NAAMER1CAN0


Jaya berjalan lesu dengan dua tas ransel telah memenuhi tubuhnya—tas gitar berada di belakang punggung, sementara tas sekolah ia simpan di depan. Laki-laki itu sesekali menguap, cukup merasa lelah dengan kegiatan hari ini, kendati sebenarnya tak banyak pula aktivitas yang ia lakukan. Namun di antara semua kegiatannya, menurut Jaya sendiri untuk melakukan aktivitas membantu mengajar di mata pelajaran yang sebenarnya itu adalah hobi sendirinya cukup memberatkan. Pasalnya Jaya sehari-hari bermain musik sebatas kesenangan semata, tak ada teori yang ia pelajari, sehingga untuk berada di depan orang-orang yang mungkin banyak menganggap ia lebih paham dalam segi teoritis cukup melelahkan. Padahal kenyataannya ia seorang praktisi yang tak berlandaskan dan mendalami dalam sisi teori.

Getaran pada saku celana serta merta datang dan berhasil menghentikan langkah laki-laki pemilik senyuman yang indah. Jaya cepat-cepat meraih benda elektronik itu, lalu menekan tombol hijau.

Baru satu detik telepon itu tersambung, akan tetapi seseorang di seberang sana secepat kilat menyerangnya dengan berbagai pertanyaan yang sama saat orang tersebut terus-menerus mengirimkan sebuah pesan tersebut. Bahkan, untuk sekadar menyapa seseorang di seberang sana pun ia tak melakukannya.

Dede di mana?” ucap orang tersebut dengan nada sedikit ketus.

Jaya kembali melangkah, melanjutkan perjalanan sempat terhenti oleh sambungan telepon secara tiba-tiba itu. “Masih di sekolah baru bubar, Teteh udah selesai?” Kedua mata Jaya tak diam, laki-laki itu sedari tadi terus menatap ke sembarang arah.

Udah, cepet, ya, jemput jangan lama. Teteh kayaknya mau dateng bulan, badan Teteh mulai sakit-sakit.

Jaya mengangguk, kendati gerakan itu tak dapat dilihat oleh sang kakak. “Iya, ini udah sampe parkiran. Bentar, ya.” Jaya memindahkan benda tersebut ke tangan kirinya, sementara tangan kanan ia gunakan untuk meraih helm dan segera memasangnya. “Udah dulu, ya, ini berangkatin ke situ.”

Teteh tunggu di dalem, ya. Nanti chat Teteh kalau udah di depan.

“Iya.”

Hati-hati, De.

Itu menjadi kalimat terakhir sebelum akhirnya sambungan telepon itu sepenuhnya mati dan mengembalikan suasana sunyi. Jaya memasukkan benda elektronik itu ke tempat semula, kemudian meraih kunci motor untuk ia jalankan sesegera mungkin agar sang kakak tak menunggu dengan lama.

Deru suara motor mulai terdengar keras. Cukup disayangkan dengan sarana sekolah yang masih jauh dari kata sempurna, sebab di tempat parkiran sekolah tak ada lampu penerangan satu pun. Satu-satunya lampu yang dapat menerangi perjalanannya hanya dari lampu kendaraan miliknya itu sendiri. Walaupun di sekolahnya memiliki satpam, akan tetapi untuk sekadar memberinya satu buah lampu sangat dibutuhkan. Apalagi pada waktu-waktu seperti ini yang sudah tak ada kehadiran raja siang di langit.

Motor Jaya perlahan berjalan. Ia tak lupa menundukkan kepala ketika melewati pos satpam, memberikan salam perpisahan kepada orang di dalamnya sebelum ia benar-benar akan menarik diri sepenuhnya.

Jaya menyipitkan mata, mencoba melihat sosok gadis yang sedang berdiam diri seorang diri di halte sekolah dengan satu barang di sela-sela kaki gadis itu—barang yang sama dengan barang berada di punggungnya.

Entah mendapatkan bisikan dari mana hingga akhirnya Jaya menepikan kendaraan roda dua itu persis di hadapan sang gadis. Jaya cukup sadar akan tatapan yang dilayangkan gadis itu kepadanya. Sehingga, Jaya bergegas mematikan mesin motor, menarik standar untuk memarkirkannya dengan rapi. Laki-laki itu kemudian melepas helm, menyimpannya di atas spion dengan hati-hati, lalu turun dari motor. Jangan tanyakan mengapa ia melakukannya, sebab Jaya sendiri tak menemukan jawabannya.

“Eh, Kak Jaya!” sapa gadis itu.

Tatapan kebingungan sibuk akan menerka-nerka siapa sosok laki-laki tersebut kini telah terjawab ketika sang empu tengah berjalan menghampirinya. Syifa spontan menggeser duduknya saat melihat laki-laki itu berancang-ancang akan duduk di sebelahnya.

Jaya yang diserukan hanya membalas ucapan itu dengan senyuman. “Kenapa belum pulang, Syifa?” tanya Jaya, setelah mendudukan dirinya di tempat yang sudah diberikan gadis itu untuknya.

Syifa memperlihatkan layar ponsel miliknya kepada laki-laki di sebelahnya. “Ini Syifa lagi pesen ojek online, driver-nya masih on the way ke sini!” balas Syifa, kembali menjauhkan ponsel itu ketika sang kakak kelas sudah tak menatap benda elektroniknya. “Kak Jaya sendiri kenapa, kok, belum pulang?” Syifa menoleh, menatap laki-laki itu dari jarak yang cukup dekat.

Kenapa?

Kenapa?

Jaya sendiri tak tahu mengapa ia lebih memilih berdiam diri di sini ketimbang melanjutkan perjalanannya. Padahal sudah jelas-jelas ada seseorang yang sudah menunggu kedatangannya sedari tadi.

“Lagi nungguin temen.”

Di antara semua kebohongan yang mungkin bisa ia jadikan alasan, entah mengapa justru di bawah alam sadarnya ia lebih memilih untuk mengatakan hal tersebut.

Syifa mengangguk diiringi ber’oh’ria.

Keadaan di antara mereka tiba-tiba hening begitu saja. Akui Jaya tak pandai mencari sebuah topik untuk dijadikan obrolan dengan orang, sebab ia memang tak biasa melakukan hal itu.

Sementara gadis itu yang lebih pandai mencari topik justru asyik membungkam mulut. Bukan karena ia tak memiliki topik yang harus diperbincangkan, akan tetapi debaran jantungnya sedari tadi mengganggu konsentrasi Syifa, sehingga gadis itu memilih untuk diam.

Karena suasana itu cukup canggung, sehingga Jaya kembali mengeluarkan benda elektroniknya untuk mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang di seberang sana yang mungkin kini telah menahan kesal akibat tak dapat menemukan kedatangannya.

Jaya Adiputra Teh, sebentar ya. Dede ada urusan dulu sebentar.

Rasanya baru saja ia mengirimkan pesan tersebut, tapi seseorang di sana dengan secepat kilat membalasnya.

Teh Iva Urusan apa? Lama gak?

Urusan apa, ya, masa aing bilang lagi nungguin orang dijemput?

Jaya Adiputra Nanti dede kasih tau, gak lama. Bentar kok.

Lagian kasian juga aing kalau harus cewek sendirian malem-malem, takut ada hal-hal yang nggak diinginkan terjadi, pikirnya. Bukankah itu memang sudah tugasnya kakak kelas untuk melindungi adik kelasnya, 'kan?

Teh Iva Yaudah tapi kalo udah beres langsung otw ya de

Jaya mengangguk setelah selesai membaca kalimat terakhir yang dikirimkan sang kakak kepadanya. Bodoh rasanya, padahal sudah jelas-jelas orang tersebut tak akan bisa melihatnya.

You Iya, sebentar ya teh.

Selepas menyelesaikan pesan terakhirnya, lantas Jaya memasukkan kembali benda itu ke kantong celananya. Laki-laki itu mengarahkan pandangan ke jalanan di depan yang nampak cukup sepi. Sebab tak ada lagi angkutan umum yang berlalu-lalang seperti di siang hari. Bahkan saking banyaknya angkutan umum, tak jarang di depan sekolah acap kali macet. Seolah ia telah ditakdirkan untuk terus bersama-sama dengan kemacetan yang sering kali ditemuinya.

“Rumah Syifa emang di mana?” Jaya menolehkan wajah untuk sekadar menatap wajah sang adik kelas.

Akhirnya setelah bergumul dengan pikirannya, Jaya dapat membangun sebuah topik untuk mereka berdua perbincangkan.

Syifa cukup terperanjat ketika laki-laki itu secara tiba-tiba menodongnya dengan pertanyaan. “Rumah Syifa di daerah Baleendah, Kak Jaya!” timpal Syifa cepat, tak mau membuat laki-laki itu menunggu lama.

Jaya mengangguk-anggukkan kepala. “Oh, daerah banjir,” timpal Jaya dengan nada cukup pelan. Tetapi siapa sangka justru ucapannya itu terdengar jelas oleh sang gadis di sebelah, sehingga Syifa diam-diam memberikan reaksi ketidakterimaan akibat laki-laki itu telah memandang rendah daerah kediamannya.

“Emang Kak Jaya sendiri di daerah mana rumahnya?” Syifa mempertanyakan hal yang sama ketika laki-laki itu memberinya sebuah pertanyaan yang sebelumnya tak pernah terlintas akan menuturkan kalimat tersebut.

“Bojongsoang.”

“Oh, daerah yang sering macet itu, ya,” sindir Syifa, tak mau kalah atas perlakuan sang kakak kelas kepadanya beberapa saat lalu.

Mulanya Jaya cukup terkejut mendengar balasan dari gadis itu atas ucapannya. Namun sedetik kemudian laki-laki itu justru tertawa, merasa lucu ketika menyadari daerah kediaman mereka memiliki permasalahannya sendiri.

Syifa yang melihat kakak kelas itu tengah melantunkan tawa pun turut mengikutinya. Ia tertawa bukan atas jawaban darinya sendiri, melainkan karena laki-laki itu yang memulai memamerkan senyuman indahnya untuk kesekian kali. Apabila Syifa diberi sebuah pertanyaan pemandangan apa yang ingin ia tatap secara terus-menerus dengan tak bosan, maka, Syifa akan lantang menjawab pemandangan ketika Kak Jaya tertawa. Sebab, selain pemandangan itu cukup langka, pun karena bagaimana laki-laki itu tertawa memiliki sebuah nilai lebih dalam pandangannya.

“Masih sakit nggak jarinya?”

“Gimana, Kak Jaya?”

Jaya menatap ke arah jemari Syifa yang sibuk meremas tas gitar. “Masih sakit nggak jarinya?” ulang Jaya dengan pertanyaan yang sama—tak dilebihkan, pun tak dikurangi dari kalimat sebelumnya.

“Oh!” Syifa mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan keempat jemari yang ia keluhkan tadi siang ketika mata pelajaran seni musik berlangsung. “Udah nggak sakit, soalnya udah nggak main gitar lagi!” Syifa menyodorkan kelima jari miliknya ke hadapan sang kakak kelas.

Jaya melirik sekilas ke arah jemari itu. “Nanti kalau main gitar, dipake lagi aja silikonnya.” Syifa mengangguk, mengiakan perintah dari laki-laki itu.

“Tapi ngomong-ngomong, Kak Jaya, kan, sering main gitar, emang nggak sakit tangannya?”

Syifa cukup penasaran dengan keadaan jemari kakak kelas itu. Pasalnya laki-laki itu seringkali bermain gitar pada media sosialnya, padahal bagi dirinya yang baru memainkan sebentar saja sudah merasakan rasa sakit yang luar biasa.

Jaya menggeleng. “Nggak, udah biasa.” Laki-laki itu mengangkat tangan kirinya, mengikuti perlakuan gadis itu sebelumnya untuk memperlihatkan kondisi jemarinya saat ini. “Kulit Jaya udah keras, makanya udah nggak terlalu berasa sakit kayak awal-awal belajar,” jelas Jaya.

Syifa menundukkan wajah, mencoba mendekatkan matanya dengan jari Jaya.

“Kenapa?” tanya Jaya cukup kebingungan melihat reaksi gadis itu yang tengah menatap dirinya secara tiba-tiba.

Syifa menunjuk jemari Jaya dengan ragu-ragu. “Syifa boleh pegang nggak jari Kak Jaya itu? Mau tau sekasar apa jarinya,” pinta Syifa.

Jaya berdeham sejenak sebelum akhirnya laki-laki itu mengangguk, memberi izin gadis itu untuk melakukan keinginannya. “Pegang aja.”

Seakan mendapatkan lampu hijau, gadis itu dengan cepat meraih satu per satu jemari Jaya. Syifa mengusap-ngusap secara perlahan ujung jemari laki-laki itu, mencoba merasakan permukaan kulit sang kakak kelas.

Jaya otomatis memalingkan wajah ketika merasakan bagaimana gadis itu secara berulang melakukan kegiatan untuk mengusap keempat ujung jemarinya.

“Ih iya ternyata jari Kak Jaya udah kasar banget!” ucap Syifa setelah membandingkan dengan jemari miliknya yang terkesan lembut, walau masih terdapat beberapa kulit yang mengelupas akibat mempelajari permainan musik itu.

“Atas nama Jihan Syifa?”

Sayang sekali obrolan mereka berdua harus terhenti, sebab ojek online pesanan Syifa telah datang tanpa sadar. Padahal semula Syifa berharap bahwa ojek pesanannya akan segera datang, akan tetapi entah mengapa justru hal itu kontradiktif dengan keinginannya saat ini yang masih ingin berlama-lamaan dengan laki-laki itu.

Syifa spontan berdiri. “Iya, aku, Pa!” teriak Syifa sembari memberikan lambaian tangan tak sabaran. “Kak Jaya, Syifa duluan, ya! Maaf, ya, Syifa nggak bisa nungguin Kak Jaya sampe temennya dateng!” Bibir Syifa mengerucut, merasa tak enak karena ia harus menarik diri lebih dulu.

Jaya mengulas sebuah senyuman. “Nggak apa-apa, hati-hati, ya.”

Satu kalimat itu sukses mengembalikan debaran jantungnya yang semula telah mereda. Untaian kata-kata itu masih terngiang-ngiang dalam pikirannya. Ia harus mempersiapkan diri dari sekarang, karena mungkin saja kalimat itu akan mendatanginya secara tiba-tiba.

Syifa menerima uluran helm dari sang supir. “Kak Jaya juga hati-hati, ya, nanti pulangnya!” Gadis itu perlahan naik ke atas motor dan menyamankan posisi duduknya.

Alih-alih menjawab secara vokal, laki-laki itu lebih memilih membalasnya dengan sebuah anggukkan pun senyuman yang tak pernah lepas pada wajahnya.

“Udah bisa jalan sekarang, Neng?”

Syifa mengangguk. “Udah, Pa,” balas Syifa dengan mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan. “Dadah, Kak Jaya, Syifa duluan, ya!” Lambaian tangan itu menjadi interaksi akhir antara keduanya.

Di antara banyaknya objek di depan mata, entah mengapa perhatiannya justru tertuju pada punggung gadis itu yang perlahan mulai menghilang tertutup oleh beberapa kendaraan lainnya yang berlalu-lalang. Pertemuan singkat, namun secara tersadar sukses membuat hatinya menghangat. Satu yang ia baru sadari ketika berinteraksi dengan gadis itu dengan waktu cukup panjang, gadis itu selalu memperlihatkan sisi riangnya dalam keadaan apapun, pun rasa semangat yang terlihat selalu membara. Saking asyiknya berkelana memikirkan hal ini dan hal itu, Jaya sampai tak sadar bahwa ia harus bergegas menjemput kakak sulungnya sebelum ia akan mendapatkan sebuah ceramahan tak berujung.

“Kenapa aing ngerasa kayak ada yang aneh, ya.”


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0


Syifa tak peduli apabila dirinya disebut aneh lantaran sedari tadi gadis itu tak berniat untuk melunturkan senyumannya sedikit pun. Sepoi-sepoi angin dari kipas di atas ruangan seni musik kitu justru memberikan keadaan lebih khusyuk untuk dirinya lebih dalam menyelam pada sebuah lamunan. Bahkan seruan dari teman-temannya tak ia indahkan membuat sang empu yang sudah susah payah mengeluarkan suara diam-diam berdecak sebal.

“Aira maneh nggak bawa gitar?” tanya Arkan sang ketua kelas.

Aira menggeleng. “Nggak, aku nggak punya gitar.” Gadis itu menjawab dengan menyelipkan nada kekehan di akhir, takut apabila ia akan mendapatkan nilai rendah dibandingkan dengan teman-teman satu kelasnya yang sudah berusaha membawa gitar sesuai arahan dari guru seni musiknya.

“Euh, bentar urang coba tanya kelas lain siapa tau ada yang bawa gitar.”

Baru saja Arkan akan beranjak untuk mencoba mencari alat musik yang dibutuhkan untuk mata pelajaran kali ini, akan tetapi sebuah suara secara tiba-tiba datang dan menyerobotnya.

Pandu berjalan ke depan ruangan disertai pandangan yang terarah pada satu per satu anak kelas, memastikan bahwa mereka telah membawa barang yang sudah diminta sebelumnya. “Ada yang nggak bawa gitar?” tanya Pandu demi mengefisienkan waktu yang tercipta.

Aira menengok ke arah kanan dan kiri, melihat dan memastikan apakah ada orang lain yang tak membawa gitar selain dirinya. Namun beberapa detik setelahnya suara helaan napas terdengar lesu, nampaknya hanya dirinya yang tak membawa gitar di antara semua teman kelasnya.

Maka, dengan perasaan penuh campur aduk, gadis itu mengangkat tangan secara ragu-ragu. Takut apabila ia dikeluarkan dari ruangan, pun takut apabila ia akan dipermalukan di depan sebab tak berusaha untuk mendapatkan barang tersebut seperti teman-teman kelas lainnya.

Pandu menoleh. “Kenapa nggak bawa?” tanya Pandu dengan intonasi nada rendah, tak menyelipkan nada penekanan apapun.

“A–aku nggak punya gitar, Kak,” timpal Aira ketakutan. Terdengar jelas ketika bagaimana gadis itu menjawab pertanyaan dari Pandu dipenuhi suara yang bergetar.

Pandu mengangguk lalu melirik sejenak ke arah laki-laki di belakang seakan dengan menyampaikan sebuah informasi lewat tatapan yang hanya tercipta beberapa detik itu.

Jaya melepaskan barang yang semula ia gendong dan membukanya secara perlahan. Setelah berhasil melepaskan gitar dari rangkaian kain hitam itu, kemudian Jaya berjalan ke arah sang adik kelas untuk memberikan gitar miliknya. “Nanti maininnya pelan-pelan, ya, soalnya itu senar Aa agak tajem.” Jaya memberi arahan mengenai kondisi senar gitar miliknya. Pun, ia tak ingin membuat adik kelasnya terluka.

Aira menatap keenam senar yang membentang dengan rapi—tak ada sisa senar yang tergantung seperti gitar biasanya yang ia mainkan di kelas. “Iya, makasih, Kak!” Aira melemparkan sebuah senyuman, selepas itu gitar yang telah diberikan kakak kelasnya ia raih dan disimpan di atas pangkuannya.

“Cipa!” bisik Aira dengan tatapan yang sekali-kali ia curi ke arah pemandangan di depan. “Mau tukeran nggak gitarnya? Ini gitarnya, Kak Jaya!” Aira menunjuk barang dalam pangkuannya.

Syifa menggeleng cepat. “Nggak, ah. Aku takut dia curiga terus nggak ikhlas kalau misalnya aku yang pake. Udah gitarnya Kak Jaya kamu aja yang pake, soalnya Syifa bawa gitar sendiri!” tolak Syifa disertai penjelasan panjang lebar, tak ingin membuat Aira segan kepadanya.

Bertepatan setelah Syifa menyelesaikan kata per katanya, selang beberapa detik Pa Boni mulai memasuki ruangan. Hanya dengan sekejap, kegaduhan itu lekas hilang dan membuat suasana di tengah-tengah mereka tenang dan sunyi. Pa Boni berdeham, seakan tak mempermasalahkan apabila mereka ingin sekadar untuk saling berbincang, pun membuat suasana ruangan seperti sebelumnya.

Pa Boni menyerahkan satu alat tulis kepada laki-laki yang tak jauh dari tempatnya berdiam diri. “Jaya, tolong tulis kunci gitar lagu laskar pelangi, ya. Kunci dasar aja jangan kunci gantung.” Jaya mengangguk, mengiakan. Spidol hitam itu telah berpindah tangan, juga Jaya mulai mengoleskan tinta hitam di atas papan tulis berwarna putih dengan tingkat kefokusan yang tinggi.

Papan tulis yang semula berwarna putih dan bebas dari noda, kemudian dalam sekejap telah terisi penuh oleh polesan cairan tinta hitam secara beraturan.

“Pa, genjrengannya mau kayak gimana biar sekalian Jaya tulis di sampingnya.”

Pa Boni memejamkan mata sebentar. Tangan kanannya bergerak seolah tengah memainkan gitar secara tak kasat mata. “Down down-down-down-down down-up-down,” balas Pa Boni setelah berusaha mengingatnya.

Jaya kembali menuliskan perintah tambahan dari sang guru dengan cepat. Ia tatap sejenak ke arah papan tulis, memastikan ulang tak ada satupun kunci gitar yang terlewatkan. Setelah merasa bahwa semuanya sudah lengkap, Jaya menghampiri Pa Boni dan mempersilakan beliau untuk memulai pelajaran. Selagi Pa Boni menjelaskan, Jaya dan Pandu hanya berdiam diri sembari sesekali mengarahkan pandangan ke beberapa murid untuk berjaga-jaga apabila ada murid yang tidak mendengarkan penjelasan dari Pa Boni.

“Kita coba, ya, Bapa coba mainkan dulu nanti dilanjut sama kalian.” Pa Boni membenarkan cara memegang gitar dengan benar dan nyaman agar memudahkan memainkannya nanti.

Alunan dari suara gitar yang dimainkan seorang pria paruh baya di depan sana serta merta mampu memenuhi indra pendengaran mereka. Tak jarang sebagian murid ada yang ikut terbuai sampai memejamkan mata, menikmati tiap petikan yang dimainkan dengan lihai.

Erangan kecewa dengan serempak sekonyong-konyong mengisi ruangan yang tak begitu luas itu. Bagaimana tak kecewa ketika mereka sedang asyik menikmati alunan musik itu, namun pria tersebut menghentikannya bertepatan akan memasuki inti dari lagu yang dibawakan. Terasa sebal, bukan?

Pa Boni melirik sekilas ke arah papan tulis. “Mulai dari chord C, ya.” Pa Boni bangkit dari kursi, menyimpan gitar itu kembali pada posisinya. “Pandu, Jaya, tolong kalian liatin, ya, takutnya masih ada yang salah posisin jarinya.” Kedua laki-laki itu mengangguk kompak.

Pandu menunjuk jajaran seberang, sebab kenyataannya Pandu sendiri cukup malas untuk melangkahkan kaki ke sana. “Aing di bagian kiri, maneh di bagian kanan, ya, Jay.” Sementara Jaya tak membalas ucapan itu, melainkan laki-laki itu lebih memilih untuk langsung berjalan ke tempat yang telah ditunjukkan Pandu untuknya.

“Coba kalian mainin kunci C terus genjreng, masih ada yang fals nggak?” tanya Pa Boni, memerintah.

Pandu memperhatikan satu per satu cengkeraman mereka pada leher gitar, memastikan bahwa mereka semua sudah benar dalam menekan senar agar tak menimbulkan suara yang tidak keluar.

Hampir sama dengan kegiatan Pandu untuk memastikan bahwa mereka menekan senar gitar dengan benar, hanya saya ada sedikit perbedaan dengan Jaya. Tangan laki-laki itu turut bergerak, mencengkeram jemari sang adik kelas dan membenarkannya apabila salah dalam memposisikan tangan.

Mulainya kegiatan Jaya berjalan lancar dan tak ada hambatan sedikit pun. Akan tetapi ketika ia berpindah pada salah satu adik kelas lainnya, tiba-tiba saya fokus dirinya tertuju pada beberapa silikon warna-warni yang telah membaluti jemari gadis itu. Jaya spontan mendongakkan kepala, melirik sang empu sebab silikon itu begitu familier untuknya.

Benar saja, ketika ia baru saja mendongakkan kepala, dirinya langsung disambut oleh senyuman begitu sumringah. Bulatan kecil pada pipi kiri gadis itu tak pernah luput dalam pandangannya.

“Syifa langsung pake, Kak, hehehe. Makasih, ya!” tutur Syifa dengan riang. Ia tak begitu telaten dalam memalsukan ekspresi wajahnya.

Jaya mengangguk dan menarik kedua ujung bibirnya membentuk sebuah kurva cukup indah apabila dipandang oleh siapapun. Pun, jangan lupakan dengan bola mata laki-laki itu perlahan-perlahan menghilang. Tak hanya itu, kedua mata kakak kelasnya itu pun turut mengekspresikan diri dengan menyerupai bulan sabit yang biasa ia lihat di atas langit malam.

“Teken senarnya pakai ujung jari, ya, jangan pake permukaan nanti sakit.” Jaya meraih jemari gadis itu untuk ia benarkan dalam menekan senar gitar agar lebih nyaman nantinya. “Nggak usah keras-keras, soalnya senar gitarnya bukan nilon takut malah jadi luka,” lanjut Jaya memberikan petuah terakhir sebelum akhirnya laki-laki itu melepaskan cengkeraman pada jemari sang gadis.

Deg-deg.

Seolah terdapat sengatan listrik, Syifa tak bisa berkutik ketika laki-laki itu menarik jemarinya tanpa aba-aba. Untuk pertama kalinya ia dapat merasakan langsung kulit mereka saling bersentuhan. Hangat. Entah mengapa Syifa masih dapat teringat jelas rasa hangat itu, kendati masih terdapat rasa dingin setelahnya.

Jika ia berada di dalam ruangan seorang diri, mungkin saat itu juga ia akan berteriak sekencang mungkin. Bahkan untuk memedulikan kondisi pita suaranya pun, ia tak begitu memikirkannya.

Ia tahu bahwa perlakuan laki-laki itu bukan hanya kepadanya, akan tetapi rasa senangnya seakan-akan hanya ia seorang diri yang merasakan diperlakukan spesial oleh sang kakak kelas itu.

“Sekarang pindah sekarang ke kunci G,” pinta Pa Boni sembari menunjuk papan tulis menggunakan tongkat kayu yang tak terlalu panjang.

Terima kasih kepada Pa Boni yang telah menyerukan perintah terbarunya, sehingga Jaya bisa kembali ke tempat semula dan menyelesaikan segala interaksi dengan gadis itu.

Bangsat kenapa juga aing malah jadi deg-degan.”


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0


cw // violence , harsh words


Deru suara motor sekonyong-konyong datang dan mulai meramaikan keadaan sunyi di antara mereka. Sebenarnya tanpa harus bersusah payah menolehkan wajah pun mereka sudah tahu bahwa kendaraan tersebut tersebut tak lain adalah milik Rakha. Benar saja, ketika perlahan kendaran itu mendekat mereka dapat melihat jelas laki-laki itu tengah fokus menjalankan motor kesayangan berwarna merahnya.

Jaya meneguk cepat satu kantong minuman berasa buah melon itu. “Anying si eta beneran we pake jaket gelembung teh,” ucap Jaya ketika motor itu telah melintasinya. Dirasa minumannya sudah benar-benar habis, laki-laki itu otomatis berdiri, bergegas meremas kantong bekas minuman tersebut dan segera membuangnya ke tempat sampah persis berada di belakang.

Rakha memarkirkan kendaraannya dengan asal. Mematikan mesin dan mencabut kunci motor tak sabaran. Laki-laki dengan jaket tebal berwarna biru tua itu perlahan berjalan menghampiri ketiga temannya yang sudah setia menunggu kedatangannya. “Keselamatan itu nomor satu.” Rakha membalas ucapan Jaya beberapa saat lalu, merebut paksa satu botol air minum dalam genggaman Jagat dan meneguknya tanpa permisi.

Harri mengacungkan kedua jempol, bangga mendengar balasan kalimat dari Rakha. “Bangga pisan aing akhirnya maneh ngikutin kata-kata dari aing, Kha!” puji Harri tak henti. “Ya udah atuh kalau gitu mah kita gas berangkat saat ini juga, da, soalnya udah komplit.” Harri mengabsen satu per satu temannya—memastikan ulang. Padahal tanpa harus menghitung pun Harri sudah bisa tahu jumlah dari mereka tak ada yang berkurang.

Jagat otomatis mengangkat tangan. “Eh, guys, apa nggak ada cara lain selain kita labrak mereka?” Jagat berdiri, membawa kedua kakinya untuk berjalan mendekati ketiga orang yang sudah berancang-ancang memasuki tempat tersebut. “Maksudnya gini, sesuatu yang dibalas sama hal buruk itu nggak baik. Masih banyak cara, kok, buat ngasih pelajaran sama mereka.” Jagat berusaha sekuat tenaga untuk menahan mereka agar tak melakukan tindakan yang tak sepatutnya dilakukan.

Bayangkan saja apabila pihak sekolah tahu bahwa mereka telah melakukan tindakan tak terpuji, lantas bagaimana nasibnya nanti? Terlebih ia serta teman-teman yang lain memiliki sebuah titel yang cukup terpandang di sekolah.

Jaya menoleh. “Gat, maneh pernah denger kalimat yang bilang darah dibalas darah, nggak?” tanya Jaya memastikan. “Itu yang lagi kita lakuin, pukulan dibales sama pukulan.” Harri dan Rakha mengangguk serempak, menyetujui balasan dari Jaya. “Kalau ujung-ujungnya berdarah, sih, itu bonus.” Jaya mengedikkan bahu tak acuh.

Jagat bergidik ngeri, menggeleng cepat semua bayangan yang sempat terlintas dalam pikirannya. “Kalau misalnya kita menganut kalimat itu, terus kapan mau selesai permasalahannya?” Jagat merentangkan tangan, memberi batasan agar ketiga temannya tak sembarangan masuk ke dalam tempat sana dengan rasa emosional tidak stabil. “Dendam dibalas dendam bukan solusi terbaik dalam mengatasi masalah. Kalau misalnya kita sekarang labrak, masuk ke dalam sana buat pukulin salah satu dari mereka, terus mereka sewaktu-waktu bales dendam lagi. Kapan selesainya kalau gitu?”

Jaya mengenyit. “Ya, tinggal labrak buat pukul lagi lah. Ya, nggak?” Jaya menatap Harri dan Rakha secara bergantian. “Betul! Calm, gini-gini aing dulu pernah diajarin silat sama bapa aing,” sahut Rakha, meyakinkan Jagat yang masih dipenuhi keraguan yang tercetak jelas pada wajahnya.

Jagat hendak membalas kembali ucapan itu, namun seseorang lebih dulu memotong dan menginterupsi kegiatannya tanpa permisi. “Udahlah, Gat, maneh jangan larang-larang kita. Kalau maneh emang nggak mau ikut, ya udah tunggu di sini, jagain motor kita bertiga.” Harri menunjuk ke arah kendaraan yang terparkir rapi—kecuali satu motor yang berwarna merah. “Lagian ini mah bukan saatnya kita debat, sekarang mah saatnya kita liatin jiwa solidaritas kita. Temen kita dipukulin gitu aja setelah main basket apa maneh nggak marah?” Alih-alih menjawab, laki-laki itu lebih memilih membungkam mulut, sontak hal itu berhasil membuat sang empu berdecak kesal.

“Kalau mau ikut, ya udah ikut. Kalau nggak mau, maneh diem di sini,” tegas Harri untuk yang terakhir kali sebelum akhirnya laki-laki itu menghempaskan rentangan tangan dari Jagat yang semula berusaha mencegah mereka untuk memulai aksinya. Ia menggerakkan tangan, memberi isyarat kepada Jaya dan Rakha agar segera berjalan mengikutinya.

Ketiga temannya sudah berjalan dengan penuh rasa percaya diri, sementara Jagat masih berada dibatas bimbang. “Batu banget brengsek.” Hingga akhirnya keputusan akhir laki-laki itu adalah mengikuti ketiga orang itu yang sudah berada jauh di depan sana.

Dalam setiap langkahnya menuju tempat itu, Jagat tak henti menggumamkan kalimat permintaan agar mereka diberikan keberuntungan, ia berharap bahwa tindakan kali ini tak akan membawa mereka ke dalam sesuatu permasalahan besar di depan.

Gelak tawa terdengar begitu nyaring, padahal mereka baru saja sampai di depan pintu. Suara sepatu yang bergesekkan dengan lantai di bawahnya perlahan mendominasi dan menyamarkan riuh suara percakapan pun gelak tawa dari orang-orang yang sudah berada di dalam ruangan sana.

Mata Harri memicing, mencoba mencari sosok orang yang disebutkan oleh Aksara dan Yolan dalam grup obrolannya. “Woi bangsat!” teriak Harri tanpa rasa takut. “Yang namanya si Omar mana?!” Laki-laki itu berkacak pinggang, menunggu orang yang sedang mereka cari akan mengangkat tangannya.

Aya naon ieu?” Ruli menghentikan permainan basketnya, melirik ke empat orang yang sudah berdiri di depan pintu GOR. “Maneh aya kaperluan naon kadieu, Ri?” tanya Ruli, cukup terheran ketika melihat sosok orang tersebut yang tak biasa menginjakkan kaki di tempat ini.

Ada apa ini? Lo ada keperluan apa ke sini, Ri?

Salah satu dari mereka mengernyit. “Maneh kenal?” Ruli mengangguk. “Kenal, temen aing. Anak 60,” timpalnya.

Harri melangkah mendekati laki-laki yang masih memegang bola basket dengan salah satu tangannya. “Rul, Omar Omar teh yang mana anaknya?” tanya Harri tanpa basa-basi, ia tak lupa mengulurkan tangan kanan untuk memberikan sapaan salam hangat kepada laki-laki itu.

Ruli meraih uluran tangan Harri, kemudian ia lepaskan setelah merasa cukup untuk bersalaman. “Omar?” Alis Ruli bertaut kebingungan. “Mau ngapain maneh cari Omar?”

“Ada perlu.”

Ruli membalikan tubuh, menatap satu per satu orang yang sedang duduk di tepi lapangan. “Woi! Aya nu nempo si Omar teu, daks?” Bagas sedikit meninggikan suara, sengaja agar dapat terdengar oleh mereka semua yang sedang berlatihan basket dengannya.

Woi! Ada yang liat Omar nggak, Guys?

Namun sayangnya yang ia dapatkan hanya sebuah balasan gelengan kepala dengan kompak, menandakan bahwa mereka pun tak mengetahui keberadaan Omar ada di mana.

Anying si Omar ke ma—”

Aing! Aing yang namanya Omar, ada apa?” Laki-laki yang masih memakai seragam basket berwarna kuning itu berjalan menghampiri orang-orang yang secara tak sadar telah membuat bulatan kecil di tengah lapang dengan terengah-engah. Dari cara laki-laki itu berusaha mengais pasokan oksigen menandakan bahwa orang tersebut telah melakukan kegiatan yang cukup berat. Pun, ketika bulir-bulir keringat terjatuh mengenai seragam basketnya.

Rakha berdeham. “Maneh Omar?” Pertanyaan itu dibalas anggukkan oleh sang empu. Seolah telah mendapatkan lampu hijau, Rakha dengan cepat menghampiri laki-laki itu.

“MAKSUD SIA UDAH NGEGANGGU TEMEN AING APAAN ANJING?!” murka Harri.

Baru saja tangan Harri ingin mencengkeram pakaian sang empu, namun kedatangan Rakha secara tiba-tiba itu justru menghentikannya secara sepihak. “Maneh cicing, biar aing yang maju,” bisik Rakha, menghempaskan tak berperasaan tangan Harri. Sebab tak ingin membuat permasalahan lain, akhirnya mau tak mau Harri mengikuti keinginan satu temannya itu. Harri memilih untuk mundur, berdiri di belakang Rakha sembari mengawasi apabila temannya sewaktu-waktu akan berada dalam bahaya.

“Ada apaan, si—”

Brugh!

Suara pukulan itu cukup keras, namun tak sekeras bagaimana ketika tubuh sang empu terjatuh ke lantai. Omar yang tidak mendapatkan aba-aba pun tak bisa menahan keseimbangan tubuhnya, sehingga kini laki-laki itu hanya bisa meringis kesakitan.

“EH ANJING ADA APAAN INI TEH KENAPA MUKULIN TEMEN ARURANG BANGSAT!”

Mereka yang semula hanya terdiam sembari memandang ke arahnya, satu per satu mulai berdatangan dan berdiri persis di belakang Ruli yang masih terdiam membeku memproses kejadian tersebut. Salah satu dari mereka mendatangi Omar, membantunya untuk berdiri sebab telah dihantam secara sepihak.

“Eh bagong, temen sia itu udah ngehajar temen aing waktu pertandingan kemarin, ya, Anjing!” Rakha menunjuk wajah Omar dengan mimik wajah sudah dipenuhi amarah.

Mendengar sebuah fakta itu, mereka semua kompak membelalakan mata. “Bener, Mar, sia abis ngehajar temen mereka?” Bukannya menjawab, Omar hanya diam sembari menundukkan wajah.

Jagat spontan berlari dan menahan tubuh Rakha ketika laki-laki itu akan kembali berjalan yang ia pastikan bahwa laki-laki itu akan kembali melayangkan pukulan. “Udah, udah. Jangan pake kekerasan, kita omongin aja secara baik-baik.” Jagat dapat melihat jelas bagaimana napas Rakha turun dan naik dengan tak beraturan disertai urat leher yang tercetak pada permukaan kulit laki-laki itu.

Jaya mendekati Harri yang masih setia berdiri sembari membisikkan sebuah kalimat. “Satu pukulan doang mah nggak akan berasa. Lagian nanggung kali mukul cuman di bagian pipi kiri, sedangkan pipi kanannya belum kesentuh nanti yang ada jadi berat sebelah.”

Harri menoleh, menatap Jaya beberapa detik sebelum akhirnya laki-laki itu menganggukkan kepala, seakan telah memberikan sebuah persetujuan atas semua pikiran dalam kepala Harri.

“Mar, sini aing mau ngomong.” Harri menggerakkan tangan, memanggil laki-laki itu agar segera menghampirinya. Prasetya yang masih setia menahan tubuh Omar pun seketika terlepas, mempersilakan Omar agar mendatangi orang yang sudah memanggilnya.

Dengan perasaan campur aduk Omar berjalan, salah satu tangannya setia memegang ujung bibir yang masih terasa berdenyut. Namun belum sempat sepenuhnya laki-laki itu berdiri di hadapan Harri, tiba-tiba sebuah pukulan kembali dilayangkan orang tersebut kepadanya. Berbeda dengan pukulan sebelumnya yang mendarat di pipi kiri, pukulan beberapa saat lalu justru mendarat pada pipi sebelahnya—pipi kanan.

Laki-laki yang baru saja datang dengan cepat menghempaskan tas berisikan sepatu basket ke lantai. Kemudian dengan cepat ia berlari ke arah Harri dan membalas pukulan yang telah dilayangkan kepada Omar. “EH BANGSAT KENAPA SIA PUKULIN TEMEN AING!” ucap laki-laki itu tak terima melihat rekan satu timnya dipukuli secara tiba-tiba.

Jagat, Jaya, dan Rakha terperanjat menyadari tubuh Harri terhuyung akibat pukulan yang datang dari arah sampingnya. “BAGONG, JANGAN SENTUH TEMEN AING ANJING!” Rakha menghempaskan cengkeraman Jagat pada tubuhnya. Ia berlari ke arah laki-laki menggunakan jaket berwarna hijau tua, sebelum akhirnya membalas pukulan tak kalah kencang dari sebelumnya.

Jagat memukul pundak Jaya, menyadarkan laki-laki itu dari sebuah lamunan. “Bantu lerai gila, bukan diem aja. Saya pegang Rakha, kamu bantuin Harri.” Setelah menyelesaikan ucapannya, Jagat berlari untuk meraih pundak Rakha lalu menyeretnya ke belakang agar tak terjadi pertengkaran yang entah mengapa justru makin terasa panas.

Jagat cukup kewalahan menahan tubuh Rakha hanya dengan seorang diri, hingga akhirnya salah satu dari mereka datang dan membantu mencengkeram tangan kiri Rakha agar laki-laki itu tak dapat bebas bergerak.

Ammar memberontak, tak terima melihat rekan satu timnya diperlakukan semena-mena. “GOBLOG MARANEH, SI OMAR DITENGGEULAN KU JELEMA BAGONG IEU TEH LAIN DIBANTUAN KALAH CICING WAE, POPOLOAN SARIA KABEHAN DI MANA ANJING!

Gila lo semua, Omar dipukulin sama orang brengsek ini tuh bukan dibantuin malah pada diem aja, otak kalian semua di mana! Ps. Kalimat bahasa sunda di atas termasuk bahasa yang kasar.

Jaya menepis jemari laki-laki di depannya dengan kasar. “Tong wani tunjak-tunjuk ka hareupeun beungeut babaturan aing, bangsat!” ucap Jaya masih dengan salah satu tangan menahan pundak Harri yang sudah dibantu oleh Ruli.

Jangan berani tunjuk-tunjuk ke depan muka temen gue!

SIA NU SIGA BAGONG, TEU NYAHO NAON MASALAHNA PIPILUEUN!” timpal Rakha dengan tubuh sesekali yang memberontak. “DIADU DIEU JEUNG AING KEHED!” tantang Rakha.

Lo yang kayak Babi, nggak tau apa masalahnya tapi ikut-ikutan! Berantem sini sama gue!

Rakha menggerakkan kedua tangannya, berupaya melepaskan dari cengekeraman kedua orang itu. “Lepasin aing Anjing, aing mau nonjok itu orang!” Rakha menggertakkan gigi.

“OMAR SI KAMU KE MANA ANJIR, SI AKU TINGGALIN BENTAR LANGSUNG ILA—” Ucapan Yolan otomatis terhenti ketika melihat keempat temannya yang berada di dalam GOR lapangan biasa ia pakai untuk bermain dengan rekan basket sekolah lain. “SI KALIAN NGAPAIN DI SINI ANJIR?!” Yolan berlari, menghampiri ke tengah lapang yang entah mengapa ia merasa hawa di sekitarnya seketika memanas. Pun, tatapan sengit yang berbondong-bondong dilayangkan Harri, Jaya, dan Rakha pada rekan basket sekolah lain.

Aksara yang baru datang langsung terarah kepada salah satu wajah temannya yang terlihat memar. “HARRI MUKA MANEH KENAPA ANYING BABAK BELUR?!” panik Aksara, menatap wajah temannya itu dengan seksama.

“Yang itu bukan orang yang udah mukulin maneh kemarin teh, Lan?” Rakha menunjuk ke arah Omar yang sudah terduduk di lantai dengan tangan berusaha menghilangkan rasa denyut pada wajahnya.

Yolan terbelalak. “Anjing, jangan bilang si kalian abis berantem?!” Yolan mulai menyadari situasinya saat ini, terlebih ketika melihat beberapa memar pada wajah ketiga orang di hadapannya.

Tak ada yang menjawab menandakan bahwa dugaannya benar.

“Ih tolol, kenapa si kalian berantem?”

Jaya mulai melepaskan cengkeraman pada tubuh Harri, pun diikuti hal yang sama oleh Jagat untuk melepaskan Rakha, walaupun masih ada ketakutan apabila temannya itu akan kembali melayangkan pukulan.

Aing nggak bisa liat temen aing sendiri diganggu gitu aja, ya, Monyet,” balas Harri.

Yolan mengacak-ngacak rambutnya frustasi. “Tapi nggak dengan berantem juga tolol!” Yolan cukup sabar ketika mendapatkan jawaban yang sama sekali tak pernah terlintas akan mendengar kalimat tersebut. “Liat si aku nggak kenapa-apa, soalnya kemarin langsung dikompres sama si Aksa, udah nggak terlalu sakit juga!”

“Harri, Rakha, Ammar, Omar si kalian cepet salaman dulu. Si kalian teh temen si aku, harus akur!”

Harri menggeleng. “Nggak mau, Anying, mereka yang salah!” Rakha mengangguk menyetujui.

“Nggak ada salah atau bener. Minta maaf, ya, minta maaf,” tegas Yolan dengan nada ucapan terkesan dingin.

Aksara berjalan mendekati Jagat yang sedang menatap khusyuk kejadian itu. “Maneh ikut berantem nggak, Gat?” Pertanyaan itu dibalas gelengan oleh Jagat.

Harri menghela napas. “Maafin aing nya.” Laki-laki kelahiran bulan Juni itu mengulurkan tangan, namun sang empu justru tak membalas uluran tangannya. “TUH, DA, AING UDAH MINTA MAAF TEH NGGAK DIBALES ANYING MALESIN!” ketus Harri tak terima permintaan maafnya tak digubris oleh sang empu.

Ruli menggeplak kepala Ammar. “Cepet minta maaf juga, goblog.”

Ammar meringis ketika merasakan belakang kepalanya dipukul begitu saja. “Ya, maafin juga aing.” Ammar meraih uluran tangan dari Harri dengan rasa malas. “Maafin aing tadi udah mukul maneh walaupun aing masih belum puas.”

Harri menghempaskan tangan, sebab tak mau berlama-lamaan untuk bersalaman dengan orang yang telah memukul wajahnya.

Rakha mengeluarkan selembar uang, lalu menyerahkannya kepada Omar. “Maafin aing, Mar.” Sementara Omar yang diberi uang secara tiba-tiba hanya bisa menyatukan kedua alisnya dengan heran. “Apaan?” Omar menatap selembar uang itu tanpa berniat untuk segera meraihnya.

“Duit buat beli es batu, dua ribu cukuplah. Malah maneh untung seribu.”

“SI BANGSAT, LUKA AING DIHADIAHI DUA REBU DOANG.”

Gelak tawa kompak melantun setelah mendengar kalimat konyol yang terlontar dari mulut Rakha. Biarpun mulut mengeluarkan kalimat tak setuju, namun tangan kanannya masih bergerak meraih selembar uang berwarna abu itu.

Aksara cukup penasaran dengan pakaian yang digunakan oleh Harri dan Rakha. “Maraneh kenapa pake jaket itu, sih? Udah kayak tukang villa aja Anying.”

Harri melirik jaketnya sekilas. “Ini teh pertahanan aing sama si Rakha kalau sewaktu-waktu ada yang ninju perut, soalnya bahannya tebel. Jadi aman dari pukulan,” jelas Harri dengan bangga dapat memamerkan ide cemerlangnya.

“Si aku nggak habis pikir sumpah sama jalan pikiran si kalian.”

Yolan menggeleng. Kendati ia cukup kesal dengan tingkah temannya yang telah melakukan tindakan tersebut, namun jauh di dalam sana ia merasa beruntung sebab telah dipertemukan dengan seorang teman yang setia.

“Eh Omar, tanpa mengurangi rasa hormat maaf kalau si aku nggak simpati karena musibah si kamu hari ini. Tapi si kamu tetep harus lanjutin bersihin toilet GOR ya, Anying, si aku sama si Aksa udah beli pewangi toilet!” Yolan menengadahkan tangan ke arah Aksara, kemudian kantong plastik berwarna putih itu telah berpindah tangan. “Ini hukuman karena si kamu udah mukul si aku kemarin!” Kantong plastik berisikan beberapa belanjaan itu Yolan serahkan dengan cepat kepada sang empu.

Siapa yang tidak merasa kesal ketika dirinya sedang asyik bermain basket, namun entah mengapa secara tiba-tiba ia justru mendapatkan sebuah pukulan dengan dalih ia telah merampas bola yang semula sedang digiring olehnya. Lagipula, bukankah itu yang dinamakan pertandingan?

BRENGSEK, KAKI GUA JANGAN DIINJEK JUGA ANJING!”

Teriakan itu cukup nyentrik di tengah-tengah suasana sunyi. Semua orang menoleh ke arah sumber suara yang telah berteriak dengan lantang. Bahkan suasana ramai akan kalimat yang semula terus-menerus dilantangkan saban insan di sana, langsung lenyap dan menyisakan rasa penasaran siapa pemilik suara jeritan tersebut.

Jagat memukul asal tubuh seseorang yang telah menginjak kakinya secara tak sengaja. Bagaimana tidak terasa sakit ketika ia hanya memakai sandal, sedangkan sang pelaku yang menginjak menggunakan sepatu dengan permukaan alas yang keras. Terlebih sang pelaku pada saat itu tengah berlari sehingga kakinya dapat merasakan kesakitan yang berkali-kali lipat apabila dibandingkan dengan diinjak biasa.

Jagat berjongkok, mengusap-ngusap permukaan kulit yang terasa sakit. Bahkan jejak dari sepatu sang empu masih tercetak jelas di atas permukaan kulitnya, pun beberapa detik setelahnya rona merah mulai muncul secara perlahan.

“Eh, eh, hampura aing nggak tau kalau ada kaki maneh sumpah!”

“WAH SIA APAIN TEMEN AING HAH?! LAGI BALES DENDAM BUKAN?!” Harri menoleh, menunjuk orang tersebut yang memperlihatkan raut penuh ketakutan. “ATAU MANEH MAU NYOBA NGERASAIN DIPUKUL SAMA JAGOAN ARCAMANIK JUGA?!”

Laki-laki itu menggeleng cepat. “Nggak sumpah, aing bukan mau bales dendam. Aing lagi buru-buru mau bawa pesenan makan aing di luar, driver-nya dari tadi udah nungguin!” Laki-laki itu mengangkat dua lembar uang dengan tinggi, berusaha meyakinkan bahwa ia benar-benar tak memiliki niat buruk seperti yang dikatakan Harri untuknya. “Ini buktinya aing pegang uang!”

Ruli menggeleng-gelengkan kepala. “Tolol pisan sumpah maneh, Dzul! Padahal masalah satu baru aja beres.”


Jagat Lingga Erlangga Universe.

by NAAMER1CAN0


Gadis dengan rambut diikat satu yang dibiarkan berantakan itu berkali-kali menguap, menatap bosan seorang guru yang sedang memandu kegiatan olahraga pagi ini. Kedua tangan gadis itu memeluk erat kaki miliknya, sementara pandangan ia lurus ke depan dengan sesekali mencuri pandang ke arah lain. Ketika hendak akan mengalihkan kembali pandangan untuk menatap penuh sang guru, tak sengaja matanya menangkap objek lain yang refleks membuat ia mengulas sebuah senyuman.

“Bareng lagi ternyata,” ucap Syifa dengan pelan, tubuhnya semula membungkuk kini telah tegak sempurna.

Frisilla menoleh, menatap heran ke arah gadis di sampingnya. “Kenapa, Cip?” bisik Frisilla, tak ingin menginterupsi sang guru di depan. Pun tak ingin menjadi sasaran empuk amarah gurunya.

Syifa terperanjat. Ia menggeleng dengan cepat agar tak menimbulkan pertanyaan lebih lanjut dari temannya itu. “Nggak! Syifa nggak ngomong apa-apa, kok!” bantah Syifa, dengan harapan Frisilla akan mempercayai ucapannya.

“Oh, kirain tadi ngajak aing ngomong.”

Syifa tersenyum sembari menggelengkan kepala. Sekarang ia sudah bisa bernapas lega setelah mengetahui bahwa Frisilla mempercayai ucapannya yang penuh kebohongan. Sebenarnya ia tak bermaksud untuk membohongi Frisilla, namun tak semua harus mengetahui apa yang sedang ia rasakan, bukan?

Syifa sendiri tahu bahwa di kalangan rekan-rekannya—Aira, Frisilla, dan Nashella—sudah mengetahui ketertarikannya terhadap kakak kelas itu, akan tetapi kembali lagi pada prinsip awal bahwa tak semua orang perlu tahu apa yang sedang ia rasakan. Terlebih posisi mereka saat ini sangat tidak memungkinkan Syifa untuk bercerita. Apabila ia tetap bersikukuh untuk bercerita, mungkin satu kelas akan mengetahui tentang ketertarikannya pada laki-laki yang sedang berjalan menuju segerombolan orang-orang lebih dulu telah baris dengan rapi.

Syifa menggeleng cepat, berharap dengan gelengan itu segala isi pikiran akan ikut terhempas dari kepalanya. Tetapi, tampaknya ia sedang tak berada dalam kondisi beruntung sebab gerakan kepala itu justru berhasil membuat seorang guru di depan sana memberikan perhatian kepadanya.

“Syifa kenapa? Sakit?”

Bola mata Syifa melotot; degup jantung berdetak cepat seiring dengan tatapan dari rekan-rekan kelas tengah menatapnya penuh pertanyaan. “Nggak, Pa! Syifa nggak sakit, tadi ada lalet makanya Syifa geleng-geleng kepala!” kilahnya. Gadis itu tak henti menyerukan sebuah kalimat penuh harap agar sang guru akan mempercayai ucapannya di dalam hati. Belum genap setengah jam ia berdiri di lapangan ini, namun sudah dua kebohongan yang ia lontarkan tanpa rasa malu.

“Oh, yaudah kalau gitu pemanasannya dimulai sekarang, ya. Lima belas menit lagi langsung ke lapangan yang aspal buat persiapan lari.”

Kalimat itu menjadi kalimat penutup dari sang guru, pun setelah mendengar titahan itu semua siswa dan siswi sudah membubarkan diri. Saling mencari orang untuk menjadi pasangan pemanasan—peregangan otot—sebelum melakukan kegiatan lari yang akan dimulai dalam hitungan beberapa menit ke depan. Syifa yang berniat akan kembali menolehkan wajah ke arah pemandangan di depan sana, harus segera mengurungkan diri ketika sang guru justru memberikan perintah untuk melakukan pemanasan.

Jika harus menjabarkan tentang pelajaran olahraga, maka dengan lantang Syifa akan mengatakan bahwa ia benar-benar tak terlalu menyukai mata pelajaran itu. Terlebih ketika harus berolahraga berlari, ia sangat tak menyukainya dibandingkan dengan bab olahraga yang lain. Bahkan, untuk dirinya yang tak terlalu mahir berenang, ia lebih memilih olahraga berenang dibandingkan dengan lari. Sudah terbayang bukan betapa ia tak menyukainya?

Selain malas olahraga berlari, Syifa pun memiliki alasan lainnya yaitu ketika melaksanakan lari mau tak mau harus melakukan peregangan otot yang mana hal itu selalu membuat seluruh bagian tubuhnya sakit di keesokkan hari. Misalnya ketika ia melakukan pemanasan sit up, keesokkan harinya ia akan merasakan sakit dibagian perutnya sehingga tak bisa leluasa tertawa ketika rekan-rekannya mengeluarkan guyonan.

“Kamu mau kerjasama nggak, Ashe?” tanya Syifa dengan berjalan beriringan, mencari tempat teduh untuk melaksanakan peregangan otot.

“Apaan?”

Syifa mendekati Nashella, lalu berbisik, “kalau misalnya nanti disuruh sit up, push up, pull up, dua puluh kali, kita diskon jadi sepuluh aja, gimana? Kamu mau nggak?” ujar Syifa dengan nada teramat pelan sembari sesekali tatapannya terarah pada sekitar, takut akan tiba-tiba sang guru berada di belakang mereka dan mengetahui niat licik itu. “Ini rahasia kita berdua aja!”

“Ih, maneh curang anjir!” Nashella menggeleng, menolak mentah-mentah ide tersebut. “Nah, awal mula adanya kasus korupsi tuh berawal dari hal-hal kecil kayak gini. Nggak jujur dan selalu mencari cara untuk menghalalkan apa yang mereka ambil,” sindir Nashella.

Syifa berhasil dibuat bungkam oleh untaian kalimat yang baru diserukan Nashella untuknya. “Tapi, ini kasusnya beda! Lagian emang kamu mau besok badan kita sakit-sakit?!” bela Syifa meyakinkan.

Nashella lebih memilih untuk tak menggubris ucapan itu. “Cepet maneh dulu, Cip.” Nashella menunjuk tempat teduh di depan, mengisyaratkan agar Syifa cepat pergi ke tempat sana. “Inget, dua puluh jangan diskon jadi sepuluh!” sindirnya diiringi kedua mata yang melotot.

Syifa memutar bola mata malas, bibirnya mencebik disertai runtutan kalimat kebencian yang ia ucapkan dalam hatinya.

Dengan penuh rasa malas, akhirnya mau tak mau Syifa dengan cepat melakukan pemanasan. Walaupun sebenarnya tubuh ia sulit untuk menikmati rangkaian olahraga itu, namun ia tetap harus memaksakan demi kebaikan dirinya ketika berlari nanti.

Baru delapan kali ia melakukan sit up, tampaknya kondisi perut ia sudah tak sanggup melakukan olahraga itu sampai tuntas. Syifa sudah tak peduli dengan waktu yang terus berjalan, terlihat dari sang empu yang sedari tadi masih asyik merebahkan tubuhnya daripada melanjutkan pemanasan itu. Setiap ia berhasil melakukan dua kali sit up, setelah itu ia membutuhkan setidaknya waktu sekitar lima belas detik untuk menghilangkan rasa kram pada perutnya. Lucunya acap kali ia beristirahat untuk menarik napas, pandangan ia akan tertuju kepada segerombolan orang di depan secara tak sadar.

“Arah jam tujuh jangan langsung ditengok.”

Jaya mengernyit heran, ia menoleh sembari menatap laki-laki di sampingnya untuk memastikan sesuatu. “Ngomong sama aing?” Pertanyaan itu dibalas anggukkan oleh sang empu.

Aing dari tadi penasaran kayak ada orang yang merhatiin, ternyata tersangkanya ada di arah jam tujuh. Tapi maneh jangan langsung nengok, ya, Anying!”

Jaya mengangguk paham. Laki-laki itu langsung merogoh celana olahraga untuk mengambil sebuah benda yang asyik bersenyaman di dalam kain tebal itu. Setelah mendapatkan benda elektronik itu, ia segera membawa benda itu untuk sejajar dengan tubuhnya. Sedetik kemudian jemari laki-laki itu lincah menekan ikon kamera dan mengarahkan pada posisi yang telah dimaksud Harri sebelumnya.

Anying pinter gini temen aing!” puji Harri, menatap takjub Jaya yang tengah mengarahkan kamera ponsel itu menuju ke arah dua orang di belakang sana dengan salah satu gadis tak henti menaruh perhatian ke arah mereka.

“Oh, kirain siapa.”

Merasa tak tertarik dengan obrolan yang dimaksud Harri, Jaya kembali mengunci layar ponsel dan menyimpan di tempat sebelumnya. Pandangan serta perhatian miliknya ia berikan penuh kepada sang guru yang tengah menjelaskan kegiatan olahraga hari ini.

Jaya bukan termasuk orang yang malas berolahraga. Justru sebaliknya, ia jauh lebih menyukai mata pelajaran olahraga jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Berbeda dengan laki-laki di sampingnya yang kini sedang berdiri lesu—tak terhitung sudah berapa kali laki-laki itu menguap, Jaya tak memedulikannya.

Anjing lari delapan keliling lagi,” keluh Rakha pelan namun masih tertangkap jelas oleh indra pendengarannya.

Rakha sigap mengepalkan tangan ketika telinganya mendengar jelas bagaimana salah satu dari laki-laki yang berdiri tak jauh darinya tengah melantunkan gelak tawa, padahal Rakha sendiri tidak sedang memberikan lelucon yang mampu menaikkan sisi humor mereka.

“Eh maneh jangan ketawa, ya, Anying. Paling ujung-ujungnya juga maneh ikut naik motor keliling lapangan biar nambah kilometer!” ucap Rakha tak terima dirinya menjadi objek tawa temannya itu.

Harri mengatupkan mulut. Salah satu jemari laki-laki itu ia bawa menuju perut, mengusap-ngusapnya pelan dengan irama konstan sebab entah mengapa perkataan dari Rakha sukses membuat gelak tawanya meledak seketika, pun membuat perutnya terasa kram.

Tolol, lagian ini mah larinya dipatok delapan keliling bukan lomba paling banyak langkah ai maneh!

Sementara kedua laki-laki itu masih asyik saling melempar kalimat penuh rasa emosi, di lain sisi satu laki-laki lainnya hanya mengitari suasana lapangan—merasa tak menarik dengan pertengkaran Harri dan Rakha—hingga tepat pada beberapa detik setelahnya laki-laki itu mengernyitkan dahi. “Saya rasa emang jodoh, sih, ini kalian berdua.” Laki-laki itu terkikik, merasa lucu sebab semesta benar-benar tengah berusaha menyatukan mereka berdua.

Ucapan dari Jagat itu berhasil membuyarkan lamunan Jaya.

“Hah? Apaan?”

Jagat menunjuk segerombolan orang di depan sana menggunakan dagu, sengaja agar gerak-gerik darinya tak akan membuat beberapa orang di sana akan menyadari bahwa sedang mereka berdua perbincangkan. “Tuh, perempuan selumbari yang ngasih kamu nutrisari juga lagi olahraga di lapangan ini,” sahut Jagat.

Jaya menoleh. “Selumbari apaan?” Garis-garis pada dahi laki-laki itu mulai tercetak dengan jelas, sang empu cukup kebingungan atas penuturan baru didengarnya.

“Dua hari kemarin.”

“Ya, terus kalau misalnya bareng kenapa? Kan, satu sekolahan, wajar aja kalau emang barengan.” Jaya mengangkat kedua bahunya tak acuh. Tak habis pikir mengapa ia justru ikut menimpali ucapan yang seharusnya tak usah susah payah ia rela untuk membalasnya.

Nada ucapan itu berhasil membuat Jagat secara tak sadar melantunkan sebuah tawa dengan pelan. “Kalau misalnya udah mulai tertarik sama dia berkabar sama kita, ya, Jay.” Jagat menepuk punggung Jaya cukup keras. Setelah itu Jagat berjalan menuju Harri dan Rakha yang sudah memulai pemanasan lebih dulu.

“Orang-orang makin aneh, omongannya pada suka ngalor-ngidul.”


Syifa tak sadar sudah berapa kali ia mengerucutkan bibirnya sebal. Lantaran sedari tadi gadis itu dibuat kelelahan oleh kegiatannya saat ini—mengelilingi lapangan. Rambut hitam yang diikat satu itu ikut terhempas ke kiri dan ke kanan seiring dengan langkah yang dibawa gadis itu. Tak peduli sudah berapa banyak helai rambut yang keluar dan terkena basah keringatnya, seakan hal itu tak membuat gadis itu berniat untuk menghentikan kedua kakinya dalam berlari.

Salah satu Syifa otomatis terangkat ketika dirinya berhasil menyambangi garis start yang sudah dibuat sang guru. Sebuah senyuman dengan bangga mulai terbit saat menyadari bahwa ia telah berhasil menyelesaikan satu keliling lapangan.

Belum genap sepuluh detik ia menyombongkan diri, akan tetapi sebuah kalimat setelahnya justru sukses membuat senyuman pada wajahnya hilang begitu saja.

“Ayo, dong, Cip, semangat ada empat keliling lagi!” ujar salah satu temannya di tepi lapang.

Bibir Syifa mencebik, mengikuti persis kalimat itu yang dilontarkan untuknya. Seberapa banyak kata semangat untuknya tetap tak ternilai. Sebab ia benar-benar dibuat sadar bahwa ia harus menempuh sebanyak empat keliling lagi untuk menyelesaikan olahraga ini.

“Kalau misalnya Syifa lari tiga keliling tapi bilangnya udah selesai lari lima keliling bakal ketauan nggak, ya,” ucap Syifa dengan napas tersengal-sengal. Kedua mata gadis itu sontak mengitari ke arah sekeliling, takut akan ada yang mendengar ucapannya yang sudah ia mati-matian untuk memelankannya.

Seketika Syifa menggeleng cepat, menghalau jauh-jauh niat licik yang sempat terlintas dalam pikirannya. “Nggak boleh! Syifa nggak boleh bohong!” Gadis itu memukul pelan kepalanya, memberikan sedikit jera agar ia tak pernah berniat untuk melakukan hal kecurangan seperti itu lagi untuk ke depannya.

“Ya… sebenernya, sih, Syifa bukan mau ngeluh karena harus lari, soalnya kelas Syifa masih beruntung bisa lari waktu masih pagi.” Langkah gadis itu terhenti seiring dengan untaian kalimat yang terus-menerus keluar dari bibirnya. “Tapi, kan, tetep aja capek! Kenapa di dunia ini harus ada yang namanya lari?!” celotehnya tak henti, asyik bermonolog sendiri.

Kedua bahu gadis itu terangkat disertai kepala yang miring, mencoba mencari jawaban akan pertanyaan yang beberapa saat lalu ia lontarkan. Bahkan bukannya ia melanjutkan kembali kegiatan larinya, justru gadis dengan rambut tak berbentuk itu justru asyik berjalan ditemani oleh puluhan kalimat yang tak luput dikeluarkan oleh gadis itu.

“Lari, Syifa, bukan jalan.”

Kalimat itu berhasil memenuhi gendang telinganya dilengkapi oleh seorang laki-laki yang baru saja melewatinya beberapa sekon lalu. Sang empu asyik berlari dengan salah satu earpods menyumpal telinga laki-laki itu. Dapat ia pastikan bahwa laki-laki itu tengah mendengarkan sebuah musik untuk menemani kegiatan olahraganya.

Celotehan kalimat itu lekas lenyap dan tergantikan oleh sebuah senyuman sang gadis yang telah lebar hanya dalam beberapa detik saja.

“Kak!” teriak Syifa. Namun sayangnya panggilan darinya tak diindahkan oleh sang empu, hingga Syifa kembali menggerakkan kedua kakinya untuk bisa berdampingan dengan laki-laki beberapa langkah berada di depan sana.

Deru napas Syifa terdengar pendek, sebab gadis itu berusaha mengais oksigen dalam waktu yang singkat. “Hai Kak Jaya!” seru Syifa, setelah berhasil mensejajarkan langkahnya dengan langkah milik sang kakak kelas.

Dirasa laki-laki itu tengah memberikan sedikit perhatian untuknya, lantas Syifa segera menolehkan wajah sembari memamerkan senyuman sebagai kata sambutan, pun tak lupa lambaian tangan persis di sebelah wajah laki-laki itu.

“Kelas Kak Jaya lari berapa keliling?”

Jaya tak langsung menjawab pertanyaan dari sang adik kelas, melainkan ia meraih ponsel berada dalam celananya. Setelah berhasil meraihnya, laki-laki itu menekan beberapa kali tombol pada sisi ponsel—mengecilkan volume!suara musiknya agar dapat mendengar jelas ucapan dari yang lebih muda.

Syifa cukup peka melihat raut dari Jaya yang memancarkan tatapan penuh heran. “Kelas Kak Jaya sekarang larinya berapa banyak keliling?” ulang Syifa.

Jaya memasukkan kembali ponsel ke tempat semula. “Delapan,” sahutnya cepat, masih dengan kedua kaki sibuk berlari yang tanpa sadar hal itu cukup membuat lelah seseorang di sampingnya.

Syifa mengangguk. “Ini Kak Jaya udah berapa keliling?” tanya Syifa, sibuk bertanya sembari sibuk menyelaraskan langkahnya dengan langkah laki-laki itu.

Jika bukan kakak kelas yang ia sukai, mungkin sekarang ia sudah berteriak untuk meminta laki-laki itu mengecilkan langkah kakinya. Sebab porposi kaki laki-laki itu berkali-kali lipat lebih tinggi dari porposi kaki miliknya.

“Lima.”

Syifa dibuat menganga dengan jawaban dari Jaya. “Wow… keren!” puji Syifa.

Jaya menarik kecil salah satu ujung bibirnya, memberikan sebuah senyuman dengan singkat. Akan tetapi sesaat kemudian tatapan miliknya tak sengaja terjatuh pada sepatu gadis itu yang telah menyita perhatiannya.

“Tali sepatunya jangan lupa diiket,” ucap Jaya, kembali mengarahkan padangan ke objek di depanya. “Takut jatuh,” lanjut Jaya. Kemudian setelah menyelesaikan ucapannya, laki-laki itu berlari meninggalkan sang gadis yang terdiam sembari menatap ke arah sepatunya.

Bukannya langsung mengikat tali sepatu, justru Syifa kembali berlari untuk bisa bersebelahan dengan kakak kelasnya. Lagipula kesempatan ini nggak mungkin dapat terulang kembali, pikirnya.

“Diiket dulu tali sepatunya, Syifa.” Jaya kembali berucap tanpa menolehkan wajah. “Bahaya.” Untuk kali ini, laki-laki itu menatap kedua mata sang adik kelas, sedang berusaha menyalurkan setitik penjelasan melalui kedua bola mata miliknya.

“Syifa mau ngiket talinya, tapi Kak Jaya larinya kenceng banget! Kalau misalnya Syifa taliin dulu nanti Kak Jaya jarak lari Syifa sama Kak Jaya jauh!” keluh Syifa tanpa rasa malu mengucapkan sebuah kalimat dengan penuh kejujuran di dalamnya.

Jaya tidak mengerti mengapa kedua langkah kakinya otomatis melambat, bahkan larian yang semula ia lakukan kini tergantikan oleh sang kaki tengah sibuk melangkah dengan pelan. Padahal tercipta rasa ingin segera menyelesaikan lariannya agar ia dapat beristirahat dengan cepat. Namun… ah sudahlah, ia pun tak memahaminya.

“Diiket dulu talinya, gih,” titah Jaya.

Sebab tak ingin membuat laki-laki itu merubah pikirannya, maka Syifa dengan cepat mencari tempat aman untuk mengikatkan kedua tali sepatunya dengan kuat. Entahlah, Syifa sedikit was-was, takut apabila laki-laki itu akan kembali melangkahkan kaki dengan cepat. Akan tetapi kekhawatirannya sirna begitu saja, sebab sang empu masih asyik berjalan santai.

Syifa dibuat kebingungan ketika dalam sekejap sebuah rasa panas secara tiba-tiba datang dan menjalar pada kedua pipinya. Syifa hanya berharap apabila kedua pipinya tak berubah menjadi warna merah. Sebab ia cukup malu karena dalam waktu beberapa menit ke depan ia akan kembali berhadapan dengan laki-laki yang telah sukses membuat dirinya merona.

Diam-diam Jaya telah mengeluarkan ponselnya, melakukan kegiatan yang sempat dilakukannya beberapa menit lalu. Laki-laki itu mengarahkan kamera ponselnya pada sebuah objek di belakang, memastikan pun memantau kegiatan gadis itu secara tak langsung.

Selepas Syifa sudah memastikan ikatan sepatunya cukup kuat, Syifa kembali berlari untuk menyusul laki-laki itu. Belum sempat dapat kembali bersebelahan, akan tetapi laki-laki itu justru telah berlari kembali tanpa menunggu kedatangannya.

Tepat saat Syifa menyelesaikan kegiatannya dan berancang-ancang akan kembali berlari, Jaya segera mengunci ponsel dan menyimpannya di tempat asal. Kemudian ia membawa kedua kakinya untuk berlari, melanjutkan kegiatan olahraganya yang sempat terhenti untuk sekadar menemani gadis itu menyelesaikan kegiatan mengikat sepatunya.

Syifa berdecak sembari menghentakkan sedikit kedua kakinya ke aspal lapangan dengan kesal. “Tuhkan, ditinggal!” Rasanya seperti ia baru saja dibawa ke langit ketujuh, namun tanpa sebuah kalimat terucap tiba-tiba ia dihempaskan ke bumi.

Sementara sang pelaku yang telah membuat gadis itu mengerucutkan bibir hanya bisa tertawa.


Syifa cukup paham akan apa yang sedang dilakukannya saat ini. Meneguk minum pada saat ia sedang berlari merupakan perilaku yang tak sepatutnya dicontoh. Selain hal itu merupakan beretika dalam berminum, pun tidak baik untuk pencernaannya. Akan tetapi mau tak mau ia melakukannya sebab apabila ia sengaja meluangkan waktu untuk bersantai dalam meneguk cairan itu, sudah pasti waktu dalam berlarinya akan terus berjalan. Syifa tak menginginkan hal itu.

“Oke kayaknya ini masih cukup buat dua keliling lagi,” ucap Syifa, mengangkat botol minumnya sembari ia goyang-goyangkan kecil.

“Boleh minta sedikit nggak air minumnya?”

Syifa tersentak ketika kalimat itu secara tiba-tiba berhasil menginterupsinya, beruntung ia telah selesai dalam kegiatan menegak minumnya sehingga ia tak akan merasakan sakitnya tersedak.

“Jaya boleh minta nggak air minumnya?” ulang laki-laki itu karena sedari tadi sang gadis hanya terdiam tanpa berniat untuk segera membalas ucapannya. “Air Jaya udah abis, nggak ada waktu buat minggir beli minum dulu,” jelas Jaya tak ingin membuat gadis itu berpikir yang tidak-tidak kepadanya.

Syifa makin terkejut mendengar sebuah nama yang dilontarkan laki-laki itu, kendati ia pun sudah cukup familier dengan suara tersebut.

Syifa menoleh. “Tapi botolnya ini bekas Syifa….”

Jaya menggeleng. “Nggak apa-apa,” timpalnya. Sesekali laki-laki itu mengedarkan pandangan, takut menemukan kehadiran temannya. “Boleh nggak?” ulang Jaya, tangannya sudah menengadah persis di hadapan gadis itu. “Tapi kalau nggak boleh juga nggak apa-ap—”

“Boleh!” Syifa menarik telapak tangan Jaya yang sudah tak menengadah. “Boleh, kok, Kak Jaya! Kata Ibu Syifa jangan jadi orang pelit!” Botol air minum itu Syifa serahkan kepada yang lebih tua.

“Makasih.” Jaya mengulas sebuah senyuman sebelum akhirnya laki-laki itu meraih botol minum itu, membukanya, lalu segera meneguk tak sabaran.

Mata gadis itu tak henti mengikuti setiap pergerakan yang diperlihatkan Jaya. Bola matanya sukses melebar ketika melihat bahwa laki-laki itu meneguk air dari bekas botol yang telah ia teguk sebelumnya. Mulanya ia mengira bahwa Kak Jaya akan meneguk minuman itu tanpa menyentuhkan bibirnya pada ujung botol itu, namun ternyata pikirannya salah.

Seketika ia merasa salah tingkah, berkali-kali Syifa mencoba meneguk salivanya sebab tak kuasa memandang sang kakak kelas yang tengah menikmati satu botol air minum miliknya. Terlihat dari cara laki-laki itu meneguk air, sangat memperlihatkan bahwa orang tersebut benar-benar sedang kehausan. Opini darinya makin kuat setelah melihat bulir-bulir keringat yang tercetak jelas pada wajah laki-laki itu. Dilengkapi dengan bercak bekas air keringat pada bagian punggung seragam olahraga Kak Jaya.

“Kak Jaya emang larinya berapa keliling lagi sekarang?”

Jaya mengangkat kelima jarinya, memberikan isyarat bahwa ia meminta waktu lebih banyak untuk menghilangkan rasa dahaga. “Ini terakhir, bentar lagi Jaya selesai.” Laki-laki itu terengah, dadanya naik dan turun tak beraturan. “Airnya abis, maaf, ya.” Jaya melirik ke arah botol itu sekilas yang tak menyisakan barang setetes cairan itu. Kemudian selanjutnya Jaya tergesa mengembalikan botol itu kepada sang empu. “Nanti Jaya ganti. Ngomong-ngomong Syifa absen berapa?” tanya Jaya secara tiba-tiba.

“Lima belas, Kak Jaya. Kenapa emang?”

Jaya lagi-lagi menggeleng. “Nggak, nanya aja.” Jaya melirik ke arah botol yang tengah digenggam erat oleh gadis itu. “Sekali lagi makasih, ya, Syifa. Nanti beneran Jaya ganti air minumnya.” Jaya menepuk pundak sang adik kelas itu, kemudian melanjutkan lari demi mencapai garis finish sesegera mungkin.

Syifa bergeming beberapa saat. Matanya mengerjap cepat dengan mulut sedikit menganga. Satu detik kemudian pandangannya terarah pada pundak sebelah kanan. “Pundak Syifa tadi ditepuk sama Kak Jaya,” ucap Syifa tak percaya sembari mengusap-ngusap pundaknya, lantaran tepukan itu justru memberikan debaran jantung yang berpacu teramat cepat.


“Biru!”

Biru yang namanya diserukan oleh seseorang spontan membalikkan tubuh ke arah sumber suara itu. “Kenapa, A?” tanya Biru. Niat ingin meneguk cairan dingin itu, akan tetapi ia urungkan ketika melihat sosok orang tersebut tengah berjalan ke arahnya.

Jaya menyerahkan satu botol air minum ke arah Biru tanpa mengatakan satu patah kata apapun.

Alis Biru bertaut, cukup kebingungan ketika dapati satu botol air minum yang diserahkan kakak kelas itu kepadanya. “Maksudnya, A?” Pandangannya kini beralih untuk menatap yang lebih tua.

“Tolong nitip kasih ke anak kelas maneh absen ke lima belas.”

“Absen lima belas?” ulang Biru yang dibalas anggukkan cepat oleh Jaya. “Absen lima teh siapa, A?” Anggap saja saat ini Biru seperti sebuah wartawan yang terus-menerus melontarkan sebuah pertanyaan tak henti. Biru sendiri sengaja melakukan hal tersebut agar tak salah dalam menyerahkan air minum tersebut.

Jaya mengedikkan bahu tak acuh. “Coba cari aja sendiri.” Namun sangat disayangkan jawaban itu bukanlah sebuah jawaban yang diinginkan Biru, sebab pertanyaan darinya tak kunjung mendapatkan jawaban bahwasannya siapa sang empu dengan pemilik nomor absen lima belas. “Nitip, ya, Ru. Nuhun.”

Belum sempat mencegah kepergian kakak kelas itu, akan tetapi pergerakan Jaya lebih cepat dari dugaan Biru sendiri. “Menyusahkan aja ah si Aa mah, udah nyuruh terus malah buat susah!” ketus Biru.

Ucapannya tak selaras dengan tingkah lakunya yang justru kini laki-laki itu tengah sibuk bertanya kepada masing-masing temannya untuk mencari siapa yang memiliki nomor absen lima belas.

Setelah berusaha semaksimal mungkin akhirnya Biru telah menemukan orang pemilik nomor absen lima belas selepas bertanya kepada sang sekretaris kelas. Kedua mata Biru sibuk berkelana mencari sosok orang yang tengah mengapa sedari tadi ia tak dapat menemukannya. Baru saja Biru akan menarik diri untuk mencari di tempat lain, akan tetapi orang yang tengah dicari-carinya secara tiba-tiba tak sengaja tertangkap oleh kedua matanya.

“Syifa!” teriak Biru berhasil menghentikan langkah gadis itu.

Syifa melambai, membalas atas seruan dari Biru secara non-verbal.

Syifa terheran kala Biru sekonyong-konyong menyerahkan satu botol air minum itu kepadanya. “Apa?” Alis Syifa bertaut.

Biru kembali menggerakkan botol tersebut. “Titipan dari A Ajay buat maneh, tadi nitipin ke urang,” jelas Biru tanpa basa-basi.

Lho, ternyata Kak Jaya beneran gantiin minum Syifa?! Padahal nggak diganti juga nggak apa-apa. Lantas Syifa segera meraih botol air minum itu. “Makasih, Biru!” Tak lupa ia memamerkan senyuman kepada orang tersebut karena telah membantunya.

Hendak ingin membuka botol tersebut akan tetapi sebuah keanehan mulai muncul. “Kok tutup botolnya udah dibuka? Udah kamu minum bukan?!” Mata Syifa memicing ke arah Biru yang tengah menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Nggak tau, urang udah pegang botol dalam keadaan gitu dari A Ajay nya.” Biru mengangkat satu botol air minumnya yang sudah tersisa setengah ke depan muka Syifa. “Urang juga punya air minum sendiri!” bantahnya tak terima dijadikan kambing hitam.

“Aneh, masa segelnya udah kebuka.” Syifa memutar botol air minum untuk melihat tanggal produksi serta tanggal kadaluarsanya.

Setelah bergumul dengan pikirannya beberapa saat lalu lantaran dipenuhi rasa penasaran, Biru kini telah berancang-ancang untuk mengatakan sesuatu.

“Eh, Syifa.”

Syifa menghentikan kegiatan dalam memandangi botol minum tersebut, lalu segera menoleh ke arah Biru yang telah memanggil namanya. “Kenapa?” tanya Syifa.

Maneh lagi deket bukan sama A Ajay?”

Bagai tersambar petir di siang hari, napas Syifa seakan tercekat dalam beberapa detik saja. “Nggak! Kenapa kamu mikir kayak gitu?!” panik Syifa, tak pandai menyembunyikan ekspresi keterkejutannya.

Biru makin menyatukan kedua alisnya, pun setelah itu garis-garis harus pada dahi laki-laki itu mulai tercetak jelas. “Soalnya A Ajay terus-terusan nitipin ini itu ke urang, jadi urang simpulin kalian lagi deket aja.”

Syifa menggeleng. “Hahaha enggak, kok, enggak!” Syifa tertawa canggung sembari memukul punggung Biru dengan cukup pelan. “Eh, tapi, emang Kak Jaya lagi deket sama orang lain, ya?” Entah mendapatkan sebuah ide dari mana hingga akhirnya ia mengatakan hal tersebut kepada Biru.

“Kayaknya nggak, sih, soalnya nggak pernah denger kabar lagi dia lagi deket sama orang.”

“Berarti dulu pernah?”

Biru mengangguk. “Pernah, soalnya ceweknya pernah nungguin A Ajay latihan futsal. Tapi itu udah lama.” Biru tiba-tiba memiringkan wajah disertai sebuah senyuman penuh arti. “Tuhkan, maneh lagi deket! Atau jangan-jangan maneh yang suka, ya, soalnya nanya-nanya A Ajay terus!” gertak Biru.

Bodoh Syifa bodoh. Ia tanpa sadar telah melewati batas seharusnya dalam mengulik sebuah informasi. “Kepo, huu!” balas Syifa sembari menjulurkan lidah ke arah laki-laki itu. Syifa bergegas menarik diri sebelum nanti laki-laki itu akan terus-menerus menghujamnya dengan berbagai pertanyaan lain.

Syifa terlalu bingung memilih mana hari terbaik untuknya dan mana momen terindah untuknya ketika setiap kegiatan yang berhubungan dengan sang kakak kelas itu memiliki sebuah ruang spesial tersendiri baginya. Dari hal kecil hingga hal besar yang dilakukan laki-laki itu selalu berhasil membuat hatinya jatuh makin dalam. Ternyata hidup penuh sama kejutan dan bisa ngerasa deg-degan karena hal lain itu punya rasa keseruan sendiri, ya!


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0


cw // harsh words , so be wise okaaay!^___^


Saat ini waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Mereka berenam serempak berkendara saling beriringan satu sama lain. Setiap melintasi lampu merah, Jaya tak lupa untuk melirik spion motornya, memastikan keempat temannya berada di belakang dan tak tertinggal.

Cuaca di Bandung sore hari ini cukup menyejukkan. Bagaimana tidak ketika jalanan raya yang mereka lewati masih tercetak jelas basah, seperti baru saja kota Pasundan diguyur hujan. Terlihat dari beberapa jalanan terdapat bekas genangan air. Beruntungnya, ketika mereka pulang sekolah, hujan sudah tak berbondong-bondong membasahi bumi.

“Anjing!” seru Jaya secara tiba-tiba itu cukup mengejutkan Harri yang tengah disibukkan bermain ponsel di jok belakang.

Harri mengernyit, mematikan ponsel dan memasukkan sembarang ke kantong seragam sekolah. “Kenapa, Jay?” tanya Harri, memiringkan sedikit kepala agar dapat mendengar jelas tiap kalimat yang akan diucapkan laki-laki itu.

Jaya melirik ke arah kanannya sebentar. Setelah merasa bahwa jalanan di sebelah kanan kosong, maka dengan cepat Jaya memencet sein lalu tak lama ia segera menepikan kendaraannya di salah satu bahu jalan yang cukup luas.

Harri yang dibonceng hanya bisa celingak-celinguk. “Kenapa berhenti, ih?! Ada apa ini teh, Jay?” panik Harri, sebab Jaya sedari tadi tak berniat untuk merespons ucapannya sedikit pun.

Bukan hanya Harri yang tampak bingung, keempat temannya yang baru saja menepikan motor pun dibuat kebingungan dengan tindakan Jaya secara tiba-tiba itu.

“Ada apa sih, Hag?” tanya Yolan dibalas gelengan oleh Harri. Bukannya ia tak mau menjawab, pasalnya Harri pun tak mengetahui alasan mengapa Jaya tiba-tiba menghentikan kendaraannya.

Jaya menarik standar motornya, memarkirkan sebelah pihak membuat seseorang di belakang dibuat panik oleh kemiringan yang dirasakannya. “Gantian nyetir, please. Aing lupa belum makan bekel tadi siang, takut dimarahin Mama. Mana bentar lagi sampe rumah aing.” Laki-laki itu turun dari motor, mempersilakan Harri untuk mengambil alih perjalanan selanjutnya.

“MONYET, KIRAIN AING ADA RAZIA ANYING!” ketus Rakha di belakang dengan raut yang sudah pucat. Padahal setelah dipikir-pikir mengapa Rakha harus merasa panik? Sedangkan ia hanya duduk di jok belakang sebagai penumpang, bukan pengendara.

Harri melongo, menatap tak percaya kalimat yang baru saja didengarnya. Lantas, ia pun segera bergerak untuk bersiap-siap menjalankan motor, melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti.

Benteun gitu nu tos dipasihan emam ku seseorang mah euy.” (Beda gitu yang udah dikasih makan sama seseorang.)) Harri dengan cepat menurunkan kedua kaki ke tanah, menggantikan standar motor dengan kakinya. Kemudian selanjutnya ia hanya berdiam diri, menunggu Jaya yang akan segera menempati jok belakang.

“Bacot!”

Sembari menunggu Harri menyalakan mesin motornya, Jaya segera menarik tas di punggungnya itu untuk meraih kotak bekal yang berada jauh di dalam sana—tertumpuk oleh beberapa buku pelajaran hari ini. Sesudah berhasil meraihnya, Jaya dengan cepat menutup kembali tas itu dan naik ke atas motornya.

Merasa tak ada pergerakan lagi, maka Harri memutuskan untuk menarik pedal gas itu dengan kecepatan pelan, sesuai permintaan Jaya untuk menjalankan motor tidak terlalu ngebut agar tak cepat sampai di kediamannya.

Harri sedikit risih dengan gerakkan tak beraturan yang bisa ia rasakan jelas pada punggungnya. “Bahaya Anying makan waktu ngejalanin motor teh!” teriak Harri setelah melihat Jaya sudah membuka kotak bekal makannya, berancang-ancang akan segera menyantapnya dengan terburu.

Bitan.

Bitan hulu maneh rusak!” (Bitan kepala lo rusak!)

Jaya tak menghiraukan ucapan itu, ia lebih memilih untuk segera melahap satu suapan demi suapan bekal makan siangnya yang belum tersentuh sama sekali sejak tadi.

Ketika merasa jalanan di depan padat merayap, maka Jaya cepat-cepat menyendokkan satu suapan bekal makan siangnya lalu ia berikan kepada Harri.

Buru makan!” paksa Jaya, sebab orang tersebut tak terlihat akan segera membuka mulutnya. “SABAR ANYING, AING TEH LAGI FOKUS NYETIR!” gerutu Harri, merasa sebal melihat tindakan orang di belakang yang tak paham akan situasinya saat ini.

Selepas merasa jalanan di depan aman, lantas Harri dengan cepat memiringkan kepala, membuka mulut dan segera menyantap satu suapan yang diberikan untuknya. Satu detik.. dua detik.. hingga tepat pada detik ketiga Harri merasakan keanehan dengan satu suapan yang sudah hinggap dalam mulutnya.

“Monyet, dagingan atuh! Jangan mentang-mentang itu bekel sia jadi cuman sia yang makan dagingnya, ai sayurna dikasih semua ke aing!

Tawa Jaya melantun renyah setelah mendengar rentetan frasa yang keluar dari mulut temannya itu.

Sayangnya tawa Jaya harus segera ia telan mentah-mentah sebab kedua matanya tak sengaja melihat sebuah lampu lalu lintas yang sebentar lagi akan berubah warna menjadi merah. “Hag, pelanin Hag. Tunggu sampe lampu merah.”

Harri berani sumpah, ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Jaya yang entah mengapa terdengar sangat aneh untuknya. Pasalnya, orang-orang akan berlomba untuk secepat mungkin melewati lampu lalu lintas sebelum berubah warna menjadi merah. Tetapi, kali ini justru ia mendapatkan pengalaman baru yang lebih aneh. Bukan hanya dia, melainkan keempat temannya memberikan sarat wajah kebingungan. Padahal apabila mereka mengendarai motor dengan kecepatan normal, mungkin kini mereka sedang menjalani motor tanpa harus susah payah berdiam diri menunggu lampu itu akan kembali berganti warna.

Baru saja Harri menekan rem motor, namun seseorang di belakang sudah turun dan berjalan ke arah teman-teman lainnya dengan sendok yang masih ia genggam erat-erat.

“A, buru!” paksa Jaya setelah satu suapan bekal makan siang itu sudah berada di depan mulut Yolan. Yolan ingin segera melayangkan kalimat protes, akan tetapi tangan Jaya jauh lebih gesit untuk memasukkan satu suapan itu ke dalam mulutnya.

Berbeda dengan Aksara yang kini sudah membuka mulutnya sukacita, siap menerima suapan dari Jaya.

Setelah itu, ia kembali bergeser pada motor di sebelahnya. Rakha dengan senang hati membuka mulutnya, walau sebelumnya Jaya harus bersabar sebab laki-laki itu tak henti melayangkan kalimat caci maki untuknya.

“Saya nggak mau pake sayur!” Hal itu berbanding terbalik dengan Jagat yang justru tak bisa menerima makanan itu dengan sesuka hati.

Anying maneh jangan pilih-pilih, sayur bagus buat tubuh maneh!

“Ya udah, kalau gitu kamu aja yang makan sayurnya!”

“Nggak mau Anying, aing nggak suka sayur ijo kayak gini!”

“Saya juga sama, nggak suka! Saya mending makan nasinya aja daripada harus makan sayur itu.”

Aksara, Harri, Rakha, dan Yolan hanya bisa menundukkan malu kepalanya ketika suara pertikaian itu justru menjadi bahan tontonan para pengendara lain. Rakha yang tak ingin menjadi bahan pembicaraan pun akhirnya mulai membuka paksa mulut Jagat agar Jaya cepat-cepat kembali ke atas motornya.

Jaya yang melihat tanda-tanda bahwa lampu lalu lintas itu akan berubah menjadi lampu hijau, bergegas menyuapi satu sendok makanan itu ke dalam mulut Jagat yang sudah terbuka atas bantuan Rakha.

“Bwengshek khamu Jhaya!” ketus Jagat tak jelas sebab di dalam mulutnya dipenuhi makanan.

Jaya sudah tak peduli berapa banyak pasang mata yang terarah kepadanya, pun seberapa lantang gelak tawa yang disenandungkan para pengendara lain, yang Jaya pedulikan hanyalah bagaimana caranya bekal makannya itu cepat habis sebelum sampai di rumahnya. Hanya itu.

Hingga pada akhirnya, atas kegigihan pun jiwa solidaritas yang diberikan teman-teman untuknya, kotak bekal itu kini sudah habis tak bersisa.

Jaya kini sudah bisa bernapas lega, merasa aman apabila setiba di rumahnya nanti ia akan terbebas dari celotehan Mamanya.

Terkadang emang harusnya kayak gitu, punya temen emang harus dimanfaatkan.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Jaya menengadahkan salah satu tangannya setelah ia berhasil memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Ia tengah memastikan tetesan air yang mulai turun dan membasahi dirinya itu bukan lah berasal dari cairan sekitarnya. Kemudian, ia membawa kepalanya untuk mendongak, memperhatikan eksistensi raja siang yang masih asyik berdiam diri di atas langit sana. Bekas tetesan itu perlahan ia usap menggunakan tangan lainnya, seolah ia tidak mengizikan cairan itu dapat membasahi tubuhnya.

Samar-samar kerutan pada dahinya mulai tercetak seiring dengan raut wajah dipenuhi tanda tanya oleh cuaca siang ini yang sulit ia deskripsikan. Jaya tahu betul bagaimana ketika beberapa menit lalu kulitnya perlahan terbakar oleh matahari di atas sana, namun keanehan lainnya justru ia rasakan ketika bulir-bulir air berduyun-duyun turun dari langit dan melapisi kulit yang semula terbakar oleh sinar matahari itu.

Tak lama dari situ, bulir-bulir air yang semula menampakkan dirinya secara perlahan seakan malu untuk memamerkan eksistensinya berubah menjadi tetesan air yang tak henti jatuh disertai suara bergemuruh cukup nyaring. Terlampau gemuruh sehingga mampu menyamarkan suara bising dari ruangan yang tengah dipijaknya.

Ketika kedua matanya sibuk mencari keberadaan kedua teman yang sudah lebih dulu di dalam kantin, lambaian tangan itu berhasil ia temukan dengan cepat. Maka, tanpa menunggu lama ia bergegas menarik diri untuk segera menghampiri kedua orang tersebut.

“Lama pisan, dari mana aja maneh? Urusan apaan?” ucap Rakha bak sebuah kalimat sambutan untuk Jaya yang baru saja mendudukkan dirinya di salah satu kursi kosong. “Hag mana?” tanya Rakha setelah menyadari bahwa tak ada orang lain berada di belakang laki-laki itu.

Jaya bangkit dari kursi, lalu memutar badannya sedikit ke arah laki-laki itu untuk sekadar menepuk pelan saku belakang celana sekolahnya. “Abis ambil ini,” balasnya, kemudian kembali duduk dengan nyaman.

Rakha terdiam melihat pemandangan itu, cukup terkejut dengan tingkah Jaya yang menurutnya menjawab secara lisan tidaklah begitu berat.

“Harri mana, Jay?”

Jaya mengedikkan bahu tak acuh, ia lebih memilih untuk meraih salah satu gelas yang ia yakini bahwa gelas itu tak ayal adalah miliknya sendiri. “Punya aing kan?” Anggukkan yang diberikan Jagat menjadi sebuah lampu hijau, hingga akhirnya cairan di dalam gelas itu tak ragu Jaya sesap sampai menyisakan setengah bagian.

“Taro di sini punteun lah tangan aing penuh soalnya!”

Mereka bertiga serempak menolehkan wajah ketika mendengar suara yang tak asing secara tiba-tiba mendominasi. Salah satu dari mereka terkejut ketika melihat pemandangan bahwa terdapat dua adik kelas yang tengah kesulitan membawa satu mangkuk mi ayam dan satu mangkuk bakso, sementara sang pelaku hanya berdiri sembari mengarahkan orang tersebut untuk menyimpan mangkuk pesanannya di meja seberang Jaya.

Nuhun pisan nya!” ucap Harri, menepuk punggung kedua adik kelasnya sebagai salam perpisahan terakhir. Sebab setelahnya, kedua orang itu dengan cepat menarik diri dari mereka yang masih saling terdiam sembari menatap satu sama lain secara bergantian.

Ai sia nyuruh-nyuruh adik kelas!”

Harri mengaduh ketika merasakan sebuah tepukkan yang sengaja diberikan Rakha padanya dengan tak berperasaan. “Aduh! Sakit, Anying!” keluh Harri, mengusap-ngusap bekas pukulan itu dengan harapan rasa sakitnya akan berangsur hilang. “Dia sendiri yang mau bantuin aing, lagian seksama manusia teh harus saling tolong menolong!”

“Tapi manusia modelan kayak sia nggak patut buat ditolong, Anying.”

Harri menatap sinis orang yang baru saja menyerukan ucapannya. “Eh sia bacot, Jajang! Diem aja sia, aing lagi kesel pisan sama maneh!” tunjuk Harri, sembari memperlihatkan emosi yang makin meluap-luap.

Jagat menghela napas dengan berat kala adegan tersebut tak pernah luput dalam pandangannya. “Dompet kamu jadinya siapa yang nemuin, Jay?” tanya Jagat, mencoba menghentikan pertikaian itu yang tampaknya belum terlihat ada tanda-tanda akan berhenti.

Jaya sudah berancang-ancang membalas ucapan itu, akan tetapi sebuah suara lebih dulu mengambil alihnya tanpa permisi.

“Adik kelas yang kemarin dianterin si Ajay waktu renang,” sahut Harri cepat.

Rakha menaikkan kedua alis, merasa tertarik dengan sebuah fakta baru yang baru didengarnya. “Maneh beneran lagi deket sama itu anak, Jay?”

Jaya menggeleng. “Nggak.”

Ingin kembali menimpali ucapan itu, tetapi mereka justru seketika dibuat bungkam kala dapati seseorang datang dengan membawa dua piring—telah memenuhi kedua tangan pria itu. Lantas, mereka bergegas ucapkan kalimat terima kasih secara bersama-sama saat piring tersebut sudah berpindah menuju mejanya.

“Aksa sama Yolan mana?” Jaya celingak-celinguk menyadari ketidakhadiran kedua rekan teman lainnya. Kemudian tak lama tatapannya kembali terarah pada piring berisikan siomay dengan saus kacang di atasnya. Sesekali laki-laki itu mengaduk siomay, berusaha meratakan bumbu itu agar semua bagian terkena saus kacang.

Jagat yang akan memasukkan satu suapan bekal makan siangnya seketika terhenti. “Dia makan siang di kelas bareng anak-anak kelasnya,” timpal Jagat, sebelum akhirnya satu suapan bekal makan siang itu ia masukkan ke dalam mulut.

Kalimat itu menjadi kalimat penutup mereka di siang ini. Sebab setelahnya tak ada lagi rentetan kalimat yang mereka ucapkan, seakan satu piring di hadapan mereka jauh lebih mampu menarik perhatiannya dibandingkan objek lain yang ada.

Hingga tiba-tiba saja langkah seseorang yang mendekat, pun diikuti kalimat setelahnya berhasil membuat mereka berempat serempak mendongakkan kepala.

“Halo Kak Jaya, selamat makan, ya!”

Bukannya mendarat dalam mulut, tetapi satu suapan itu justru mendarat kembali di atas piring berisikan siomay yang baru termakan sebagian olehnya.

Lambaian tangan itu seketika memenuhi pandangannya, bagaimana ketika gadis itu berucap sembari memamerkan senyumannya disertai angin datang dan membantu helai rambut gadis itu tergerak, membuat kesan yang jauh lebih indah dari pemandangan lainnya yang ada.

Jaya berdeham, memutuskan pandangan secara sepihak dengan seseorang di seberang sana yang masih setia melambaikan tangan tanpa rasa malu apabila gadis itu akan menjadi sorotan orang di sekelilingnya. Jaya menegakkan tubuhnya, mencoba berekspresi senormal mungkin agar tak menjadi buah pembicaraan ketiga temannya yang kini tengah melemparinya dengan tatapan ejekkan.

“Selamat makan Kak Jaya,” ulang Harri dengan bibir mencebik, tak lupa nada bicara yang ia buat selucu mungkin agar lebih mendalami peran.

“Sapaannya kok nggak digubris, sih, Kak Jaya?”

“Minimal bales hai juga dong, Kak Jaya. Iya, nggak, Gat?” Jagat mengangguk, menyetujui ucapan Rakha diselingi ketawa renyah setelahnya.

“Bacot!”

Entah apa yang membuat Jaya justru kembali melayangkan tatapan ke arah di seberang sana, hingga akhirnya tatapan mereka berdua kembali bertemu. Dan, ya, gadis itu kembali melambaikan tangan dengan raut wajah sama cerianya seperti sebelumnya. Sementara Jaya hanya merespons lambaian itu dengan mengangkat sedikit salah satu ujung bibirnya, hanya sedikit, pun itu terjadi hanya beberapa detik saja.

Liat itu adik kelas caper banget, dari tadi lambai-lambai mulu. Padahal direspons Jaya juga nggak, malu sih kalau urang.

Jaya yang tak sengaja mendengar ucapan itu refleks menjatuhkan sendoknya tanpa aba-aba. Hal itu berhasil mengejutkan ketiga temannya, terlihat dari salah satu mereka masih sibuk mengelus dada untuk menetralisir rasa terkejut.

Anying, reuwas!” (Kaget!)

Jaya berharap bahwa ucapan itu tak akan terdengar oleh gadis di seberang sana, walaupun akhirnya harapan itu harus sirna ketika melihat gadis itu menundukkan kepala. Raut wajah yang semula ceria berubah menjadi raut penuh kesedihan, tak ada lagi lambaian tangan yang ia dapatkan ketika ia sengaja mengarahkan pandangan ke arah gadis itu. Pun, ketika gadis itu menatapnya, ia hanya mendapatkan respons tundukkan kepala.

“Eh, maneh mau ke mana, Jay?!” heran Rakha saat melihat gerak-gerik Jaya yang mulai bangkit seolah akan meninggalkan mereka bersama. “Kenapa piring sama gelasnya maneh bawa?!” Lagi-lagi Rakha melayangkan pertanyaan, namun rentetan kalimat itu tak satu pun dijawab oleh sang empu.

Jagat menjadi orang pertama yang refleks bangkit dan berancang-ancang mengikuti langkah ke mana Jaya akan tuju. Selanjutnya, tak lama disusul oleh Rakha dan Harri—yang sibuk menyatukan mi ayam dengan bakso. “Ah, Anying. Aing satuin ajalah ribet!”

Mereka hanya bisa terdiam setelah menyadari bahwa temannya itu melangkah menuju meja yang sama sekali tak pernah terpikirkan jika laki-laki itu akan ikut bergabung dengan seseorang yang selalu ia tepis secara mentah-mentah ketika ditanya soal kedekatan mereka berdua.

Sorry, boleh gabung? Meja di belakang kotor.” Jaya menatap sekilas ke arah meja belakang, lalu kembali menatap satu per satu orang yang berada di meja tersebut.

Anying kotor apanya, bersih gitu!” bisik Harri tak terima kepada Rakha. “Aing juga nggak ngerti, Anying!” balas Rakha tak kalah pelan. Jagat yang mendengar ucapan itu hanya bisa menyatukan kedua alis. “Ini ada apa, sih, kok pada bisik-bisik?” Alih-alih menjawab pertanyaan Jagat, Harri dan Rakha justru membuat jarak di antara ketiganya. Menganggap seolah pertanyaan dari Jagat tak perlu susah payah mereka jawab.

Nashella melirik ke arah belakang lalu mengangguk cepat. “B-boleh, Kak. Duduk aja!” Nashella mengibasian tangan seakan menyuruh seorang di sebelahnya untuk bergeser, memberikan ruang agar kakak kelasnya itu dapat duduk dengan nyaman.

“Makasih.”

Selepas mendapat persetujuan untuk bergabung, Jaya pun akhirnya mendudukan dirinya di salah satu kursi kosong—persis di sebelah gadis yang telah melambaikan tangan kepadanya.

Aing duduk di sini!”

“Saya duluan di sini!” Jagat mencengkeram kerah seragam Harri agar tak bisa menduduki kursi miliknya.

Harri menepis tangan Jagat dan berusaha menempati kursi tersebut. “Maneh di ujung, ah!” tunjuk Harri pada salah satu bagian kursi di ujung sana.

“Kamu yang di ujung, saya duluan yang naro makan siang saya di sini!” sanggah Jagat tak mau kalah, sebab bekal makan siangnya lebih dulu ia simpan di atas meja itu.

Bekal makan siang itu Harri geser secara paksa, lalu tanpa rasa malu ia simpan mangkuk miliknya. “Aing di si—”

Rakha memutar malas kedua matanya. “—ih bagong diuk mah tinggal diuk meuni loba ceta pisan!” (Ih, duduk tinggal duduk aja kok banyak tingkah banget!)

Untuk mencegah pertikaian yang mungkin akan terjadi lagi, akhirnya Rakha mengambil langkah untuk menempati kursi yang diinginkan oleh kedua temannya itu.

“Monyet!” hardik Harri melihat mangkuknya digeser begitu saja oleh Rakha. “Jauhan sana, jangan deket-deket aing, alergi!” Harri mendorong bahu Jagat agar tak bersentuhan dengan bahu miliknya. Sementara sang empu hanya merespons kalimat itu dengan memutar malas kedua bola matanya.

“Maaf, ya, jangan dicontoh omongan temen-temen urang. Pada kasar semua,” ujar Rakha secara tiba-tiba membuat suasana makin terasa canggung. “Kenalin Rakha, kalau itu namanya Harri di sebelahnya Jagat, kalau yang di ujung sana namanya Jaya. Maaf, ya, kita tiba-tiba ikut gabung di meja kalian,” lanjut Rakha, mencoba mencairkan suasana. Terlebih ketika matanya tak sengaja menangkap raut ketegangan yang tercetak jelas pada wajah adik kelasnya itu.

Mereka yang disebutkan bergantian menggerakkan kepala, tak lupa memberikan senyum hangat untuk perkenalan dengan orang baru di hadapannya.

“Nashella, Kak, kalau yang di ujung saja ada Syifa. Di sebelah kiri sama kanan aku ada Aira sama Frisilla.”

“Salam kenal, Kak.”

Harri menyipitkan mata setelah mendengar sebuah nama yang tak begitu asing di telinganya. “Kamu teh yang satu SMP sama Cipa bukan?” tanya Harri.

Nashella mengangguk, mengiakan pertanyaan dari kakak kelasnya. “Iya, A. Aku satu SMP sama Syifa. Dulu pernah ikutan basket juga.”

“Oh, pantesan kayak kenal. Sekarang juga masih basket, kan, ya? Soalnya waktu mau jemput pacar Aa, pernah nggak sengaja ngeliat kamu.”

“Iya, A. Ikutan basket juga.”

“Yang lainnya ikut ekskul apa?” tanya Rakha.

“Aira ikut English Club, kalau Frisilla ikut Badminton. Tadinya mau ikut futsal putri, tapi nggak jadi katanya.”

Harri menelan cepat satu suap makanannya. “Kenapa nggak jadi ikut?”

“Malu soalnya yang join cuman sedikitan, A.” Frisilla terkekeh di akhir ucapannya, cukup menyesal karena telah mengucapkan kalimat yang sepatutnya tak perlu ia beberkan.

“Ikut aja, kalau latihannya weekdays emang keliatan sedikit. Tapi, kalau weekends banyakan, kok.” Jagat mencoba menjelaskan alasan mengapa tim futsal putri terlihat sepi peminat dibandingkan dengan ekstrakurikuler lainnya.

“Tuh, dengerin kata ketua futsal!”

“Iya, Kak. Nanti mau coba buat dipikir-pikir lagi.”

Rakha tak sepenuhnya gagal untuk mencoba mencairkan suasana yang penuh ketegangan. Terbukti setelahnya, mereka sibuk saling melempari dengan pertanyaan lainnya hingga secara tak sadar meja mereka menjadi meja paling berisik di antara meja lainnya. Bagaimana tidak ketika lantunan tawa itu dapat mengalahkan suara rintik hujan yang setia menemani siang mereka.

“Makan, Syifa.” Jaya berucap tanpa mengalihkan pandangan. “Makanan Syifa ada di depan, bukan di samping,” lanjutnya, kemudian kembali menyuapkan satu potong siomay ke dalam mulut.

Sementara Syifa yang tertangkap basah sedang menatap seseorang di sampingnya hanya bisa merutuki dirinya di dalam hati. Ih bodoh banget, kenapa juga Syifa nggak sadar malah natap Kak Jaya terus! Beruntungnya, ucapan itu tak bisa didengar oleh laki-laki itu. Jika bisa didengar, mungkin ia tak mungkin berani untuk sekadar menampakkan batang hidungnya di hadapan kakak kelasnya itu.

Syifa memicingkan mata, mencoba mencari tahu sebuah objek yang sukses telah menyita perhatiannya. “Syifa baru sadar, ternyata selama ini Kak Jaya punya tahi lalat deket mata, ya!” Syifa menunjuk sekilas sembari terus-menerus menatap objek itu tanpa rasa bosan.

Jaya mengunyah cepat makanannya. Menarik satu gelas air minum, lalu meneguknya untuk menghilangkan butiran saus kacang yang mungkin menempel di dinding tenggorokannya.

“Syifa juga,” ucap Jaya membuat sang empu yang diserukan namanya refleks mengernyitkan dahi dengan heran.

“Syifa juga apa, Kak?”

“Jaya juga baru tau, kalau Syifa punya lesun pipi.”

Jaya menolehkan wajah ke samping, menatap adik kelas yang masih setia memandang tahi lalatnya. Laki-laki itu menarik kedua ujung bibirnya sekilas, sebelum akhirnya kembali menyantap siomay yang sudah mulai dingin akibat terlalu lama tak disentuhnya.

Jangan tanyakan bagaimana kabar dirinya ketika debaran jantung itu justru kian berpacu teramat cepat. Syifa refleks membungkukkan tubuh, sebab ia tak ingin apabila suara debaran itu akan terdengar oleh sang empu. Bahkan, tak hanya itu ia merasa cuaca siang ini benar-benar panas meskipun keadaan saat ini sedang hujan.

Seramai-ramainya suasana di kantin saat ini, akan tetapi ia masih dapat mendengar jelas ketika laki-laki itu menyenandungkan sebuah tawa yang sangat kecil. Beruntungnya ia masih dapat mendengar suara itu, suara gelak tawa yang telah membuatnya candu kala mendengarnya.


Puspa Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Derap langkah berbondong-bondong dibunyikan dengan lantang oleh kedua insan yang tengah berjalan menyusuri koridor kelas sepuluh. Kemudian tak lama derap langkah tersebut saling bersahutan dan terendam oleh percakapan dari orang-orang yang mereka lewati. Laki-laki dengan tubuh lebih tinggi dua sentimeter dari orang di depannya itu sesekali menengadahkan kepala untuk sekadar menatap dan memberikan sebuah senyuman kepada orang yang telah memanggil namanya.

Kemudian tak lama senyuman itu hilang dan tergantikan oleh raut penuh tanya. “Naha eureun?” (Kenapa berhenti?) tanya Jaya setelah menyadari laki-laki itu menghentikan langkahnya secara tiba-tiba membuat dirinya mau tak mau mengikuti hal yang sama—menghentikan langkah.

Harri memutar tubuh disertai dahi yang mengernyit. “Lah, lainna ieu kelas budak eta teh?” (Lah, bukannya ini kelas anak itu tuh?) Harri menunjuk kelas di depan lengkap dengan kedua mata tak absen untuk melirik papan kelas tersebut.

“Sepuluh IPA tujuh, tolol!”

Naha atuh sia teu ngomong! Kata aing mah harusnya sia yang jalan di depan, bukannya malah aing!” (Kenapa lo nggak ngomong! Kata gue, sih, harusnya lu yang jalan di depan, bukannya malah gue!) timpal Harri, tak ingin disalahkan secara sepihak.

Jaya tak menggubris ucapan Harri, melainkan ia lebih memilih untuk mendorong punggung laki-laki itu agar kembali melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti beberapa sekon lalu. Sementara, laki-laki yang dipaksa sebelah pihak itu hanya bisa menghela napas sembari mengikuti perintah Jaya dengan puluhan kalimat sumpah-serapah yang telah ia luapkan dalam hati.

“Apa?” Jaya dibuat heran untuk sekian kalinya, sebab alih-alih mengucapkan secara vokal, laki-laki itu justru menatapnya secara bergantian dengan ruangan di depan mereka.

Harri berdecak kesal disertai kedua mata yang memutar. “Ya, sia ngomong sendirilah sana. Masa harus sama aing-aing lagi?!” Tepat setelah menyelesaikan ucapannya, Harri membawa kedua kakinya untuk mendekati dinding di belakang, menyandarkan sembari menunggu Jaya menyelesaikan urusannya.

Harri tak segan untuk melantunkan tawa saat melihat tingkah laku temannya itu seperti tengah kebingungan dalam mencari seseorang. Bukannya ia tak ingin membantu, hanya saja Harri sendiri sengaja berdiam diri agar Jaya bergerak untuk menyelesaikan urusannya sendiri. Pun, ia memiliki maksud terselubung lain di dalamnya.

Ramai. Itulah satu penggambaran suasana yang telah berhasil menyita perhatian Jaya siang ini. Para siswa-siswi yang tak henti berlalu-lalang, jeritan bercampur gelak tawa itu diam-diam berhasil membuat Jaya secara tak sadar menelan saliva. Ia makin dibuat gugup setelah menyadari bahwa suasana di depannya ini teramat asing untuknya.

Tenggorokan Jaya seolah tercekat, padahal kedua kakinya sudah berada persis di depan pintu kelas tersebut. Dalam hitungan detik seharusnya ia mampu mengeluarkan suara untuk sekadar menginterupsi beberapa aktivitas orang di dalam sana, namun sepertinya ia harus mengurungkannya kembali hingga rasa percaya itu datang.

Ketika hendak ingin mengeluarkan suara, siapa sangka bahwa seorang gadis dengan rambut berwarna hitam sebahu di dalam kelas sana lebih dulu mengarahkan pandangan kepadanya. Mata mereka saling beradu untuk beberapa detik, sebelum salah satu dari mereka akhirnya memutuskan pandangan tersebut secara sepihak.

Jaya berani sumpah ia sendiri tak bisa mendengar suara gadis itu, namun entah mengapa kedua matanya dapat menangkap jelas bagaimana ketika orang tersebut menyerukan namanya disertai sebuah senyuman yang terukir pada wajah gadis itu. Sontak hal itu secara sadar tak sadar membuat Jaya membalas senyuman itu secara sekilas.

Laki-laki itu membawa langkahnya untuk mundur beberapa langkah, menyisakan ruang untuk para siswa dan siswi melintasi jalan tersebut tanpa harus bersusah payah memutar jalan, yang bahkan jika hal itu dilakukan cukup memakan waktu yang banyak.

Rasanya saat ini juga Jaya ingin melafalkan ribuan kalimat sumpah-serapah ketika kedua matanya tak dapat menemukan sosok laki-laki yang semula tengah asyik menyandarkan punggung pada dinding belakang yang tak jauh dari tempatnya berpijak. Ketika ia sedang sibuk mencari keberadaan temannya, tiba-tiba saja sebuah suara berhasil kembali menginterupsi, suara yang masih terdengar cukup asing di telinga laki-laki itu. Maka, tanpa harus membuat sang empu menunggu lama, Jaya dengan cepat memutar tubuh untuk berhadapan dengan orang tersebut.

“Kak Jaya sendirian ke sininya?”

Di antara semua kalimat yang mungkin dapat gadis itu serukan, entah mengapa pertanyaan itu terlontar begitu saja di luar dugaan. Padahal semula ia sudah menghafal dialog apa yang akan ia ucapkan apabila berhadapan dengan kakak kelas itu nanti. Ingin kembali mengurungkan pertanyaan itu, namun dengan cepat ia dibuat diam saat laki-laki itu menggelengkan kepala, menjawab atas pertanyaan yang sudah ia tuturkan.

“Nggak, berdua sama Harri tapi anaknya lagi nggak tau ke mana.” Syifa merespons jawaban dari kakak kelasnya itu dengan menganggukkan kepala.

“Syifa,” panggil Jaya, berhasil membuat gadis itu menengadahkan kepala untuk memandang ke arah laki-laki itu disertai kernyitan tercetak pada dahi sang puan. “Jaya udah bisa ambil dompetnya sekarang?” lanjut Jaya dengan kedua mata masih asyik menatap netra seorang gadis di depannya.

Syifa spontan menepuk dahi kala menyadari bahwa seharusnya ia segera menyerahkan barang kakak kelasnya yang sudah ia bantu amankan. Lagi pula sudah jelas bukan alasan mengapa laki-laki itu susah payah mendatangi kelasnya, tak ayal untuk mengambil barangnya yang tertinggal ketika pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan (PKWU) berlangsung. Beruntungnya ia dapat memutar otaknya dengan cepat sehingga mengambil kesempatan itu untuk ia manfaatkan berinteraksi dengan kakak kelas yang disukainya.

“Oh iya!” Syifa segera merogoh kantong rok sekolah demi meraih barang yang telah dipinta sang empu. “Bener yang ini, kan, dompet Kak Jaya nya?” Syifa mengangkat dompet itu sembari memutarnya sebelum akhirnya ia serahkan kepada Jaya yang telah menengadahkan tangan kanan persis di depan tubuhnya.

“Iya, itu punya Jaya.”

Tanpa harus memastikan dengan rinci pun Jaya sudah teramat mengenali barang yang tak pernah absen ia bawa ke mana pun. “Makasih, ya, Syifa.” Jaya memberikan sebuah senyuman singkat di sela-sela kegiatan berusaha memasukkan dompet itu kembali pada tempatnya.

“Eh, Kak!”

Jaya mengangkat salah satu alisnya seolah sedang menunggu sang empu akan melanjutkan ucapannya.

“Dicek dulu isinya takut ada yang ilang, walaupun Syifa nggak ngambil, tapi tetep harus dicek dulu!”

Dompet berwarna coklat itu yang sudah tersimpan rapi pada saku celana belakang, mau tak mau kembali ia tarik keluar dan mengikuti permintaan seseorang di hadapannya untuk memeriksa isi dompetnya sendiri.

“Gimana, Kak? Isinya udah lengkap kayak waktu sebelum hilang belum?” tanya Syifa penasaran, sebab laki-laki itu hanya diam yang mana hal itu kontradiktif dengan jemarinya yang lihai membolak-balikkan beberapa lembar uang miliknya.

Jaya merapikan kembali uang tersebut, lalu memasukkan dengan hati-hati ke dalam dompetnya. “Ini waktu Syifa nemu dalam keadaan kebuka atau ketutup?” tanya Jaya, sesekali bergantian mengalihkan pandangan dari dompet tengah ia genggam dengan gadis di hadapannya.

Syifa terdiam untuk beberapa saat. Gurat halus yang semula tercetak jelas pada dahinya itu perlahan berubah menjadi gurat tebal disertai dengan kedua mata menatap tajam ke arah dompet laki-laki itu. “Ada yang hilang, Kak?” Pertanyaan yang baru saja dilontarkan itu, berharap dibalas sebuah gelengan kepala, namun harapannya itu harus ia tepis jauh-jauh ketika laki-laki itu justru memberikan gestur yang bertolak belakang dengan keinginannya—menganggukkan kepala.

Bola mata Syifa sontak membulat sempurna disertai mulut yang menganga. “ILANG BERAPA, KAK?!” Bagaimana tak terkejut ketika mengetahui suatu fakta bahwa uang dari barang yang telah ia temukan hilang.

Alih-alih menjawab, Jaya justru terdiam dengan kedua mata terus terarah pada gadis itu. Diam-diam ia melantunkan tawa yang teramat kecil ketika melihat raut wajah gadis di seberangnya.

Sementara gadis itu tak luput untuk mencoba memastikan seluruh isi kantong dalam seragam sekolahnya, kendati ia sendiri tak mengambil uang itu. “Kak Jaya?” ucap Syifa di sela-sela kegiatan merogoh isi kantong seragam. “Uang Kak Jaya ilang berapa?” lanjut Syifa, menengadahkan sejenak kepala untuk sekadar menatap kedua mata laki-laki itu yang tak kunjung menjawab ucapannya.

“Bercanda.”

Dahi Syifa mengerut seiring dengan kedua tangan yang terhenti secara paksa. “Hah?” Gadis itu memiringkan sedikit kepalanya, berusaha mencerna ucapan yang baru saja ia dengar.

“Uangnya nggak ada yang ilang,” timpal Jaya tak ingin membuat gadis itu makin kepikiran oleh kata-katanya. “Jaya bercanda aja tadi.” Lantas, setelah menyelesaikan ucapannya, Jaya menarik ujung kedua bibirnya membentuk sebuah kurva sangat indah. Laki-laki itu tersenyum sampai kedua matanya turut menghilang bersamaan dengan suara tawa yang melantun rendah.

Seharusnya Syifa kesal ketika menyadari bahwa kakak kelasnya itu telah menjahilinya. Namun bukannya ia sibuk mencaci maki kakak kelas itu, ia malah terdiam—sibuk menatap dan memperhatikan bagaimana ketika laki-laki di depannya tengah memamerkan sebuah senyuman yang sama sekali belum pernah ia lihat sebelumnya.

Degup jantungnya berpacu cepat seakan ia telah berlari puluhan kilometer selaras dengan kedua pipinya ikut merona secara perlahan. Bak tersihir oleh adegan di hadapannya, secara tak sadar Syifa ikut terbuai dan mengikuti laki-laki itu untuk melantunkan sebuah tawa. Sebagian orang yang melewati mereka hanya bisa saling melemparkan tatapan penuh tanda tanya.

“Ehem.” Jaya berdeham selepas menyadari bahwa mereka berdua berhasil menjadi pusat perhatian sebagian orang yang berlalu-lalang. “Kalau gitu makasih, ya, Syifa,” Jaya menghentikan sebentar kalimatnya untuk sekadar menelan saliva sembar sesekali menggaruk belakang kepala yang tak gatal. “Makasih udah bantu amanin dompet Jaya.” Senyuman itu kembali Jaya layangkan sebagai ucapan terima kasihnya, sebab tanpa bantuan adik kelasnya itu mungkin hingga saat ini ia tak dapat menemukan dompetnya.

“Sama-sama Kak Jaya. Lain kali hati-hati, ya, naro dompetnya, kalau bisa kunci aja pakein gembok biar nggak ilang-ilang lagi!”

Jaya terkikik geli. “Iya, Syifa.”

Baru saja Syifa akan melangkah pergi, akan tetapi sebuah suara kembali menginterupsinya. “By the way, Syifa nggak ke kantin?” tanya Jaya.

Syifa mengangguk sembari tak lupa memamerkan senyuman yang setia menghiasi paras eloknya. “Ke kantin, tapi tadi ada urusan dulu. Jadinya abis beres urusan itu Syifa bakalan ke kantin,” balas Syifa, “Kak Jaya sendiri nggak ke kantin?” Syifa melayangkan pertanyaan serupa yang semula Jaya berikan untuknya.

“Ini mau ke kantin, sekali lagi makasih, ya, Syifa. Kalau gitu Jaya duluan.”

Sebuah lambaian tangan Syifa berikan dengan penuh rasa malu-malu. Terbesit nada sebuah kekecewaan setelah melihat laki-laki itu membalikkan tubuh dan perlahan menjauhi dirinya. Padahal jauh di dalam lubuk hatinya menyimpan sebuah rasa keinginan untuk bersama laki-laki itu lebih lama, setidaknya hingga bel sekolah berkumandang. Namun, tentu saja keinginannya itu tak dapat dikabulkan terbukti dengan sosok laki-laki itu kini telah menghilang sepenuhnya.

“Baru sadar ternyata punya lesun pipi.”

“Siapa yang punya lesun pipi, Jang?”

Jaya tersentak ketika sebuah kalimat tiba-tiba saja menimpali ucapannya tanpa permisi. “Anjing, aing kaget!” Sedangkan sang tersangka yang telah membuat Jaya terkejut hanya bisa tertawa tanpa mengucapkan permintaan maafnya.

Sia dari mana aja, tolol!”

Harri menepis cepat sebuah tangan yang akan memukulnya, beruntungnya ia memiliki tingkat refleks yang tinggi. “Aing dari tadi diem di kelas IPA 2, di kelasnya si Juju. Tapi kata aing teh kenapa aing tiba-tiba ditinggalin. Marah pisanlah sia nggak tau diri, Jang!” Tangan kanan Harri yang sebelumnya mencengkeram erat pergelangan tangan Jaya, kini beralih untuk merangkul pundak temannya itu.

Ucapan dari Harri dianggap angin lalu oleh Jaya, sebab hingga pada detik kesepuluh nampaknya laki-laki itu belum terlihat akan membalasnya. Hingga pada akhirnya sebuah helaan napas terdengar jelas oleh telinga sebelah kirimya.

“Siapa ini teh yang punya lesun pipi, Jay?”

“Kepo.”

Jaya melepaskan rangkulan pada pundaknya, lalu kedua jemarinya bergerak untuk menoyor kepala laki-laki itu sebelum akhirnya ia berjalan mendahului sang empu yang masih sibuk memaki dirinya.

Anying, sumpah sia salah satu makhluk pribumi yang nggak tau diri, Anying Jajang!”


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0


Kedatangan angin pagi secara tiba-tiba sukses membuat bulu tangannya berdiri. Perempuan dengan pemilik rambut di atas bahu mengusap pelan kedua lengan secara bergantian, berupaya menyamarkan dinginnya cuaca yang tengah ia rasakan.

Ia menatap kosong ke arah air yang sedang terdiam tenang seolah-olah tak memiliki tenaga untuk bergerak barang sejenak. Ia hanya bisa bergidik ngeri ketika menyadari bahwa dalam hitungan beberapa detik, badannya akan ikut diselimuti oleh air tersebut.

Entahlah siapa yang telah mengusulkan bahwa kelasnya mendapatkan jadwal olahraga pada pelajaran jam kedua, waktu yang teramat pagi untuk melaksanakan olahraga—berenang.

Tak mau menjadi salah satu murid yang bergerak lamban, sehingga ia bergegas untuk mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian berenang—kaos berwarna ungu dan celana tranning hitam panjang.

“Bayangin kelas sebelumnya yang renang, masa baru mandi langsung berenang?! Sia-sia dong?!” ucap Aira, menoleh dan menatap satu per satu ketiga temannya.

Syifa tertawa kecil sembari kedua tangan sibuk melipat seragam sekolah. “Emang kalian kalau renang suka mandi dulu?” tanya Syifa berhasil menghentikan aktivitas beberapa orang di sana. “Kalau Syifa, sih, nggak pernah mandi dulu kalau mau olahraga renang.”

“ANJIR, JANGAN BILANG MANEH SEKARANG NGGAK MANDI, NCIP?!” cecar Frisilla, berharap bahwa temannya itu akan menggelengkan kepala atas pertanyaan yang ia lontarkan.

Namun, alih-alih menolaknya Syifa justru mengangguk riang—menyetujui tuturan dari Frisilla tanpa rasa malu.

Jawaban dari Syifa berhasil membuat Frisilla dan Nashella menggeser tubuhnya, memberi jarak dengan Syifa yang masih asyik melipat baju dengan cengiran yang terpatri jelas pada wajah perempuan itu. “JIJIK ANJIR, SYIFA!” Akan tetapi yang diteriaki hanya bisa membalasnya dengan cengengesan tanpa dosa.

Lagipula mengapa ia harus susah payah membilas badannya terlebih dahulu ketika sudah jelas bahwa nantinya ia akan membilasnya kembali?

“Nih, ya, Syifa udah bener tau nggak mandi dulu. Soalnya Syifa pernah baca katanya orang dewasa normalnya mandi 1-2 kali sehari! Kalau misalnya Syifa mandi dulu sebelum berangkat sekolah, nanti pas sama pulang sekolah jadi tiga kali sehari dong mandinya?!”

Nashella memejamkan mata sejenak diiringi dengan mengembuskan napas pelan. “Syifa, itu, tuh, kalau misalnya maneh nggak lagi ngelakuin aktivitas berat! Kalau abis sekolah, olahraga, ya, maneh langsung mandi biar nggak ada kuman nempel!” balas Nashella terengah-engah, sebab sedang berusaha menahan emosinya agar tak meledak saat itu juga.


Bunyi peluit telah dibunyikan oleh seorang pria yang berdiri di tengah-tengah tepi kolam renang. Setelah merasa bahwa anak didiknya mulai berjalan ke arahnya, peluit tersebut ia lepas dan membiarkan menggantung begitu saja di leher.

“Pemanasan dulu dibagi dua kubu; kubu cewek sama kubu cowok. Kalau udah beres pemanasan nanti langsung lari keliling kolam sebanyak lima kali, kalau udah selesai baris lagi di sini.”

Titahan tersebut segera dilaksanakan oleh masing-masing anak didik yang saling mengeluarkan energi paling semangat, sebab tak ingin apabila sewaktu-waktu nanti akan merasakan keram pada kedua kakinya.

Kemudian tak lama satu per satu murid yang telah selesai meregangkan otot mulai mengambil langkah; berlari dengan penuh hati-hati dan tidak terburu-buru, sebab lantai yang tengah mereka pijak benar-benar licin yang ditakutkan akan membuatnya jatuh kapan saja.

Namun, baru saja ia akan menyusul teman-teman kelas yang lebih dulu telah berlari, tiba-tiba saja suara gaduh; obrolan, langkah kaki, pun tawa itu datang dan berhasil mengurungkan niatnya. Bagaimana tidak, ketika suasana kolam renang yang semula sunyi tak begitu meriah seketika langsung berubah seratus delapan puluh derajat.

Syifa menengadah, mencuri pandang ke arah di depan sana yang memperlihatkan satu per satu siswa—memakai seragam yang sama dengannya—mulai muncul dan berdiam tak jauh dari posisi tempat kelasnya berada. Seketika kedua matanya melebar begitu saja kala dapati sosok seseorang yang teramat dikenalnya, orang yang tadi malam berhasil membuat dirinya dimabuk asmara oleh sebuah kalimat singkat yang diberikan laki-laki itu.

“Pa… kita renangnya bareng sama kelas… sebelas?” Semoga enggak, semoga enggak, batin Syifa. Kemudian harapan itu dipatahkan begitu saja oleh anggukkan pria tersebut.

“Iya, bareng kelas 11 MIPA 4.”

Sial. Jadi nanti ia bakalan satu kolam dengan kakak kelas yang diincarnya?

Aduh, gimana, dong, mana Syifa nggak bisa renang… kalau nanti Kak Jaya liat Syifa cuman diem pake gaya batu, Syifa harus ngapain?!

Tepat ketika ia menggelengkan kepala, sebuah tepukan pada pundaknya berhasil menyadarkannya dari sebuah lamunan tak berujung. “Woi! Lari jangan bengong!” ucap salah satu teman laki-laki satu kelasnya.

Maka, dengan debaran jantung setia berdegup tak berangsur mereda, Syifa mulai membawa kedua kakinya untuk berlari. Jelas, sebab ia tak mau merasa keram nantinya. Apalagi setelah mengetahui bahwa ada seseorang yang berhasil mencuri perhatiannya, ia tidak akan membiarkan hal-hal bodoh akan dilakukan olehnya nanti.


“Arah jam tujuh,” bisik Harri pada teman di sampinganya. “Tolol! Jangan langsung dilirik, bego!” hardik Harri setelah mengetahui bahwa temannya itu tak dapat menangkap sinyal dari ucapannya.

“Apaan, sih?”

“Adik kelas freak itu lagi renang juga di sini, aing baru tau deh setelah lama kita olahraga, kenapa aing baru sadar kalau jadwal kelas kita barengan sama jadwal kelas itu anak.” Harri menunjuk sembarang ke arah kumpulan adik kelasnya yang telah memasuki kolam satu per satu. Sontak gerak-gerik itu berhasil menyita perhatian Jaya untuk sekadar melirik sekilas ke arah yang dimaksud Harri.

“Oh, dia.”

Heeh, kan, aing udah bilang adik kelas freak anying!”

Jaya berhasil melantunkan tawa kecil ketika mendengar kelakar yang diucapkan Harri dengan spontan. Sementara kedua tangannya sibuk memastikan bahwa anggota tubuhnya telah mendapatkan peregangan otot yang cukup untuk melaksanakan olahraga nanti.


Kecipak suara air lantaran dimainkan oleh setiap orang dengan kedua kaki menganyun di permukaan air membuat suasana tempat di sana menjadi sangat ramai. Tak ada lagi suasana sunyi yang menyelimuti tempat tersebut.

Dinginnya udara semula yang menusuk permukaan kulitnya tak sebanding dengan dinginnya air yang telah membasahi tubuhnya. Di antara semua orang yang sibuk berhilir mudik; memamerkan keahlian dalam berenang, Syifa hanya berdiam diri di pojok kolam dengan kedua tangan melingkari besi di setiap pinggir kolam untuk menahan beban tubuhnya agar tak sewaktu-waktu lengah dan tenggelam.

Seharusnya ia memperhatikan Bapa guru di depan sana yang menjelaskan gaya berenang apa yang akan dilakukan nanti. Seharusnya kedua telinganya ia buka lebar-lebar untuk mendengar tips dari pria itu untuk sesi olahraganya nanti. Seharusnya dan seharusnya. Namun entah mengapa, tatapannya justru ia pusatkan secara penuh pada segerombol orang di depan sana yang satu per satu mulai memasuki kolam renang seperti dirinya.

Tak sadar ia ikut tertawa saat melihat kakak kelas yang pernah membuatnya menangis dulu justru tengah dijahili oleh ketiga temannya untuk dilemparkan ke dalam kolam renang. Ia tak tahu masing-masing pemilik nama dari orang tersebut, yang pasti ia hanya mengetahui satu pemilik nama di antara tiga orang tersebut, yaitu Kak Jaya.

Ia makin mengembangkan senyuman kala melihat laki-laki itu memamerkan melakukan hal yang sama dengan dirinya—tersenyum riang—setelah menerima sumpah serapah yang dikeluarkan oleh orang yang berhasil telah dijahilinya. Kerasnya bunyi kecipak air, pun suara dari teman-teman sekelasnya tak menjadikan ia sulit mendengar obrolan dari seberang sana, bahkan untuk mengalihkan pandangan barang sedetik pun ia tak melakukannya.

Di tengah-tengah mulai ikut terbuai dengan pemandangan di depan sana, sialnya ia justru tertangkap basah sedang memandang ke arah mereka. Terbukti dari orang yang sedang beredam diri di air menunjuk ke arahnya kemudian tak lama sepasang mata yang dia hindari justru beradu dengan tatapan dirinya. Terlampau panik, ia sampai lupa bahwa dirinya sedang tak berada di daratan. Genggaman pada besi yang membentang seketika terlepas dan membuat dirinya hilang keseimbangan. Beruntungnya sepasang tangan dengan gesit membantu meraih tubuhnya hingga ia terbebas dari dalamnya kolam renang ini.

Satu detik… dua detik… tiga detik… ia menghirup udara dalam-dalam, menetralkan pernapasannya pun berupaya menghalau kepanikan dari kejadian buruk beberapa saat lalu.

Syifa menoleh kembali ke arah sebelumnya, ingin memastikan apakah mereka masih memandang ke arahnya atau tidak. Beruntung mereka kini sudah terfokus dengan guru olahraga di depan yang tengah menjelaskan materi pelajaran dengan telaten.

“Anjir, maneh gapapa, kan, Cip?!” panik Nashella ketika melihat temannya hampir tenggelam.

Syifa menggeleng. “Nggak, tadi Syifa kaget aja. Kirain lagi nggak di kolam renang hehehe.” Syifa melepaskan salah satu tangan dari penyokong besi tersebut untuk sekadar mengangkat kedua jari ke hadapan temannya.

Gara-gara Kak Jaya, sih!


Syifa terburu-buru merapikan seragam sekolah pun pakaian basah bekas berenang tadi. Rambutnya masih setengah basah, namun mau bagaimana lagi? Apabila ia tetap bersikukuh mengeringkan rambutnya, yang ada ia bisa ditinggal oleh teman satu kelasnya. Apalagi melihat kondisi kolam renang sudah mulai sepi, membuat dirinya ingin segera bergegas keluar dan menuju parkiran.

Maneh yang nyetir, ah, gantian.”

“Nggak mau, anying! Aing masih kesel sama sia udah ngasih ide jeburin aing ke kolam tadi! Telinga air kemasukan air, mana mata aing pedih gara-gara kaporit air!”

Untaian kalimat tersebut membuat Syifa ragu, apakah ia harus bertanya kepada kakak kelasnya yang masih berada di parkiran perihal keberadaan teman-teman satu kelasnya?

Jagat menaikkan salah satu alis saat menyadari terdapat sosok orang lain yang tengah menaruh perhatian ke arah mereka berempat. “Maaf, ada keperluan sama kita?” tanya Jagat pada seorang perempuan yang terlihat sangat kebingungan.

Hal itu berhasil membungkam Harri dan Jaya yang masih sibuk bergulat untuk menentukan siapa yang akan membawa kendaraan menuju sekolah nanti. Mereka berdua dengan kompak turut menoleh ke arah samping kirinya, penasaran dengan sosok yang sedang diajak bicara oleh Jagat.

“Kak maaf ganggu, sebelumnya Kakak-kakak semua liat temen-temen Syifa nggak, ya?”

Dahi Jagat mengerut selaras dengan ucapan perempuan itu yang baru saja didengarnya. “Ciri-ciri temen kamu kayak gimana? Kita mana tau temen kamu itu siapa aja,” balas Jagat dihadiahi kekehan dari Rakha di sebelahnya.

“Maksudnya temen-temen kelas Syifa, Kak. Carteran angkot kelas Syifa. Kakak liat nggak, ya?” Jagat menyipitkan mata, seperti sedang berusaha mengingat sesuatu. “Oalah, angkutan umum itu udah pergi dari beberapa menit lalu. Kamu ketinggalan?” tanya Jagat dibalas anggukkan oleh Syifa.

“Cip, mau bareng si Ajay aja nggak? Motor si Ajay kosong, tuh!” ceplos Harri secara tiba-tiba menimbulkan raut penuh tanya dari ketiga temannya. Terlebih bagi sang empu yang namanya dijual begitu saja.

“Nggak, kan, aing bocengin maneh,” timpal Jaya cepat, menolak secara halus.

Harri berjalan mendekati Jagat dan Rakha yang masih terdiam di tempat. “Aing naik angkut aja pulangnya sama si Rakha, soalnya setelah dipikir-pikir aing takut masuk angin abis renang langsung motor-motoran.” Harri mengedipkan mata kanannya pada Rakha, memberikan sebuah isyarat agar laki-laki itu dapat membantu menyelesaikan misi terselubung.

“Ah, iya, bener. Sama aing pulangnya naik angkot carteran kelas! Bener, maneh, Hag!” balas Rakha, meraih pundak Harri lalu memukulnya pelan. “Bangsat, sia nggak briefing dulu!” bisik Rakha sekilas.

Harri menatap Syifa dengan senyuman terlihat jelas pada wajahnya.

“Iya, sama saya juga.”

Ucapan dari Jagat secara tiba-tiba itu seketika sukses melunturkan sebuah senyuman pada wajah Harri. “Maneh, kan, bawa motor, Gat!” ucap Rakha, membantu menyadarkan temannya itu.

Jagat menjentikkan jemarinya. “Oh iya bener juga, saya sampai lupa. Nggak jadi berarti saya naik angkutan umumnya kalau gitu.” Jagat menggaruk kepala, merasa malu akan ucapannya beberapa saat lalu.

Harri melepas rangkulan pada pundak Rakha, lalu berjalan ke arah adik kelas itu untuk menyerahkan sesuatu. “Pake helm Aa, tapi jangan dibawa sampe ke kelas,” ucapnya seperti terdapat nada jahil.

“Nggak, ah, Syifa naik angkot aja. Nggak enak.”

Harri menggeleng, mengibaskan tangan di udara. “Gapapa, daripada Syifa telat. Mending sekalian bareng Ajay, iya nggak, Jay?” Harri menoleh, menatap harap—menunggu jawaban yang akan diberikan temannya itu. Please bilang iya, Jay. Kasian anak orang, batin Harri penuh harap.

Jaya mengangguk.

Harri diam-diam menyunggingkan sebuah senyuman. “Nah, kan, mau! Sok atuh garagas, Cip! Itu tas jinjingannya mau Aa bawain nggak sekalian, takut susah di motor mah?”

Syifa menggeleng. “Nggak usah, A Harri. Syifa bisa, kok, ini bawanya.”

Harri melangkah mundur, memberi ruang kepada adik kelasnya untuk segera berjalan menuju kendaraan milik Jaya. Sedangkan Jaya yang melihat perempuan itu berjalan ke arahnya, perlahan mengeluarkan motor dari tempat parkir. Kemudian tak lama tangannya bergerak untuk menyalakan mesin motor, pun memasang helm setelahnya.

“Bukain dong pijakan kakinya, nggak peka banget kamu, Jay,” sindir Jagat dibalas jari tengah oleh Jaya.

Tanpa melepaskan pandangan dari depan, Jaya perlahan membuka pijakan kaki menggunakan kakinya yang terbebas secara bergantian. Kemudian tak lama sorak riang dan bunyi siul sengaja diberikan ketiga temannya lengkap dengan wajah penuh arti dalam pandangannya.

“Bisa nggak naiknya?”

Baru saja Jaya melemparkan pertanyaan itu, namun ia merasakan sebuah cengkeraman pada bahunya menandakan bahwa perempuan itu cukup kesulitan untuk menaiki kendarannya. “Maaf, Kak!” Syifa bergegas melepaskan cengkeraman itu dan lebih memilih memeluk tas jinjingan berada dalam dekapannya.

Jay melirik sekilas lewat spion motor, pun ia sudah tak merasakan pergerakan apapun menandakan bahwa adik kelasnya sudah berada di posisi nyaman. Lantas, tanpa menunggu lama ia perlahan melajukan motornya. Melewati tiga orang temannya yang masih berdiri di tempat semula.

Aing duluan.”

Heg, heg. Hati-hati, Jay!”

Satu kata yang bisa menggambarkan suasana saat ini adalah canggung. Mereka benar-benar merasa canggung, sebab salah satu dari mereka tak ada yang berani membuka obrolan satu patah kata. Hanya ada suara klakson dan bising dari pengendara lain yang menemani perjalanan mereka.

Syifa sedari tadi susah payah menelan salivanya, seperti tengah berusaha sadar apakah ia benar-benar berada dalam satu kendaraan yang sama dengan kakak kelasnya?

Ekspresi demi ekspresi yang diperlihatkan perempuan di jok belakang lagi-lagi berhasil mencuri perhatian Jaya melalui spionnya. Bukan ia sengaja menatapnya, hanya saja ketika ingin melihat kendaraan lain di belakang tiba-tiba wajah perempuan itu terlihat jelas. Diam-diam Jaya tertawa pelan, sangat pelan hingga tak ada satu orang pun yang menyadarinya, termasuk oleh perempuan itu sendiri.

“Kak Jaya, makasih banyak, ya, udah mau nebengin Syifa. Maaf Syifa jadi ngerepotin.”

Akhirnya setelah saling membungkam mulut, satu kalimat pun terlontar dari bibir manis perempuan itu.

“Nggak ngerepotin, santai.”

Aneh rasanya ketika biasanya ia paling pandai menyajikan berbagai topik bincangan, namun setelah berhadapan dengan laki-laki itu justru semua keahliannya sirna begitu saja. Bahkan, untuk sekadar berdeham pun ia terlalu enggan melakukannya.

Kernyitan pada dahinya terlihat jelas ketika motor tengah ditumpanginya berhenti di tepi jalan secara tiba-tiba. Alis Syifa menukik, memiringkan kepala agar lebih memudahkan untuk lelaki itu mampu mendengar ucapannya.

“Kenapa berhenti, Kak Jaya?” Syifa melirik ke arah kanan dan kiri secara bergantian. “Kita ditilang bukan, Kak? Ada polisi? Ini Syifa harus turun dulu nanti naik lagi, atau Syifa lanjutin naik angkot aja ke sekolahnya?”

Runtutan kalimat yang dilontarkan perempuan itu membuat Jaya diam-diam mengembuskan napasnya teramat pelan. Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Jaya justru mengulurkan tangannya, menengadah persis di samping tubuh Syifa.

“Sini barang bawaannya taro di depan aja, Jaya kaitin di stang motor.”

Syifa melirik sekilas lengan kakak kelasnya, kemudian membalas ucapan itu dengan menggelengkan kepala cepat. “Nggak usah, Kak. Syifa pegang aja, soalnya ini isinya baju basah Syifa.” Ia tak berniat menolak permintaan lelaki itu, namun Syifa sendiri cukup mengerti bahwa baju bekas berenangnya tadi benar-benar berat. Takut akan membuat lelaki itu kesusahan dalam menjalankan motor nanti.

“Kalau gitu jangan taro di samping, seragam Jaya ikutan jadi basah.”

Bagai disambar petir di pagi hari, ucapan dari kakak kelasnya itu mampu membuat dirinya terdiam untuk beberapa saat. Sementara sang empu tak absen untuk mengusap-ngusap pinggang kiri, berupaya mengurangi air yang telah membuat seragamnya basah.

Kesadarannya mulai kembali setelah merasakan aktivitas kakak kelas itu dalam mengusap seragam sekolahnya secara berulang. “Kak, maaf! Syifa nggak tau kalau baju bekas renang tadi bakalan basahin seragam Kak Jaya!” Syifa terburu memindahkan barang tersebut untuk ia simpan dalam dekapannya.

Jaya berdeham kecil untuk membalas permintaan maaf dari Syifa.

Selepas itu, rasa penasaran Syifa mulai menggebu-gebu saat menyadari bahwa kakak kelasnya itu tak membawa tas tambahan seperti dirinya.

“Ngomong-ngomong, baju bekas renang Kak Jaya disimpen di mana?”

Akui Syifa terlalu bodoh untuk melontarkan pertanyaan tak penting itu. Diam-diam ia mencubit salah satu lengannya sebagai bentuk hukuman karena ia tak mampu menahan keinginannya dalam mengetahui suatu hal.

“Ada di tas.”

“Terus buku Kak Jaya gimana? Nggak kebasahan?” tanya Syifa kembali.

Jaya menggeleng. “Nggak, bukunya disimpen di kolong meja.”

Syifa sontak terbelalak mendengar jawaban yang sama sekali tak pernah terbesit dalam benaknya. “Iya, ya, bener juga. Kenapa Syifa nggak kepikiran buat taro buku-bukunya di kelas!” gumam Syifa, beniat berbicara pada dirinya sendiri namun ucapan itu justru dapat terdengar oleh laki-laki di depannya.

“Emang buku Syifa dibawa semua?”

Syifa mengangguk. “Iya dibawa, Kak!” Syifa berdecak, memutar bola mata sembarangan dengan penuh kesal. “Tapi, gapapa. Sekarang Syifa udah dapet ilmu baru dari Kak Jaya buat simpen bukunya di kelas!”

Jaya mengulas senyuman hanya untuk beberapa detik saja sebelum akhirnya ia kembali melajukan motor untuk membelah jalanan. Seiring dengan kendaraan yang sedang asyik melaju, Syifa mencuri momen untuk menarik dan meremas ujung tali tas laki-laki itu, menjadikan barang tersebut untuk pegangan selama di atas motor.

Syifa sebelumnya tak pernah berpikiran untuk bisa berada dalam satu kendaraan yang sama dengan kakak kelas itu, apalagi membuat sebuah konservasi kecil secara langsung.

Padahal ini sudah menjadi tiga tahun setelah kejadian ia dengan laki-laki itu berada dalam satu meja yang sama—ketika ia masih duduk di bangku kelas satu SMP. Namun, anehnya perasaan itu masih sama saja. Degup jantungnya, salah tingkahnya, semburat merah mudanya, pun semua hal tentang laki-laki itu terasa masih sama saja.

Ketika sedang asyik berkelana dengan isi pikirannya, sekonyong-konyong laki-laki itu menginterupsinya tanpa permisi dengan sebuah kalimat yang anehnya ucapan tersebut justru membuatnya dihantui oleh berbagai pertanyaan.

“Tadi Jaya nggak sengaja liat Syifa tenggelem,” ujar Jaya menjeda sejenak ucapannya untuk menyalakan sein motor, lalu tak lama motornya belok ke arah kiri. “Gapapa?” lanjutnya.

Garis-garis halus yang semula tercetak dan menghiasi dahinya perlahan hilang bersamaan dengan laki-laki itu telah menyelesaikan ucapannya.

“Gapapa, Kak Jaya. Itu Syifa tadi cuman kaget aja jadi nggak sengaja lepasin pegangan ke besi pinggiran kolamnya!” Kaget gara-gara Kak Jaya liatin Syifa tau!

Jaya mengangguk, kemudian kembali hening untuk beberapa saat. Menciptakan kecanggungan di antara mereka berdua.

“Lain kali lebih hati-hati, ya.”

Ia mengulum senyuman, menyembunyikan dengan menundukkan kepala. Satu kalimat itu sukses menghasilkan semburat merah pada kedua pipinya. Ucapan cukup pelan akan tetapi masih dapat terdengar olehnya. Singkat namun penuh makna. Hal itu memberikan dampak mengejutkan pada perutnya yang entah mengapa seolah tengah tergelitik oleh sesuatu yang ia sendiri tak mengetahui asal usulnya.


Puspas Niskala.

by NAAMER1CAN0



Jaya berulang kali mencoba merapikan seragam putih abu sebelum ia benar-benar memasuki lapangan sekolah untuk melaksanakan kegiatan rutin di senin pagi—upacara.

Ketika kedua kakinya yang baru memasuki barisan kelas, entah mengapa tiba-tiba saja kepalanya seakan tengah dilempari oleh puluhan batu. Sontak hal itu berhasil membuat Jaya meringis pelan, lalu tak lama ia menggeleng untuk mencoba menghalau rasa sakit yang tengah dirasakannya.

Sia kenapa, Jay?”

Rakha menjadi orang pertama yang menyadari raut wajah Jaya cukup berbanding terbalik dengan hari-hari biasanya. Muka yang cenderung pucat, pun tak ada lagi raut cerah yang berseri.

Alih-alih menjawab pertanyaan Rakha, Jaya justru tak mengindahkan dan meminta kepada salah satu teman untuk bertukar tempat dengannya. “Aing mau baris di belakang dong, nggak mau di depan.” Maka, selepas Jaya menyelesaikan ucapannya, Jagat segera berjalan untuk menukar posisinya dengan posisi lelaki itu tanpa bersusah payah untuk melayangkan kalimat protes.

Merasa posisi di sebelahnya mulai terisi kembali, Harri dengan cepat merogoh saku celana dan menyerahkan salah satu makanan itu kepada orang tersebut. “Permen moal?” tawar Harri dibalas gelengan oleh Jaya.

Permen nggak?

Mun lieur bejaan aing.

Kalau pusing kasih tau gue.

Jaya membalas ucapan Harri dengan anggukkan kepala singkat. Sebab, Harri cukup peka dengan gelagat dari Jaya yang kontradiktif daripada upacara sebelum-sebelumnya. Lelaki itu memang kerap mengatakan tentang kemalasannya mengikuti kegiatan rutin baris berbaris di senin pagi hari, namun semalas-malasnya lelaki itu Harri masih bisa melihat bahwa Jaya bersungguh-sungguh untuk berbaris rapi dan menikmati berjalannya acara dengan baik.

“Yo, tukeran sama aing dong. Maneh di sini, aing di situ.”

Harri bergegas menarik diri ketika melihat pergerakan Rio yang akan berjalan ke arahnya.

“Jay, sia kalau pingsan kasih kode dulu, ya, anying. Ini aing udah ancang-ancang baris di belakang maneh! Jangan tiba-tiba, tolong sia sadar diri kalau awak sia itu gede!”

Badan lo.

Jaya sukses dibuat tertawa mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Harri kepadanya. Pingsan? Dalam sejarah hidupnya, ia bahkan belum pernah sama sekali merasakan pingsan.

Upacara telah dimulai. Sorak sorai yang sebelumnya saling berlomba paling vokal kini telah lenyap dan menyisakan keheningan. Hanya ada suara dari Master Ceremony yang sesekali melantun untuk memberi intruksi pada petugas upacara.

Dingin. Hanya itu yang Jaya rasakan ketika bulir-bulir keringat secara tidak langsung sudah menghiasi dahinya sukacita. Jaya membawa tatapannya menuju ujung sepatu, menundukkan kepala dengan sesekali memejamkan kedua mata. Namun, ketika matanya kembali dibuka ia langsung disambut oleh kegelapan. Badan Jaya hampir saja oleng dan terhuyung jika seseorang di belakang tak segera menahan beban tubuhnya.

“Jay, mending sia ke UKS deh! Aing anterin hayu.

Jaya yang memiliki sifat keras kepala lagi-lagi hanya menggeleng, menolak ajakan lelaki itu membuat sang empu yang mengajak hanya bisa mengembuskan napas kasar.

Aing mau jongkok aja bentar.”

Jaya memutar badan lalu berjongkok, menjadikan salah satu lututnya untuk membantu menopang beban tubuh. Sementara kedua tangannya sibuk melepas tali sepatu dengan sengaja lalu kembali membenarkannya agar tak menimbulkan kecurigaan dari guru yang bertugas di belakang barisan kelas.

Saat hendak bangkit, entah mengapa keseimbangannya hilang begitu saja. Tubuh Jaya sukses terhuyung ke depan, menabrak Harri berada di depannya yang masih setia berdiri sembari mengikuti upacara dalam diam.

“Kan kata aing juga apa ke UKS aja, sia mah batu, anying!”

Harri membalikkan tubuh, melambai kepada seseorang yang berjaga di belakang dengan syal warna kuning melilit di lehernya. “Lah? Anak PMR, Cip?” Harri dibuat terkejut ketika dapati seseorang yang dikenalnya sudah berdiri persis di sampingnya. “Ini punten dong, temen Aa sakit minta dibawa aja ke ruang UKS.”

Syifa seketika membeku saat menyadari bahwa orang yang disebut oleh Harri tak ayal adalah seseorang yang kerap mengisi pikirannya beberapa terakhir ini. Maka, dengan cepat Syifa ikut berjongkok dan mensejajarkan tubuhnya dengan lelaki itu.

“Mau ke ruang UKS nggak, Kak?” Jaya menjawab pertanyaan Syifa dengan gelengan. “Bawa aja langsung, nggak usah ditanya. Anaknya emang batu.”

Jaya akan kembali menolak ucapan Harri secara mentah-mentah, namun ia harus mengurungkannya ketika seorang guru datang dan menyuruh ia untuk bergegas menuju ruang kesehatan. Lantas, Jaya pun pada akhirnya hanya bisa mengikuti ucapan itu tanpa bantahan.

Syifa dibuat ragu ketika akan mengulurkan sebuah tangan untuk membantu kakak kelasnya. Pasalnya ia takut bahwa tindakan darinya akan menimbulkan ketidaknyamanan untuk Jaya. Akan tetapi kala melihat kakak kelasnya berjalan kesulitan, Syifa segera menepis jauh-jauh pikiran tersebut dan dengan cepat melingkarkan salah satu tangan miliknya pada tangan lelaki itu.

Jangan tanyakan keadaannya saat ini seperti apa, yang pasti sejak mengetahui bahwa lelaki itu adalah Kak Jaya Syifa sedari tadi tak dapat mengatur detak jantungnya. Pun, Syifa berharap bahwa detak jantungnya yang tengah berisik tak dapat terdengar oleh laki-laki di sebelahnya.

Merasa ditatap, Jaya menolehkan wajah. Alisnya terangkat seolah tengah meminta penjelasan pada sang sempu yang telah menatapnya sedari tadi. Namun, alih-alih mendapatkan jawaban atas pertanyaannya ia justru mendapatkan gelengan dari perempuan itu.


Lengang, sepi, dan tak berpenghuni menjadi sebuah impresi awal sejak ia sukses memasuki ruangan yang sebelumnya tak pernah ia jamah. Jaya mengarahkan pandangan pada tiap-tiap ranjang kosong, lalu setelah itu ia sibuk mengitari isi ruangan dengan sekilas.

“Makasih, Syifa.”

Syifa terbelalak, sarat wajah terkejutnya tak mampu ia sembunyikan kala lelaki itu dengan lantang menyerukan namanya.

Syifa. Syifa. Syifa.

Syifa berulang menyebutkan namanya dalam hati, namun entah mengapa rasanya tak sama dengan lelaki itu ketika menyebutkan namanya.

Syifa mengangguk cepat. “Kak Jaya tunggu di sini bentar, ya.“ Belum sempat membalas ucapannya, perempuan itu justru berlari pada suatu tempat lalu tak lama datang kembali dengan sebuah gelas berada pada genggamannya. “Kak Jaya minum dulu, ya, ini air teh manisnya. Katanya kalau lagi pusing bisa dibantu sama minum atau konsumsi yang manis-manis!”

Jaya meraih uluran gelas itu dan meneguknya dengan perlahan, sebab entah mengapa tiba-tiba saja rasanya kepala ia kembali berputar, sehingga mau tak mau ia harus menyelesaikan urusan dengan perempuan itu agar dapat sesegera mungkin merebahkan tubuhnya.

“Kak Jaya istirahat dulu aja, ya. Syifa mau keluar dulu, tiduran aja nggak apa-apa nanti Syifa tutup tirainya biar nggak ada yang bisa ganggu.”

Jaya mengulas sebuah senyuman sebelum akhirnya ia mengangguk, mempersilakan sang empu untuk menarik diri dari hadapannya. Selepas sepeninggalan perempuan itu, Jaya bergegas melepaskan sepatunya terlebih dahulu sebelum ia akan merebahkan tubuhnya.

Bosan rasanya ketika ia harus berada di tengah-tengah tempat yang teramat asing baginya. Jaya bukan tipikal orang yang mudah beradaptasi dengan suasana tempat baru, sehingga ia perlu memakan cukup waktu untuk merasa nyaman berdiam di dalam ruang UKS.

Hingga tiba-tiba saja rasa kantuknya mulai tiba, terlebih saat ini ia ditemani oleh suasana sunyi dan sejuk berhasil membuat kedua matanya perlahan menutup. Dalam hitungan detik, lelaki berhidung bangir yang memiliki tahi lalat di salah satu bagian mata bawah sudah memasuki alam mimpinya. Dengkuran halus mulai mengalun di tengah-tengah keadaan sepi.

Namun sayangnya lelaki itu harus terbangun saat suara derap langkah pun tirai yang sengaja dibuka sukses menyadarkannya dari alam bawah sadar.

“Eh maaf, ya, Kak kayaknya Syifa jalannya terlalu kenceng,” ucap Syifa merasa tak enak sebab telah membangunkan salah satu penghuni di ruangan UKS. “Syifa cuman mau nganter bubur, kayaknya Kak Jaya pusing gara-gara belum sarapan deh. Tapi, maaf, ya, Syifa nggak tau Kak Jaya suka kacang atau enggak. Kalau nggak suka nanti dipinggirin aja, ya.” Syifa mengangkat mangkuk tersebut untuk memperlihatkan kepada Jaya yang tengah menatap intens ke arahnya. Kemudian, Syifa menyimpan satu mangkuk bubur itu di atas meja sebelah ranjang lelaki itu berbaring.

“Suka, kok.”

Sebuah senyuman terukir ketika kecemasannya ditepis begitu saja oleh lelaki itu.

Melihat kakak kelasnya berancang-ancang akan bangun, maka Syifa kembali meraih mangkuk bubur itu agar dapat menyerahkan secara langsung kepada lelaki itu.

“Kak Jaya bisa makannya?” Jaya membalas pertanyaan itu dengan anggukkan kepala. “Nanti kalau udah selesai makan, obat ini langsung diminum, ya, Kak. Kemungkinan abis minum obat Kak Jaya bakalan ngantuk, jadi buat pelajaran pertama kayaknya Kak Jaya nggak bisa dulu ikut, istirahat dulu aja.”

Guratan halus pada dahi Syifa kian tercetak kala menyadari lelaki itu tak memberikan respons atas ucapan yang baru saja dilontarkan olehnya.

“Kak Jaya didengerin nggak tadi Syifa ngomong?”

“Iya, Syifa, Jaya dengerin.”

Jika ingin mengulang kembali waktu, mungkin Syifa ingin mengulang pada kejadian di mana lelaki itu dengan lantang menyebut nama dirinya sendiri. Ia ingin merekam ucapan itu dengan ponselnya, sebab apabila ia sewaktu-waktu ingin mendengarkannya, ia bisa memutarnya kembali kapan saja.

“Suapin atuh, Cip. Masa ngebiarin orang sakit makan sendiri? Meuni tega pisan.”

Tega banget.

Jaya dan Syifa menolehkan wajah dengan kompak pada sumber suara. Sementara sang pelaku hanya terkekeh melihat reaksi keduanya teramat terkejut akibat kedatangannya secara tiba-tiba.

“Ngapain sia di sini?”

Harri melepas topi dan berjalan mendekat. “Oh, ini maksudnya maneh teh ngode mau berduaan sama dia bukan, Jay?” tanya Harri penuh nada ledekan di dalamnya.

Jaya berdecak sembari menajamkan pandangannya. “Anjing.” Jika saja lelaki itu berada di dekatnya, mungkin Jaya tak segan untuk melemparkan sebuah pukulan agar dapat membungkam mulut temannya.

Harri menghindari tatapan yang diberikan Jaya kepadanya. “Ih, kasar! Nggak boleh kasar depan adik kelas! Emang maneh teh kakak kelas yang mencerminkan hal tidak benar!” Harri merampas sendok yang tengah di genggam Jaya, lalu tanpa permisi menyuapkan satu sendok bubur itu ke dalam mulutnya. “Atau mau aing aja suapin, De?”

Jaya menatap Syifa yang tengah menatap ke arah keduanya. “Syifa, tolong dong usir dia. Orang sehat nggak boleh masuk ruang UKS.”

Syifa menelan ludah susah payah dengan ucapan dari lelaki itu masih memutar di otaknya. Haruskah ia mengusir kakak kelas itu sesuai yang dipinta Kak Jaya?

Harri berdecak, mendudukkan diri persis di samping temannya. “Aing ke sini cuman mau bilang sia nggak usah masuk pelajaran pertama, ntar aing yang diizinin kalau maneh sakit.” Harri mengulas senyuman sekilas ke arah Syifa yang masih bergeming di tempatnya. “Atau mau aing buatin surat ke TU aja sekalian biar sia bisa pulang?” tanya Harri, menatap Jaya yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk bubur tanpa berniat untuk memakannya.

Jaya menggeleng. “Nggak usah, ntar aing masuk pelajaran kedua kalau udah enakan.” Jaya menghentikan ucapannya begitu saja, sontak hal itu buat Harri melemparkan tatapan tanda tanya kepadanya. “Tapi, tolong bawain hp aing dong, Hag. Hp aing dicas di kelas.”

Heg, ntar aing bawain.”

Di antara kedua orang itu yang sedang asyik bercengkerama, terdapat satu orang lainnya yang bergerak gelisah. Suasanya cukup canggung sebab ia harus berada di tengah-tengah obrolan kedua lelaki itu. Ingin menginterupsinya namun lagi-lagi ia tak dapat menemukan waktu yang pas.

“Kak….” Kedua lelaki itu menoleh bersamaan pada sumber suara, menunggu sang empu melanjutkan ucapannya. “Syifa izin pamit dulu, ya. Mau siap-siap ke kelas, itu nanti obatnya jangan lupa diminum, ya, Kak Jaya. Terus abis itu tidur aja di sini. Cepet sembuh, ya, Kak. Lain kali kalau mau upacara jangan lupa sarapan dulu. Kalau gitu Syifa duluan Kak Jaya, A Harri.” Syifa menunduk dan lemparkan senyuman kecil sebelum akhirnya perempuan itu benar-benar menarik diri dari hadapan mereka.

Kedua lelaki itu hanya meresponsnya dengan anggukkan.

“Jay.”

Jaya menoleh ketika namanya diserukan seseorang. Alisnya menaik lengkap dengan mulut bergerak tak beraturan, pertanda bahwa lelaki itu tengah menikmati satu mangkuk bubur yang telah dibelikan oleh sang adik kelas.

“Kalau misalnya, ya, ini mah misalnya. Ada orang yang mau deketin maneh gimana?”

Jaya mengernyit. “Kenapa nanya gituan?” heran Jaya sebab tak biasanya lelaki itu membicarakan suatu hal yang mengarah ke sana.

Harri menggeleng cepat, tak mau membuat kecurigaan temannya. “Nggak, aing nanya aja. Siapa tau ntar kita bisa double date, atau triple date sekalian sama si Jagat,” dalihnya.

Jaya memutuskan pandangan untuk kembali menyantap bubur, sebab dibandingkan dengan topik pembicaraan itu hanya eksistensi makanan sedang ia genggam yang mampu menarik perhatiannya.

“Nggak tau, gimana orangnya. Kalau aing suka sama orang itu, ya, aing welcome-welcome aja.”

“Tapi maneh emang nggak keberatan kalau dideketin cewek duluan? Risih gitu misalnya?”

“Nggak.”

Senyum Harri mengembang ketika jawaban dari temannya sukses menjawab segala pertanyaan yang terus-menerus menghantui isi pikirannya.

“Bisa euy ini mah kayaknya.”

“Bisa apaan?”

“Nggak! Ada lah itu mah urusan aing.

Cip, semangat, Cip. Maneh ada peluang!


Puspas Niskala.

by NAAMER1CAN0


Sorak-sorai teriakan terdengar mendayu-dayu menginvasi penuh indra pendengarannya. Lelaki berkelahiran bulan Juni membawa kedua tungkainya untuk menyambangi tengah lapangan dan turut bergabung dengan teman-temannya yang lebih dulu telah berada di sana.

Saat ini sekolahnya sedang mengadakan kegiatan class meeting yang mana setiap kelasnya diwajibkan mengikuti tiap-tiap lomba yang diselenggarakan. Seperti halnya saat ini, sekolahnya tengah mengadakan perlombaan model berpasangan dengan busana adat yang telah ditentukan panitia. Seharusnya Harri senang dapat melihat kekasihnya bergerak lihai di atas karpet merah yang sudah dapat ia pastikan bahwa kekasihnya akan berkali-kali lipat jauh lebih cantik.

“Kirain sia nggak akan ke sini,” ucap Rakha dengan nada terkesan sarkasme.

Harri mendengkus, menganggap perkataan itu seperti angin lalu yang tak perlu susah payah untuk menanggapinya. Ia menepuk pundak seseorang di sebelahnya untuk memberikan sedikit ruang untuk dirinya duduk. Sementara seseorang yang menjadi korban atas tepukan dilayankan olehnya pun bergegas menggeser tubuhnya, mempersilakan lelaki itu untuk menempati ruang di sebelahnya.

Yolan membuka mulutnya, berancang-ancang akan mengutarakan sebuah kalimat. “Si aku membayangkan pasti temen si aku Grace lagi menahan cemburu membabi buta soalnya si dia motoin si Jagat berpasangan sama anak kelas si kamu.” Tatapan Yolan sedari tadi tertuju pada seorang perempuan yang lihai bergerak ke sana dan kemari dengan tustel melingkari lehernya.

“Jangan jauh-jauh ke sana, di sebelah maneh juga ada yang lagi nahan cemburu membabi buta,” celetuk Jaya.

“Bacot anjing!”

Tawa yang berduyun-duyun mereka lantunkan sayangnya harus dibungkam secara terpaksa, sebab seseorang di depan sana telah menyerukan sebuah nama yang tak ayal nama tersebut menjadi salah satu topik pembicaraan mereka beberapa saat lalu.

“Kontestan selanjutnya Fara Grizelle dan Johan Mahardika perwakilan dari sebelas IPS 3!”

Sejak nama tersebut dilontarkan oleh Master Ceremony, Harri dapat merasakan jelas bagaimana ketika kedua bahunya tengah diapit oleh teman di sebelahnya. Dadanya berkali-kali ditepuk sang empu, seolah sedang memberi kekuatan agar ia tak perlu merasa terbakar oleh api cemburu melihat adegan di hadapannya.

“Anjing, sedeup kitu Mang Harri liat genggaman tangannya!” ucap Aksara jahil. Ingin melihat reaksi apa yang akan diperlihatkan oleh Harri ketika seseorang yang dipujanya tengah berjalan dengan tangan tengah merangkul lelaki itu di sebelahnya.

“Sabar, Ri, sabar, Ri!” Rakha mengeratkan rangkulan pada pundak Harri setelah merasakan pergerakan berontak dari lelaki tersebut.

Sebelumnya Harri sudah berniat untuk mengabaikan kekasihnya yang berjalan lihai di atas karpet merah tersebut, akan tetapi setelah melihat pemandangan di hadapannya ia mengurungkan niat itu. Jangankan untuk mengabadikan kegiatan tersebut, untuk ia sekadar memandang pun rasanya sulit untuk dilakukan ketika gejolak dalam benaknya membuncah seakan tengah meronta-ronta meminta untuk keluar.

Eta kabogoh aing, anjing!

Itu pacar gue!

Masa bodoh dengan tatapan yang tertuju padanya, entah mengapa ucapan tersebut tanpa sadar keluar dari belah birainya begitu saja. Perasaan cemburu yang telah mati-matian ia tahan pun akhirnya tak dapat ia bendung kembali.

Rakha beranjak, melipat seragam lengan sekolahnya sembari menunjuk lelaki yang baru saja melewatinya. “Wah sia Johan parah pisan geus ngajieun babaturan aing cemburu!

Wah lu Johan parah banget udah buat temen gue cemburu!

Entah hanya sekadar sebuah lelucon atau memang Rakha sedang benar-benar menahan rasa kesalnya, namun perlakuan tersebut sukses mengundang gelak tawa dari sekitarnya. Pun, dari Harri sang tersangka yang sedari tadi telah mencebikkan bibirnya.

Aksara menahan tubuh Rakha agar tak bangkit dan menghampiri lelaki itu. “Sabar, Kha, sabar, Kha!”

Di antara mereka semua yang sibuk berceloteh sendiri, Jaya hanya memasang kedua telinganya lebar-lebar dengan tawa yang tak segan untuk dilantunkan kala rekan-rekannya bertingkah konyol.

AING KECEWA BERAT LAH BAHKAN PACAR AING SENDIRI NGGAK LIAT KEHADIRAN AING DI SINI???????” Harri berkali-kali menunjuk dirinya sendiri, seolah sedang memberitahu keberadaannya kepada perempuan yang sudah memunggunginya.


Kolase Asmara Universe

by NAAMER1CAN0