NAAMER1CAN0


https://open.spotify.com/track/6xeqCawPZngDVqw2W2aGaR?si=4a424a26e1324658


Bentakan-bentakan kecil tak bisa lepas begitu saja dengan cepat dalam isi kepala Harri. Bentakan sekecil apa pun memungkinkan menjadi salah satu penghuni terlama di hati, meninggalkan bekas yang sulit untuk ia halau sendiri.

Tetapi, bentakan kecil yang diberikan oleh orang paling disegani di dalam rumah apakah sama dengan bentakan yang mungkin tak sengaja ia berikan untuk mereka? Apakah mereka dapat merasakan rasa sakit yang sama? Rasa sakit yang berakhir membuat kedua kakinya melangkah tak tahu arah. Melangkah dan terus melangkah sampai-sampai tak tahu di mana ia saat ini berada. Melangkah mengikuti setiap angin berembus. Melangkah mengikuti air mengalir. Dan melangkah mengikuti burung-burung beterbangan riang tanpa arah yang pasti.

Terkadang Harri merasa iri dengan keberadaan sang burung di atas sana yang selalu riang beterbangan tanpa perlu khawatir akan tersesat. Ketika sedang merasa gundah, mereka akan beterbang. Mengepakkan sayap, membiarkan tubuh mereka diterjang kerasnya embusan angin.

Bagaimanapun, tindakan dirinya saat ini tetap salah. Tak seharusnya ia berlari dan meninggalkan rumah tanpa satu patah kata yang terucap. Benar kata kekasihnya, dengan ia memilih jalan seperti ini justru secara tidak sadar bahwa ia telah memberi contoh hal yang salah kepada tiga adiknya di rumah. Bodoh. Harri sangat bodoh. Susah payah ia menjadi sosok kakak yang berusaha untuk selalu melindungi para adiknya—menjadi garda terdepan di setiap masalah, namun hari ini ia justru telah mengacaukan dengan dalih emosi sesaat yang tumbuh—dan membiarkan emosi tersebut mengontrol dirinya.

Tak seharusnya ia mengedepankan rasa egois ketika di belakang sana banyak orang-orang yang bergantung padanya. Apabila bisa memutar kembali waktu, mungkin Harri dengan lantang menginginkan sejak dini hari itu ia lebih memilih tidur di kamar dengan segala perasaan gundah dibandingkan pergi berkelana tanpa arah dan menciptakan permasalahan baru.

Apalagi yang perlu ia cari kala berawal dari kaki itu melangkah sampai berhenti, potongan-potongan kejadian tersebut masih melekat jelas di dalam kepala. Jika angin tak bisa ikut membawa segala ingatan perihal kejadian telah membuatnya kecewa, lalu apalagi yang harus ia jadikan opsi lain? Apakah opsi tersebut tidak jauh lebih baik dengan ia membawa kedua kakinya untuk kembali pulang pada rumah yang selalu ia elu-elukan pada semua orang?

Sebab, Harri selalu berpikir bahwa permasalahan yang datang berawal dari rumah, akan terselesaikan di rumah pula. Sehitam-hitamnya keadaan rumah dalam pandangannya sendiri, akan terdapat ruang tersendiri untuk dirinya memandang bangunan itu seperti dilapisi emas pada setiap sisinya. Satu permasalahan yang datang menghampirinya tidak akan membuat seluruh pandangan Harri terhadap keluarga sepenuhnya tertutup. Bagaimanapun, keluarganya adalah rumah terbaik sepanjang masa yang Harri punya.

Pun, Harri selalu berpikir selelah-lelahnya ia mendapatkan title sebagai kakak tertua, akan jauh lebih lelah kedua orang tua yang sudah merawat ia beserta ketiga adiknya sedari kecil. Untuk menjaga dan menjadi garda terdepan bagi ketiga adiknya seharusnya tidak semelelahkan itu.

Harri menarik napas panjang. Jemari laki-laki itu mencengkeram erat tas berwarna abu yang telah ia pinjam dari kekasihnya. Harri tatap sejenak bangunan yang tak terlalu megah di depan, sebelum akhirnya Harri memutuskan untuk melangkah melewati gerbang yang menjadi saksi utama atas kepergian dirinya sejak pagi hari itu.

Satu hal yang Harri rasakan ketika kedua kakinya sudah berada persis di depan pintu, ia tak bisa mendengar keributan yang biasa selalu bantu menghangatkan rumah mereka. Entah keributan dari kedua adik kembar yang saling merengek karena menolak untuk disuruh tidur, keributan dari Papa Asep dengan si kembar saling berebut saluran televisi, atau keributan teriakan dari Kaila karena diganggu si kembar ketika sedang belajar. Harri tertawa kecil, bahkan kenangan-kenangan seperti itu yang akan selalu ia rindukan. Bagaimana ia mampu meninggalkan rumahnya ini dengan semudah itu?

Ah, berbicara perihal televisi, mungkin benda itu masih rusak sehingga ia tak dapat mendengar sedikit pun siaran televisi seperti biasanya. Pun, ketika Harri tak sengaja menangkap jam pada pergelangan tangan, Harri sendiri disadarkan oleh waktu yag telah menunjukkan malam hari. Pantas saja kediamannya sunyi, sebab mungkin mereka telah berlarut dalam tidurnya masing-masing.

Agar tak membangunkan seisi rumah atas kedatangannya yang tak tahu malu ini—datang dan pergi sesuka hati—Harri mendorong pelan-pelan pintu di hadapannya. Setelah pintu terbuka, Harri tak langsung masuk, melainkan laki-laki itu membuka sepatunya terlebih dahulu dan menjinjing untuk disimpan di atas rak sepatu.

Betapa terkejutnya Harri ketika pintu itu sudah sepenuhnya ia buka, sebuah teriakan pun kedatangan seseorang langsung menyergap kedatangannya.

Aa!”

Dan, ya, teriakan tersebut berasal dari ketiga adiknya beserta Mama Iis. Mereka berempat berbondong-bondong memeluk tubuh Harri. Bahkan, mereka tak mengizinkan Harri untuk menyapa barang sejenak.

Harri tak begitu memikirkan sepatunya yang terjatuh. Bila lantai rumahnya kotor, ia sendiri akan membersihkannya.

Mendengar isakan tangis begitu memilukan dan saling bersahutan, secara tak sadar membuat air mata Harri mengalir tanpa diduga-duga. Harri merengkuh erat tubuh Mama Iis yang berkali-kali mengatakan permohonan maaf dan mengatakan betapa rindunya perempuan tersebut kepadanya.

Meskipun pandangan Harri mengabur, tetapi ia masih bisa lihat jelas sosok Papa Asep yang berdiri di depan sana tanpa berniat menghampirinya. Walau dengan pandangan tak begitu jelas, Harri menyadari tatapan dari Papa Asep menyorotkan kekhawatiran begitu mendalam.

Mau tahu rasa sakit yang menusuk relung hati dan tak bisa disembuhkan oleh semua hal yang ada di muka bumi ini? Yaitu jawabannya ketika Papa Asep berniat mendekati Harri namun laki-laki itu justru menundukkan wajah dan bersembunyi di ceruk leher Mama Iis dengan tangan berusaha melindungi kepalanya. Jangan tanyakan seberapa hancur perasaan Papa Asep malam itu. Papa Asep sangat jarang memperlihatkan tangisan kepada anak-anaknya. Namun malam itu, air mata Papa Asep mengalir bersamaan dengan rasa penyesalan yang sudah tak bisa ia hindari.

Apa yang sudah Papa Asep perbuat sampai-sampai memberikan rasa trauma dan ketakutan dari putra kesayangannya. Rasanya Papa Asep ingin sekali mengembalikan waktu untuk memperbaiki sedari awal. Sebab Papa Asep tahu, jika sudah begini, untuk mendapatkan kepercayaan dari putra sulungnya mungkin akan sulit atau bahkan tak bisa mengembalikan seperti sedia kala.

Tubuh Papa Asep merosot, berlutut di lantai dengan kepala menunduk—menutupi wajahnya sedang menangis.

Mama Iis mengendurkan pelukan, meraih wajah Harri dan mengusap air mata yang mengalir pada pipi putra sulungnya. “Aa ke mana aja kasep? Mama kangen Aa, Aa makan nggak? Aa tidur di mana?” Tak peduli dengan air mata yang terus mengalir bahkan sudah terjatuh membasahi bagian depan baju tidurnya, Mama Iis hanya ingin melepaskan segala rindu dengan Harri yang sudah pergi tanpa memberi kabar.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus diucapkan Mama Iis tanpa berniat untuk Harri jawab. Sebab apabila boleh jujur, ia sendiri tak kuasa untuk menjawab rentetan pertanyaan itu. Harri ingin kejadian kemarin dianggap menjadi kejadian selewat yang tak perlu dipikirkan. Harri pun malu sendiri ketika harus mengingatnya.

Di depan sana, Harri bisa lihat Papa Asep yang masih setia berlutut di lantai. Tak berniat bangkit lantaran masih menyesal dengan perbuatan yang sudah membuat putra sulungnya pergi tak tahu arah.

“Maafin Mama, ya, Aa….”

Apabila sebelumnya Harri berpikir bahwa kejadian ini seratus persen karena ulahnya yang terlalu egois untuk mencari kesenangan sendiri. Maka, lain dengan Mama Iis yang beranggapan bahwa permasalahan ini memang murni atas keteledorannya. Mama Iis terlalu mudah menyimpan rasa percaya pada orang lain sampai-sampai dirinya berakhir tertipu.

Harri menggelengkan kepala. “Udah, Ma, udah. Ini bukan salah Mama, emang Aa juga salah nggak liat situasi.” Harri mengelus punggung Mama Iis dengan beraturan. “Lain kali kalau ada apa-apa jangan lupa langsung bilang Aa atau Papa, ya, Ma. Mama jangan nutup-nutupin sendiri kayak kemaren. Aa sedih liatnya.”

Mama Iis tersenyum seraya mengangguk. Tangan Mama Iis bergerak menyugar rambut Harri yang sedikit basah karena keringat.

Aa, Aa jangan pergi-pergi lagi… Kaila sedih banget kalau nggak ada Aa di rumah. Maafin Kaila kalau selama ini Kaila bandel, tapi jangan pergi tinggalin Kaila sendiri lagi, ya.”

Tangis Harri kembali pecah ketika mendengar ucapan yang sukses menyayat hatinya. Ingatan Harri kembali pada saat hari di mana kedua orang tuanya bertengkar hebat dan Kaila mengucapkan sebuah kalimat yang tak diduga-duga akan dikatakan oleh seorang anak SD.

Aa, kalau misalnya nanti Papa sama Mama beneran pisah. Kaila mau ikut sama Aa, ya. Kaila nggak mau ikut Papa atau Mama. Kaila pengen ikut Aa aja. Kaila nggak mau kepisah sama Aa.”

Tubuh Harri merosot, berlutut menggunakan kedua kaki yang ditekuk dan segera memeluk tubuh Kaila erat-erat. “Aa nggak akan pergi lagi, Aa ada di sini, ya, geulis, ya, bageur. Maafin Aa kemarin udah ninggalin Ila sendirian.” Harri mencium puncak kepala Kaila, menenangkan si kecil dari tangisan yang belum terlihat tanda-tanda akan segera berhenti.

Pandangan Harri kemudian tertuju pada si kembar—sibuk memeluk dari belakang punggung Harri. Tak berselang dari situ Harri dibuat tertawa kecil lantaran Aariz yang jarang sekali menangis di hadapan Harri, kini si bungsu tak malu untuk memperlihatkan tangisannya.

Hidung yang memerah dengan bibir mengerucut. Seharusnya Harri merasa iba. Namun anehnya Harri justru menangkap pemandangan itu sangat lucu.

“Kenapa si kembar belum pada tidur, Ma?”

Mama Iis menghapus jejak air mata di kedua pipi Aarash dan Aariz yang telah mengering. “Tadi Papa bilang katanya Aa mau pulang, jadinya si kembar bangun lagi terus mau nungguin Aa barengan di ruang tengah,” sahut Mama Iis sembari tersenyum, seakan masih tak percaya dengan kehadiran Harri di depannya.

Harri hampir saja lupa akan keberadaan sang kepala keluarga di depan sana.

Harri memutuskan pandangan dari Papa Asep, memandang si kembar dengan senyuman begitu manis dari sebelumnya. “Hayu tidur lagi, kasep, besok sekolah, kan?”

Mereka berdua menggelengkan kepala kompak. “Nggak mau, takut kalau Aarash tidur nanti Aa keluar lagi dari rumah,” kata Aarash lengkap dengan raut cemberut, masih teringat jelas keberadaan si sulung yang tiba-tiba menghilang.

Bagai sedang dilempar ribuan batu-batuan, hati Harri mencelus. Laki-laki itu merasakan nyeri di bagian dada bersamaan dengan kalimat yang selesai diucapkan Aarash.

Harri tersenyum kecil dan menggeleng pelan. Kedua tangannya terbuka untuk merangkul Aarash dan Aariz. “Nggak, bageur. Aa bakalan ada di rumah terus, nggak akan keluar cari angin lagi!” timpal Harri berusaha meyakinkan.

Ketika Harri bergerak ke kanan dan ke kiri—memeluk si kembar penuh kasih sayang, tiba-tiba saja telinga Harri mendengar suara yang berasal dari dalam tas. Sontak Harri langsung melepaskan rangkulan.

“Ma!” panggil Harri dengan sedikit nada seperti berteriak. “Aa tadi nggak sengaja ketemu tukang parabot serba lima ribu terus beli ini!” Harri melepaskan tas, menariknya ke pangkuan dan mulai membuka ritsleting perlahan. “Aa beli tempat makan buat Kaila, Aarash, Aariz, beli baskom kecil, sama beli gelas kecil buat Papa minum!” Barang-barang tersebut Harri keluarkan secara satu per satu sembari menyusunnya di atas lantai, mempersilakan Mama Iis untuk melihat langsung dengan barang telah dibelinya.

Lagi-lagi tetesan air dari mata Mama Iis terjatuh. Mama Iis terburu menghapus sebelum Harri akan melihatnya. Mama Iis dibuat tersentuh akan perlakuan si sulung yang masih sempat-sempatnya memikirkan penghuni rumah di saat dia sendiri berada dalam keadaan yang tidak sedang baik-baik saja.

“Semuanya berapa Aa? Nanti Mama ganti, ya, uangnya.”

Kepala Harri menggeleng cepat. “Nggak usah, Ma! Aa emang mau beliin aja buat kalian!” balas Harri, menolak akan kalimat dari Mama Iis yang mengatakan akan mengganti uangnya.

Harri tak berbohong, ia membeli barang-barang itu memang atas kemauannya sendiri. Harri masih ingat dengan keluhan si kecil yang mengatakan tempat makannya sudah tak bisa menutup sempurna. Pun, dari keluhan Papa Asep mengenai perlu mengganti gelas kaca dengan gelas plastik agar si kembar tak akan memecahkan kembali ketika membawanya.

“Makasih, ya, Aa kasep.”

Harri mengangguk riang, membuat sedikit rambut-rambutnya ikut bergerak naik dan turun.

Aa udah makan? Aa lagi mau makan apa kasep? Mama masakin bentar, ya?”

“Nggak usah, Ma. Kalau Aa boleh minta, Aa mau mi kuah pake telur aja boleh nggak?”

“Boleh, Aa. Mama buatin, ya, Aa jangan ke mana-mana.”

Jangan ke mana-mana. Baru kali ini Harri benci mendengarkan kalimat tersebut.

Aarash mau ikut bantuin masakin mi buat Aa Harri!”

Aariz juga!”

Kaila menyeka air mata yang tersisa di pelupuk mata. “Aa, Ila juga mau ikut ke dapur, ya.” Harri mengangguk mempersilakan Kaila untuk ikut bergabung bersama mereka yang sudah lebih dulu memasuki dapur.

Harri menghela napas panjang. Matanya menatap Papa Asep masih berlutut di atas lantai yang terasa sangat dingin lantaran waktu sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam.

Harri berjalan pelan-pelan menuju Papa Asep berada. “Pa,” panggil Harri tak kunjung mendapatkan balasan dari sang kepala keluarga.

Papa Asep sebenarnya mendengar jelas panggilan itu, namun ia terlalu enggan untuk sekadar mendongakkan kepala dan menjawab panggilan tersebut.

“Papa.”

Akhirnya, pada panggilan kedua pun Papa Asep berhasil menatap balik kedua bola mata Harri setelah semua keberanian sudah Papa Asep kumpulkan.

“Pa—”

Sayangnya, belum sempat Harri mengucapkan maksud kalimat tersebut sampai akhir, akan tetapi Papa Asep lebih dulu memotongnya dan membuat Harri mau tak mau memilih untuk kembali bungkam.

Aa,” panggil Papa Asep dengan tatapan kembali mengabur. “Papa minta maaf, ya, Aa. Papa nggak bermaksud buat Aa sakit hati sama perkataan dan tingkah laku Papa.” Papa Asep menjeda sedikit kalimatnya untuk mengais udara dalam-dalam. “Maaf kalau selama ini Papa masih belum bisa jadi Papa yang baik buat Aa dan adik-adik Aa.”

Tangis Papa Asep kembali pecah. Untuk pertama kali Harri melihat Papa Asep menangis sambil berlutut. Memohon-mohon untuk dimaafkan segala kesalahan yang telah diperbuat dan telah memberikan goresan luka di hati Harri.

Harri menggeleng cepat, ikut berlutut dan mendekap tubuh Papa Asep. “Nggak! Papa udah jadi Papa terbaik buat Aa dan adik-adik Aa! Aa emang masih sakit hati sama omongan Papa, tapi jangan khawatir nanti juga Aa bakalan lupa sendiri!”

“Tapi, Aa—”

“Pa, Aa emang kecewa sama Papa. Tapi bukan berarti Papa gagal. Papa justru berhasil ngedidik Aa dan adik-adik Aa buat jadi orang yang bertanggungjawab. Tapi, maaf, Pa, buat kali ini Aa ngelanggar dan malah lari dari masalah. Aa terlalu egois buat diri sendiri, maafin Aa, ya, Pa.”

Aa nggak salah, Papa yang salah. Papa salah nggak bisa ngontrol emosi Papa sampe akhirnya tanpa sadar Papa ngebentak dan ngucapin kata-kata yang nggak seharusnya Papa ucapin ke Aa.”

Harri mengangguk selaras dengan tangan masih sibuk mengeratkan pelukan pada tubuh Papa Asep. Rasanya sangat jarang ia dapat memberikan atau merasakan pelukan hangat dari Papa Asep. Dirinya terlalu gengsi untuk sekadar memeluk tubuh Papa Asep.

Papa Asep melepaskan pelukan, mencengkeram erat bahu Harri dan memberikan senyuman.

Aa kasep, atos rengse bageur milarian anginna?

“Aa ganteng, udah selesai nyari anginnya?”

Harri tersenyum dan mengangguk.

Kumaha? Atos puas teu acan milarian anginna ayeuna? Atanapi masih hoyong milarian deui angin anu sanes?

“Gimana? Udah puas belum nyari anginnya sekarang? Atau masih mau nyari lagi angin yang lain?”

Masih dengan senyuman terpancar pada wajah laki-laki itu, Harri kembali mengangguk. “Atos, Papa. Aa atos puas milarian anginna.

“Udah, Papa. Harri udah puas nyari anginnya.”

Papa Asep mengulas sebuah senyuman selaras dengan tangan yang memgusap bahu Harri.

Janteun, angin mana anu paling Aa resep? Angin di Bandung atanapi angin di Sumedang?

“Jadi, angin mana yang paling Aa suka? Angin di Bandung atau angin di Sumedang?”

Harri menggerakkan sedikit kaki yang terlipat ke belakang, sekadar menggoyangkan kecil agar tak merasa pegal.

“Ternyata kesimpulan yang udah Aa dapet dari hasil berkelana, yaitu sebaik-baiknya angin yang udah Aa cari, masih nyamanan angin di kamar Aa,” sahut Harri. “Angin dari kipas angin Aa di kamar lebih nyegerin dan lebih bisa bantu hal berisik di kepala Aa ilang gitu aja,” tambah Harri dengan senyuman masih tercipta jelas pada wajah tampan laki-laki berkelahiran bulan Juni itu.

Harri menggaruk belakang kepala. “Oh iya, Pa—” Harri sedikit memberikan jeda pada ucapannya buat Papa Asep yang mendengar kalimat itu terheran. “Aa bawa oleh-oleh dari kegiatan beberapa hari ini Aa berkelana nyari angin dari Bandung sampe Sumedang.”

Tatapan Papa Asep masih setia menyelami bola mata Harri. Diam-diam Papa Asep tersenyum sebab ketika melihat wajah tampan putra sulungnya, Papa Asep teringat seperti kembali pada zaman saat muda dulu. Seperti sedang berkaca lantaran saking miripnya wajah Harri dengan wajah miliknya yang sudah sedikit tercipta keriputan. Rambut hitam lurus, bola mata berwarna hitam, hidung bangir, dan tata cara bagaimana laki-laki itu berucap persis seperti dirinya dahulu. Hanya saja, Harri memiliki jiwa sosialisasi dan keberanian lebih besar dari Papa Asep dulu ketika berada di bangku yang sama.

“Hadiah dari kegiatan berkelana kemaren yaitu.. Aa bawa angin-angin itu di sini.” Tangan Harri bergerak untuk menepuk pundak. Kemudian diakhiri dengan tawa renyah.

Papa Asep ikut terkekeh mendengar guyonan tersebut. “Nanti Papa kerokin Aa, Papa bakalan bantu usir oleh-oleh yang nggak sengaja Aa bawa waktu Aa sibuk nyari angin di luar.”

Harri mengangguk cepat. “Ok!” jawab Harri lantang dengan memberikan gestur hormat.

Baik Harri maupun Papa Asep masih setia pada posisinya—berlutut di atas lantai tanpa beralaskan apa pun. Dingin yang bermula hanya terasa pada kaki mereka, secara tiba-tiba justru membuat suasana di tengah-tengah mereka ikut dingin pula. Tak ada obrolan lagi. Hanya ada keheningan dan kecanggungan. Harri dan Papa Asep seolah enggan untuk beranjak—takut hal tersebut akan meciptakan perhatian dari salah satu mereka.

Anjir suku aing singsiremeun kieu?! Ieu si Babe iraha rek nantungna, nya.

“Kaki gue kesemutan gini?! Ini Babe kapan mau berdirinya, ya.”

Harri berkali-kali menelan ludah, jakun laki-laki itu bergerak turun dan naik. Ada sedikit keraguan dalam dirinya untuk mengajak Papa Asep berbincang. Harri menyesal, kejadian paling membodohkan itu justru berakhir membuat Papa Asep sedikit menjaga jarak dengannya.

“Papa,” panggil Harri lagi.

Papa Asep menoleh, memperlihatkan raut penuh tanya atas panggilan yang baru saja diucapkan Harri. Papa Asep hanya bisa setia menunggu sampai Harri akan kembali melanjutkan kalimatnya.

“Boleh nggak nanti kalau Mama selesai buatin mi, Aa mau minta Papa buat suapin Aa?”

Kerutan di dahi Papa Asep berangsur hilang dengan penjelasan dari Harri yang mengatakan permintaan akan laki-laki itu minta untuk dimanjakan malam hari ini. Papa Asep lantas bersemangat mengiakan, Papa Asep berharap dengan perlakuan itu bisa membuat hubungannya bersama Harri akan kembali seperti dulu.

Aa! Mi nya udah selesai Mama masak! Aa mau makan di mana?!

Harri terkekeh mendengar teriakan yang melengking dari dapur. Harri beranjak sembari menjawab pertanyaan dari Mama Iis yang ikut teriak pula. “Aa makan di ruang tengah, Ma! Nanti disuapin Papa!”

Harri melirik Papa Asep. “Iya, kan, Pa?” tanya Harri memastikan, takut apabila Papa Asep sewaktu-waktu akan menarik janji tersebut.

Papa Asep mengangguk mengiakan.

Satu yang bisa Harri jadikan pembelajaran yaitu untuk tidak melakukan segala sesuatu ketika emosi dirinya sedang tidak stabil. Nalarnya seakan buntu, tak bisa memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi saat ia sudah memilih jalan sesuai keinginannya saat itu.

Sekecewa apa pun ia terhadap Papa Asep, namun Papa Asep adalah Papa terbaik sepanjang masa baginya.

Satu kesalahan yang telah diperbuat Papa Asep, tak mampu melenyapkan segala kebaikan yang sudah dilakukan sang kepala keluarga tersebut.

Sebaik-baiknya manusia, pasti pernah melakukan kesalahan. Yang membedakannya, apakah dari kesalahan itu bisa diambil pelajaran atau justru mengulang untuk kesekian kali.

Hari ini, hari Minggu pukul setengah dua belas malam, Harri menutup rasa kecewa dan membuang seluruh jiwa ego yang sempat mengontrol dirinya. Malam ini, perihal rasa sedih, rasa sakit, dan rasa kecewa sudah Harri kubur dalam-dalam. Harri tak perlu susah payah memikirkan hal buruk ketika kenyatannya ia justru tengah dikelilingi hal-hal baik dan kebahagiaan yang tak bisa diukur oleh apa pun.

Harri kembali menangis. Kali ini bukan karena sepenggal memori saat itu, melainkan menangis penuh haru saat dirinya tersadar berada di situasi sedang disuapi mi kuah oleh Papa Asep dan ditemani Mama Iis beserta ketiga adiknya di ruang tengah.

Ketika Harri sibuk membuka mulut dan mengunyah, ketiga adiknya sibuk bercerita. Bahkan, televisi yang sempat dinyalakan Kaila kini sama sekali tak diindahkan keberadaannya. Jika televisi bisa berbicara mungkin barang itu akan merajuk, merajuk karena di antara keenam orang di sana tak ada satu pun yang melirik ke arahnya.

Omong-omong perihal televisi Harri tak tahu sejak kapan barang tersebut sudah terpasang rapi di tempat semula. Padahal sebelumnya televisi itu tergeletak di lantai dengan serpihan kaca di sekelilingnya. Dan, apabila Harri lihat lebih rinci, televisi itu tampak baru. Ah! setelah mencoba mengingatnya ternyata televisi itu memang sudah diganti sesuai dengan apa yang Papa sebutkan di dalam pesan tadi.

Manis, pahit adalah sebuah bentuk dari penjabaran mengenai keluarga kecilnya. Tak ada keluarga yang sempurna. Termasuk keluarga Harri sendiri. Maka dari itu, mulai hari ini Harri bertekad untuk membuat keluarga kecil itu terasa sempurna. Sempurna karena hanya ada gelak tawa yang mengudara dibandingkan tangisan suara.


Kolase Asmara Universe

by NAAMER1CAN0


https://open.spotify.com/track/6WUqv9T3RPTHHNKw0zVJuM?si=eFO0KbDbSkyCA8Yb0yalnQ


Sudah hampir satu jam lamanya mereka diam di kelas dengan kondisi di luar sana masih hujan sejak bel pulang dibunyikan. Ada sebagian yang telah pulang karena jemputannya sudah datang. Ada sebagian yang menerobos hujan dengan jas hujan. Bahkan, ada pula sebagian yang terpaksa menunggu di dalam kelas sampai hujan tersebut reda. Akan tetapi, setelah melihat kondisi hujan di luar yang tampak tak memperlihatkan tanda-tanda mereka akan berhenti. Membuat salah satu dari mereka menghela napas panjang.

“Ini mah cuman ada dua pilihan,” ucap Yolan menghela napas seraya berjalan kembali menghampiri kelima temannya yang sedang terduduk bosan di atas kursi. “Pertama si kami nunggu di sini sampai gerbang sekolah di kunci, atau… mau nggak mau si kami nerobos hujan.”

Mereka sukses dibuat terdiam dengan raut wajah terlihat menimang-nimang kedua opsi yang sudah disebutkan Yolan.

“Sebenernya saya nggak masalah, sih, kalau mau hujan-hujanan. Tapi, masalahnya besok kita masih harus sekolah,” kata Jagat.

Harri membenarkan duduknya. “Di sini siapa aja yang bawa jas ujan?” Harri menatap satu per satu teman-temannya, menunggu jawaban di antara mereka.

Semuanya serempak menggelengkan kepala, terkecuali satu orang. “Si aku bawa!” balas Yolan, mengacungkan tangan.

“Yolan doang yang bawa?”

Mereka mengangguk mengiakan.

Sebenarnya, mereka tak tahu apabila hujan akan turun hari ini. Lantaran, ketika melihat cuaca tadi pagi bahkan sampai siang tadi, tak ada tanda-tanda sedikit pun yang memperlihatkan akan turunnya hujan. Pun, mereka biasanya selalu menyimpan jas hujan di dalam bagasi motor. Terkecuali Jagat dan Jaya yang kebetulan memakai motor tanpa adanya bagasi.

Tetapi, biasanya mereka berdua selalu membawa jas hujan di dalam tas. Namun, entah mengapa atas keteledorannya Jagat dan Jaya justru melupakan barang penting untuk selalu berada di dalam tasnya selain buku-buku pelajaran.

Rakha memandang ke luar jendela kelas. “Kayaknya ini hujan cuman di daerah sekolah aja, kalau misalnya kita hujan-hujanan juga cuman sebentar.”

“Jadi, kita mau gas aja ke rumah si Yolan sekarang?” Aksara berucap sembari mencabut ponsel yang semula dicas. Kabel casan itu Aksara gulung dengan rapi sebelum memasukkan ke dalam tas.

Harri mengangguk. “Gas! Aing sama si Jagat, ya.” Harri menepuk pundak Jagat. “Aing sama maneh, Ler.” Sementara Jagat hanya menjawab ucapan itu dengan menganggukkan kepala, seolah mengiakan permintaan dari Harri.

“Aing sama Mang Ajay!” ucap Aksara.

Kepala Rakha mengangguk pelan. “Heg, berarti aing sama si Yolan, ya,” timpal Rakha seraya menatap Yolan yang sedang siap-siap memakai kembali jaket yang sempat dibuka oleh laki-laki itu. Dengan cepat, Yolan mengacungkan jempol setelah dirasa jaket tersebut sudah dipakainya dengan rapi. Saking rapinya, Yolan bahkan tak membiarkan kancing-kancing pada jaket itu terbuka dan membuat tubuhnya akan kedinginan nanti.

“Eh, Yolan. Maneh kalau mau pake jas ujan mah nggak apa-apa pake aja.”

Yolan menggeleng, menolak ucapan dari Harri dengan halus. “Nggak ah, si aku nggak enak. Masa si kalian semua ujan-ujanan, tapi cuman si aku yang pake jas ujan. Nggak adil!”

“Ya, nggak apa-apa atuh. Orang yang teledornya juga itu mah kita, kenapa maneh sendiri yang nggak enak sama kita, Jir!” balas Aksara dengan nada ucapan sedikit meninggi.

“Udah nggak apa-apa, anggap aja si aku nggak bawa jas ujan kayak si kalian.” Yolan mulai meraih tas dan memakainya. “Lagian kayaknya bener kata Mang Rakuy, paling hujannya di sekitaran daerah kita aja!”

Ingatkah kalian dengan ucapan dari Rakha yang mengatakan besar kemungkinan hujan deras yang menghambat perjalanan pulang mereka tadi di sekolah hanya turun di daerah sana aja? Nyatanya, setelah mereka benar-benar coba untuk menerobos derasnya hujan di kota Pasundan, mereka bahkan tak melihat tanda-tanda hujan itu akan segera berhenti.

Ironisnya, tubuh mereka kini sudah benar-benar basah kuyup. Mereka bahkan tak mempersiapkan untuk sekadar membungkus buku-buku pelajaran, ponsel, serta barang-barang penting lainnya dengan plastik untuk menghindari tetesan dari air tersebut. Jangankan untuk mempersiapkan, untuk berpikir ke arah sana pun sepertinya tidak ada.

Entahlah bagaimana kondisi semua barang bawaan yang berada di dalam tas mereka saat ini. Mungkin, kerja kerasnya untuk mencoret tinta-tinta hitam di atas kertas bergaris itu perlahan luntur, atau bahkan bisa saja tulisan-tulisan itu sudah sepenuhnya hilang.

Bangsat! Cenah hujanna di daerah sakola hungkul. Ieu mah asa tatadi arurang maju eweuh we tanda-tanda rek raat teh!

“Katanya hujannya cuman di daerah sekolah aja. Ini dari tadi kita maju belum ada tanda-tanda mau reda, tuh!”

Harri sudah tak bisa menahan segala sumpah-serapah yang berada di ujung lidahnya. Laki-laki itu terus-menerus melontarkan kalimat demi kalimat tak senonohnya. Beruntung, derasnya hujan saat ini membuat ucapan laki-laki itu sedikit tersamarkan. Bahkan, Jagat yang sedang mengendarai motor pun tak dapat mendengar jelas kalimat protes dari Harri.

WOY! IEU REK TERUS MAJU NEPI IMAH SI YOLAN ATAWA REK NGIUHAN HEULA?!

“WOY! INI MAU TERUS MAJU SAMPAI RUMAH YOLAN ATAU MAU NEDUH DULU?!”

LANJUT WE, KAGOK! GEUS KAPALANG BASEUH BISI TIRIS MUN NGIUHAN HEULA MAH!” balas Jaya tak kalah keras dari pertanyaan Rakha sebelumnya.

“LANJUT AJA, NANGGUNG! UDAH TERLANJUR BASAH TAKUT DINGIN KALAU NEDUH DULU!”

Mereka sempat dibuat ragu ketika ingin terus melanjutkan perjalanan, tiba-tiba saja salah satu dari mereka khawatir akan datangnya petir. Akan tetapi, sampai sejauh ini, beruntung petir tak ikut menampakkan diri. Hanya ada derasnya hujan dengan disertai angin sesekali datang yang tak begitu besar.

Sudah dingin, malah terjebak di tengah-tengah lampu merah. Aksara, Harri, dan Rakha serempak membungkuk dengan kepala menunduk. Sementara Jagat, Jaya, dan Yolan yang menyetir hanya bisa pasrah ketika tubuh bagian depan mereka menjadi sasaran empuk cipratan air dari para kendaraan di depan.

Sudah tahu sedang menerobos hujan, tetapi keenam pemuda itu tak ada inisiatif untuk mengendarai motor mereka dengan cepat—untuk secepat mungkin sampai tujuan. Melainkan, Jagat, Jaya, dan Yolan mengendarai motor mereka dengan kecepatan maksimal 40 km/jam. Sebenarnya Jaya sudah mengusulkan untuk menggunakan kecepatan 60 km/jam, namun Yolan menolak mentah-mentah ide itu sehingga pada akhirnya Jaya mengikuti usulan dari Yolan. Jaya ingat betul kalimat dari Yolan yang mengatakan. “Keselamatan itu paling penting!” Jadi, mereka pun tak bisa menyanggah ucapan tersebut karena ada benarnya pula.

Anjir, macet naon deui ieu teh!” ucap Harri sembari kepala laki-laki itu celingak-celinguk.

Jagat memiringkan sedikit kepala ke belakang. “Hah?” Jagat tak sengaja mendengar ucapan Harri yang tak begitu jelas, sehingga Jagat secara tidak langsung meminta Harri untuk mengulangi kalimatnya.

“Itu, macet apaan lagi di depan?” ujar Harri mengulangi ucapan sebelumnya.

Jagat menggeleng. “Nggak tau.”

“Mobil mogok!” teriak Aksara seraya lari terbirit-birit kembali menghampiri motor Jaya. Harri tak tahu sejak kapan kepergian Aksara untuk mengetahui situasi di depan sana. “Di depan ada mobil pick up nggak bisa nanjak terus berakhir mogok, kasian cuman ada sopirnya sendirian!”

Setelah mendengar penuturan dari Aksara, Jagat mulai memundurkan motornya, membelokkan motornya ke arah sebelah kiri dan menjalankan motor itu dengan pelan-pelan. Di belakang, Jaya dan Yolan langsung mengikuti hal yang dilakukan Jagat walau beberapa pertanyaan menghantui kepala mereka berdua.

Melihat mobil di depan sana sedang kesusahan untuk menanjak, secara spontan membuat Jagat dan Harri terburu-buru turun dari motor. Saking terburunya, sampai-sampai Jagat lupa untuk menarik standar motor. Alhasil, motor laki-laki itu langsung terjatuh dengan sang pemilik berlari tak mengindahkan sama sekali kondisi motornya—sang pemilik sibuk berlari menghampiri mobil itu.

Berbeda dengan Jagat dan Harri yang terburu-buru, Jaya dan Yolan masih sempat untuk sekadar menarik standar dan mengunci setang motor sebelum keduanya ikut menyusul berlari ke arah mobil. Sementara Rakha dan Aksara yang tak sengaja melewati motor Jagat pun dibuat sibuk menarik motor laki-laki itu yang terjatuh.

Saat Harri, Jagat, Jaya, dan Yolan sibuk berlari menghampiri mobil yang mogok. Aksara dan Rakha justru disibukkan membenarkan motor milik salah satu temannya—Jagat—yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Untung saja, keadaan di sekitar mereka cukup sepi dari lalu lalang kendaraan.

“Jagat tolol!”

“Tarik yang bener, Sa!”

“Berat, Anying!”

“Ah Babi, tau gini mah kita nggak usah bantu benerin dulu motor si Jagat!”

Selepas mengeluarkan tenaga untuk membenarkan motor Jagat, akhirnya kendaraan itu sudah terparkir dengan benar. Rakha tak lupa mencabut kunci motor itu dan ikut menyusul membantu teman-temannya yang sudah siap mendorong mobil itu.

“Pa! Saya dan teman-teman bantu dorong dari belakang. Bapa jangan rem mobilnya!” ucap Jagat sedikit teriak, lantaran takut sang sopir tak dapat mendengarnya.

“Bensin mobil Bapa habis, Dek!”

“Nggak apa-apa, Pa. Kami bantu dorong sampai depan tanah kosong itu, nanti Bapa tolong belokin ke arah kiri!”

“Makasih, Dek!”

Jagat kembali berlari ke belakang. Ia memberi isyarat kepada teman-temannya untuk segera mengambil posisi mendorong mobil. “Kita dorong sampe tanah kosong itu.” Jagat menunjuk ke tempat yang dimaksud. Kemudian kelima temannya serempak mengangguk kepala, menyetujui perintah dari Jagat.

Dorong, daks, dorong!

Walaupun mereka terasa lelah dan dingin, namun setelah mencoba mendorong mobil pick up yang mogok ini seketika rasa semangat mereka berapi-api. Mereka sudah tak peduli dengan seluruh tubuh yang terus-menerus terkena derasnya tetesan hujan, mereka sudah tak peduli dengan barang bawaan mereka, mereka sudah tak peduli isi sepatu yang sepenuhnya telah berisi air, bahkan mereka tak peduli keadaan kendaraan mereka di belakang sana. Sebab, yang mereka pedulikan hari ini adalah membantu mobil ini sampai di tanah kosong tersebut. Mereka tak ingin membuat kemacetan yang lebih parah. Mereka tak ingin sang sopir menjadi bulan-bulanan caci makian dari pengendara yang terkena akibatnya.

ANGGAP AJA KITA LAGI NGE-GYM, DAKS!

AYO GUYS SI KAMI PASTI BISA DORONG MOBIL INI SAMPE SANA!

SEMANGAT DAKS ABIS INI KITA LANGSUNG MAKAN LIWET SEPUASNYA DARI IBU HENI!

Tak peduli dengan kondisi sepatu yang berkali-kali tergelincir akibat lincinnya jalanan itu, mereka tetap fokus untuk mendorong mobil itu.

Ironisnya, masyarakat yang berada di sekeliling mereka hanya bisa menyaksikan saja.

Tak ada yang bisa melebihi rasa bangga Jagat saat melihat betapa semangatnya kelima orang itu dalam mendorong mobil. Satu hal yang selalu membuat hati Jagat terenyuh, di antara semua orang yang berada di sekeliling mereka—hanya menyaksikan tanpa berniat membantu—hanya mereka berenam yang berani untuk terjun langsung. Seakan, mereka tak peduli apa yang akan terjadi setelah ini.

Mereka tak tahu tetesan air yang terjatuh dari dahinya itu keringat, air hujan, atau bahkan keduanya yang sudah bercampur, mereka tak begitu memedulikannya.

Dengan seluruh tenaga yang sudah dikeluarkan, akhirnya mobil itu sudah terparkir di tempat yang diusulkan Jagat. Keenam tubuh pemuda itu serempak membungkuk dengan napas terengah-engah.

Suara pintu mobil yang dibuka dan beberapa detik setelahnya kembali ditutup oleh sang sopir mulai mengalihkan sebagian perhatian mereka. “Dek, Adek, makasih banyak udah bantu Bapa, ya!” ucap sang sopir dengan senyuman sangat tulus tercetak di wajahnya.

Jagat menelan ludah sekaligus menelan segala rasa lelah yang ada. “Iya, Pa, kembali kasih. Memang sudah salah satu kewajiban kita dalam saling tolong-menolong,” sahut Jagat yang diangguki kelima temannya di belakang. “Mobil Bapa pakai bensin apa?” tanya Jagat.

“Eh, nggak apa-apa, Dek. Nanti saya cari sendiri aja buat bensin. Adek-adek langsung pulang aja, nggak tega Bapa liat Adek-adek pada hujan-hujanan.”

Harri menggeleng. “Nggak, Pa. Kita emang udah ujan-ujanan dari awal. Lagian setau saya teh pom bensin di daerah sini lumayan jauh,” balas Harri, mencoba mengingat-ingat letak secara pasti pom bensin yang terdekat.

“Iya, Pa. Jadi, biar kita bantu Bapa cari pom bensin terdeket aja mumpung kami bawa motor,” timpal Rakha, berusaha membuat sang sopir mengiakan bantuan kedua kalinya dari mereka.

“Saya pakai pertamax, tapi nggak usah, Dek. Nanti saya minta tolong teman Bapa aja.”

“Kalau gitu, sedot dari tangki bensin motor saya aja, Pa. Kebetulan bensin motor saya full dan sama-sama memakai pertamax.” Jagat mulai meraba-raba pada setiap saku yang berada di seragam sekolahnya. Dahinya mengernyit ketika barang yang sedang dicarinya tak kunjung ia temukan juga.

Rakha merogoh saku seragam dan menyerahkan kunci itu pada sang pemilik motor. “Kunci motor maneh, nih, Gat.”

“Nah! Terima kasih, Kha.” Jagat meraih kunci motor tersebut dan bersiap-siap untuk berjalan membawa motornya, namun baru saja satu langkah Jagat kembali menghentikan langkah. “Ada yang bawa selang?” tanya Jagat, menatap satu per satu kelima temannya.

“Si aku ada!”

Maka, setelah itu Jagat, Jaya, dan Yolan melangkah bersama untuk menuju motor dan membawa kendaraan ketiga orang itu untuk ikut terparkir di samping pick up.

Lantaran Jagat tak terlalu mahir dalam memindahkan bensin dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya, sehingga Harri menawarkan diri secara sukarela untuk membantu.

“Hati-hati nyedotnya,” kata Jaya sembari mengarahkan selang tersebut pada tangki bensin mobil pick up.

Kegiatan seperti ini bukan menjadi kegiatan pertama kalinya bagi Harri. Sebab, jauh-jauh hari ia sudah melakukannya. Bahkan, Harri sendiri sudah tak ingat seberapa banyak ia melakukan kegiatan memindahkan bensin menggunakan selang. Namun, perlu dicatat hal seperti ini tidak untuk ditiru. Jika Papa Asep tahu, mungkin Harri sudah dihukum. Sebab, itu sangat bahaya ketika dilakukan—takut apabila bensin tersebut tak sengaja terminum.

“Udah, Dek, udah cukup.”

Mendengar itu, Jagat mulai menarik perlahan selang tersebut dari tangki motornya. Ia menggulung selang sebelum diberikan kepada Yolan. “Hati-hati nyimpennya,” ucap Jagat dibalas anggukkan kepala dari Yolan.

Entah terlalu nyaman mengguyur kota Pasundan atau memang hujan tersebut sedang menyombongkan keahlian membuat para penghuni bumi menunduk kepadanya, sebab hujan itu sedari tadi belum berhenti juga. Justru yang ada hujan itu berakhir makin deras.

“Dek, ini ada sedikit uang buat Adek-adek karena udah bantu saya. Terima kasih, ya, Dek. Kalau misalnya nggak ada kalian kayaknya saya nggak tau bakalan kayak gimana nanti.”

Aksara menggeleng cepat. “Eh, nggak perlu, Pa. Kita-kita bantuin Bapa karena emang kebetulan lagi lewat aja, nggak ada maksud lain.” Aksara mendorong halus uang yang akan disodorkan oleh yang lebih tua.

Bukan berniat menolak rezeki, tetapi ucapan Aksara tentang mereka memang ingin niat membantu tanpa ada alasan dibaliknya memang lah benar. Mereka sama sekali tak berpikir untuk diberi imbalan karena sudah membantu. Karena, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang akan selalu mengulurkan tangan dan menolong yang sedang kesusahan.

“Kalau gitu, kalian terima aja sebagai traktiran dari Bapa buat kalian beli wedang jahe biar kalian nggak kedinginan, ya.”

Se-berusaha apa pun mereka menolak pemberian uang dari yang lebih tua, ternyata pria itu tetap bersikeras untuk memberi dengan dalih rasa terima kasih. Sampai uang tersebut disimpan langsung oleh sang Bapa di salah satu saku seragam di antara mereka berenam. Jaya yang menjadi korban atas keberadaan uang tersebut di seragamnya hanya bisa mengedip-ngedipkan mata tanpa mengatakan satu patah kata apa pun.

“Terima kasih banyak, ya, Pa! Semoga rezeki Bapa lancar terus!” ucap Harri disertai kepala yang membungkuk.

Melihat tingkah Harri, refleks membuat teman-temannya ikut membungkukkan kepala dilengkapi berbagai kalimat ucapan terima kasih. Sedangkan pria tersebut hanya tersenyum dan menepuk pundak keenam pemuda itu secara satu per satu, sembari mengucapkan kalimat perpisahan karena harus melanjutkan perjalanan.

Mereka berenam berbaris rapi seraya melambaikan tangan kepada mobil pick up yang perlahan mulai menjauh. Hanya dalam hitungan beberapa detik, mobil tersebut sudah benar-benar lenyap karena terhalang oleh beberapa kendaraan yang ikut melintas di atas jalanan itu.

“Eh, dikasih berapa itu?” tanya Harri kepada Jaya.

Jaya merogoh saku, mengeluarkan lembaran uang tersebut dan memperlihatkan kepada teman-temannya.

“Banyak bangetlah ngasih seratus lima puluh ribu!”

“Eh, hayu kita nge-wedang jahe! Aing udah nggak kuat kabulusan!”

Dahi Jagat mengernyit. “Kabulusan itu apa?” tanya Jagat kebingungan, lantaran baru mendengar kosa kata baru itu.

“Kedinginan sampe menggigil,” timpal Rakha.

Memang benar, jari-jari tangan mereka sudah mengerut, bibir membiru, dan tubuh yang mengeluarkan reaksi menggigil yang alami. Sampai-sampai, jaket yang mereka pakai sudah tak berarti, sebab bukannya memberi kehangatan, justru dengan memakai jaket itu memberikan rasa dingin yang berkali-kali lipat.


Di sini lah mereka berada, di tempat hangat dengan aroma jahe menguar kuat—mengisi indera penciuman mereka. Mereka terduduk rapi di tepi jalan dengan gelas wedang jahe berada di tangan mereka. Gelas tersebut mengeluarkan asap yang terus-menerus mengepul, tetapi syaraf sensorik mereka seakan sedang terganggu sehingga mereka tak merasakan rasa panas sedikit pun dari gelas itu.

H-haing nggak kuat dingin pisan!” ucap Rakha susah payah, lantaran tubuhnya sudah sedikit menggigil.

Bukan hanya Rakha, melainkan keenam orang itu sedang merasakan hal yang sama. Mereka saling terdiam bukan karena bingung akan membawa topik apa untuk dibicarakan malam itu, namun keadaan lidah mereka seakan kelu untuk sekadar mengucapkan sepatah kata.

Dari seragam sekolah yang basah kuyup, kini seragam mereka sudah kering sempurna. Dari hujan deras, kini telah mereda. Dan, bahkan dari langit masih terang, kini sudah gelap. Tak terhitung sudah berapa lama mereka terjebak di bawah aliran hujan yang deras, yang pasti hujan tersebut meninggalkan rasa dingin yang tak kunjung hilang.

“Saya boleh nambah lagi nggak wedang jahenya… saya nggak kuat dingin banget.”

Mereka mengangguk kompak dengan lemas. “Boleh, mau segerobak juga boleh. Tapi pesen sendiri soalnya aing nggak kuat berdirinya,” balas Harri dengan badan membungkuk—meletakkan dagu di atas lutut.

Jaya menoleh ke arah Aksara. “Gantian bawa motornya,” kata Jaya tanpa basa-basi.

“Nggak mau, nanti aing ngerasain rasa dingin berkali-kali lipat kalau yang nyetir!”

Maneh mau pake kecepatan 10 km/jam juga nggak apa-apa, asal maneh yang nyetir,” sahut Jaya bersikeras menginginkan Aksara yang melanjutkan perjalanan menuju rumah Yolan nanti.

“Rak—”

“Nggak mau! Aing nggak mau nyetir!” tolak Rakha, tahu akan arah pembicaraan laki-laki itu yang sudah menatapnya dengan tatapan wajah memelas.

Malam itu, tak ada lagi obrolan-obrolan hangat yang berbondong-bondong mereka serukan untuk mengangkat euforia di antara mereka. Khusus malam ini, mereka hanya saling berbagi kehangatan melalui satu gelas wedang jahe. Tak ada yang lain.

Bahkan, mereka tak tahu bahwa keesokkan harinya, lagi-lagi mereka memperlihatkan jiwa solidaritas yang tinggi—tak masuk sekolah dengan kompak. Mereka saling tak tahu, sebab, ponsel mereka lagi-lagi memperlihatkan ke-solidaritas-an—mati bersamaan karena terlalu lama berada di bawah aliran air.

Walaupun begitu, di dalam hati mereka sangat senang karena telah membantu. Setiap bantuan yang mereka berikan, terdapat rasa kebanggaan tersendiri setelahnya. Mereka tak akan pernah menyesal karena sudah rela untuk hujan-hujanan bersama, sebab karena itulah mereka dibukakan jalan untuk membantu orang lain.


ib: video anak SMA rela hujan-hujanan demi bantu dorong mobil pick up yang mogok di tengah-tengah tanjakan. [https://vt.tiktok.com/ZSNM6HQty/]


Jagat Lingga Erlangga Universe

by NAAMER1CAN0


Entah sudah berapa banyak saya melewati jalanan ini, jalanan yang selalu saya lalui untuk menjemput dan mengantarkan Grace pulang. Saya tidak terlalu ingat secara pasti. Namun, hal itu tak pernah melunturkan semangat saya untuk selalui melewati jalanan ini. Walau bagi sebagian orang jalanan ini mereka hindari karena tak semulus jalanan lain seperti di jalanan Dago. Saya hanya bisa menimpali ucapan itu dengan tawa kecil, walaupun diam-diam saya membenarkan tentang perbedaan jalanan di kedua tempat itu yang sangat bertolak belakang. Hanya mengiakan tanpa saya berniat ikut membicarakan seperti yang lain.

Perut saya tiba-tiba keroncongan. Saat cacing-cacing saya di dalam perut sudah mulai bernyanyi, bertepatan dengan motor saya sedang berhenti di lampu merah yang cukup padat. Pukul tujuh malam menjadi waktu saya hindari untuk pulang karena akan merasakan kemacetan seperti sekarang ini.

Saya membawa pandangan saya untuk melihat sekeliling, memastikan ada satu atau dua pedagang yang menepi ataupun berjualan di sana untuk memberi asupan cacing-cacing di perut saya. Sayangnya, di depan sana saya tak dapat melihat apa-apa selain pohon besar dengan penerangan yang minim—gelap. Saya tidak tahu mengapa lampu yang seharusnya menerangi jalanan itu justru mati. Apabila dilihat-lihat, lampu itu baru saja mati karena saya bisa merasakan ketidakacuhan orang yang bertugas menangani hal tersebut. Pun, di ujung jalan tersebut ada lampu yang masih menyala.

Lampu sudah berubah hijau, saatnya saya bergegas menarik pedal gas.

Saya tak membawa motor untuk melaju lurus, melainkan saya membelokkan motor menuju jalanan lain yang mungkin saya pikir akan ada beberapa pedagang beroperasi di sana. Semoga saja.

Senyum saya mengembang setelah sadar tepat di arah Selatan sana ada tenda penjual pecel lele yang tak begitu sepi, namun tak begitu ramai pula. Jika dilihat dari sini hanya ada enam motor yang terparkir. Mungkin salah satunya motor sang penjual karena motor itu terlihat sudah dimodifikasi.

Saya memarkirkan motor tepat di sebelah motor sudah saya ceritakan tadi—dimodifikasi. Standar motor sudah saya turunkan bersamaan dengan kunci motor yang saya lepas. Saya sempat mencuri-curi pandang ke dalam tenda melalui spanduk bertuliskan ‘Pecel Lele Pak Amin’ yang sedikit sudah sobek di bagian samping.

Saya cukup heran, di antara seluruh menu makanan yang disajikan mengapa hanya satu-satunya ikan Lele yang ditampilkan di spanduk tersebut? Sementara Ayam, Bebek, serta makanan lain menjadi figuran saja. Padahal setelah saya coba tengok masuk ke dalam tenda, hampir seluruh pengunjung makan Ayam goreng. Lalu mengapa Pak Amin hanya menuliskan ikan Lele? Namun, ya sudahlah, mungkin itu trik jualan beliau.

Saya berjalan masuk ke dalam tenda.

Saya tidak tahu apakah Pak Amin itu yang sedang bertugas menggoreng segala lauk-pauk, yang sedang mengulek sambal, atau bahkan yang baru berangkat mengantarkan piring ke meja pengunjung. Saya tidak menyebutkan satu orang lainnya, karena hanya orang tersebut satu-satunya wanita yang ada di sana. Dan, saya pastikan seratus persen bahwa wanita itu bukan bernama Amin.

“Mau makan di sini atau dibawa pulang, A’?” kata wanita itu menyapa hangat kedatangan saya yang terlihat kebingungan mencari di mana Pak Amin.

“Dibungkus dua, ya, Bu. Saya mau nasi uduk dan ayam goreng, nggak usah pakai sambal,” jawab saya kemudian dibalas senyuman wanita itu.

Saya terduduk di salah satu bangku yang dekat dengan keberadaan kompor. Tujuan saya duduk di sini agar memudahkan membayar dan pergi dari sini. Lantaran saya takut apabila sewaktu-waktu tempat ini menjadi ramai tiba-tiba. Namun, baru saja saya duduk satu menit, badan saya sudah kegerahan sendiri. Mungkin karena panasnya dari tungku api itu—asapnya terbang ke arah saya. Saya sendiri tak begitu mempermasalahan selagi bukan asap sate dan asap akibat membakar sampah.

Satu hal yang saya bingungkan adalah saya sedang merasa kelaparan, tetapi saya justru meminta pesanan makanan tadi dibungkuskan. Bukan karena saya rakus karena sekaligus membeli dua, saya hanya berniat akan memakan nasi pecel ayam tersebut bersama satpam di rumah saya yang sedang bekerja.

Apabila kedua orang tua saya sedang bekerja dan tidak bisa pulang, saya selalu meminta pada pekerja di rumah untuk tak dibuatkan malam malam. Saya berpikir, untuk apa saya makan di atas meja sendirian dengan lauk-pauk yang hampir memenuhi meja? Saya pun tidak bisa untuk menghabiskan itu semua. Sehingga, saat di waktu-waktu seperti ini, saya lebih memilih untuk membeli makan di luar saja.

Angin pun tahu apa yang harus beliau antarkan pada penciuman saya. Saya selalu menyukai bau harum ayam yang digoreng dengan minyak panas memenuhi wajan, lalu ditambah dengan bau harum dari kubis goreng. Saya tidak memesan kubis goreng tersebut, mungkin itu milik orang lain yang sengaja digoreng di tempat penggorengan yang sama dengan pesanan saya.

Berbicara perihal kubis goreng, saya pernah sekali mencobanya, namun saya tidak melanjutkan karena setelahnya ada sedikit gangguan pada tenggorokannya saya. Sehingga saya mengambil langkah untuk menghindari makanan yang sering dipuja-puja oleh teman-teman saya.

Saya pernah beberapa kali menikmati satu piring ayam pecel dengan teman-teman saya. Ketika kami selesai memesan lalu duduk, obrolan-obrolan hangat pun langsung tersajikan di atas meja. Dan, tepat beberapa menit setelahnya, pesanan akhirnya datang. Saya sempat kebingungan, padahal saya merasa bahwa mereka baru saja memesan makanan itu, namun tanpa disangka-sangka datang secepat kilat. Hal itu kontradiktif ketika saya melakukan secara sendirian—menunggu pesanan saya selesai. Mungkin apabila dilakukan dengan bersama-sama saya tidak berpacu pada waktu yang tiap detiknya berganti.

“A’, pesenannya udah selesai.”

Akhirnya, setelah saya beberapa kali ganti posisi duduk, pesanan saya pun selesai juga.

Saya bangkit. “Semuanya berapa, Bu?” ucap saya seraya mengeluarkan dompet—siap untuk menarik uang dan bayar.

“Tiga puluh enam ribu, A’.”

Saya mengangguk, meraih uang berwarna merah muda lalu diserahkan kepada sang Ibu penjual. “Kembaliannya nanti tolong dikasih sama orang yang keliatan butuh satu atau dua piring nasi aja, ya, Bu. Terima kasih,” kata saya selepas melihat Ibu penjual akan menyerahkan kembalian kepada saya.

Muhun mangga, A’. Hatur nuhun.”

Saya tersenyum, menundukkan sedikit kepala sebelum akhirnya membawa kedua langkah kaki saya untuk kembali ke atas motor. Saya sudah sangat tidak sabar untuk menikmati makanan ini selagi masih panas-panasnya.

Saya tak tahu apakah Ibu penjual itu akan benar-benar mengabulkan permintaan saya untuk kembalian tersebut diberikan kepada orang yang kelaparan atau tidak. Saya berharap kalau Ibu penjual itu akan mengabulkan permintaan saya. Lagi pula, tidak baik apabila harus memakan yang memang bukan hak miliknya.

Satu bungkus makan malam itu saya gantungkan pada setang motor, lalu memakai kembali helm sebelum saya menyalakan mesin motor dan melaju untuk pulang. Saya sempat kebingungan karena tak melihat kehadiran juru parkir seperti di tempat-tempat biasanya. Pada detik selanjutnya, saya pun akhirnya paham mengapa tempat pecel lele itu lebih ramai dibandingkan dengan pecel lele yang baru saja saya lewati. Sebab, di sana terdapat juru parkir yang sedang berdiri sembari memantau motor satu dua yang terparkir.

Sepanjang perjalanan saya dibuat berpikir bahwa hidup ini kalau tidak dipertemukan dengan kesenangan, ya, dipertemukan dengan kesedihan. Banyak orang-orang yang baru membuka lapak untuk berjualan, dan ada pula yang baru selesai berjualan. Hidup akan selalu berjalan, berputar. Dan, yang membuat saya sedih adalah bagaimana anak-anak yang bukan usianya justru harus ikut berkelana mencari uang di waktu yang seharusnya mereka beristirahat di atas hangatnya kasur dengan satu gelas air teh hangat. Namun, mau bagaimana lagi? Hidup itu ketika ada yang berada di puncak, maka ada pula yang berada di akar. Tidak adil, namun itulah takdir.

Dahi saya mengerut kala melihat keberadaan seorang pria sedang mengubek-ubek tempat sampah. Seolah terdapat dorongan untuk menepikan kendaraan, akhirnya saya pun mengikuti keinginan tersebut.

Saya matikan mesin, menarik kunci tersebut bersamaan dengan saya turun dari motor dan berjalan menghampiri pria tersebut.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya saya tiba-tiba—semoga saja kedatangan saya tidak mengejutkan beliau.

Sayangnya, keinginan saya hanya sekadar harap-harap lantaran saya bisa melihat dengan jelas bagaimana kedua bahu pria tersebut menaik dengan bola mata melebar.

Saya terburu-buru menyatukan kedua tangan di depan wajah, meminta maaf karena kedatangan saya yang tiba-tiba ini membuat beliau terkejut.

“Bapak lagi cari apa? Ada yang bisa saya bantu?” Saya mengulangi pertanyaan sebelumnya. Sebab, saya pikir beliau sedang mencari sesuatu barang kehilangan sampai perlu mengubek-ubek tempat tersebut.

Saya bisa lihat beliau mulai menggelengkan kepala dengan memberikan senyuman tipis untuk saya. Ah, senyuman itu begitu hangatnya.

“Nggak, Dik. Bapak sedang cari sisa-sisa makan, barangkali masih ada satu atau dua makanan yang masih bisa layak Bapak makan.”

Bagai disambar petir, tubuh saya langsung membeku. Aliran darah saya seakan berhenti beberapa saat. Lidah saya kelu. Kedua ujung bibir saya sulit untuk ditarik. Pun, kedua mata saya sulit untuk memperlihatkan sorot mata teduh.

Saya meneguk ludah, melirik ke arah setang motor sampai akhirnya saat ini saya sudah bisa menarik kedua ujung bibir saya membentuk suatu lengkungan indah.

“Pak, saya kebetulan tadi abis beli pecel ayam. Bapak mau nggak temenin saya makan?” Menyadari beliau saya diam saja, lantas saya segera melanjutkan kalimat. “Saya kebetulan sedang lapar, Pak. Saya nggak biasa makan sendirian, makanya apa Bapak bersedia temenin saya makan?”

Raut keraguan itu terpancar, dan saya bisa merasakannya.

“Saya kebetulan beli dua nasi, Pak. Nanti kita makan di pinggir sana.” Saya menunjuk pada sebuah tempat di bawah pohon—aman dari lalu-lalang orang—tepat di seberang warung kecil yang dipenuhi oleh para ojek online.

“Tapi badan saya kotor, Dik.”

Saya menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, Pak. Badan saja juga kotor, kok, saya kebetulan abis ke tempat yang banyak debunya.” Saya menggerakkan kedua tangan, memberi isyarat untuk beliau tunggu sebentar selagi saya berlari menuju motor dan membawa makanan yang tergantung.

“Yuk, Pak? Kebetulan saya udah laper….”

Saya tak dapat membunyikan kesenangan yang ada di raut wajah saya ketika akhirnya beliau mengangguk mengiakan. Kami berdua berjalan menuju tempat yang sudah saya maksud. Beliau dengan menenteng kantong keresek beserta satu karung—entah apa di dalamnya, dan saya mendorong motor.

Sesampainya di sana, saya langsung terburu-buru duduk dan membuka makanan malam kami berdua. Saya berusaha menyembunyikan rasa pilu ketika tak sengaja melihat binar yang terdapat di kedua bola mata beliau. Saya tak tahu, apabila keinginan saya untuk menikmati pecel ayam bersama satpam di rumah saya justru diberikan jalan untuk menikmati dengan beliau.

“Pak, sebentar, ya, saya beli minum dulu sekalian beli air buat kita cuci tangan!” ucap saya kembali berdiri dan berlari menuju warung di depan. Saya ingin berterima kasih kepada sang pemilik warung telah mendirikan dagangannya di tempat yang tepat. Sehingga saya tidak perlu berlari jauh sampai ujung jalan.

Saya senang ketika beliau selalu menyambut saya dengan senyuman hangat. Bahkan, beliau masih enggan membuka makanan tersebut karena saya habis membeli air yang dijanjikan.

“Ini, Pak!” Saya menyerahkan dua botol air minum. “Yang satu buat minum, yang satunya lagi buat cuci tangan, ya, Pak.”

Saya membuka tutup botol dan mulai mengalirkan air tersebut ke atas tangan saya—saya sekarang sudah siap untuk menikmati makan malam itu.

“Silakan dimakan, Pak.”

“Adik dulu, soalnya Adik yang ngasih Bapak makan. Jadi sebaiknya dimulai dari orang yang ngasih lebih dulu.”

Saya tersenyum. “Kalau gitu barengan aja, Pak,” balas saya, berancang-ancang mengambil secuil nasi untuk dimasukkan ke dalam mulut.

Kami mulai menikmati makan malam. Kami duduk di pinggi trotoar, saling bersebelahan, dan saling diam karena sibuk mengunyah makanan—sekaligus sibuk mengapresiasi betapa lezatnya menu makan saya malam ini. Bukan karena apa yang ada di atas kertas nasi itu, melainkan dengan siapa saya menyantap makanan ini.

“Adik kelas berapa?”

Saya cepat-cepat menelan kunyahan makanan. “Saya SMA kelas 11, Pak.”

Beliau mengulas senyum. “Adik masih muda, tapi hatinya sangat dermawan.”

Saya membalas senyuman tersebut sembari mengucapkan terima kasih atas pujian yang sudah buat wajah saya tersipu.

“Adik rumahnya di mana?”

“Saya rumahnya di daerah Dago, Pak.”

Beliau membulatkan mulut, mungkin terkejut dengan apa yang baru saja saya ucapkan. “Jauh sekali datang ke daerah sini, Dik.”

“Saya tadi abis nganterin pulang seseorang, Pak.”

Beliau manggut-manggut. “Nanti pulangnya hati-hati, ya, jangan bawa kendaraan cepet-cepet.”

Saya mengangguk, mengiakan.

“Bapak doakan semoga semua apa yang Adik impikan bisa segera terkabulkan, ya.”

“Amin,” balas saya cepat-cepat. “Saya juga berdoa semoga Bapak disehatkan selalu, ya, Pak.”

Beliau tak menanggapi ucapan saya, melainkan beliau kembali memberikan senyuman hangat untuk saya.

“Itu botol-botol bekas, Dik. Saya kebetulan kerja cari botol-botol bekas yang masih layak biar bisa saya jual buat makan sehari-hari,” ucap beliau seperti mengetahui ke arah mana tatapan saya tertuju. “Nanti botol Adik jangan dibuang, ya, buat saya aja.”

Saya mengangguk semangat. Kemudian tatapan saya beralih pada segerombolan orang di seberang sana. Saya bisa lihat beberapa di antara mereka sedang menikmati satu botol air minum yang kemudian botol-botol itu mereka biarkan dijejerkan dengan rapi. Saya mengambil kesimpulan bahwa selesai makan nanti saya perlu menghampiri mereka dan meminta botol-botol bekas itu.

“Nama saya Aceng. Kalau Adik?”

Ah, saya bahkan sampai melupakan untuk sekadar bertukar nama. Padahal sedari tadi kami berdua sudah saling melemparkan puluhan pertanyaan.

“Saya Jagat, Pak.”

Malam itu kami berdua kembali habiskan untuk menikmati nasi pecel ayam sembari sesekali diisi dengan pertanyaan lalu diakhiri oleh tawa kecil. Saya senang, beliau sangat ramah dan tak jarang memberikan kalimat-kalimat yang mampu membuat saya merasa aman dan nyaman berada di sisi beliau.

Cahaya temaram sang bulan dengan setia menemani kami. Bising suara kendaraan justru membuat suasana di antara kami makin terasa nyala, saya senang tatkala beliau memperlakukan saya seperti anaknya. Beliau bercerita bahwa beliau tinggal seorang diri di sini—tak memiliki keluarga. Beliau pindah ke Bandung setelah diusir oleh keluarganya—di Jakarta Pusat tepat dua tahun lalu. Kemudian kemalangan lainnya, beliau diberhentikan dari pekerjaannya sehingga mau tak mau beliau harus menjalani pekerjaan ini untuk bertahan hidup. Dari cerita beliau saya dapat pelajaran untuk terus berjuang walau tidak tahu titik terang itu akan kita temukan dalam jarak waktu berapa lama. Pekerjaan apa pun tidak masalah selagi kita dapat mensyukurinya.

Ada satu hal lain yang membuat saya tertarik dan merasa tersentuh dengan sikap beliau. Padahal beliau sendiri tengah kelaparan, namun beliau masih sempat membagi nasi serta ayam beliau untuk kucing-kucing liar yang datang—duduk persis di sisi nasi kami, seakan menunggu untuk diberikan secuil ayam tersebut. Terkadang, mereka yang hidupnya serba kekurangan paling mengetahui bagaimana caranya untuk saling berbagi. Sebab, mereka perlu berada di posisi yang sama untuk dapat merasakan hal serupa.


Jagat Lingga Erlangga Universe

by NAAMER1CAN0


Mama paling suka kalau misalnya ada temen dari Jaya atau Teh Iva dateng ke rumah, soalnya Mama bisa masakin buat mereka.

Nanti kalau Hartigan mau main ke Bandung lagi, jangan lupa sering-sering main ke sini, ya. Mama nanti masakin lebih banyak lagi makanan yang enak-enak.

Jaya memutar mata. “Nggak mau katanya, dia trauma main ke sini soalnya cuman dikasih menu sayur doang nggak ada dagingnya,” timpal Jaya.

Hartigan melotot. “NGGAK, BU! NGGAK GITU!” Kepala Hartigan masih setia menggeleng.

Maneh waktu itu bilang katanya enek makan di sini soalnya isinya sayur semua.”

Emang Jaya bangsat!

Hartigan cengengesan. “Jangan dipikirin ucapan Jaya, ya, Bu, dia asal ngomong aja. Hartigan suka-suka aja, kok, sama menu makannya,” jelas Hartigan tak mau membuat Mama Sumarni merasa tersinggung dengan ucapan asal dari Jaya.

“Nanti kapan-kapan ajak juga Kakak Hartigan ke sini, sekalian ajak temen-temen yang di Jakarta. Soalnya Mama kayaknya jarang liat atau bahkan belum pernah ketemu sama mereka kecuali Jagat aja.”

Semua orang yang berada di meja makan sontak menghentikan aktivitas menyuapkan makanan yang berada di atas piring itu ke dalam mulut. Pun, Mama Jaya semula asyik berbicara spontan terdiam. Mereka saat ini sedang berlomba-lomba saling memberikan raut kekhawatiran ketika salah satu di antara mereka tak sengaja tersedak.

Jika kalian berpikir kalau itu adalah suara batuk dari Teh Ivanka, maka jawabannya salah. Sebab, suara batuk itu justru berasal dari Hartigan yang sebelumnya asyik menyanggah semua ucapan omong kosong Jaya.

“Uhukk … uhukk!”

Tanpa memakan waktu lama, Mama Sumarni langsung memberikan satu gelas air kepada laki-laki yang masih terus-menerus memukul dada—berusaha menghilangkan batuk tersebut.

“Minum dulu minum, Hartigan.”

Tentu, sebagai etika kepada sang pemilik rumah, Hartigan meraih uluran gelas dari Mama Sumarni dengan sukarela. Diteguklah cairan bening itu tak sabaran. Namun, setelah beberapa tegukan, Hartigan masih merasakan keganjalan berada pada kerongkongannya.

“Ibu … kayak ada yang nyangkut di tenggorokan Hartigan ….”

Gelas kosong tersebut masih Hartigan pegang erat, lengkap dengan tatapan takut sekaligus khawatir yang terpancar pada kedua bola mata laki-laki itu.

Jaya yang sedari tadi masih menikmati makan malamnya, langsung menelan cepat-cepat kunyahan itu. “Ma, kayaknya duri ikannya nyangkut di tenggorokan Hartigan!” panik Jaya, kelimpungan sendiri mencari keberadaan sendok nasi.

“Ma, ini Ma kasih nasi!”

Ternyata, sendok nasi itu masih berada di tangan Papa Jajang—yang baru saja menyendokkan nasi dalam Bakul untuk dipindahkan ke atas piring. Kemudian, Papa Jajang kembali menyendokkan sedikit nasi untuk diserahkan kepada Mama Sumarni.

Mama Sumarni meraih nasi yang diberikan Papa Jajang. Dicomot nasi tersebut sebelum mulai dikepal-kepal, membuat bulatan kecil agar mempermudahkan Hartigan untuk menelannya nanti.

Konon katanya, ketika sedang tersedak duri ikan, cara yang paling ampuh adalah menelan kepalan nasi tanpa harus dikunyah terlebih dahulu. Namun, perlu menjadi catatan, bahwa kepalan nasi tidak boleh besar. Hanya perlu diambil secukupnya sampai duri tersebut sudah tak menghalangi tenggorokan lagi.

“A,” titah Mama Sumarni. Hartigan hanya mengikuti untuk membuka mulut walau tak tahu akan terjadi apa setelahnya. “Nasinya langsung Hartigan telen, jangan dikunyah dulu. Pelan-pelan telennya.” Kemudian, kepalan nasi yang sangat kecil itu Mama Sumarni masukkan ke dalam mulut Hartigan.

Jaya, Teh Ivanka, dan Papa Jajang hanya bisa menyaksikan dalam keadaan bungkam. Denting alat makan yang semula ribut dan sesekali melantunkan nada konstan, sekarang suah menghilang.

Teh Ivanka sudah siaga dengan satu gelas air. Mama Sumarni sudah siap dengan kepalan nasi lainnya ketika nanti duri tersebut belum sepenuhnya hilang. Sementara Jaya dan Papa Jajang, hanya diam dan membantu doa saja.

“Langsung ditelen udah?”

Hartigan mengangguk.

“Coba, sekarang masih kayak ada duri yang nyangkut nggak?” tanya Teh Ivanka.

Hartigan menyipitkan mata, lalu tak lama membawa kedua mata itu memejam seraya berkali-kali menelan air liur untuk memastikan apakah masih ada benda asing yang tersangkut pada tenggorokannya.

Gelengan dari Hartigan akhirnya berhasil meloloskan napas lega dari keempat orang itu. Teh Ivanka menyerahkan kembali satu gelas air minum untuk membuat nasi tersebut lebih cepat terjatuh ke dalam alat pencernaan.

“Ikan pindang bandeng emang banyak durinya, makanya kadang Jaya kalau makan ikan pindang bandeng pasti disuapin Mamanya,” ucap Papa Jajang secara tiba-tiba.

Sementara, Jaya yang menjadi topik pembicaraan tak beniat untuk merespons ucapan Papa Jajang. Seakan, apa yang baru saja diutarakan Papanya bukan hal harus ditutup-tutupi. Toh, memang faktanya begitu.

Jaya menunjuk isi piringnya. “Makanya aing nggak makan ikan bandeng, soalnya trauma kalau makan sendiri.” Jaya mengaduk isi piring sebelum akhirnya kembali menyuapkan makanan itu pada mulutnya.

Di atas piring Jaya hanya ada menu makan cah brokoli, pakcoy bawang putih, dan beberapa sayur lainnya yang sulit untuk Hartigan lihat secara pasti.

Kalau sudah begini, tidak hanya Jaya yang merasa trauma. Melainkan, setelah ini mungkin Hartigan akan menjauhi jenis ikan tersebut. Pasalnya, Hartigan tak terlalu pandai dalam memilah dan menyingkirkan ikan dari durinya. Sebenarnya inilah menjadi salah satu alasan mengapa Hartigan sangat jarang mengonsumsi ikan dibandingkan dengan menu protein hewani lainnya.

Hartigan menatap nanar pada makanan di atas piringnya. Padahal tinggal menyisakan beberapa suap lagi makanan itu, namun seketika selera makan Hartigan sudah hilang setelah terjadi hal yang tak diinginkan.

“Mama beresin dulu makan Mama tinggal sedikit lagi, abis itu nanti Mama bantu suapin Hartigan, ya.”

Kepala Hartigan yang tertunduk otomatis mendongak. Kedua matanya membulat sempurna dengan mulut menganga. Hartigan tak akan pernah menyangka bahwa ucapan itu akan keluar dari mulut Mama temannya.

Apa? Ia akan disuapi, katanya?

Hartigan rasanya ingin menolak, namun sebesar keinginannya itu, tak bohong dalam hatinya Hartigan mengangguk senang. Hartigan ingin merasakan rasanya disuapi makan oleh seorang ibu—walaupun bukan dari ibu kandungnya.

Hartigan menggeleng cepat, menepis semua keinginan konyol yang sempat terlintas. Eh, Ibu nggak usah … Hartigan nanti lanjutin sendiri aja makannya.”

“Nggak apa-apa jangan sungkan, semua teman Jaya udah Mama anggep seperti anak sendiri. Mama suapin biar nanti Hartigan nggak trauma buat makan ikan bandeng lagi, nanti Mama sekalian kasih tau caranya buat misahin duri sama ikannya. Sayang banget soalnya ikan bandeng sebenernya enak banget! Liat aja sampe Papa Jaya abis satu ekor ikan bandeng,” ucap Mama Surmani seraya menoleh ke arah Papa Jaya yang tengah menikmati ikan bandeng tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata.

Namun, benar saja. Tanpa disangka-sangka, beberapa menit setelahnya, Mama Sumarni benar-benar menarik kursi di sebelah Hartigan dan mulai menyuapi laki-laki itu dengan telaten—memperlakukan Hartigan seperti anak kandungnya.

Bukannya cemburu melihat pemandangan itu, akan tetapi justru Jaya tersenyum di tengah-tengah kegiatan menyantap makanan yang belum habis juga sedari tadi. Pun, reaksi dari Jaya sama persis dengan reaksi Teh Ivanka yang memandang ke arah Hartigan dengan tatapan sulit untuk dijelaskan.

Papi … jadi gini, ya, rasanya disuapin seorang ibu. Jian akhirnya ngerasain, Pi. Sekarang Jian nggak terlalu cemburu sama Bang Kaleel yang lebih dulu sering disuapin Mami dulu ….

Mulanya, Hartigan merasa canggung ketika harus menyantap makanan itu dengan tatapan lekat dari ketiga orang yang berada di atas meja. Namun, hal itu berangsur mereda setelah Mama Sumarni kembali bercerita dengan sesekali ditimpali Papa Jajang dan Teh Ivanka. Sementara Jaya sedari tadi hanya membungkam mulutnya dan merespons percakapaan dengan senyuman.

Lel … gua tiba-tiba ngerasa insecure sama keluarga dari cewek yang lu suka. Keluarga mereka bener-bener beda sama keluarga kita, Lel. Semoga lu nanti nggak ikut insecure kayak gua yang lagi di tengah-tengah keluarga ini.


Kaleel Ivanka Stori

by NAAMER1CAN0


Mulanya, pertemuan itu diadakan sebatas membicarakan tentang rencana apa yang sudah Harri buat. Namun, siapa sangka, setelah satu jam berlalu, mereka kini justru sedang asyik saling berbagi cerita. Syifa yang awalnya takut merasa canggung, sekarang gadis itu sudah mulai bisa berbaur dengan keempat kakak kelasnya.

“Terus, ya, dulu Aa sama si Ajay pernah ditonjok si Rakha. Sumpah itu mah Aa langsung shock berat!” ujar Harri dengan dramatis.

Rakha yang baru saja menelan kopi langsung menyanggah ucapan tersebut. “Eh, sumpah aing juga ngelakuin itu gara-gara maraneh duluan yang berantem,” ucap Rakha tak terima disalahkan begitu saja. “Lagian sebelumnya aing udah pake cara baik tapi maraneh masih aja berantem. Jadi, mau nggak mau aing pake cara itu!”

“Emang berantem gara-gara apa gitu kalau Syifa boleh tau?”

“Harri nyedot bensin dari tanki motor Ajay,” sahut Rakha tanpa basa-basi.

Syifa sukses dibuat melongo. Tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu.

“Kan, emang aneh si mereka itu, si aku aja suka capek sendiri liat drama dari si mereka.”

Syifa masih ingat betul dengan perkataan, “Apabila ingin mengambil hati seseorang yang kamu suka, kamu perlu mengambil hati dari lingkungan orang tersebut terlebih dahulu. Termasuk keluarga serta teman-temannya.” Syifa sendiri agak lupa telah menemukan kalimat tersebut dari mana. Yang pasti, untuk mengambil hati dari teman-teman Kak Jaya, rupanya Syifa bisa melakukannya.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya Syifa bisa satu meja dan saling berbagi cerita dengan kelima orang ini dalam waktu yang bersamaan. Selama ini, ia hanya melihat interaksi Kak Jaya dengan teman-temannya dari jauh, walau ada beberapa orang yang baru pertama kali dilihatnya.

Syifa makin merasa yakin bahwa Kak Jaya memang benar-benar orang baik. Karena, dari bagaimana lingkungan pertemanan Kak Jaya menyambut Syifa pun, ia sendiri sudah bisa merasakan dan mengetahui ketulusan yang diberikan mereka untuknya.

Otomatis, desas-desus yang kerap tak sengaja terdengar olehnya yang mengatakan hal-hal kurang baik tentang mereka, jelas Syifa tepis dengan jauh. Sebab, dalam kacamata pandangannya mereka bukan orang seperti itu.

Seolah tak membiarkan Syifa berlarut dalam pikirannya seorang diri, salah satu dari mereka mulai kembali membuka suara dan menceritakan kejadian yang lucu. Aksara menceritakan kejadian di mana ia beserta kelima temannya pada saat itu sedang menaiki perahu yang berada di danau sekolah. Awalnya kegiatan itu lancar-lancar saja, sebelum akhirnya dua pasang Angsa datang dan ikut berenang seakan tengah mengejar mereka di atas perahu. Karena salah satu dari mereka tak bisa diam, akhirnya dengan sesuai dugaan, mereka semua tercebur ke dalam danau yang bahkan tingginya tak lebih dari satu meter. Kejadian itu akan terus melekat dan menjadi sejarah bagi Aksara dan kelima temannya.

Syifa tak tahu lagi harus merespons apa selain membalas cerita itu dengan tawa renyah. Syifa tak ingat sudah berapa banyak tawa yang ia lantunkan malam ini, yang pasti hal itu telah berhasil membuat perutnya terasa kram.

Kepala Jagat mendongak, menatap persis Syifa di seberang sana. “Syifa ada jam malem nggak pulangnya?” tanya Jagat, tak sengaja melihat jam pada ponsel miliknya setelah membalas pesan dari seseorang.

Syifa yang sedang asyik mengobrol itu seketika menghentikan ucapannya. “Ada, Kak, jam sembilan,” timpal gadis itu dengan raut berseri, seolah cerita lucu dari Aksara masih ingat betul dalam kepalanya.

Jagat kembali menyalakan dan membuka kunci ponsel milik laki-laki itu, lalu memperlihatkan kepada Syifa. “Sebentar lagi udah mau jam sembilan.” Bukan berniat untuk mengusir adik kelas itu, hanya saja Jagat takut apabila gadis itu mendapatkan teguran tak menyenangkan dari kedua orang tuanya ketika mengetahui anaknya pulang larut melebihi jam yang sudah ditentukan.

Syifa otomatis terbelalak. “Ih iya! Syifa harus cepet-cepet pulang takut ayah Syifa marah!” Seakan tak membiarkan cairan hijau itu tersisa sedikitpun, lantas Syifa kembali menyeruputnya hingga habis.

Kondisi perutnya sudah kembung ketika Syifa baru menyadari bahwa ia sudah menghabiskan dua gelas minuman itu dalam waktu yang berdekatan.

“Rumah kamu di mana emang, Syifa?”

“Baleendah, Kak!”

“Ya udah, yuk, pulang. Saya anterin. Kebetulan saya bawa mobil tadi bareng sama Harri.”

Harri mengangguk. “Hayu, Cip, pulang bareng Aa sama Jagat. Jangan naik ojek sendiri takut, udah malem soalnya.”

Syifa menggeleng. “Eh, nggak apa-apa, A. Syifa udah biasa pulang pergi naik ojek sendirian, kok!” nolak Syifa secara halus, lantaran tak enak apabila merepotkan kedua kakak kelasnya untuk mengantarnya pulang terlebih dahulu.

“Syifa biar bareng sama si aku aja, Lang. Kebetulan si aku mau ke daerah sana abis dari sini. Paling si aku nitip Aksa, tadi si aku ke sininya bareng Aksa soalnya,” kata Yolan, sembari melirik ke arah Aksara seolah sedang bertanya melalui tatapannya. “Gapapa, kan, Sa?” tanya Yolan memastikan.

Aksara mengangguk. “Iya gapapa, Mang. Besok maneh berarti jemput aing dulu, ya. Helm aing jangan lupa buat dibawa.”

Yolan mengacungkan jempol kanan. “Siap!”

Harri menolehkan wajah. “Maneh ke sini naik apaan, Kha?”

Aing naik motor, tapi aing kayaknya langsung pulang ke rumah si Jagat.”

“Nginep maneh?”

Rakha mengangguk, mengiakan ucapan Aksara. “Iya, bapak aing lagi ada acara di Bogor. Di rumah kosong jadinya aing mau nginep di si Jagat aja.”

“Ya udah berarti kamu sama aku, ya, Syifa, pulangnya. Nanti kasih tau aja jalan nya, soalnya aku nggak tau jalanan sana.”

Syifa tampak sedang berpikir sejenak. “A Yolan beneran nggak apa-apa nganterin dulu Syifa?” Sebenarnya Syifa ingin sekali menolak ajakan kakak kelas itu, namun setelah mendengar sebuah debatan dari kakak kelasnya tentang siapa saja yang akan ikut pulang dengan ini dan itu membuat Syifa tak berani menolak ajakan tersebut.

“Beneran nggak apa-apa, daripada kamu naik ojek sendiri.”

“Maaf ngerepotin, ya, A.”

Yolan menggelengkan kepala cepat. “Ih, enggak ngerepotin, kok, Syifa, santai aja!”


“Kamu ambil ekstrakurikuler apa, Syifa?”

Yolan menyerahkan sebuah helm berlogokan salah satu tokoh kartun jepang, tak lupa dengan sebuah kalimat tertulis ‘i love anime’ di bawahnya.

Syifa memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu meraih helm tersebut dan segera memakainya. “Syifa ambil paduan suara sama palang merah remaja, A,” jawab Syifa, “kalau A Yolan ekstrakurikuler apa?”

Sebelum menjawab pertanyaan dari Syifa, kedua tangan Yolan kini sedang sibuk membuka pijakan motor agar adik kelas itu tak perlu membukanya lagi nanti. “Aku ekskul basket.” Kemudian, Yolan tak lama menyuruh Syifa untuk segera naik sebelum waktu benar-benar telah menunjukkan pukul sembilan.

“Ih, iya! Syifa sampe lupa, kan, A Yolan ketua basket putra, ya.”

Entah terlalu bersemangat atau terkejut atas kesadaran sesuatu hal, hingga gadis itu terlalu bertenaga saat menaiki motor sampai-sampai Yolan dibuat sedikit oleng. Beruntung, laki-laki itu sigap untuk menurunkan kaki satunya untuk dijadikan tumpuan.

Yolan terkekeh sembari sesekali mengangguk. “Iya bener, btw Syifa bisa nyanyi?” Setelah merasa yang di belakang tak melakukan pergerakan apa-apa lagi, lantas Yolan segera menyalakan mesin motor dan perlahan menarik gas—mengendarai motor tersebut untuk membelah jalanan pada malam hari.

“Semua orang juga bisa nyanyi, A Yolan. Tapi, ada yang fals sama enggak. Nah, kalau Syifa sendiri, sih, kebetulan nggak fals.”

“Berarti jago nyanyi, ya, Syifa.”

“Bukan jago, tapi untungnya nggak fals aja, A Yolan!”

Yolan kembali terkekeh. Setelah dipikir-pikir, apa bedanya jago bernyanyi dengan tidak fals?

Kerlap-kerlip dari lampu sepanjang jalanan yang dipadukan lampu dari kendaraan yang berlalu-lalang berhasil memanjakan mata. Syifa yang semula dibuat takut akan merasa canggung sepanjang perjalanan menuju rumahnya ternyata hanya sekedar kekhawatirannya saja. Kakak kelasnya itu tak henti melayangkan beberapa pertanyaan yang membuat Syifa melupakan pikiran negatifnya.

“Berarti yang setiap senin baris di atas deket paskibra itu Syifa sama ekskul Syifa, ya?”

Pertanyaan itu terdengar sedikit samar-samar, lantaran dengan kurang ajarnya ada kendaraan yang melintas dengan knalpot super berisik. Apabila motor itu melintas pada perumahannya mungkin sudah dilempar dengan sandal secara bertubi-tubi. Lagi pula, enaknya memakai kendaraan yang punya knalpot berisik itu apa, sih? Yang ada bisa jadi incaran para polisi yang sedang bertugas. Sungguh mengesalkan!

A Yolan boleh ulangi pertanyaannya nggak? Soalnya Syifa nggak bisa denger jelas tadi ….”

Dengan penuh kesabaran, Yolan mengulangi pertanyaan itu. “Setiap senin Syifa berarti suka upacara deket barisan paskibra itu yang ada di atas?”

Syifa mengangguk, kemudian tak lama menggelengkan kepala. “Kadang Syifa suka jaga di belakang barisan murid gara-gara dapet piket PMR.”

“Oh yang suka baris di belakang pake syal warna biru, tuh, PMR?” tanya Yolan, “eh warna biru atau apa ya aku lupa.”

“Warna kuning, A Yolan. Kalau warna biru itu PMR Madya yang masih SMP.”

Yolan manggut-manggut setelah mencoba kembali mengingat warna syal yang selalu dipakai anggota PMR pada setiap hari senin di belakang barisan para murid. Bisa-bisanya Yolan melupakannya di saat warna tersebut begitu nyentrik apabila dipadukan dengan seragam sekolah putih-abu.

“Kenapa nggak ikut ekstrakurikuler basket?”

Dengan tatapan yang masih terarah ke depan jalanan, lantas Syifa diam-diam mengerutkan dahu. “Nggak, ah, capek harus lari-larian. Jangankan disuruh olahraga basket yang harus ngerebutin bola, Syifa disuruh olahraga lari aja males banget rasanya!” gerutu Syifa terdengar jelas oleh kedua telinga Yolan, sebab situasi jalanan yang mereka lewati pada saat itu kebetulan tak seramai sebelumnya.

Bahu Yolan bergetar—naik dan turun—menandakan sang empu tengah mengudarakan tawanya. Bukan hanya Yolan, namun Syifa yang melihat respons itu ikut tertawa pula, walaupun tak serenyah tawa yang dilantunkan oleh Yolan.

Tiba-tiba saja Yolan mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. “Kamu gimana ceritanya bisa suka sama Ajay? Kenal dari mana?”

Mendengar pertanyaan yang baru saja diucapkan kakak kelasnya itu, lantas Syifa terdiam. Bukan karena gadis iu tak ingin menjawab pertanyaan dari Yolan, melainkan Syifa tengah berpikir bagaimana cara menceritakan kepada laki-laki itu.

Syifa membasahi bibir sejenak akibat terpaan angin yang mengenai mukanya dan membuat bibirnya terasa kering. “Jadi, dulu itu Syifa, A Harri, dan Kak Jaya satu SMP. Syifa awalnya cuman kepo sama cowok yang lagi main basket di lapangan, eh lama-kelamaan Syifa malah kepikiran terus sampe akhirnya tau kalau orang itu namanya Kak Jaya.” Syifa tak henti tersenyum saat menceritakan hal tersebut, seakan sekelebat memori tentang hari itu kembali terulang. “Syifa sempet nyesel karena dulu cuman bisa ngagumin Kak Jaya dari jauh, makanya sekarang Syifa nggak mau buang-buang waktu lagi. Soalnya, belum tentu nanti kuliah Syifa masih bisa ketemu Kak Jaya.”

Selama Syifa sibuk bercerita Yolan hanya diam dan memasang kedua telinganya dengan baik. Motor yang dikendarakannya pun kini sudah berada di sebelah kiri, seakan mempersilakan kendaran lain untuk mendahului sebab ada hal yang lebih penting, yaitu mendengarkan orang di belakangnya asyik bercerita.

“Terus, ya, A Yolan, alam tuh kayak ngasih Syifa jalan gitu, tau!”

“Gimana? Gimana? Ngasih jalan gimana? Coba ceritain aku mau tau,” balas Yolan tak kalah antusias dari Syifa yang sedari tadi sibuk merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat untuk menjelaskan mengapa gadis itu tertarik dengan temannya—Jaya.

“Syifa kan dapet seni modern, terus waktu itu ada guru sebelah yang nggak bisa masuk jadi guru Syifa dibagi dua ngajarnya sama guru sebelah, terus nggak tau kenapa kelas Syifa dibantuin ngajarnya sama Kak Jaya dan temennya Kak Jaya!”

Oh, kayaknya yang dimaksud dia Pandu.

Yolan tak merespons kembali, melainkan laki-laki itu Diam-diam menyeringai di balik helm yang dikenakan. Bagaimana cara adik kelas itu menceritakan alasan dibalik ketertarikan dengan salah satu temannya, Yolan cukup sadar kalau gadis itu memang benar-benar menyukai Jaya.

“Kalau gitu, semangat, ya, Syifa! Aku berdoa semoga rencana kita nanti bakalan berhasil!”

Syifa membalas ucapan itu dengan senyuman yang teramat manis, bahkan lesun pipinya sampai terlihat. Tak tahu mengapa, mendapatkan kalimat penyemangat itu benar-benar membuat Syifa makin bersemangat untuk melaksanakan rencana dari Harri walaupun awalnya Syifa sendiri sempat ragu untuk melakukannya.

Mereka tak tahu saja, saking asyik bercengkerama berdua, sampai-sampai mereka sendiri tidak sadar bahwa sedari tadi terdapat pasang mata yang menyaksikan tiap-tiap pergerakan mereka. Pun, mereka tak tahu bahwa itu adalah awal mula dari permasalahan baru yang akan terjadi.

Tersangka—orang yang sedari tadi tengah memperhatikan mereka hanya bisa tersenyum miris. Entah apa yang sedang berada dalam pikiran orang tersebut, sebab tepat bersamaan kendaraan Yolan berbelok ke arah kiri, orang tersebut justru melajukan mobilnya berlawanan dengan kendaraan Yolan berjalan.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Berbagai suara dari semua arah mulai menghampiri, seolah suara-suara tersebut berusaha mengambil atensi miliknya untuk sekadar mengedarkan pandangan ke arah sumber suara itu. Kaki milik gadis berambut hitam sebahu itu terhenti, dengan kedua mata sesekali melirik ke tiap-tiap tempat yang sudah terisi untuk menemukan sosok tengah dicarinya.

Syifa sontak meremas tali tas yang sedang mengalung pada pundak ketika beberapa pasang mata mulai tertuju padanya. Sementara, tangan lain yang terbebas menggenggam erat-erat sebuah gelas berisikan salah satu minuman favoritnya.

Cairan di dalam gelas itu beberapa kali ikut bergerak mengikuti langkah sang empu, seakan telah menyerahkan diri sepenuhnya untuk dibawa ke mana saja.

Tak lama, senyum gadis itu mulai terlihat saat matanya berhasil menemukan lambaian dari seseorang di depan sana. Walau sesekali pandangannya harus terhalang oleh beberapa orang yang berlalu-lalang di depannya.

Dengan perasaan bahagia yang masih menggebu-gebu, lantas Syifa segera berlari untuk menghampiri arah lambaian itu berada. Akan tetapi, ketika tinggal menyisakan beberapa langkah lagi, kedua alisnya seketika menyatu saat mulai menyadari dari sekumpulan orang-orang yang sangat terasa asing untuknya.

Sial! Sepertinya gadis itu salah menghampiri orang.

Malu rasanya ketika mengingat betapa riangnya ia telah menghampiri meja itu hingga ia rela harus berlari ke meja sana. Syifa menggerutu kecil. Membalikkan tubuh untuk kembali ke tempat semula sebelum sekumpulan orang itu menyadari dirinya yang ikut terpanggil atas lambaian salah satu dari orang-orang tersebut.

Bayangkan saja, Syifa sendiri tak memiliki keberanian sebesar itu untuk sekadar datang ke kafe hanya seorang diri. Ironisnya, justru hari ini ia berada di tengah-tengah situasi sangat kikuk.

Ingatkan nanti untuk ia luapkan segala rasa emosi yang sudah memenuhi lubuk hatinya pada seseorang yang memiliki ide untuk bertemu di tempat ini.

Kala gadis itu sibuk bermonolog dengan dirinya sendiri, sebuah notifikasi sekonyong-konyong muncul dan sukses membuyarkan segala lamunan. “Nah, gini dong! Harusnya A Harri dari tadi itu kirim pesan buat Syifa!” Lagi-lagi gerutu Syifa sembari mengerucutkan bibirnya sebal.

A Harri Agung Cipaaaaa di manaaaaaa Aa sama yang lainnya udah di sini ih dari tadiii

Pasalnya, Syifa sampai berpikir bahwa kakak kelas itu tengah menjahilinya. Kalau saja pesan itu tak segera sampai, mungkin saat ini Syifa sudah berdiam di pinggir jalan—menunggu ojek online untuk pulang.

Syifa mengerutkan dahi. “Yang lainnya? Berarti, A Harri nggak sendirian?” Alih-alih mengirimkan pertanyaan itu kepada laki-laki di seberang sana, Syifa justru melontarkan pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Memang dasar! Kalau sudah begini terkadang otaknya tak berfungsi dengan baik.

Lantas, kedua jempol gadis itu mulai menari di atas layar ponsel tengah di genggamnya. “A Harri, Syifa udah di depan kasir dari tadi. A Harri di mana itu?” Tanpa sadar, Syifa mengucapkan ulang kalimat yang telah ia ketik untuk membalas pesan dari kakak kelasnya.

Sembari menunggu balasan, Syifa kembali menyeruput minuman. Ia melakukan segala kegiatan agar terlihat sibuk dan tidak menjadi tontonan dari orang-orang sekitar. Kekhawatiran itu tak berangsur lama, lantaran balasan pesan tersebut telah kembali ia terima.

A Harri Agung Tunggu, aa ke situu

Gadis itu mengangguk mengiakan selepas membaca balasan dari kakak kelasnya, walaupun Harri tak dapat melihat anggukan darinya itu.

Maka, dengan kesabaran penuh Syifa kembali memasukkan ponsel dan menunggu orang tersebut akan segera menghampirinya. Ia sudah tak tahu bagaimana untuk mendeskripsikan keadaannya saat ini. Satu gelas green tea latte tak tanggal pada genggamannya. Pintu masuk yang terus didatangi orang-orang. Bahkan, sedari ia berdiam di tempat ini, Syifa belum melihat satu pun orang yang meninggalkan tempat ini.

Seharusnya ia menikmati satu gelas minuman berwarna hijau itu dalam keadaan duduk, namun nyatanya ia justru menikmati sembari berdiri. Apabila ibunya tahu mungkin Syifa akan dicecar dengan kalimat, jangan minum sambil berdiri nggak sopan dilihatnya! Nggak boleh minum sambil berdiri nggak baik buat pencernaan! atau bahkan, minumnya sambil duduk, masa kalah sama kucing yang minumnya sambil duduk!

Kucing, katanya. Masa dirinya disamakan dengan makhluk berbulu lucu itu?

Namun, ya, Syifa sendiri tak punya pilihan lain. Apabila ia jongkok di tengah-tengah kerumunan justru Syifa lebih takut menjadi buah bibir dari orang-orang sekitar yang tak sengaja melihat.

Entah karena memang sedang kehausan, mencoba menepis kegelisahan, atau bahkan sengaja menyibukkan diri dengan terus-menerus meminum ice green tea latte itu, hingga tanpa sadar hampir menyisakan setengahnya lagi. Berbicara mengenai minuman berwarna hijau ini, Syifa benar-benar sangat menyukainya, sampai-sampai apabila dalam sehari apabila Syifa tak mengonsumsi makanan ataupun minuman green tea akan merasa lesu. Memang sehebat itu eksistensi green tea pada hidupnya.

Selama ia berdiri tepat di samping pohon buatan yang tak jauh dari kasir berada, Syifa menyadari sebuah momen yang cukup membuat dirinya melongo. Pasalnya, sedari tadi Syifa tak menemukan ada orang yang datang seorang diri. Jangankan untuk duduk dan menikmati secangkir minuman di salah satu meja yang telah disediakan, untuk Syifa melihat kedatangan orang secara sendiri pun—selama dirinya diam di sini—sama sekali tak ada.

Ketika tengah sibuk berargumentasi dengan isi pikirannya sendiri, sebuah panggilan disertai tepukkan kecil pada pundak kirinya mulai menyadari Syifa dari sebuah lamunan.

“Heh!” ucap seseorang itu sembari penuh keheranan lantaran gadis itu hanya terdiam mematung dengan kedua mata yang tidak berkedip sedikitpun.

Syifa harus mengapresiasi dirinya yang tak mudah terkejut akan hal-hal seperti ini. Bayangkan saja, apabila ia hampir kelepasan berteriak atau bahkan melemparkan gelas yang sedang ia genggam, bisa saja ia menjadi tontonan gratis dari para pengunjung kafe.

Harri bahkan kerap mengikuti arah pandang Syifa, namun setelah ditelusuri, gadis itu hanya menatap kosong ke sebuah pohon yang berada persis di sebelah pintu masuk. “Udah lama dari tadi di sini, Cip?” tanya Harri mencoba mengalihkan atensi Syifa.

Syifa menghela napas sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Bahkan minuman Syifa hampir mau abis saking udah lamanya Syifa mondar-mandir nyari A Harri!” ucap Syifa sembari mengangkat gelasnya, memamerkan minuman miliknya yang benar-benar tinggal menyisakan sedikit.

Wajah gadis itu memperlihatkan sarat kekesalan dan Harri bisa melihat raut wajah itu sendiri, tentunya.

Harri hanya menanggapi ucapan Syifa dengan tawa kecil. “Ih, ai Aa juga itu udah pesenin Cipa minuman green tea,” balas Harri.

A Harri tau dari mana Syifa suka minuman green tea?”

“Soalnya Aa kalau ke kafe sama pacar Aa, terus pacar Aa lagi nggak mau minum kopi suka mesen green tea atau red velvet. Mana tadi teh Aa debat dulu mau pesenin Cipa green tea atau red velvet,” ucap Harri, sembari kembali mengingat beberapa saat lalu ketika dirinya sibuk berbedat dengan keempat temannya perkara minuman apa yang akan dipilih.

“Ini pesenin apa ya buat si Syifa nanti?”

“Es kopi susu aja.”

“Kalau anaknya nggak bisa minum kopi gara-gara punya sakit lambung gimana anying? Bisa-bisa maneh diamuk orang tuanya.”

“Yaudah es teh manis aja kalau gitu.”

“Anjir udah kayak di warteg aja pesennya es teh manis!”

“Udahlah kata aing maneh chat aja anaknya mau pesen apaan gitu cepet soalnya mau pesen takut ngantri.”

“Ah lama lagi, udah antara green tea atau red velvet aja. Soalnya kalau aing sama si Fara ke kafe suka pesen minuman di antara dua itu.”

“Ya udah green tea aja kata si aku, kayaknya si dia bakalan suka.”

“Jangan! Gimana kalau misalnya dia tim green tea teh kayak rumput?”

“Daripada red velvet takut kemanisan?”

“Udahlah, saran saya pesenin aja air mineral biar aman.”

“Anjir udah kayak ngunjung di rumah orang aja disuguhinnya air putih.”

“Ah, berisik bagong! Udah aing suruh si Aa-nya pilihin nanti ajalah. Maraneh pada fix belum ini pesenannya?”

Tiba-tiba saja Harri tertawa membuat Syifa yang berada di sebelah laki-laki itu terheran-heran. Bagaimana tidak, ketika kakak kelasnya itu sedang bercerita justru berakhir diam dan sibuk dengan imajinasinya sendiri.

“Terus lanjutannya gimana A Harri?”

“Akhirnya pilih green tea soalnya red velvet-nya abis. Buang-buang waktu Aa aja dalam berdebat itu mah!”

Syifa tak habis pikir dengan cerita yang baru saja didengarnya. Lagi pula, mengapa tak langsung bertanya kepadanya saja apabila kakak kelasnya itu akan memesankan minuman terlebih dahulu? Jika tahu begitu, mungkin saja saat ini Syifa tidak akan merasa kesusahan membawa gelasnya berjalan ke sana dan ke sini sejak tadi.

Laki-laki itu bersiap-siap untuk melangkah, melanjutkan perjalanan menuju ke tempatnya kembali. “Hayu, ah, Cip, takut keburu malem nanti Cipa dicariin orang tua Cipa. Lagian yang lainnya udah pada nungguin juga,” tukas Harri saat melihat jarum jam akan menunjukkan pukul setengah delapan.

“Yang lainnya?” tanya Syifa, “yang lainnya siapa, A? Jadi bukan ketemuan sama Syifa aja?” Berbeda dengan sebelumnya yang hanya melontarkanpertanyaan itu pada dirinya sendiri, sekarang Syifa sudah dapat melayangkan pertanyaan itu langsung kepada kakak kelasnya.

Syifa mendengkus kesal saat pertanyaan darinya itu tak digubris sama sekali oleh Harri. Laki-laki itu justru saat ini sudah berjalan beberapa langkah mendahuluinya.

Masih dengan berbagai pertanyaan mengenai mengapa kakak kelasnya itu mengajak bertemu di kafe ini, lalu apa saja yang sudah disiapkan kakak kelasnya, bahkan hingga siapa saja yang diajak kakak kelas itu masih terus-menerus menghantui pikiran Syifa.

Satu yang baru saja diperhatikan oleh dirinya yaitu sedari tadi ketika melewati beberapa meja, kedua telinganya tak henti mendengar sebuah sapaan yang dilayangkan untuk laki-laki di sampingnya. Sehingga, Syifa secara tidak sadar bergumam, “banyak banget yang kenal sama A Harri.” Namun, setelah dipikir-pikir, jangankan di luar sekolah, di dalam sekolah pun kakak kelasnya itu memang cukup dikenal di berbagai kalangan. Tak heran pula, sebab laki-laki itu memiliki kepribadian yang cukup telaten dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Syifa sedikit iri dengan jiwa sosialisasi kakak kelas itu, lantaran sangat berbanding terbalik dengan dirinya.

Syifa refleks menarik ujung kaos Harri kala kedua matanya menangkap jelas kelima orang laki-laki yang tengah tertawa karena salah satu dari mereka melemparkan sebuah lelucon yang terdengar samar di telinganya. “A Harri ….” Suara gadis itu sangat pelan. Bahkan, masih terkalahkan oleh meja-meja sebelah yang sedang bercengkerama dengan teman sebayanya.

Sumpah si aku sampe mau bilang ‘Aksaaa awas nanti si kamu ketabrak orang yang mau mundurin motor!’ eh, taunya si aku malah telat!

Si Aksa beneran ketabrak?

Beneran! Si Aksa langsung nyungsep itu si aku malu banget, mana lagi rame di sananya!

Sumpah aing kayaknya nggak bakalan dateng ke kafe ini lagi lah, Anjing.

Langkah Harri sontak terhenti dan menolehkan wajah ke belakang untuk melihat mengapa Syifa telah menarik pakaiannya. “Kenapa, Cip?” tanya Harri memastikan, karena demi apa pun ia tak bisa mendengar ucapan dari arah belakangnya.

“Kenapa ada temen-temen A Harri juga?” tanya Syifa, menunjuk ke arah meja itu dan menatapnya sekilas. Raut gadis itu tak bisa disembunyikan. Selain tak pandai berakting, dirinya pun kurang mahir untuk menutupi suatu hal.

Harri tak langsung menjawab pertanyaan dari yang lebih muda. Laki-laki itu justru meraih pundak Syifa dan menariknya kecil, seolah sedang berusaha membuat gadis itu melangkahkan kaki untuk segera mengikuti langkah miliknya.

“Nanti Aa jelasin di sana, sekarang Cipa ikut dulu sama Aa.”

Jadi, 'yang lain' yang diomongin A Harri di-chat tadi itu ternyata temen-temennya A Harri, ya ....

Sebenarnya masih banyak hal yang harus ia tanyakan kepada Harri, namun setelah langkahnya kini telah berada persis di meja itu, semua pertanyaan yang semula berlalu-lalang dalam pikirannya hilang dalam sekejap. Syifa mematung untuk beberapa saat. Kedua matanya tak berhenti mengedip. Hingga sebuah suara mulai menginterupsinya dan menyadarkan dirinya dalam sebuah lamunan.

“Duduk, Dek, sini!” ucap salah satu laki-laki di sana sembari menepuk kursi kosong di sebelahnya. “Jangan berdiri terus nanti pegel.”

Jagat menyingkirkan gelas kopi miliknya, takut menjadi alasan gadis itu enggan untuk duduk. “Sini duduk, Syifa.” Jagat bangkit, berpindah ke tempat Rakha dan mempersilakan Syifa duduk di samping Harri. Sebab, hanya Harri satu-satunya yang dikenal adik kelas itu.

Kemudian tak lama berselang dari situ, suara nyaring dari kursi yang ditarik seketika mengheningkan tengah keramaian di meja sana. Pandangan mereka semua saling tertuju kepada Syifa yang sibuk mendudukan diri.

Harri yang melihat Syifa sudah nyaman dengan duduknya lantas bersuara, “oke, Aa mau kenalin dulu temen-temen Aa di sini. Itu yang tadi ngasih duduk ke Syifa namanya Jagat, di pinggirnya Rakha, kita bertiga satu kelas sama Ajay. Kalau kita mah kayaknya Syifa udah tau soalnya udah beberapa kali sempet pernah ketemu juga,” ucap Harri sembari diam-diam dibenarkan oleh Syifa, karena tak jarang Syifa kerap melihat Kak Jaya bersama ketiga orang tersebut. “Nah, kalau yang dua itu namanya Aksa sama Yolan, mereka anak IPS. Takutnya Syifa bertanya-tanya dua orang itu siapa, sedangkan biasanya Syifa sering liat cuman kita berempat aja.” Harri menjelaskan satu per satu dari mereka, walaupun sebenarnya Syifa sendiri sudah mengenali beberapa kakak kelasnya—kecuali Aksara dan Yolan yang notaben masih terasa asing.

Syifa tersenyum dan mengangguk. “Salam kenal, ya, Kak, aku Syifa kelas sepuluh IPA tujuh!”

Beruntung, perkenalan itu disambut baik oleh keempat orang di seberang Syifa. Sehingga, Syifa tak perlu merasa khawatir apabila di atas meja itu terasa canggung akan kehadirannya.

“Terus, alasan si kamu ngajak kita semua sampe Syifa ke sini apa?” tanya Yolan penasaran, sebab sedari tadi Yolan dilanda pertanyaan yang tak kunjung hilang dalam kepalanya.

Harri menepuk jidat. “Oh iya, aing lupa.” Sepersekian detik setelahnya, Harri menarik kursi. Kedua tangannya melambai seolah tengah memberikan isyarat kepada keempat teman di seberang untuk lebih mendekatkan tubuh mereka.

Tentu, Syifa yang berada di samping Harri ikut mencondongkan tubuh ke samping—menyodorkan telinga kanan dan membukanya lebar-lebar agar tak ada sepatah kalimat yang tak bisa ia dengar.

“Jadi, gini, daks. Syifa ini suka sama si Ajay—”

Aa, ih!” potong Syifa cepat, sembari melangkan cubitan asal pada lengan kakak kelas di sampingnya. Jelas, Harri yang tak mengira akan dilayangkan cubitan seperti itu lantas mengaduh.

Harri mengelus-elus lengan cepat, menghilangkan rasa sakit yang kemudian berubah menjadi panas dari cubitan Syifa. “Sakit ai, Syifa! Kan, Aa teh belum jelasin sampe inti kenapa udah main nyubit-nyubit aja!” Sementara keempat orang di sana hanya melayangkan kekehan dari pemandangan yang baru saja dilihatnya.

“Syifa beneran suka sama temen si aku Jaya?”

Dengan kepala tertunduk—malu-malu—Syifa akhirnya mengangguk mengiakan ucapan tersebut.

Aksara menggelengkan kepala cepat. “Anjir, aing masih nggak nyangka modelan si Ajay ada yang sukain.”

“Parah anjir maneh, kalau si Ajay denger pasti nggak mau bantuin kerusakan di kosan maneh lagi, Sa.”

“Nggak gitu maksudnya, Mang Rakuy!”

Melihat kericuhan yang lagi-lagi mereka perdebatkan, Jagat hanya bisa menghela napas untuk kesekian kali. “Lanjutin, Ri, jadi gimana?” tanya Jagat, mencoba membalikan konsentrasi mereka pada topik awal.

“Sekarang Aa mau nanya dulu sama Syifa.” Harri memiringkan sedikit tubuhnya ke samping. “Syifa beneran suka dan mau sama si Ajay, kan?”

Syifa mengangguk semangat. “Iya, Syifa beneran suka sama Kak Jaya!”

Jawaban lugu dari Syifa sukses membuat Aksara, Rakha, dan Yolan yang tengah menyeruput kopi tersedak dengan bersamaan. Mereka serempak memukul dada untuk menghilangkan batuk yang sudah membuat fokus Harri, Jagat, dan Syifa terpecah.

Harri memilih tak menghiraukan gangguan tersebut. “Kalau gitu, Syifa harus ikutin kata-kata Aa, ya, kalau mau berjalan lancar.”

Syifa menoleh, sedetik kemudian kedua alisnya menyatu dengan kerutan pada dahi gadis itu sudah mulai samar-samar terlihat.

“Syifa mulai pulang dari sini, kurangin interaksi sama Ajay. Syifa harus bisa main tarik-ulur. Cowok biasanya bakalan ngerasa kehilangan kalau kebiasaan sebelumnya mulai berubah. Syifa jangan dulu chat Jaya duluan, di sekolah kalau ketemu Jaya jangan disapa. Pokoknya tarik-ulur aja,” jelas Harri dengan khusyuk. “Kalau kemarin Syifa yang narik si Ajay, sekarang giliran Syifa yang ngulur. Biarin si Ajay yang narik Syifa.”

Syifa terdiam untuk beberapa saat. Perkataan dari Harri itu selalu ia ulang dalam kepala.

“Tapi kalau misalnya gagal?” Syifa bertanya balik, “soalnya Kak Jaya nggak pernah chat Syifa duluan. Jadi, kalau misalnya ternyata saran dari A Harri gagal gimana?”

Jagat yang sedari tadi hanya menyimak obrolan itu, perlahan menyandarkan punggung dan menggeser gelas kopi yang hampir habis. “Harri bener, saya dulu ada di posisi itu. Tarik ulur emang ampuh. Dicoba dulu, Syifa, kalau nggak dicoba kita nggak akan tau hasilnya kayak gimana.” Jagat mengulas sebuah senyuman di akhir kalimat dengan maksud tengah memberikan semangat untuk adik kelas itu.

Yolan mengangguk. “Iya si aku juga mengakui itu, kadang si aku juga suka pake trik tarik-ulur buat tau sejauh mana doi interest sama kita.”

Syifa kembali diam. Meskipun terbesit ada perasaan tak ingin melakukan hal itu. Namun sepertinya untuk mengikuti saran dari kakak kelasnya itu, tak masalah. Terlebih beberapa di antara mereka sudah memberikan pengalaman dan semangat untuk dirinya.

“Kalau misalnya si Ajay nge-chat Syifa kabarin aja Aa, nanti Aa bantu.” Syifa masih setia diam. “Percaya sama Aa, bakalan berhasil. Cipa percaya nggak sama Aa sama temen-temen Aa?” tanya Harri masih tetap berusaha meyakinkan Syifa atas rencana yang selama ini sudah ia susun sebaik mungkin.

Masih dengan perasaan ragu, akhirnya Syifa menganggukkan kepala. Ia benar-benar berharap semoga rencana yang sudah disusun kakak kelasnya itu akan berjalan lancar.

“Semangat, Syifa!”

“Semangat, Syifa!”

Syifa tak tahu harus berekspresi apa setelah mendengar respons positif dari kelima kakak kelasnya. Bahkan, untuk terlintas pikiran meminta bantuan pada kakak kelas di sebelahnya saja sebenarnya tak pernah ada dalam kepala Syifa. Namun, siapa sangka justru bukan hanya satu orang yang membantunya, melainkan lima orang sekaligus.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Tetesan gemuruh suara air yang jatuh perlahan menghilang setelah Harri memutar keran air tersebut ke arah yang berlawanan. Laki-laki yang mengenakan kaos hitam bergambarkan salah satu logo band musik favoritnya itu mengibas-ngibaskan tangan di atas wastafel, mempercepat menghilangkan bulir-bulir air pada telapak tangannya. Kegiatan itu hanya dilakukan beberapa detik saja, sebab kini laki-laki itu sedang asyik menggosokkan tangan pada sisi pakaian yang dikenakannya.

Harri membalikkan tubuh, berancang-ancang akan kembali ke kamarnya setelah kegiatan mencuci gelas telah selesai. Akan tetapi, suara derap langkah seseorang disertai bunyi beberapa benda yang berjatuhan justru mengurungkan niat Harri untuk melanjutkan langkahnya. Sedetik kemudian, sosok adik kecil dengan ciri khas rambut ikalnya yang ikut bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti langkah kakinya berlari itu sudah berada di hadapannya.

“Aa Harri!”

Harri mengangkat salah satu alis. “Kulan kasep.” Mata Harri tak mau diam, terus mengikuti pergerakkan adiknya melangkah.

“Aa, tolong ambilin gelas.” Aarash menunjuk pada sebuah lemari atas persis di belakang laki-laki yang masih asyik berdiri. “Aarash mau minum tapi tangan Aarash nggak nyampe!” Bibir adik kecil itu mengerucut, merasa kesal sebab tak dapat meraih gelas itu sendiri.

Harri spontan menggigit pipi dalam dengan mata yang memejam. Sesekali telapak tangan laki-laki itu menutupi wajahnya, kemudian bergerak mengacak-acak rambutnya secara asal. Anjing! Lucu ginilah adik aing teh! Bukannya bergegas meraih gelas itu dan menyerahkannya, namun sepertinya Harri nampak tak bisa berkutik atas aksi adiknya yang menggemaskan.

“Aa, kenapa malah merem?” heran Aarash. Laki-laki kecil yang berumur sembilan tahun itu menyimpan mainannya di bawah—di pinggir kakinya. Setelahnya, kaki Aarash tampak tak mau diam. Terus berjinjit, mencoba berusaha meraih gelas itu walaupun aksinya harus terbuang sia-sia.

Harri melirik sekilas, lalu membuka pintu lemari itu secara sengaja. “Mau gelas ini bukan?” Diraihlah salah satu gelas yang berjejer rapi dengan sembarang. Harri mengangkat gelas tersebut kemudian dibalas anggukkan oleh si kecil.

“Iya!” Mendengar jawaban antusias itu, rasa jahilnya tiba-tiba saja datang. Harri kembali menyimpan gelas tersebut di tempat semula. Spontan aksi menjengkelkan itu telah sukses membuat Aarash berkacak pinggang sembari raut wajah dipenuhi tanda tanya.

“Kenapa malah disimpen lagi?” Padahal tangan Aarash sudah menengadah, sudah siap meraih gelas yang akan diserahkan kakak sulung kepadanya.

Harri berlutut, lalu membawa salah satu jarinya menunjuk pipi sebelah kanan. “Cium Aa dulu, baru Aa bawain gelasnya,” ucap Harri, tak henti menepuk jemari telunjuknya di atas permukaan pipi kanan.

Cup!

Senyum Harri melebar tatkala mendapatkan sebuah kecupan yang diberikan adiknya. Maka, sesuai ucapannya beberapa detik lalu, Harri kini telah beranjak untuk kembali meraih gelas tersebut untuk diberikan kepada Aarash.

“Pipi kiri Aa nya belum.” Harri dengan gesit menyembunyikan gelas yang akan diraih oleh Aarash. Laki-laki itu menyodorkan pipi kirinya, lalu benar saja hanya dalam hitungan beberapa detik sebuah kecupan kembali dilayangkan oleh Aarash untuknya.

Mangga ieu bageur.

Belum genap sepuluh detik Harri menyerahkan gelas plastik itu, akan tetapi Aarash telah cepat meraihnya. Mungkin si kecil takut apabila Harri akan kembali menjahilinya.

“Eh, mau ke mana?” Harri menarik ujung belakang kaos Aarash ketika melihat adiknya berancang-ancang akan meninggalkannya tanpa melontarkan sebuah kalimat terpenting. “Bilang apa dulu sama Aa?” ucap Harri.

“Makasih Aa!”

Cengkeraman pada belakang kaos Aarash kini telah terlepas, mempersilakan adiknya untuk kembali melanjutkan langkah menuju dispenser. “Sami-sami kasep,” timpal Harri sembari memberikan kecupan singkat pada puncak kepala Aarash, lalu Harri menepuk; mengelus; mengacak-acak; rambut Aarash dengan penuh rasa kasih sayang.

“Kok cuman Aarash yang dicium, kenapa Aariz nggak dicium juga?” interupsi Aariz yang baru saja menonton kejadian cukup membuat dirinya dibakar api cemburu, sebab niat ingin memanggil kembarannya yang tak kunjung kembali ke kamar, eh ia malah disuguhkan oleh pemandangan kakak sulungnya yang tengah asyik mencium kepala kembaran yang hanya beda beberapa menit dengannya. Sungguh menjengkelkan bukan?

Harri terkekeh. Laki-laki itu mengibaskan tangan seolah tengah memanggil adik bungsunya untuk segera menghampiri. Tak seperti biasanya yang terlihat dingin dan terkesan tak acuh, justru kini adiknya itu langsung mengikuti titahannya tanpa ia harus susah payah mengulanginya untuk kedua kali.

“Mana kenapa belum cium Aariz juga?” Aariz kesal sebab kakak sulungnya tak kunjung memberikan kecupan yang diminta seperti halnya Harri memberikan kecupan tersebut untuk kembarannya.

“Tadi Aarash cium pipi Aa dulu baru Aa cium kepala Aarash,” jelas Harri. Menyodorkan pipi kanannya, memberikan isyarat agar Aariz melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Aarash beberap menit lalu.

Aariz mendengkus disertai kepala yang menggeleng. “Aariz nggak mau,” sanggahnya cepat.

Mendengar jawaban penolakan dari Aariz, spontan Harri langsung berdiri. “Ya udah kalau nggak mau mah nggak apa-apa, sih, Aa nggak rugi juga,” sahut Harri dengan kedua pundak terangkat.

Emosi Aariz memuncak ketika melihat raut wajah penuh ejekan yang diperlihatkan Aarash untuknya. Harri tak tahu saja bahwa adik kecilnya itu kini sedang mati-matian menahan kalimat agar tidak menyumpahi kembarannya.

Harri melirik ke arah bawah ketika merasakan ujung kaosnya sedang ditarik seseorang. “Apa?” tanya Harri sedikit ketus.

Harri mau tak mau harus menahan teriakannya kala melihat jemari adik bungsunya bergerak pelan, seakan-akan Aariz antara terpaksa dan malu untuk menyuruhnya kembali berlutut. “Sini dulu Aariz mau bisikin sesuatu sama Aa,” kilahnya.

Harri tak menyimpan rasa curiga sehingga ketika ia dipinta untuk berlutut—menyamakan tinggi tubuhnya dengan tinggi tubuh Aariz. Laki-laki itu telah menyerahkan telinga kanannya ke hadapan mulut si kecil, sengaja agar mempermudah Aariz akan membisikkan suatu kata nantinya.

Namun, alih-alih mendengarkan kalimat yang dilontarkan Aariz, Harri justru merasakan pipi kanannya basah, pun suara kecupan setelahnya.

Apabila ditanya terkejut atau tidak, tentu saja sudah jelas terkejut. Pasalnya, di antara ketiga adiknya (Kaila, Aarash, dan Aariz) hanya si bungsu lah—Aariz—memiliki jiwa gengsi yang besar.

Jika diibaratkan sebuah lilin, mungkin saat ini ia akan meleleh dan menyatu dengan lantai di bawahnya yang kemudian akan terinjak-injak sang pemilik rumah tanpa rasa belas kasihan.

Bukan hanya Harri yang terkejut, Aarash yang sedari tadi hanya menyaksikan kejadian itu dengan satu gelas air minum di tangannya pun ikut terkejut. Bahkan parahnya, air yang seharusnya ia telan dan mengaliri tenggorokan justru membeludak keluar melewati celah-celah bibirnya yang terbuka.

“Mana cepet cium kepala Aariz!” ketus Aariz dengan rona merah yang sudah menghiasi kedua pipinya. Kaki si kecil menghentak, berusaha menyadarkan kakak sulungnya yang terlihat sudah terbawa jauh oleh segala pikiran dalam isi kepala.

Bukan Harri namanya jika memberikan keinginan si kecil dengan mudahnya. Laki-laki itu kembali menyodorkan pipi lain yang belum dikecup oleh adiknya. “Satu lagi belum, nanti pipi kiri Aa sirik. Sirik kayak Aariz liat Aa nyium Aarash,” ejek Harri.

Jika bukan karena Aarash, mungkin Aariz tak akan pernah mau mengabulkan keinginan kakaknya yang tak bosan selalu menjahilinya.

Cup!

Harri bangga. Entah pergi ke mana ego si bungsu saat ini, sebab Harri teramat senang diberikan kecupan oleh kedua adiknya yang sangat sulit ia pinta apabila bukan dalam keadaan seperti sekarang ini.

Harri mengulas senyuman. Tangan laki-laki itu terulur untuk meraih kepala Aariz dan segera memberikan kecupan hangat pada pundak kepala adiknya itu.

Aariz senangnya bukan main setelah merasakan kepalanya telah dikecup kakaknya. Terlampau senang, bahkan ia sampai menjulurkan lidah ke arah Aarash yang kini terlihat tak terima melihat adegan itu.

Aarash tahu betul raut wajah itu. Raut wajah kemenangan yang dihiasi ledekan di dalamnya. Aarash tahu itu.

Maka, Aarash dengan cepat menyimpan gelas. Kakinya ia bawa untuk menghampiri kedua orang itu yang masih berdiam di tempatnya.

“Aa, Aarash mau lagi dicium Aa yang lama!”

Tubuh Harri sempoyongan ketika merasakan tangannya ditarik begitu saja cukup bertenaga.

“Aariz juga mau lagi, Aa jangan cium Aarash!”

Tangan kanan ditarik Aarash, lalu tangan kiri ditarik Aariz. Tubuh Harri bergerak ke kanan dan ke kiri setiap detiknya berlalu.

“Ini Aa Aarash!”

“Ini Aa Aariz!” sahut Aariz tak mau kalah.

Sementara Harri yang berada di tengah-tengah situasi saat ini hanya bisa memejamkan mata dan berusaha menulikan pendengarannya yang sukses dibuat pegang oleh kedua adiknya.

“Udah, udah!” Harri melepaskan cengkeraman dari tangan kedua adiknya.

“Aarash mau main sama Aa,” ucap Aarash menatap Harri sembari memperlihatkan sorot mata penuh harap.

Aariz menggeleng ribut. “Jangan sama Aarash, Aa mainnya sama Aariz aja!” balas Aariz, berusaha meraih kembali tangan Harri namun gagal, sebab Harri lebih dulu melangkah mundur.

“Lepasin dulu!” Harri melepaskan kedua tangan si kembar yang sedari tadi menarik dirinya ke arah yang berlawanan. “Iya, iya! Nanti Aa main sama kalian berdua,” tenang Harri, tatapannya bergerak mengelilingi tempat yang tengah ia pihak. “Tapi, boong. Kabuuuur!” Harri berlari setelah mengetahui jalan pintas mana yang akan ia lewati agar terbebas dari si kembar yang sedang merebutkan dirinya.

“AA!” teriak Aarash dan Aariz kompak melihat kakak sulungnya meninggalkan keduanya di dapur.

Apabila sudah begini, kabur menjadi salah satu alasan terbaik untuk terbebas dari kedua adiknya. Lelah rasanya ketika tubuhnya hanya satu, namun si kembar tak mau saling mengalah untuk mengajaknya main ini dan itu. Padahal setelah dipikir-pikir main bersama adalah pilihan yang terbaik. Bukannya yang satu minta main robot-robotan dan satu lagi minta main bola. Ingat, dirinya bukan amoeba yang bisa membelah diri begitu saja!


Kolase Asmara Universe

by NAAMER1CAN0


Syifa mengetuk-ngetukkan bosan jemari lentik miliknya itu di atas etalase kaca. Tangan lainnya yang terbebas setia menopang dagu sang empu sembari sesekali tatapan gadis itu mengelilingi ruangan yang cukup padat oleh para pengunjung yang berdatangan.

Lembaran kertas yang sudah tersusun rapi di bawah lengannya seakan tak dipedulikan oleh seorang pria di depan sana. Jangankan untuk mendatanginya, untuk sekadar pria itu menoleh ke arah ia dan kumpulan kertas itu pun tak melakukannya.

Jika ia tahu bahwa fotokopi ini sedang ramai oleh pengunjung, mungkin ia akan berbalik arah untuk menuju tempat fotokopi di seberang. Namun, apa yang bisa ia lakukan ketika sebuah ibarat bahwa nasi pun sudah menjadi bubur.

Tubuh Syifa refleks menegak kala melihat pria itu justru menghampiri seorang siswi yang ia pastikan bahwa sosok gadis itu belum genap sepuluh menit berada di dalam ruangan ini. Kedua alis Syifa saling bertaut; garis-garis pada dahinya kian tercetak dengan raut wajah menahan penuh rasa kesal.

“Pa, kok dia duluan?! Kan, Syifa duluan yang udah selesai nge-print-nya dari tadi!” keluh Syifa tak terima dirinya diterobos begitu saja oleh salah satu pengunjung di sana.

Jari-jari pria itu bergerak cepat seiring rentetan kalimat yang terus-menerus disenandungkan oleh gadis itu. “Bentar, ya, Neng. Ini nanggung soalnya cuman nge-print aja tanpa ngejilid,” tenang sang pemilik fotokopi, berharap setelahnya pria itu tak akan dilempari oleh kalimat protes secara bertubi-tubi.

Syifa tak peduli jika dirinya dianggap tak sopan oleh seorang gadis yang kini sedang menatap tak suka ke arahnya—apalagi ia sendiri tak mengetahui asal-usul gadis itu, entah siswi yang sepantar dengannya; lebih muda; atau bahkan parahnya lebih tua. Syifa tak memikirkan sampai sejauh itu, sebab ada hal lain yang lebih penting ia pikirkan. Ucapan darinya pun hanya sebatas rasa impulsif belaka di luar kendalinya kala itu.

Ingin kembali mencecar dengan berbagai kalimat yang belum sempat ia salurkan, namun ia pun mau tak mau harus menelan paksa rentetan kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya sebab tak ingin dirinya dicap sebagai orang tak sabaran.

Selepas asyik bergelut dengan isi pikirannya, pria itu akhirnya datang dan mulai meraih tumpukkan lembaran kertas itu yang sudah ia rapikan sesuai nama pemiliknya.

“Mau dijilid warna apa, Neng?”

“Biru, ya, Pa.”

Pria itu membalas ucapannya dengan anggukkan. “Ada print gambar berwarna nggak, Neng?” Sang pemilik fotokopi menekuk lembaran kertas itu untuk menghitung berapa banyak kertas yang terpakai dengan cara cepat. Ada rasa takjub ketika Syifa asyik menatap kejadian itu bahkan tanpa berkedip sedikit pun.

Lantas, saat ia kembali teringat dengan pertanyaan terakhir yang diucapkan pria itu, Syifa bergegas menggelengkan kepala. “Nggak ada, Pa. Paling print gambar logo sekolah aja di awal,” sahut Syifa setelah tersadar dari lamunan.

Hal yang paling disenangi olehnya ketika harus berada di tempat fotokopi adalah melihat pemandangan sang pemilik dengan telaten menyulap kertas tak beralaskan itu dengan berbagai kertas yang memiliki warna dapat memanjakan indra penglihatannya. Apalagi ketika tumpukkan kertas itu dipotong untuk menyesuaikan ukuran dengan kertas berwarna di bawahnya. Aneh memang,

Hingga akhirnya….

“Semuanya lima puluh sembilan ribu, ya, Neng.”

Lamunan ia terhentikan oleh suara pria itu yang telah menginterupsinya. Sontak jemari Syifa terulur untuk meraih meraih dua lembar uang berwarna biru dan ungu untuk diserahkan kepada orang tersebut.

Neng, nggak ada kembalinya. Seribunya mau di-ke-permenin aja nggak?” tawar pria tersebut sukses membuat Syifa mendecih pelan. Bukan karena ia tak suka karena kembaliannya tidak berbentuk uang, melainkan setelah ia harus bersabar antreannya diserobot, lalu sekarang kesialan lain mendatanginya secara bertubi-tubi.

“Boleh, tapi Syifa mau permen kopiko, ya, Pa.”

Maka, agar pria itu dapat melayani pelanggan lainnya yang telah saling menunggu satu sama lain, pria itu meraih beberapa permen sesuai permintaan gadis itu dan diserahkan kepada sang empu.

Maka, agar pria itu dapat melayani pelanggan lainnya yang telah saling menunggu satu sama lain, pria itu meraih beberapa permen sesuai permintaan gadis itu dan diserahkan kepada sang empu.

“Terima kasih, Pa!”

Tiga kata tersebut menjadi akhir dari pertemuan mereka, sebab kini Syifa telah berancang-ancang meninggalkan tempat fotokopi itu. Sementara pria pemilik tempat itu sudah berpindah pada pelanggan lain dan melakukan hal sama kepadanya seperti beberapa menit yang lalu.

“Udah ngantre lama, kembalinya pake permen, eh permennya susah dibuka gara-gara kepanasan!” rutuk Syifa.

Tumpukkan makalah yang cukup tebal itu ia apit di antara ketiaknya, sedangkan jemarinya sibuk membuka bungkus permen yang entah mengapa permen itu seakan tak menginginkan untuk disantap olehnya.

Arghh, kesel sendiri Syifa bukanya juga!”

Malang sekali, tanpa melibatkan rasa kasihan permen dengan bungkus sudah tak beraturan itu Syifa lempar sembarang arah. Masa bodoh dengan racauan dari permen itu nanti, Syifa tidak memedulikan akibat rasa kesal yang masih menyelimuti dirinya.

Syifa melirik ketiga permen lain yang tengah asyik bersemayam di kantong seragam miliknya itu, niat ingin meraihnya dan melempar seperti permen sebelumnya, namun dengan cepat ia mengurungkan niatnya. Perkataan ibunya kembali terngiang-ngiang untuk tidak membuang-buang makanan, pun tak boleh membuang sampah sembarangan. Lantas, bekas permen yang sudah dibuang olehnya, Syifa kembali raih dan membuangnya di tempat sampah yang tak jauh dari tempatnya berada.

“Maaf, ya, permen tadi Syifa buang, soalnya kamu ngeselin!” ucap Syifa sembari menatap iba tong sampah di depannya.

Getaran pada saku rok sekolah itu berhasil menjadi sebuah alarm untuknya. Syifa menepuk jidatnya tak berperasaan. Kulit putih itu perlahan berubah menjadi merah akibat tindakannya beberapa sekon lalu. “Syifa hampir aja lupa buat cepet-cepet nyerahin tugas makalah ini sebelum pelajarannya selesai!” Gadis itu terburu mengangkat sedikit rok sekolah hingga di atas mata kaki agar tak menyulitkan dirinya dalam berlari.

Suara klakson yang terdengar nyaring lantaran tak sabaran dibunyikan oleh saban insan di dalam kendaraan roda empat itu mengalun ramai dan mengisi penuh indra pendengarannya. Lengkap sudah ketika para kendaraan itu entah mengapa justru seperti tengah saling menunggu kendaraan lainnya untuk melaju. Entah datang dari mana, angkutan umum berwarna hijau biru muda itu mulai memenuhi jalanan yang tengah ia telusuri untuk kembali ke lingkungan sekolah. Sepanjang perjalanan ia dapat merasakan bagaimana tiap pengendara tengah menahan amarah di tengah-tengah kemacetan pun keadaan cukup terik. Panas, pengap, pegal, dan bosan. Tanpa harus mengalaminya, ia cukup paham yang sedang dirasakan para pengendara di sana.

Kedua kakinya sibuk melangkah sembari melafalkan kalimat permintaan agar jalanan menuju sekolahannya tak semacet seperti sekarang ini. Perlahan macet oleh kendaraan itu berangsur mereda. Tak ada lagi para kendaraan yang berbondong-bondong saling berlomba siapa yang paling lama berdiam diri di bawah panasnya sang surya. Kini hanya ada keadaan jalanan yang padat merayap. Syifa sendiri cukup dibuat heran dengan jalanan itu yang tiba-tiba macet, tak seperti biasanya.

Syifa mempercepat langkahnya ketika zebra cross di depan sana sudah mulai terlihat. Kepala gadis itu bergerak ke kanan dan ke kiri, memperhatikan tiap kendaraan yang terus berlalu-lalang tanpa berniat untuk mengistirahatkan sejenak mesin itu, sekadar memberikan sedikit jalan untuknya menyeberang.

Syifa diselimuti penuh keraguan tatkala kaki gadis itu baru saja mengambil satu langkah untuk berada di garis start zebra cross, namun sayangnya langkah tersebut justru dibawa kembali ke tempat sebelumnya saat tiba-tiba sebuah motor cukup kencang melintasinya begitu saja.

“Harusnya kalau ngelewatin zebra cross itu jalanin motornya pelan-pelan!” gerutu Syifa, meskipun kalimat penuh rasa kesal itu tak sampai kepada telinga sang pengendara. “Bukannya ada peraturan berkendara kalau ngelintas ke tempat-tempat kayak sekolah gitu kecepatan kendaraannya harus dikurangi, ya?” tanya Syifa kepada diri sendiri.

Setahu dirinya, pada tiap sekolah memiliki Zona Selamat Sekolah (ZoSS). Salah satu contohnya tidak memperbolehkan berkendara di kawasan sekolah lebih dari 30 km/jam atau bahkan 40 km/jam sesuai dengan rambu lalu-lintas yang terpasang di sekitar sekolah. Tolong ralat dirinya jika informasi masih kurang tepat. Namun, ia cukup yakin dengan informasi yang pernah dijelaskan oleh ayahnya ketika di rumah kala itu.

“Mau ke mana, Syifa?”

Sedang asyik-asyiknya bergumul dengan isi pikirannya, sekonyong-konyong kalimat itu terucap di tengah-tengah suasana cukup bising lantaran beberapa kendaraan yang melintas memakai knalpot yang sudah jelas-nelas melanggar etika pun peraturan dalam berkendara.

“KAK JAYA?!”

Entah terkejut atau senang, yang pasti kedua mata gadis itu sukses membulat sempurna. Seper sekian detik kemudian kedua mata itu menyipit sebab gadis itu saat ini tengah mati-matian menarik kedua ujung bibirnya.

“Syifa mau ke mana?” ulang Jaya, menatap bergantian antara gadis itu yang sedari tadi berdiam diri di pinggir jalan, lalu menatap gerbang sekolah di seberang sana.

“Syifa tadi abis dari tempat fokotopi-an bawah, abis nge-print tugas bahasa Indonesia kelasnya Syifa, Kak Jaya!” Syifa mengangkat makalah itu, memberi bukti konkret atas balasan dari pertanyaan kakak kelas itu.

Jaya merespons jawaban itu dengan menganggukkan kepalanya pelan.

Syifa menatap heran laki-laki di sampingnya yang secara tiba-tiba muncul di sekitarnya. “Kak Jaya sendiri ngapain ada di sini?” tanya Syifa balik.

Jaya melirik ke arah belakang yang Syifa sendiri tak tahu ke arah mana laki-laki menunjuknya. “Jaya abis mindahin motor ke parkiran halaman rumah Bu Tatiek.”

“Lho, kenapa dipindahin?” Syifa bertanya dengan kedua alis yang menyatu.

“Biar bisa bolos mata pelajaran bimbingan konseling di Aula nanti,” timpal Jaya penuh kejujuran.

Syifa menepuk dahi setelah mendengar jawaban yang ia tak pernah menyangka bahwa laki-laki itu akan mengatakan hal tersebut. “IH, KAK JAYA BANDEL!” Sementara Jaya yang telah berucap demikian hanya merespons ucapan itu dengan tawa kecil.

Lantunan tawa itu seketika terhenti setelah menyadari ada pertanyaan lain yang akan ia sampaikan. “Kenapa nggak nyeberang?” heran Jaya, memandang gadis itu bergantian dengan objek di hadapannya.

“Jalanannya dari tadi belum kosong-kosong juga, Kak Jaya.”

Syifa bukan sedang menjual kisah menyedihkan agar mendapat perhatian dari laki-laki itu, bukan. Hanya aja kekurangan lainnya yang Syifa punya yaitu tak bisa melintasi jalan raya yang ramai akan kendaraan yang berlalu-lalang, terkecuali jalanan itu cukup sepi, baru ia bisa leluasa melintasi tanpa harus bantuan orang lain.

Dahi Jaya mengernyit. “Oh alah, ternyata Syifa nggak bisa nyeberang, ya.” Ada nada kekehan kecil setelah selesai kalimat itu ia ucapkan, namun lantunan tawa itu tak terdengar oleh gadis itu, sebab mampu tertimpa oleh suara kendaraan yang mendominasi.

Baru saja ia ingin menepis perkataan dari kakak kelasnya itu dan mengklarifikasi bahwa dirinya bukan tidak pandai dalam menyeberang, hanya saja kendaraannya dari tadi saling egois tak memberinya waktu untuk melintas walau beberapa detik. Dasar denial. Padahal sudah jelas-jelas ia memang tak bisa karena rasa takut yang menyelimuti dirinya.

“Ya udah, ayo, bareng Jaya. Jaya juga mau balik ke sekolah,” ajak Jaya.

Syifa bahkan belum mengiakan kalimat itu, tetapi Jaya sudah lebih dulu melangkah untuk melintasi jalanan cukup mengerikan untuknya. Katanya ngajak nyeberang bareng, tapi kenapa Kak Jaya malah nyeberang sendirian!

Merasa dirinya tak diikuti oleh seseorang di belakang, pun ia tak mendengar sayup derap langkah kaki yang lain, Jaya segera membalikkan badan. Alih-alih mengikuti langkahnya, gadis itu masih diam sembari memperlihatkan tatapan penuh rasa takut.

“Ayo nyeberang.”

Kepala laki-laki itu bergerak seolah tengah memberi isyarat kepada Syifa yang masih asyik berdiam diri. Melihat laki-laki itu akan kembali meninggalkannya, Syifa dengan cepat membawa kedua kakinya untuk mengikuti langkah Kak Jaya. Salah satu tangannya yang terbebas itu tanpa disadari telah menarik belakang seragam kakak kelasnya, bahkan gadis itu sampai meremasnya. Untung saja tak membuat seragam laki-laki itu keluar.

Merasa ada seseorang yang sedang menarik belakang seragam sekolahnya, Jaya otomatis menoleh. Ia cukup dibuat terkejut ketika dapati sang adik kelas seolah tengah menjadikan seragam sekolahnya sebagai panduan untuk gadis itu melangkah.

Jaya melirik lengan gadis itu sejenak, kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke depan seperti semula. Lantas, entah rasa keberanian itu datang dari mana, kini lengannya telah mencengkeram erat pergelangan tangan sang adik kelas. Pun, cengkeraman pada seragam laki-laki itu otomatis terlepas kala tangannya ditarik pelan oleh sang empu.

Syifa sukses membeku kala merasakan jelas bagaimana dinginnya dari telapak tangan laki-laki itu mampu meredakan rasa panas pada kulitnya. Apabila laki-laki itu tak berjalan dengan menggerakkan tangan, mungkin ia akan berdiam diri di tengah-tengah zebra cross, bahkan mungkin ia akan dilayangkan oleh bising suara klakson yang tak terima akibat kehadirannya yang membuat para pengendara tak dapat melajukan kendaraan.

Seper sekian sekon kemudian dahi Syifa mengernyit, menatap hampa tangan kanannya yang sudah tak dicengkeram oleh laki-laki itu. Sadar tak sadar ia meloloskan napas kekecewaan akibat kejadian itu.

Namun hal itu tak berangsur lama ketika laki-laki itu kembali menggenggam pergelangan tangannya disertai posisi sang empu yang telah berpindah ke sisi sebelah kiri—semula Kak Jaya berada di sisi sebelah kanannya. Kepala Syifa spontan mendongak, menatap tak percaya bahwa kakak kelasnya akan kembali menggenggam tangan miliknya. Banyak hal yang ingin ia ucapkan, sebenarnya, tetapi ia lebih memilih untuk menelan semua pertanyaan yang sudah siap ia tuturkan demi menikmati tiap detik waktu yang berjalan dengan laki-laki itu. Tak ingin ada sisa waktu yang terlewatkan secara sia-sia, tentunya.

Seharusnya Syifa saat ini menatap jalananan di depan atau bahkan menatap jalanan di bawahnya yang sedang sibuk ia lewati. Akan tetapi pandangan ia justru dipenuhi oleh cengkeraman laki-laki itu pada pergelangan tangannya. Tolong ingatkan ia nanti untuk tak membasuh pergelangan tangan kanannya atau tolong ingatkan untuk siapapun tak boleh menyentuh pergelangan tangan kanan miliknya sampai waktu yang akan ditentukan nanti.

Yah. Syifa mengerang kecewa kala cengkeraman laki-laki itu terlepas begitu saja setelah mereka berhasil sampai di gerbang sekolahnya.

“Kenapa nggak masuk?” Jaya cukup keheranan melihat gadis itu terus-menerus terdiam sembari menatap dirinya tanpa berkedip. Jujur saja dirinya cukup salah tingkah ditatap seperti itu, takut akan ada suatu hal aneh pada wajahnya.

Syifa menggeleng, menepis jauh-jauh lamunan dirinya. “Kak Jaya sendiri kenapa nggak masuk?” Bukannya menjawab, Syifa malah menimpali pertanyaan itu dengan pertanyaan baru.

“Jaya masih harus mindahin motor temen Jaya dulu.”

Syifa lagi-lagi mengangguk, sebab tak tahu harus merespons apalagi.

“Uhm… Kak Jaya.”

Jaya menoleh dengan salah satu alis yang terangkat.

“Tangannya sakit nggak?” Syifa menunjuk kedua tangan laki-laki itu melalui tatapannya. “Soalnya tadi abis genggam pergelangan tangan Syifa,” ucap Syifa malu-malu, kepala gadis itu tertunduk sampai kalimatnya selesai ia ucapkan.

Jaya yang diberi pertanyaan itu tanpa sadar mengikuti arah tunjuk adik kelasnya yang telah membantu mengobati lukanya akibat permainan bola pada istirahat pertama.

Anying, ini anak frontal banget ngomongnya. Mana malah aing yang salah tingkah denger omongannya. “Oh,” seru Jaya, menengadahkan kedua telapak tangannya. “Nggak sakit, kok.” Jaya mengangkat telapak tangan penuh goresan itu dan mensejajarkan dengan tatapan Syifa saat ini.

Syifa tersenyum, cukup lega mendengar jawaban itu. Suasana di antara mereka seketika menghening. Baik Syifa maupun Jaya tak ada lagi yang ingin melontarkan kalimat lainnya.

“Ngomong-ngomong Kak Jaya pasti malu, ya, pake plester yang dari Syifa tadi pagi.”

Mampus. Pandangan Jaya terjatuh pada sebuah plester yang terlihat jelas di balik seragam celananya. Bagaimana tak dapat terlihat ketika kain abu-abu itu justru mempertontonkan lukanya dengan sukacita kepada siapapun.

“Eh, plesternya ada, kok, di kelas Jaya.” Jaya memang tak sepenuhnya bohong, lantaran beberapa plester yang diberikan gadis itu memang betul-betul telah ia simpan di tas miliknya yang berada di kelas. “Jaya ganti pake plester ini, soalnya….”

“Soalnya malu, ya, Kak?”

Jaya menggeleng dengan rasa panik. “Nggak!” Bahkan kedua tangannya ikut mengibas agar gadis itu dapat mempercayai ucapannya.

Syifa tak kuasa menahan tawanya ketika melihat raut panik yang tercetak pada wajah Kak Jaya. “Syifa bercanda doang, kok, Kak Jaya. Nggak dipake juga nggak apa-apa!”

“Nanti Jaya pake,” timpal Jaya cepat. “Tapi nggak di sekolah, nanti Jaya pakenya di rumah,” lanjut Jaya berhasil membuat gadis itu bungkam.

Wajahnya memang terlihat tenang, tetapi siapa sangka bahwa kini Jaya tak henti melontarkan berbagai sumpah serapah atas jawaban darinya secara spontanitas itu.

“Kalau gitu Jaya duluan, ya, Syifa, soalnya nanti takut keburu bel mata pelajaran selanjutnya.”

“Eh, bentar, Kak Jaya!” cegat Syifa.

Gadis itu buru-buru merogoh saku seragamnya setelah melihat laki-laki itu kembali membalikkan tubuh untuk menunggu kalimat apa selanjutnya yang akan ia ucapkan.

“Ini buat Kak Jaya!” Tiga permen sebelumnya yang berniat akan ia buang justru kini ia serahkan pada laki-laki itu.

Jaya terlihat kebingungan menatap ketiga permen yang berada di atas telapak tangan Syifa. “Maksudnya?” tanya Jaya.

“Ini permennya buat Kak Jaya, itung-itung udah bantuin Syifa nyeberang tadi!” Syifa menggerakkan tangannya, berusaha melempar sebuah isyarat agar Jaya segera meraih ketiga permen tersebut.

Mulanya Jaya akan menolak, sebab ia menolong adik kelas itu dengan ikhlas. Namun ketika melihat sorot penuh harapan dari gadis itu untuk ia meraih permen tersebut sukses mengurungkan niatnya dalam menolak pemberian Syifa.

Jaya mengangguk. “Makasih, ya, Syifa.” Ketiga permen itu telah Jaya raih, kemudian ia masukkan ke dalam saku seragam. Setelahnya laki-laki itu melemparkan sebuah senyuman sebelum akhirnya Jaya kembali melanjutkan langkahnya, takut apabila ia justru telat mengikuti pelajaran selanjutnya. Mengingat setelah jam pelajaran kosong ini berakhir adalah mata pelajaran dengan guru yang terkenal dengan ketegasannya. Iya benar, guru fisika yang ditakuti oleh seluruh murid di kelasnya.

Syifa tak bisa untuk menahan senyumannya saat lagi-lagi dunia seakan tengah berpusat kepadanya hari ini. Meskipun ia selalu mendapatkan potongan-potongan momen kecil, namun baginya itu sudah lebih dari cukup. Potongan kejadian cukup berarti yang harus selalu ia kenang, sebab ia tak tahu apakah nanti ia akan merasakan hal itu kembali?


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0


“Rul, oper, Rul!”

Syahrul mengedarkan pandangan, mencari sosok orang yang telah menyerukan namanya. Bola mata Syahrul kini dipenuhi oleh lambaian seseorang di seberang sana. Syahrul telah berancang-ancang akan menendang bola itu ke arah laki-laki yang sudah berdiri di sana dengan penuh percaya diri. Baru saja kaki kanannya akan menendang, tapi seseorang sudah lebih dulu menendang bola itu dari arah belakangnya.

BEGO SYAHRUL!” maki Aksara, laki-laki yang tadi meminta operan bola itu.

Aksara melimpahkan rasa kesal dengan memukul asal udara di sekitarnya. Apabila udara itu dapat hidup mungkin saat ini kedua telinga Aksara dipenuhi kalimat tak bersahabat akibat telah memukulnya secara tiba-tiba. Mulut Aksara tak berhenti bergerak, menandakan sang empu masih asyik melantunkan berbagai cemooh atas kejadian itu.

Sementara sang tersangka yang telah mengambil bola itu hanya bisa terkekeh dengan masa bodoh. Lagi pula mereka sedang bertanding untuk mendapatkan perolehan nilai tertinggi, jadi, sangat tidak masalah bukan?

Seorang laki-laki yang masih mengenakan jaket hitam di bawah terik sinar matahari siang ini spontan berlutut, memukul-mukul lapangan bak kesetanan ketika bola tersebut tak berhasil ia tangkap, pun artinya tim mereka kecolongan satu skor dari tim sang lawan.

“SYAHRUL TOLOL!

Lagi-lagi Syahrul menjadi kambing hitam atas kekalahannya. Setelah dipikir-pikir, itu kembali lagi pada keberuntungan tim mereka, sehingga dapat disimpulkan bahwa permainan kali ini belum menjadi kesempatan untuk mereka menang.

Jagat berlari menghampiri sang empu yang sudah membuat tim mereka memekik kegirangan atas skor baru yang berhasil dicetaknya. “Good job, Jay!” puji Jagat sembari mengepalkan lengan kanan di hadapan Jaya.

Jaya tersenyum sekilas di tengah-tengah kegiatan membalas kepalan tangan Jagat. Sesaat kemudian rekan-rekan satu timnya berbondong-bondong berlari dan melayangkan pelukan secara kompak untuknya. Jaya bukan sedang percaya diri, namun dilihat dari bagaimana ketika rekan-rekan setimnya berlari ke arahnya membuat rasa kepercayaan diri Jaya berkali-kali lipat mendominasi. Apalagi saat beberapa orang yang menonton di pinggir lapangan memberikan tepuk tangan meriah untuknya.

“HARRI SIA YANG BENER JADI KIPERNYA!” keluh Rakha. Wajah Rakha terlihat frustasi, terlihat dari laki-laki itu terus-menerus mengacak-ngacak rambutnya tak beraturan. Hal itu sontak seperti tengah memberi umpan kepada angin yang sedari tadi terus berkelana di sekelilingnya. Tiupan angin itu berhasil membuat sebagian rambut Rakha bergerak, pun turut menggerakkan seragam putih yang sudah tak rapi lagi.

Dipenuhi perasaan jengkel Harri melempar bola tersebut ke sembarang arah. “SIA AJA ATUH SINI YANG JADI KIPER BIAR SIA TAU KALAU JADI KIPER TEH TIDAK SEMUDAH KAYAK SIA MENCACI MAKI AING, YA, MONYET!” hardik Harri dengan kedua alis saling menyatu satu sama lain.

Beruntung suasana di sekitar mereka cukup ramai sehingga mampu meredam tiap-tiap rangkaian kata tak senonoh dilantunkan tim yang masih tak terima akibat kebobolan gawang begitu saja. Pun seakan alam sedang memihak kepadanya, sebab sedari tadi mereka tak dapat menemukan sang guru di sekitar mereka.

Seharusnya di waktu siang bolong ini mereka tengah menikmati satu piring nasi dengan berbagai lauk-pauk di atasnya, akan tetapi terkecuali pada istirahat hari ini mereka semua tampak lebih memilih berdiri di bawah sang surya tengah memancarkan sinar yang berkali-kali lipat terasa terik dari hari sebelumnya.

Mereka tak peduli dengan seragam yang sudah tak beraturan. Mereka tak peduli dengan keringat terus-menerus membasahi dan mengaliri tiap sisi wajahnya. Yang mereka pedulikan saat ini hanyalah melepas penat setelah digempur oleh berbagai mata pelajaran yang sukses sudah membuat otaknya mendidih.

Bahkan, Aksara dan Yolan yang notabenenya bukan anak XI IPA 4 pun mereka ikut bergabung untuk bermain bola bersama kelas tersebut. Padahal di lapangan sebelah terlihat jelas mereka sedang bermain basket, akan tetapi pada kesempatan ini kedua orang itu lebih memilih bergabung dengan permainan bola kaki.

Setelah saling mengumpat dan menyerukan ketidakadilan, permainan pun kembali dimulai. Kini Yolan tengah fokus menggiring bola untuk dimasukkan ke dalam gawang yang dijaga ketat oleh Harri. Hasan dan Jaya sibuk berlari mengikuti ke mana Yolan berlari—berancang-ancang apabila sewaktu-waktu Yolan akan mengoperkan bola kepada salah satu dari mereka. Sementara Jagat berdiam diri di depan Joni yang sedang menjaga gawang dari serangan sang lawan.

Ketika merasa bahwa dua orang dari tim lawan yang perlahan mencoba mendekatinya, Yolan bergegas menendang bola tersebut ke arah Jaya. Jaya yang cukup tahu gelagat dari Yolan segera mengatur posisi agar tendangan itu bisa pas menuju kedua kakinya. Tepat sekali. Kini bola itu sudah berada di antara kaki Jaya. Laki-laki itu sibuk menggiring dan menjauhkan asetnya dari sang lawan yang sedari tadi terus mengganggu.

Entah terlalu berlarut pada sebuah gawang di depan atau memang dirinya terlalu berambisi untuk mencetak gol kembali, atas kelengahan dirinya Jaya dibuat terkejut dengan sebuah kaki yang secara tiba-tiba muncul untuk merebut bola itu sampai akhirnya….

Brugh!

Badan Jaya sukses tersungkur dengan kedua telapak tangan mencoba menahan agar wajahnya tak langsung mengenai lapangan di bawahnya.

“Jay!”

Yolan terkejut dan langsung berlari menghampiri Jaya yang masih terdiam sembari berlutut. “JAY SI KAMU NGGAK APA-APA?!” Yolan begitu panik ketika melihat tak ada pergerakan apapun dari Jaya selain rintihan kesakitan yang sedang laki-laki itu tahan dengan mati-matian.

Anjing, siapa tadi yang sliding aing?” tanya Jaya dengan intonasi suara cukup rendah. Jaya perlahan menarik kedua tangannya yang semua berada di atas lapangan. Jaya meringis saat menyadari beberapa batu-batuan telah memenuhi telapak tangannya, pun luka gores yang tertutupi pasir-pasir halus.

ANJIR, INI MAH SI KAMU HARUS CEPET-CEPET KE UKS!”

Jaya mengangkat kepala, lalu berdiri secara perlahan. Ia mencoba mengepalkan kedua telapak tangan untuk menghilangkan rasa denyut yang terus-menerus menghujam permukaan kulitnya.

“Jay, sorry, Jay, aing nggak bermaksud tackle maneh asli!” Cipta menyatukan kedua tangan sembari menundukkan kepala akibat rasa bersalah telah membuat teman satu kelasnya cedera.

Jaya tersenyum dan mengangguk. Ia tak tahu mengapa perasaan marah yang semula membludak itu seketika lenyap. “Santai,” ucap Jaya sekilas.

Jaya membalikkan tubuh, mengangkat kedua tangannya di udara. “Aing ke UKS dulu, maraneh lanjutin aja.” Jaya melirik ke arah sekitar untuk menemukan seseorang untuk mengganti dirinya dalam bermain bola. “Ilyas! Gantiin aing, dong.” Ilyas yang kebetulan tak sedang melakukan aktivitas apapun itu langsung mengangguk dan bergabung ke dalam lapangan untuk menggantikan Jaya.

“Mau dianterin nggak?”

Jaya menjawab pertanyaan Jagat dengan sebuah gelengan. “Nggak perlu, anjing. Aing bukan anak kecil, kali.” Jaya berdecak kesal. Semanja-manjanya ia di dalam rumah, tak mungkin pula akan memperlihatkan sifat itu kepada rekan-rekan sekolahnya.

Sepanjang perjalanan Jaya sibuk membersihkan pasir dan bebatuan kecil yang memenuhi permukaan kulit telapak tangannya. Selama itu pun ia berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Bayangkan saja, tubuhnya terhempas cukup kencang sehingga tanpa persiapan apapun ia hanya mengandalkan kedua tangannya sebagai pelindung bagian tubuhnya yang lain. Pun, sayangnya usaha tersebut sia-sia sebab kini salah satu celana laki-laki itu sudah bolong akibat kejadian beberapa saat lalu.

Kedua kaki jenjang Jaya menyusuri tiap-tiap lorong untuk menuju ruangan UKS. Jaya awalnya cukup tak percaya diri bahwa ruangan itu akan terbuka, sebab saat ini adalah sedang waktu istirahat berlangsung. Jaya pastikan mereka yang bertugas untuk berjaga pun sedang melaksanakan istirahatnya.

“Eh, Kak Jaya ngapain ke sini?”

Suara itu. Jaya cukup kenal dengan suara itu. Lantas Jaya segera mendongak dan tepat sekali. Pemilik suara itu tak lain adalah adik kelasnya yang kemarin malam sukses membuat dirinya dilanda kebingungan.

Jaya menyembunyikan kedua lengan di balik punggungnya. “Mau minta obat merah, ada kan di dalem?” tanya Jaya, menatap Syifa dan ruangan UKS yang sudah tertutup rapat itu secara bergantian.

“Obat merah?” Kedua mata Syifa mengedip cepat. “Obat merah buat siapa emangnya Kak Jaya?” Ini bukan semata-mata dirinya ingin membangun sebuah konversasi kecil di antara mereka, bukan. Hanya saja ia berhak tahu sebagai anggota dari ekstrakurikuler PMR.

“Buat Jaya.”

Syifa spontan menelaah penampilan kakak kelasnya itu dari ujung rambut hingga ujung kaki, namun belum sampai kaki laki-laki itu Syifa dibuat terkejut ketika dapati lutut celana kakak kelasnya itu sobek dengan sebagian luka gores pada lutut laki-laki itu.

“Kak Jaya abis jatoh?”

Jaya mengangguk. “Iya, ada kan obat merahnya di dalem?” ulang Jaya, tak ingin membuang-buang waktu untuk sekadar berdiri dan berdiam diri di depan pintu yang masih tertutup rapat. Karena demi apapun semenjak ia berjalan hingga telah sampai pada tempat tujuannya, rasa denyut itu belum hilang juga.

“Ada!” Syifa mengangguk, salah satu tangannya bergerak untuk meraih kunci ruangan tersebut. “Ayo, Syifa bantu obatin lukanya Kak Jaya!” Tangan kiri gadis itu telah berada di knop pintu, sementara tangan lainnya berusaha membuka kunci ruangan dengan tergesa—tak ingin membuat pasiennya menunggu lama.”

Cklek!

Pintu itu telah terbuka sempurna. Syifa perlahan mendorong pintu ruangan itu. Decit suara bawah pintu yang bergesekkan dengan lantai di bawahnya cukup mengganggu indera pendengaran mereka berdua. Jaya melirik ke arah lantai yang telah dipenuhi oleh puluhan pasir halus yang sudah berkumpul satu sama lain seakan hanya tempat itu satu-satunya yang dapat menerima kehadiran mereka.

Jaya mengikuti langkah gadis itu untuk berjalan ke dalam ruangan UKS. Bau ciri khas obat-obatan yang bercampur obat mereka menyeruak dan berbondong-bondong berusaha memasuki indera penciumannya. Tenang, sunyi, dan sejuk menjadi salah satu kata sambutan dari mereka ketika ia telah berhasil berada di dalam ruangan itu.

“Kak Jaya tangannya dicuci dulu, ya, sambil Syifa mau nyari obat merahnya dulu.”

Jaya mengangguk, berjalan ke arah wastafel untuk membersihkan tangannya dari kotoran yang menempel. Gemercik suara air yang mengalir mulai tercipta di tengah-tengah suasana sunyi. Kepala Jaya menunduk seiring dengan kedua tangan sibuk membersihkan luka gores tersebut. Semula bulir-bulir keringat yang telah memenuhi wajahnya kini tak tersisa sedikit pun. Entah pergi ke mana Jaya pun tak tahu.

“Sini duduk, Kak Jaya, Syifa mau kasih obat merahnya,” ucap Syifa selepas Jaya telah menutup kran air tersebut, menepuk kursi di sebelahnya yang kosong.

Jaya membalikkan tubuh, mengibas-ngibaskan tangan agar air pada tangannya akan segera menghilang selagi berjalan ke arah kursi yang dimaksud adik kelasnya.

“Kayak gini Kak tangannya.” Syifa memperagakan kedua telapak tangan yang menengadah, sengaja agar Syifa dapat mengobati luka itu dengan mudah.

Jaya tak banyak berkomentar, laki-laki itu langsung menuruti setiap titahan yang diminta adik kelasnya.

Syifa meraih dua helai tisu untuk menghilangkan bekas air yang masih tercetak jelas pada kedua tangan laki-laki itu dengan hati-hati. “Kak Jaya abis jatoh dari mana, kok, sampe kayak gini,” penasaran Syifa di sela-sela kegiatannya. Kepala gadis itu mendongak sebentar untuk menatap sang kakak kelas yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Ketika gadis itu kembali menundukkan wajah, Jaya segera membalasnya. “Abis main bola.” Syifa manggut-manggut. Kini jemari gadis itu dengan lincah meraih beberapa kapas sebelum akhirnya obat merah itu sudah Syifa teteskan secara perlahan ke atas permukaan kapas putih.

“Eh.” Jaya menginterupsi kegiatan gadis itu dengan menarik kembali kedua lengannya penuh keraguan.

Syifa menoleh, memberikan tatapan penuh tanya. “Kenapa Kak Jaya?” tanya Syifa.

Jaya menunjuk sekilas ke arah botol obat merah yang terbuka. “Perih nggak itu obat merahnya….” Jaya berucap dengan nada lirih, kemudian membuang sembarang tatapannya.

Syifa terkekeh. “Kak Jaya takut sama obat merah?” ledek Syifa, mengangkat kapas dipenuhi obat merah itu ke arah sang kakak kelas.

“Nggak.”

“Terus kenapa nanya perih atau nggak?”

“Ya… nanya aja, emang nggak boleh?”

“Nih, ya, Kak Jaya. Kalau misalnya Kak Jaya takut diobatin sama obat merah berarti tandanya Kak Jaya nggak boleh jatoh-jatoh lagi! Main bolanya harus lebih hati-hati!”

Jaya udah hati-hati kali, tapi emang lawan main Jayanya aja yang main kayak kesetanan, batin Jaya. Ia hanya terdiam dan membiarkan gadis itu menyelesaikan ucpannya tanpa berniat untuk menginterupsinya barang sedetik.

“Udah sama Jaya sendiri aja obatinnya.” Tangan Jaya kembali menengadah, berharap gadis itu akan memberikan kapas yang sudah dipenuhi obat merah tersebut kepadanya.

Syifa menggeleng. “Justru kalau diobatin sama diri sendiri bakalan kerasa lebih sakit tau, Kak!”

“Ya udah, kalau gitu pelan-pelan.”

Syifa tersenyum puas ketika laki-laki itu kembali menyerahkan kedua tangannya. Maka agar tak menyia-nyiakan kesempatan itu, Syifa kembali mengambil sebuah kapas baru dan meneteskan obat merah untuk ia oleskan ke atas permukaan kulit sang kakak kelas itu.

“Perih nggak, Kak?” Jaya menggeleng menjawab pertanyaan itu.

Napas Jaya tercekat ketika merasakan terpaan angin pelan pada kedua tangannya. Ia terbelalak sesaat ketika menyadari angin tersebut berasal dari mulut sang gadis yang tengah meniup kedua tangannya. Jaya membeku. Ia tak pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya.

“Luka Kak Jaya yang di tangan jangan ditutup, ya. Tapi Kak Jaya harus hati-hati jangan sampe nanti kena batu atau pasir lagi.”

Jaya mengangguk, kendati kalimat itu tak terdengar jelas sebab pikirannya saat ini sedang dipenuhi oleh hal lain.

“Luka Kak Jaya yang di lutut mau Syifa yang pasangin atau Kak Jaya sendiri yang pasangnya?”

Belum genap dua detik kalimat itu tersampaikan, Jaya buru-buru menyambarnya. “Jaya.” Tangan laki-laki menengadah. “Jaya sendiri yang pasang.” Syifa segera menyerahkan kain kasa itu kepada Jaya yang beruntungnya laki-laki itu dengan cepat meraihnya tanpa harus susah payah Syifa mengulangi kalimatnya.

Baru beberapa detik kain kasa serta plester itu berpindah ke tangan milik Jaya, namun seketika tatapan Jaya sukses dipenuhi oleh berbagai pertanyaan.

Jaya menatap benda pada genggamannya. “Plesternya emang nggak ada yang lain?” tanya Jaya ragu.

Syifa mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan untuk menatap sebuah barang yang masih setia laki-laki itu pegang seakan tak ada niat untuk segera memasangkannya pada luka terbuka itu.

Syifa menggeleng. “Nggak ada lagi, Kak. Itu plester yang biasa dibawa Syifa, soalnya kalau mau ambil plester biasa kunci lemarinya ada di Ibu Rita,” jelas Syifa. Ia dapat mendengar jelas suara helaan napas yang dikeluarkan dari mulut kakak kelas itu seperti tengah memikul beban yang sangat berat.

“Kak Jaya keberatan, ya, pake plester itu?” tanya Syifa. “Atau mau coba Syifa beliin dulu ke warung belakang buat plesternya biar Kak Jaya nggak pake plester yang itu?”

Jaya menggeleng cepat. “Nggak usah, udah pake yang ini aja.”

Jaya memang sedikit risih dengan pola gambar dari plester itu yang tak konkret dengan usianya saat ini, akan tetapi jika keegoisannya justru membuat orang lain kesusahan, maka mau tak mau ia harus menerima itu.

Jaya spontan mengaduh kala kulitnya yang memiliki luka itu bersentuhan langsung dengan obat merah yang masih basah dan sangat terasa pada permukaan kulitnya. Ia segera menggigit bibirnya untuk meredam semua ucapan bahkan erangan kesakitan yang mungkin tak sadar akan dilontarkan olehnya. Lututnya kini berdenyut. Tiap denyutan itu ia melontarkan segala kalimat yang tak sepatutnya ia ucapkan di dalam hati.

Syifa menarik kedua ujung bibirnya kala melihat laki-laki itu tengah mengobati lukanya sendiri. Entah apa yang telah merasuki dirinya, hingga senyuman itu tiap detiknya justru makin melebar. Di antara semua objek dan kegiatan yang bisa ditatap olehnya, entah mengapa pandangan serta perhatian miliknya secara tiba-tiba terjatuh pada rambut laki-laki itu yang sedari tadi terus mengikuti arah gerak sang empu—terhempas ke kanan; kiri; bawah; dan atas dengan bergantian.

Jaya mengernyit ketika mendapati Syifa yang tengah menatapnya tanpa berkedip sedikit pun. “Kenapa?” tanya Jaya setelah menyelesaikan untuk memasang kain kasa pada luka lututnya.

“Eh?” Syifa mengerjap cepat ketika kesadarannya kembali. Ia cukup malu saat laki-laki itu menyadari bahwa tengah memergoki dirinya yang menatap ke arah sang kakak kelas tanpa berkedip. “Nggak, bukan apa-apa, Kak. Syifa cuman penasaran sama sesuatu….”

“Apa?”

Syifa menelan ludah. Ia sibuk menimang-nimang apakah ia harus mengatakan hal ini atau sebaliknya.

“Penasaran apa?” ulang Jaya sebab gadis itu tak kunjung menjawab pertanyaan darinya.

Hair routine Kak Jaya apa aja?”

Alis Jaya menukik. “Maksudnya?”

“Syifa mau tau hair routine-nya Kak Jaya, soalnya Syifa perhatiaan kayaknya rambut Kak Jaya halus banget keliatannya.” Syifa menunjuk malu-malu ke arah kepala laki-laki itu.

Syifa tidak sedang berusaha mencari topik demi mereka berdua dapat menghabiskan waktu lebih lama, tidak. Syifa benar-benar dibuat penasaran pasalnya setiap bertemu dengan laki-laki itu, rambut Kak Jaya sukses menghipnotis dirinya. Acap kali menatapnya seperti terdapat gaya magnet seakan meminta kedua tangannya untuk terulur mengusap rambut laki-laki itu.

“Setiap liat rambut Kak Jaya, Syifa suka jadi pengen nyoba ngelus. Kayaknya beneran sehalus itu….”

Entah sadar atau tak sadar, dengan lancang Syifa berucap terus terang. Jujur Jaya sendiri yang mendengar kalimat itu cukup kaget, namun beruntungnya ia masih dapat menahan reaksi pada mimik wajahnya.

Jaya berdeham, melirik ke arah pintu ruangan pun pada kedua jendela di sebelah pintu tersebut.

“Eh… kenapa, Kak Jaya?” Syifa terkejut dengan gerak-gerik laki-laki itu secara tiba-tiba. “Kenapa nunduk? Kak Jaya pusing?”

Jaya menggeleng dalam posisi yang masih menunduk. “Katanya mau ngelus rambut Jaya? Nih Jaya kasih.” Laki-laki itu benar-benar tak bergerak sedikit pun dari posisinya. Kendati ia tak tahu kapan gadis itu akan mengulurkan tangannya.

Syifa terdiam dengan kedua mata yang terbelalak. Syifa masih sibuk mencerna kejadian di depannya yang memperlihatkan seseorang yang disukainya tengah menundukkan kepala, memberinya kesempatan untuk melakukan keinginannya yang ia ucapkan beberapa saat lalu.

Maka, dengan tangan yang bergetar. Syifa mengulurkan tangan untuk menuju rambut sang kakak kelas. “Maaf, ya, Kak,” ucap Syifa ketika telapak tangannya berhasil menyentuh permukaan rambut laki-laki itu.

Sesuai dengan dugaannya, bahwa rambut laki-laki itu benar-benar halus. Dibandingkan dengan rambut miliknya, rambut laki-laki itu jauh lebih baik daripada rambut miliknya. Jika mengharuskan ia mengelus rambut itu selama apapun, ia tanpa berpikir dua kali; tanpa berpikir lama; akan langsung menyetujuinya. Sebab mengelus rambut sang kakak kelas itu telah memberikan candu terbaru untuknya selain melihat ketika laki-laki itu tersenyum; bagaimana ketika kedua matanya berubah bak bulan sabit.

“Udah?” tanya Jaya saat merasakan bahwa tak ada lagi telapak tangan yang bergerak secara beraturan pada kepalanya. “Syifa?” Jaya menoleh dan langsung disambut oleh senyuman terbaik yang dimiliki oleh gadis itu.

“UDAH! MAKASIH KAK JAYA!”

Jaya terperanjat mendengar ucapan penuh antusias itu. Bahkan jemarinya refleks menutup salah satu telinganya yang menjadi sasaran empuk suara gadis itu.

Jaya berdiri. “Ya udah kalau gitu Jaya balik ke kelas dulu, ya. Makasih udah mau ngobatin Jaya.”

Setelah menyelesaikan ucapannya, laki-laki itu benar-benar melangkah menjauhi tempatnya berada. Seharusnya Syifa membalas kalimat pamit dari sang kakak kelas, namun jangankan untuk ia membuka suara dan bergerak, untuk ia berkedip dan menelan saliva pun sepertinya tak kuasa.

Jaya melangkah cepat bak dikejar anjing yang sudah ia jahili dengan melemparkan beragam batu secara bertubi-tubi.

Jaya mengusap wajah kasar. Jari-jari laki-laki itu saling menekuk dan memukul pelan kepalanya dengan cepat. “Anjing! Anjing! Anjing!” Kemudian berakhir memutar pelipis kepalanya seakan ia tengah diberi permasalahan cukup serius. Namun siapa sangka, gerakan tangan itu justru dalih untuk menepis segala tentang kenangan beberapa saat lalu di dalam ruang kesehatan yang telah berhasil mengisi pikirannya ditiap langkah yang ia ambil.


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0


Jaya berjalan lesu dengan dua tas ransel telah memenuhi tubuhnya—tas gitar berada di belakang punggung, sementara tas sekolah ia simpan di depan. Laki-laki itu sesekali menguap, cukup merasa lelah dengan kegiatan hari ini, kendati sebenarnya tak banyak pula aktivitas yang ia lakukan. Namun di antara semua kegiatannya, menurut Jaya sendiri untuk melakukan aktivitas membantu mengajar di mata pelajaran yang sebenarnya itu adalah hobi sendirinya cukup memberatkan. Pasalnya Jaya sehari-hari bermain musik sebatas kesenangan semata, tak ada teori yang ia pelajari, sehingga untuk berada di depan orang-orang yang mungkin banyak menganggap ia lebih paham dalam segi teoritis cukup melelahkan. Padahal kenyataannya ia seorang praktisi yang tak berlandaskan dan mendalami pada sisi teori.

Getaran pada saku celana serta merta datang dan berhasil menghentikan langkah laki-laki pemilik senyuman yang indah. Jaya cepat-cepat meraih benda elektronik itu, lalu menekan tombol hijau.

Baru satu detik telepon itu tersambung, akan tetapi seseorang di seberang sana secepat kilat menyerangnya dengan berbagai pertanyaan yang sama saat orang tersebut terus-menerus mengirimkan sebuah pesan tersebut. Bahkan, untuk sekadar menyapa seseorang di seberang sana pun ia tak melakukannya.

Dede di mana?” ucap orang tersebut dengan nada sedikit ketus.

Jaya kembali melangkah, melanjutkan perjalanan sempat terhenti oleh sambungan telepon secara tiba-tiba itu. “Masih di sekolah baru bubar, Teteh udah selesai?” Kedua mata Jaya tak diam, laki-laki itu sedari tadi terus menatap ke sembarang arah.

Udah, cepet, ya, jemput jangan lama. Teteh kayaknya mau dateng bulan, badan Teteh mulai sakit-sakit.

Jaya mengangguk, kendati gerakan itu tak dapat dilihat oleh sang kakak. “Iya, ini udah sampe parkiran. Bentar, ya.” Jaya memindahkan benda tersebut ke tangan kirinya, sementara tangan kanan ia gunakan untuk meraih helm dan segera memasangnya. “Udah dulu, ya, ini berangkatin ke situ.”

Teteh tunggu di dalem, ya. Nanti chat Teteh kalau udah di depan.

“Iya.”

Hati-hati, De.

Itu menjadi kalimat terakhir sebelum akhirnya sambungan telepon itu sepenuhnya mati dan mengembalikan suasana sunyi. Jaya memasukkan benda elektronik itu ke tempat semula, kemudian meraih kunci motor untuk ia jalankan sesegera mungkin agar sang kakak tak menunggu dengan lama.

Deru suara motor mulai terdengar keras. Cukup disayangkan dengan sarana sekolah yang masih jauh dari kata sempurna, sebab di tempat parkiran sekolah tak ada lampu penerangan satu pun. Satu-satunya lampu yang dapat menerangi perjalanannya hanya dari lampu kendaraan miliknya itu sendiri. Walaupun di sekolahnya memiliki satpam, akan tetapi untuk sekadar memberinya satu buah lampu sangat dibutuhkan. Apalagi pada waktu-waktu seperti ini yang sudah tak ada kehadiran raja siang di langit.

Motor Jaya perlahan berjalan. Ia tak lupa menundukkan kepala ketika melewati pos satpam, memberikan salam perpisahan kepada orang di dalamnya sebelum ia benar-benar akan menarik diri sepenuhnya.

Jaya menyipitkan mata, mencoba melihat sosok gadis yang sedang berdiam diri seorang diri di halte sekolah dengan satu barang di sela-sela kaki gadis itu—barang yang sama dengan barang berada di punggungnya.

Entah mendapatkan bisikan dari mana hingga akhirnya Jaya menepikan kendaraan roda dua itu persis di hadapan sang gadis. Jaya cukup sadar akan tatapan yang dilayangkan gadis itu kepadanya. Sehingga, Jaya bergegas mematikan mesin motor, menarik standar untuk memarkirkannya dengan rapi. Laki-laki itu kemudian melepas helm, menyimpannya di atas spion dengan hati-hati, lalu turun dari motor. Jangan tanyakan mengapa ia melakukannya, sebab Jaya sendiri tak menemukan jawabannya.

“Eh, Kak Jaya!” sapa gadis itu.

Tatapan kebingungan sibuk akan menerka-nerka siapa sosok laki-laki tersebut kini telah terjawab ketika sang empu tengah berjalan menghampirinya. Syifa spontan menggeser duduknya saat melihat laki-laki itu berancang-ancang akan duduk di sebelahnya.

Jaya yang diserukan hanya membalas ucapan itu dengan senyuman. “Kenapa belum pulang, Syifa?” tanya Jaya, setelah mendudukan dirinya di tempat yang sudah diberikan gadis itu untuknya.

Syifa memperlihatkan layar ponsel miliknya kepada laki-laki di sebelahnya. “Ini Syifa lagi pesen ojek online, driver-nya masih on the way ke sini!” balas Syifa, kembali menjauhkan ponsel itu ketika sang kakak kelas sudah tak menatap benda elektroniknya. “Kak Jaya sendiri kenapa, kok, belum pulang?” Syifa menoleh, menatap laki-laki itu dari jarak yang cukup dekat.

Kenapa?

Kenapa?

Jaya sendiri tak tahu mengapa ia lebih memilih berdiam diri di sini ketimbang melanjutkan perjalanannya. Padahal sudah jelas-jelas ada seseorang yang sudah menunggu kedatangannya sedari tadi.

“Lagi nungguin temen.”

Di antara semua kebohongan yang mungkin bisa ia jadikan alasan, entah mengapa justru di bawah alam sadarnya ia lebih memilih untuk mengatakan hal tersebut.

Syifa mengangguk diiringi ber’oh’ria.

Keadaan di antara mereka tiba-tiba hening begitu saja. Akui Jaya tak pandai mencari sebuah topik untuk dijadikan obrolan dengan orang, sebab ia memang tak biasa melakukan hal itu.

Sementara gadis itu yang lebih pandai mencari topik justru asyik membungkam mulut. Bukan karena ia tak memiliki topik yang harus diperbincangkan, akan tetapi debaran jantungnya sedari tadi mengganggu konsentrasi Syifa, sehingga gadis itu memilih untuk diam.

Karena suasana itu cukup canggung, sehingga Jaya kembali mengeluarkan benda elektroniknya untuk mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang di seberang sana yang mungkin kini telah menahan kesal akibat tak dapat menemukan kedatangannya.

Jaya Adiputra Teh, sebentar ya. Dede ada urusan dulu sebentar.

Rasanya baru saja ia mengirimkan pesan tersebut, tapi seseorang di sana dengan secepat kilat membalasnya.

Teh ivanka Urusan apa? Lama gak?

Urusan apa, ya, masa aing bilang lagi nungguin orang dijemput?

Jaya Adiputra Nanti dede kasih tau, gak lama. Bentar kok.

Lagian kasian juga aing kalau harus cewek sendirian malem-malem, takut ada hal-hal yang nggak diinginkan terjadi, pikirnya. Bukankah itu memang sudah tugasnya kakak kelas untuk melindungi adik kelasnya, 'kan?

Teh ivanka Yaudah tapi kalo udah beres langsung otw ya de

Jaya mengangguk setelah selesai membaca kalimat terakhir yang dikirimkan sang kakak kepadanya. Bodoh rasanya, padahal sudah jelas-jelas orang tersebut tak akan bisa melihatnya.

Jaya Adiputra Iya, sebentar ya teh.

Selepas menyelesaikan pesan terakhirnya, lantas Jaya memasukkan kembali benda itu ke kantong celananya. Laki-laki itu mengarahkan pandangan ke jalanan di depan yang nampak cukup sepi. Sebab tak ada lagi angkutan umum yang berlalu-lalang seperti di siang hari. Bahkan saking banyaknya angkutan umum, tak jarang di depan sekolah acap kali macet. Seolah ia telah ditakdirkan untuk terus bersama-sama dengan kemacetan yang sering kali ditemuinya.

“Rumah Syifa emang di mana?” Jaya menolehkan wajah untuk sekadar menatap wajah sang adik kelas.

Akhirnya setelah bergumul dengan pikirannya, Jaya dapat membangun sebuah topik untuk mereka berdua perbincangkan.

Syifa cukup terperanjat ketika laki-laki itu secara tiba-tiba menodongnya dengan pertanyaan. “Rumah Syifa di daerah Baleendah, Kak Jaya!” timpal Syifa cepat, tak mau membuat laki-laki itu menunggu lama.

Jaya mengangguk-anggukkan kepala. “Oh, daerah banjir,” timpal Jaya dengan nada cukup pelan. Tetapi siapa sangka justru ucapannya itu terdengar jelas oleh sang gadis di sebelah, sehingga Syifa diam-diam memberikan reaksi ketidakterimaan akibat laki-laki itu telah memandang rendah daerah kediamannya.

“Emang Kak Jaya sendiri di daerah mana rumahnya?” Syifa mempertanyakan hal yang sama ketika laki-laki itu memberinya sebuah pertanyaan yang sebelumnya tak pernah terlintas akan menuturkan kalimat tersebut.

“Bojongsoang.”

“Oh, daerah yang sering macet itu, ya,” sindir Syifa, tak mau kalah atas perlakuan sang kakak kelas kepadanya beberapa saat lalu.

Mulanya Jaya cukup terkejut mendengar balasan dari gadis itu atas ucapannya. Namun sedetik kemudian laki-laki itu justru tertawa, merasa lucu ketika menyadari daerah kediaman mereka memiliki permasalahannya sendiri.

Syifa yang melihat kakak kelas itu tengah melantunkan tawa pun turut mengikutinya. Ia tertawa bukan atas jawaban darinya sendiri, melainkan karena laki-laki itu yang memulai memamerkan senyuman indahnya untuk kesekian kali. Apabila Syifa diberi sebuah pertanyaan pemandangan apa yang ingin ia tatap secara terus-menerus dengan tak bosan, maka, Syifa akan lantang menjawab pemandangan ketika Kak Jaya tertawa. Sebab, selain pemandangan itu cukup langka, pun karena bagaimana laki-laki itu tertawa memiliki sebuah nilai lebih dalam pandangannya.

“Masih sakit nggak jarinya?”

“Gimana, Kak Jaya?”

Jaya menatap ke arah jemari Syifa yang sibuk meremas tas gitar. “Masih sakit nggak jarinya?” ulang Jaya dengan pertanyaan yang sama—tak dilebihkan, pun tak dikurangi dari kalimat sebelumnya.

“Oh!” Syifa mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan keempat jemari yang ia keluhkan tadi siang ketika mata pelajaran seni musik berlangsung. “Udah nggak sakit, soalnya udah nggak main gitar lagi!” Syifa menyodorkan kelima jari miliknya ke hadapan sang kakak kelas.

Jaya melirik sekilas ke arah jemari itu. “Nanti kalau main gitar, dipake lagi aja silikonnya.” Syifa mengangguk, mengiakan perintah dari laki-laki itu.

“Tapi ngomong-ngomong, Kak Jaya, kan, sering main gitar, emang nggak sakit tangannya?”

Syifa cukup penasaran dengan keadaan jemari kakak kelas itu. Pasalnya laki-laki itu seringkali bermain gitar pada media sosialnya, padahal bagi dirinya yang baru memainkan sebentar saja sudah merasakan rasa sakit yang luar biasa.

Jaya menggeleng. “Nggak, udah biasa.” Laki-laki itu mengangkat tangan kirinya, mengikuti perlakuan gadis itu sebelumnya untuk memperlihatkan kondisi jemarinya saat ini. “Kulit Jaya udah keras, makanya udah nggak terlalu berasa sakit kayak awal-awal belajar,” jelas Jaya.

Syifa menundukkan wajah, mencoba mendekatkan matanya dengan jari Jaya.

“Kenapa?” tanya Jaya cukup kebingungan melihat reaksi gadis itu yang tengah menatap dirinya secara tiba-tiba.

Syifa menunjuk jemari Jaya dengan ragu-ragu. “Syifa boleh pegang nggak jari Kak Jaya itu? Mau tau sekasar apa jarinya,” pinta Syifa.

Jaya berdeham sejenak sebelum akhirnya laki-laki itu mengangguk, memberi izin gadis itu untuk melakukan keinginannya. “Pegang aja.”

Seakan mendapatkan lampu hijau, gadis itu dengan cepat meraih satu per satu jemari Jaya. Syifa mengusap-ngusap secara perlahan ujung jemari laki-laki itu, mencoba merasakan permukaan kulit sang kakak kelas.

Jaya otomatis memalingkan wajah ketika merasakan bagaimana gadis itu secara berulang melakukan kegiatan untuk mengusap keempat ujung jemarinya.

“Ih iya ternyata jari Kak Jaya udah kasar banget!” ucap Syifa setelah membandingkan dengan jemari miliknya yang terkesan lembut, walau masih terdapat beberapa kulit yang mengelupas akibat mempelajari permainan musik itu.

“Atas nama Jihan Syifa?”

Sayang sekali obrolan mereka berdua harus terhenti, sebab ojek online pesanan Syifa telah datang tanpa sadar. Padahal semula Syifa berharap bahwa ojek pesanannya akan segera datang, akan tetapi entah mengapa justru hal itu kontradiktif dengan keinginannya saat ini yang masih ingin berlama-lamaan dengan laki-laki itu.

Syifa spontan berdiri. “Iya, aku, Pa!” teriak Syifa sembari memberikan lambaian tangan tak sabaran. “Kak Jaya, Syifa duluan, ya! Maaf, ya, Syifa nggak bisa nungguin Kak Jaya sampe temennya dateng!” Bibir Syifa mengerucut, merasa tak enak karena ia harus menarik diri lebih dulu.

Jaya mengulas sebuah senyuman. “Nggak apa-apa, hati-hati, ya.”

Satu kalimat itu sukses mengembalikan debaran jantungnya yang semula telah mereda. Untaian kata-kata itu masih terngiang-ngiang dalam pikirannya. Ia harus mempersiapkan diri dari sekarang, karena mungkin saja kalimat itu akan mendatanginya secara tiba-tiba.

Syifa menerima uluran helm dari sang supir. “Kak Jaya juga hati-hati, ya, nanti pulangnya!” Gadis itu perlahan naik ke atas motor dan menyamankan posisi duduknya.

Alih-alih menjawab secara vokal, laki-laki itu lebih memilih membalasnya dengan sebuah anggukkan pun senyuman yang tak pernah lepas pada wajahnya.

“Udah bisa jalan sekarang, Neng?”

Syifa mengangguk. “Udah, Pa,” balas Syifa dengan mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan. “Dadah, Kak Jaya, Syifa duluan, ya!” Lambaian tangan itu menjadi interaksi akhir antara keduanya.

Di antara banyaknya objek di depan mata, entah mengapa perhatiannya justru tertuju pada punggung gadis itu yang perlahan mulai menghilang tertutup oleh beberapa kendaraan lainnya yang berlalu-lalang. Pertemuan singkat, namun secara tak tersadar sukses membuat hatinya menghangat. Satu yang ia baru sadari ketika berinteraksi dengan gadis itu dengan waktu cukup panjang, gadis itu selalu memperlihatkan sisi riangnya dalam keadaan apapun, pun rasa semangat yang terlihat selalu membara. Saking asyiknya berkelana memikirkan hal ini dan hal itu, Jaya sampai tak sadar bahwa ia harus bergegas menjemput kakak sulungnya sebelum ia akan mendapatkan sebuah ceramahan tak berujung.

“Kenapa aing ngerasa kayak ada yang aneh, ya.”


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0