Gadis dengan rambut diikat satu yang dibiarkan berantakan itu berkali-kali menguap, menatap bosan seorang guru yang sedang memandu kegiatan olahraga pagi ini. Kedua tangan gadis itu memeluk erat kaki miliknya, sementara pandangan ia lurus ke depan dengan sesekali mencuri pandang ke arah lain. Ketika hendak akan mengalihkan kembali pandangan untuk menatap penuh sang guru, tak sengaja matanya menangkap objek lain yang refleks membuat ia mengulas sebuah senyuman.
“Bareng lagi ternyata,” ucap Syifa dengan pelan, tubuhnya semula membungkuk kini telah tegak sempurna.
Frisilla menoleh, menatap heran ke arah gadis di sampingnya. “Kenapa, Cip?” bisik Frisilla, tak ingin menginterupsi sang guru di depan. Pun tak ingin menjadi sasaran empuk amarah gurunya.
Syifa terperanjat. Ia menggeleng dengan cepat agar tak menimbulkan pertanyaan lebih lanjut dari temannya itu. “Nggak! Syifa nggak ngomong apa-apa, kok!” bantah Syifa, dengan harapan Frisilla akan mempercayai ucapannya.
“Oh, kirain tadi ngajak aing ngomong.”
Syifa tersenyum sembari menggelengkan kepala. Sekarang ia sudah bisa bernapas lega setelah mengetahui bahwa Frisilla mempercayai ucapannya yang penuh kebohongan. Sebenarnya ia tak bermaksud untuk membohongi Frisilla, namun tak semua harus mengetahui apa yang sedang ia rasakan, bukan?
Syifa sendiri tahu bahwa di kalangan rekan-rekannya—Aira, Frisilla, dan Nashella—sudah mengetahui ketertarikannya terhadap kakak kelas itu, akan tetapi kembali lagi pada prinsip awal bahwa tak semua orang perlu tahu apa yang sedang ia rasakan. Terlebih posisi mereka saat ini sangat tidak memungkinkan Syifa untuk bercerita. Apabila ia tetap bersikukuh untuk bercerita, mungkin satu kelas akan mengetahui tentang ketertarikannya pada laki-laki yang sedang berjalan menuju segerombolan orang-orang lebih dulu telah baris dengan rapi.
Syifa menggeleng cepat, berharap dengan gelengan itu segala isi pikiran akan ikut terhempas dari kepalanya. Tetapi, tampaknya ia sedang tak berada dalam kondisi beruntung sebab gerakan kepala itu justru berhasil membuat seorang guru di depan sana memberikan perhatian kepadanya.
“Syifa kenapa? Sakit?”
Bola mata Syifa melotot; degup jantung berdetak cepat seiring dengan tatapan dari rekan-rekan kelas tengah menatapnya penuh pertanyaan. “Nggak, Pa! Syifa nggak sakit, tadi ada lalet makanya Syifa geleng-geleng kepala!” kilahnya. Gadis itu tak henti menyerukan sebuah kalimat penuh harap agar sang guru akan mempercayai ucapannya di dalam hati. Belum genap setengah jam ia berdiri di lapangan ini, namun sudah dua kebohongan yang ia lontarkan tanpa rasa malu.
“Oh, yaudah kalau gitu pemanasannya dimulai sekarang, ya. Lima belas menit lagi langsung ke lapangan yang aspal buat persiapan lari.”
Kalimat itu menjadi kalimat penutup dari sang guru, pun setelah mendengar titahan itu semua siswa dan siswi sudah membubarkan diri. Saling mencari orang untuk menjadi pasangan pemanasan—peregangan otot—sebelum melakukan kegiatan lari yang akan dimulai dalam hitungan beberapa menit ke depan. Syifa yang berniat akan kembali menolehkan wajah ke arah pemandangan di depan sana, harus segera mengurungkan diri ketika sang guru justru memberikan perintah untuk melakukan pemanasan.
Jika harus menjabarkan tentang pelajaran olahraga, maka dengan lantang Syifa akan mengatakan bahwa ia benar-benar tak terlalu menyukai mata pelajaran itu. Terlebih ketika harus berolahraga berlari, ia sangat tak menyukainya dibandingkan dengan bab olahraga yang lain. Bahkan, untuk dirinya yang tak terlalu mahir berenang, ia lebih memilih olahraga berenang dibandingkan dengan lari. Sudah terbayang bukan betapa ia tak menyukainya?
Selain malas olahraga berlari, Syifa pun memiliki alasan lainnya yaitu ketika melaksanakan lari mau tak mau harus melakukan peregangan otot yang mana hal itu selalu membuat seluruh bagian tubuhnya sakit di keesokkan hari. Misalnya ketika ia melakukan pemanasan sit up, keesokkan harinya ia akan merasakan sakit dibagian perutnya sehingga tak bisa leluasa tertawa ketika rekan-rekannya mengeluarkan guyonan.
“Kamu mau kerjasama nggak, Ashe?” tanya Syifa dengan berjalan beriringan, mencari tempat teduh untuk melaksanakan peregangan otot.
“Apaan?”
Syifa mendekati Nashella, lalu berbisik, “kalau misalnya nanti disuruh sit up, push up, pull up, dua puluh kali, kita diskon jadi sepuluh aja, gimana? Kamu mau nggak?” ujar Syifa dengan nada teramat pelan sembari sesekali tatapannya terarah pada sekitar, takut akan tiba-tiba sang guru berada di belakang mereka dan mengetahui niat licik itu. “Ini rahasia kita berdua aja!”
“Ih, maneh curang anjir!” Nashella menggeleng, menolak mentah-mentah ide tersebut. “Nah, awal mula adanya kasus korupsi tuh berawal dari hal-hal kecil kayak gini. Nggak jujur dan selalu mencari cara untuk menghalalkan apa yang mereka ambil,” sindir Nashella.
Syifa berhasil dibuat bungkam oleh untaian kalimat yang baru diserukan Nashella untuknya. “Tapi, ini kasusnya beda! Lagian emang kamu mau besok badan kita sakit-sakit?!” bela Syifa meyakinkan.
Nashella lebih memilih untuk tak menggubris ucapan itu. “Cepet maneh dulu, Cip.” Nashella menunjuk tempat teduh di depan, mengisyaratkan agar Syifa cepat pergi ke tempat sana. “Inget, dua puluh jangan diskon jadi sepuluh!” sindirnya diiringi kedua mata yang melotot.
Syifa memutar bola mata malas, bibirnya mencebik disertai runtutan kalimat kebencian yang ia ucapkan dalam hatinya.
Dengan penuh rasa malas, akhirnya mau tak mau Syifa dengan cepat melakukan pemanasan. Walaupun sebenarnya tubuh ia sulit untuk menikmati rangkaian olahraga itu, namun ia tetap harus memaksakan demi kebaikan dirinya ketika berlari nanti.
Baru delapan kali ia melakukan sit up, tampaknya kondisi perut ia sudah tak sanggup melakukan olahraga itu sampai tuntas. Syifa sudah tak peduli dengan waktu yang terus berjalan, terlihat dari sang empu yang sedari tadi masih asyik merebahkan tubuhnya daripada melanjutkan pemanasan itu. Setiap ia berhasil melakukan dua kali sit up, setelah itu ia membutuhkan setidaknya waktu sekitar lima belas detik untuk menghilangkan rasa kram pada perutnya. Lucunya acap kali ia beristirahat untuk menarik napas, pandangan ia akan tertuju kepada segerombolan orang di depan secara tak sadar.
“Arah jam tujuh jangan langsung ditengok.”
Jaya mengernyit heran, ia menoleh sembari menatap laki-laki di sampingnya untuk memastikan sesuatu. “Ngomong sama aing?” Pertanyaan itu dibalas anggukkan oleh sang empu.
“Aing dari tadi penasaran kayak ada orang yang merhatiin, ternyata tersangkanya ada di arah jam tujuh. Tapi maneh jangan langsung nengok, ya, Anying!”
Jaya mengangguk paham. Laki-laki itu langsung merogoh celana olahraga untuk mengambil sebuah benda yang asyik bersenyaman di dalam kain tebal itu. Setelah mendapatkan benda elektronik itu, ia segera membawa benda itu untuk sejajar dengan tubuhnya. Sedetik kemudian jemari laki-laki itu lincah menekan ikon kamera dan mengarahkan pada posisi yang telah dimaksud Harri sebelumnya.
“Anying pinter gini temen aing!” puji Harri, menatap takjub Jaya yang tengah mengarahkan kamera ponsel itu menuju ke arah dua orang di belakang sana dengan salah satu gadis tak henti menaruh perhatian ke arah mereka.
“Oh, kirain siapa.”
Merasa tak tertarik dengan obrolan yang dimaksud Harri, Jaya kembali mengunci layar ponsel dan menyimpan di tempat sebelumnya. Pandangan serta perhatian miliknya ia berikan penuh kepada sang guru yang tengah menjelaskan kegiatan olahraga hari ini.
Jaya bukan termasuk orang yang malas berolahraga. Justru sebaliknya, ia jauh lebih menyukai mata pelajaran olahraga jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Berbeda dengan laki-laki di sampingnya yang kini sedang berdiri lesu—tak terhitung sudah berapa kali laki-laki itu menguap, Jaya tak memedulikannya.
“Anjing lari delapan keliling lagi,” keluh Rakha pelan namun masih tertangkap jelas oleh indra pendengarannya.
Rakha sigap mengepalkan tangan ketika telinganya mendengar jelas bagaimana salah satu dari laki-laki yang berdiri tak jauh darinya tengah melantunkan gelak tawa, padahal Rakha sendiri tidak sedang memberikan lelucon yang mampu menaikkan sisi humor mereka.
“Eh maneh jangan ketawa, ya, Anying. Paling ujung-ujungnya juga maneh ikut naik motor keliling lapangan biar nambah kilometer!” ucap Rakha tak terima dirinya menjadi objek tawa temannya itu.
Harri mengatupkan mulut. Salah satu jemari laki-laki itu ia bawa menuju perut, mengusap-ngusapnya pelan dengan irama konstan sebab entah mengapa perkataan dari Rakha sukses membuat gelak tawanya meledak seketika, pun membuat perutnya terasa kram.
“Tolol, lagian ini mah larinya dipatok delapan keliling bukan lomba paling banyak langkah ai maneh!”
Sementara kedua laki-laki itu masih asyik saling melempar kalimat penuh rasa emosi, di lain sisi satu laki-laki lainnya hanya mengitari suasana lapangan—merasa tak menarik dengan pertengkaran Harri dan Rakha—hingga tepat pada beberapa detik setelahnya laki-laki itu mengernyitkan dahi. “Saya rasa emang jodoh, sih, ini kalian berdua.” Laki-laki itu terkikik, merasa lucu sebab semesta benar-benar tengah berusaha menyatukan mereka berdua.
Ucapan dari Jagat itu berhasil membuyarkan lamunan Jaya.
“Hah? Apaan?”
Jagat menunjuk segerombolan orang di depan sana menggunakan dagu, sengaja agar gerak-gerik darinya tak akan membuat beberapa orang di sana akan menyadari bahwa sedang mereka berdua perbincangkan. “Tuh, perempuan selumbari yang ngasih kamu nutrisari juga lagi olahraga di lapangan ini,” sahut Jagat.
Jaya menoleh. “Selumbari apaan?” Garis-garis pada dahi laki-laki itu mulai tercetak dengan jelas, sang empu cukup kebingungan atas penuturan baru didengarnya.
“Dua hari kemarin.”
“Ya, terus kalau misalnya bareng kenapa? Kan, satu sekolahan, wajar aja kalau emang barengan.” Jaya mengangkat kedua bahunya tak acuh. Tak habis pikir mengapa ia justru ikut menimpali ucapan yang seharusnya tak usah susah payah ia rela untuk membalasnya.
Nada ucapan itu berhasil membuat Jagat secara tak sadar melantunkan sebuah tawa dengan pelan. “Kalau misalnya udah mulai tertarik sama dia berkabar sama kita, ya, Jay.” Jagat menepuk punggung Jaya cukup keras. Setelah itu Jagat berjalan menuju Harri dan Rakha yang sudah memulai pemanasan lebih dulu.
“Orang-orang makin aneh, omongannya pada suka ngalor-ngidul.”
Syifa tak sadar sudah berapa kali ia mengerucutkan bibirnya sebal. Lantaran sedari tadi gadis itu dibuat kelelahan oleh kegiatannya saat ini—mengelilingi lapangan. Rambut hitam yang diikat satu itu ikut terhempas ke kiri dan ke kanan seiring dengan langkah yang dibawa gadis itu. Tak peduli sudah berapa banyak helai rambut yang keluar dan terkena basah keringatnya, seakan hal itu tak membuat gadis itu berniat untuk menghentikan kedua kakinya dalam berlari.
Salah satu Syifa otomatis terangkat ketika dirinya berhasil menyambangi garis start yang sudah dibuat sang guru. Sebuah senyuman dengan bangga mulai terbit saat menyadari bahwa ia telah berhasil menyelesaikan satu keliling lapangan.
Belum genap sepuluh detik ia menyombongkan diri, akan tetapi sebuah kalimat setelahnya justru sukses membuat senyuman pada wajahnya hilang begitu saja.
“Ayo, dong, Cip, semangat ada empat keliling lagi!” ujar salah satu temannya di tepi lapang.
Bibir Syifa mencebik, mengikuti persis kalimat itu yang dilontarkan untuknya. Seberapa banyak kata semangat untuknya tetap tak ternilai. Sebab ia benar-benar dibuat sadar bahwa ia harus menempuh sebanyak empat keliling lagi untuk menyelesaikan olahraga ini.
“Kalau misalnya Syifa lari tiga keliling tapi bilangnya udah selesai lari lima keliling bakal ketauan nggak, ya,” ucap Syifa dengan napas tersengal-sengal. Kedua mata gadis itu sontak mengitari ke arah sekeliling, takut akan ada yang mendengar ucapannya yang sudah ia mati-matian untuk memelankannya.
Seketika Syifa menggeleng cepat, menghalau jauh-jauh niat licik yang sempat terlintas dalam pikirannya. “Nggak boleh! Syifa nggak boleh bohong!” Gadis itu memukul pelan kepalanya, memberikan sedikit jera agar ia tak pernah berniat untuk melakukan hal kecurangan seperti itu lagi untuk ke depannya.
“Ya… sebenernya, sih, Syifa bukan mau ngeluh karena harus lari, soalnya kelas Syifa masih beruntung bisa lari waktu masih pagi.” Langkah gadis itu terhenti seiring dengan untaian kalimat yang terus-menerus keluar dari bibirnya. “Tapi, kan, tetep aja capek! Kenapa di dunia ini harus ada yang namanya lari?!” celotehnya tak henti, asyik bermonolog sendiri.
Kedua bahu gadis itu terangkat disertai kepala yang miring, mencoba mencari jawaban akan pertanyaan yang beberapa saat lalu ia lontarkan. Bahkan bukannya ia melanjutkan kembali kegiatan larinya, justru gadis dengan rambut tak berbentuk itu justru asyik berjalan ditemani oleh puluhan kalimat yang tak luput dikeluarkan oleh gadis itu.
“Lari, Syifa, bukan jalan.”
Kalimat itu berhasil memenuhi gendang telinganya dilengkapi oleh seorang laki-laki yang baru saja melewatinya beberapa sekon lalu. Sang empu asyik berlari dengan salah satu earpods menyumpal telinga laki-laki itu. Dapat ia pastikan bahwa laki-laki itu tengah mendengarkan sebuah musik untuk menemani kegiatan olahraganya.
Celotehan kalimat itu lekas lenyap dan tergantikan oleh sebuah senyuman sang gadis yang telah lebar hanya dalam beberapa detik saja.
“Kak!” teriak Syifa. Namun sayangnya panggilan darinya tak diindahkan oleh sang empu, hingga Syifa kembali menggerakkan kedua kakinya untuk bisa berdampingan dengan laki-laki beberapa langkah berada di depan sana.
Deru napas Syifa terdengar pendek, sebab gadis itu berusaha mengais oksigen dalam waktu yang singkat. “Hai Kak Jaya!” seru Syifa, setelah berhasil mensejajarkan langkahnya dengan langkah milik sang kakak kelas.
Dirasa laki-laki itu tengah memberikan sedikit perhatian untuknya, lantas Syifa segera menolehkan wajah sembari memamerkan senyuman sebagai kata sambutan, pun tak lupa lambaian tangan persis di sebelah wajah laki-laki itu.
“Kelas Kak Jaya lari berapa keliling?”
Jaya tak langsung menjawab pertanyaan dari sang adik kelas, melainkan ia meraih ponsel berada dalam celananya. Setelah berhasil meraihnya, laki-laki itu menekan beberapa kali tombol pada sisi ponsel—mengecilkan volume!suara musiknya agar dapat mendengar jelas ucapan dari yang lebih muda.
Syifa cukup peka melihat raut dari Jaya yang memancarkan tatapan penuh heran. “Kelas Kak Jaya sekarang larinya berapa banyak keliling?” ulang Syifa.
Jaya memasukkan kembali ponsel ke tempat semula. “Delapan,” sahutnya cepat, masih dengan kedua kaki sibuk berlari yang tanpa sadar hal itu cukup membuat lelah seseorang di sampingnya.
Syifa mengangguk. “Ini Kak Jaya udah berapa keliling?” tanya Syifa, sibuk bertanya sembari sibuk menyelaraskan langkahnya dengan langkah laki-laki itu.
Jika bukan kakak kelas yang ia sukai, mungkin sekarang ia sudah berteriak untuk meminta laki-laki itu mengecilkan langkah kakinya. Sebab porposi kaki laki-laki itu berkali-kali lipat lebih tinggi dari porposi kaki miliknya.
“Lima.”
Syifa dibuat menganga dengan jawaban dari Jaya. “Wow… keren!” puji Syifa.
Jaya menarik kecil salah satu ujung bibirnya, memberikan sebuah senyuman dengan singkat. Akan tetapi sesaat kemudian tatapan miliknya tak sengaja terjatuh pada sepatu gadis itu yang telah menyita perhatiannya.
“Tali sepatunya jangan lupa diiket,” ucap Jaya, kembali mengarahkan padangan ke objek di depanya. “Takut jatuh,” lanjut Jaya. Kemudian setelah menyelesaikan ucapannya, laki-laki itu berlari meninggalkan sang gadis yang terdiam sembari menatap ke arah sepatunya.
Bukannya langsung mengikat tali sepatu, justru Syifa kembali berlari untuk bisa bersebelahan dengan kakak kelasnya. Lagipula kesempatan ini nggak mungkin dapat terulang kembali, pikirnya.
“Diiket dulu tali sepatunya, Syifa.” Jaya kembali berucap tanpa menolehkan wajah. “Bahaya.” Untuk kali ini, laki-laki itu menatap kedua mata sang adik kelas, sedang berusaha menyalurkan setitik penjelasan melalui kedua bola mata miliknya.
“Syifa mau ngiket talinya, tapi Kak Jaya larinya kenceng banget! Kalau misalnya Syifa taliin dulu nanti Kak Jaya jarak lari Syifa sama Kak Jaya jauh!” keluh Syifa tanpa rasa malu mengucapkan sebuah kalimat dengan penuh kejujuran di dalamnya.
Jaya tidak mengerti mengapa kedua langkah kakinya otomatis melambat, bahkan larian yang semula ia lakukan kini tergantikan oleh sang kaki tengah sibuk melangkah dengan pelan. Padahal tercipta rasa ingin segera menyelesaikan lariannya agar ia dapat beristirahat dengan cepat. Namun… ah sudahlah, ia pun tak memahaminya.
“Diiket dulu talinya, gih,” titah Jaya.
Sebab tak ingin membuat laki-laki itu merubah pikirannya, maka Syifa dengan cepat mencari tempat aman untuk mengikatkan kedua tali sepatunya dengan kuat. Entahlah, Syifa sedikit was-was, takut apabila laki-laki itu akan kembali melangkahkan kaki dengan cepat. Akan tetapi kekhawatirannya sirna begitu saja, sebab sang empu masih asyik berjalan santai.
Syifa dibuat kebingungan ketika dalam sekejap sebuah rasa panas secara tiba-tiba datang dan menjalar pada kedua pipinya. Syifa hanya berharap apabila kedua pipinya tak berubah menjadi warna merah. Sebab ia cukup malu karena dalam waktu beberapa menit ke depan ia akan kembali berhadapan dengan laki-laki yang telah sukses membuat dirinya merona.
Diam-diam Jaya telah mengeluarkan ponselnya, melakukan kegiatan yang sempat dilakukannya beberapa menit lalu. Laki-laki itu mengarahkan kamera ponselnya pada sebuah objek di belakang, memastikan pun memantau kegiatan gadis itu secara tak langsung.
Selepas Syifa sudah memastikan ikatan sepatunya cukup kuat, Syifa kembali berlari untuk menyusul laki-laki itu. Belum sempat dapat kembali bersebelahan, akan tetapi laki-laki itu justru telah berlari kembali tanpa menunggu kedatangannya.
Tepat saat Syifa menyelesaikan kegiatannya dan berancang-ancang akan kembali berlari, Jaya segera mengunci ponsel dan menyimpannya di tempat asal. Kemudian ia membawa kedua kakinya untuk berlari, melanjutkan kegiatan olahraganya yang sempat terhenti untuk sekadar menemani gadis itu menyelesaikan kegiatan mengikat sepatunya.
Syifa berdecak sembari menghentakkan sedikit kedua kakinya ke aspal lapangan dengan kesal. “Tuhkan, ditinggal!” Rasanya seperti ia baru saja dibawa ke langit ketujuh, namun tanpa sebuah kalimat terucap tiba-tiba ia dihempaskan ke bumi.
Sementara sang pelaku yang telah membuat gadis itu mengerucutkan bibir hanya bisa tertawa.
Syifa cukup paham akan apa yang sedang dilakukannya saat ini. Meneguk minum pada saat ia sedang berlari merupakan perilaku yang tak sepatutnya dicontoh. Selain hal itu merupakan beretika dalam berminum, pun tidak baik untuk pencernaannya. Akan tetapi mau tak mau ia melakukannya sebab apabila ia sengaja meluangkan waktu untuk bersantai dalam meneguk cairan itu, sudah pasti waktu dalam berlarinya akan terus berjalan. Syifa tak menginginkan hal itu.
“Oke kayaknya ini masih cukup buat dua keliling lagi,” ucap Syifa, mengangkat botol minumnya sembari ia goyang-goyangkan kecil.
“Boleh minta sedikit nggak air minumnya?”
Syifa tersentak ketika kalimat itu secara tiba-tiba berhasil menginterupsinya, beruntung ia telah selesai dalam kegiatan menegak minumnya sehingga ia tak akan merasakan sakitnya tersedak.
“Jaya boleh minta nggak air minumnya?” ulang laki-laki itu karena sedari tadi sang gadis hanya terdiam tanpa berniat untuk segera membalas ucapannya. “Air Jaya udah abis, nggak ada waktu buat minggir beli minum dulu,” jelas Jaya tak ingin membuat gadis itu berpikir yang tidak-tidak kepadanya.
Syifa makin terkejut mendengar sebuah nama yang dilontarkan laki-laki itu, kendati ia pun sudah cukup familier dengan suara tersebut.
Syifa menoleh. “Tapi botolnya ini bekas Syifa….”
Jaya menggeleng. “Nggak apa-apa,” timpalnya. Sesekali laki-laki itu mengedarkan pandangan, takut menemukan kehadiran temannya. “Boleh nggak?” ulang Jaya, tangannya sudah menengadah persis di hadapan gadis itu. “Tapi kalau nggak boleh juga nggak apa-ap—”
“Boleh!” Syifa menarik telapak tangan Jaya yang sudah tak menengadah. “Boleh, kok, Kak Jaya! Kata Ibu Syifa jangan jadi orang pelit!” Botol air minum itu Syifa serahkan kepada yang lebih tua.
“Makasih.” Jaya mengulas sebuah senyuman sebelum akhirnya laki-laki itu meraih botol minum itu, membukanya, lalu segera meneguk tak sabaran.
Mata gadis itu tak henti mengikuti setiap pergerakan yang diperlihatkan Jaya. Bola matanya sukses melebar ketika melihat bahwa laki-laki itu meneguk air dari bekas botol yang telah ia teguk sebelumnya. Mulanya ia mengira bahwa Kak Jaya akan meneguk minuman itu tanpa menyentuhkan bibirnya pada ujung botol itu, namun ternyata pikirannya salah.
Seketika ia merasa salah tingkah, berkali-kali Syifa mencoba meneguk salivanya sebab tak kuasa memandang sang kakak kelas yang tengah menikmati satu botol air minum miliknya. Terlihat dari cara laki-laki itu meneguk air, sangat memperlihatkan bahwa orang tersebut benar-benar sedang kehausan. Opini darinya makin kuat setelah melihat bulir-bulir keringat yang tercetak jelas pada wajah laki-laki itu. Dilengkapi dengan bercak bekas air keringat pada bagian punggung seragam olahraga Kak Jaya.
“Kak Jaya emang larinya berapa keliling lagi sekarang?”
Jaya mengangkat kelima jarinya, memberikan isyarat bahwa ia meminta waktu lebih banyak untuk menghilangkan rasa dahaga. “Ini terakhir, bentar lagi Jaya selesai.” Laki-laki itu terengah, dadanya naik dan turun tak beraturan. “Airnya abis, maaf, ya.” Jaya melirik ke arah botol itu sekilas yang tak menyisakan barang setetes cairan itu. Kemudian selanjutnya Jaya tergesa mengembalikan botol itu kepada sang empu. “Nanti Jaya ganti. Ngomong-ngomong Syifa absen berapa?” tanya Jaya secara tiba-tiba.
“Lima belas, Kak Jaya. Kenapa emang?”
Jaya lagi-lagi menggeleng. “Nggak, nanya aja.” Jaya melirik ke arah botol yang tengah digenggam erat oleh gadis itu. “Sekali lagi makasih, ya, Syifa. Nanti beneran Jaya ganti air minumnya.” Jaya menepuk pundak sang adik kelas itu, kemudian melanjutkan lari demi mencapai garis finish sesegera mungkin.
Syifa bergeming beberapa saat. Matanya mengerjap cepat dengan mulut sedikit menganga. Satu detik kemudian pandangannya terarah pada pundak sebelah kanan. “Pundak Syifa tadi ditepuk sama Kak Jaya,” ucap Syifa tak percaya sembari mengusap-ngusap pundaknya, lantaran tepukan itu justru memberikan debaran jantung yang berpacu teramat cepat.
“Biru!”
Biru yang namanya diserukan oleh seseorang spontan membalikkan tubuh ke arah sumber suara itu. “Kenapa, A?” tanya Biru. Niat ingin meneguk cairan dingin itu, akan tetapi ia urungkan ketika melihat sosok orang tersebut tengah berjalan ke arahnya.
Jaya menyerahkan satu botol air minum ke arah Biru tanpa mengatakan satu patah kata apapun.
Alis Biru bertaut, cukup kebingungan ketika dapati satu botol air minum yang diserahkan kakak kelas itu kepadanya. “Maksudnya, A?” Pandangannya kini beralih untuk menatap yang lebih tua.
“Tolong nitip kasih ke anak kelas maneh absen ke lima belas.”
“Absen lima belas?” ulang Biru yang dibalas anggukkan cepat oleh Jaya. “Absen lima teh siapa, A?” Anggap saja saat ini Biru seperti sebuah wartawan yang terus-menerus melontarkan sebuah pertanyaan tak henti. Biru sendiri sengaja melakukan hal tersebut agar tak salah dalam menyerahkan air minum tersebut.
Jaya mengedikkan bahu tak acuh. “Coba cari aja sendiri.” Namun sangat disayangkan jawaban itu bukanlah sebuah jawaban yang diinginkan Biru, sebab pertanyaan darinya tak kunjung mendapatkan jawaban bahwasannya siapa sang empu dengan pemilik nomor absen lima belas. “Nitip, ya, Ru. Nuhun.”
Belum sempat mencegah kepergian kakak kelas itu, akan tetapi pergerakan Jaya lebih cepat dari dugaan Biru sendiri. “Menyusahkan aja ah si Aa mah, udah nyuruh terus malah buat susah!” ketus Biru.
Ucapannya tak selaras dengan tingkah lakunya yang justru kini laki-laki itu tengah sibuk bertanya kepada masing-masing temannya untuk mencari siapa yang memiliki nomor absen lima belas.
Setelah berusaha semaksimal mungkin akhirnya Biru telah menemukan orang pemilik nomor absen lima belas selepas bertanya kepada sang sekretaris kelas. Kedua mata Biru sibuk berkelana mencari sosok orang yang tengah mengapa sedari tadi ia tak dapat menemukannya. Baru saja Biru akan menarik diri untuk mencari di tempat lain, akan tetapi orang yang tengah dicari-carinya secara tiba-tiba tak sengaja tertangkap oleh kedua matanya.
“Syifa!” teriak Biru berhasil menghentikan langkah gadis itu.
Syifa melambai, membalas atas seruan dari Biru secara non-verbal.
Syifa terheran kala Biru sekonyong-konyong menyerahkan satu botol air minum itu kepadanya. “Apa?” Alis Syifa bertaut.
Biru kembali menggerakkan botol tersebut. “Titipan dari A Ajay buat maneh, tadi nitipin ke urang,” jelas Biru tanpa basa-basi.
Lho, ternyata Kak Jaya beneran gantiin minum Syifa?! Padahal nggak diganti juga nggak apa-apa. Lantas Syifa segera meraih botol air minum itu. “Makasih, Biru!” Tak lupa ia memamerkan senyuman kepada orang tersebut karena telah membantunya.
Hendak ingin membuka botol tersebut akan tetapi sebuah keanehan mulai muncul. “Kok tutup botolnya udah dibuka? Udah kamu minum bukan?!” Mata Syifa memicing ke arah Biru yang tengah menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Nggak tau, urang udah pegang botol dalam keadaan gitu dari A Ajay nya.” Biru mengangkat satu botol air minumnya yang sudah tersisa setengah ke depan muka Syifa. “Urang juga punya air minum sendiri!” bantahnya tak terima dijadikan kambing hitam.
“Aneh, masa segelnya udah kebuka.” Syifa memutar botol air minum untuk melihat tanggal produksi serta tanggal kadaluarsanya.
Setelah bergumul dengan pikirannya beberapa saat lalu lantaran dipenuhi rasa penasaran, Biru kini telah berancang-ancang untuk mengatakan sesuatu.
“Eh, Syifa.”
Syifa menghentikan kegiatan dalam memandangi botol minum tersebut, lalu segera menoleh ke arah Biru yang telah memanggil namanya. “Kenapa?” tanya Syifa.
“Maneh lagi deket bukan sama A Ajay?”
Bagai tersambar petir di siang hari, napas Syifa seakan tercekat dalam beberapa detik saja. “Nggak! Kenapa kamu mikir kayak gitu?!” panik Syifa, tak pandai menyembunyikan ekspresi keterkejutannya.
Biru makin menyatukan kedua alisnya, pun setelah itu garis-garis harus pada dahi laki-laki itu mulai tercetak jelas. “Soalnya A Ajay terus-terusan nitipin ini itu ke urang, jadi urang simpulin kalian lagi deket aja.”
Syifa menggeleng. “Hahaha enggak, kok, enggak!” Syifa tertawa canggung sembari memukul punggung Biru dengan cukup pelan. “Eh, tapi, emang Kak Jaya lagi deket sama orang lain, ya?” Entah mendapatkan sebuah ide dari mana hingga akhirnya ia mengatakan hal tersebut kepada Biru.
“Kayaknya nggak, sih, soalnya nggak pernah denger kabar lagi dia lagi deket sama orang.”
“Berarti dulu pernah?”
Biru mengangguk. “Pernah, soalnya ceweknya pernah nungguin A Ajay latihan futsal. Tapi itu udah lama.” Biru tiba-tiba memiringkan wajah disertai sebuah senyuman penuh arti. “Tuhkan, maneh lagi deket! Atau jangan-jangan maneh yang suka, ya, soalnya nanya-nanya A Ajay terus!” gertak Biru.
Bodoh Syifa bodoh. Ia tanpa sadar telah melewati batas seharusnya dalam mengulik sebuah informasi. “Kepo, huu!” balas Syifa sembari menjulurkan lidah ke arah laki-laki itu. Syifa bergegas menarik diri sebelum nanti laki-laki itu akan terus-menerus menghujamnya dengan berbagai pertanyaan lain.
Syifa terlalu bingung memilih mana hari terbaik untuknya dan mana momen terindah untuknya ketika setiap kegiatan yang berhubungan dengan sang kakak kelas itu memiliki sebuah ruang spesial tersendiri baginya. Dari hal kecil hingga hal besar yang dilakukan laki-laki itu selalu berhasil membuat hatinya jatuh makin dalam. Ternyata hidup penuh sama kejutan dan bisa ngerasa deg-degan karena hal lain itu punya rasa keseruan sendiri, ya!
Puspas Niskala Universe.
by NAAMER1CAN0