku warnain lagi. Iya nggak?” bangga Jagat dengan menaik-turunkan kedua alisnya tanpa henti, buat Grace yang melihat itu hanya bisa memutarkan bola matanya malas.

Grace menghela napasnya dengan gusar, sepertinya dia mulai kelelahan dalam menghadapi kekasihnya dengan sifatnya yang baru-baru ini diperkenalkan padanyaa.

“Jagat yang bener, ah!”

“Kan kata kamu putih, aku ikut clue yang disebutin dari kamu aja.”

Ingatkan Grace untuk tidak menggigit gemas lengan kekasihnya saat pulang nanti. Dia saat ini benar-benar tak bisa menahan rasa gemasnya terlihat dari jari-jemarinya yang sedikit mengepal.

“Langit.”

Satu kata namun penuh pertanyaan bagi Jagat yang mendengarnya. Langit katanya. Lantas Jagat segera mendongakkan kepalanya untuk menatap langit malam yang berada persis di atas kepalanya.

“Maksudku, clue-nya langit. Bukan nyuruh kamu buat liat langit!”

“Oh, biru!” ucap Jagat tak lupa mengulangi reaksi yang sama seperti sebelumnya. “Abisnya kamu bilangnya langit aja, Ay. Aku kira kamu nyuruh aku buat liat langitnya ….”

Grace tidak menggubris celotehan tersebut, mungkin dirinya masih sedikit kesal karena gambar keinginannya malah terjatuh ke tangan kekasihnya. Keheningan pun mulai menghantui di antara keduanya yang masih sibuk memoleskan cairan berwarna itu dengan telaten. Bahkan Jagat yang semula terlihat main-main kini sepenuhnya telah berambisi untuk mengalahkan Grace.

“Yah, jelek banget punyaku,” lirih Jagat, tidak percaya diri ketika melihat hasil Grace yang nyaris sempurna itu dibandingkan dengan gambar milik dirinya yang tidak pandai untuk menggunakan cat warna.

Grace terenyuh melihat raut wajah yang diperlihatkan Jagat yang menyorotkan sebuah kekecewaan atas karya hasilnya sendiri. Maka, untuk membantu membuat rasa percaya diri kekasihnya datang kembali Grace mulai asal untuk memoleskan cairan berwarna itu. Rasa keinginannya untuk menang pun mulai sirna dan berharap bahwa lelaki itu akan memang. Tak masalah baginya untuk memberikan hadiah apa yang diinginkan oleh sang pemenang.

“Punya kamu bagus banget, Agat! Liat punyaku salah warnainnya malah jadi kayak gini, ih, bete banget! Kayaknya ini kamu yang bakalan menang, deh! Kamu mau apa cepet biar aku bisa siapin dari sekarang hadiahnya!”

Mungkin bagi sebagian orang ucapan dari Grace seperti sebuah ejekan, namun baginya ucapan itu mampu membangkitkan kembali sisi ambisinya. Dia masih punya harapan untuk memenangkannya, meskipun peluangnya sangat kecil mengingat Grace pandai dalam melukis.

Jagat menjadi orang pertama yang menyelesaikan gambar itu terlebih dahulu. Kedua lengannya dia angkat ke udara berharap akan membantu mengurangi rasa pegal yang menjelari sekujur tubuhnya. Badannya menegak dan tangan kanannya yang mengepal dia bawa untuk memukul kecil pinggangnya.

Tak lama dari Jagat telah menyelesaikan gambar itu, Grace pun menyusulnya yang hanya diselingi beberapa detik saja. Benda pipih yang sedari tadi berada di tas kecilnya sudah dia keluarkan untuk mengambil hasil foto dari gambarnya dan segera membagikannya pada sosial media di salah satu aplikasi berada di ponselnya.

“Kamu post foto ini di twitter, terus nanti suruh pilih di antara dua foto itu who’s better. Nanti yang terbanyak pemenangnya, okay!”

Jagat mengangguk memahami sebuah titahan dari Grace. Dia mengeluarkan ponselnya. Dua foto yang telah diambil oleh Grace ini sudah Jagat sebarkan di media sosialnya, mereka saat ini hanya perlu menunggu beberapa menit saja untuk memastikan gambar siapa yang akan jadi pemenangnya.

Grace mengulas senyumnya dengan penuh kehangatan kala mengetahui bahwa Jagatlah pemenangnya.

“Selamat, Sayang!”

Uluran tangan itu segera Jagat raih untuk membalas ucapan selamatnya. Namun, seketika rungunya tak dapat mencerna ucapan yang baru saja didengarnya. Pandangannya mulai mengabur seolah tidak berfungsi kala perempuan di seberangnya mengucapkan sebuah kata yang sukses menggemparkan hatinya. Lagi-lagi dengan mudah Jagat terlihat salah tingkah hanya dengan satu sebutan itu saja.

“Dua kali ….”

“Apanya dua kali?”

“Nggak.” Jagat menggeleng dan merutuki dirinya saat menyadari gumaman darinya terdengar oleh Grace. “Bukan apa-apa,” lanjutnya.

Jagat mulai melepaskan tangan Grace dan berdiri dari tempat duduknya untuk memberikan akses pengunjung lain mencoba melukis. Jagat kembali mengulurkan tangannya untuk menautkan jari-jarinya dengan jari-jari milik Grace. Maka dengan senang hati Grace menerimanya dan mulai mengikuti langkah ke mana lelaki itu pergi.


Dinginnya angin malam tidak menghilangkan niat kedua sejoli ini untuk menghentikan dalam kegiatan menikmati es krim yang sudah mereka genggam dengan erat-erat. Perlahan kincir bergerak dengan pelan menghantarkan reaksi yang cukup mengejutkan bagi keduanya. Angin malam berduyun-duyun ingin lebih dulu menghempaskan dirinya pada sang empu yang berada di sekitarnya.

Dari semua hadiah yang bisa dipinta kekasihnya itu, pada akhirnya lelaki yang lahir tepat pada hari bumi itu memintanya untuk membelikan es krim nong-nong yang bahkan harganya tidak mencapai lima ribu. Lima ribu saja masih tidak tercapai, padahal mereka berdua sudah memegang es krim tersebut.

Keduanya sibuk mengedarkan indra penglihatan mereka pada pemandangan daerah yang sedang disinggahinya. Bangunan-bangunan itu semakin ditatap semakin kentara keindahannya ketika cahaya itu tanpa permisi mampu menembus kornea matanya. Lampu-lampu itu terlihat seperti titik putih apabila terlihat dari tempat mereka berada, namun ingatannya cukup ahli menyimpan memori keindahan itu.

“Hadiahnya mau ini aja?” tanya Grace, memecahkan keheningan di antara keduanya karena sedari tadi mereka berdua hanya membungkam mulutnya.

“Hm.” Anggukkan dari Jagat dengan sebuah dehaman menjadi jawaban atas pertanyaan yang sudah dia lemparkan kepadanya.

Grace kembali mengatupkan bibirnya ketika melihat perubahan suasana hati yang sangat drastis dari Jagat dibandingkan sebelumnya.

Jika boleh jujur rasanya Jagat ingin segera keluar dari wahana saat ini setelah ingatannya kembali pada hari sebelumnya akibat kesialan yang menimpa dirinya. Makanya sedari tadi Jagat hanya diam sebab terlalu takut kejadian itu akan terulang kembali.

“Jangan goyang.”

Pelan namun cukup mengintimidasi Grace yang secara tidak sengaja mengubah posisi duduknya ketika mereka berdua tepat berada di puncak wahana kincir ini.

“Kamu takut?”

Grace terkekeh pelan tak sengaja melihat jari-jari Jagat yang sibuk menggenggam sisi kirinya dengan penuh penekanan terlihat dari otot-otot tangannya yang mulai mencuat keluar. Bahkan, tanpa lelaki itu jawab pun kini Grace sudah mengantongi sebuah jawabannya.

“Nggak.”

Nggak. Tepat sasaran, Grace sudah menduga bahwa kekasihnya akan menjawabnya seperti itu.

“Oh, nggak takut, ya. Oke, deh nggak takut.”

Ingat sebuah kata-kata tentang semakin dilarang semakin akan dilakukan seseorang? Ini keadaan yang sedang Grace lakukan. Karena Jagat telah melarangnya, maka dia akan terus-menerus melakukannya.

“Ay, please.”

Grace tertawa melihat kedua mata Jagat yang terpejam. Padahal Grace hanya menggoyangkan dengan pelan, namun sepertinya angin malam ingin membuat keduanya memiliki kesalahpahaman.

“Katanya nggak takut?” tanya Grace, alisnya naik menganggap omongan Jagat sebelumnya menjadi sebuah tameng untuk terus dia ledek.

“Iya, iya, aku takut. Udah, Ay, jangan gerak-gerak lagi.”

Terlalu asyik menjahili lelaki itu sampai membuat Grace melupakan hal yang sangat penting. Tetesan-tetesan dari es krim yang sedang dipegangnya mulai mencair dan mengalir melewati jari-jemarinya yang sedang memegang es krim tersebut.

“Aku baru sadar es krim kamu udah ilang.”

“Udah aku abisin sebelum lewatin puncak.”

Grace menggulirkan matanya, sibuk mengingat kapan lelaki itu menyantap es krimnya. Padahal sebelumnya es krim tersebut masih bertengger di atas genggamannya, Grace masih ingat betul. Dia sudah memaksimalkan daya ingatnya namun masih gagal mengingat sehingga tanpa harus menunggu seluruh es krim itu mencair, dia langsung menyantapnya.

“Sampahnya jangan dibuang di sini, sini.” Tangan Jagat menengadah, meminta selembar tisu yang telah dipakai Grace seusai membersihkan jarinya dari tetes lelehan es krim. Grace pun segera menyerahkannya dan diterima dengan baik oleh orang tersebut.

Grace menyatukan kedua alisnya kala melihat tisu tersebut malah dikantongi oleh lelaki itu. “Kenapa malah dimasukin kantong?”

“Biar nggak lupa.”

Entah sudah keberapa kali wahana ini terus berputar, Jagat sendiri tidak ingat. Dia benar-benar tidak ingin melewati puncak wahana ini, itu saja.

“Ay, jangan gerak ….”

“Aku nggak gerak, ish! Itu angin tau, dia mau buat kita berantem kayaknya!”

Seakan lupa dengan ketakutannya, tawa Jagat pecah selepas mendengar tuturan dari Grace. Grace yang sudah mengerucutkan bibirnya, semakin maju karena lelaki itu malah tertawa atas ucapannya. Padahal Grace tidak berbohong bahwa anginlah pelaku utama yang sengaja membuat tempat mereka bergerak.


Jij Bent Mooi Universe.

by NAAMER1CAN0


Sambil dengerin ini ya: https://open.spotify.com/track/4NmiNWf3mFp078EFfvvgnr?si=e02c636d215f422f


Tiap-tiap untaian kata yang terucap dari birai temannya membuat Jagat dengan sukarela membuka kedua telinganya lebar-lebar. Lelaki berzodiakan taurus itu menatap lamat-lamat satu per satu temannya ketika mereka mulai menyuarakan kata demi katanya. Tangannya masih sibuk memasukan berbagai camilan ke dalam mulutnya, seakan-akan camilan itu tidak mempengaruhi konsentrasinya dalam mendengarkan obrolan yang mulai menghiasi suasana di antaranya.

Langit-langit telah menampakkan kiasan warna oranye sejak sepuluh menit yang lalu. Bangku-bangku yang sebelumnya tertata rapi kini telah saling bertumpuk satu sama lain, terkecuali tiga bangku yang sedang mereka singgahi. Bangku-bangku itu terlihat sudah rapuh, namun ketika diduduki malah berbanding balik dengan sebuah fakta tersebut, karena kini satu bangku panjang itu telah berisikan tiga orang untuk menduduki di atasnya—bangku yang cukup kokoh dalam menopang beban tubuh ketiganya.

“Minum, Gat?” tawar Aksara yang dihadiahi sebuah gelengan kecil dari Jagat. Melihat sebuah tolakan itu membut Aksara dengan segera meneguk minuman berwarna hitam yang mengandung kafein.

Maneh inget nggak anjir beungeut si Jagat pas datang ke sekolah ini planga-plongo pisan, bangsat!” seru Harri, sang empu hanya bisa terkekeh ketika ingatannya menampilkan kembali kejadian tersebut.

Beungeut (kasar) = muka.

Hari itu tiba ketika dirinya mengharuskan mengikuti perintah dari sang Ayah untuk ikut berpindah ke kota pasundan; tanah sunda. Jagat dibuat kikuk menyadari perbedaan gaya bahasa saat kedua kakinya telah berpijak sempurna di tengah-tengah bangunan sekolah yang sudah ada dari jaman kolonel.

“Terus, ya, anjir. Aing ngajak dia kenalan malah nyebutin hari coba, anying! Padahal aing teh lagi bilang kalau nama aing ‘Harri’. Agak heran aing sama popolian si Jagat waktu itu.”

Popoloan (kasar) = pikiran.

Gelak tawa mulai mereka senandungkan dengan kompak, mereka saling bernostalgia untuk mengingat kejadian-kejadian konyol telah menghiasi hidupnya yang terkesan monoton.

Sebenarnya Jagat bisa saja mengeluarkan pembelaannya terkait ucapan yang baru disuarakan oleh Harri dengan lantangnya. Namun sepertinya hanya berdiam dan mengamati suasana hangat di sana pun sudah lebih dari cukup baginya.

“Apalagi waktu si Ajay panik beli ayam goreng anying gara-gara si Jagat cuman bawa bekel nasi sama bumbu apa sih aing lupa, cuy.”

“Teriyaki nggak sih, Gat?” tanya Jaya memastikan.

“Iya teriyaki,” sahut Jagat disertai anggukkan. Dua kata tersebut mampu menurunkan ego Jagat dalam menahannya untuk tidak mengeluarkan satu patah kata.

Obrolan-obrolan itu tak kunjung mereka hentikan, bahkan obrolan nya saat ini telah diiringi oleh sebuah lelucon yang tak pernah luput ketika mereka sudah saling berhadapan di atas meja; menyatukan keenam pola pikir menjadi satu tujuan; menyuarakan dengan lantang tiap-tiap kejadian yang pernah mereka alami.

Aing masih inget si burung Yolan sama si Aksa datang ka kelas pas pelajaran fisika, terus disuruh ngerjain soal di depan anying. Aing cuman bisa bilang mampus di bangku aing sama si Ajay.”

Yolan yang sedang mengunyah sebuah kacang pun seketika tersedak. Dia pukul dadanya; tangannya menengadah, mencari sebuah cairan yang dapat menghilangkan rasa batuknya. Ketika satu gelas air minum telah berada di genggamannya, maka dengan tergesa Yolan langsung meneguknya tanpa menyisakan setetes cairan itu.

“Bangsat, si aku jadi inget lagi momen yang amat sangat memalukan!” Yolan mengusap wajahnya kasar. Yolan mengira dengan mengusap wajahnya akan membantu menghilangkan kejadian itu dalam ingatannya. Nyatanya, semakin ingin menghilangkan keinginan itu semakin teringat jelas kejadiannya.

“Sumpah, aing jadi tumbal anjing. Padahal aing kan ngajaknya ke kantin, malah belok ke ipa empat anjir udah gelo ini mah pola pikir si Yolan harus cepet-cepet dibenerin.”

Gelo = gila.

Langit kian kelam, pijaran temaram yang menjadi satu-satunya benda yang membantu menjadi penerang mereka. Setiap kali embusan angin datang, pijaran itu akan ikut tergoyang—seperti sedang menari; membuat keadaan di antaranya semakin ramai.

“Anjir udah jam setengah tujuh aja nggak kerasa.”

Jaya tak sengaja melihat jam yang berada di pergelangan tangannya. Padahal Jaya masih teringat jelas mereka baru saja membuka obrolan, namun rasa tidak puas dan kecewa mulai mendatanginya.

Waktu akan terasa lebih cepat berlalu apabila menghabiskan bersama orang yang tepat. Sama halnya dengan mereka yang tidak terasa sudah menghabiskan waktu selama tiga jam dalam bernostalgia.

Hayu balik, ah.” (Ayo pulang.)

Decitan suara dari kursi yang bergesekkan dengan lantai mulai menggema. Mereka saat ini sedang berduyun-duyun untuk merapikan kembali meja serta bangku yang sudah dipakainya. Sampah-sampah bekas camilan yang berserakan di atas meja pun kini sudah menghilang; berpindah pada tempat sampah yang tak jauh dari tempatnya berada.

Guys,” panggil Jagat. Dia menjeda ucapannya sebentar untuk sekadar menghela napasnya sebelum harus melanjutkan kembali kata-katanya yang sempat terhenti dan dihadiahi tatapan penuh tanya dari kelima temannya. “Night riding dulu, boleh? Kita keliling Bandung.” Ia tatap satu per satu temannya dengan lamat ketika ucapannya telah diserukan. Jagat berharap bahwa permintaannya itu akan segera disetujui oleh kelima teman-temannya.

Benar saja, tanpa harus menunggu lama mereka dengan kompak mengangguk; menyetujui permintaannya untuk berkeliling kota Bandung di malam hari.


Malam ini bulan terlihat berkali-kali lipat lebih terang dari biasanya. Objek bulat di atas langit itu telah menarik perhatiannya ketika kedua matanya dia menengadahkan ke atas dan langsung disambut oleh objek tersebut. Pancaran sinar bulan itu mendominasi. Bahkan, pancaran sinar dari kendaraan lalu-lalang di sekelilingnya pun masih terkalahkan oleh pancaran bulan di atas langit sana.

Selama perjalanan, Jagat mengulas senyuman di balik helm yang sedang digunakannya; senyuman yang tak ingin ia lunturkan. Posisinya saat ini menjadi orang yang paling belakang. Mereka tak punya tujuan secara khusus, bak ekor yang akan selalu mengikuti arah kepala serta tubuh melangkah.

“Kenapa berhenti?” heran Jagat kala melihat kendaraan temannya sudah menepi di salah satu jalan yang jarang dijangkau oleh kendaraan lain.

“Kita udah dua kali lewat jalan ini anjir, bosen. Udahlah kita pulang aja, aing juga udah capek pengen langsung rebahan aja rasanya.”

“Besok lagi ajalah, sekalian aja kita agendakan touring.”

Jagat bergeming. Dia tidak menimpali ajakan dari Rakha seperti teman-teman lainnya yang langsung mengiakan. Jagat turun dari motornya, membuka helm dan menyimpannya di atas kendaraannya. Kedua tungkainya dia bawa untuk menghampiri temannya satu per satu.

“Terima kasih, ya, Aksa.”

Jagat meraih tangan Aksara lalu memeluknya sekilas, dia pun tak lupa untuk memberikan senyuman kecilnya kepada temannya itu. Aksara yang diperlakukan seperti itu hanya bisa memberikan raut penuh tanyanya.

Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali.

“Rakha, terima kasih, ya.”

Rakha balas jabatan tangan Jagat tanpa mengeluarkan sepatah suaranya. Dia menganggukkan kepalanya untuk menimpali ucapan terima kasih darinya, meskipun dia sendiri tidak tahu mengapa lelaki itu secara tiba-tiba mengucapkan kata terima kasihnya.

kita berbincang, tentang memori di masa lalu.

“Jay, terima kasih, ya.”

Jaya mengernyitkan dahinya saat merasakan lelaki tersebut sudah merengkuh tubuhnya. Banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan, namun temannya itu telah lebih dulu meninggalkannya sehingga Jaya langsung menelan kembali pertanyaan yang sudah berada di ujung lidahnya.

Peluk tubuhku, usapkan juga air mataku.

“Yolan, terima kasih.” Yolan tersenyum sembari membalas jabatan serta pelukan dari Jagat. “Si kamu lebay banget anjir sampe bilang makasih gara-gara kita udah turutin maneh mau night riding. Padahal mah itung-itung kenangan aja, biar bisa diinget kalau kita abis nostalgia langsung keliling Bandung.”

Seolah sedang tertampar dengan perkataan Yolan, Jagat hanya diam membeku sembari melayangkan senyumannya. Jagat mati-matian menahan air matanya yang mungkin bisa saja menetes apabila ia tak mampu menahannya.

Kita terharu, seakan tiada bertemu lagi.

Pandangannya tertuju pada seseorang di sampingnya. Jagat melangkah untuk mendekati sang empu tanpa mengucapkan sepatah kata. Dia langsung merengkuh tubuh teman satu bangkunya dalam keheningan. Gemuruh di dadanya mulai mendominasi seakan ingin mengeluarkan sesuatu pada kedua matanya. Maka dengan cepat Jagat segera melepas pelukannya seraya berucap, “Ri, terima kasih banyak, ya.”

“Untuk?”

“Semuanya.”

Jagat menepuk pundak Harri sebelum kembali menghampiri kendaraannya yang sudah terparkir beberapa meter dari tempatnya berpijak.

“Hati-hati ya pulangnya. Jangan ngebut, jangan mendadak beloknya. Terima kasih udah mau nurutin dan nemenin saya keliling kota Bandung di malam hari.”

Bersenang-senanglah, karena hari ini yang kan kita rindukan.

“Kalem anjir, Gat. Timbang muterin kota Bandung doang.”

Ucapan dari Aksara langsung diangguki oleh kelima temannya dengan serempak. Jagat yang menyaksikan itu hanya bisa terkekeh sembari menggelengkan kepalanya.

“Ya udah, aing balik duluan, ya. Maneh nanti dari sini lurus aja terus di persimpangan jalan depan belok kiri biar cepet ke Dago nya.”

“Iya, terima kasih.”

Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan.

Satu per satu deru suara motor itu mulai meramaikan suasana yang sebelumnya sunyi. Bunyi suara klakson mulai terdengar, mereka dengan sengaja membunyikannya untuk mengatakan bahwa itu menjadi salah satu kata terakhir perpisahannya.

Bersenang-senanglah, karena waktu ini yang kan kita banggakan di hari tua.

Jagat menatap nanar kepergian teman-temannya yang saat ini sudah tak bisa dilihat oleh sepasang matanya. Hatinya membuncah ketika dia menyadari bahwa hari ini adalah menjadi hari terakhirnya untuk bertemu dan bercengkrama dengan teman-temannya.

Sampai jumpa kawanku, semoga kita selalu, menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan.

Tetesan air mata yang sebelumnya ia tahan mati-matian seketika menetes secara perlahan bersamaan dengan langit yang mulai meneteskan tiap rintikkan air hujan.

Sampai jumpa kawanku, semoga kita selalu, menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan.

Jagat menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan bahwa hari ini menjadi hari yang paling menyedihkan untuknya. Ia sudah tidak peduli dengan orang-orang yang mungkin melihatnya sedang menangis. Ia perlu sebuah validasi akan perasaan yang sedang dirasakannya.

Mungkin diriku masih ingin bersama kalian.

Terkadang lewat tangisan mampu menyembuhkan berbagai perasaan yang dipendamnya. Sama halnya dengan Jagat, untuk pertama kalinya ia mengeluarkan air mata karena teman-temannya, karena jutaan kenangan yang telah dirasakannya.

Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian.

Terima kasih, Bandung, atas sejuta kenangan indah di dalamnya.


“Apaan itu?” tanya Rakha yang dijawab sebuah gelengan kecil dari Harri yang sedang memegang satu buah amplop.

Bacanya harus lengkap, ya. Harus ada kalian berlima: Aksara, Harri, Jaya, Rakha, dan Yolan.

Lantas, Jaya mengernyitkan keningnya ketika membaca tulisan di depan amplop itu. Matanya sibuk mencari keberadaan Aksara dan Yolan. Tangannya segera melambai di udara kala matanya tak sengaja bertemu dengan mata kedua teman itu. Aksara dan Yolan pun segera berlari dan langsung ikut duduk bersamaan dengan ketiga temannya yang sudah lebih dulu di taman sekolahnya.

“Itu apaan?” tanya Aksara yang dibalas Rakha dangan mengedikkan kedua bahunya.

“Si Elang, mana?” tanya Yolan ketika tak menemukan sosok temannya di antara mereka.

Harri tampaknya mulai tertarik dengan pertanyaan dari Yolan. Buktinya ia langsung menengadahkan kepalanya dan menatap temannya itu dengan lamat. “Nggak tau, nggak masuk. Surat pun nggak ada. Apa dia sakit gara-gara semalem abis keliling Bandung, ya?” Mereka semua serempak menggelengkan kepalanya, buat kepala Harri semakin dipenuhi tanda tanya.

“Cepet buka itu amplop apaan, udah ada semua, nih.”

Rakha segera merampas amplop yang semula berada di genggaman Harri. Ia buka secara perlahan kertas itu agar tidak merusaknya. Dahinya seketika mengernyit ketika sebuah kalimat pertama yang muncul dan membuat mereka semakin dibuat penuh kebingungan.

“Untuk Solurds yang saya sayangi …,” ucap ulang Yolan pada kalimat pertama yang telah dilihatnya.

Maka, mereka saling bertatapan satu sama lain dan segera membuka surat itu dengan tergesa. Betapa terkejutnya ketika surat itu berisikan sebuah kata-kata yang sama sekali tidak pernah mereka harapkan sebelumnya.

Untuk Solurds yang saya sayangi, di Tempat

Hai, guys, sehat? Semalem hujan setelah kalian pergi untuk kembali ke rumah kalian masing-masing. Sepertinya alam lebih tau tentang hubungan pertemanan kita, ya? Alam lebih tau kalau hari itu menjadi hari terakhir kita ketemu.

Guys, saya benar-benar beruntung disambut hangat oleh kalian ketika saya datang ke kota ini. Maksudnya ke kota Bandung, karena saya saat ini udah ngga ada di kota itu lagi. Miris, ya? Hahaha.

Terima kasih banyak atas nostalgia hari kemarin yang mampu buat kenangan itu semakin teringat jelas dipikiran saya, kenangan indah yang ngga mungkin saya bisa rasakan untuk kedua kalinya.

Aksara, kamu makan yang benar, ya. Saya perhatikan pola makan kamu sedikit ngga teratur kalau di kosan. Jangan sampai telat makan atau bahkan ngga makan sama sekali. Kalau di akhir bulan kamu kesusahan untuk mencari makan, masih ada keempat teman kamu yang akan selalu nyambut hangat kedatangan kamu di rumahnya. Jangan merasa ngga enak untuk merepotkan mereka, ya. Kesehatan kamu lebih penting dibandingkan dengan sebuah ego yang kamu simpan sendirian.

Jaya, saya tau kalau kamu punya kebiasaan unik yang suka cuci motor tengah malam. Tolong kurangi, ya. Itu ngga baik untuk kesehatan kamu sendiri. Tolong jaga Harri dan Rakha ya, jaga mereka kalau misalnya mereka berantem. Karena setelah ini, saya ngga bisa nemani kamu untuk ngamanin mereka. Lagipula saya tau kamu mampu laksanain itu sendirian, karena sebelum saya datang pun kamu sudah bisa dan biasa lihat mereka berantem, kan? Jangan lupa untuk kontrol emosi kamu, ya, Jay. Candaan kamu sebenarnya lucu kok, cuman anak-anak memang suka jahilin kamu aja, jadi jangan dipikirkan, ya, hahaha.

Harri, orang yang berhasil selalu buat saya kerap emosi waktu berhadapan sama kamu. Jahilnya kamu, bakalan saya rindukan selalu, Ri. Tapi, tolong jangan jahili orang-orang seperti kamu jahili saya, ya. Biar saya aja yang rasain, biar saya merasa kalau saya special diperlakukan itu sama kamu dan kedua antek-antek kamu—Aksara dan Yolan. Salam untuk Kaila, Aarash, dan Aariz, ya. Saya benar-benar nunggu mereka jadi orang sukses, termasuk kamu juga.

Rakha, saya bakalan selalu rindu omelan dari kamu. Omelan yang sebenarnya saya hindarin, tapi kayaknya saya bakalan rindu momen itu. Bahkan saya ngga tau apakah saya di sini bakalan diperlakukan seperti kamu perlakukan saya? Perhatiannya kamu lewat omelan itu mungkin ngga akan saya bisa dapatkan dari orang-orang baru di sini.

Yolan, bagaimana cara bicara kamu, cara kamu memperlakukan saya, bahkan tiap tindakan konyol yang selalu kamu lakukan masih teringat jelas di pikiran saya. Kamu unik, Lan. Saya benar-benar merasa kehilangan kamu. Konyolnya kamu dengan anak-anak ngga mungkin pernah akan saya lupakan begitu aja. Lan, saya titip Aksara, ya. Saya benar-benar khawatir karena dia selalu nyembunyiin sesuatu sendirian. Tolong cek satu minggu sekali dia di kosannya, mungkin kamu yang lebih tau dengan sifat Aksara dan Aksara pun akan leluasa terbuka sama kamu.

Maaf karena saya pergi tanpa harus mengucapkan kata perpisahan sebelumnya, saya terlalu egois sampai akhirnya saya pendam itu sendirian. Maaf saya terlalu egois untuk memperlihatkan kesedihan saya untuk yang kesekian kalinya.

Kalau kalian udah selesai baca surat ini, artinya saya udah pergi. Pergi bersama jutaan kenangan kita bersama. Kalian jangan khawatirkan saya, karena saya selalu sehat di sini. Di sini sangat indah, penghuninya pun ramah-ramah, agak sayang aja di sini ngga seindah dan seramah kalian saat berada di dekat saya.

Kebiasaan saya hari ini selalu mandang langit, berharap kalian akan sama pandangi, dan berharap kita sedang memandangi langit yang sama walaupun dengan jarak yang memisahkan. Langitnya di tempat saya dengan langitnya di tempat kamu tetep sama. Ngga berubah sama sekali.

Kita sukses sama-sama, ya? Saya dengan impian saya, kalian dengan impian kalian.

Kalau ada waktu, ayo kita ketemu. Ketemu di suatu tempat yang telah mengukir kenangan kita bersama. Tanpa saya ucapkan pun pasti kalian udah tau, kan, ya?

Kalau gitu, sampai jumpa lagi, teman.

Salam hangat,

Jagat Lingga Erlangga.

Ketika bait terakhir telah selesai mereka baca secara bersama-sama, sebuah tangis pun langsung pecah. Mereka saling merangkul satu sama lain.

Kalau saja mereka lebih peka akan hari di mana temannya itu meminta secara khusus untuk berkeliling kota Bandung, pasti mereka senang hati untuk menghabiskan waktunya tanpa terkecuali, tanpa harus dihentikan oleh rasa bosan.

Kalau saja mereka tahu itu menjadi hari terakhirnya, mereka akan membuat kenangan-kenangan baru dan indah agar temannya itu bisa menyimpannya tanpa harus melupakan kenangan lama.

Kalau saja mereka tahu akan kepergiannya, mungkin mereka akan mencegahnya. Mencegah ia akan pergi dan meninggalkannya bersamaan dengan jutaan harapan yang belum mereka realisasikan dengan bersama-sama.

Kalau saja.

Kalau saja.

Kalau saja.

“Semoga maneh bahagia selalu, Gat. Makasih udah mau kenal dan temenan sama kita. Kita bakalan selalu nunggu janji maneh buat datang dan ketemu di tempat ‘kita’.”


Nyatanya, setelah surat itu sampai di tangan mereka, sebuah janji pun tak pernah ditepati oleh sang empu. Setiap hari mereka mengunjungi tempat itu. Mulai dari langit biru yang kemudian tergantikan oleh langit hitam; mulai dari tempat sepi dari pengunjung, lalu ramai berdatangan, dan kembali sunyi, Pun sang empu tak pernah menampakkan dirinya. Seakan janji tersebut hanyalah sebuah ucapan belaka yang tak akan pernah ditepatinya. Atau bahkan sang empu pun lupa bahwa ia pernah menjanjikan hal tersebut.

Mereka selalu mengulanginya hingga tepat tiga tahun lamanya. Mereka selalu berharap lelaki itu akan menepati janjinya. Namun, lagi-lagi rasa kekecewaan yang selalu mereka dapatkan.

“Buat apa janji kalau nggak akan pernah ditepati?”

Bersamaan dengan langit malam yang mulai menghilang dan menampakkan langit pagi, sebuah janji itu pun mereka kubur secara bersama-sama. Tidak ada lagi mereka yang akan mengunjungi tempat ini setiap harinya. Pun dengan kenangan dan harapan yang telah mereka buat sebelumnya dengan sang empu yang membuat janji pun mereka kubur secara bersamaan. Mulai saat ini mereka akan menjalankan aktivitas seakan nama Jagat tidak pernah muncul dalam hidupnya.

Selamat jumpa kawankku, Jagat.

FIN.


Jagat Lingga Erlangga Universe.

By NAAMER1CAN0


Ini menjadi kegiatan pertama yang Grace lakukan di luar lingkup sekolah. Tiga hari lalu dirinya diajak oleh Jagat untuk ikut ke salah satu panti asuhan yang biasa Jagat datangi. Satu fakta yang baru diketahuinya, bahwa Jagat menjadi salah satu donatur tetap di panti asuhan yang sedang dia kunjungi. Pandangan Grace terhadap lelaki itu semakin tampak terkagum. Di usianya yang masih terbilang muda, Jagat sudah banyak membantu orang-orang.

“Jadinya, nanti kita ngapain aja agendanya?” tanya Grace, ketika melihat Jagat sudah memarkirkan kendaraan roda duanya dengan sempurna.

Lelaki itu berjalan ke arahnya sembari merapikan pakaiannya yang mulai kusut akibat perjalanan yang telah dilaluinya. “Ngajar anak-anak baca, tulis, dan menggambar,” sahutnya. Mata Jagat menyipit, menelisik untuk menemukan seseorang yang sedang dicarinya. “Jaya belum sampai, ya?” tanya Jagat tanpa menolehkan wajahnya ke arah perempuan di sebelahnya.

“Tuh.”

Grace menunjuk sebuah mobil putih yang telah menampakkan dirinya ketika Jagat baru saja menanyakan keberadaan sang empu.

“Sebentar, ya, kamu tunggu di sini.”

Jagat berjalan menuju mobil Jaya berada setelah mengucapkan hal tersebut kepada perempuan yang masih setia berdiri di tempatnya. Grace hanya bisa menganggukkan kepalanya dan menatap punggung lebar itu yang mulai terlihat mengecil di matanya.

“Jay,” panggil Jagat, berhasil membuat Jaya menolehkan wajahnya.

Jaya menutup pintu mobilnya sebelum akhirnya berjalan menghampiri Jagat. “Oit.” Tangan itu terulur untuk memberikan sapaan kepada seseorang yang telah memanggil namanya.

“Aman?” tanya Jagat, menerima uluran sapaan itu dari Jaya.

Jaya mengangguk. “Aman, aing taro di kursi belakang.” Jaya mengacungkan jempol kanannya sebagai simbol bahwa semua yang sedang dikhawatirkan oleh Jagat aman terkendali olehnya.

Jagat melirik sekilas ke arah yang disebutkan oleh Jaya, sebelum akhirnya kembali menatap teman di hadapannya. “Ya udah, ayo kita bawa.” Baru saja Jagat akan melangkahkan kakinya, namun, tangan Jaya lebih dulu menghentikannya. Lantas, Jagat hanya bisa membalas dengan alis yang menaik.

“Semua dibawa sekarang?”

Awalnya Jagat sedikit terheran dengan pertanyaan itu. Namun seketika kerutan di dahinya sudah memudar saat dirinya mulai paham arah pembicaraan temannya itu.

Jagat menggeleng. “Nggak, kalau yang itu nanti.”

Jaya mengangguk lalu berjalan mengikuti langkah Jagat. Tak lama suara gemuruh motor pun menginterupsi kegiatan keduanya yang sedang membereskan barang-barang yang akan digunakan pada kegiatan hari ini.

“Woy!”

“Way, woy, way, woy. Bantuan anying, ai sia punya perasaan manusiawi mah,” ketus Jaya diiringi dengusan ketika melihat Aksara yang hanya menyapa tanpa berniatan untuk membantunya.

“Marah-marah wae ih!” Aksara mengelus dadanya. Kakinya mulai melangkah menghampiri kedua temannya yang sedang bersiap-siap untuk membereskan barang-barang yang akan digunakan nanti. “Kamu teh jangan marah-marah wae, nanti cepet tua.” Aksara mengelus punggung Jaya dengan pelan, bak orang tua yang sedang memberikan nasihat untuk anaknya.

“Bacot.”

Jagat hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar sebuah debatan yang sudah seperti makanan sehari-hari baginya. Mereka semua tiada hari untuk mendebatkan hal-hal kecil. Namun, siapa sangka bahwa debatan kecil itu malah membuat dirinya terhibur.

“Bawa masuk bukan ini, nyet?” tanya Harri untuk memastikan. Meskipun itu sebuah pertanyaan retoris dan tidak membutuhkan jawaban. “Iya.” Lantas, Jagat segera mengangguki ucapan Harri.

Henteu, sia buang. Ada-ada aja anying- pertanyaan konyol sia,” hardik Rakha, bola matanya memutar malas ketika pertanyaan dari Harri tak sengaja memasuki gendang telinganya.

“Ih, ini teh kenapa sih teman-teman aing pada marah-marah semua!”

Perdebatan itu bagai angin lalu di telinga Fara yang kini sedang sibuk mengangkat sebuah box untuk segera dia bawa ke dalam panti asuhan. Jagat yang tak sengaja melihat pergerakan itu pun segera menghampirinya.

“Kamu nggak usah bawa, temenin aja Grace langsung masuk ke dalem.” Jagat merampas sebuah box yang berada di rengkuhan Fara. Tentu Fara terkejut dengan perlakuan itu, sampai akhirnya dia menyerahkan box tersebut dan segera menghampiri Grace yang sedang berdiri seorang diri sembari memandang ke arah mereka berada.

Aksara, Harri, Jaya, Rakha, dan Yolan menolehkan wajahnya ketika Jagat memerintah Fara untuk tidak membawa box tersebut. Sedetik kemudian mereka dengan kompak memutuskan pandangannya dan kembali saling melempar argumentasi yang sempat terhenti beberapa saat lalu.

Setelah berdebat sepuluh menit lamanya, akhirnya kini mereka semua sudah memasuki ruangan yang biasa mereka tempati untuk membantu mengajar dan bermain dengan anak-anak panti. Jagat menjadi orang terakhir yang memasuki panti asuhan, sedangkan teman-teman lainnya sudah lebih dulu berada di depan.

“Kak Jagat!”

Seruan tersebut membuat Jagat berjongkok dengan lututnya dijadikan tumpuan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Box yang sedang dibawanya segera dia simpan ke lantai bersamaan dengan tubuhnya yang sudah siap dia sejajarkan dengan si kecil. Tangannya refleks membuka ketika maniknya tak sengaja menangkap seseorang yang sedang berlari ke arahnya.

Entah Jagat yang sedang kekurangan keseimbangannya atau karena si kecil yang terlalu bersemangat memeluknya, hingga pada akhirnya pantat Jagat sukses mencium lantai ruangan yang sedang ditempatinya.

“Apa kabar, cantik?” Tangan kanan Jagat terulur untuk mengelus rambut si kecil dan merapikannya. Sedangkan tangan kirinya dia bawa untuk mengusap punggung anak itu dengan lembut.

“Alhamdulillah Nia baik! Kak Jagat sendiri gimana?” Bola mata Nia melebar, memberikan sorot kebahagiaan dan meneduhkan bagi Jagat sendiri yang menatapnya.

“Baik, puji Tuhan Kak Jagat juga baik.”

Siapa sangka interaksi Jagat dan Nia sukses membuat Grace mengalihkan atensinya. Kedua kakinya yang sebelumnya sedang melangkah kini telah sukses terhenti dan asyik menatap interaksi dua insan di hadapannya.

Bagaimana cara Jagat berinteraksi dengan si kecil, lagi-lagi membuat Grace terpukau. Perlakuannya sama seperti perlakuan pada Aden yang beberapa saat lalu mereka temui di tempat Soto Ahri, Buah Batu. Perlakuan hangat bagi siapa pun yang melihatnya akan merasakan kehangatan yang sama.

“Kak, ayo kita mulai nulis-nulis!”

Grace mulai tersadar dari lamunannya ketika jari-jari yang dia biarkan begitu saja, digenggam oleh seorang anak kecil. Grace pastikan bahwa anak itu masih berusia sekitar lima-enam tahun terlihat dari suara dan tingkah lakunya.

Jagat menolehkan wajahnya ketika teriakan tersebut mampu menginterupsi kegiatannya dengan Nia; yang masih setia berada di dalam pelukannya. Presensi seseorang di depannya telah sukses membuat dirinya mengulas sebuah senyuman.

“Nia, cantik. Masuk, yuk?” ajak Jagat, tubuhnya yang semula berjongkok kini sudah sempurna berdiri. Tangan kanannya menggenggam erat tangan Nia, sedangkan tangan kirinya disibukkan untuk merengkuh sebuah box yang berisikan peralatan mewarnai.

“Kamu nggak ngajarin mereka?”

Pertanyaan secara tiba-tiba dari Grace sukses membuat Jagat sedikit terkejut. Dengan refleks Jagat menggeser tubuhnya agar Grace dapat duduk dengan nyaman di sebelahnya.

“Hai,” sapa Jagat disertai senyumannya. Jagat menggeleng pelan. “Nggak, saya nggak biasa ngajar di depan publik kayak gitu. Paling saya ngajar secara individu, secara empat mata.” Meskipun umur anak-anak panti yang masih terbilang muda, Jagat tetap tidak terbiasa dengan pusat perhatiaan yang akan menyoroti dirinya.

Grace mengangguk paham. Tidak berani untuk bertanya lebih lanjut karena di depannya kini sedang menampakkan Harri dan Yolan yang sibuk menjadi guru untuk anak-anak panti dalam kegiatan belajar membaca dan menulis.

“Kak Jagat, huruf z tuh kayak gini?” Si kecil mengangkat bukunya untuk ditunjukkan kepadanya yang lebih tua, sedang terduduk persis di belakang sang empu.

“Bukan sayang, itu kamu nulis huruf s. Huruf z mulai dari arah kiri terus kamu runcingin di bagian tubuhnya.” Si kecil kembali menundukkan kepalanya ketika Jagat membenarkan bagaimana cara penulisan huruf z yang benar.

“Gini?”

Jagat memperhatikan satu per satu huruf yang telah ditulis si kecil. Kepalanya dibawa naik turun setelah menyadari si kecil telah sukses dalam mencoba menuliskan namanya. “Pinter. Kan, kalau gini jadinya Zoe bukan Soe.” Tangan Jagat mengacak rambut sikecil lantaran gemas dengan tingkahnya. Namun, tak lama Jagat kembali merapikan rambut Zoe karena si kecil telah mengerucutkan bibirnya dengan sebal.

“Rambut kamu udah panjang, emang nggak gerah?” Zoe menggelengkan kepalanya. “Eh, iya deh, Zoe, kadang-kadang suka ngerasa gerah,” ralat si kecil disertai anggukkannya.

“Nanti bilang Ibu buat potongin rambut kamu, ya. Sedikit aja, biar kamu nggak kegerahan.” Jagat mulai meraih rambut Zoe, lalu mengepangnya seraya si kecil sibuk menuliskan beberapa kata yang sudah dituliskan oleh Harri di papan tulis.

Tanpa sadar Grace sedari tadi tersenyum melihat Jagat dengan Zoe saling melemparkan pertanyaan dan jawabannya. Bahkan, dua insan yang sedang berada di depan ruangannya pun tidak dia gubris sama sekali keberadaannya, karena terlalu sibuk memerhatikan eksistensi kedua orang di hadapannya.

Satu yang mulai disadarinya ketika kain hitam kecil itu yang semula melingkar pada pergelangan tangan Jagat, sudah berpindah pada rambut Zoe. Grace terkagum melihat jari-jari Jagat dengan lihat mengikat rambut si kecil tanpa kesusahan. Ingatannya pun kembali pada saat bagaimana lelaki itu membantu mengikatkan rambutnya di tengah-tengah kegiatan memasak.

“Hey, kok bengong?” Jagat mengibaskan tangannya persis di depan mata Grace, namun, sepertinya sang empu tidak menyadari keberadaannya.

Satu detik ... dua detik ... tiga detik ....

“Nggak. Nggak apa-apa, mau aja.”

Grace merutuki dirinya sendiri menyadari kejadian yang baru saja dialaminya. Dirinya terlalu berlarut dalam pikirannya sehingga melupakan sekitar. Terlebih melupakan satu fakta bahwa dia sedang memandangi interaksi antara Jagat dan Zoe.

“Kak Jagat.”

Jagat bisa memastikan bahwa ini bukanlah suara anak kecil yang masih berusia empat hingga enam tahun. Jagat bahkan rela untuk berdiam diri sejenak untuk memastikan saat panggilan itu memenuhi gendang telinganya.

“Kak Jagat.”

Lantas, Jagat menolehkan wajahnya ke arah samping dan menampilkan seorang perempuan sedang tersenyum ke arahnya.

“Kenapa manggil saya kayak gitu?” Sebelumnya tangan Jagat disibukkan untuk memeluk kedua tututnya. Namun, ketika panggilan itu dilontarkan oleh perempuan di sebelahnya membuat Jagat secara otomatis menegakkan tubuhnya.

“Lucu panggilannya. Halo, Kak Jagat.” Tangan Grace melambai, memberikan sebuah sapaan bak orang asing yang sedang saling menyapa satu sama lain.

Ucapan dari Grace sukses membuat Jagat tersipu. Dia berdeham dengan harapan rasa gugup dan salah tingkahnya akan menghilang, namun, dewi fortuna seperti tidak mengizinkannya untuk dia bernapas sejenak.

“Halo, Kak Jagat kok nggak bales sapaan aku?”

“Mega—”

“Eh punteun ya ini mah tolong untuk dua kakak yang sedang duduk berdua di belakang sambil senyum-senyum, tolong, kita teh lagi belajar. Jangan pacaran dulu.”

Ciee!” ledek anak-anak secara kompak. Membuat suara riuh menggema diberbagai penjuru ruangan.

Kini bukan hanya Jagat yang sedang menahan rasa salah tingkahnya, namun, Grace pun merasakan hal tersebut ketika dia dengan lelaki di sampingnya mendapatkan sebuah ledekan dari satu ruangan yang sedang ditempatinya.

Brengsek, Harri,” gumam Jagat dalam hati. Mata Jagat menatap lelaki itu dengan penuh penekanan, namun, sang empu tidak mengindahkan tatapannya. Harri justru membalas reaksi Jagat dengan menjulurkan lidahnya.


“Kak Jagat sama Nia, Kak Grace sama Zoe, ya. Kita lomba menggambar paling bagus dan paling cepet. Oke?”

“Oke!” sahut Nia dan Zoe dengan semangat.

Keempat orang itu mulai bersemangat untuk mengoleskan beberapa krayon di atas selembar kertas putih yang hanya terisikan oleh garis-garis hitam.

“Cantik, Kak Jagat mau pinjem warna coklatnya, dong.” Tangan Jagat sudah menengadah berharap agar si kecil memberikan krayon sesuai dengan permintaan warnanya. Akan tetapi, si kecil tak kunjung memberikannya.

“Kok dikacangin?”

“Kak Jagat mau warnain apa kok warna coklat?” Nia yang sedari tadi sibuk mewarnai pohon pun perhatiannya mulai terpecah.

“Warnain ini,” tunjuk Jagat. Alis Nia mengerut saat menyadari yang lebih tua salah dalam memilih warna.

“Ih, itu kan rumput! Kok rumput warnanya coklat, sih?”

Jagat kembali memerhatikan gambar di depannya, namun, yang dilihatnya hanyalah sebuah tanah. Sehingga dirinya berinisiatif untuk mewarnai dengan warna coklat.

“Oh, rumput ya ... oke, Kakak salah.”

Grace tidak bisa menahan gelak tawanya. Dirinya terkekeh pelan tatkala telinganya tak sengaja mendengar sebuah perdebatan dari lawan mainnya.

“Kak Jagat makanya yang fokus dong!” ledek Grace. Jagat membalas ledekan tersebut dengan memutarkan bola matanya.

“Zoe, Zoe, Kak Jagat itu sombong tau. Masa, ya, Kak Grace kalau manggil nggak pernah dijawab. Kamu liat, ya,” bisik Grace dengan pelan pada Zoe. Zoe yang mendengar ucapan Grace hanya bisa mengerjapkan matanya dengan cepat. Tak sabar melihat apa yang akan diperlihatkan oleh yang lebih tua.

“Kak Jagat.”

“Kak Jagat, halo.”

“Kak Jagat sombong.”

Jagat menarik napasnya perlahan lalu membuangnya saat panggilan itu sudah diucapkan Grace sebanyak tiga kali. Dan sebanyak itu Jagat tidak menggubris panggilannya.

“Tuh, kan, sombong. Coba deh kamu yang panggil.”

Zoe mengangguk, merasa tertantang. Tangannya yang semula menggeggam sebuah krayon sudah dia lepaskan dan menatap yang lebih tua dengan penuh semangat.

“Kak Jagat.”

“Kak Jagaaaat.”

“Kak Jagat, ish!”

Jagat memejamkan matanya sejenak, lalu menolehkan wajahnya kepada tim sang lawan. Merasa sudah terganggu dengan sebuah panggilan-panggilan secara terus menerus menyebutkan namanya. “Apa sayang?” jawab Jagat.

Lantas, Zoe segera menggeleng dan kembali menatap Grace yang berada di sampingnya. “Itu panggilan Zoe dijawab, kok. Coba Kak Grace sekarang panggil lagi!”

Grace terheran ketika panggilan dari si kecil tak harus menunggu lama untuk dijawab. Sedangkan panggilan darinya tak pernah direspons oleh sang pemilik nama tersebut.

Grace menarik napas terlebih dahulu sebelum akhirnya dia mengucapkan, “Kak Jagat!”

“Apa sayang?” sahut Jagat, tanpa menolehkan wajahnya. Sang empu masih terfokus dengan gambar yang sedang diberi polesan krayon-krayon itu.

Maka, Grace terdiam ketika mendengar jawaban tersebut. Jantungnya mulai berdebar, pun dengan kedua bola matanya yang sudah melebar.

Entah sadar atau tidak sadar Jagat mengatakan hal tersebut, karena kini sang empu masih asyik mengoleskan krayon warna-warninya ke sebuah gambar yang kini sudah hampir sepenuhnya terwarnai.

“Kak Grace, itu dijawab!” seru Zoe, menampilkan binaran di kedua bola matanya.

Grace mengangguk kecil. “I-iya.” Dan kembali mengatupkan bibirnya.

Gambar hasil Jagat dan Nia:

Gambar hasil Grace dan Zoe:


Jij Bent Mooi Alternate Universe.

by NAAMER1CAN0.


Playlist: https://open.spotify.com/playlist/1LasoVETVPZ0O8WJJNbHdP?si=Yz1aCNyzTHWE_f6PT4HJbg


Perasaan bahagia telah sukses Grace rasakan ketika selesai mengajari anak-anak panti asuhan dalam kegiatan membaca, menulis, dan menggambar. Saat ini Grace sedang mengistirahatkan dirinya pada salah satu bangku taman panti asuhan. Sejuk. Itulah yang sedang Grace rasakan, sebab, dirinya sedang duduk di bawah pohon rindang yang diiringi semilir angin sore yang menyejukkan. Langit-langit telah memperlihatkan semburat oranye menandakan waktu sudah semakin larut.

Grace tidak pernah terpikirkan untuk bergerak pada kegiatan sosial seperti saat ini yang sedang dilakukannya. Bagaimana ketika kedua netranya memandangi anak-anak panti asuhan membuat gejolak di dadanya semakin memburu. Masih banyak orang yang tak seberuntung dirinya, masih banyak orang yang memerlukan kasih sayang orang tua diusianya yang masih terbilang sangat kecil. Tidak sadar, air mata di pelupuk matanya seketika terjatuh tatkala ingatan semasa kecilnya mulai datang kembali.

“Kak Grace!”

Panggilan itu sukses membuat Grace kembali membuka matanya. Dia segera menyeka air matanya. Bibirnya terangkat membentuk senyuman manis ketika dapati satu anak kecil yang sedang menghampirinya.

“Halo.” Grace menyapa kedatangan anak itu dengan riang.

“Ini buat Kak Grace!”

Zoe menyerahkan dua tangkai bunga mawar putih kepadanya. Grace dengan raut penuh tanya pun langsung meraihnya. “Makasih, ya, Zoe.” Si kecil mengangguk dengan semangat, memeluknya, lalu setelah itu kembali meninggalkannya seorang diri.

Grace pandangi mawar itu dengan senyuman yang masih terukir di wajahnya dan seakan melupakan kesedihan yang sedang dirasakannya.

“Kak Grace.”

Grace seakan déjà vu dengan panggilan itu. Dia menoleh dan disambut oleh Nia yang sudah berdiri tak jauh dari tempat dia beristirahat. Dahi Grace mulai menukik tatkala anak tersebut menyerahkan tiga tangkai mawar merah. Lantas Grace segera melirik dua tangkai mawar putih yang sebelumnya dia dapatkan, lalu kembali menatap Nia dan mulai meraih bunga itu.

“Ini apa, Nia?” tanya Grace, terheran karena dia sudah diberi sebanyak lima tangkai bunga oleh dua orang yang berbeda.

“Itu untuk Kak Grace.” Si kecil tersenyum dan memerlihatkan sederetan gigi putihnya.

Grace baru saja akan melontarkan kembali pertanyaannya, namun, Nia lebih dulu memutar badannya dan meninggalkan Grace dengan ribuan pertanyaan yang masih berada di dalam pikirannya.

Maka, Grace segera mengeluarkan ponselnya lalu memastikan tanggal untuk mengetahui apakah hari ini menjadi hari penting atau tidak. Dan jawabannya pun tidak. Bahkan, tanggal ulang tahunnya pun masih sekitar tujuh bulan lagi.

Grace sangat terkejut ketika ponselnya sudah dia masukkan ke dalam kantong celananya, namun, secara tiba-tiba seseorang sedang berdiri seraya melemparkan senyuman ke arahnya.

“Astaga, Kiky. Kak Grace kaget.”

“Hehehe, halo Kak! Ini untuk Kak Grace.”

Setelah bunga mawar putih dan bunga mawar merah, kini Grace mendapatkan tiga tangkai bunga mawar pink. Grace pun hanya bisa terdiam dan menerima bunga itu. Dirinya semakin penasaran, pasalnya sedari tadi dia mendapatkan bunga akan tetapi Grace tidak mengetahui maksud dari bunga-bunga tersebut yang diberikan kepadanya.

“Kak Grace.”

“Bunga lagi, ya?” Si kecil tersenyum dan memerlihatkan cengirannya. Tangannya terulur untuk menyerahkan tiga tangkai bunga anggrek dengan tiga jenis warna berbeda; putih, pink, dan ungu.

Grace kembali meletakkan bunga yang telah diterimanya bersamaan dengan bunga-bunga sebelumnya. Sebanyak sebelas tangkai bunga sudah dia dapatkan, namun, jawaban dari pertanyaannya belum satu pun terjawab.

“Kak Mega.”

Bola mata Grace melebar ketika telinganya menangkap sebuah panggilan yang biasanya hanya digunakan oleh satu orang. Kepala Grace menoleh namun pandangannya malah dipenuhi oleh dua tangkai bunga matahari yang persis di depan matanya. Grace segera menerimanya, akan tetapi si kecil langsung berlari tanpa mengatakan sebuah kata pamitannya.

“Aneh banget, kenapa pada ngasih bunga gini. Apa emang hari ini, hari bunga sedunia, ya?” Grace menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menatap bunga-bunga itu satu per satu.

Grace terlanjur asyik dengan bunga-bunga yang telah diterimanya hingga kedua telinganya tak mendengar suara derap langkah yang menghampirinya. Bangku itu seketika berdecit membuat Grace spontan untuk menolehkan wajahnya.

“Hai.”

Kali ini bukan anak panti yang mendatanginya, melainkan dia; sang empu yang menjadi satu-satunya orang menyebut dirinya dengan panggilan Mega.

“Hai,” balas Grace atas sapaan dari seseorang yang baru saja datang dan duduk di sebelahnya.

“Kenapa? Kok kayak orang bingung?” tanya Jagat, kepalanya dia miringkan untuk bisa menatap obsidian perempuan di sampingnya dengan jelas.

Grace diam sejenak. Dia menatap langit-langit sekilas hingga akhirnya kini pandangannya tertuju pada bunga-bunga yang sedang saling bertumpuk satu sama lain. “Aku bingung kenapa dikasih bunga dalam satu waktu, ya?” Pandangan itu sudah dia alihkan kepada seseorang di sebelahnya. Matanya mulai menatap netra lelaki itu seakan dirinya sedang berusaha mentransfer kebingungan yang dirasakan olehnya.

“Oh, ya?” Alis Jagat mengangkat, merasa tertarik dengan apa yang telah Grace lontarkan.

“Iya.”

Grace memundurkan badannya lalu melirik ke arah kirinya yang menampakkan beberapa tangkai bunga yang telah dia rapikan sebelumnya dan memberinya akses agar seseorang di sampingnya itu bisa melihat bunga-bunga yang sudah tersimpan rapi.

Jagat melirik sekilas lalu kembali memusatkan pandangannya ke depan. “Kalau gitu,” ada jeda sejenak dalam ucapannya, sebelum akhirnya tangan kanannya dia bawa untuk mendekati Grace. “Saya tambahin bunganya. Empat tangkai bunga tulip dengan warna berbeda dalam satu bouqet.”

“Buat kamu.” Jagat kembali menggerakkan bunga tersebut ketika seseorang di depannya tidak memberikan reaksi apa pun.

Grace segera meraihnya ketika kesadarannya sudah kembali. Ditataplah sekilas bunga tersebut dalam genggamannya. Terlebih saat kedua netranya tak sengaja menangkap sebuah bunga yang sangat dia sukai. Pandangan Grace kini teralihkan pada lelaki di sampingnya.

“Kenapa ngasih aku bunga?”

Alih-alih menjawab, Jagat mengangkat kedua bahunya tanpa mengeluarkan satu patah kata. Grace sedikit kesal ketika pertanyaannya tidak direspons.

“Memang kamu udah dikasih bunga apa aja?” tanya Jagat. Matanya kini sudah menatap kedua manik Grace dengan lekat. Membuat Grace yang ditatap sedikit salah tingkah.

“Pertama, dapet dua tangkai mawar putih—”

Ik.

“Iya?”

“Lanjutin aja, jangan gubris ucapan saya.”

“Oh oke.” Meskipun Grace sedikit bingung dengan ucapan Jagat, namun, dia tetap melanjutkan ucapannya. “Kedua, dapet tiga tangkai mawar merah.”

Hou.

“Ketiga, dapet tiga tangkai bunga mawar pink.”

Van.

“Keempat,” Grace nampak memejamkan matanya sejenak untuk mengingat bunga apa yang dia dapatkan setelah bunga mawar pink. Mata Jagat tidak lepas untuk memandang kedua bola mata milik Grace. “Ah, keempat dikasih tiga tangkai bunga anggrek warna putih, pink, ungu.”

Jou.

“Abis itu dikasih dua tangkai bunga matahari.”

Be.

“Terakhir, dikasih empat tangkai bunga tulip warna putih, kuning, merah, ungu.”

Jagat bungkam dan tidak melanjutkan ucapannya. Matanya kembali menatap pemandangan di depan dengan punggung yang telah dia sandarkan pada sebuah bangku yang sedang ditempatinya.

“Dua tangkai mawar putih melambangkan kata ‘ik’ dan memiliki arti kemurnian, tiga tangkai bunga mawar merah melambangkan kata 'hou' dan memiliki arti romantisme, tiga tangkai mawar pink melambangkan kata 'van' dan memiliki arti simbol cinta, tiga tangkai bunga anggrek warna putih, pink, ungu melambangkan kata ‘jou’ dan memiliki arti masing-masing warna keindahan, harmonis, dan kekaguman.” Kedua mata Jagat yang semula menatap pemandangan di depannya, kini beralih untuk kembali menatap manik Grace. “Dua tangkai bunga matahari melambangkan kata ‘be’ dan memiliki arti keabadian. Terakhir, empat tangkai bunga tulip warna putih, kuning, pink, ungu melambangkan kata ‘mine’ dan memiliki arti kedamaian, keceriaan, doa dan harapan, serta kesempurnaan.”

Jagat melirik tangan Grace yang sedang diistirahatkan di atas kakinya, kemudian menatap kembali mata perempuan di depannya. “Maaf.” Jagat mengulas senyumnya, lalu meraih tangan perempuan itu untuk dia genggam.

“Masing-masing bunga itu memiliki jenis tangkai yang berbeda, kan?” Grace mengangguk. Dia saat ini hanya bisa menatap Jagat tanpa beniat mengeluarkan suaranya, sebab, dirinya masih memproses perkataan dari Jagat beberapa saat yang lalu.

“Semua bunga dengan tangkai itu membentuk sebuah kata ‘ik hou van jou, be mine?’ kalau saya artiin ke dalam bahasa inggris, artinya … i love you, be mine?

Kedua bola mata Grace sontak langsung melebar, Jagat yang melihat reaksi tersebut hanya terkekeh. “Nggak usah saya jelasin juga mungkin kamu udah paham, ya? Saya suka kamu Mega, dari lama dan mungkin sadar nggak sadar kamu pun udah tau.” Jagat mengelus pelan punggung tangan perempuan itu menggunakan ibu jarinya, kemudian setelah itu dia kembali meletakkan tangan Grace secara perlahan. “Take your time, nggak dijawab sekarang juga nggak masalah, kok. Mau selama apa pun itu jawaban kamu, saya bakalan tungguin. Dan, apa pun jawaban kamu nanti saya bakalan terima.” Tangan Jagat terulur untuk merapikan rambut-rambut Grace yang tertiup angin dan menyelipkan ke belakang telinga perempuan itu.

Take your time, Mooi.” Jagat kembali mengulas senyumnya dan menepuk puncak kepala perempuan itu dengan pelan, sebelum akhirnya dia berdiri dan meninggalkan Grace seorang diri yang masih membeku dan memproses semua kejadian yang baru dialaminya.

“Mega,” panggil Jagat, membalikkan tubuhnya untuk menatap Grace yang masih menatap dirinya dengan raut penuh tanda tanya. “Ayo pulang, sebelum nanti macet.”


“Pulangnya mau bareng sama saya atau mau sama Jaya?” Jagat menghentikan langkahnya, memutar balik badannya untuk memastikan bahwa perempuan yang sedang mengekori di belakang akan pulang dengan siapa.

“Kenapa harus sama Jaya?” Grace terheran, seakan-akan Jagat tidak akan mengantarkannya pulang.

“Nggak, takutnya kamu canggung pasca kejadian tadi.”

Grace menggeleng dan mendekap bunga-bunga itu semakin dalam. “Pulang sama kamu.”

Jagat mengangguk dan meraih helm milik Grace. Kakinya dia bawa melangkah mendekati perempuan itu yang masih berdiri tiga langkah dari tempatnya berada. “Maaf, ya, saya bantu pasangin.” Helm tersebut secara perlahan sudah Jagat bantu pasangkan dengan rapi di kepala Grace.

Mesin motor sudah Jagat hidupkan, bersiap untuk segera meninggalkan panti asuhan. Hanya ada riang angin yang menemani perjalan mereka berdua. Situasi saat ini berbanding terbalik dengan situasi awal ketika mereka pergi. Kini hanya ada keheningan dan bunyi klakson kendaraan yang menemani sepanjang perjalanan.

Pelukan Grace pada bunga-bunga di dalam rengkuhannya kian mengerat. Dia tatap satu per satu bunga tersebut dengan raut wajah yang sulit diartikan. Perasaannya kini sedang campur aduk. Rasa terkejut, bingung, dan senang menjadi satu.

Terlalu lama larut dalam pikirannya membuat Grace tidak sadar bahwa kini kendaraan roda dua yang sedang dinaikinya telah berhenti tepat di depan gerbang kediamannya. Grace segera turun ketika sebuah tepukkan dia rasakan pada lutut kirinya.

“Terima kasih, ya, untuk hari ini. Terima kasih karena kamu udah mau kenal sama mereka dan terima kasih udah buat mereka bahagia atas bantuan kamu hari ini.” Jagat tersenyum setelah menyelesaikan ucapannya. Dia lirik sekilas bunga-bunga dalam rengkuhan Grace, lalu kembali menatap netra perempuan itu.

“Grace,” panggilnya.

Grace hanya menggerakkan alisnya untuk merespons panggilan tersebut. Rasanya sedikit aneh ketika mendengar lelaki di depannya memanggil dirinya dengan panggilan awal mereka bertemu. Padahal Grace sendiri menyadari bahwa itu namanya, namun, tetap saja. Grace tidak terbiasa tatkala mendengarnya.

Take your time. Selama apa pun jawaban kamu saya tetap bakalan nunggu. Tapi, tolong. Kalau pun jawabannya enggak, tetap kasih tau saya, ya? Jangan kasih saya harapan kalau pada akhirnya kamu nggak mengizinkan saya buat masuk dan nempatin hati kamu.”

Sorot mata itu ... Grace bisa melihatnya. Apa yang sedang dirasakan lelaki itu Grace bisa rasakan, meskipun lewat tatapan yang dipancarkan.

“Kalau gitu, saya pamit. Salam untuk ayah sama ibun, ya, kalau mereka udah pulang.”

Grace mengangguk, melempar senyuman kecil ke arah lelaki itu. Telinga Grace dapat menangkap suara mesin motor yang telah dihidupkan. Bersamaan dengan dia melangkah masuk ke dalam kediamannya, kendaraan roda dua itu mulai menjauh dan ditelan oleh gelapnya malam.

Tugas Jagat kali ini telah selesai. Dia telah mengungkapkan perasaan yang telah lama dirasakannya. Jagat tidak akan pernah menyesal karena telah mengenal dan menyimpan perasaan untuk perempuan itu. Banyak perubahan dari diri Jagat ketika mengenali sosok perempuan itu yang tidak diketahui oleh orang lain. Baru kali ini dia merasakan jatuh cinta sedalam ini. Grace lah yang mampu menarik semua atensinya. Jika ada jutaan bintang di langit, Jagat tidak akan pernah kesusahan untuk mencari Grace. Karena di matanya, Grace adalah bintang yang paling bersinar di langit malam.


Jij Bent Mooi.

By NAAMER1CAN0.


Grace, itu di area tribun ada Jagat. Tadi aku nggak sengaja lewat.”

Grace yang sedang merebahkan kepalanya di atas meja pun sontak langsung terbangun.

Matanya melebar dengan antusias ketika mengetahui seseorang yang sedang dicarinya sudah menampakkan batang hidungnya.

“Beneran?”

Fara mengangguk, menarik satu bangku di depannya lalu mendudukan diri. “Iya, beneran. Sendirian tadi dia di sana.”

Jajanan yang telah dibeli Fara kini mulai dibuka satu persatu. Grace menggeleng saat Fara menawari jajanannya, lantas Fara merespons dengan mengangkat tak acuh bahunya lalu menyantap jajanan itu sendirian dengan tangan kanan yang disibukkan untuk menggenggam sebuah kantong.

“Eh, kamu mau ke mana?!”

Bunyi decitan dari gesekkan kursi dan lantai pun menyadarkan Fara dari kegiatan menikmati makanan ringannya. Sang empu yang dipanggil tetap berjalan menghiraukan panggilan darinya.

Antusias Grace semakin berapi-api, saat teman satu bangkunya mengatakan bahwa dia secara tidak sengaja bertemu dengan Jagat; seseorang yang Grace cari dari hari kemarin. Kedua kakinya mulai menelusuri koridor sekolah, saling berpapasan dengan orang-orang yang memandang heran ke arahnya. Mungkin dirinya terlalu tergesa-gesa, sampai orang-orang saling melemparkan tatapan bingungnya.

Kedua kakinya semakin cepat berlari ketika netranya dapat menangkap jelas postur tubuh itu. Di seberang sana sedang memperlihatkan seorang lelaki yang sedang bersandar, tangannya bersedekap di dada, dengan mata yang terpejam.

“Jagat!”

Lantas, Jagat terperanjat ketika dapati Grace yang sudah berada sepuluh langkah dari tempatnya berada ditambah dengan sebuah teriakan yang memanggil namanya. Perempuan itu mulai berlari kecil ke arahnya membuat Jagat dengan refleks berdiri dan mengulas senyumnya.

“Hai.”

Tangan Jagat melambai, memberikan sapaan kepada seseorang di depannya. Bukannya membalas sapaan darinya, perempuan itu malah mengerucutkan bibirnya dan membuat dirinya heran.

“Kok malah mukul saya?!” Jagat sedikit terkejut saat perempuan itu memukul pelan lengannya. Kedua tangannya saat ini sedang asik mengelus lengannya. Meskipun pukulan tersebut tak terasa sakit, namun entah mengapa Jagat refleks memberikan reaksi tersebut.

“Kamu kok nggak bilang kalau kamu punya alergi kacang? Terus, kamu kok nggak nolak siomay yang aku kasih? Terus terus, kenapa hp kamu nggak aktif? Aku sama ayah khawatir, mau jenguk kamu tapi kata Yolan sama Aksa kamu lagi nggak mau dijenguk.” Napasnya tersengal dengan diakhiri sebuah kerucutan yang tercetak di bibir perempuan di depannya.

“Sini duduk dulu.” Jagat menggeser tubuhnya, lalu mendudukkan kembali dirinya di tempat semula. Tangan kirinya dia bawa untuk menepuk tempat di sebelahnya.

“Maunya dijawab.”

“Iya, nanti saya jawab. Duduk dulu, nggak capek emang lari-larian dari kelas ke sini?” Alis Jagat mengangkat sebelah membuat Grace yang melihatnya refleks menggelengkan kepalanya, dirinya sedikit malu seakan-akan telah tertangkap basah.

“Aku nggak lari.”

Sebuah tawa mengalun bersamaan dengan angin yang mulai menampakkan dirinya. Padahal Jagat bisa lihat sendiri bulir keringat yang mulai memunculkan dirinya di dahi perempuan itu. Namun, dia pun tak melanjutkan kata-katanya; tak mau membuat seseorang di sampingnya merasakan malu.

“Saya udah nggak apa-apa, kok. Pertanyaan pertama, karena nggak semua orang harus tau juga apa yang saya sukai dan nggak saya sukai. Pertanyaan kedua, siomay yang kamu tawarin keliatannya enak, lagi pula saya mau coba makan kacang siapa tau alergi saya nggak separah dulu.” Tangan Jagat terulur untuk merapikan sebagian helai rambut yang menghalangi pandangan Grace dan menyelipkannya di belakang telinga. “Dan untuk pertanyaan terakhir, handphone saya dirampas bunda jadi nggak bisa mainin, hehe. Maaf ya? Ini aja saya lagi nggak pegang handphone, masih disita.” Bahunya telah dia angkat, seolah berkata bahwa dia pun tidak mengetahui alasan mengapa Kartika; bunda Jagat menyita ponsel miliknya.

“Aku minta maaf, ya. Aku bener-bener nggak tau, kalau aku tau mungkin aku nggak akan nawarin kamu buat makan siomaynya.”

Kedua netra Jagat menatap lekat obsidian hitam sang empu yang sedang mengucapkan kata maafnya entah yang sudah keberapa kali. Jagat kembali menyandarkan punggungnya tanpa melepaskan pandangannya. Kedua ujung bibirnya terangkat membentuk senyuman indah bagi siapa pun yang melihatnya.

Mooi.” (Cantik.)

Grace menatap Jagat dalam, matanya menyipit tatkala telinganya tak sengaja mendengar suara yang tidak begitu jelas dari lelaki di depannya. “Iya, gimana? Boleh diulangi?”

Jagat yang menyadari bahwa gumamnya terdengar oleh perempuan di sampingnya pun langsung berdeham dan menegakkan tubuhnya.

“Bukan apa-apa, lupain aja.” Jagat menggeleng. “Jangan minta maaf lagi, ya? It’s ok, kok. Lagian berkat kejadian itu, saya bisa ngerasain kalau bumbu kacang di siomay itu memang enak. Saya jadi sedikit iri sama kamu yang bisa makan siomay sama bumbu itu setiap saat.” Ucapannya diiringi sebuah kekehan kecil agar Grace tidak merasakan perasaan bersalah yang semakin dalam.

Jagat tidak berbohong dengan ucapannya. Bumbu kacang itu sangat terasa lezat ketika disandingkan dengan siomay. Jika Jagat tidak memiliki alergi, mungkin makanan siomay akan menjadi makanan favoritnya.

Grace menghela napasnya pelan. Kepalanya menunduk untuk menatap ujung sepatunya. Seketika pandangannya tertuju pada sebuah kantong merah di sebelahnya, dia pun kembali teringat dengan tujuan utamanya untuk menemui lelaki di sampingnya.

“Jagat,” panggil Grace, membuat Jagat menolehkan wajahnya dengan alis yang terangkat. “Hm?”

“Kamu udah makan?” Gelengan dari Jagat seketika membuat senyuman terukir di bibir manis Grace.

“Suka nasi goreng?” tanya Grace. Tentu Grace tidak mau membuat kisah buruk untuk kedua kalinya, sehingga dia harus memastikannya dengan baik.

Jagat mengangguk. “Suka, kok. Kenapa?”

“Ini.”

Grace meraih kantong merah itu, lalu menyimpannya tepat di antara dia dengan Jagat.

“Aku bawain nasi goreng, ini sebagai permintaan maafku.” Tempat makan itu sudah dibuka sempurna oleh Grace. “Semoga kamu suka.” Grace menyerahkan sendok serta garpunya kepada Jagat. Tak lama Jagat mulai meraihnya.

“Suka, pasti suka. Makasih udah mau repot-repot buatin makanan untuk saya.”

“Sama-sama!” Antusias dari Grace buat hati Jagat menghangat. Jagat cukup bersemangat untuk segera mencicipi makanan itu. Andai jika ponselnya ada, mungkin Jagat saat ini sudah mengabadikan makanan itu dan akan memperlihatkan kepada kedua orang tuanya dengan bangga.

“Saya makan, ya?”

“Iyaa.” Grace mengangguk. “Gimana, enak nggak?” tanya Grace, penasaran dengan nasi goreng buatannya yang telah disantap oleh sang empu. Tak ada jawaban, Jagat hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan darinya.

“Kalau gitu abisin, ya! Aku mau ke kantin dulu beli minum, aku lupa bawain minum. Suka jus semangka?” Lagi-lagi Jagat mengangguk, mulutnya penuh dengan makanan yang telah dibuat Grace sehingga Jagat tak mampu untuk mengeluarkan suaranya.

Dengan perasaan riang, Grace segera meninggalkan Jagat yang masih asyik menyantap makanan buatannya.

Sedari tadi Jagat tidak berniat untuk melunturkan senyumannya. Mulutnya masih sibuk mengunyah sambil tersenyum. Jagat tidak menyesal telah mencicipi makanan kemarin jika berakhir seperti saat ini. Pun dengan pengalaman pertamanya ketika berhasil menikmati siomay dengan bumbu kacang.

“Gat!”

Teriakan itu berasalkan dari Yolan yang kini sedang berjalan menghampiri ke arahnya, diikuti oleh keempat teman lainnya; Aksara, Harri, Jaya, dan Rakha di belakang.

Anying sia makan teh nggak bagi-bagi, euy. Aing mau atuh.” Harri dengan cepat mendudukkan dirinya persis di samping Jagat. Tangannya sudah siap untuk menarik tempat makan itu, namun, Jagat dengan sigap menjauhkannya.

“Nggak boleh, ini untuk saya.”

Ih anying sia pelit pisan, nasgor ti saha emang?” (Ih lu pelit banget, nasi goreng dari siapa emang?)

“Kepo.”

Harri mendengus, bola matanya berputar malas ketika mengetahui bahwa satu temannya itu tidak memperbolehkannya untuk mencicipi. Namun, Harri tetaplah Harri. Dia akan selalu mendapatkan apa yang dia inginkan.

Saeutik asli, Ler. Sahuap we sahuap.” (Sedikit asli, Ler. Satu suap aja satu suap.) Kotak makan itu telah sukses Harri rampas, tangan kanannya mulai menyendok nasi goreng sebelum akhirnya dia santap.

Bagi Jagat sendiri, bukan karena dia pelit atau seperti hal lainnya yang dipikirkan oleh teman-temannya itu. Namun karena ….

ASIN, ANYING, ASIN. AI SIA GELO NGADAHAR NASI GORENG SAASIN IEU?! MEULI DI MANA ANYING SIA, LER?!” (ASIN, ASIN. LU GILA MAKAN NASI GORENG SEASIN INI?! BELI DI MANA LU, LER?!)

Harri menyerahkan kembali kotak makan itu pada sang empu. Keempat temannya yang sedang melihat adegan itu pun refleks tertawa dan merapalkan kata mampusnya. Sedangkan Jagat hanya bisa menghela napasnya.

“Eh, kamu kenapa Harri?” tanya Grace sesampainya di tribun lapangan sekolah.

Grace sedikit kebingungan ketika suara gaduh teriakan seseorang sudah terdengar jelas dari kejauhan membuat rasa penasaran Grace semakin besar.

“ITU ANJIR NASI GORENG SI JAGAT ASIN PISAN, MANEH LAGI MAKAN BARENG SAMA DIA BUKAN? COBA DEH COBAIN, BISI WE NASI GORENG MANEH SAMA ASINNYA KAYAK PUNYA SI JAGAT!” emosi Harri berapi-api. Rasa asinnya masih membekas dalam mulutnya dan Harri masih ingat seasin apa nasi goreng yang sedang berada di genggaman Jagat.

Jagat panik mendengar ucapan Harri yang tidak bisa dikontrol. “Nggak, kok, nggak asin.”

Asin anying! Sugan indra ngecap sia geus leungit anying!” (Asin! Indra pengecap lu kali aja udah ilang!)

Awh! Anying, ai sia kenapa nyubit aing?!” Harri melepaskan cubitan dari Jagat, lalu mengelus lengannya tepat di mana Jagat mencubitnya. Bola mata Grace melebar, dengan cepat dia segara menyimpan minuman yang telah dibelinya. Lalu, tangannya terulur untuk meraih kotak makan yang masih setia dipegang oleh Jagat.

“Ini punya saya.”

Jagat menjauhkan kotak makan itu, agar Grace tidak bisa membawanya.

“Ih, siniin! Kalau asin jangan dimakan, nanti aku buatin lagi yang nggak asin!”

Harri terdiam ketika mengetahui bahwa nasi goreng itu buatan dari seseorang yang telah dia teriaki sebelumnya. Kata-kata makian pun sudah Harri lontarkan pada dirinya sendiri. Bisa Harri lihat tatapan maut dari Jagat yang membuat bulu kuduknya mulai berdiri.

Anying, tolol si Hag!” bisik Yolan.

Aing teu ngiluan.” (Gua nggak ikutan.) Jaya melangkah mundur, membiarkan Harri ketiga orang itu menyelesaikan permasalahannya.

“Nggak, nggak asin. Harri sebelumnya abis minum pop ice makanya, pas nyobain nasi goreng disangka asin. Aslinya nggak asin kok.” Jagat berusaha menenangkan Grace, namun, sepertinya usahanya sia-sia. Karena perempuan itu bersikukuh untuk meminta kotak makannya.

“Saya lagi makan, kata bunda saya kalau makan itu harus dihabiskan. Nggak boleh disisain, Mega.”

“Kalau kamu nggak percaya, sebentar. Saya buktiin.” Jaya menolehkan wajahnya ke arah kanan dan kiri ketika Jagat menunjuk ke arahnya. Dia ingin memastikan apakah Jagat menunjuk dirinya atau tidak.

“Aing?” Jaya menunjuk dirinya sendiri. Tak lama sebuah anggukkan pun memenuhi pandangan matanya.

Anying, aing jadi bahan percobaan si goblog,” ketus Jaya. Aksara dan Yolan yang mendengar itu tak bisa menahan gelak tawanya, lantas mereka dengan terburu menutup mulutnya.

Semangat, Jay. Akting maneh kudu sing alus.” (Akting lu harus yang bagus.) Rakha menepuk punggung Jaya sebelum akhirnya temannya itu berjalan menghampiri Jagat.

Sebagai teman yang baik, mau tak mau Jaya mengiakan ucapan Jagat. Hitung-hitung balas budi karena selama ini Jagat telah banyak membantu dirinya. Satu suapan mulai masuk ke dalam mulut Jaya. Mata Jaya membentuk bulan sabit dengan senyuman yang terukir di wajahnya. “Nggak asin, aman.”

Entah senyuman itu dipaksakan atau tidak, namun, cukup membuat Grace percaya dengan raut wajah yang diperlihatkan Jaya.

Ceuk aing, ya, eta si Ajay di jero hate keur babangsatan da. Yakin aing,” (Kata gua ya, itu si Ajay di dalem hari lagi mengumpat sih. Yakin gua.) bisik Aksara pada Yolan. Yolan mengangguk setuju. Bahkan, Yolan sudah bisa mendengar umpatan dari temannya itu.

Jagat tidak sepenuhnya berbohong. Dia memang menyukai makanan yang memiliki citra rasa gurih. Jadi, untuknya hal itu bukan suatu hal yang harus dikhawatirkan. Bahkan, nasi goreng yang semula penuh kini sudah tak menyisakan satu butir nasi yang menandakan bahwa Jagat menyukai masakan itu.


Jij Bent Mooi Alternate Universe.

By NAAMER1CAN0.


Grace, itu di area tribun ada Jagat. Tadi aku nggak sengaja lewat.”

Grace yang sedang merebahkan kepalanya di atas meja pun sontak langsung terbangun.

Matanya melebar dengan antusias ketika mengetahui seseorang yang sedang dicarinya sudah menampakkan batang hidungnya.

“Beneran?”

Fara mengangguk, menarik satu bangku di depannya lalu mendudukan diri. “Iya, beneran. Sendirian tadi dia di sana.”

Jajanan yang telah dibeli Fara kini mulai dibuka satu persatu. Grace menggeleng saat Fara menawari jajanannya, lantas Fara merespons dengan mengangkat tak acuh bahunya lalu menyantap jajanan itu sendirian dengan tangan kanan yang disibukkan untuk menggenggam sebuah kantong.

“Eh, kamu mau ke mana?!”

Bunyi decitan dari gesekkan kursi dan lantai pun menyadarkan Fara dari kegiatan menikmati makanan ringannya. Sang empu yang dipanggil tetap berjalan menghiraukan panggilan darinya.

Antusias Grace semakin berapi-api, saat teman satu bangkunya mengatakan bahwa dia secara tidak sengaja bertemu dengan Jagat; seseorang yang Grace cari dari hari kemarin. Kedua kakinya mulai menelusuri koridor sekolah, saling berpapasan dengan orang-orang yang memandang heran ke arahnya. Mungkin dirinya terlalu tergesa-gesa, sampai orang-orang saling melemparkan tatapan bingungnya.

Kedua kakinya semakin cepat berlari ketika netranya dapat menangkap jelas postur tubuh itu. Di seberang sana sedang memperlihatkan seorang lelaki yang sedang bersandar, tangannya bersedekap di dada, dengan mata yang terpejam.

“Jagat!”

Lantas, Jagat terperanjat ketika dapati Grace yang sudah berada sepuluh langkah dari tempatnya berada ditambah dengan sebuah teriakan yang memanggil namanya. Perempuan itu mulai berlari kecil ke arahnya membuat Jagat dengan refleks berdiri dan mengulas senyumnya.

“Hai.”

Tangan Jagat melambai, memberikan sapaan kepada seseorang di depannya. Bukannya membalas sapaan darinya, perempuan itu malah mengerucutkan bibirnya dan membuat dirinya heran.

“Kok malah mukul saya?!” Jagat sedikit terkejut saat perempuan itu memukul pelan lengannya. Kedua tangannya saat ini sedang asik mengelus lengannya. Meskipun pukulan tersebut tak terasa sakit, namun entah mengapa Jagat refleks memberikan reaksi tersebut.

“Kamu kok nggak bilang kalau kamu punya alergi kacang? Terus, kamu kok nggak nolak siomay yang aku kasih? Terus terus, kenapa hp kamu nggak aktif? Aku sama ayah khawatir, mau jenguk kamu tapi kata Yolan sama Aksa kamu lagi nggak mau dijenguk.” Napasnya tersengal dengan diakhiri sebuah kerucutan yang tercetak di bibir perempuan di depannya.

“Sini duduk dulu.” Jagat menggeser tubuhnya, lalu mendudukkan kembali dirinya di tempat semula. Tangan kirinya dia bawa untuk menepuk tempat di sebelahnya.

“Maunya dijawab.”

“Iya, nanti saya jawab. Duduk dulu, nggak capek emang lari-larian dari kelas ke sini?” Alis Jagat mengangkat sebelah membuat Grace yang melihatnya refleks menggelengkan kepalanya, dirinya sedikit malu seakan-akan telah tertangkap basah.

“Aku nggak lari.”

Sebuah tawa mengalun bersamaan dengan angin yang mulai menampakkan dirinya. Padahal Jagat bisa lihat sendiri bulir keringat yang mulai memunculkan dirinya di dahi perempuan itu. Namun, dia pun tak melanjutkan kata-katanya; tak mau membuat seseorang di sampingnya merasakan malu.

“Saya udah nggak apa-apa, kok. Pertanyaan pertama, karena nggak semua orang harus tau juga apa yang saya sukai dan nggak saya sukai. Pertanyaan kedua, siomay yang kamu tawarin keliatannya enak, lagi pula saya mau coba makan kacang siapa tau alergi saya nggak separah dulu.” Tangan Jagat terulur untuk merapikan sebagian helai rambut yang menghalangi pandangan Grace dan menyelipkannya di belakang telinga. “Dan untuk pertanyaan terakhir, handphone saya dirampas bunda jadi nggak bisa mainin, hehe. Maaf ya? Ini aja saya lagi nggak pegang handphone, masih disita.” Bahunya telah dia angkat, seolah berkata bahwa dia pun tidak mengetahui alasan mengapa Kartika; bunda Jagat menyita ponsel miliknya.

“Aku minta maaf, ya. Aku bener-bener nggak tau, kalau aku tau mungkin aku nggak akan nawarin kamu buat makan siomaynya.”

Kedua netra Jagat menatap lekat obsidian hitam sang empu yang sedang mengucapkan kata maafnya entah yang sudah keberapa kali. Jagat kembali menyandarkan punggungnya tanpa melepaskan pandangannya. Kedua ujung bibirnya terangkat membentuk senyuman indah bagi siapa pun yang melihatnya.

Mooi.” (Cantik.)

Grace menatap Jagat dalam, matanya menyipit tatkala telinganya tak sengaja mendengar suara yang tidak begitu jelas dari lelaki di depannya. “Iya, gimana? Boleh diulangi?”

Jagat yang menyadari bahwa gumamnya terdengar oleh perempuan di sampingnya pun langsung berdeham dan menegakkan tubuhnya.

“Bukan apa-apa, lupain aja.” Jagat menggeleng. “Jangan minta maaf lagi, ya? It’s ok, kok. Lagian berkat kejadian itu, saya bisa ngerasain kalau bumbu kacang di siomay itu memang enak. Saya jadi sedikit iri sama kamu yang bisa makan siomay sama bumbu itu setiap saat.” Ucapannya diiringi sebuah kekehan kecil agar Grace tidak merasakan perasaan bersalah yang semakin dalam.

Jagat tidak berbohong dengan ucapannya. Bumbu kacang itu sangat terasa lezat ketika disandingkan dengan siomay. Jika Jagat tidak memiliki alergi, mungkin makanan siomay akan menjadi makanan favoritnya.

Grace menghela napasnya pelan. Kepalanya menunduk untuk menatap ujung sepatunya. Seketika pandangannya tertuju pada sebuah kantong merah di sebelahnya, dia pun kembali teringat dengan tujuan utamanya untuk menemui lelaki di sampingnya.

“Jagat,” panggil Grace, membuat Jagat menolehkan wajahnya dengan alis yang terangkat. “Hm?”

“Kamu udah makan?” Gelengan dari Jagat seketika membuat senyuman terukir di bibir manis Grace.

“Suka nasi goreng?” tanya Grace. Tentu Grace tidak mau membuat kisah buruk untuk kedua kalinya, sehingga dia harus memastikannya dengan baik. Jagat mengangguk. “Suka, kok. Kenapa?”

“Ini.” Grace meraih kantong merah itu, lalu menyimpannya tepat di antara dia dengan Jagat.

“Aku bawain nasi goreng, ini sebagai permintaan maafku.” Tempat makan itu sudah dibuka sempurna oleh Grace. “Semoga kamu suka.” Grace menyerahkan sendok serta garpunya kepada Jagat. Tak lama Jagat mulai meraihnya.

“Suka, pasti suka. Makasih udah mau repot-repot buatin makanan untuk saya.”

“Sama-sama!” Antusias dari Grace buat hati Jagat menghangat. Jagat cukup bersemangat untuk segera mencicipi makanan itu. Andai jika ponselnya ada, mungkin Jagat saat ini sudah mengabadikan makanan itu dan akan memperlihatkan kepada kedua orang tuanya dengan bangga.

“Saya makan, ya?”

“Iyaa.” Grace mengangguk. “Gimana, enak nggak?” tanya Grace, penasaran dengan nasi goreng buatannya yang telah disantap oleh sang empu. Tak ada jawaban, Jagat hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan darinya.

“Kalau gitu abisin, ya! Aku mau ke kantin dulu beli minum, aku lupa bawain minum. Suka jus semangka?” Lagi-lagi Jagat mengangguk, mulutnya penuh dengan makanan yang telah dibuat Grace sehingga Jagat tak mampu untuk mengeluarkan suaranya.

Dengan perasaan riang, Grace segera meninggalkan Jagat yang masih asyik menyantap makanan buatannya.

Sedari tadi Jagat tidak berniat untuk melunturkan senyumannya. Mulutnya masih sibuk mengunyah sambil tersenyum. Jagat tidak menyesal telah mencicipi makanan kemarin jika berakhir seperti saat ini. Pun dengan pengalaman pertamanya ketika berhasil menikmati siomay dengan bumbu kacang.

“Gat!”

Teriakan itu berasalkan dari Yolan yang kini sedang berjalan menghampiri ke arahnya, diikuti oleh keempat teman lainnya; Aksara, Harri, Jaya, dan Rakha di belakang.

Anying sia makan teh nggak bagi-bagi, euy. Aing mau atuh.” Harri dengan cepat mendudukkan dirinya persis di samping Jagat. Tangannya sudah siap untuk menarik tempat makan itu, namun, Jagat dengan sigap menjauhkannya.

“Nggak boleh, ini untuk saya.”

Ih anying sia pelit pisan, nasgor ti saha emang?” (Ih lu pelit banget, nasi goreng dari siapa emang?)

“Kepo.”

Harri mendengus, bola matanya berputar malas ketika mengetahui bahwa satu temannya itu tidak memperbolehkannya untuk mencicipi. Namun, Harri tetaplah Harri. Dia akan selalu mendapatkan apa yang dia inginkan.

Saeutik asli, Ler. Sahuap we sahuap.” (Sedikit asli, Ler. Satu suap aja satu suap.) Kotak makan itu telah sukses Harri rampas, tangan kanannya mulai menyendok nasi goreng sebelum akhirnya dia santap.

Bagi Jagat sendiri, bukan karena dia pelit atau seperti hal lainnya yang dipikirkan oleh teman-temannya itu. Namun karena ….

ASIN, ANYING, ASIN. AI SIA GELO NGADAHAR NASI GORENG SAASIN IEU?! MEULI DI MANA ANYING SIA, LER?!” (ASIN, ASIN. LU GILA MAKAN NASI GORENG SEASIN INI?! BELI DI MANA LU, LER?!)

Harri menyerahkan kembali kotak makan itu pada sang empu. Keempat temannya yang sedang melihat adegan itu pun refleks tertawa dan merapalkan kata mampusnya. Sedangkan Jagat hanya bisa menghela napasnya.

“Eh, kamu kenapa Harri?” tanya Grace sesampainya di tribun lapangan sekolah.

Grace sedikit kebingungan ketika suara gaduh teriakan seseorang sudah terdengar jelas dari kejauhan membuat rasa penasaran Grace semakin besar.

“ITU ANJIR NASI GORENG SI JAGAT ASIN PISAN, MANEH LAGI MAKAN BARENG SAMA DIA BUKAN? COBA DEH COBAIN, BISI WE NASI GORENG MANEH SAMA ASINNYA KAYAK PUNYA SI JAGAT!” emosi Harri berapi-api. Rasa asinnya masih membekas dalam mulutnya dan Harri masih ingat seasin apa nasi goreng yang sedang berada di genggaman Jagat.

Jagat panik mendengar ucapan Harri yang tidak bisa dikontrol. “Nggak, kok, nggak asin.”

Asin anying! Sugan indra ngecap sia geus leungit anying!” (Asin! Indra pengecap lu kali aja udah ilang!)

Awh! Anying, ai sia kenapa nyubit aing?!” Harri melepaskan cubitan dari Jagat, lalu mengelus lengannya tepat di mana Jagat mencubitnya. Bola mata Grace melebar, dengan cepat dia segara menyimpan minuman yang telah dibelinya. Lalu, tangannya terulur untuk meraih kotak makan yang masih setia dipegang oleh Jagat.

“Ini punya saya.”

Jagat menjauhkan kotak makan itu, agar Grace tidak bisa membawanya.

“Ih, siniin! Kalau asin jangan dimakan, nanti aku buatin lagi yang nggak asin!”

Harri terdiam ketika mengetahui bahwa nasi goreng itu buatan dari seseorang yang telah dia teriaki sebelumnya. Kata-kata makian pun sudah Harri lontarkan pada dirinya sendiri. Bisa Harri lihat tatapan maut dari Jagat yang membuat bulu kuduknya mulai berdiri.

Anying, tolol si Hag!” bisik Yolan.

Aing teu ngiluan.” (Gua nggak ikutan.) Jaya melangkah mundur, membiarkan Harri ketiga orang itu menyelesaikan permasalahannya.

“Nggak, nggak asin. Harri sebelumnya abis minum pop ice makanya, pas nyobain nasi goreng disangka asin. Aslinya nggak asin kok.” Jagat berusaha menenangkan Grace, namun, sepertinya usahanya sia-sia. Karena perempuan itu bersikukuh untuk meminta kotak makannya.

“Saya lagi makan, kata bunda saya kalau makan itu harus dihabiskan. Nggak boleh disisain, Mega.”

“Kalau kamu nggak percaya, sebentar. Saya buktiin.” Jaya menolehkan wajahnya ke arah kanan dan kiri ketika Jagat menunjuk ke arahnya. Dia ingin memastikan apakah Jagat menunjuk dirinya atau tidak.

“Aing?” Jaya menunjuk dirinya sendiri. Tak lama sebuah anggukkan pun memenuhi pandangan matanya.

Anying, aing jadi bahan percobaan si goblog,” ketus Jaya. Aksara dan Yolan yang mendengar itu tak bisa menahan gelak tawanya, lantas mereka dengan terburu menutup mulutnya.

Semangat, Jay. Akting maneh kudu sing alus.” (Akting lu harus yang bagus.) Rakha menepuk punggung Jaya sebelum akhirnya temannya itu berjalan menghampiri Jagat.

Sebagai teman yang baik, mau tak mau Jaya mengiakan ucapan Jagat. Hitung-hitung balas budi karena selama ini Jagat telah banyak membantu dirinya. Satu suapan mulai masuk ke dalam mulut Jaya. Mata Jaya membentuk bulan sabit dengan senyuman yang terukir di wajahnya. “Nggak asin, aman.”

Entah senyuman itu dipaksakan atau tidak, namun, cukup membuat Grace percaya dengan raut wajah yang diperlihatkan Jaya.

Ceuk aing, ya, eta si Ajay di jero hate keur babangsatan da. Yakin aing,” (Kata gua ya, itu si Ajay di dalem hari lagi mengumpat sih. Yakin gua.) bisik Aksara pada Yolan. Yolan mengangguk setuju. Bahkan, Yolan sudah bisa mendengar umpatan dari temannya itu.

Jagat tidak sepenuhnya berbohong. Dia memang menyukai makanan yang memiliki citra rasa gurih. Jadi, untuknya hal itu bukan suatu hal yang harus dikhawatirkan. Bahkan, nasi goreng yang semula penuh kini sudah tak menyisakan satu butir nasi yang menandakan bahwa Jagat menyukai masakan itu.


Jij Bent Mooi Alternate Universe.

By NAAMER1CAN0.


Sayup gemuruh pohon yang tertiup angin mulai menyambut kedatangan dua insan yang kini sedang terduduk di atas jok motornya. Gerbang itu terbuka secara otomatis membuat Grace membulatkan matanya takjub. Matanya menyelisik, menatap ke segala penjuru tempat agar otaknya dapat menyimpan memori mengenai apa yang telah dilihatnya. Kendaraan roda dua yang sedang ditumpanginya mendadak berhenti begitu saja. Grace bisa rasakan tepukkan pada lututnya; kemudian matanya mengerjap; memproses kejadian yang sempat dia lewati karena sedang asyik bermonolog pada dirinya menceritakan bagaimana indahnya tempat yang sedang dia kunjungi.

“Mega?” Jagat kembali memanggil perempuan di belakangnya, saat menyadari bahwa Grace diam bergeming merespons panggilannya.

“Eh, iya maaf.”

Segera Grace turun dari motornya, menyisakan kedua kakinya yang berdiri menopang beban tubuhnya.

Kedua ujung bibir Jagat terangkat membentuk senyuman ketika melihat raut kebingungan yang terpancar dari mimik wajah Grace.

“Lagi mikirin apa?” Tangan Jagat menengadah; meminta Grace untuk menyerahkan helm yang masih terpasang rapi di kepalanya. Grace melirik sekilas tangan lelaki itu hingga akhirnya dia paham dan menyerahkan helmnya.

“Ini kamu pernah kesasar sendiri di halaman rumah kamu nggak sih? Misalnya … kamu mau ke danau jadi kesasar ke sini?” tanya Grace dengan hati-hati, tanpa menolehkan wajahnya karena masih sibuk memandangi tempat sekitar.

Jagat refleks tertawa menghantarkan getaran pada tubuhnya akibat gelak tawa yang tak bisa dia sembunyikan. Lucu. Pertanyaan itu terlalu lucu baginya.

Grace dengan cepat menolehkan wajahnya ketika telinganya mendengar sebuah gelak tawa. Kepalanya dia miringkan saat melihat lelaki itu sedang tertawa ke arahnya. Rasa heran yang menghantui dirinya mulai muncul. Bagaimana tidak heran? Pertanyaannya hanya dibalas sebuah tawa yang hingga pada detik ini, tawa itu belum kunjung menghilang.

“Nggak usah dijawab aja pertanyaanku kalau gitu.”

Jagat menggeleng dengan cepat tak ingin membuat perempuan di depannya tersinggung. “Nggak pernah, Grace. Saya nggak pernah kesasar seperti yang kamu bilang.”

Grace mulai tersadar atas kebodohan dari pertanyaan yang telah dilontarkan. Dia memejamkan matanya sejenak kemudian menghela dan menghembuskan napasnya dengan pelan. Kedua kakinya sudah mengekori sang pemilik rumah dari belakang. Jarak antara kendaraan yang diparkirkan dengan tempat kuda berada cukup jauh; membuat Grace harus lebih pintar dalam mengatur napasnya.

“Capek?” Grace menggeleng.

“Maaf, saya izin.” Jagat mengulurkan tangannya lalu membantu menyeka dahi Grace yang mulai dipenuhi dengan bulir-bulir keringat. “Duduk dulu, ya, di sana. Saya mau bawakan dulu sepatu sama helm buat kamu.” Jagat menunjuk ke arah barat.

Grace cukup terkejut dengan perlakuan yang baru saya dialaminya. Bagaimana bisa seseorang dengan sengaja bantu mengusap keringatnya? Bahkan, tanpa bantuan sehelai kain ataupun tisu. Kedua pipinya mulai merona tatkala ingatannya secara tiba-tiba memutarkan kembali adegan tersebut.

“Nih, minum dulu,” ucap Jagat cukup mengejutkan Grace yang masih asyik pada pikirannya. Jagat menyerahkan satu botol minuman ke arahnya. Grace mengerjapkan matanya sejenak, lalu tak lama Grace meraihnya ketika Jagat menggoyangkan botol tersebut tepat di depan matanya. “Makasih.”

Minuman itu segera Grace teguk. Namun, saat air itu baru saja mengalir di tenggorokannya, Grace merasakan ada seseorang yang berusaha melepaskan sandal yang sedang dia gunakan.

“Eh, kamu ngapain?!” panik Grace, mengetahui Jagat adalah dari pelaku yang sedang berusaha melepas sepatunya.

Jagat mengangkat sebuah barang yang telah digenggamnya ke udara. Lantas Grace segera meliriknya; memperlihatkan lelaki itu sedang membawa satu pasang sepatu yang terasa asing untuknya. “Nggak usah, aku bisa sendiri. Kamu bangun, jangan jongkok.” Sebenarnya Grace ingin bertanya namun dia enggan; masih merasa malu atas kejadian sebelumnya.

Jagat mengangguk dan menyimpan sepatu itu persis di samping Grace, juga tak lupa menyerahkan sebuah helm untuk dia pakai. Dengan cepat Grace segera memasangnya tanpa mengeluarkan sepatah suara.

“Udah?” Grace mengangguk dan beralih menatap lelaki di depannya. Kaki kanan serta kepalanya dia bawa maju, memberikan akses untuk lelaki itu melihatnya.

“Ya udah kalau gitu ayo kita mulai, biar nanti kita nggak terlalu siang ke tempat hunting.

Jagat mempersilakan Grace untuk maju lebih dulu dengan tangan kanannya. Grace malah menjawab dengan sebuah gelengan. Maka, Jagat hanya bisa menaikkan alis kanannya.

Seolah mengerti dengan tingkah lelaki di depannya, Grace pun segera menjelaskan, “kamu duluan, aku ngikut dari belakang.”

Jagat tidak mau ambil pusing, sehingga dia lebih dulu melangkahkan kakinya dan perempuan itu mengekori ke mana langkah yang akan dituju.

Sepanjang perjalanan Grace menatap penuh ke arah bawahnya; dia menatap sepatu hitam yang entah mengapa sangat pas di kakinya. Telinga Grace seketika diramaikan oleh rengekan dari kuda-kuda yang berada di stable; kandang kuda.

Neigh, snort, whinny, dan nicker.”

Grace melangkahkan kakinya dengan tergesa, mensejajarkan langkahnya dengan lelaki itu. “Maksudnya?” heran Grace, kedua matanya sudah menatap lekat lelaki di sampingnya.

Jagat menoleh dan tersenyum. “Itu suara-suara dalam istilah kuda.”

“Kalau yang lagi rame ini biasa disebut apa?” tanya Grace cukup antusias untuk menerima jawaban dari pertanyaannya.

Neigh or whinny.”

Ah. Dia baru mengetahuinya itu sekarang. Rupanya kedua telinganya cukup familier dengan suara tersebut. Suara yang sering dia dengar ketika berpapasan dengan hewan itu, entah di jalan maupun di tempat wisata.

“Tinggi banget …,” Grace berucap tanpa berniat untuk mengatupkan kembali mulutnya. Dia cukup terkejut melihat kuda yang akan ditungganginya memiliki postur jauh lebih tinggi dari postur tubuhnya.

“Dia Robbert, tingginya 171 cm. Kuda jenis Thoroughbred, umurnya menginjak 5 tahun.”

Jagat membawa hewan itu mendekat. Tangan kirinya sibuk memegang bridle; tali handling, sedangkan tangan kanannya sibuk untuk mengelus ubun-ubun kuda itu.

“Memang di sini ada berapa jenis kuda?”

“Empat; Thoroughbred yang lagi saya pegang, Mustang, Morgan, terakhir ada Kuda Poni. Kuda yang punya postur tubuh lebih kecil dibanding kuda lainnya.”

Grace menjawab dengan anggukkan. Dia tidak terlalu mengerti dengan jenis kuda yang telah disebutkan sebelumnya, tekecuali kuda yang terakhir disebutkan Jagat. Bahkan, di matanya terlihat bahwa kuda-kuda itu memiliki karakteristik yang mirip. Hanya saja pada kuda di depannya ini memiliki corak putih di kakinya; seolah sedang memakai kaos kaki, dibandingkan dengan kuda-kuda lainnya.

Jagat melirik sedikit menggunakan ujung mata ekornya; menampilkan Grace yang sibuk memandangi kuda itu lengkap dengan peralatan yang telah memenuhi Robbert.

“Jadi, sebelum berkuda harus ada peralatan yang menunjang. Contohnya ini, ini yang saya pegang namanya saddle atau tempat duduk dan di bawahnya saddle pad. Ini gunanya sebagai alas sebelum saddle, karena struktur dari saddle sedikit keras jadi dipakein alas biar nggak ngelukain kulit kudanya. Saddle ini perlu disesuaikan sama kudanya jangan sampai terlalu kecil dan buat nggak nyaman.” Tangan yang semula berada di Saddle, kini beranjak menuju sebuah tali yang melingkar di kepala kudanya. “Kalau ini namanya bridle, bite, dan reins. Kegunaannya buat ngarahin kuda saat menunggang. Terlebih head bridle, karena daerah kepala sensitif untuk kuda dan kita bisa mengontrol dari situ.”

“Kalau yang ini,” Jagat menggerakkan tangannya menuju daerah perut, disentuhnya sekilas sebelum akhirnya kedua matanya kembali menatap wajah perempuan yang telah memberikan atensinya penuh ke arahnya. “Namanya girth, gunanya sebagai penyokong saddle biar selalu di tempt. Kurang lebih sama kayak sabuk yang biasa kita pakai.”

Grace mengangguk, mulai memahami dengan sebagian peralatan yang telah dijelaskan Jagat. Meskipun dia sedikit lupa dengan penamaannya.

“Selanjutnya ada stirrup, stirrup ini sebagai pijakan kita waktu nunggang dan sebagai alat bantu kita mau naik ke punggung kuda.”

“Ah, iya iya. Aku paham.”

“Itu tadi peralatan untuk kudanya, ini peralatan untuk kita sebagai penunggang. Pertama ada boots yang sedang kita pakai,” Jagat mengangkat sedikit kaki kanannya lalu digerakkan dengan pelan. “Kedua ada helmet kurang lebih sama kayak helm yang biasa kita pakai kalau lagi berkendara motor.” Tunjuknya pada sebuah benda yang menutupi sebagian kepalanya.

Semua yang telah dijelaskan oleh Jagat sudah Grace simpan di dalam otaknya. Dia akan mengingatnya dan mempelajari setelah sampai di kediaman rumahnya nanti.

“Kalau gitu saya contohin dulu, ya. Kamu nanti liat step-step-nya mulai dari saya naik, jalanin, sampai berhenti, dan turun dari kudanya.” Jagat menolehkan wajahnya. Mengibaskan kedua tangannya, memberi isyarat agar perempuan itu mengambil beberapa langkah mundur dari tempatnya saat ini. “Mundur sedikit, ya, takut debunya nanti kena kamu.”

Grace pun langsung membawa beberapa langkah kakinya ke belakang, tak mau mengambil risiko.

Kedua matanya tidak mengedip, karena tak mau melewatkan gerak-gerik yang sedang dicontohkan oleh Jagat. Jika dilihat, cara menaiki punggung kuda sangatlah mudah. Entah karena memang mudah atau karena Jagat cukup telaten pada bidang berkuda.

“Setelah naik, jangan langsung maju. Kasih jeda sedikit, habis itu kamu tarik pelan talinya—ah, jangan lupa megangnya kayak gini, ya, jangan pegang seperti ini.” Jagat mencontohkan sebuah pegangan yang salah dengan kedua tangannya. “Tapi, yang benar itu ibu jari sebagai tumpuan, lalu diputer sampai kamu megang talinya kayak gini.” Jagat mengangkat sedikit sebuah tali yang sedang dia pegang, memperlihatkan kesepuluh jarinya dengan nyaman memegang tali tersebut. Grace menyipitkan matanya sejenak, kemudian membalas dengan mengacungkan jempolnya.

“Jangan lupa, kaki kanan yang ada di stirrup kasih hentakan sedikit pada perut kudanya. Ini gunanya sebagai tanda kalau kita siap untuk maju sesuai yang udah saya jelasin sebelumnya.” Jagat mulai menggerakkan kaki kirinya, dia menekan sedikit pada bagian perut kuda. Sepersekian detik kemudian, kuda tersebut sudah mulai berjalan.

Pandangan Grace tidak teralihkan dari objek di depannya. Kepalanya bergerak seirama dengan kuda di depannya yang berlari ke sana dan kemari dengan riang. Grace tidak tahu apakah dirinya bisa menunggangi kuda tersebut atau tidak. Apalagi setelah melihat lelaki itu menunggang membuat rasa percaya dirinya hilang begitu saja, seperti telah terbawa oleh hembusan angin sekitar.

Let’s go, now it’s your turn.”

Jagat telah selesai memberikan sedikit contoh berkuda kepada Grace. Robbert sudah dia pegang agar tidak memberikan gerak yang berlebih dan memicu Grace takut untuk menaikinya.

Grace melangkahkan kakinya mendekati kuda tersebut. Tangannya dia simpan di atas saddle. “Usap dulu ubun-ubun kepalanya, biar kamu bisa berinteraksi dan membangun chemistry sama Robbert.” Tangan kanan Grace terulur. Dia usap secara perlahan kepala Robbert. Senyumannya merekah tatkala Robbert memberikan respons yang baik. Dia menundukkan kepalanya dengan riang, memberikan akses sepenuhnya agar perempuan itu bisa mengenalnya dengan jauh. “Itu tandanya dia mulai suka sama kamu, kalau udah kayak gitu selanjutnya kamu siap-siap naik. Nanti setelah naik, kamu posisiin dulu badan kamu di atas saddle, setelah itu kamu baru duduk, ya. Jangan langsung duduk, nanti Robbertnya kaget. Saya pegangin Robbertnya kok, kamu jangan takut.”

“Kaki kiri dulu?” tanya Grace memastikan.

“Yap, kaki kiri dulu. Tangan kanan kamu posisiin di ujung saddle, tangan kirinya pegang bridle atau reins. Hati-hati, ya.”

Sejujurnya Jagat sedikit khawatir apabila Grace memiliki kesan yang kurang baik pada kegiatan berkuda pertamanya. Dia hanya bisa mengontrol dari samping Robbert. Namun, dia sedikit lega mengetahui Grace sudah mulai pandai untuk menaiki Robbert sesuai dengan arahannya.

“Pegang reins-nya kayak waktu saya kasih contoh tadi di awal, masih inget?” Grace mengangguk, kesepuluh jarinya dengan sigap meraih tali tersebut dan mulai menggenggamnya sesuai dengan bagaimana Jagat mengajarkannya beberapa saat yang lalu. “Kayak gini?” Grace mengangkat sedikit talinya, memastikannya kembali.

“Pinter. Badan kamu tegak ya, jangan bungkuk. Kalau mau jalan kaki kamu kasih hentakan pelan ke perutnya, kasih hentakannya pakai kaki bagian dalem dan jangan terlalu keras.” Jagat menggenggam kaki kiri Grace dan memberikan contoh cara menghentakan kakinya. “Dan ini, kalau udah naik usahakan kaki kamu di stirrup jangan terlalu maju kayak gini.” Jagat menarik sedikit kaki Grace, agar kaki itu tidak terlalu depan dalam berpijak.

“Emang kenapa?” Kedua alis Grace menukik, menunggu jawaban dari ucapan sang empu yang telah membuat dirinya penasaran.

“Kalau seandainya kuda yang kamu tunggangi susah dikontrol kamu susah buat turunnya, takutnya nanti kaki kamu tersangkut dan badan kamu jatoh.”

Mendengar itu kaki kanan Grace pun segera dia mundurkan sesuai dengan kaki kiri yang telah dibenarkan sebelumnya oleh seseorang di bawah sana.

“Nanti kalau mau rem talinya ditarik pelan, kalau kudanya berhenti di tengah jalan terus mau jalan lagi. Kamu tinggal hentakin lagi kakinya. Begitupun kalau kamu mau makin kencang larinya, hentakannya lebih sering.”

“Katanya kamu bakal pegangin?” panik Grace setelah mendengar tuturan dari Jagat yang seolah ingin meninggalkannya seorang diri di atas Robbert.

“Iya saya pegangin, kok, cuman kalau nanti tiba-tiba berhenti kamu hentakin lagi.”

Grace mengangguk penuh semangat. Dirinya sudah sangat siap untuk menjalani kegiatan berkudanya. Kedua boots yang sudah membaluti kakinya, pun dengan helmet yang sudah terpasang rapi di kepalanya.

“Sip bagus, jalan dulu aja jangan lari.” Jagat yang semula diam, kini sudah mulai bergerak mengikuti langkah Robbert melaju. “Kamu kenapa pegangnya di bawah situ?” Grace menolehkan wajahnya ke arah bawah.

“Kalau pegang kuda lebih baik di samping, karena kalau kita pegang dari depan nanti takutnya kita digigit. Kalau di belakang pun takutnya kita kena tendangan dari kudanya. Jadi, di samping tempat yang cukup baik dan strategis.”

“Tapi sebenernya gapapa kalau kuda kita tunggangi gini? Apalagi dikasih kayak alat-alat gini takutnya buat dia nggak nyaman.”

Jagat tersenyum, membuat kedua matanya menghilang. “Kamu tau animal welfare?” tanya Jagat, kepalanya menengadah menatap kedua manik yang sedang memandang ke arahnya. Kedua tangan Jagat masih setia memegang bridle dari samping untuk menjaga agar seseorang di atas Robbert aman.

Sebuah gelengan pun didapatkan oleh Jagat.

“Ada yang namanya animal welfare, cantik. Animal welfare itu kesejahteraan yang didapatkan hewan tersebut. Animal welfare ini ada lima poin: bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit, bebas dari mengekspresikan perilaku, dan bebas dari rasa stress dan tertekan. Kita sebagai pemilik hewan harus tau dan peka kalau hewan yang kita pelihara sudah memberikan tanda ketidaknyamanan, artinya, kita harus memberhentikan itu semua. Jangan memaksa dan harus tau batasan dari hewan yang kita pelihara.”

Selama tujuh belas tahun Grace hidup, dia baru mengetahui perihal kesejahteraan hewan. Setelah bertemu dengan lelaki itu, Grace merasa banyak ilmu yang baru didapatkannya. Ilmu-ilmu yang bahkan sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran Grace untuk mencari tahu dan mempelajarinya.

“JAGAT!” teriak Grace, sedikit panik ketika kakinya tidak sengaja menepuk perut Robbert.

Robbert menangkap hentakan itu mengartikan bahwa seseorang yang sedang dia bawa di punggungnya meminta untuk mempercepat jalannya.

“Ih!” Grace memukul pundak lelaki itu sekilas, saat mengetahui orang tersebut malah menertawakan dirinya. “Hahaha maaf, habisnya saya kira kamu emang mau naikin kecepatan jalan Robbert.”

Grace memberengut. Pipinya sudah mengembung, menahan kesal karena degup jantungnya sudah dibuat berdetak kencang oleh keteledorannya sendiri. “Mau turun.”

“Tarik talinya dong cantik, mana ngerti dia kalau kamu ngomong kayak gitu ….”

Ini kedua kalinya tatkala telinganya menangkap dengan jelas ucapan itu. Cantik, cantik, cantik katanya. Grace dibuat salah tingkah. Awalnya dia mengira lelaki itu salah dalam berucap dan telinganya salah dalam mendengar. Namun, ternyata perkiraan dia salah. Dia pun seakan menulikan telinganya. Tidak ingin menggubris panggilan tersebut yang telah membuat jantungnya berpacu tidak normal.

“Apa?” tanya Grace, menangkap sebuah tangan yang terulur di hadapannya.

“Saya bantu.”

Grace menggeleng, menolak sebuah penawaran untuk membantu dirinya. “Nggak usah, aku bisa sendir—”

“Kan, dibilang saya bantu aja.” Dengan sigap kedua tangan Jagat mencengkeram pergelangan tangan Grace saat melihat perempuan itu akan terjatuh. Bahkan kini Jagat telah melepaskan Robbert secara penuh, seakan mengerti dengan kondisi, Robbert hanya berdiam di posisinya.

Boots-nya licin ditambah stirrup-nya dari besi, makanya kepleset tadi!”

“Oke…?” ucap Jagat dengan nada sedikit menggantung. Padahal dirinya tidak meminta penjelasan mengapa perempuan itu bisa terjatuh. Namun, kedua bibirnya dia tutup rapat tidak ingin membuat seseorang di hadapannya memberikan raut cemberutnya kembali. Meskipun apabila boleh jujur, Jagat menyukai pandangan itu, pandangan saat melihat Grace dengan raut cemberutnya. Lucu. Menurutnya itu sangat lucu.

“Makasih udah nolongin.”

“Iya, sama-sama, Mega.”

Keduanya mulai hening. Saling terdiam seribu bahasa. Padahal sebelumnya keduanya masih asyik bercengkerama, saling melempari dan menimpali ucapan tanpa berniatan untuk segera menghentikan topik yang sedang dibahas.

“Saya masukin Robbert dulu kalau gitu, ya. Biar kita langsung ke tempat hunting.” Jagat menjadi orang pertama yang melontarkan ucapannya.

Boots sama helmet-nya?”

“Kamu simpan di tempat tadi aja, ya, tolong.”

Grace segera membalikkan badannya dan berjalan menuju tempat semula yang dia tempati. Boots-nya segera dia lepas setelah mendudukkan dirinya di salah satu bangku. Helmet yang masih terpasang di kepalanya pun kini sudah tersimpan rapi di atas meja. Sedari tadi Grace merasa bahwa tempat ini tidak seperti rumah, namun, seperti tempat rekreasi yang memiliki berbagai spot tempat yang berbeda.

Rasanya hari ini menjadi hari terindah di mana Grace bisa merasakan pengalaman baru untuknya. Pengalaman menunggangi kuda yang tidak pernah terbesit dalam pikirannya. Dia terlalu takut apabila harus menunganggu seorang diri seperti pada beberapa tempat liburan yang menyediakan destinasi wisata berkuda. Namun, entah mengapa berkuda tadi tidak membuatnya takut, meskipun di akhir terjadi sedikit tragedi yang tidak diharapkannya.


Jij Bent Mooi Alternate Universe.

By NAAMER1CAN0


“Lho?” Grace terheran ketika maniknya tak sengaja menatap sebuah postur tubuh yang tidak asing baginya.

Semula Grace akan membukakan pintu rumahnya untuk ketiga temannya yang akan melaksanakan kerja kelompok di kediamannya. Namun, alih-alih dapati ketiga temannya, dia malah berpapasan dengan Jagat yang sedang berdiam diri di depan pintu rumahnya.

Jagat tentu sama terkejutnya saat dapati bukan orang yang sedang dia cari, melainkan seseorang yang telah membuat jantungnya berdegup kencang.

“Anjir!” kejut Yolan, menghentikan Jagat yang akan melontarkan ucapannya. “Maneh mau ngajak si Grace keluar bukan, Lang?” tanya Yolan, setiba di rumah Grace dan sedikit dibuat bingung dengan kehadiran temannya itu secara tiba-tiba.

Aksara dan Fara yang baru menginjakkan kakinya di depan pintu pun terheran. Lantas, Aksara segera berucap, “ya udah kalau maraneh berdua ada acara mah gapapa, kita kerja kelompoknya kapan-kapan lagi aja.”

Baru saja Grace ingin bersuara, namun, suara seseorang di belakangnya lebih dulu menginterupsinya.

“Nak, mau sekarang?” Pandangan mereka semua mulai ditujukan kepada lelaki paruh baya yang sedang melangkahkan kedua kakinya untuk menghampiri.

Maka, Jagat membalas ucapan itu dengan menganggukkan kepalanya. “Boleh, Om.”

“Kalian mau kerja kelompok, ya? Silakan masuk aja, saya mau ada acara dulu sama, Nak Jagat.”

“Ayah mau ke mana?” tanya Grace penuh dengan rasa penasaran. Grace dibuat bingung saat mengetahui bahwa ayahnya memiliki rencana kegiatan dengan seorang lelaki di depannya.

Benedict melirik sekilas pada barang yang berada di genggamannya, lalu dia angkat agar putri sulungnya dapat melihat. “Ayah sama Jagat mau main golf.”

Entah mengapa setelah mendengar penjelasan itu Grace merasa malu. Malu karena dia telah mempercayai ucapan Yolan juga ucapan Aksara yang mengatakan bahwa lelaki itu datang untuk menemui dirinya.

“O-oh, iya. Hati-hati, Ayah,” ucap Grace dengan gelagap.

Jagat mengulas senyumnya. “Saya duluan,” pamit Jagat pada keempat orang yang sedang berdiam diri di depan pintu dan menatap ke arahnya. Setelah itu, Jagat mulai mengekori Benedict dari belakang.

“Anjay si Elang keren gitu euy baru sekali ngehubungin Om Ben langsung garagas quality time,” bisik Yolan kepada Aksara. Kedua insan itu masih setia menatap punggung kepergian dua orang yang telah berpamitan sebelumnya.

“Asli, Mang Yolan. Udah kayak suhu aja si Mang Jagat.” Setelah itu, baik Aksara maupun Yolan kini keduanya saling tenggelam dalam tawanya. Merasa lucu dengan pembahasan mereka berdua.


“Jadinya mau ke tempat golf yang semalam, Om?” Jagat memastikan terlebih dahulu sebelum menjalankan mobilnya. Keduanya saat ini sudah terduduk di tempatnya masing-masing; Jagat di kursi pengemudi serta Benedict di kursi sebelah pengemudi.

Benedict meraih sabuk pengaman untuk dia pakai setelah dirasa dirinya telah nyaman mendudukan dirinya. “Iya, kamu tau jalannya, Nak?” tanya Benedict, tatapannya kini telah dia pusatkan penuh pada seseorang di sampingnya.

Jagat mengangguk menyetujui ucapan yang lebih tua. “Tau, Om, kebetulan rumah saya memang di daerah Dago.”

Jagat melirik sekilas pada barang bawaan yang Benedict simpan di sekitaran kakinya. “Barangnya simpan di belakang aja, Om, takutnya sempit.” Jagat cukup sadar saat dirinya melihat bahwa pria paruh baya itu terlihat tidak nyaman memposisikan kedua kakinya di sana, akibat beberapa barang yang menghalangi kakinya untuk leluasa beristirahat.

“Iya, ya, benar juga.”

Barang tersebut kemudian Benedict pindahkan ke belakang jok mobil yang lebih muda. Matanya tak sengaja melihat seragam putih-abu yang digantungkan begitu saja pada bagasi mobil saat dirinya sedang sibuk memposisikan barang bawaannya.

“Kamu baru pulang sekolah?” tanya Benedict, badannya kini telah dia sandarkan kembali dengan nyaman seperti semula. Pun, dengan pandangannya yang sudah dia arahkan pada pemandangan jalanan di depannya.

“Iya, Om. Biar nggak terlalu lama, jadi saya bawa baju ganti.” Ada sedikit nada kekehan di sana. Jagat sedang berusaha mencairkan suasana, karena entah mengapa dia merasa sedikit tegang saat menyadari dia berada di satu atap yang sama dengan seseorang di sebelahnya. Jagat tidak tahu apakah hanya dirinya yang merasakan ketegangan ini, atau pria di sebelahnya pun merasakan hal yang sama.

“Musik, Om?” Benedict menyimpan kembali ponselnya, lalu mengangguk. “Boleh.”

Jagat sudah bisa bernapas lega ketika alunan musik mulai menghangatkan suasana yang sedang dirasakannya. Mobilnya sudah berjalan sedari tadi. Saat bersama dengan ayahnya, Jagat akan menjadi seseorang yang banyak bicara. Semua apa yang dia lihat di jalan akan selalu dilontarkan kepada ayahnya, namun, untuk kali ini dia hanya bisa menelan mentah-mentah semua pertanyaan yang berada di benaknya.

“Kamu beneran lahir di Amsterdam?” Benedict menjadi orang pertama yang melontarkan pertanyaan. Maka, dengan cepat Jagat mengangguk bahkan hingga rambutnya ikut menaik dan turun dengan riang.

“Iya, Om, saya beneran lahir di Amsterdam.”

Benedict mulai tertarik dengan percakapan mereka, terlihat dari cara duduknya yang lebih mencondongkan ke arah kanannya. “Dari Nenek? Atau?” Melihat seseorang di sebelahnya tak kunjung jawab membuat Benedict merasa tidak enak karena telah mencoba mencari tahu privasi orang. “Maaf, saya kayaknya terlalu kepo. Jangan dijawab aja kalau begitu, Nak.”

Jagat memamerkan sekilas senyuman indahnya yang dia miliki, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Om. Dari Ayah sama Opa, Oma sama Bunda saya keturunan Vietnam Jawa. Opa juga ada Jawa nya sedikit karena dulu ketemu Oma pas lagi pendidikan S-1 nya di Jawa,” jelas Jagat dengan panjang lebar. Benedict sedari tadi hanya memasang telinganya dengan setia.

“Daerah mana?”

Jagat mengernyitkan dahinya, tak lupa menatap sekilas ke arah sampingnya lalu kembali memusatkan perhatiannya pada jalanan di depannya. “Daerah yang mana, ya, Om, kalau saya boleh tau?” tanya Jagat, karena mereka sedang membahas tiga negara dalam satu waktu sehingga Jagat perlu memastikan dengan jelas.

“Jawa nya, daerah mana?”

“Ah, Klaten, Om. Cuman saya lupa spefisiknya entah di bagian selatan, tengah, atau utara.” Bagaimana bisa ingat jika dirinya pun bisa dihitung jari mengunjungi kota tersebut. Terakhir Jagat menginjakkan kakinya di sana saat dirinya duduk di bangku kelas 2 SMP, artinya sudah hampir empat tahun yang lalu.

“Kalau, Om, Jawa nya di mana? Soalnya kalau nggak salah, Grace katanya pindahan dari Jawa juga?”

“Grace lahir di Jakarta, tapi saat duduk kelas lima SD dia pindah ke Purwokerto. Setelah itu, kelas 2 SMP dia pindah ke Yogyakarta. Terakhir, dia pindah lagi kelas 2 SMA ke Bandung.”

Ternyata Grace tak jauh darinya yang harus merasakan kehilangan orang-orang yang disayanginya. Namun, pikiran itu segera dia tepis, sebab, Tuhan paling tahu dalam memberikan rencana terbaik untuk umat-Nya.

Percakapan mereka tak hanya di situ. Mereka mulai membicarakan perihal salah satu lagu yang telah membuat fokus Benedict teralihkan secara penuh. Jagat kini baru menyadari, bahwa selera musik Grace tak jauh dari selera musik Ayahnya; pria paruh baya yang sedang bersamanya saat ini. Bahkan, Benedict berinisiatif untuk memberikan beberapa CD kepadanya agar Jagat bisa mengetahui tentang lagu-lagu lawas yang saat ini sudah mulai terlupakan oleh sebagian besar orang.

Pertama kali yang Jagat rasakan saat menginjakkan kakinya di sini; Heritage Dago adalah hembusan angin sore yang mulai menerpa wajah eloknya. Jagat memejamkan matanya sejenak sembari menghirup udara segar di sana. Aroma dari pepohonan pun mulai menyeruak dan berbondong-bondong untuk segera masuk dalam indra penciumannya.

“Ternyata curam juga, ya, tempatnya,” ucap Benedict, otomatis menghentikan kegiatan Jagat sebelumnya; menikmati udara segar.

Jagat pun menolehkan wajahnya seraya berkata, “loh, ini memang pertama kalinya, Om, main di sini?”

Benedict mengangguk mengiakan ucapan Jagat. “Iya, ini pertama kalinya saya ke sini dapat rekomendasi dari teman saya.”

“Saya kira Om udah tau, makanya saya nggak kasih komentar apa-apa perihal tempatnya.” Jagat menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, merasa tidak enak tidak memberi tahu keadaan yang sesungguhnya dari tempat yang mereka tempati saat ini.

“Kamu tau?”

“Tau, Om. Kebetulan saya sama ayah saya udah sering main di sini.”

Dago Golf Course atau biasa dikenal dengan Heritage Dago merupakan salah satu lapangan tertua di Indonesia karena dibangun pada tahun 1917 yang terdiri dari 18 hole, dengan spesifikasi;12 hole terdiri dari par 4, 2 hole terdiri dari par 5, dan 4 hole terdiri dari par 3. Lapangan ini terletak di lembah Bandung Utara, sehingga tempat ini sedikit curam.

“Mau siapa duluan yang main?” tanya Bendict.

Dengan suka rela Jagat memilih Benedict menjadi orang pertama yang akan memainkan permainan tersebut. “Boleh dari, Om Ben, duluan.”

Lantas, Benedict seakan setuju dengan ucapan yang lebih muda. Saat ini dia sudah bersiap untuk memukul bola pertamanya pada hole pertama, dengan harapan bola dari Benedict ini tidak akan meleset. Apabila meleset, sudah dipastikan bola tersebut akan memasuki jurang.

“Wah, gila, Om. Suaranya ….” Jagat dibuat takjub tatkala sebuah pukulan dari Benedict menghasilkan alunan suara yang begitu indah. Bahkan, Jagat masih ingat betul suara pukulan itu.

Benedict menyipitkan matanya, memastikan ke arah mana bola dia terjatuh. “Enak, ya?” kekeh Benedict, menyombongkan dirinya secara tidak langsung kepada yang lebih muda.

“Banget, Om. Nyaring lagi, enak didenger. Tanda-tanda pukulannya jauh.”

Benedict melangkah mundur, memberikan sedikit akses untuk yang lebih muda maju dan melaksanakan teeing shot (pukulan pertama).

Tak ingin memperlihatkan kesan pertamanya yang buruk. Jagat kini sudah memposisikan dirinya untuk melakukan pukulan pertamanya, dengan harapan suara yang dihasilkan akan sama indahnya dengan suara pukulan Benedict.

Nice.” Benedict sedari tadi memperhatikan pukulan pertama dari Jagat. Senyumannya terukir saat dirasa pukulan pertama yang lebih muda lebih kuat dari pukulan dirinya.

Jagat mengernyitkan dahinya tatkala menyadari arah dari bola golf yang telah dia pukul. “Masuk bunker, ya, kayaknya.” Baru saja dia menyelesaikan pukulannya, namun, sepertinya dirinya tidak diperkenankan untuk meraih skor unggul pada hole pertamanya.

“Nggak, Nak. Nggak masuk bunker kalau kata saya, itu bola nya melebihi bunker, sih.” Dalam permainan golf memiliki hazards atau biasa disebut dengan rintangan yang berada di permainan golf. Hazards ini terbagi menjadi dua, yaitu; bunker hazard (rintangan pasir) dan water hazard (rintangan air). Adanya hazard untuk mengasah skills dari para pemain golf.

“Saya akhirnya bisa ngerasain main golf sama yang lebih muda,” ucap Benedict, kedua tangannya memegang stick golf dengan lihai, Pun beberapa saat kemudian suara nyaring mulai terdengar kembali menandakan sang empu telah menyelesaikan pukulannya.

“Memang Junior nggak pernah main golf bareng Om?” tanya Jagat, penasaran saat mendengar bahwa dirinya menjadi orang pertama yang Benedict ajak untuk bermain golf selain teman-teman yang sebaya dengannya.

Benedict menggeleng tanpa melepaskan pandangan dari arah depannya, masih sibuk memperhatikan ke arah mana bola dia terjatuh. “Mana bisa dia saya ajak ke tempat kayak ginian, kesehariannya cuman nunduk sama ponselnya. Saya juga bingung sama tingkah dia.” Benedict menggelengkan kepalanya seraya mengingat kejadian di mana putra bungsunya menolak mentah-mentah ajakannya untuk bermain golf bersama.

“Masih awal-awal mungkin, Om, jadi masih susah lepas dari games-nya. Saya juga waktu awal-awal main sama kayak Junior, cuman sekarang saya udah jarang main games online lagi.”

Benedict mengangguk menyetujui ucapan yang baru saja Jagat lontarkan. Dirinya pun mafhum atas perlakuan anaknya, karena Benedict pernah muda dan pernah merasakannya.

“Mulai capek, ya.” Benedict tertawa saat kedua telapak kakinya sudah merasakan pegal yang luar biasa. Napasnya tersengal-sengal. Bahkan, untuk sekadar berucap pun Benedict perlu mengeluarkan tenaga yang lebih.

Jagat menggeleng dan membalas ucapan itu dengan kekehan kecil. “Semangat, Om, abis ini kita bisa naik buggy car lagi.”

Bagaimana tidak merasa pegal, mereka berdua telah sukses menyapu bersih ronde pertama yaitu menyelesaikan sembilan hole. Pada ronde pertama ini dimenangkan oleh Benedict dengan meraih 38 poin dan Jagat 41 poin dari jumlah par 35.

“Keren, Om!” seru Jagat, melihat yang lebih tua berhasil mendapatkan predikat birdie pada hole 11 par 3. Birdie merupakan skor satu angka yang kurang dari jumlah par dalam satu hole. Sedangkan, dirinya pada hole 11 mendapatkan predikat bogey yaitu kebalikan dari birdie yang berhasil mencetak skor satu angka yang melebihi dari jumlah par dalam satu hole.

“Saya sendiri juga kaget pas tau birdie.”

Sudah hampir satu jam tiga puluh menit mereka bermain. Tak terasa langit pun telah menampakkan lembayung senja. Beberapa menit lagi, mungkin langit yang riang memperlihatkan warna jingga akan kian menggelap dan berganti menjadi warna hitam.

Permainan semakin lama semakin menarik, sebab, Benedict dan Jagat saling berambisi untuk mencetak skor paling tinggi. Benedict dengan rasa percaya dirinya dan Jagat dengan rasa tidak mau memperlihatkan permainan yang buruk, karena takut ini merupakan permainan pertama serta terakhir kali dirinya dengan Benedict.

Kini keduanya telah menyelesaikan sebanyak 18 hole dengan total 70 par. Langit pun mulai hitam, menandakan waktu sudah kian larut. Benedict berhasil memenangkan permainan golf saat ini dengan perolehan seluruh skor 77 dan Jagat memperoleh skor 79 dari total jumlah par 70.

“Saya kayaknya harus belajar lagi biar nanti bisa ngalahin, Om Ben,” ucap Jagat diiringi kekehan kecil, sedikit malu karena dirinya memperlihatkan sisi kekalahannya.

“Saya tunggu, kalau kamu sudah jago kita main lagi nanti,” sahut Benedict dengan sedikit nada candaan di dalamnya.

Jika boleh jujur, Jagat mengakui bahwa permainan Benedict tak kalah jago dari permainan ayahnya. Padahal dirinya sudah sering bermain dan mengasah permainannya setiap kali dia bermain golf. Namun, kekalahan harus menghampiri lagi dirinya untuk saat ini.

“Saya dapet hukuman nggak, nih, Om?” bercanda Jagat, kedua tangannya kini sedang mempersiapkan pakaian untuk kegiatan membersihkan tubuhnya dari keringat yang sudah membasahi tubuhnya.

“Dapet, sebagai hukuman kamu ikut makan malam bareng saya di rumah, ya. Istri saya katanya sedang masak di rumah.”

Seketika Jagat menghentikan kedua tangannya yang sedang asyik merapikan barang bawaannya. Kedua matanya telah melebar dengan sempurna, bahkan, telinganya seakan tuli dan membutuhkan ucapan pengulangan agar bisa dia mendengarnya dengan jelas.

“Aduh, Om, kalau itu saya sedikit enggan. Nanti yang ada saya malah ganggu aktivitas makan malam Om Ben sama keluarga.” Jagat menggaruk belakang kepalanya, upaya menghilangkan rasa canggung juga rasa tidak enaknya.

“Saya nggak menerima penolakan, ya, Nak.”

Mau ditolak pun rasanya Jagat tidak mampu, hingga akhirnya dia mengangguk menyetujui ucapan Benedict dan melanjutkan kembali kegiatan yang sempat terhenti. Entah rasa bahagia atau canggung yang Jagat rasakan, tapi dia senang saat mengetahui secara tidak langsung dirinya perlahan mulai diterima di keluarga perempuan yang dia sukai.


“Eh, maaf, Om.” Jagat sedikit terkejut tatkala dapati Benedict yang sudah berdiri di belakangnya. Ponselnya pun segera dia masukkan kembali ke dalam kantong celananya.

Benedict mengulas senyumnya sekilas. “Gapapa, mereka ngasih izin kamu untuk makan malam bareng saya di rumah, kan?” tanya Benedict memastikan setelah kedua telinganya tak sengaja ikut mendengar sebuah pesan suara dari orang tua lelaki di depannya.

Jagat mengangguk cepat. “Iya, Om. Sudah.”

“Ya sudah, ayo, kita berangkat kalau begitu.”

Maka, Jagat dengan cepat meraih barang bawaannya terlebih dahulu sebelum akhirnya mereka berdua kembali menuju kendaraan roda empat miliknya.

Perjalanan yang mereka tempuh cukup macet membuat mobilnya terpaksa terparkir di antara puluhan mobil lainnya. Jagat melirik sekilas pada jam yang berada di pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul 19.00 malam. Dia pun menghela napasnya sekilas saat menyadari bahwa puluhan mobil-mobil itu kemungkinan orang-orang yang telah selesai bekerja dan bergegas menuju kediamannya masing-masing.

“Tau gitu tadi kita mandi di rumah saya aja, saya kira nggak akan semacet ini.” Benedict mulai bersuara ketika melihat kendaraan yang dinaiki sudah hampir sepuluh menit hanya diam di tempat, tanpa ada pergerakkan sedikit pun.

Tok … tok … tok!

Jagat dengan refleks menolehkan wajahnya ke arah sumber suara. Di sana terdapat anak kecil yang sedang mengetuk jendela mobilnya. Tak lama, Jagat mulai menurunkan kaca mobilnya dan memperlihatkan raut penasarannya.

“Kak, mau beli tisuny—Kak Jagat!”

“Loh, kamu?!” ucap Jagat, terkejut dengan kehadiran seseorang yang dilihatnya.

Benedict sedari tadi hanya bisa mengerjapkan kedua matanya tak henti ketika melihat kedua orang di depannya sedang asyik bercengkrama seperti seseorang yang sudah lama tidak berjumpa.

“Kamu jualan sama siapa? Ibu?” Anak itu mengangguk. “Iya sama Ibu!” telunjuknya menunjuk ke arah barat, lantas, Jagat hanya bisa mengikuti arah si kecil berada.

“Adek masih sakit?” tanyanya kembali disambut gelengan dari si kecil. “Adek udah sehat dari lama, kok, dari semenjak Kak Jagat bantuin kita jualan tisu besoknya Ibu beliin obat, terus habis itu Adek jadi lebih sehat!”

“Ya udah, ini buat Kak Jagat aja! Soalnya waktu itu udah mau bantuin aku, Ibu, sama Adek aku.” Si kecil menyerahkan dua pack tisu kepadanya. Jagat tentu tidak langsung menerimanya karena dia membantunya dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apa pun.

“Kakak beli aja, ya, soalnya Kakak waktu itu bantuin kamu ikhlas, kok. Jadi, sekarang Kakak beli, ya?” Jagat sudah berancang-ancang mengambil uangnya dan segera akan menyerahkan uang tersebut pada si kecil yang masih setia berdiri di depan jendela mobilnya. Namun, tangan seseorang menghentikannya.

“Saya aja.” Jagat mengernyitkan dahinya, meminta penjelasan lebih dari pria paruh baya di sampingnya. “Biar saya aja yang beli. Om beli semuanya ya, Adek. Berapa?”

Dengan riang si kecil berlari dan segera menghampiri pada pintu seberang, menghasilkan kekosongan yang berada di sampingnya. “Tujuh puluh lima ribu, Om!”

Maka, Benedict segera mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah muda. Lalu dia serahkan pada si kecil. “Sisanya untuk makan malam kamu, Ibu, juga Adek kamu, ya. Makan yang banyak biar kamu sehat.”

“Iya, siap! Abis ini aku mau ajak Ibu buat makan sate! Terima kasih, Om Besar, terima kasih, Kak Jagat! Aku pamit dulu, ya!”

“Salam dari Kakak untuk Ibu, ya. Nanti kapan-kapan Kakak kunjungi kamu lagi, ya.” Si kecil mengacungkan kedua jempolnya disertai sebuah cengiran yang membuat kesan gemas untuknya.

“Kamu beneran pernah bantu mereka buat jualan tisu?” tanya Benedict selepas anak itu pergi, kedua tangannya kini menyimpan tumpukkan tisu yang baru saja dia beli.

“Hehe, iya, Om. Dulu waktu awal-awal saya pindah ke sini, itu pun nggak sengaja karena Ibunya lagi gendong anaknya yang sakit. Karena kasian liat anak tadi kerja sendirian di tengah jalan raya, jadi, saya inisiatif bantuin.”

Ini baru pertemuan kedua bagi Benedict, namun, dia sudah merasakan bahwa sebagian hatinya sukses telah direbut oleh lelaki yang lebih muda di sampingnya. Ternyata, dugaannya tidak pernah salah. Bahkan, Benedict akan dengan senang hati mengizinkan putrinya untuk bersama lelaki itu.


From Jij Bent Mooi Alternate Universe.

by NAAMER1CAN0


Jagat merasakan jantungnya kali ini berkali lipat lebih berdebar dibandingkan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Atas kebodohannya yang dia perbuat, maka, Jagat mau tak mau harus menanggung akibatnya. Seperti saat ini, Jagat telah memberanikan diri untuk mengajak Grace berkencan secara terang-terangan.

Leonard; motor kesayangannya sudah dia mematikan, pun dengan Jagat yang sudah beranjak dari motornya untuk segera memasuki kediaman seseorang yang akan diajaknya berkencan. Jagat perlahan mulai menghirup udara di sekitarnya sebelum akhirnya dia hembuskan secara kasar. Dia kini sudah siap untuk mengetuk pintu di depannya.

Tangan kanannya baru saja akan mengetuk pintu itu, namun, seseorang di balik pintu tersebut sudah lebih dulu membukanya. Lantas, Jagat semakin dibuat kikuk setelah mengetahui seseorang yang telah membuka pintunya tak lain adalah ayah dari perempuan yang akan dia ajak untuk berkencan.

“Selamat pagi, Om.”

Jagat menyapanya dengan suara yang sedikit bergetar. Tangannya sudah terulur untuk mencium pria paruh baya di depannya. Tentu dengan senang hati Benedict; ayah Grace, menerima uluran tersebut.

“Saya Jagat, Om,” ucap Jagat, memperkenalkan diri saat mengetahui seseorang di depannya sedang dibuat bingung akibat kehadirannya secara tiba-tiba.

Benedict mengangguk. “Iya saya tau, kok.” Benedict membalikkan tubuhnya sekilas untuk melirik benda bulat yang terpampang di dinding putih rumahnya. “Bukannya di rundown kalian berangkat pukul setengah sembilan, ya?” Benda bulat itu menunjukkan pukul delapan pagi, yang artinya lelaki di depannya itu datang lebih cepat tiga puluh menit dari runtutan kegiatan yang telah dibuat sang empu. Mata Benedict kembali menatap seseorang yang lebih muda di hadapannya.

“Iya, Om.”

“Kalau gitu, nanti kamu yang harus nunggu, dong, jatuhnya?” Alis kanan Benedict terangkat seiring dengan sebuah pertanyaan yang dilontarkan.

Jagat tersenyum saat pertanyaan itu memenuhi rungunya. “Lebih baik saya yang nunggu, daripada Grace yang harus nunggu saya karena datang terlambat, Om.”

“Ya sudah, masuk dulu. Tunggu di dalam saja,” ucap Benedict, memberikan sedikit luang dan mempersilakan anak muda di depannya untuk menunggu putrinya di dalam rumahnya.

Dengan penuh ketegangan, Jagat mulai memasuki rumah megah itu setelah Benedict mempersilakannya untuk masuk. “Permisi, Om,” ucap Jagat saat melewati Benedict yang masih setia di depan pintu.

Keheningan mulai tercipta. Benedict dan Jagat mulai terlarut dalam pikirannya masing-masing. Mereka enggan untuk memulai percakapan. Jagat hanya bisa meremas kedua tangannya tatkala jantungnya mulai berdebar kembali. Bahkan, bulir-bulir keringat di dahinya sudah mulai tercetak dengan jelas.

“Kamu beneran bisa main golf?” tanya Benedict, setelah selama sepuluh menit mereka saling terdiam.

Jagat mengangguk mengiakan ucapan sang pemilik rumah. “Bisa, Om. Kebetulan saya sama ayah saya memang suka main berdua.”

“Menarik.”

Jagat memiringkan kepalanya, seolah sedang memastikan atas ucapan yang baru didengarnya. “Iya, Om? Maaf?”

Benedict menggeleng pelan, kedua ujung bibirnya terangkat, memberi sinyal bahwa dirinya tidak mengatakan apa pun.

“Nggak, itu silakan diminum.”

Jagat perlahan meraih cangkir yang sudah tersimpan rapi di atas meja di hadapannya. “Saya minum, ya, Om,” ucap Jagat sebelum akhirnya minuman tersebut dia teguk hingga menyisakan setengah, karena terlalu gugup sebab ini pertama kalinya dia berbicara dengan ayah Grace.

“Oh iya, Om, kalau boleh bertanya. Selain yang disebutkan tadi malam, kira-kira masih ada yang Grace tidak sukai atau dihindari nggak, ya, Om?” Jagat cukup antusias menunggu jawaban dari seseorang di hadapannya. Meskipun sebelumnya Jagat sudah mencari tahu, namun, bisa saja apa yang diketahui adiknya akan berbeda dengan apa yang diketahui ayahnya Grace.

Jagat tidak mau acara kencan pertamanya memiliki kesan buruk, sehingga dirinya perlu mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai oleh seseorang yang akan berkencan dengannya.

Benedict tidak langsung menjawab, melainkan dia memejamkan kedua matanya sejenak untuk mengingat kebiasaan yang selalu dihindari oleh putrinya.

“Di dalam power point sudah kamu jelaskan perihal apa yang nggak disukai anak saya.”

Maka, sudah bisa Jagat pastikan bahwa apa yang diucapkan Benedict adalah perihal Grace yang tidak menyukai seledri dan daun bawang mentah. Seketika Jagat merasa beruntung karena bisa lebih awal menyebutkan.

“Ah!” seru Benedict. Lantas, Jagat yang sedari tadi memperhatikan pun hanya bisa menyatukan kedua alisnya setelah mendengar seruan tersebut.

“Dia nggak suka acar di makanan nasi goreng atau sate, kalau makan soto biasanya kacang sama bawang gorengnya agak banyak.”

“Kalau pagi sukanya sarapan bubur atau lontong kari, kalau makan malam dia suka makan yang berkuah kayak soto, sop, dan sebagainya.”

Jagat saat ini hanya memfokuskan dirinya pada seseorang yang lebih tua. Telinganya sudah dia buka lebar dan sudah mempersiapkan otaknya untuk mengingat hal yang tidak disukai oleh Grace.

“Oh iya, tambahan, dia kalau makan harus ada air mineral dan air berasa. Makan dia sedikit banyak, jadi, jangan heran kalau nanti kamu lagi makan sama dia, dia bakalan tiba-tiba nambah porsi.”

Tawa Jagat memecah seiring dengan ucapan yang baru didengarnya. Bahkan, Benedict pun ikut tertawa dan menggelengkan kepalanya saat mengingat bahwa putrinya sangat gemar menikmati makanan.

“Nggak masalah, Om, selagi makanannya habis saya suka-suka aja liatnya.”

Benedict tersenyum dan membenarkan posisi duduknya. “Habis, kok. Dia nggak suka sisain makanan kalau makanan itu nggak cocok di lidahnya.”

“Saya percaya, kok, sama kamu.”

Jagat menolehkan wajahnya, kepalanya dia bawa miring seakan meminta penjelasan kembali karena kedua telinganya tidak menangkap dengan begitu jelas ucapan dari pria yang lebih tua.

“Maaf, gimana, Om?” tanyanya.

“Nggak, saya nitip Grace, ya.”

Sorot mata itu … tanpa dijelaskan secara rinci pun Jagat sudah mengerti. Sorot mata itu persisi seperti sorot mata yang selalu diberikan oleh kedua orang tua kepadanya.

“Sesuai rundown dan janji saya, saya bakal antar Grace pulang tidak lebih dari jam delapan malam, dan bisa saya pastikan Grace pulang dengan selamat tanpa lecet sedikit pun, Om.”

Benedict tersenyum menanggapi ucapan yang lebih muda. Benedict pun bisa lihat kegigihan serta tanggung jawab dari lelaki itu.

“Oh iya, Om, sebelumnya saya mau minta maaf kalau misalnya nanti waktu pulang, Grace nggak bisa ikut makan malam sama Om dan Tante, ya.”

Benedict menyipitkan matanya. “Kenapa memang?” tanya Benedict kebingungan.

“Sebelum antar pulang, saya mau ajak dulu Grace makan malam, Om, boleh?”

Tentu Jagat perlu meminta izin terlebih dahulu, terlebih karena makan malam adalah sebuah momen penting yang dilaksanakan oleh sebagian orang, termasuk untuk dirinya dengan keluarga.

Benedict mencondongkan badannya ke depan disertai dengan kekehan kecil, membuat rasa canggung kembali menghampiri keduanya. “Silakan, kamu nggak perlu minta izin. Silakan saja kalau mau ajak dia makan malam.”

Dengan begitu, akhirnya Jagat bisa bernapas lega. Padahal sebelumnya Jagat kira bahwa pria paruh baya di depannya akan menolak permintaan izinnya secara sepihak.

“Jagat, mau pergi sekarang?” ucap Grace secara tiba-tiba. Padahal sebelumnya Benedict akan mengajak anak muda di depannya untuk bicara lebih lanjut. Namun, kedatangan anaknya membuat dirinya mengurungkan niat tersebut.

Jagat refleks berdiri dari kegiatan duduknya yang kemudian tak lama disusul oleh Benedict. “Udah siap?” Grace mengangguk, masih setia berdiri di depan keduanya.

Jagat melirik sekilas ke arah kaki Grace yang masih memakai sandal rumahnya. “Nanti pakai sepatu aja jangan flatshoes takut kaki kamu lecet, pakai yang buat kamu nyaman. Pakai sendal biasa juga nggak masalah, kok.”

Benedict lagi-lagi hanya tersenyum setelah melihat interaksi keduanya dan dirinya bisa mempercayai orang tersebut sepenuhnya.

“Iya, mau pakai sepatu, kok. Kalau pakai sendal takut item sebagian kakinya.”

Mendengar itu, membuat Jagat merasa iba. Perasaan tidak enaknya mulai hadir tatkala mendengar jawaban yang keluar dari mulut Grace.

“Maaf, ya, saya nggak pakai mobil. Soalnya takut perjalanan kita abis kejebak macet, apalagi kalau weekend kayak gini.”

“Nggak apa-apa, Jagat,” sahut Grace, sambil memamerkan senyuman indahnya. Kepalanya kini menoleh dan menatap obsidian hitam sang Ayah. “Ayah, aku berangkat dulu, ya. Nanti bilangin Bunda aku berangkat.”

“Kalau gitu saya juga pamit, ya, Om. Titip salam ntuk Tante, janjinya bakal saya tepati, kok. Saya janji.” Jagat mengangkat telapak tangan kanannya, lalu dibawa sejajar dengan wajahnya seolah sedang bersumpah dengan janjinya yang sudah disepakati secara bersama sebelumnya.

Benedict terkekeh melihat tingkah dari yang lebih muda. “Iya, hati-hati, ya.”

Grace lebih dulu menghampiri dan mencium tangan Benedict, kemudian disusul oleh Jagat sebelum keduanya benar-benar meninggalkan rumah mewah yang memiliki daya tarik tersendiri di matanya. Tentu, sebagai tuan rumah yang baik, Benedict ikut mengantarkan dan memantau anak sulungnya.

Nak, jangan lupa, ya, nanti!” ucap Benedict dengan nada yang sedikit meninggi. Benedict tidak tahu apakah panggilannya akan terdengar oleh seseorang di depan sana atau tidak.

Jagat yang baru saja menyalakan mesin motornya langsung dia matikan agar bisa menjelas suara dari seseorang yang sedang berdiri di depan pintu terdengar dengan jelas. Dahinya mengkerut karena tidak bisa menangkap ucapan dari pria paruh baya itu.

“Ah!” seru Jagat ketika Benedict memperagakan sebuah gerakan. Jagat mengangkat jempol kanannya sebagai balasan dari usaha yang telah diberikan Benedict. “Siap, Om!” sahut Jagat dengan semangat.

“Tadi bahas janji-janji, emang janji apa?” tanya Grace, setelah memposisikan dirinya di atas motor Jagat dengan nyaman lengkap dengan helm yang sudah melindungi kepalanya.

“Oh, itu, janji sebelum jam delapan malem kamu udah di rumah.” Jagat melirik sekilas ke arah spion motornya.

“Kalau tadi, jangan lupa apa kata ayah?” Grace masih dibuat penasaran ketika ayahnya dengan mudah bisa akrab dengan seseorang yang terbilang sangat asing.

“Ada, deh.”

“Ih!”

Jagat terkekeh saat melihat reaksi dari seseorang di belakangnya yang sedang menahan rasa sebal akibat jawaban darinya.

Mesin motor sudah Jagat hidupkan, bahkan kopling motornya sudah dia injak dan bersiap untuk memulai perjalan bersama dengan seseorang yang sedang berada di belakangnya. Jagat berharap apa yang mereka lakukan hari ini akan berkesan dan membuat perempuan itu bahagia atas usahanya.

“Sarapan bubur dulu, ya? Soalnya kamu belum sarapan.”

Grace memiringkan sedikit kepalanya agar seseorang di depannya itu bisa mendengar jelas ucapan darinya. “Kamu sendiri udah sarapan?”

Jagat menggeleng dan tersenyum. “Belum, makanya ini saya ngajakin kamu sarapan dulu. Nggak apa-apa, kan?”

“Iya gapapa, boleh—”

duk!

“—eh maaf.” Grace mulai menjauhkan kepalanya saat dirasa helmnya beradu dengan helm Jagat. Padahal Grace pastikan bahwa dia mengangguk pelan, tapi entah mengapa helmnya malah mengenai helm seseorang di depannya.

“Hahaha, nggak apa-apa, Mega. Emang gitu, kok, helm bentukan kayak gitu memang suka kejeduk tiba-tiba.”


“Kamu duduk dulu aja, biar saya yang pesenin.”

Kini keduanya telah sampai di tempat bubur yang menjadi tempat favorit Grace untuk sarapan setiap harinya apabila bundanya tidak memasak. Grace mengangguk dan berjalan ke salah satu tempat yang kosong untuk dia dan Jagat tempati.

Tak lama Jagat datang dan mulai mendudukkan dirinya tepat di seberang Grace.

“Nanti mau ke mana aja?” tanya Grace, cukup antusias sekaligus merasa canggung karena ini pertama kalinya dia diajak berkencan secara terang-terangan oleh lelaki di hadapannya.

Jagat terdiam sejenak, sebelum akhirnya bersuara, “museum? Saya mau ajak kamu ke tempat bersejarah di daerah Bandung, nggak apa-apa?” Kini Jagat balik bertanya kepada perempuan di depannya.

Awalnya Jagat mengira bahwa dia akan menolak ajakannya, ternyata setelah melihat senyuman dan anggukkannya cukup bisa membuat dirinya bernapas dengan lega.

Permisi, buburnya.

“Terima kasih, Pak,” ucap keduanya dengan serentak, kemudian saling bertatapan dan terkekeh saat menyadari keduanya berucap kalimat yang sama.

“Eh?” Grace cukup terkejut saat melihat satu mangkuk buburnya bersih dari seledri juga daun bawang mentah. Padahal setiap dia makan di sini, pasti seledri dan daun bawangnya akan tetap terbawa.

“Kenapa, Mega?” Jagat dibuat heran melihat Grace yang sedari tadi hanya menatap satu bangkuk buburnya, seperti tidak menujukkan tanda-tanda akan menyantapnya. Sedangkan, Jagat sendiri sudah bersiap untuk memakannya.

“Enggak, cuman heran aja. Nggak ada seledri sama daun bawangnya.”

“Oalah, itu saya yang bilangin biar punya kamu nggak dikasih daun bawang sama seledri,” ucap Jagat dengan santai, justru hal tersebut membuat Grace semakin terheran.

“Kok kamu tau aku nggak suka seledri sama daun bawang?”

Feeling aja,” sahut Jagat, mengangkat kedua bahunya.

“Aneh, setiap aku nanya kamu pasti jawab feeling terus.”

Sontak ucapan tersebut menghentikan Jagat untuk menyuapi makanan ke dalam mulutnya, padahal sebelumnya Jagat sudah berdoa dan sudah siap untuk menikmati satu mangkuk bubur yang sudah sangat terlihat menggoda di matanya.

“Baca doa dulu, jangan lupa,” ucap Jagat saat kedua matanya tak sengaja melihat Grace akan memasukkan satu suapan bubur ke mulutnya.

Anggukkan dari Grace membuat senyuman Jagat kembali terukir. “Hati-hati, buburnya masih panas.”

“Kamu tim bubur diaduk atau nggak diaduk?” tanya Grace, kedua matanya menatap lekat seseorang di hadapannya.

Alih-alih menjawab, Jagat malah menunjuk satu mangkuk bubur di hadapannya menggunakan dagu.

“Nggak diaduk,” sahut Grace setelah melihat mangkuk Jagat yang tidak mengaduk buburnya.

“Kalau kamu?” tanya Jagat setelah memastikan satu suapan bubur di mulutnya sudah dia telan.

Tawa Jagat memecah saat perempuan itu sedang memperagakan dirinya dalam menjawab pertanyaan yang baru saja dia lontarkan. Menunjuk mangkuk bubur dengan dagunya.

“Hahaha, iya, maaf, ya. Di mulut saya tadi lagi ada makanan, jadi, nggak sopan kalau jawab.”

Keduanya pun mulai menikmati sarapannya dalam diam. Senyuman Jagat semakin merekah saat melihat perempuan di depannya menikmati makanannya dengan lahap. Jagat menyukai pribadi perempuan itu yang tidak memperlihatkan sisi jaimnya. Semua apa yang ada pada diri Grace, Jagat telah menyukainya, dan telah jatuh semakin dalam.


From Jij Bent Mooi Alternate Universe.

By NAAMER1CAN0.