NAAMER1CAN0


Mulanya, pertemuan itu diadakan sebatas membicarakan tentang rencana apa yang sudah Harri buat. Namun, siapa sangka, setelah satu jam berlalu, mereka kini justru sedang asyik saling berbagi cerita. Syifa yang awalnya takut merasa canggung, sekarang gadis itu sudah mulai bisa berbaur dengan keempat kakak kelasnya.

“Terus, ya, dulu Aa sama si Ajay pernah ditonjok si Rakha. Sumpah itu mah Aa langsung shock berat!” ujar Harri dengan dramatis.

Rakha yang baru saja menelan kopi langsung menyanggah ucapan tersebut. “Eh, sumpah aing juga ngelakuin itu gara-gara maraneh duluan yang berantem,” ucap Rakha tak terima disalahkan begitu saja. “Lagian sebelumnya aing udah pake cara baik tapi maraneh masih aja berantem. Jadi, mau nggak mau aing pake cara itu!”

“Emang berantem gara-gara apa gitu kalau Syifa boleh tau?”

“Harri nyedot bensin dari tanki motor Ajay,” sahut Rakha tanpa basa-basi.

Syifa sukses dibuat melongo. Tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu.

“Kan, emang aneh si mereka itu, si aku aja suka capek sendiri liat drama dari si mereka.”

Syifa masih ingat betul dengan perkataan, “Apabila ingin mengambil hati seseorang yang kamu suka, kamu perlu mengambil hati dari lingkungan orang tersebut terlebih dahulu. Termasuk keluarga serta teman-temannya.” Syifa sendiri agak lupa telah menemukan kalimat tersebut dari mana. Yang pasti, untuk mengambil hati dari teman-teman Kak Jaya, rupanya Syifa bisa melakukannya.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya Syifa bisa satu meja dan saling berbagi cerita dengan kelima orang ini dalam waktu yang bersamaan. Selama ini, ia hanya melihat interaksi Kak Jaya dengan teman-temannya dari jauh, walau ada beberapa orang yang baru pertama kali dilihatnya.

Syifa makin merasa yakin bahwa Kak Jaya memang benar-benar orang baik. Karena, dari bagaimana lingkungan pertemanan Kak Jaya menyambut Syifa pun, ia sendiri sudah bisa merasakan dan mengetahui ketulusan yang diberikan mereka untuknya.

Otomatis, desas-desus yang kerap tak sengaja terdengar olehnya yang mengatakan hal-hal kurang baik tentang mereka, jelas Syifa tepis dengan jauh. Sebab, dalam kacamata pandangannya mereka bukan orang seperti itu.

Seolah tak membiarkan Syifa berlarut dalam pikirannya seorang diri, salah satu dari mereka mulai kembali membuka suara dan menceritakan kejadian yang lucu. Aksara menceritakan kejadian di mana ia beserta kelima temannya pada saat itu sedang menaiki perahu yang berada di danau sekolah. Awalnya kegiatan itu lancar-lancar saja, sebelum akhirnya dua pasang Angsa datang dan ikut berenang seakan tengah mengejar mereka di atas perahu. Karena salah satu dari mereka tak bisa diam, akhirnya dengan sesuai dugaan, mereka semua tercebur ke dalam danau yang bahkan tingginya tak lebih dari satu meter. Kejadian itu akan terus melekat dan menjadi sejarah bagi Aksara dan kelima temannya.

Syifa tak tahu lagi harus merespons apa selain membalas cerita itu dengan tawa renyah. Syifa tak ingat sudah berapa banyak tawa yang ia lantunkan malam ini, yang pasti hal itu telah berhasil membuat perutnya terasa kram.

Kepala Jagat mendongak, menatap persis Syifa di seberang sana. “Syifa ada jam malem nggak pulangnya?” tanya Jagat, tak sengaja melihat jam pada ponsel miliknya setelah membalas pesan dari seseorang.

Syifa yang sedang asyik mengobrol itu seketika menghentikan ucapannya. “Ada, Kak, jam sembilan,” timpal gadis itu dengan raut berseri, seolah cerita lucu dari Aksara masih ingat betul dalam kepalanya.

Jagat kembali menyalakan dan membuka kunci ponsel milik laki-laki itu, lalu memperlihatkan kepada Syifa. “Sebentar lagi udah mau jam sembilan.” Bukan berniat untuk mengusir adik kelas itu, hanya saja Jagat takut apabila gadis itu mendapatkan teguran tak menyenangkan dari kedua orang tuanya ketika mengetahui anaknya pulang larut melebihi jam yang sudah ditentukan.

Syifa otomatis terbelalak. “Ih iya! Syifa harus cepet-cepet pulang takut ayah Syifa marah!” Seakan tak membiarkan cairan hijau itu tersisa sedikitpun, lantas Syifa kembali menyeruputnya hingga habis.

Kondisi perutnya sudah kembung ketika Syifa baru menyadari bahwa ia sudah menghabiskan dua gelas minuman itu dalam waktu yang berdekatan.

“Rumah kamu di mana emang, Syifa?”

“Baleendah, Kak!”

“Ya udah, yuk, pulang. Saya anterin. Kebetulan saya bawa mobil tadi bareng sama Harri.”

Harri mengangguk. “Hayu, Cip, pulang bareng Aa sama Jagat. Jangan naik ojek sendiri takut, udah malem soalnya.”

Syifa menggeleng. “Eh, nggak apa-apa, A. Syifa udah biasa pulang pergi naik ojek sendirian, kok!” nolak Syifa secara halus, lantaran tak enak apabila merepotkan kedua kakak kelasnya untuk mengantarnya pulang terlebih dahulu.

“Syifa biar bareng sama si aku aja, Lang. Kebetulan si aku mau ke daerah sana abis dari sini. Paling si aku nitip Aksa, tadi si aku ke sininya bareng Aksa soalnya,” kata Yolan, sembari melirik ke arah Aksara seolah sedang bertanya melalui tatapannya. “Gapapa, kan, Sa?” tanya Yolan memastikan.

Aksara mengangguk. “Iya gapapa, Mang. Besok maneh berarti jemput aing dulu, ya. Helm aing jangan lupa buat dibawa.”

Yolan mengacungkan jempol kanan. “Siap!”

Harri menolehkan wajah. “Maneh ke sini naik apaan, Kha?”

Aing naik motor, tapi aing kayaknya langsung pulang ke rumah si Jagat.”

“Nginep maneh?”

Rakha mengangguk, mengiakan ucapan Aksara. “Iya, bapak aing lagi ada acara di Bogor. Di rumah kosong jadinya aing mau nginep di si Jagat aja.”

“Ya udah berarti kamu sama aku, ya, Syifa, pulangnya. Nanti kasih tau aja jalan nya, soalnya aku nggak tau jalanan sana.”

Syifa tampak sedang berpikir sejenak. “A Yolan beneran nggak apa-apa nganterin dulu Syifa?” Sebenarnya Syifa ingin sekali menolak ajakan kakak kelas itu, namun setelah mendengar sebuah debatan dari kakak kelasnya tentang siapa saja yang akan ikut pulang dengan ini dan itu membuat Syifa tak berani menolak ajakan tersebut.

“Beneran nggak apa-apa, daripada kamu naik ojek sendiri.”

“Maaf ngerepotin, ya, A.”

Yolan menggelengkan kepala cepat. “Ih, enggak ngerepotin, kok, Syifa, santai aja!”


“Kamu ambil ekstrakurikuler apa, Syifa?”

Yolan menyerahkan sebuah helm berlogokan salah satu tokoh kartun jepang, tak lupa dengan sebuah kalimat tertulis ‘i love anime’ di bawahnya.

Syifa memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu meraih helm tersebut dan segera memakainya. “Syifa ambil paduan suara sama palang merah remaja, A,” jawab Syifa, “kalau A Yolan ekstrakurikuler apa?”

Sebelum menjawab pertanyaan dari Syifa, kedua tangan Yolan kini sedang sibuk membuka pijakan motor agar adik kelas itu tak perlu membukanya lagi nanti. “Aku ekskul basket.” Kemudian, Yolan tak lama menyuruh Syifa untuk segera naik sebelum waktu benar-benar telah menunjukkan pukul sembilan.

“Ih, iya! Syifa sampe lupa, kan, A Yolan ketua basket putra, ya.”

Entah terlalu bersemangat atau terkejut atas kesadaran sesuatu hal, hingga gadis itu terlalu bertenaga saat menaiki motor sampai-sampai Yolan dibuat sedikit oleng. Beruntung, laki-laki itu sigap untuk menurunkan kaki satunya untuk dijadikan tumpuan.

Yolan terkekeh sembari sesekali mengangguk. “Iya bener, btw Syifa bisa nyanyi?” Setelah merasa yang di belakang tak melakukan pergerakan apa-apa lagi, lantas Yolan segera menyalakan mesin motor dan perlahan menarik gas—mengendarai motor tersebut untuk membelah jalanan pada malam hari.

“Semua orang juga bisa nyanyi, A Yolan. Tapi, ada yang fals sama enggak. Nah, kalau Syifa sendiri, sih, kebetulan nggak fals.”

“Berarti jago nyanyi, ya, Syifa.”

“Bukan jago, tapi untungnya nggak fals aja, A Yolan!”

Yolan kembali terkekeh. Setelah dipikir-pikir, apa bedanya jago bernyanyi dengan tidak fals?

Kerlap-kerlip dari lampu sepanjang jalanan yang dipadukan lampu dari kendaraan yang berlalu-lalang berhasil memanjakan mata. Syifa yang semula dibuat takut akan merasa canggung sepanjang perjalanan menuju rumahnya ternyata hanya sekedar kekhawatirannya saja. Kakak kelasnya itu tak henti melayangkan beberapa pertanyaan yang membuat Syifa melupakan pikiran negatifnya.

“Berarti yang setiap senin baris di atas deket paskibra itu Syifa sama ekskul Syifa, ya?”

Pertanyaan itu terdengar sedikit samar-samar, lantaran dengan kurang ajarnya ada kendaraan yang melintas dengan knalpot super berisik. Apabila motor itu melintas pada perumahannya mungkin sudah dilempar dengan sandal secara bertubi-tubi. Lagi pula, enaknya memakai kendaraan yang punya knalpot berisik itu apa, sih? Yang ada bisa jadi incaran para polisi yang sedang bertugas. Sungguh mengesalkan!

A Yolan boleh ulangi pertanyaannya nggak? Soalnya Syifa nggak bisa denger jelas tadi ….”

Dengan penuh kesabaran, Yolan mengulangi pertanyaan itu. “Setiap senin Syifa berarti suka upacara deket barisan paskibra itu yang ada di atas?”

Syifa mengangguk, kemudian tak lama menggelengkan kepala. “Kadang Syifa suka jaga di belakang barisan murid gara-gara dapet piket PMR.”

“Oh yang suka baris di belakang pake syal warna biru, tuh, PMR?” tanya Yolan, “eh warna biru atau apa ya aku lupa.”

“Warna kuning, A Yolan. Kalau warna biru itu PMR Madya yang masih SMP.”

Yolan manggut-manggut setelah mencoba kembali mengingat warna syal yang selalu dipakai anggota PMR pada setiap hari senin di belakang barisan para murid. Bisa-bisanya Yolan melupakannya di saat warna tersebut begitu nyentrik apabila dipadukan dengan seragam sekolah putih-abu.

“Kenapa nggak ikut ekstrakurikuler basket?”

Dengan tatapan yang masih terarah ke depan jalanan, lantas Syifa diam-diam mengerutkan dahu. “Nggak, ah, capek harus lari-larian. Jangankan disuruh olahraga basket yang harus ngerebutin bola, Syifa disuruh olahraga lari aja males banget rasanya!” gerutu Syifa terdengar jelas oleh kedua telinga Yolan, sebab situasi jalanan yang mereka lewati pada saat itu kebetulan tak seramai sebelumnya.

Bahu Yolan bergetar—naik dan turun—menandakan sang empu tengah mengudarakan tawanya. Bukan hanya Yolan, namun Syifa yang melihat respons itu ikut tertawa pula, walaupun tak serenyah tawa yang dilantunkan oleh Yolan.

Tiba-tiba saja Yolan mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. “Kamu gimana ceritanya bisa suka sama Ajay? Kenal dari mana?”

Mendengar pertanyaan yang baru saja diucapkan kakak kelasnya itu, lantas Syifa terdiam. Bukan karena gadis iu tak ingin menjawab pertanyaan dari Yolan, melainkan Syifa tengah berpikir bagaimana cara menceritakan kepada laki-laki itu.

Syifa membasahi bibir sejenak akibat terpaan angin yang mengenai mukanya dan membuat bibirnya terasa kering. “Jadi, dulu itu Syifa, A Harri, dan Kak Jaya satu SMP. Syifa awalnya cuman kepo sama cowok yang lagi main basket di lapangan, eh lama-kelamaan Syifa malah kepikiran terus sampe akhirnya tau kalau orang itu namanya Kak Jaya.” Syifa tak henti tersenyum saat menceritakan hal tersebut, seakan sekelebat memori tentang hari itu kembali terulang. “Syifa sempet nyesel karena dulu cuman bisa ngagumin Kak Jaya dari jauh, makanya sekarang Syifa nggak mau buang-buang waktu lagi. Soalnya, belum tentu nanti kuliah Syifa masih bisa ketemu Kak Jaya.”

Selama Syifa sibuk bercerita Yolan hanya diam dan memasang kedua telinganya dengan baik. Motor yang dikendarakannya pun kini sudah berada di sebelah kiri, seakan mempersilakan kendaran lain untuk mendahului sebab ada hal yang lebih penting, yaitu mendengarkan orang di belakangnya asyik bercerita.

“Terus, ya, A Yolan, alam tuh kayak ngasih Syifa jalan gitu, tau!”

“Gimana? Gimana? Ngasih jalan gimana? Coba ceritain aku mau tau,” balas Yolan tak kalah antusias dari Syifa yang sedari tadi sibuk merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat untuk menjelaskan mengapa gadis itu tertarik dengan temannya—Jaya.

“Syifa kan dapet seni modern, terus waktu itu ada guru sebelah yang nggak bisa masuk jadi guru Syifa dibagi dua ngajarnya sama guru sebelah, terus nggak tau kenapa kelas Syifa dibantuin ngajarnya sama Kak Jaya dan temennya Kak Jaya!”

Oh, kayaknya yang dimaksud dia Pandu.

Yolan tak merespons kembali, melainkan laki-laki itu Diam-diam menyeringai di balik helm yang dikenakan. Bagaimana cara adik kelas itu menceritakan alasan dibalik ketertarikan dengan salah satu temannya, Yolan cukup sadar kalau gadis itu memang benar-benar menyukai Jaya.

“Kalau gitu, semangat, ya, Syifa! Aku berdoa semoga rencana kita nanti bakalan berhasil!”

Syifa membalas ucapan itu dengan senyuman yang teramat manis, bahkan lesun pipinya sampai terlihat. Tak tahu mengapa, mendapatkan kalimat penyemangat itu benar-benar membuat Syifa makin bersemangat untuk melaksanakan rencana dari Harri walaupun awalnya Syifa sendiri sempat ragu untuk melakukannya.

Mereka tak tahu saja, saking asyik bercengkerama berdua, sampai-sampai mereka sendiri tidak sadar bahwa sedari tadi terdapat pasang mata yang menyaksikan tiap-tiap pergerakan mereka. Pun, mereka tak tahu bahwa itu adalah awal mula dari permasalahan baru yang akan terjadi.

Tersangka—orang yang sedari tadi tengah memperhatikan mereka hanya bisa tersenyum miris. Entah apa yang sedang berada dalam pikiran orang tersebut, sebab tepat bersamaan kendaraan Yolan berbelok ke arah kiri, orang tersebut justru melajukan mobilnya berlawanan dengan kendaraan Yolan berjalan.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0



Kolase Asmara Universe

by NAAMER1CAN0



Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Berbagai suara dari semua arah mulai menghampiri, seolah suara-suara tersebut berusaha mengambil atensi miliknya untuk sekadar mengedarkan pandangan ke arah sumber suara itu. Kaki milik gadis berambut hitam sebahu itu terhenti, dengan kedua mata sesekali melirik ke tiap-tiap tempat yang sudah terisi untuk menemukan sosok tengah dicarinya.

Syifa sontak meremas tali tas yang sedang mengalung pada pundak ketika beberapa pasang mata mulai tertuju padanya. Sementara, tangan lain yang terbebas menggenggam erat-erat sebuah gelas berisikan salah satu minuman favoritnya.

Cairan di dalam gelas itu beberapa kali ikut bergerak mengikuti langkah sang empu, seakan telah menyerahkan diri sepenuhnya untuk dibawa ke mana saja.

Tak lama, senyum gadis itu mulai terlihat saat matanya berhasil menemukan lambaian dari seseorang di depan sana. Walau sesekali pandangannya harus terhalang oleh beberapa orang yang berlalu-lalang di depannya.

Dengan perasaan bahagia yang masih menggebu-gebu, lantas Syifa segera berlari untuk menghampiri arah lambaian itu berada. Akan tetapi, ketika tinggal menyisakan beberapa langkah lagi, kedua alisnya seketika menyatu saat mulai menyadari dari sekumpulan orang-orang yang sangat terasa asing untuknya.

Sial! Sepertinya gadis itu salah menghampiri orang.

Malu rasanya ketika mengingat betapa riangnya ia telah menghampiri meja itu hingga ia rela harus berlari ke meja sana. Syifa menggerutu kecil. Membalikkan tubuh untuk kembali ke tempat semula sebelum sekumpulan orang itu menyadari dirinya yang ikut terpanggil atas lambaian salah satu dari orang-orang tersebut.

Bayangkan saja, Syifa sendiri tak memiliki keberanian sebesar itu untuk sekadar datang ke kafe hanya seorang diri. Ironisnya, justru hari ini ia berada di tengah-tengah situasi sangat kikuk.

Ingatkan nanti untuk ia luapkan segala rasa emosi yang sudah memenuhi lubuk hatinya pada seseorang yang memiliki ide untuk bertemu di tempat ini.

Kala gadis itu sibuk bermonolog dengan dirinya sendiri, sebuah notifikasi sekonyong-konyong muncul dan sukses membuyarkan segala lamunan. “Nah, gini dong! Harusnya A Harri dari tadi itu kirim pesan buat Syifa!” Lagi-lagi gerutu Syifa sembari mengerucutkan bibirnya sebal.

A Harri Agung Cipaaaaa di manaaaaaa Aa sama yang lainnya udah di sini ih dari tadiii

Pasalnya, Syifa sampai berpikir bahwa kakak kelas itu tengah menjahilinya. Kalau saja pesan itu tak segera sampai, mungkin saat ini Syifa sudah berdiam di pinggir jalan—menunggu ojek online untuk pulang.

Syifa mengerutkan dahi. “Yang lainnya? Berarti, A Harri nggak sendirian?” Alih-alih mengirimkan pertanyaan itu kepada laki-laki di seberang sana, Syifa justru melontarkan pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Memang dasar! Kalau sudah begini terkadang otaknya tak berfungsi dengan baik.

Lantas, kedua jempol gadis itu mulai menari di atas layar ponsel tengah di genggamnya. “A Harri, Syifa udah di depan kasir dari tadi. A Harri di mana itu?” Tanpa sadar, Syifa mengucapkan ulang kalimat yang telah ia ketik untuk membalas pesan dari kakak kelasnya.

Sembari menunggu balasan, Syifa kembali menyeruput minuman. Ia melakukan segala kegiatan agar terlihat sibuk dan tidak menjadi tontonan dari orang-orang sekitar. Kekhawatiran itu tak berangsur lama, lantaran balasan pesan tersebut telah kembali ia terima.

A Harri Agung Tunggu, aa ke situu

Gadis itu mengangguk mengiakan selepas membaca balasan dari kakak kelasnya, walaupun Harri tak dapat melihat anggukan darinya itu.

Maka, dengan kesabaran penuh Syifa kembali memasukkan ponsel dan menunggu orang tersebut akan segera menghampirinya. Ia sudah tak tahu bagaimana untuk mendeskripsikan keadaannya saat ini. Satu gelas green tea latte tak tanggal pada genggamannya. Pintu masuk yang terus didatangi orang-orang. Bahkan, sedari ia berdiam di tempat ini, Syifa belum melihat satu pun orang yang meninggalkan tempat ini.

Seharusnya ia menikmati satu gelas minuman berwarna hijau itu dalam keadaan duduk, namun nyatanya ia justru menikmati sembari berdiri. Apabila ibunya tahu mungkin Syifa akan dicecar dengan kalimat, jangan minum sambil berdiri nggak sopan dilihatnya! Nggak boleh minum sambil berdiri nggak baik buat pencernaan! atau bahkan, minumnya sambil duduk, masa kalah sama kucing yang minumnya sambil duduk!

Kucing, katanya. Masa dirinya disamakan dengan makhluk berbulu lucu itu?

Namun, ya, Syifa sendiri tak punya pilihan lain. Apabila ia jongkok di tengah-tengah kerumunan justru Syifa lebih takut menjadi buah bibir dari orang-orang sekitar yang tak sengaja melihat.

Entah karena memang sedang kehausan, mencoba menepis kegelisahan, atau bahkan sengaja menyibukkan diri dengan terus-menerus meminum ice green tea latte itu, hingga tanpa sadar hampir menyisakan setengahnya lagi. Berbicara mengenai minuman berwarna hijau ini, Syifa benar-benar sangat menyukainya, sampai-sampai apabila dalam sehari apabila Syifa tak mengonsumsi makanan ataupun minuman green tea akan merasa lesu. Memang sehebat itu eksistensi green tea pada hidupnya.

Selama ia berdiri tepat di samping pohon buatan yang tak jauh dari kasir berada, Syifa menyadari sebuah momen yang cukup membuat dirinya melongo. Pasalnya, sedari tadi Syifa tak menemukan ada orang yang datang seorang diri. Jangankan untuk duduk dan menikmati secangkir minuman di salah satu meja yang telah disediakan, untuk Syifa melihat kedatangan orang secara sendiri pun—selama dirinya diam di sini—sama sekali tak ada.

Ketika tengah sibuk berargumentasi dengan isi pikirannya sendiri, sebuah panggilan disertai tepukkan kecil pada pundak kirinya mulai menyadari Syifa dari sebuah lamunan.

“Heh!” ucap seseorang itu sembari penuh keheranan lantaran gadis itu hanya terdiam mematung dengan kedua mata yang tidak berkedip sedikitpun.

Syifa harus mengapresiasi dirinya yang tak mudah terkejut akan hal-hal seperti ini. Bayangkan saja, apabila ia hampir kelepasan berteriak atau bahkan melemparkan gelas yang sedang ia genggam, bisa saja ia menjadi tontonan gratis dari para pengunjung kafe.

Harri bahkan kerap mengikuti arah pandang Syifa, namun setelah ditelusuri, gadis itu hanya menatap kosong ke sebuah pohon yang berada persis di sebelah pintu masuk. “Udah lama dari tadi di sini, Cip?” tanya Harri mencoba mengalihkan atensi Syifa.

Syifa menghela napas sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Bahkan minuman Syifa hampir mau abis saking udah lamanya Syifa mondar-mandir nyari A Harri!” ucap Syifa sembari mengangkat gelasnya, memamerkan minuman miliknya yang benar-benar tinggal menyisakan sedikit.

Wajah gadis itu memperlihatkan sarat kekesalan dan Harri bisa melihat raut wajah itu sendiri, tentunya.

Harri hanya menanggapi ucapan Syifa dengan tawa kecil. “Ih, ai Aa juga itu udah pesenin Cipa minuman green tea,” balas Harri.

A Harri tau dari mana Syifa suka minuman green tea?”

“Soalnya Aa kalau ke kafe sama pacar Aa, terus pacar Aa lagi nggak mau minum kopi suka mesen green tea atau red velvet. Mana tadi teh Aa debat dulu mau pesenin Cipa green tea atau red velvet,” ucap Harri, sembari kembali mengingat beberapa saat lalu ketika dirinya sibuk berbedat dengan keempat temannya perkara minuman apa yang akan dipilih.

“Ini pesenin apa ya buat si Syifa nanti?”

“Es kopi susu aja.”

“Kalau anaknya nggak bisa minum kopi gara-gara punya sakit lambung gimana anying? Bisa-bisa maneh diamuk orang tuanya.”

“Yaudah es teh manis aja kalau gitu.”

“Anjir udah kayak di warteg aja pesennya es teh manis!”

“Udahlah kata aing maneh chat aja anaknya mau pesen apaan gitu cepet soalnya mau pesen takut ngantri.”

“Ah lama lagi, udah antara green tea atau red velvet aja. Soalnya kalau aing sama si Fara ke kafe suka pesen minuman di antara dua itu.”

“Ya udah green tea aja kata si aku, kayaknya si dia bakalan suka.”

“Jangan! Gimana kalau misalnya dia tim green tea teh kayak rumput?”

“Daripada red velvet takut kemanisan?”

“Udahlah, saran saya pesenin aja air mineral biar aman.”

“Anjir udah kayak ngunjung di rumah orang aja disuguhinnya air putih.”

“Ah, berisik bagong! Udah aing suruh si Aa-nya pilihin nanti ajalah. Maraneh pada fix belum ini pesenannya?”

Tiba-tiba saja Harri tertawa membuat Syifa yang berada di sebelah laki-laki itu terheran-heran. Bagaimana tidak, ketika kakak kelasnya itu sedang bercerita justru berakhir diam dan sibuk dengan imajinasinya sendiri.

“Terus lanjutannya gimana A Harri?”

“Akhirnya pilih green tea soalnya red velvet-nya abis. Buang-buang waktu Aa aja dalam berdebat itu mah!”

Syifa tak habis pikir dengan cerita yang baru saja didengarnya. Lagi pula, mengapa tak langsung bertanya kepadanya saja apabila kakak kelasnya itu akan memesankan minuman terlebih dahulu? Jika tahu begitu, mungkin saja saat ini Syifa tidak akan merasa kesusahan membawa gelasnya berjalan ke sana dan ke sini sejak tadi.

Laki-laki itu bersiap-siap untuk melangkah, melanjutkan perjalanan menuju ke tempatnya kembali. “Hayu, ah, Cip, takut keburu malem nanti Cipa dicariin orang tua Cipa. Lagian yang lainnya udah pada nungguin juga,” tukas Harri saat melihat jarum jam akan menunjukkan pukul setengah delapan.

“Yang lainnya?” tanya Syifa, “yang lainnya siapa, A? Jadi bukan ketemuan sama Syifa aja?” Berbeda dengan sebelumnya yang hanya melontarkanpertanyaan itu pada dirinya sendiri, sekarang Syifa sudah dapat melayangkan pertanyaan itu langsung kepada kakak kelasnya.

Syifa mendengkus kesal saat pertanyaan darinya itu tak digubris sama sekali oleh Harri. Laki-laki itu justru saat ini sudah berjalan beberapa langkah mendahuluinya.

Masih dengan berbagai pertanyaan mengenai mengapa kakak kelasnya itu mengajak bertemu di kafe ini, lalu apa saja yang sudah disiapkan kakak kelasnya, bahkan hingga siapa saja yang diajak kakak kelas itu masih terus-menerus menghantui pikiran Syifa.

Satu yang baru saja diperhatikan oleh dirinya yaitu sedari tadi ketika melewati beberapa meja, kedua telinganya tak henti mendengar sebuah sapaan yang dilayangkan untuk laki-laki di sampingnya. Sehingga, Syifa secara tidak sadar bergumam, “banyak banget yang kenal sama A Harri.” Namun, setelah dipikir-pikir, jangankan di luar sekolah, di dalam sekolah pun kakak kelasnya itu memang cukup dikenal di berbagai kalangan. Tak heran pula, sebab laki-laki itu memiliki kepribadian yang cukup telaten dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Syifa sedikit iri dengan jiwa sosialisasi kakak kelas itu, lantaran sangat berbanding terbalik dengan dirinya.

Syifa refleks menarik ujung kaos Harri kala kedua matanya menangkap jelas kelima orang laki-laki yang tengah tertawa karena salah satu dari mereka melemparkan sebuah lelucon yang terdengar samar di telinganya. “A Harri ….” Suara gadis itu sangat pelan. Bahkan, masih terkalahkan oleh meja-meja sebelah yang sedang bercengkerama dengan teman sebayanya.

Sumpah si aku sampe mau bilang ‘Aksaaa awas nanti si kamu ketabrak orang yang mau mundurin motor!’ eh, taunya si aku malah telat!

Si Aksa beneran ketabrak?

Beneran! Si Aksa langsung nyungsep itu si aku malu banget, mana lagi rame di sananya!

Sumpah aing kayaknya nggak bakalan dateng ke kafe ini lagi lah, Anjing.

Langkah Harri sontak terhenti dan menolehkan wajah ke belakang untuk melihat mengapa Syifa telah menarik pakaiannya. “Kenapa, Cip?” tanya Harri memastikan, karena demi apa pun ia tak bisa mendengar ucapan dari arah belakangnya.

“Kenapa ada temen-temen A Harri juga?” tanya Syifa, menunjuk ke arah meja itu dan menatapnya sekilas. Raut gadis itu tak bisa disembunyikan. Selain tak pandai berakting, dirinya pun kurang mahir untuk menutupi suatu hal.

Harri tak langsung menjawab pertanyaan dari yang lebih muda. Laki-laki itu justru meraih pundak Syifa dan menariknya kecil, seolah sedang berusaha membuat gadis itu melangkahkan kaki untuk segera mengikuti langkah miliknya.

“Nanti Aa jelasin di sana, sekarang Cipa ikut dulu sama Aa.”

Jadi, 'yang lain' yang diomongin A Harri di-chat tadi itu ternyata temen-temennya A Harri, ya ....

Sebenarnya masih banyak hal yang harus ia tanyakan kepada Harri, namun setelah langkahnya kini telah berada persis di meja itu, semua pertanyaan yang semula berlalu-lalang dalam pikirannya hilang dalam sekejap. Syifa mematung untuk beberapa saat. Kedua matanya tak berhenti mengedip. Hingga sebuah suara mulai menginterupsinya dan menyadarkan dirinya dalam sebuah lamunan.

“Duduk, Dek, sini!” ucap salah satu laki-laki di sana sembari menepuk kursi kosong di sebelahnya. “Jangan berdiri terus nanti pegel.”

Jagat menyingkirkan gelas kopi miliknya, takut menjadi alasan gadis itu enggan untuk duduk. “Sini duduk, Syifa.” Jagat bangkit, berpindah ke tempat Rakha dan mempersilakan Syifa duduk di samping Harri. Sebab, hanya Harri satu-satunya yang dikenal adik kelas itu.

Kemudian tak lama berselang dari situ, suara nyaring dari kursi yang ditarik seketika mengheningkan tengah keramaian di meja sana. Pandangan mereka semua saling tertuju kepada Syifa yang sibuk mendudukan diri.

Harri yang melihat Syifa sudah nyaman dengan duduknya lantas bersuara, “oke, Aa mau kenalin dulu temen-temen Aa di sini. Itu yang tadi ngasih duduk ke Syifa namanya Jagat, di pinggirnya Rakha, kita bertiga satu kelas sama Ajay. Kalau kita mah kayaknya Syifa udah tau soalnya udah beberapa kali sempet pernah ketemu juga,” ucap Harri sembari diam-diam dibenarkan oleh Syifa, karena tak jarang Syifa kerap melihat Kak Jaya bersama ketiga orang tersebut. “Nah, kalau yang dua itu namanya Aksa sama Yolan, mereka anak IPS. Takutnya Syifa bertanya-tanya dua orang itu siapa, sedangkan biasanya Syifa sering liat cuman kita berempat aja.” Harri menjelaskan satu per satu dari mereka, walaupun sebenarnya Syifa sendiri sudah mengenali beberapa kakak kelasnya—kecuali Aksara dan Yolan yang notaben masih terasa asing.

Syifa tersenyum dan mengangguk. “Salam kenal, ya, Kak, aku Syifa kelas sepuluh IPA tujuh!”

Beruntung, perkenalan itu disambut baik oleh keempat orang di seberang Syifa. Sehingga, Syifa tak perlu merasa khawatir apabila di atas meja itu terasa canggung akan kehadirannya.

“Terus, alasan si kamu ngajak kita semua sampe Syifa ke sini apa?” tanya Yolan penasaran, sebab sedari tadi Yolan dilanda pertanyaan yang tak kunjung hilang dalam kepalanya.

Harri menepuk jidat. “Oh iya, aing lupa.” Sepersekian detik setelahnya, Harri menarik kursi. Kedua tangannya melambai seolah tengah memberikan isyarat kepada keempat teman di seberang untuk lebih mendekatkan tubuh mereka.

Tentu, Syifa yang berada di samping Harri ikut mencondongkan tubuh ke samping—menyodorkan telinga kanan dan membukanya lebar-lebar agar tak ada sepatah kalimat yang tak bisa ia dengar.

“Jadi, gini, daks. Syifa ini suka sama si Ajay—”

Aa, ih!” potong Syifa cepat, sembari melangkan cubitan asal pada lengan kakak kelas di sampingnya. Jelas, Harri yang tak mengira akan dilayangkan cubitan seperti itu lantas mengaduh.

Harri mengelus-elus lengan cepat, menghilangkan rasa sakit yang kemudian berubah menjadi panas dari cubitan Syifa. “Sakit ai, Syifa! Kan, Aa teh belum jelasin sampe inti kenapa udah main nyubit-nyubit aja!” Sementara keempat orang di sana hanya melayangkan kekehan dari pemandangan yang baru saja dilihatnya.

“Syifa beneran suka sama temen si aku Jaya?”

Dengan kepala tertunduk—malu-malu—Syifa akhirnya mengangguk mengiakan ucapan tersebut.

Aksara menggelengkan kepala cepat. “Anjir, aing masih nggak nyangka modelan si Ajay ada yang sukain.”

“Parah anjir maneh, kalau si Ajay denger pasti nggak mau bantuin kerusakan di kosan maneh lagi, Sa.”

“Nggak gitu maksudnya, Mang Rakuy!”

Melihat kericuhan yang lagi-lagi mereka perdebatkan, Jagat hanya bisa menghela napas untuk kesekian kali. “Lanjutin, Ri, jadi gimana?” tanya Jagat, mencoba membalikan konsentrasi mereka pada topik awal.

“Sekarang Aa mau nanya dulu sama Syifa.” Harri memiringkan sedikit tubuhnya ke samping. “Syifa beneran suka dan mau sama si Ajay, kan?”

Syifa mengangguk semangat. “Iya, Syifa beneran suka sama Kak Jaya!”

Jawaban lugu dari Syifa sukses membuat Aksara, Rakha, dan Yolan yang tengah menyeruput kopi tersedak dengan bersamaan. Mereka serempak memukul dada untuk menghilangkan batuk yang sudah membuat fokus Harri, Jagat, dan Syifa terpecah.

Harri memilih tak menghiraukan gangguan tersebut. “Kalau gitu, Syifa harus ikutin kata-kata Aa, ya, kalau mau berjalan lancar.”

Syifa menoleh, sedetik kemudian kedua alisnya menyatu dengan kerutan pada dahi gadis itu sudah mulai samar-samar terlihat.

“Syifa mulai pulang dari sini, kurangin interaksi sama Ajay. Syifa harus bisa main tarik-ulur. Cowok biasanya bakalan ngerasa kehilangan kalau kebiasaan sebelumnya mulai berubah. Syifa jangan dulu chat Jaya duluan, di sekolah kalau ketemu Jaya jangan disapa. Pokoknya tarik-ulur aja,” jelas Harri dengan khusyuk. “Kalau kemarin Syifa yang narik si Ajay, sekarang giliran Syifa yang ngulur. Biarin si Ajay yang narik Syifa.”

Syifa terdiam untuk beberapa saat. Perkataan dari Harri itu selalu ia ulang dalam kepala.

“Tapi kalau misalnya gagal?” Syifa bertanya balik, “soalnya Kak Jaya nggak pernah chat Syifa duluan. Jadi, kalau misalnya ternyata saran dari A Harri gagal gimana?”

Jagat yang sedari tadi hanya menyimak obrolan itu, perlahan menyandarkan punggung dan menggeser gelas kopi yang hampir habis. “Harri bener, saya dulu ada di posisi itu. Tarik ulur emang ampuh. Dicoba dulu, Syifa, kalau nggak dicoba kita nggak akan tau hasilnya kayak gimana.” Jagat mengulas sebuah senyuman di akhir kalimat dengan maksud tengah memberikan semangat untuk adik kelas itu.

Yolan mengangguk. “Iya si aku juga mengakui itu, kadang si aku juga suka pake trik tarik-ulur buat tau sejauh mana doi interest sama kita.”

Syifa kembali diam. Meskipun terbesit ada perasaan tak ingin melakukan hal itu. Namun sepertinya untuk mengikuti saran dari kakak kelasnya itu, tak masalah. Terlebih beberapa di antara mereka sudah memberikan pengalaman dan semangat untuk dirinya.

“Kalau misalnya si Ajay nge-chat Syifa kabarin aja Aa, nanti Aa bantu.” Syifa masih setia diam. “Percaya sama Aa, bakalan berhasil. Cipa percaya nggak sama Aa sama temen-temen Aa?” tanya Harri masih tetap berusaha meyakinkan Syifa atas rencana yang selama ini sudah ia susun sebaik mungkin.

Masih dengan perasaan ragu, akhirnya Syifa menganggukkan kepala. Ia benar-benar berharap semoga rencana yang sudah disusun kakak kelasnya itu akan berjalan lancar.

“Semangat, Syifa!”

“Semangat, Syifa!”

Syifa tak tahu harus berekspresi apa setelah mendengar respons positif dari kelima kakak kelasnya. Bahkan, untuk terlintas pikiran meminta bantuan pada kakak kelas di sebelahnya saja sebenarnya tak pernah ada dalam kepala Syifa. Namun, siapa sangka justru bukan hanya satu orang yang membantunya, melainkan lima orang sekaligus.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Tetesan gemuruh suara air yang jatuh perlahan menghilang setelah Harri memutar keran air tersebut ke arah yang berlawanan. Laki-laki yang mengenakan kaos hitam bergambarkan salah satu logo band musik favoritnya itu mengibas-ngibaskan tangan di atas wastafel, mempercepat menghilangkan bulir-bulir air pada telapak tangannya. Kegiatan itu hanya dilakukan beberapa detik saja, sebab kini laki-laki itu sedang asyik menggosokkan tangan pada sisi pakaian yang dikenakannya.

Harri membalikkan tubuh, berancang-ancang akan kembali ke kamarnya setelah kegiatan mencuci gelas telah selesai. Akan tetapi, suara derap langkah seseorang disertai bunyi beberapa benda yang berjatuhan justru mengurungkan niat Harri untuk melanjutkan langkahnya. Sedetik kemudian, sosok adik kecil dengan ciri khas rambut ikalnya yang ikut bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti langkah kakinya berlari itu sudah berada di hadapannya.

“Aa Harri!”

Harri mengangkat salah satu alis. “Kulan kasep.” Mata Harri tak mau diam, terus mengikuti pergerakkan adiknya melangkah.

“Aa, tolong ambilin gelas.” Aarash menunjuk pada sebuah lemari atas persis di belakang laki-laki yang masih asyik berdiri. “Aarash mau minum tapi tangan Aarash nggak nyampe!” Bibir adik kecil itu mengerucut, merasa kesal sebab tak dapat meraih gelas itu sendiri.

Harri spontan menggigit pipi dalam dengan mata yang memejam. Sesekali telapak tangan laki-laki itu menutupi wajahnya, kemudian bergerak mengacak-acak rambutnya secara asal. Anjing! Lucu ginilah adik aing teh! Bukannya bergegas meraih gelas itu dan menyerahkannya, namun sepertinya Harri nampak tak bisa berkutik atas aksi adiknya yang menggemaskan.

“Aa, kenapa malah merem?” heran Aarash. Laki-laki kecil yang berumur sembilan tahun itu menyimpan mainannya di bawah—di pinggir kakinya. Setelahnya, kaki Aarash tampak tak mau diam. Terus berjinjit, mencoba berusaha meraih gelas itu walaupun aksinya harus terbuang sia-sia.

Harri melirik sekilas, lalu membuka pintu lemari itu secara sengaja. “Mau gelas ini bukan?” Diraihlah salah satu gelas yang berjejer rapi dengan sembarang. Harri mengangkat gelas tersebut kemudian dibalas anggukkan oleh si kecil.

“Iya!” Mendengar jawaban antusias itu, rasa jahilnya tiba-tiba saja datang. Harri kembali menyimpan gelas tersebut di tempat semula. Spontan aksi menjengkelkan itu telah sukses membuat Aarash berkacak pinggang sembari raut wajah dipenuhi tanda tanya.

“Kenapa malah disimpen lagi?” Padahal tangan Aarash sudah menengadah, sudah siap meraih gelas yang akan diserahkan kakak sulung kepadanya.

Harri berlutut, lalu membawa salah satu jarinya menunjuk pipi sebelah kanan. “Cium Aa dulu, baru Aa bawain gelasnya,” ucap Harri, tak henti menepuk jemari telunjuknya di atas permukaan pipi kanan.

Cup!

Senyum Harri melebar tatkala mendapatkan sebuah kecupan yang diberikan adiknya. Maka, sesuai ucapannya beberapa detik lalu, Harri kini telah beranjak untuk kembali meraih gelas tersebut untuk diberikan kepada Aarash.

“Pipi kiri Aa nya belum.” Harri dengan gesit menyembunyikan gelas yang akan diraih oleh Aarash. Laki-laki itu menyodorkan pipi kirinya, lalu benar saja hanya dalam hitungan beberapa detik sebuah kecupan kembali dilayangkan oleh Aarash untuknya.

Mangga ieu bageur.

Belum genap sepuluh detik Harri menyerahkan gelas plastik itu, akan tetapi Aarash telah cepat meraihnya. Mungkin si kecil takut apabila Harri akan kembali menjahilinya.

“Eh, mau ke mana?” Harri menarik ujung belakang kaos Aarash ketika melihat adiknya berancang-ancang akan meninggalkannya tanpa melontarkan sebuah kalimat terpenting. “Bilang apa dulu sama Aa?” ucap Harri.

“Makasih Aa!”

Cengkeraman pada belakang kaos Aarash kini telah terlepas, mempersilakan adiknya untuk kembali melanjutkan langkah menuju dispenser. “Sami-sami kasep,” timpal Harri sembari memberikan kecupan singkat pada puncak kepala Aarash, lalu Harri menepuk; mengelus; mengacak-acak; rambut Aarash dengan penuh rasa kasih sayang.

“Kok cuman Aarash yang dicium, kenapa Aariz nggak dicium juga?” interupsi Aariz yang baru saja menonton kejadian cukup membuat dirinya dibakar api cemburu, sebab niat ingin memanggil kembarannya yang tak kunjung kembali ke kamar, eh ia malah disuguhkan oleh pemandangan kakak sulungnya yang tengah asyik mencium kepala kembaran yang hanya beda beberapa menit dengannya. Sungguh menjengkelkan bukan?

Harri terkekeh. Laki-laki itu mengibaskan tangan seolah tengah memanggil adik bungsunya untuk segera menghampiri. Tak seperti biasanya yang terlihat dingin dan terkesan tak acuh, justru kini adiknya itu langsung mengikuti titahannya tanpa ia harus susah payah mengulanginya untuk kedua kali.

“Mana kenapa belum cium Aariz juga?” Aariz kesal sebab kakak sulungnya tak kunjung memberikan kecupan yang diminta seperti halnya Harri memberikan kecupan tersebut untuk kembarannya.

“Tadi Aarash cium pipi Aa dulu baru Aa cium kepala Aarash,” jelas Harri. Menyodorkan pipi kanannya, memberikan isyarat agar Aariz melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Aarash beberap menit lalu.

Aariz mendengkus disertai kepala yang menggeleng. “Aariz nggak mau,” sanggahnya cepat.

Mendengar jawaban penolakan dari Aariz, spontan Harri langsung berdiri. “Ya udah kalau nggak mau mah nggak apa-apa, sih, Aa nggak rugi juga,” sahut Harri dengan kedua pundak terangkat.

Emosi Aariz memuncak ketika melihat raut wajah penuh ejekan yang diperlihatkan Aarash untuknya. Harri tak tahu saja bahwa adik kecilnya itu kini sedang mati-matian menahan kalimat agar tidak menyumpahi kembarannya.

Harri melirik ke arah bawah ketika merasakan ujung kaosnya sedang ditarik seseorang. “Apa?” tanya Harri sedikit ketus.

Harri mau tak mau harus menahan teriakannya kala melihat jemari adik bungsunya bergerak pelan, seakan-akan Aariz antara terpaksa dan malu untuk menyuruhnya kembali berlutut. “Sini dulu Aariz mau bisikin sesuatu sama Aa,” kilahnya.

Harri tak menyimpan rasa curiga sehingga ketika ia dipinta untuk berlutut—menyamakan tinggi tubuhnya dengan tinggi tubuh Aariz. Laki-laki itu telah menyerahkan telinga kanannya ke hadapan mulut si kecil, sengaja agar mempermudah Aariz akan membisikkan suatu kata nantinya.

Namun, alih-alih mendengarkan kalimat yang dilontarkan Aariz, Harri justru merasakan pipi kanannya basah, pun suara kecupan setelahnya.

Apabila ditanya terkejut atau tidak, tentu saja sudah jelas terkejut. Pasalnya, di antara ketiga adiknya (Kaila, Aarash, dan Aariz) hanya si bungsu lah—Aariz—memiliki jiwa gengsi yang besar.

Jika diibaratkan sebuah lilin, mungkin saat ini ia akan meleleh dan menyatu dengan lantai di bawahnya yang kemudian akan terinjak-injak sang pemilik rumah tanpa rasa belas kasihan.

Bukan hanya Harri yang terkejut, Aarash yang sedari tadi hanya menyaksikan kejadian itu dengan satu gelas air minum di tangannya pun ikut terkejut. Bahkan parahnya, air yang seharusnya ia telan dan mengaliri tenggorokan justru membeludak keluar melewati celah-celah bibirnya yang terbuka.

“Mana cepet cium kepala Aariz!” ketus Aariz dengan rona merah yang sudah menghiasi kedua pipinya. Kaki si kecil menghentak, berusaha menyadarkan kakak sulungnya yang terlihat sudah terbawa jauh oleh segala pikiran dalam isi kepala.

Bukan Harri namanya jika memberikan keinginan si kecil dengan mudahnya. Laki-laki itu kembali menyodorkan pipi lain yang belum dikecup oleh adiknya. “Satu lagi belum, nanti pipi kiri Aa sirik. Sirik kayak Aariz liat Aa nyium Aarash,” ejek Harri.

Jika bukan karena Aarash, mungkin Aariz tak akan pernah mau mengabulkan keinginan kakaknya yang tak bosan selalu menjahilinya.

Cup!

Harri bangga. Entah pergi ke mana ego si bungsu saat ini, sebab Harri teramat senang diberikan kecupan oleh kedua adiknya yang sangat sulit ia pinta apabila bukan dalam keadaan seperti sekarang ini.

Harri mengulas senyuman. Tangan laki-laki itu terulur untuk meraih kepala Aariz dan segera memberikan kecupan hangat pada pundak kepala adiknya itu.

Aariz senangnya bukan main setelah merasakan kepalanya telah dikecup kakaknya. Terlampau senang, bahkan ia sampai menjulurkan lidah ke arah Aarash yang kini terlihat tak terima melihat adegan itu.

Aarash tahu betul raut wajah itu. Raut wajah kemenangan yang dihiasi ledekan di dalamnya. Aarash tahu itu.

Maka, Aarash dengan cepat menyimpan gelas. Kakinya ia bawa untuk menghampiri kedua orang itu yang masih berdiam di tempatnya.

“Aa, Aarash mau lagi dicium Aa yang lama!”

Tubuh Harri sempoyongan ketika merasakan tangannya ditarik begitu saja cukup bertenaga.

“Aariz juga mau lagi, Aa jangan cium Aarash!”

Tangan kanan ditarik Aarash, lalu tangan kiri ditarik Aariz. Tubuh Harri bergerak ke kanan dan ke kiri setiap detiknya berlalu.

“Ini Aa Aarash!”

“Ini Aa Aariz!” sahut Aariz tak mau kalah.

Sementara Harri yang berada di tengah-tengah situasi saat ini hanya bisa memejamkan mata dan berusaha menulikan pendengarannya yang sukses dibuat pegang oleh kedua adiknya.

“Udah, udah!” Harri melepaskan cengkeraman dari tangan kedua adiknya.

“Aarash mau main sama Aa,” ucap Aarash menatap Harri sembari memperlihatkan sorot mata penuh harap.

Aariz menggeleng ribut. “Jangan sama Aarash, Aa mainnya sama Aariz aja!” balas Aariz, berusaha meraih kembali tangan Harri namun gagal, sebab Harri lebih dulu melangkah mundur.

“Lepasin dulu!” Harri melepaskan kedua tangan si kembar yang sedari tadi menarik dirinya ke arah yang berlawanan. “Iya, iya! Nanti Aa main sama kalian berdua,” tenang Harri, tatapannya bergerak mengelilingi tempat yang tengah ia pihak. “Tapi, boong. Kabuuuur!” Harri berlari setelah mengetahui jalan pintas mana yang akan ia lewati agar terbebas dari si kembar yang sedang merebutkan dirinya.

“AA!” teriak Aarash dan Aariz kompak melihat kakak sulungnya meninggalkan keduanya di dapur.

Apabila sudah begini, kabur menjadi salah satu alasan terbaik untuk terbebas dari kedua adiknya. Lelah rasanya ketika tubuhnya hanya satu, namun si kembar tak mau saling mengalah untuk mengajaknya main ini dan itu. Padahal setelah dipikir-pikir main bersama adalah pilihan yang terbaik. Bukannya yang satu minta main robot-robotan dan satu lagi minta main bola. Ingat, dirinya bukan amoeba yang bisa membelah diri begitu saja!


Kolase Asmara Universe

by NAAMER1CAN0



Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0


Syifa mengetuk-ngetukkan bosan jemari lentik miliknya itu di atas etalase kaca. Tangan lainnya yang terbebas setia menopang dagu sang empu sembari sesekali tatapan gadis itu mengelilingi ruangan yang cukup padat oleh para pengunjung yang berdatangan.

Lembaran kertas yang sudah tersusun rapi di bawah lengannya seakan tak dipedulikan oleh seorang pria di depan sana. Jangankan untuk mendatanginya, untuk sekadar pria itu menoleh ke arah ia dan kumpulan kertas itu pun tak melakukannya.

Jika ia tahu bahwa fotokopi ini sedang ramai oleh pengunjung, mungkin ia akan berbalik arah untuk menuju tempat fotokopi di seberang. Namun, apa yang bisa ia lakukan ketika sebuah ibarat bahwa nasi pun sudah menjadi bubur.

Tubuh Syifa refleks menegak kala melihat pria itu justru menghampiri seorang siswi yang ia pastikan bahwa sosok gadis itu belum genap sepuluh menit berada di dalam ruangan ini. Kedua alis Syifa saling bertaut; garis-garis pada dahinya kian tercetak dengan raut wajah menahan penuh rasa kesal.

“Pa, kok dia duluan?! Kan, Syifa duluan yang udah selesai nge-print-nya dari tadi!” keluh Syifa tak terima dirinya diterobos begitu saja oleh salah satu pengunjung di sana.

Jari-jari pria itu bergerak cepat seiring rentetan kalimat yang terus-menerus disenandungkan oleh gadis itu. “Bentar, ya, Neng. Ini nanggung soalnya cuman nge-print aja tanpa ngejilid,” tenang sang pemilik fotokopi, berharap setelahnya pria itu tak akan dilempari oleh kalimat protes secara bertubi-tubi.

Syifa tak peduli jika dirinya dianggap tak sopan oleh seorang gadis yang kini sedang menatap tak suka ke arahnya—apalagi ia sendiri tak mengetahui asal-usul gadis itu, entah siswi yang sepantar dengannya; lebih muda; atau bahkan parahnya lebih tua. Syifa tak memikirkan sampai sejauh itu, sebab ada hal lain yang lebih penting ia pikirkan. Ucapan darinya pun hanya sebatas rasa impulsif belaka di luar kendalinya kala itu.

Ingin kembali mencecar dengan berbagai kalimat yang belum sempat ia salurkan, namun ia pun mau tak mau harus menelan paksa rentetan kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya sebab tak ingin dirinya dicap sebagai orang tak sabaran.

Selepas asyik bergelut dengan isi pikirannya, pria itu akhirnya datang dan mulai meraih tumpukkan lembaran kertas itu yang sudah ia rapikan sesuai nama pemiliknya.

“Mau dijilid warna apa, Neng?”

“Biru, ya, Pa.”

Pria itu membalas ucapannya dengan anggukkan. “Ada print gambar berwarna nggak, Neng?” Sang pemilik fotokopi menekuk lembaran kertas itu untuk menghitung berapa banyak kertas yang terpakai dengan cara cepat. Ada rasa takjub ketika Syifa asyik menatap kejadian itu bahkan tanpa berkedip sedikit pun.

Lantas, saat ia kembali teringat dengan pertanyaan terakhir yang diucapkan pria itu, Syifa bergegas menggelengkan kepala. “Nggak ada, Pa. Paling print gambar logo sekolah aja di awal,” sahut Syifa setelah tersadar dari lamunan.

Hal yang paling disenangi olehnya ketika harus berada di tempat fotokopi adalah melihat pemandangan sang pemilik dengan telaten menyulap kertas tak beralaskan itu dengan berbagai kertas yang memiliki warna dapat memanjakan indra penglihatannya. Apalagi ketika tumpukkan kertas itu dipotong untuk menyesuaikan ukuran dengan kertas berwarna di bawahnya. Aneh memang,

Hingga akhirnya….

“Semuanya lima puluh sembilan ribu, ya, Neng.”

Lamunan ia terhentikan oleh suara pria itu yang telah menginterupsinya. Sontak jemari Syifa terulur untuk meraih meraih dua lembar uang berwarna biru dan ungu untuk diserahkan kepada orang tersebut.

Neng, nggak ada kembalinya. Seribunya mau di-ke-permenin aja nggak?” tawar pria tersebut sukses membuat Syifa mendecih pelan. Bukan karena ia tak suka karena kembaliannya tidak berbentuk uang, melainkan setelah ia harus bersabar antreannya diserobot, lalu sekarang kesialan lain mendatanginya secara bertubi-tubi.

“Boleh, tapi Syifa mau permen kopiko, ya, Pa.”

Maka, agar pria itu dapat melayani pelanggan lainnya yang telah saling menunggu satu sama lain, pria itu meraih beberapa permen sesuai permintaan gadis itu dan diserahkan kepada sang empu.

Maka, agar pria itu dapat melayani pelanggan lainnya yang telah saling menunggu satu sama lain, pria itu meraih beberapa permen sesuai permintaan gadis itu dan diserahkan kepada sang empu.

“Terima kasih, Pa!”

Tiga kata tersebut menjadi akhir dari pertemuan mereka, sebab kini Syifa telah berancang-ancang meninggalkan tempat fotokopi itu. Sementara pria pemilik tempat itu sudah berpindah pada pelanggan lain dan melakukan hal sama kepadanya seperti beberapa menit yang lalu.

“Udah ngantre lama, kembalinya pake permen, eh permennya susah dibuka gara-gara kepanasan!” rutuk Syifa.

Tumpukkan makalah yang cukup tebal itu ia apit di antara ketiaknya, sedangkan jemarinya sibuk membuka bungkus permen yang entah mengapa permen itu seakan tak menginginkan untuk disantap olehnya.

Arghh, kesel sendiri Syifa bukanya juga!”

Malang sekali, tanpa melibatkan rasa kasihan permen dengan bungkus sudah tak beraturan itu Syifa lempar sembarang arah. Masa bodoh dengan racauan dari permen itu nanti, Syifa tidak memedulikan akibat rasa kesal yang masih menyelimuti dirinya.

Syifa melirik ketiga permen lain yang tengah asyik bersemayam di kantong seragam miliknya itu, niat ingin meraihnya dan melempar seperti permen sebelumnya, namun dengan cepat ia mengurungkan niatnya. Perkataan ibunya kembali terngiang-ngiang untuk tidak membuang-buang makanan, pun tak boleh membuang sampah sembarangan. Lantas, bekas permen yang sudah dibuang olehnya, Syifa kembali raih dan membuangnya di tempat sampah yang tak jauh dari tempatnya berada.

“Maaf, ya, permen tadi Syifa buang, soalnya kamu ngeselin!” ucap Syifa sembari menatap iba tong sampah di depannya.

Getaran pada saku rok sekolah itu berhasil menjadi sebuah alarm untuknya. Syifa menepuk jidatnya tak berperasaan. Kulit putih itu perlahan berubah menjadi merah akibat tindakannya beberapa sekon lalu. “Syifa hampir aja lupa buat cepet-cepet nyerahin tugas makalah ini sebelum pelajarannya selesai!” Gadis itu terburu mengangkat sedikit rok sekolah hingga di atas mata kaki agar tak menyulitkan dirinya dalam berlari.

Suara klakson yang terdengar nyaring lantaran tak sabaran dibunyikan oleh saban insan di dalam kendaraan roda empat itu mengalun ramai dan mengisi penuh indra pendengarannya. Lengkap sudah ketika para kendaraan itu entah mengapa justru seperti tengah saling menunggu kendaraan lainnya untuk melaju. Entah datang dari mana, angkutan umum berwarna hijau biru muda itu mulai memenuhi jalanan yang tengah ia telusuri untuk kembali ke lingkungan sekolah. Sepanjang perjalanan ia dapat merasakan bagaimana tiap pengendara tengah menahan amarah di tengah-tengah kemacetan pun keadaan cukup terik. Panas, pengap, pegal, dan bosan. Tanpa harus mengalaminya, ia cukup paham yang sedang dirasakan para pengendara di sana.

Kedua kakinya sibuk melangkah sembari melafalkan kalimat permintaan agar jalanan menuju sekolahannya tak semacet seperti sekarang ini. Perlahan macet oleh kendaraan itu berangsur mereda. Tak ada lagi para kendaraan yang berbondong-bondong saling berlomba siapa yang paling lama berdiam diri di bawah panasnya sang surya. Kini hanya ada keadaan jalanan yang padat merayap. Syifa sendiri cukup dibuat heran dengan jalanan itu yang tiba-tiba macet, tak seperti biasanya.

Syifa mempercepat langkahnya ketika zebra cross di depan sana sudah mulai terlihat. Kepala gadis itu bergerak ke kanan dan ke kiri, memperhatikan tiap kendaraan yang terus berlalu-lalang tanpa berniat untuk mengistirahatkan sejenak mesin itu, sekadar memberikan sedikit jalan untuknya menyeberang.

Syifa diselimuti penuh keraguan tatkala kaki gadis itu baru saja mengambil satu langkah untuk berada di garis start zebra cross, namun sayangnya langkah tersebut justru dibawa kembali ke tempat sebelumnya saat tiba-tiba sebuah motor cukup kencang melintasinya begitu saja.

“Harusnya kalau ngelewatin zebra cross itu jalanin motornya pelan-pelan!” gerutu Syifa, meskipun kalimat penuh rasa kesal itu tak sampai kepada telinga sang pengendara. “Bukannya ada peraturan berkendara kalau ngelintas ke tempat-tempat kayak sekolah gitu kecepatan kendaraannya harus dikurangi, ya?” tanya Syifa kepada diri sendiri.

Setahu dirinya, pada tiap sekolah memiliki Zona Selamat Sekolah (ZoSS). Salah satu contohnya tidak memperbolehkan berkendara di kawasan sekolah lebih dari 30 km/jam atau bahkan 40 km/jam sesuai dengan rambu lalu-lintas yang terpasang di sekitar sekolah. Tolong ralat dirinya jika informasi masih kurang tepat. Namun, ia cukup yakin dengan informasi yang pernah dijelaskan oleh ayahnya ketika di rumah kala itu.

“Mau ke mana, Syifa?”

Sedang asyik-asyiknya bergumul dengan isi pikirannya, sekonyong-konyong kalimat itu terucap di tengah-tengah suasana cukup bising lantaran beberapa kendaraan yang melintas memakai knalpot yang sudah jelas-nelas melanggar etika pun peraturan dalam berkendara.

“KAK JAYA?!”

Entah terkejut atau senang, yang pasti kedua mata gadis itu sukses membulat sempurna. Seper sekian detik kemudian kedua mata itu menyipit sebab gadis itu saat ini tengah mati-matian menarik kedua ujung bibirnya.

“Syifa mau ke mana?” ulang Jaya, menatap bergantian antara gadis itu yang sedari tadi berdiam diri di pinggir jalan, lalu menatap gerbang sekolah di seberang sana.

“Syifa tadi abis dari tempat fokotopi-an bawah, abis nge-print tugas bahasa Indonesia kelasnya Syifa, Kak Jaya!” Syifa mengangkat makalah itu, memberi bukti konkret atas balasan dari pertanyaan kakak kelas itu.

Jaya merespons jawaban itu dengan menganggukkan kepalanya pelan.

Syifa menatap heran laki-laki di sampingnya yang secara tiba-tiba muncul di sekitarnya. “Kak Jaya sendiri ngapain ada di sini?” tanya Syifa balik.

Jaya melirik ke arah belakang yang Syifa sendiri tak tahu ke arah mana laki-laki menunjuknya. “Jaya abis mindahin motor ke parkiran halaman rumah Bu Tatiek.”

“Lho, kenapa dipindahin?” Syifa bertanya dengan kedua alis yang menyatu.

“Biar bisa bolos mata pelajaran bimbingan konseling di Aula nanti,” timpal Jaya penuh kejujuran.

Syifa menepuk dahi setelah mendengar jawaban yang ia tak pernah menyangka bahwa laki-laki itu akan mengatakan hal tersebut. “IH, KAK JAYA BANDEL!” Sementara Jaya yang telah berucap demikian hanya merespons ucapan itu dengan tawa kecil.

Lantunan tawa itu seketika terhenti setelah menyadari ada pertanyaan lain yang akan ia sampaikan. “Kenapa nggak nyeberang?” heran Jaya, memandang gadis itu bergantian dengan objek di hadapannya.

“Jalanannya dari tadi belum kosong-kosong juga, Kak Jaya.”

Syifa bukan sedang menjual kisah menyedihkan agar mendapat perhatian dari laki-laki itu, bukan. Hanya aja kekurangan lainnya yang Syifa punya yaitu tak bisa melintasi jalan raya yang ramai akan kendaraan yang berlalu-lalang, terkecuali jalanan itu cukup sepi, baru ia bisa leluasa melintasi tanpa harus bantuan orang lain.

Dahi Jaya mengernyit. “Oh alah, ternyata Syifa nggak bisa nyeberang, ya.” Ada nada kekehan kecil setelah selesai kalimat itu ia ucapkan, namun lantunan tawa itu tak terdengar oleh gadis itu, sebab mampu tertimpa oleh suara kendaraan yang mendominasi.

Baru saja ia ingin menepis perkataan dari kakak kelasnya itu dan mengklarifikasi bahwa dirinya bukan tidak pandai dalam menyeberang, hanya saja kendaraannya dari tadi saling egois tak memberinya waktu untuk melintas walau beberapa detik. Dasar denial. Padahal sudah jelas-jelas ia memang tak bisa karena rasa takut yang menyelimuti dirinya.

“Ya udah, ayo, bareng Jaya. Jaya juga mau balik ke sekolah,” ajak Jaya.

Syifa bahkan belum mengiakan kalimat itu, tetapi Jaya sudah lebih dulu melangkah untuk melintasi jalanan cukup mengerikan untuknya. Katanya ngajak nyeberang bareng, tapi kenapa Kak Jaya malah nyeberang sendirian!

Merasa dirinya tak diikuti oleh seseorang di belakang, pun ia tak mendengar sayup derap langkah kaki yang lain, Jaya segera membalikkan badan. Alih-alih mengikuti langkahnya, gadis itu masih diam sembari memperlihatkan tatapan penuh rasa takut.

“Ayo nyeberang.”

Kepala laki-laki itu bergerak seolah tengah memberi isyarat kepada Syifa yang masih asyik berdiam diri. Melihat laki-laki itu akan kembali meninggalkannya, Syifa dengan cepat membawa kedua kakinya untuk mengikuti langkah Kak Jaya. Salah satu tangannya yang terbebas itu tanpa disadari telah menarik belakang seragam kakak kelasnya, bahkan gadis itu sampai meremasnya. Untung saja tak membuat seragam laki-laki itu keluar.

Merasa ada seseorang yang sedang menarik belakang seragam sekolahnya, Jaya otomatis menoleh. Ia cukup dibuat terkejut ketika dapati sang adik kelas seolah tengah menjadikan seragam sekolahnya sebagai panduan untuk gadis itu melangkah.

Jaya melirik lengan gadis itu sejenak, kemudian kembali mengarahkan pandangannya ke depan seperti semula. Lantas, entah rasa keberanian itu datang dari mana, kini lengannya telah mencengkeram erat pergelangan tangan sang adik kelas. Pun, cengkeraman pada seragam laki-laki itu otomatis terlepas kala tangannya ditarik pelan oleh sang empu.

Syifa sukses membeku kala merasakan jelas bagaimana dinginnya dari telapak tangan laki-laki itu mampu meredakan rasa panas pada kulitnya. Apabila laki-laki itu tak berjalan dengan menggerakkan tangan, mungkin ia akan berdiam diri di tengah-tengah zebra cross, bahkan mungkin ia akan dilayangkan oleh bising suara klakson yang tak terima akibat kehadirannya yang membuat para pengendara tak dapat melajukan kendaraan.

Seper sekian sekon kemudian dahi Syifa mengernyit, menatap hampa tangan kanannya yang sudah tak dicengkeram oleh laki-laki itu. Sadar tak sadar ia meloloskan napas kekecewaan akibat kejadian itu.

Namun hal itu tak berangsur lama ketika laki-laki itu kembali menggenggam pergelangan tangannya disertai posisi sang empu yang telah berpindah ke sisi sebelah kiri—semula Kak Jaya berada di sisi sebelah kanannya. Kepala Syifa spontan mendongak, menatap tak percaya bahwa kakak kelasnya akan kembali menggenggam tangan miliknya. Banyak hal yang ingin ia ucapkan, sebenarnya, tetapi ia lebih memilih untuk menelan semua pertanyaan yang sudah siap ia tuturkan demi menikmati tiap detik waktu yang berjalan dengan laki-laki itu. Tak ingin ada sisa waktu yang terlewatkan secara sia-sia, tentunya.

Seharusnya Syifa saat ini menatap jalananan di depan atau bahkan menatap jalanan di bawahnya yang sedang sibuk ia lewati. Akan tetapi pandangan ia justru dipenuhi oleh cengkeraman laki-laki itu pada pergelangan tangannya. Tolong ingatkan ia nanti untuk tak membasuh pergelangan tangan kanannya atau tolong ingatkan untuk siapapun tak boleh menyentuh pergelangan tangan kanan miliknya sampai waktu yang akan ditentukan nanti.

Yah. Syifa mengerang kecewa kala cengkeraman laki-laki itu terlepas begitu saja setelah mereka berhasil sampai di gerbang sekolahnya.

“Kenapa nggak masuk?” Jaya cukup keheranan melihat gadis itu terus-menerus terdiam sembari menatap dirinya tanpa berkedip. Jujur saja dirinya cukup salah tingkah ditatap seperti itu, takut akan ada suatu hal aneh pada wajahnya.

Syifa menggeleng, menepis jauh-jauh lamunan dirinya. “Kak Jaya sendiri kenapa nggak masuk?” Bukannya menjawab, Syifa malah menimpali pertanyaan itu dengan pertanyaan baru.

“Jaya masih harus mindahin motor temen Jaya dulu.”

Syifa lagi-lagi mengangguk, sebab tak tahu harus merespons apalagi.

“Uhm… Kak Jaya.”

Jaya menoleh dengan salah satu alis yang terangkat.

“Tangannya sakit nggak?” Syifa menunjuk kedua tangan laki-laki itu melalui tatapannya. “Soalnya tadi abis genggam pergelangan tangan Syifa,” ucap Syifa malu-malu, kepala gadis itu tertunduk sampai kalimatnya selesai ia ucapkan.

Jaya yang diberi pertanyaan itu tanpa sadar mengikuti arah tunjuk adik kelasnya yang telah membantu mengobati lukanya akibat permainan bola pada istirahat pertama.

Anying, ini anak frontal banget ngomongnya. Mana malah aing yang salah tingkah denger omongannya. “Oh,” seru Jaya, menengadahkan kedua telapak tangannya. “Nggak sakit, kok.” Jaya mengangkat telapak tangan penuh goresan itu dan mensejajarkan dengan tatapan Syifa saat ini.

Syifa tersenyum, cukup lega mendengar jawaban itu. Suasana di antara mereka seketika menghening. Baik Syifa maupun Jaya tak ada lagi yang ingin melontarkan kalimat lainnya.

“Ngomong-ngomong Kak Jaya pasti malu, ya, pake plester yang dari Syifa tadi pagi.”

Mampus. Pandangan Jaya terjatuh pada sebuah plester yang terlihat jelas di balik seragam celananya. Bagaimana tak dapat terlihat ketika kain abu-abu itu justru mempertontonkan lukanya dengan sukacita kepada siapapun.

“Eh, plesternya ada, kok, di kelas Jaya.” Jaya memang tak sepenuhnya bohong, lantaran beberapa plester yang diberikan gadis itu memang betul-betul telah ia simpan di tas miliknya yang berada di kelas. “Jaya ganti pake plester ini, soalnya….”

“Soalnya malu, ya, Kak?”

Jaya menggeleng dengan rasa panik. “Nggak!” Bahkan kedua tangannya ikut mengibas agar gadis itu dapat mempercayai ucapannya.

Syifa tak kuasa menahan tawanya ketika melihat raut panik yang tercetak pada wajah Kak Jaya. “Syifa bercanda doang, kok, Kak Jaya. Nggak dipake juga nggak apa-apa!”

“Nanti Jaya pake,” timpal Jaya cepat. “Tapi nggak di sekolah, nanti Jaya pakenya di rumah,” lanjut Jaya berhasil membuat gadis itu bungkam.

Wajahnya memang terlihat tenang, tetapi siapa sangka bahwa kini Jaya tak henti melontarkan berbagai sumpah serapah atas jawaban darinya secara spontanitas itu.

“Kalau gitu Jaya duluan, ya, Syifa, soalnya nanti takut keburu bel mata pelajaran selanjutnya.”

“Eh, bentar, Kak Jaya!” cegat Syifa.

Gadis itu buru-buru merogoh saku seragamnya setelah melihat laki-laki itu kembali membalikkan tubuh untuk menunggu kalimat apa selanjutnya yang akan ia ucapkan.

“Ini buat Kak Jaya!” Tiga permen sebelumnya yang berniat akan ia buang justru kini ia serahkan pada laki-laki itu.

Jaya terlihat kebingungan menatap ketiga permen yang berada di atas telapak tangan Syifa. “Maksudnya?” tanya Jaya.

“Ini permennya buat Kak Jaya, itung-itung udah bantuin Syifa nyeberang tadi!” Syifa menggerakkan tangannya, berusaha melempar sebuah isyarat agar Jaya segera meraih ketiga permen tersebut.

Mulanya Jaya akan menolak, sebab ia menolong adik kelas itu dengan ikhlas. Namun ketika melihat sorot penuh harapan dari gadis itu untuk ia meraih permen tersebut sukses mengurungkan niatnya dalam menolak pemberian Syifa.

Jaya mengangguk. “Makasih, ya, Syifa.” Ketiga permen itu telah Jaya raih, kemudian ia masukkan ke dalam saku seragam. Setelahnya laki-laki itu melemparkan sebuah senyuman sebelum akhirnya Jaya kembali melanjutkan langkahnya, takut apabila ia justru telat mengikuti pelajaran selanjutnya. Mengingat setelah jam pelajaran kosong ini berakhir adalah mata pelajaran dengan guru yang terkenal dengan ketegasannya. Iya benar, guru fisika yang ditakuti oleh seluruh murid di kelasnya.

Syifa tak bisa untuk menahan senyumannya saat lagi-lagi dunia seakan tengah berpusat kepadanya hari ini. Meskipun ia selalu mendapatkan potongan-potongan momen kecil, namun baginya itu sudah lebih dari cukup. Potongan kejadian cukup berarti yang harus selalu ia kenang, sebab ia tak tahu apakah nanti ia akan merasakan hal itu kembali?


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0


“Rul, oper, Rul!”

Syahrul mengedarkan pandangan, mencari sosok orang yang telah menyerukan namanya. Bola mata Syahrul kini dipenuhi oleh lambaian seseorang di seberang sana. Syahrul telah berancang-ancang akan menendang bola itu ke arah laki-laki yang sudah berdiri di sana dengan penuh percaya diri. Baru saja kaki kanannya akan menendang, tapi seseorang sudah lebih dulu menendang bola itu dari arah belakangnya.

BEGO SYAHRUL!” maki Aksara, laki-laki yang tadi meminta operan bola itu.

Aksara melimpahkan rasa kesal dengan memukul asal udara di sekitarnya. Apabila udara itu dapat hidup mungkin saat ini kedua telinga Aksara dipenuhi kalimat tak bersahabat akibat telah memukulnya secara tiba-tiba. Mulut Aksara tak berhenti bergerak, menandakan sang empu masih asyik melantunkan berbagai cemooh atas kejadian itu.

Sementara sang tersangka yang telah mengambil bola itu hanya bisa terkekeh dengan masa bodoh. Lagi pula mereka sedang bertanding untuk mendapatkan perolehan nilai tertinggi, jadi, sangat tidak masalah bukan?

Seorang laki-laki yang masih mengenakan jaket hitam di bawah terik sinar matahari siang ini spontan berlutut, memukul-mukul lapangan bak kesetanan ketika bola tersebut tak berhasil ia tangkap, pun artinya tim mereka kecolongan satu skor dari tim sang lawan.

“SYAHRUL TOLOL!

Lagi-lagi Syahrul menjadi kambing hitam atas kekalahannya. Setelah dipikir-pikir, itu kembali lagi pada keberuntungan tim mereka, sehingga dapat disimpulkan bahwa permainan kali ini belum menjadi kesempatan untuk mereka menang.

Jagat berlari menghampiri sang empu yang sudah membuat tim mereka memekik kegirangan atas skor baru yang berhasil dicetaknya. “Good job, Jay!” puji Jagat sembari mengepalkan lengan kanan di hadapan Jaya.

Jaya tersenyum sekilas di tengah-tengah kegiatan membalas kepalan tangan Jagat. Sesaat kemudian rekan-rekan satu timnya berbondong-bondong berlari dan melayangkan pelukan secara kompak untuknya. Jaya bukan sedang percaya diri, namun dilihat dari bagaimana ketika rekan-rekan setimnya berlari ke arahnya membuat rasa kepercayaan diri Jaya berkali-kali lipat mendominasi. Apalagi saat beberapa orang yang menonton di pinggir lapangan memberikan tepuk tangan meriah untuknya.

“HARRI SIA YANG BENER JADI KIPERNYA!” keluh Rakha. Wajah Rakha terlihat frustasi, terlihat dari laki-laki itu terus-menerus mengacak-ngacak rambutnya tak beraturan. Hal itu sontak seperti tengah memberi umpan kepada angin yang sedari tadi terus berkelana di sekelilingnya. Tiupan angin itu berhasil membuat sebagian rambut Rakha bergerak, pun turut menggerakkan seragam putih yang sudah tak rapi lagi.

Dipenuhi perasaan jengkel Harri melempar bola tersebut ke sembarang arah. “SIA AJA ATUH SINI YANG JADI KIPER BIAR SIA TAU KALAU JADI KIPER TEH TIDAK SEMUDAH KAYAK SIA MENCACI MAKI AING, YA, MONYET!” hardik Harri dengan kedua alis saling menyatu satu sama lain.

Beruntung suasana di sekitar mereka cukup ramai sehingga mampu meredam tiap-tiap rangkaian kata tak senonoh dilantunkan tim yang masih tak terima akibat kebobolan gawang begitu saja. Pun seakan alam sedang memihak kepadanya, sebab sedari tadi mereka tak dapat menemukan sang guru di sekitar mereka.

Seharusnya di waktu siang bolong ini mereka tengah menikmati satu piring nasi dengan berbagai lauk-pauk di atasnya, akan tetapi terkecuali pada istirahat hari ini mereka semua tampak lebih memilih berdiri di bawah sang surya tengah memancarkan sinar yang berkali-kali lipat terasa terik dari hari sebelumnya.

Mereka tak peduli dengan seragam yang sudah tak beraturan. Mereka tak peduli dengan keringat terus-menerus membasahi dan mengaliri tiap sisi wajahnya. Yang mereka pedulikan saat ini hanyalah melepas penat setelah digempur oleh berbagai mata pelajaran yang sukses sudah membuat otaknya mendidih.

Bahkan, Aksara dan Yolan yang notabenenya bukan anak XI IPA 4 pun mereka ikut bergabung untuk bermain bola bersama kelas tersebut. Padahal di lapangan sebelah terlihat jelas mereka sedang bermain basket, akan tetapi pada kesempatan ini kedua orang itu lebih memilih bergabung dengan permainan bola kaki.

Setelah saling mengumpat dan menyerukan ketidakadilan, permainan pun kembali dimulai. Kini Yolan tengah fokus menggiring bola untuk dimasukkan ke dalam gawang yang dijaga ketat oleh Harri. Hasan dan Jaya sibuk berlari mengikuti ke mana Yolan berlari—berancang-ancang apabila sewaktu-waktu Yolan akan mengoperkan bola kepada salah satu dari mereka. Sementara Jagat berdiam diri di depan Joni yang sedang menjaga gawang dari serangan sang lawan.

Ketika merasa bahwa dua orang dari tim lawan yang perlahan mencoba mendekatinya, Yolan bergegas menendang bola tersebut ke arah Jaya. Jaya yang cukup tahu gelagat dari Yolan segera mengatur posisi agar tendangan itu bisa pas menuju kedua kakinya. Tepat sekali. Kini bola itu sudah berada di antara kaki Jaya. Laki-laki itu sibuk menggiring dan menjauhkan asetnya dari sang lawan yang sedari tadi terus mengganggu.

Entah terlalu berlarut pada sebuah gawang di depan atau memang dirinya terlalu berambisi untuk mencetak gol kembali, atas kelengahan dirinya Jaya dibuat terkejut dengan sebuah kaki yang secara tiba-tiba muncul untuk merebut bola itu sampai akhirnya….

Brugh!

Badan Jaya sukses tersungkur dengan kedua telapak tangan mencoba menahan agar wajahnya tak langsung mengenai lapangan di bawahnya.

“Jay!”

Yolan terkejut dan langsung berlari menghampiri Jaya yang masih terdiam sembari berlutut. “JAY SI KAMU NGGAK APA-APA?!” Yolan begitu panik ketika melihat tak ada pergerakan apapun dari Jaya selain rintihan kesakitan yang sedang laki-laki itu tahan dengan mati-matian.

Anjing, siapa tadi yang sliding aing?” tanya Jaya dengan intonasi suara cukup rendah. Jaya perlahan menarik kedua tangannya yang semua berada di atas lapangan. Jaya meringis saat menyadari beberapa batu-batuan telah memenuhi telapak tangannya, pun luka gores yang tertutupi pasir-pasir halus.

ANJIR, INI MAH SI KAMU HARUS CEPET-CEPET KE UKS!”

Jaya mengangkat kepala, lalu berdiri secara perlahan. Ia mencoba mengepalkan kedua telapak tangan untuk menghilangkan rasa denyut yang terus-menerus menghujam permukaan kulitnya.

“Jay, sorry, Jay, aing nggak bermaksud tackle maneh asli!” Cipta menyatukan kedua tangan sembari menundukkan kepala akibat rasa bersalah telah membuat teman satu kelasnya cedera.

Jaya tersenyum dan mengangguk. Ia tak tahu mengapa perasaan marah yang semula membludak itu seketika lenyap. “Santai,” ucap Jaya sekilas.

Jaya membalikkan tubuh, mengangkat kedua tangannya di udara. “Aing ke UKS dulu, maraneh lanjutin aja.” Jaya melirik ke arah sekitar untuk menemukan seseorang untuk mengganti dirinya dalam bermain bola. “Ilyas! Gantiin aing, dong.” Ilyas yang kebetulan tak sedang melakukan aktivitas apapun itu langsung mengangguk dan bergabung ke dalam lapangan untuk menggantikan Jaya.

“Mau dianterin nggak?”

Jaya menjawab pertanyaan Jagat dengan sebuah gelengan. “Nggak perlu, anjing. Aing bukan anak kecil, kali.” Jaya berdecak kesal. Semanja-manjanya ia di dalam rumah, tak mungkin pula akan memperlihatkan sifat itu kepada rekan-rekan sekolahnya.

Sepanjang perjalanan Jaya sibuk membersihkan pasir dan bebatuan kecil yang memenuhi permukaan kulit telapak tangannya. Selama itu pun ia berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Bayangkan saja, tubuhnya terhempas cukup kencang sehingga tanpa persiapan apapun ia hanya mengandalkan kedua tangannya sebagai pelindung bagian tubuhnya yang lain. Pun, sayangnya usaha tersebut sia-sia sebab kini salah satu celana laki-laki itu sudah bolong akibat kejadian beberapa saat lalu.

Kedua kaki jenjang Jaya menyusuri tiap-tiap lorong untuk menuju ruangan UKS. Jaya awalnya cukup tak percaya diri bahwa ruangan itu akan terbuka, sebab saat ini adalah sedang waktu istirahat berlangsung. Jaya pastikan mereka yang bertugas untuk berjaga pun sedang melaksanakan istirahatnya.

“Eh, Kak Jaya ngapain ke sini?”

Suara itu. Jaya cukup kenal dengan suara itu. Lantas Jaya segera mendongak dan tepat sekali. Pemilik suara itu tak lain adalah adik kelasnya yang kemarin malam sukses membuat dirinya dilanda kebingungan.

Jaya menyembunyikan kedua lengan di balik punggungnya. “Mau minta obat merah, ada kan di dalem?” tanya Jaya, menatap Syifa dan ruangan UKS yang sudah tertutup rapat itu secara bergantian.

“Obat merah?” Kedua mata Syifa mengedip cepat. “Obat merah buat siapa emangnya Kak Jaya?” Ini bukan semata-mata dirinya ingin membangun sebuah konversasi kecil di antara mereka, bukan. Hanya saja ia berhak tahu sebagai anggota dari ekstrakurikuler PMR.

“Buat Jaya.”

Syifa spontan menelaah penampilan kakak kelasnya itu dari ujung rambut hingga ujung kaki, namun belum sampai kaki laki-laki itu Syifa dibuat terkejut ketika dapati lutut celana kakak kelasnya itu sobek dengan sebagian luka gores pada lutut laki-laki itu.

“Kak Jaya abis jatoh?”

Jaya mengangguk. “Iya, ada kan obat merahnya di dalem?” ulang Jaya, tak ingin membuang-buang waktu untuk sekadar berdiri dan berdiam diri di depan pintu yang masih tertutup rapat. Karena demi apapun semenjak ia berjalan hingga telah sampai pada tempat tujuannya, rasa denyut itu belum hilang juga.

“Ada!” Syifa mengangguk, salah satu tangannya bergerak untuk meraih kunci ruangan tersebut. “Ayo, Syifa bantu obatin lukanya Kak Jaya!” Tangan kiri gadis itu telah berada di knop pintu, sementara tangan lainnya berusaha membuka kunci ruangan dengan tergesa—tak ingin membuat pasiennya menunggu lama.”

Cklek!

Pintu itu telah terbuka sempurna. Syifa perlahan mendorong pintu ruangan itu. Decit suara bawah pintu yang bergesekkan dengan lantai di bawahnya cukup mengganggu indera pendengaran mereka berdua. Jaya melirik ke arah lantai yang telah dipenuhi oleh puluhan pasir halus yang sudah berkumpul satu sama lain seakan hanya tempat itu satu-satunya yang dapat menerima kehadiran mereka.

Jaya mengikuti langkah gadis itu untuk berjalan ke dalam ruangan UKS. Bau ciri khas obat-obatan yang bercampur obat mereka menyeruak dan berbondong-bondong berusaha memasuki indera penciumannya. Tenang, sunyi, dan sejuk menjadi salah satu kata sambutan dari mereka ketika ia telah berhasil berada di dalam ruangan itu.

“Kak Jaya tangannya dicuci dulu, ya, sambil Syifa mau nyari obat merahnya dulu.”

Jaya mengangguk, berjalan ke arah wastafel untuk membersihkan tangannya dari kotoran yang menempel. Gemercik suara air yang mengalir mulai tercipta di tengah-tengah suasana sunyi. Kepala Jaya menunduk seiring dengan kedua tangan sibuk membersihkan luka gores tersebut. Semula bulir-bulir keringat yang telah memenuhi wajahnya kini tak tersisa sedikit pun. Entah pergi ke mana Jaya pun tak tahu.

“Sini duduk, Kak Jaya, Syifa mau kasih obat merahnya,” ucap Syifa selepas Jaya telah menutup kran air tersebut, menepuk kursi di sebelahnya yang kosong.

Jaya membalikkan tubuh, mengibas-ngibaskan tangan agar air pada tangannya akan segera menghilang selagi berjalan ke arah kursi yang dimaksud adik kelasnya.

“Kayak gini Kak tangannya.” Syifa memperagakan kedua telapak tangan yang menengadah, sengaja agar Syifa dapat mengobati luka itu dengan mudah.

Jaya tak banyak berkomentar, laki-laki itu langsung menuruti setiap titahan yang diminta adik kelasnya.

Syifa meraih dua helai tisu untuk menghilangkan bekas air yang masih tercetak jelas pada kedua tangan laki-laki itu dengan hati-hati. “Kak Jaya abis jatoh dari mana, kok, sampe kayak gini,” penasaran Syifa di sela-sela kegiatannya. Kepala gadis itu mendongak sebentar untuk menatap sang kakak kelas yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Ketika gadis itu kembali menundukkan wajah, Jaya segera membalasnya. “Abis main bola.” Syifa manggut-manggut. Kini jemari gadis itu dengan lincah meraih beberapa kapas sebelum akhirnya obat merah itu sudah Syifa teteskan secara perlahan ke atas permukaan kapas putih.

“Eh.” Jaya menginterupsi kegiatan gadis itu dengan menarik kembali kedua lengannya penuh keraguan.

Syifa menoleh, memberikan tatapan penuh tanya. “Kenapa Kak Jaya?” tanya Syifa.

Jaya menunjuk sekilas ke arah botol obat merah yang terbuka. “Perih nggak itu obat merahnya….” Jaya berucap dengan nada lirih, kemudian membuang sembarang tatapannya.

Syifa terkekeh. “Kak Jaya takut sama obat merah?” ledek Syifa, mengangkat kapas dipenuhi obat merah itu ke arah sang kakak kelas.

“Nggak.”

“Terus kenapa nanya perih atau nggak?”

“Ya… nanya aja, emang nggak boleh?”

“Nih, ya, Kak Jaya. Kalau misalnya Kak Jaya takut diobatin sama obat merah berarti tandanya Kak Jaya nggak boleh jatoh-jatoh lagi! Main bolanya harus lebih hati-hati!”

Jaya udah hati-hati kali, tapi emang lawan main Jayanya aja yang main kayak kesetanan, batin Jaya. Ia hanya terdiam dan membiarkan gadis itu menyelesaikan ucpannya tanpa berniat untuk menginterupsinya barang sedetik.

“Udah sama Jaya sendiri aja obatinnya.” Tangan Jaya kembali menengadah, berharap gadis itu akan memberikan kapas yang sudah dipenuhi obat merah tersebut kepadanya.

Syifa menggeleng. “Justru kalau diobatin sama diri sendiri bakalan kerasa lebih sakit tau, Kak!”

“Ya udah, kalau gitu pelan-pelan.”

Syifa tersenyum puas ketika laki-laki itu kembali menyerahkan kedua tangannya. Maka agar tak menyia-nyiakan kesempatan itu, Syifa kembali mengambil sebuah kapas baru dan meneteskan obat merah untuk ia oleskan ke atas permukaan kulit sang kakak kelas itu.

“Perih nggak, Kak?” Jaya menggeleng menjawab pertanyaan itu.

Napas Jaya tercekat ketika merasakan terpaan angin pelan pada kedua tangannya. Ia terbelalak sesaat ketika menyadari angin tersebut berasal dari mulut sang gadis yang tengah meniup kedua tangannya. Jaya membeku. Ia tak pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya.

“Luka Kak Jaya yang di tangan jangan ditutup, ya. Tapi Kak Jaya harus hati-hati jangan sampe nanti kena batu atau pasir lagi.”

Jaya mengangguk, kendati kalimat itu tak terdengar jelas sebab pikirannya saat ini sedang dipenuhi oleh hal lain.

“Luka Kak Jaya yang di lutut mau Syifa yang pasangin atau Kak Jaya sendiri yang pasangnya?”

Belum genap dua detik kalimat itu tersampaikan, Jaya buru-buru menyambarnya. “Jaya.” Tangan laki-laki menengadah. “Jaya sendiri yang pasang.” Syifa segera menyerahkan kain kasa itu kepada Jaya yang beruntungnya laki-laki itu dengan cepat meraihnya tanpa harus susah payah Syifa mengulangi kalimatnya.

Baru beberapa detik kain kasa serta plester itu berpindah ke tangan milik Jaya, namun seketika tatapan Jaya sukses dipenuhi oleh berbagai pertanyaan.

Jaya menatap benda pada genggamannya. “Plesternya emang nggak ada yang lain?” tanya Jaya ragu.

Syifa mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan untuk menatap sebuah barang yang masih setia laki-laki itu pegang seakan tak ada niat untuk segera memasangkannya pada luka terbuka itu.

Syifa menggeleng. “Nggak ada lagi, Kak. Itu plester yang biasa dibawa Syifa, soalnya kalau mau ambil plester biasa kunci lemarinya ada di Ibu Rita,” jelas Syifa. Ia dapat mendengar jelas suara helaan napas yang dikeluarkan dari mulut kakak kelas itu seperti tengah memikul beban yang sangat berat.

“Kak Jaya keberatan, ya, pake plester itu?” tanya Syifa. “Atau mau coba Syifa beliin dulu ke warung belakang buat plesternya biar Kak Jaya nggak pake plester yang itu?”

Jaya menggeleng cepat. “Nggak usah, udah pake yang ini aja.”

Jaya memang sedikit risih dengan pola gambar dari plester itu yang tak konkret dengan usianya saat ini, akan tetapi jika keegoisannya justru membuat orang lain kesusahan, maka mau tak mau ia harus menerima itu.

Jaya spontan mengaduh kala kulitnya yang memiliki luka itu bersentuhan langsung dengan obat merah yang masih basah dan sangat terasa pada permukaan kulitnya. Ia segera menggigit bibirnya untuk meredam semua ucapan bahkan erangan kesakitan yang mungkin tak sadar akan dilontarkan olehnya. Lututnya kini berdenyut. Tiap denyutan itu ia melontarkan segala kalimat yang tak sepatutnya ia ucapkan di dalam hati.

Syifa menarik kedua ujung bibirnya kala melihat laki-laki itu tengah mengobati lukanya sendiri. Entah apa yang telah merasuki dirinya, hingga senyuman itu tiap detiknya justru makin melebar. Di antara semua objek dan kegiatan yang bisa ditatap olehnya, entah mengapa pandangan serta perhatian miliknya secara tiba-tiba terjatuh pada rambut laki-laki itu yang sedari tadi terus mengikuti arah gerak sang empu—terhempas ke kanan; kiri; bawah; dan atas dengan bergantian.

Jaya mengernyit ketika mendapati Syifa yang tengah menatapnya tanpa berkedip sedikit pun. “Kenapa?” tanya Jaya setelah menyelesaikan untuk memasang kain kasa pada luka lututnya.

“Eh?” Syifa mengerjap cepat ketika kesadarannya kembali. Ia cukup malu saat laki-laki itu menyadari bahwa tengah memergoki dirinya yang menatap ke arah sang kakak kelas tanpa berkedip. “Nggak, bukan apa-apa, Kak. Syifa cuman penasaran sama sesuatu….”

“Apa?”

Syifa menelan ludah. Ia sibuk menimang-nimang apakah ia harus mengatakan hal ini atau sebaliknya.

“Penasaran apa?” ulang Jaya sebab gadis itu tak kunjung menjawab pertanyaan darinya.

Hair routine Kak Jaya apa aja?”

Alis Jaya menukik. “Maksudnya?”

“Syifa mau tau hair routine-nya Kak Jaya, soalnya Syifa perhatiaan kayaknya rambut Kak Jaya halus banget keliatannya.” Syifa menunjuk malu-malu ke arah kepala laki-laki itu.

Syifa tidak sedang berusaha mencari topik demi mereka berdua dapat menghabiskan waktu lebih lama, tidak. Syifa benar-benar dibuat penasaran pasalnya setiap bertemu dengan laki-laki itu, rambut Kak Jaya sukses menghipnotis dirinya. Acap kali menatapnya seperti terdapat gaya magnet seakan meminta kedua tangannya untuk terulur mengusap rambut laki-laki itu.

“Setiap liat rambut Kak Jaya, Syifa suka jadi pengen nyoba ngelus. Kayaknya beneran sehalus itu….”

Entah sadar atau tak sadar, dengan lancang Syifa berucap terus terang. Jujur Jaya sendiri yang mendengar kalimat itu cukup kaget, namun beruntungnya ia masih dapat menahan reaksi pada mimik wajahnya.

Jaya berdeham, melirik ke arah pintu ruangan pun pada kedua jendela di sebelah pintu tersebut.

“Eh… kenapa, Kak Jaya?” Syifa terkejut dengan gerak-gerik laki-laki itu secara tiba-tiba. “Kenapa nunduk? Kak Jaya pusing?”

Jaya menggeleng dalam posisi yang masih menunduk. “Katanya mau ngelus rambut Jaya? Nih Jaya kasih.” Laki-laki itu benar-benar tak bergerak sedikit pun dari posisinya. Kendati ia tak tahu kapan gadis itu akan mengulurkan tangannya.

Syifa terdiam dengan kedua mata yang terbelalak. Syifa masih sibuk mencerna kejadian di depannya yang memperlihatkan seseorang yang disukainya tengah menundukkan kepala, memberinya kesempatan untuk melakukan keinginannya yang ia ucapkan beberapa saat lalu.

Maka, dengan tangan yang bergetar. Syifa mengulurkan tangan untuk menuju rambut sang kakak kelas. “Maaf, ya, Kak,” ucap Syifa ketika telapak tangannya berhasil menyentuh permukaan rambut laki-laki itu.

Sesuai dengan dugaannya, bahwa rambut laki-laki itu benar-benar halus. Dibandingkan dengan rambut miliknya, rambut laki-laki itu jauh lebih baik daripada rambut miliknya. Jika mengharuskan ia mengelus rambut itu selama apapun, ia tanpa berpikir dua kali; tanpa berpikir lama; akan langsung menyetujuinya. Sebab mengelus rambut sang kakak kelas itu telah memberikan candu terbaru untuknya selain melihat ketika laki-laki itu tersenyum; bagaimana ketika kedua matanya berubah bak bulan sabit.

“Udah?” tanya Jaya saat merasakan bahwa tak ada lagi telapak tangan yang bergerak secara beraturan pada kepalanya. “Syifa?” Jaya menoleh dan langsung disambut oleh senyuman terbaik yang dimiliki oleh gadis itu.

“UDAH! MAKASIH KAK JAYA!”

Jaya terperanjat mendengar ucapan penuh antusias itu. Bahkan jemarinya refleks menutup salah satu telinganya yang menjadi sasaran empuk suara gadis itu.

Jaya berdiri. “Ya udah kalau gitu Jaya balik ke kelas dulu, ya. Makasih udah mau ngobatin Jaya.”

Setelah menyelesaikan ucapannya, laki-laki itu benar-benar melangkah menjauhi tempatnya berada. Seharusnya Syifa membalas kalimat pamit dari sang kakak kelas, namun jangankan untuk ia membuka suara dan bergerak, untuk ia berkedip dan menelan saliva pun sepertinya tak kuasa.

Jaya melangkah cepat bak dikejar anjing yang sudah ia jahili dengan melemparkan beragam batu secara bertubi-tubi.

Jaya mengusap wajah kasar. Jari-jari laki-laki itu saling menekuk dan memukul pelan kepalanya dengan cepat. “Anjing! Anjing! Anjing!” Kemudian berakhir memutar pelipis kepalanya seakan ia tengah diberi permasalahan cukup serius. Namun siapa sangka, gerakan tangan itu justru dalih untuk menepis segala tentang kenangan beberapa saat lalu di dalam ruang kesehatan yang telah berhasil mengisi pikirannya ditiap langkah yang ia ambil.


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0


Jaya berjalan lesu dengan dua tas ransel telah memenuhi tubuhnya—tas gitar berada di belakang punggung, sementara tas sekolah ia simpan di depan. Laki-laki itu sesekali menguap, cukup merasa lelah dengan kegiatan hari ini, kendati sebenarnya tak banyak pula aktivitas yang ia lakukan. Namun di antara semua kegiatannya, menurut Jaya sendiri untuk melakukan aktivitas membantu mengajar di mata pelajaran yang sebenarnya itu adalah hobi sendirinya cukup memberatkan. Pasalnya Jaya sehari-hari bermain musik sebatas kesenangan semata, tak ada teori yang ia pelajari, sehingga untuk berada di depan orang-orang yang mungkin banyak menganggap ia lebih paham dalam segi teoritis cukup melelahkan. Padahal kenyataannya ia seorang praktisi yang tak berlandaskan dan mendalami pada sisi teori.

Getaran pada saku celana serta merta datang dan berhasil menghentikan langkah laki-laki pemilik senyuman yang indah. Jaya cepat-cepat meraih benda elektronik itu, lalu menekan tombol hijau.

Baru satu detik telepon itu tersambung, akan tetapi seseorang di seberang sana secepat kilat menyerangnya dengan berbagai pertanyaan yang sama saat orang tersebut terus-menerus mengirimkan sebuah pesan tersebut. Bahkan, untuk sekadar menyapa seseorang di seberang sana pun ia tak melakukannya.

Dede di mana?” ucap orang tersebut dengan nada sedikit ketus.

Jaya kembali melangkah, melanjutkan perjalanan sempat terhenti oleh sambungan telepon secara tiba-tiba itu. “Masih di sekolah baru bubar, Teteh udah selesai?” Kedua mata Jaya tak diam, laki-laki itu sedari tadi terus menatap ke sembarang arah.

Udah, cepet, ya, jemput jangan lama. Teteh kayaknya mau dateng bulan, badan Teteh mulai sakit-sakit.

Jaya mengangguk, kendati gerakan itu tak dapat dilihat oleh sang kakak. “Iya, ini udah sampe parkiran. Bentar, ya.” Jaya memindahkan benda tersebut ke tangan kirinya, sementara tangan kanan ia gunakan untuk meraih helm dan segera memasangnya. “Udah dulu, ya, ini berangkatin ke situ.”

Teteh tunggu di dalem, ya. Nanti chat Teteh kalau udah di depan.

“Iya.”

Hati-hati, De.

Itu menjadi kalimat terakhir sebelum akhirnya sambungan telepon itu sepenuhnya mati dan mengembalikan suasana sunyi. Jaya memasukkan benda elektronik itu ke tempat semula, kemudian meraih kunci motor untuk ia jalankan sesegera mungkin agar sang kakak tak menunggu dengan lama.

Deru suara motor mulai terdengar keras. Cukup disayangkan dengan sarana sekolah yang masih jauh dari kata sempurna, sebab di tempat parkiran sekolah tak ada lampu penerangan satu pun. Satu-satunya lampu yang dapat menerangi perjalanannya hanya dari lampu kendaraan miliknya itu sendiri. Walaupun di sekolahnya memiliki satpam, akan tetapi untuk sekadar memberinya satu buah lampu sangat dibutuhkan. Apalagi pada waktu-waktu seperti ini yang sudah tak ada kehadiran raja siang di langit.

Motor Jaya perlahan berjalan. Ia tak lupa menundukkan kepala ketika melewati pos satpam, memberikan salam perpisahan kepada orang di dalamnya sebelum ia benar-benar akan menarik diri sepenuhnya.

Jaya menyipitkan mata, mencoba melihat sosok gadis yang sedang berdiam diri seorang diri di halte sekolah dengan satu barang di sela-sela kaki gadis itu—barang yang sama dengan barang berada di punggungnya.

Entah mendapatkan bisikan dari mana hingga akhirnya Jaya menepikan kendaraan roda dua itu persis di hadapan sang gadis. Jaya cukup sadar akan tatapan yang dilayangkan gadis itu kepadanya. Sehingga, Jaya bergegas mematikan mesin motor, menarik standar untuk memarkirkannya dengan rapi. Laki-laki itu kemudian melepas helm, menyimpannya di atas spion dengan hati-hati, lalu turun dari motor. Jangan tanyakan mengapa ia melakukannya, sebab Jaya sendiri tak menemukan jawabannya.

“Eh, Kak Jaya!” sapa gadis itu.

Tatapan kebingungan sibuk akan menerka-nerka siapa sosok laki-laki tersebut kini telah terjawab ketika sang empu tengah berjalan menghampirinya. Syifa spontan menggeser duduknya saat melihat laki-laki itu berancang-ancang akan duduk di sebelahnya.

Jaya yang diserukan hanya membalas ucapan itu dengan senyuman. “Kenapa belum pulang, Syifa?” tanya Jaya, setelah mendudukan dirinya di tempat yang sudah diberikan gadis itu untuknya.

Syifa memperlihatkan layar ponsel miliknya kepada laki-laki di sebelahnya. “Ini Syifa lagi pesen ojek online, driver-nya masih on the way ke sini!” balas Syifa, kembali menjauhkan ponsel itu ketika sang kakak kelas sudah tak menatap benda elektroniknya. “Kak Jaya sendiri kenapa, kok, belum pulang?” Syifa menoleh, menatap laki-laki itu dari jarak yang cukup dekat.

Kenapa?

Kenapa?

Jaya sendiri tak tahu mengapa ia lebih memilih berdiam diri di sini ketimbang melanjutkan perjalanannya. Padahal sudah jelas-jelas ada seseorang yang sudah menunggu kedatangannya sedari tadi.

“Lagi nungguin temen.”

Di antara semua kebohongan yang mungkin bisa ia jadikan alasan, entah mengapa justru di bawah alam sadarnya ia lebih memilih untuk mengatakan hal tersebut.

Syifa mengangguk diiringi ber’oh’ria.

Keadaan di antara mereka tiba-tiba hening begitu saja. Akui Jaya tak pandai mencari sebuah topik untuk dijadikan obrolan dengan orang, sebab ia memang tak biasa melakukan hal itu.

Sementara gadis itu yang lebih pandai mencari topik justru asyik membungkam mulut. Bukan karena ia tak memiliki topik yang harus diperbincangkan, akan tetapi debaran jantungnya sedari tadi mengganggu konsentrasi Syifa, sehingga gadis itu memilih untuk diam.

Karena suasana itu cukup canggung, sehingga Jaya kembali mengeluarkan benda elektroniknya untuk mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang di seberang sana yang mungkin kini telah menahan kesal akibat tak dapat menemukan kedatangannya.

Jaya Adiputra Teh, sebentar ya. Dede ada urusan dulu sebentar.

Rasanya baru saja ia mengirimkan pesan tersebut, tapi seseorang di sana dengan secepat kilat membalasnya.

Teh ivanka Urusan apa? Lama gak?

Urusan apa, ya, masa aing bilang lagi nungguin orang dijemput?

Jaya Adiputra Nanti dede kasih tau, gak lama. Bentar kok.

Lagian kasian juga aing kalau harus cewek sendirian malem-malem, takut ada hal-hal yang nggak diinginkan terjadi, pikirnya. Bukankah itu memang sudah tugasnya kakak kelas untuk melindungi adik kelasnya, 'kan?

Teh ivanka Yaudah tapi kalo udah beres langsung otw ya de

Jaya mengangguk setelah selesai membaca kalimat terakhir yang dikirimkan sang kakak kepadanya. Bodoh rasanya, padahal sudah jelas-jelas orang tersebut tak akan bisa melihatnya.

Jaya Adiputra Iya, sebentar ya teh.

Selepas menyelesaikan pesan terakhirnya, lantas Jaya memasukkan kembali benda itu ke kantong celananya. Laki-laki itu mengarahkan pandangan ke jalanan di depan yang nampak cukup sepi. Sebab tak ada lagi angkutan umum yang berlalu-lalang seperti di siang hari. Bahkan saking banyaknya angkutan umum, tak jarang di depan sekolah acap kali macet. Seolah ia telah ditakdirkan untuk terus bersama-sama dengan kemacetan yang sering kali ditemuinya.

“Rumah Syifa emang di mana?” Jaya menolehkan wajah untuk sekadar menatap wajah sang adik kelas.

Akhirnya setelah bergumul dengan pikirannya, Jaya dapat membangun sebuah topik untuk mereka berdua perbincangkan.

Syifa cukup terperanjat ketika laki-laki itu secara tiba-tiba menodongnya dengan pertanyaan. “Rumah Syifa di daerah Baleendah, Kak Jaya!” timpal Syifa cepat, tak mau membuat laki-laki itu menunggu lama.

Jaya mengangguk-anggukkan kepala. “Oh, daerah banjir,” timpal Jaya dengan nada cukup pelan. Tetapi siapa sangka justru ucapannya itu terdengar jelas oleh sang gadis di sebelah, sehingga Syifa diam-diam memberikan reaksi ketidakterimaan akibat laki-laki itu telah memandang rendah daerah kediamannya.

“Emang Kak Jaya sendiri di daerah mana rumahnya?” Syifa mempertanyakan hal yang sama ketika laki-laki itu memberinya sebuah pertanyaan yang sebelumnya tak pernah terlintas akan menuturkan kalimat tersebut.

“Bojongsoang.”

“Oh, daerah yang sering macet itu, ya,” sindir Syifa, tak mau kalah atas perlakuan sang kakak kelas kepadanya beberapa saat lalu.

Mulanya Jaya cukup terkejut mendengar balasan dari gadis itu atas ucapannya. Namun sedetik kemudian laki-laki itu justru tertawa, merasa lucu ketika menyadari daerah kediaman mereka memiliki permasalahannya sendiri.

Syifa yang melihat kakak kelas itu tengah melantunkan tawa pun turut mengikutinya. Ia tertawa bukan atas jawaban darinya sendiri, melainkan karena laki-laki itu yang memulai memamerkan senyuman indahnya untuk kesekian kali. Apabila Syifa diberi sebuah pertanyaan pemandangan apa yang ingin ia tatap secara terus-menerus dengan tak bosan, maka, Syifa akan lantang menjawab pemandangan ketika Kak Jaya tertawa. Sebab, selain pemandangan itu cukup langka, pun karena bagaimana laki-laki itu tertawa memiliki sebuah nilai lebih dalam pandangannya.

“Masih sakit nggak jarinya?”

“Gimana, Kak Jaya?”

Jaya menatap ke arah jemari Syifa yang sibuk meremas tas gitar. “Masih sakit nggak jarinya?” ulang Jaya dengan pertanyaan yang sama—tak dilebihkan, pun tak dikurangi dari kalimat sebelumnya.

“Oh!” Syifa mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan keempat jemari yang ia keluhkan tadi siang ketika mata pelajaran seni musik berlangsung. “Udah nggak sakit, soalnya udah nggak main gitar lagi!” Syifa menyodorkan kelima jari miliknya ke hadapan sang kakak kelas.

Jaya melirik sekilas ke arah jemari itu. “Nanti kalau main gitar, dipake lagi aja silikonnya.” Syifa mengangguk, mengiakan perintah dari laki-laki itu.

“Tapi ngomong-ngomong, Kak Jaya, kan, sering main gitar, emang nggak sakit tangannya?”

Syifa cukup penasaran dengan keadaan jemari kakak kelas itu. Pasalnya laki-laki itu seringkali bermain gitar pada media sosialnya, padahal bagi dirinya yang baru memainkan sebentar saja sudah merasakan rasa sakit yang luar biasa.

Jaya menggeleng. “Nggak, udah biasa.” Laki-laki itu mengangkat tangan kirinya, mengikuti perlakuan gadis itu sebelumnya untuk memperlihatkan kondisi jemarinya saat ini. “Kulit Jaya udah keras, makanya udah nggak terlalu berasa sakit kayak awal-awal belajar,” jelas Jaya.

Syifa menundukkan wajah, mencoba mendekatkan matanya dengan jari Jaya.

“Kenapa?” tanya Jaya cukup kebingungan melihat reaksi gadis itu yang tengah menatap dirinya secara tiba-tiba.

Syifa menunjuk jemari Jaya dengan ragu-ragu. “Syifa boleh pegang nggak jari Kak Jaya itu? Mau tau sekasar apa jarinya,” pinta Syifa.

Jaya berdeham sejenak sebelum akhirnya laki-laki itu mengangguk, memberi izin gadis itu untuk melakukan keinginannya. “Pegang aja.”

Seakan mendapatkan lampu hijau, gadis itu dengan cepat meraih satu per satu jemari Jaya. Syifa mengusap-ngusap secara perlahan ujung jemari laki-laki itu, mencoba merasakan permukaan kulit sang kakak kelas.

Jaya otomatis memalingkan wajah ketika merasakan bagaimana gadis itu secara berulang melakukan kegiatan untuk mengusap keempat ujung jemarinya.

“Ih iya ternyata jari Kak Jaya udah kasar banget!” ucap Syifa setelah membandingkan dengan jemari miliknya yang terkesan lembut, walau masih terdapat beberapa kulit yang mengelupas akibat mempelajari permainan musik itu.

“Atas nama Jihan Syifa?”

Sayang sekali obrolan mereka berdua harus terhenti, sebab ojek online pesanan Syifa telah datang tanpa sadar. Padahal semula Syifa berharap bahwa ojek pesanannya akan segera datang, akan tetapi entah mengapa justru hal itu kontradiktif dengan keinginannya saat ini yang masih ingin berlama-lamaan dengan laki-laki itu.

Syifa spontan berdiri. “Iya, aku, Pa!” teriak Syifa sembari memberikan lambaian tangan tak sabaran. “Kak Jaya, Syifa duluan, ya! Maaf, ya, Syifa nggak bisa nungguin Kak Jaya sampe temennya dateng!” Bibir Syifa mengerucut, merasa tak enak karena ia harus menarik diri lebih dulu.

Jaya mengulas sebuah senyuman. “Nggak apa-apa, hati-hati, ya.”

Satu kalimat itu sukses mengembalikan debaran jantungnya yang semula telah mereda. Untaian kata-kata itu masih terngiang-ngiang dalam pikirannya. Ia harus mempersiapkan diri dari sekarang, karena mungkin saja kalimat itu akan mendatanginya secara tiba-tiba.

Syifa menerima uluran helm dari sang supir. “Kak Jaya juga hati-hati, ya, nanti pulangnya!” Gadis itu perlahan naik ke atas motor dan menyamankan posisi duduknya.

Alih-alih menjawab secara vokal, laki-laki itu lebih memilih membalasnya dengan sebuah anggukkan pun senyuman yang tak pernah lepas pada wajahnya.

“Udah bisa jalan sekarang, Neng?”

Syifa mengangguk. “Udah, Pa,” balas Syifa dengan mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan. “Dadah, Kak Jaya, Syifa duluan, ya!” Lambaian tangan itu menjadi interaksi akhir antara keduanya.

Di antara banyaknya objek di depan mata, entah mengapa perhatiannya justru tertuju pada punggung gadis itu yang perlahan mulai menghilang tertutup oleh beberapa kendaraan lainnya yang berlalu-lalang. Pertemuan singkat, namun secara tak tersadar sukses membuat hatinya menghangat. Satu yang ia baru sadari ketika berinteraksi dengan gadis itu dengan waktu cukup panjang, gadis itu selalu memperlihatkan sisi riangnya dalam keadaan apapun, pun rasa semangat yang terlihat selalu membara. Saking asyiknya berkelana memikirkan hal ini dan hal itu, Jaya sampai tak sadar bahwa ia harus bergegas menjemput kakak sulungnya sebelum ia akan mendapatkan sebuah ceramahan tak berujung.

“Kenapa aing ngerasa kayak ada yang aneh, ya.”


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0


Jaya berjalan lesu dengan dua tas ransel telah memenuhi tubuhnya—tas gitar berada di belakang punggung, sementara tas sekolah ia simpan di depan. Laki-laki itu sesekali menguap, cukup merasa lelah dengan kegiatan hari ini, kendati sebenarnya tak banyak pula aktivitas yang ia lakukan. Namun di antara semua kegiatannya, menurut Jaya sendiri untuk melakukan aktivitas membantu mengajar di mata pelajaran yang sebenarnya itu adalah hobi sendirinya cukup memberatkan. Pasalnya Jaya sehari-hari bermain musik sebatas kesenangan semata, tak ada teori yang ia pelajari, sehingga untuk berada di depan orang-orang yang mungkin banyak menganggap ia lebih paham dalam segi teoritis cukup melelahkan. Padahal kenyataannya ia seorang praktisi yang tak berlandaskan dan mendalami dalam sisi teori.

Getaran pada saku celana serta merta datang dan berhasil menghentikan langkah laki-laki pemilik senyuman yang indah. Jaya cepat-cepat meraih benda elektronik itu, lalu menekan tombol hijau.

Baru satu detik telepon itu tersambung, akan tetapi seseorang di seberang sana secepat kilat menyerangnya dengan berbagai pertanyaan yang sama saat orang tersebut terus-menerus mengirimkan sebuah pesan tersebut. Bahkan, untuk sekadar menyapa seseorang di seberang sana pun ia tak melakukannya.

Dede di mana?” ucap orang tersebut dengan nada sedikit ketus.

Jaya kembali melangkah, melanjutkan perjalanan sempat terhenti oleh sambungan telepon secara tiba-tiba itu. “Masih di sekolah baru bubar, Teteh udah selesai?” Kedua mata Jaya tak diam, laki-laki itu sedari tadi terus menatap ke sembarang arah.

Udah, cepet, ya, jemput jangan lama. Teteh kayaknya mau dateng bulan, badan Teteh mulai sakit-sakit.

Jaya mengangguk, kendati gerakan itu tak dapat dilihat oleh sang kakak. “Iya, ini udah sampe parkiran. Bentar, ya.” Jaya memindahkan benda tersebut ke tangan kirinya, sementara tangan kanan ia gunakan untuk meraih helm dan segera memasangnya. “Udah dulu, ya, ini berangkatin ke situ.”

Teteh tunggu di dalem, ya. Nanti chat Teteh kalau udah di depan.

“Iya.”

Hati-hati, De.

Itu menjadi kalimat terakhir sebelum akhirnya sambungan telepon itu sepenuhnya mati dan mengembalikan suasana sunyi. Jaya memasukkan benda elektronik itu ke tempat semula, kemudian meraih kunci motor untuk ia jalankan sesegera mungkin agar sang kakak tak menunggu dengan lama.

Deru suara motor mulai terdengar keras. Cukup disayangkan dengan sarana sekolah yang masih jauh dari kata sempurna, sebab di tempat parkiran sekolah tak ada lampu penerangan satu pun. Satu-satunya lampu yang dapat menerangi perjalanannya hanya dari lampu kendaraan miliknya itu sendiri. Walaupun di sekolahnya memiliki satpam, akan tetapi untuk sekadar memberinya satu buah lampu sangat dibutuhkan. Apalagi pada waktu-waktu seperti ini yang sudah tak ada kehadiran raja siang di langit.

Motor Jaya perlahan berjalan. Ia tak lupa menundukkan kepala ketika melewati pos satpam, memberikan salam perpisahan kepada orang di dalamnya sebelum ia benar-benar akan menarik diri sepenuhnya.

Jaya menyipitkan mata, mencoba melihat sosok gadis yang sedang berdiam diri seorang diri di halte sekolah dengan satu barang di sela-sela kaki gadis itu—barang yang sama dengan barang berada di punggungnya.

Entah mendapatkan bisikan dari mana hingga akhirnya Jaya menepikan kendaraan roda dua itu persis di hadapan sang gadis. Jaya cukup sadar akan tatapan yang dilayangkan gadis itu kepadanya. Sehingga, Jaya bergegas mematikan mesin motor, menarik standar untuk memarkirkannya dengan rapi. Laki-laki itu kemudian melepas helm, menyimpannya di atas spion dengan hati-hati, lalu turun dari motor. Jangan tanyakan mengapa ia melakukannya, sebab Jaya sendiri tak menemukan jawabannya.

“Eh, Kak Jaya!” sapa gadis itu.

Tatapan kebingungan sibuk akan menerka-nerka siapa sosok laki-laki tersebut kini telah terjawab ketika sang empu tengah berjalan menghampirinya. Syifa spontan menggeser duduknya saat melihat laki-laki itu berancang-ancang akan duduk di sebelahnya.

Jaya yang diserukan hanya membalas ucapan itu dengan senyuman. “Kenapa belum pulang, Syifa?” tanya Jaya, setelah mendudukan dirinya di tempat yang sudah diberikan gadis itu untuknya.

Syifa memperlihatkan layar ponsel miliknya kepada laki-laki di sebelahnya. “Ini Syifa lagi pesen ojek online, driver-nya masih on the way ke sini!” balas Syifa, kembali menjauhkan ponsel itu ketika sang kakak kelas sudah tak menatap benda elektroniknya. “Kak Jaya sendiri kenapa, kok, belum pulang?” Syifa menoleh, menatap laki-laki itu dari jarak yang cukup dekat.

Kenapa?

Kenapa?

Jaya sendiri tak tahu mengapa ia lebih memilih berdiam diri di sini ketimbang melanjutkan perjalanannya. Padahal sudah jelas-jelas ada seseorang yang sudah menunggu kedatangannya sedari tadi.

“Lagi nungguin temen.”

Di antara semua kebohongan yang mungkin bisa ia jadikan alasan, entah mengapa justru di bawah alam sadarnya ia lebih memilih untuk mengatakan hal tersebut.

Syifa mengangguk diiringi ber’oh’ria.

Keadaan di antara mereka tiba-tiba hening begitu saja. Akui Jaya tak pandai mencari sebuah topik untuk dijadikan obrolan dengan orang, sebab ia memang tak biasa melakukan hal itu.

Sementara gadis itu yang lebih pandai mencari topik justru asyik membungkam mulut. Bukan karena ia tak memiliki topik yang harus diperbincangkan, akan tetapi debaran jantungnya sedari tadi mengganggu konsentrasi Syifa, sehingga gadis itu memilih untuk diam.

Karena suasana itu cukup canggung, sehingga Jaya kembali mengeluarkan benda elektroniknya untuk mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang di seberang sana yang mungkin kini telah menahan kesal akibat tak dapat menemukan kedatangannya.

Jaya Adiputra Teh, sebentar ya. Dede ada urusan dulu sebentar.

Rasanya baru saja ia mengirimkan pesan tersebut, tapi seseorang di sana dengan secepat kilat membalasnya.

Teh Iva Urusan apa? Lama gak?

Urusan apa, ya, masa aing bilang lagi nungguin orang dijemput?

Jaya Adiputra Nanti dede kasih tau, gak lama. Bentar kok.

Lagian kasian juga aing kalau harus cewek sendirian malem-malem, takut ada hal-hal yang nggak diinginkan terjadi, pikirnya. Bukankah itu memang sudah tugasnya kakak kelas untuk melindungi adik kelasnya, 'kan?

Teh Iva Yaudah tapi kalo udah beres langsung otw ya de

Jaya mengangguk setelah selesai membaca kalimat terakhir yang dikirimkan sang kakak kepadanya. Bodoh rasanya, padahal sudah jelas-jelas orang tersebut tak akan bisa melihatnya.

You Iya, sebentar ya teh.

Selepas menyelesaikan pesan terakhirnya, lantas Jaya memasukkan kembali benda itu ke kantong celananya. Laki-laki itu mengarahkan pandangan ke jalanan di depan yang nampak cukup sepi. Sebab tak ada lagi angkutan umum yang berlalu-lalang seperti di siang hari. Bahkan saking banyaknya angkutan umum, tak jarang di depan sekolah acap kali macet. Seolah ia telah ditakdirkan untuk terus bersama-sama dengan kemacetan yang sering kali ditemuinya.

“Rumah Syifa emang di mana?” Jaya menolehkan wajah untuk sekadar menatap wajah sang adik kelas.

Akhirnya setelah bergumul dengan pikirannya, Jaya dapat membangun sebuah topik untuk mereka berdua perbincangkan.

Syifa cukup terperanjat ketika laki-laki itu secara tiba-tiba menodongnya dengan pertanyaan. “Rumah Syifa di daerah Baleendah, Kak Jaya!” timpal Syifa cepat, tak mau membuat laki-laki itu menunggu lama.

Jaya mengangguk-anggukkan kepala. “Oh, daerah banjir,” timpal Jaya dengan nada cukup pelan. Tetapi siapa sangka justru ucapannya itu terdengar jelas oleh sang gadis di sebelah, sehingga Syifa diam-diam memberikan reaksi ketidakterimaan akibat laki-laki itu telah memandang rendah daerah kediamannya.

“Emang Kak Jaya sendiri di daerah mana rumahnya?” Syifa mempertanyakan hal yang sama ketika laki-laki itu memberinya sebuah pertanyaan yang sebelumnya tak pernah terlintas akan menuturkan kalimat tersebut.

“Bojongsoang.”

“Oh, daerah yang sering macet itu, ya,” sindir Syifa, tak mau kalah atas perlakuan sang kakak kelas kepadanya beberapa saat lalu.

Mulanya Jaya cukup terkejut mendengar balasan dari gadis itu atas ucapannya. Namun sedetik kemudian laki-laki itu justru tertawa, merasa lucu ketika menyadari daerah kediaman mereka memiliki permasalahannya sendiri.

Syifa yang melihat kakak kelas itu tengah melantunkan tawa pun turut mengikutinya. Ia tertawa bukan atas jawaban darinya sendiri, melainkan karena laki-laki itu yang memulai memamerkan senyuman indahnya untuk kesekian kali. Apabila Syifa diberi sebuah pertanyaan pemandangan apa yang ingin ia tatap secara terus-menerus dengan tak bosan, maka, Syifa akan lantang menjawab pemandangan ketika Kak Jaya tertawa. Sebab, selain pemandangan itu cukup langka, pun karena bagaimana laki-laki itu tertawa memiliki sebuah nilai lebih dalam pandangannya.

“Masih sakit nggak jarinya?”

“Gimana, Kak Jaya?”

Jaya menatap ke arah jemari Syifa yang sibuk meremas tas gitar. “Masih sakit nggak jarinya?” ulang Jaya dengan pertanyaan yang sama—tak dilebihkan, pun tak dikurangi dari kalimat sebelumnya.

“Oh!” Syifa mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan keempat jemari yang ia keluhkan tadi siang ketika mata pelajaran seni musik berlangsung. “Udah nggak sakit, soalnya udah nggak main gitar lagi!” Syifa menyodorkan kelima jari miliknya ke hadapan sang kakak kelas.

Jaya melirik sekilas ke arah jemari itu. “Nanti kalau main gitar, dipake lagi aja silikonnya.” Syifa mengangguk, mengiakan perintah dari laki-laki itu.

“Tapi ngomong-ngomong, Kak Jaya, kan, sering main gitar, emang nggak sakit tangannya?”

Syifa cukup penasaran dengan keadaan jemari kakak kelas itu. Pasalnya laki-laki itu seringkali bermain gitar pada media sosialnya, padahal bagi dirinya yang baru memainkan sebentar saja sudah merasakan rasa sakit yang luar biasa.

Jaya menggeleng. “Nggak, udah biasa.” Laki-laki itu mengangkat tangan kirinya, mengikuti perlakuan gadis itu sebelumnya untuk memperlihatkan kondisi jemarinya saat ini. “Kulit Jaya udah keras, makanya udah nggak terlalu berasa sakit kayak awal-awal belajar,” jelas Jaya.

Syifa menundukkan wajah, mencoba mendekatkan matanya dengan jari Jaya.

“Kenapa?” tanya Jaya cukup kebingungan melihat reaksi gadis itu yang tengah menatap dirinya secara tiba-tiba.

Syifa menunjuk jemari Jaya dengan ragu-ragu. “Syifa boleh pegang nggak jari Kak Jaya itu? Mau tau sekasar apa jarinya,” pinta Syifa.

Jaya berdeham sejenak sebelum akhirnya laki-laki itu mengangguk, memberi izin gadis itu untuk melakukan keinginannya. “Pegang aja.”

Seakan mendapatkan lampu hijau, gadis itu dengan cepat meraih satu per satu jemari Jaya. Syifa mengusap-ngusap secara perlahan ujung jemari laki-laki itu, mencoba merasakan permukaan kulit sang kakak kelas.

Jaya otomatis memalingkan wajah ketika merasakan bagaimana gadis itu secara berulang melakukan kegiatan untuk mengusap keempat ujung jemarinya.

“Ih iya ternyata jari Kak Jaya udah kasar banget!” ucap Syifa setelah membandingkan dengan jemari miliknya yang terkesan lembut, walau masih terdapat beberapa kulit yang mengelupas akibat mempelajari permainan musik itu.

“Atas nama Jihan Syifa?”

Sayang sekali obrolan mereka berdua harus terhenti, sebab ojek online pesanan Syifa telah datang tanpa sadar. Padahal semula Syifa berharap bahwa ojek pesanannya akan segera datang, akan tetapi entah mengapa justru hal itu kontradiktif dengan keinginannya saat ini yang masih ingin berlama-lamaan dengan laki-laki itu.

Syifa spontan berdiri. “Iya, aku, Pa!” teriak Syifa sembari memberikan lambaian tangan tak sabaran. “Kak Jaya, Syifa duluan, ya! Maaf, ya, Syifa nggak bisa nungguin Kak Jaya sampe temennya dateng!” Bibir Syifa mengerucut, merasa tak enak karena ia harus menarik diri lebih dulu.

Jaya mengulas sebuah senyuman. “Nggak apa-apa, hati-hati, ya.”

Satu kalimat itu sukses mengembalikan debaran jantungnya yang semula telah mereda. Untaian kata-kata itu masih terngiang-ngiang dalam pikirannya. Ia harus mempersiapkan diri dari sekarang, karena mungkin saja kalimat itu akan mendatanginya secara tiba-tiba.

Syifa menerima uluran helm dari sang supir. “Kak Jaya juga hati-hati, ya, nanti pulangnya!” Gadis itu perlahan naik ke atas motor dan menyamankan posisi duduknya.

Alih-alih menjawab secara vokal, laki-laki itu lebih memilih membalasnya dengan sebuah anggukkan pun senyuman yang tak pernah lepas pada wajahnya.

“Udah bisa jalan sekarang, Neng?”

Syifa mengangguk. “Udah, Pa,” balas Syifa dengan mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan. “Dadah, Kak Jaya, Syifa duluan, ya!” Lambaian tangan itu menjadi interaksi akhir antara keduanya.

Di antara banyaknya objek di depan mata, entah mengapa perhatiannya justru tertuju pada punggung gadis itu yang perlahan mulai menghilang tertutup oleh beberapa kendaraan lainnya yang berlalu-lalang. Pertemuan singkat, namun secara tersadar sukses membuat hatinya menghangat. Satu yang ia baru sadari ketika berinteraksi dengan gadis itu dengan waktu cukup panjang, gadis itu selalu memperlihatkan sisi riangnya dalam keadaan apapun, pun rasa semangat yang terlihat selalu membara. Saking asyiknya berkelana memikirkan hal ini dan hal itu, Jaya sampai tak sadar bahwa ia harus bergegas menjemput kakak sulungnya sebelum ia akan mendapatkan sebuah ceramahan tak berujung.

“Kenapa aing ngerasa kayak ada yang aneh, ya.”


Puspas Niskala Universe.

by NAAMER1CAN0