NAAMER1CAN0


Apabila suara bising knalpot bisa menjerit, mungkin benda itu tak henti mengungkapkan betapa bosannya karena sedari tadi ia terus berusaha membuat keadaan jauh lebih ramai. Sementara, kedua orang yang berada di atas motor tak memiliki inisiatif untuk menghangatkan suasana. Tak ada obrolan yang terucap semenjak motor itu bergerak meninggalkan kawasan sekolah. Sesekali hanya ada suara si gadis, itu pun karena harus menunjukkan jalan menuju rumahnya.

Jaya bukan tipikal orang yang pandai mengawali pembicaraan, sehingga laki-laki itu tampak biasa-biasa saja menyadari keadaan yang hening. Toh, hari-hari biasanya pun Jaya selalu bertemu dengan suasana seperti ini, mempersilakan bising klakson dan knalpot kendaraan lain yang mengisi penuh pendengarannya, dan mempersilakan berisik itu menemaninya sampai rumah.

Hal itu justru berbanding terbalik dengan seorang gadis di belakang yang tampak kebingungan untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka. Namun, setelah mencuri pandang ke arah laki-laki itu berada, yang di sana tampak tidak keberatan sekali dengan keheningan tersebut.

Syifa mengabsen satu per satu kendaraan yang melintas di depannya. Ia tak tahu seberapa banyak kendaraan di belakang, lantaran posisi duduknya yang miring. Terlampau bosan dan tak ada yang bisa ia lakukan selama di atas motor itu selain diam, pada akhirnya Syifa lebih memilih untuk menghitung kendaraan yang melintas. Baru satu menit berlalu, tetapi ia sudah banyak mengantongi jumlah kendaraan yang dapat dilihatnya.

Syifa memiringkan wajahnya sedikit ke arah Jaya. “Masih lurus, ya, Kak Jaya, jangan belok.”

Jaya membalas ucapan itu dengan berdeham seraya menganggukkan kepala.

Syifa diam-diam mengembuskan napas, sangat pelan sampai-sampai kakak kelasnya itu tak menyadarinya sama sekali.

Sejak duduk di jok motor ini, ia sama sekali tak mendengar satu patah kata yang laki-laki itu ucapkan. Sebanyak apa pun ia berbicara untuk menunjukkan jalan, laki-laki itu hanya membalasnya dengan dehaman atau bahkan anggukkan kepala saja.

Jika tahu akan berakhir seperti ini, mungkin ketika laki-laki itu mengajaknya pulang bersama—ralat, menitipkan helm dengan ia memakainya di atas jok motor ini—maka, dengan lantang ia akan menolaknya. Pulang dengan Abang Ojek saja ia selalu bertukar cerita, lalu mengapa saat ini dengan laki-laki itu mereka saling membungkam mulut seolah tengah bertengkar hebat?

“Kenapa?”

Syifa menoleh. “Hah? Kenapa apanya, Kak?” Badan ia menegak, berusaha menyamakan tinggi tububuhnya lantaran terhalang lebarnya bahu laki-laki itu. Kepalanya masih sibuk memproses, sekaligus tak percaya bahwa akhirnya laki-laki itu angkat bicara juga.

Jaya melirik spion sekilas. “Dari muka Syifa kayak ada yang diomongin.” Setelah kata itu berhasil diucapkan, laki-laki itu kembali menatap jalanan di depan.

Ah, ternyata laki-laki itu benar-benar bersuara, ia kira sedang berhalusinasi. Bahkan hebatnya, ucapannya itu lebih panjang dari perkataan sebelumnya. Ia sempat berpikir bahwa yang sedang bersamanya ini bukanlah kakak kelasnya sungguhan karena tak menunjukkan respons yang ia inginkan.

“Kenapa?” Jaya kembali bertanya, sebab Syifa tak ada tanda-tanda akan segera menjawab.

Mulut gadis itu kembali menutup ketika tiba-tiba matanya menangkap satu gerobak es tebu yang sedang berjualan di pinggir jalan. Tangan Syifa menepuk pundak Jaya dengan ribut. “Kak Jaya! Kak Jaya! Berhenti di depan!” titah Syifa, mengabaikan pertanyaan Jaya seakan kalimat itu hanyalah sebuah angin lewat yang tak perlu susah payah diberikan atensi.

Dahi Jaya mengerut selaras dengan kedua mata turut mengikuti ke mana gadis itu menunjuk. “Di sana?” tanya Jaya memastikan. Pasalnya, tempat yang telah ditunjuk Syifa bukanlah sebuah perumahan. Jadi, jika permintaan gadis itu minta diberhentikan di sana dengan alasan sudah sampai, cukup mustahil.

Syifa mengangguk. “Iya, Kak Jaya mau beli juga nggak?”

“Beli apa?” tanya Jaya lengkap dengan gurat-gurat halus tercipta di dahi laki-laki itu.

“Es tebu. Syifa mau beli es tebu dulu soalnya haus. Kak Jaya mau beli juga nggak?”

Sein kiri sudah Jaya nyalakan, laki-laki itu pun beberapa kali terlihat memantau kendaraan di belakang melalui spion sebelum benar-benar membawa motornya untuk berlaju di sisi kiri. “Nggak.” Jaya menggeleng serta mengamati kondisi motornya. “Susah bawahnya, nggak ada dashboard.”

“Syifa nanti bantu pegangin, Kak!”

Setelah ucapan itu keluar dari bibir manis sang adik kelas, entah mengapa pikiran Jaya mendadak melayang pada adegan gadis itu sepanjang jalan bantu memegangi satu cup es tebu demi ia bisa menikmati cairan manis itu. Tangan yang setengah memeluk perut Jaya—karena masuk di sela-sela tangan untuk menghindari dari bahayanya pengendara di sekitar.

Hanya sekadar membayangkan saja Jaya tersipu sendiri. Lantas ia segera menggelengkan kepala guna menepis pikiran tersebut. “Nggak usah, Syifa sendiri aja yang beli,” tolaknya sehalus mungkin agar gadis itu tak merasa sakit hati.

Dan, entah bagaimana ceritanya, ia justru berakhir ikut duduk di pinggir jalan menghabiskan satu cup es tebu sembari menikmati suasana sore hari dan disuguhkan pemandangan langit jingga juga kendaraan padat merayap.

Bibir Jaya menaik usai tak sengaja melihat kedua kaki gadis itu yang sengaja diluruskan bergerak-gerak kecil. Jaya menyeruput es tebu, lalu menelannya—memberikan hadiah pada kerongkongan yang tanpa disadari sudah mengering.

Selama mereka berdua duduk dan menikmati minuman itu, Jaya sama sekali tak berani menatap wajah Syifa walau sebentar. Padahal gadis itu sempat mengajaknya dalam konversasi kecil, namun Jaya lebih senang mendengarkan gadis itu berbicara dengan tatapan terjatuh pada tiap-tiap kendaraan yang melintas.

Satu tas yang dibiarkan tergeletak di samping kaki Jaya, tak memedulikan apabila barang itu akan kotor. Dan satu tas lainnya tak absen meninggalkan punggung Syifa—masih digendong seolah sama sekali tak terganggu dengan keberadaan barang itu.

“POV jadi Panda,” ucap Jaya dengan tiba-tiba.

Syifa menoleh dengan dahi mengerut, hendak menyeruput es tebu namun ia urungkan usai mendengar ucapan itu. “Maksudnya, Kak?” tanya Syifa kebingungan, bahkan posisi kepala gadis itu sampai miring.

Jaya membalas tatapan bingung Syifa seraya menggoyangkan gelas berisikan cairan manis alami dari tebu. Ia bisa lihat garis-garis tercetak di dahi gadis itu. “Kita lagi ngerasain jadi Panda, soalnya lagi nikmatin tebu,” jawab Jaya di akhiri tawa kecil dan memutuskan pandangan.

Melihat kakak kelasnya itu mulai tersenyum, tak tahu mengapa ujung bibirnya seakan ditarik paksa untuk memberikan reaksi yang sama. Apalagi setelah melihat bola mata laki-laki itu yang perlahan tenggelam oleh kelopak matanya. Bukan hanya langit semburat senja yang terlihat indah, melainkan senyuman dari laki-laki di sebelahnya tak kalah jauh indah dari kondisi langit sore hari ini.

“Tapi, Panda bukannya makan bambu, ya, Kak?”

Jaya mengangguk dan tersenyum. “Iya. Anggep aja kayak gitu.”

“Oh, iya, iya! Kita beneran kayak Panda sekarang!” Syifa cengar-cengir.

Mendengar suara intonasi ucapan gadis itu berubah riang, menghadiahkan gelengan kepala dari Jaya.

Menikmati indahnya sore hari dengan laki-laki di sebelahnya, berhasil buat jantung Syifa berkali-kali lipat berdetak kencang. Bibirnya mendadak kelu, sulit untuk mengucapkan segala kalimat berada di dalam kepala, padahal rasanya ada banyak hal ingin ia bicarakan dengan laki-laki itu. Entah sekadar menghabiskan waktu berdua, ingin melihat senyumannya kembali, atau bahkan saling berdiam diri sembari menikmati kepergian senja.

“Wangi baju Kak Jaya sekilas mirip wangi Ayah Syifa,” ucap Syifa, usai meyakinkan diri untuk berbicara.

Jaya mengangkat sedikit bahu kanannya—sengaja mendekatkan pada hidung. “Itu harum pewangi baju. Jaya jarang semprot parfum di jaket,” timpal Jaya selesai menghirup wangi pada jaketnya.

Lalu, hening kembali. Baik Jaya maupun Syifa saling berlarut dengan pikiran masing-masing.

Syifa memejamkan mata. Rasanya bodoh sekali karena ia memilih untuk diam dibandingkan menyahuti jawaban itu. Ini semua karena semua kalimat berada di dalam kepalanya seketika hilang begitu saja. Padahal, ia sudah berusaha untuk menciptakan obrolan hangat. Kesalnya, laki-laki itu sama sekali tak memiliki inisiatif untuk memperpanjang obrolan tersebut.

Seketika sedotan es tebu miliknya berhenti tepat di depan bibir sebelum Jaya sempat menyeruputnya. Tubuh Jaya mendadak membeku usai menyadari bahwa gadis itu mengetahui aroma pewangi dari tubuhnya. Lantas jika begitu, secara tidak langsung ketika di atas motor tadi, gadis itu telah diam-diam mencium aroma wangi tubuhnya?

Kepala Jaya menggeleng cepat. Es tebu itu ia teguk tak sabaran dengan harapan tegukan demi tegukan itu mampu membuat isi kepalanya kembali jernih.

Sebuah suara serta-merta membuyarkan lamunan Jaya. Jaya menengok ke arah sampingnya. Laki-laki itu terlihat menahan gelak tawanya agar tak pecah saat itu juga. Bagaimana tidak, ketika telinganya saat ini dipenuhi suara gadis itu tengah menyeruput cairan es tebu yang sudah habis.

“Mau beli lagi nggak es tebunya, Syifa?”

Syifa terperanjat, cup es tebu itu hampir saja Syifa lemparkan. “Nggak, Kak! Syifa cukup minum satu aja soalnya tadi di sekolah udah banyak minum manis-manis takutnya nanti batuk.”

Kayak anak kecil. Jaya menggeleng-gelengkan kepala.

Syifa ingin kembali menyeruput minuman itu, namun digagalkan oleh bunyi notifikasi ponselnya di dalam rok. Maka, dengan cepat Syifa mengeluarkan benda itu. Satu cup es tebu yang semula mati-matian Syifa isap melalui sedotan sudah ia simpan di sampingnya bersamaan dengan satu per satu pesan mulai ia baca melalui layar ponsel yang masih terkunci.

Sontak gerak-gerik tersebut memunculkan rasa penasaran dari Jaya. Dahi Jaya mengerut saat matanya tak sengaja menangkap jelas tiap-tiap kalimat yang tertera di layar ponsel gadis itu. Akui Jaya tak sopan, atau lebih tepatnya gadis itu yang teledor membiarkan ia bisa melihat isi pesan tersebut. Akan tetapi, salah satu pesan tersebut mampu membuat Jaya merutuk dalam hati.

Jaya membuang muka begitu menyadari Syifa berancang-ancang menyudahi membalas pesan itu.

Syifa mengunci kembali ponselnya dan dimasukkan ke tempat semula. “Kak Jaya.” Jaya menoleh dengan alis terangkat selagi menunggu yang lebih muda akan melanjutkan kalimatnya. “Kak Jaya beneran mau nganterin Syifa pulang?”

Jaya mengangguk.

Syifa melirik motor yang tengah terparkir beberapa langkah di depannya. “Nanti kalau bensin Kak Jaya berkurang banyak gara-gara nganterin Syifa dulu, kabarin, ya, Kak!”

Jaya tersenyum kecil disertai gelengan kepala. “Masih banyak, kok. Baru diisi pagi tadi.”


Sial, sejak mimpi itu datang, ia selalu terbayang-bayang tiap adegan maupun dialog dalam bunga tidur itu. Acap kali melihat raut wajah Syifa, lagi-lagi ingatan Jaya terjatuh pada bagaimana gadis itu tak mengacuhkan kehadirannya. Sampai detik ini, ia masih tak menyangka bahwa dirinya akan dihantui oleh kejadian itu. Oleh karena itu, alasan mengapa ia banyak memandang arah lain, selain muka gadis itu salah satunya karena alasan tersebut.

“Makasih banyak udah mau nganterin Syifa pulang, ya, Kak Jaya!”

Terlampau sibuk dengan pemikiran sendiri, Jaya bahkan sampai tidak sadar bahwa gadis itu telah turun dari motornya. Pun, Jaya tidak sadar sudah menghentikan motor tepat di depan gerbang rumah si pemiliknya.

Jaya berdeham kecil dan memalingkan wajah. “Nitip helm, bukan nganterin,” ucap Jaya, dengan nada suara terkesan sedikit ketus.

Cih, laki-laki itu pandai sekali dalam menjatuhkan ekspetasi yang susah payah ia bangun sendirian.

Syifa mendengkus. “Iya, iya, itu maksudnya!” Syifa melipat tangan. Kalau saja bukan karena laki-laki itu telah mengantarnya pulang, ia pastikan sudah meninggalkannya sedari tadi. “Makasih, ya, udah nitipin helm sama Syifa. Berkat Kak Jaya, Syifa jadi nggak perlu ngeluarin ongkos buat bayar ojek,” kata Syifa, memberi nada penekanan pada kata-kata tertentu.

“Sama-sama.”

Dan, yang lebih membingungkan adalah, mereka berdua masih setia diam di tempat tanpa ada yang berniat menarik diri lebih dulu. Para pengendara motor yang tak sengaja melewati mereka pun beberapa kali terlihat memberikan wajah kebingungan pada mereka. Pasalnya, Jaya setia duduk di atas motor dengan kondisi mesin sudah dimatikan. Sementara, di sampingnya ada Syifa yang berdiri dengan kaki sengaja digerakkan di aspal—menggambar bentuk sembarang menggunakan ujung sepatunya.

“Syifa.”

Syifa mendongak cepat. “Iya, Kak Jaya?”

Jaya menunjuk kepala Syifa. “Helmnya belum dibuka, BTW.”

Syifa memegang kepala. Ah, jadi alasan mengapa laki-laki itu sedari tadi diam karena sedang menunggu barang itu? Ia pikir ada hal yang ingin dibahas namun sulit untuk mengungkapkan. “Oh, iya!” Maka, dengan buru-buru ia langsung membuka benda bulat tersebut lalu diserahkan pada kakak kelasnya.

Jaya meraih helm itu, mengaitkannya sebelum ia simpan di depan tangki. “Yaudah, kalau gitu Jaya pulang dulu.”

Syifa mengangguk cepat. “Iya, Kak Jaya. Hati-hati, ya!”

Jaya menyalakan mesin motor. Laki-laki itu menoleh ke arah Syifa, memberikan senyuman sekilas sebelum meninggalkan sang pemilik rumah yang masih terdiam di tempat sembari memperhatikan punggung laki-laki itu yang perlahan menjauh.

Syifa mengulum senyum, dalam hati menjerit riang karena ia telah menghabiskan waktu dengan laki-laki itu. Daun-daun hijau sepanjang jalan yang dilalui gadis itu menjadi saksi bahwa saat ini sang pemilik rumah tak memberikan perhatian kepada mereka seperti biasanya. Mereka tak diacuhkan, tak disapa, bahkan tak dianggap keberadaannya ada. Padahal setiap sore gadis itu pasti akan memberikan asupan air demi menjaga kesehatan mereka dalam menyejukkan rumah ini.

“Ih, kamu abis dianterin siapa, tuh? Cieeee.”

Syifa terkejut bukan main. Badannya berjengit, hampir terjatuh jika ia tak langsung berpegangan pada pondasi rumah. “Ih, kamu kenapa tiba-tiba ada di sini?!”

Ary menunjuk tong sampah dengan wajah cemberut. “Aku abis buangin sampah kamu yang ada di kulkas! Nanti pulang dari supermarket ibu pasti marahin kamu!”

Biasanya, jika ia mendapatkan ancaman tersebut pasti akan ketakutan sendiri. Akan tetapi, untuk kali ini tidak. Bahkan, wajah ia terlihat tersenyum riang—tak memiliki beban bahwa mungkin saja beberapa waktu setelah ini ia benar-benar mendapatkan kalimat petuah dari ibunya seperti yang dikatakan si bungsu.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Bel istirahat belum genap satu menit dibunyikan, akan tetapi seluruh murid di dalam kelas sudah berhamburan—tak sabaran keluar dari ruangan penuh kepenatan itu. Bahkan yang lebih parah adalah guru di depan saja belum sepenuhnya keluar kelas. Jaya hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku teman-teman kelasnya, entah apa yang sedang mereka perebutkan—grasah-grusuh itu seakan-seakan mereka sedang terburu-buru menuju tukang cilok yang selalu ramai dan habis dalam sekejap.

“Mau makan sekarang atau nanti wae istirahat kedua, euy?

“Sekarang ajalah, biar istirahat keduanya bisa aing pake buat tidur,” timpal Rakha, seraya membereskan buku-buku berserakan yang telah selesai dipakai.

Harri beranjak. “Yaudah atuh hayu, takut udah keburu penuh kantinnya.”

Jaya yang terlihat tampak ogah-ogahan itu tak berniat untuk bergegas merapikan barang di atas meja. “Aing nyusul nanti.” Kemudian, laki-laki itu kembali menggoreskan pena di atas buku bergaris—melanjutkan catatan yang belum selesai. Ingin terbebas dari pekerjaan yang belum tuntas. Sebab, ia masih teringat dengan perkataan dari Mama Sumarni yang selalu berpesan untuk selalu menyelesaikan pekerjaan sampai selesai—tidak boleh ditunda-tunda dan dilakukan setengah-setengah.

Jagat berhenti tepat di samping bangku Jaya, mengangkat bekal makan siangnya seolah meminta penjelasan. Jaya yang merasa sebagian bukunya tiba-tiba gelap, lantas menoleh. “Apaan?” tanya Jaya, melirik pada kotak bekal Jagat.

“Mau tukeran bekal nggak?”

Jaya memutuskan pandangan seraya menggeleng. “Nggak, mama aing sekarang lagi nggak bekelin sayur.”

Jagat manggut-manggut. “Yaudah, kalau gitu saya ke kantin duluan, ya, Jay.”

Anggukkan dari Jaya seakan memberi Jagat lampu hijau untuk bergabung dengan Harri dan Rakha yang mungkin kini sudah berjalan lebih dulu sembari memikirkan apakah masih ada meja kosong untuk mereka tempati.

Ini semua karena kemalasan Jaya untuk segera memindahkan catatan dari papan tulis pada bukunya, hingga saat ini Jaya kewalahan sendiri. Jari-jarinya terasa pegal, namun Jaya sendiri enggan untuk berhenti mengingat waktu terus berjalan. Apabila ia berhenti sebentar, artinya waktu Jaya untuk istirahat pun makin tersisa sedikit.

Sebenarnya ia bisa-bisa saja menikmati bekal makan siang itu ketika istirahat kedua nanti, namun konsekuensinya ia akan melakukan aktivitas menyuapkan nasi tersebut sendirian. Dan, kebiasaan buruk dirinya adalah selalu memindahkan makanan berada di kotak bekal miliknya pada kotak bekal milik teman-temannya—meminta tolong untuk bantu habiskan karena kapasitas perut yang sudah penuh. Lalu, alasan utama lainnya adalah karena jam istirahat kedua nanti akan ia pakai untuk bermain bola bersama teman-teman kelas IPA lain yang sudah direncanakan.

Beruntung Jaya sempat memotret tiap-tiap kalimat di papan tulis sebelum dihapus, sehingga Jaya tak perlu susah payah mengartikan tulisan dari teman sebangkunya—Rakha—yang ditulis terburu-buru, asal menulis agar cepat selesai. Bahkan, Jaya sendiri berani menjamin Rakha akan kesusahan sendiri ketika membaca ulang saat di rumah nanti. Itu pun apabila Rakha membaca ulang. Jika tidak, ya, berarti Rakha tak akan begitu memedulikan hasil coretannya.

Waktu terus berjalan. Kepala Jaya sesekali mendongak untuk melihat kehadiran jam di dinding depan kelas, ketika jarum panjang itu menunjukkan pukul sembilan empat puluh, kedua mata Jaya spontan terbelalak. Jari-jemarinya makin tak beraturan dalam menulis, untung saja itu menjadi kalimat terakhir yang perlu ia keluarkan sisa-sisa tenaganya. Bersamaan dengan titik terakhir yang baru Jaya tuliskan, helaan napas lega mulai terdengar menandakan pekerjaan laki-laki itu telah sepenuhnya selesai. Walaupun hasil tulisannya akhirnya tak jauh berbeda dengan hasil tulisan Rakha—tidak rapi-rapi amat, namun untuk sekadar ia baca dan artikan sendiri masih mengerti. Apabila orang lain yang baca, Jaya tak akan berpikir orang tersebut mampu membacanya dengan benar.

Buku catatan dengan sampul coklat muda itu ia tutup, dimasukkan kembali ke dalam tas dan tidak lupa menyimpan satu bolpoin dengan tip-x ke tempat pensil. Jaya tidak ingin bolpoinnya kembali hilang ketika laki-laki itu tak sengaja menggeletakkan di atas meja. Terhitung sudah lima bolpoin milik Jaya hilang dalam satu bulan ini. Angka tertinggi dalam sejarah Jaya kehilangan bolpoin. Biasanya sang tersangka utama yang sering menghilangkan bolpoin miliknya adalah Harri, lalu kandidat kedua ditempati oleh Nakula—teman kelasnya. Padahal Jaya sudah sering mewanti-wanti untuk meletakkan kembali ke kolong bangku Jaya, namun sepertinya titahan dari Jaya tak mampu menembus ke dalam indra pendengaran kedua laki-laki itu. Bukan karena Jaya pelit, tetapi Jaya sudah lelah sendiri harus terus-menerus kehilangan barang yang sama, dan mengorbankan uang jajannya untuk membeli barang tersebut kesekia kalinya.

Jaya bangkit, merenggangkan sedikit otot pinggang sebelum akhirnya meraih bekal makan siang dan segera menyusul teman-temannya di kantin. Sesekali Jaya melirik jam, memastikan masih tersisa waktu untuk Jaya habiskan bekal makan siang ini. Sehingga, untuk istirahat kedua nanti bisa Jaya pakai bermain bola.

Akan tetapi, ketika hendak melangkah mendekati meja di ujung sana, kedua kaki Jaya tiba-tiba berhenti. Laki-laki itu menyangkal saraf motorik, pun menyangkal pesan dari otaknya untuk segera bergabung ke meja sana dengan mereka. Sepuluh detik Jaya terdiam di tempat, dan hanya dalam kurun waktu tersebut kini laki-laki itu telah memutar badan dan berjalan kembali menuju kelas. Sepertinya untuk istirahat kali ini Jaya akan menghabiskan bekal makan siang itu di dalam kelas saja. Jaya lebih baik menikmati nasi serta suwiran ayam kecap bersama dengan teman-teman kelas, dibandingkan harus bergabung bersama mereka dengan pemandangan yang enggan untuk Jaya saksikan.

Berbicara mengapa pada akhirnya Jaya kembali ke kelas, sebab ketika kedua kaki Jaya hampir mendekati meja mereka, dari jauh samar-samar Jaya melihat kehadiran seorang gadis yang tengah asyik tertawa dengan salah satu temannya—entahlah untuk sekadar Jaya sebut namanya saja rasanya sangat malas. Laki-laki itu adalah laki-laki dengan terang-terangan mendekati seorang gadis yang beberapa hari terakhir absen berinteraksi dengannya—Yolan.

“Tai, kenapa juga harus ada dia,” gerutu Jaya di sela-sela perjalanan menuju kelas.

Sesampainya di kelas, Jaya bersyukur karena masih menemukan keberadaan beberapa rekan kelasnya masih duduk melingkar di depan kelas. Kotak bekal mereka belum sepenuhnya habis, artinya Jaya masih memiliki kesempatan untuk bergabung dengan mereka.

Jaya meletakkan kotak makan, lalu disusul olehnya yang ikut duduk di lantai yang cukup dingin. Jaya membuka makan siangnya, meraih satu tisu untuk membersihkan sendok sebelum benda tersebut menyendokkan sesuap nasi yang akan ia masukkan ke dalam mulut.

“Tumben maneh nggak makan di kantin, Jay,” kata Rio—sang ketua kelas sebelas IPA empat.

Heeh, lagi males aing di sana rame pisan.” Jaya tersenyum miris, menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulut dengan ogah-ogahan. Selera makannya mendadak hilang. Padahal cacing-cacing di perutnya saat Jaya menulis tadi sudah bernyanyi dengan lantang. Kini, ke mana keberadaan cacing-cacing tersebut? Apakah cacing-cacing bak berdemo itu hilang bersamaan dengan hatinya yang mendadak terasa bergejolak?

Jaya terlalu bodoh untuk menyadari perasaannya. Apa yang ia rasakan tidak sama dengan apa yang ia ucapkan. Entah benar-benar bodoh atau berusaha menyangkal semua perasaan itu.

“Yo, maneh tau nggak, sih, si Abi sama Deni?” kata Ilyas memulai perbincangan, sekaligus menemani kegiatan makan siang mereka agar tak terlalu hening.

Heeh, tau. Kenapa emang, Yas?”

“Itu, anying. Mereka, kan, sekarang musuhan.”

Rio membulatkan mulut. “Sumpah? Tau dari mana maneh, Yas? Musuhan gara-gara apa ceunah?

Aing denger dari barudak badminton, katanya gara-gara cewek.”

Obrolan itu menjadi salah satu obrolan paling menarik di telinga Jaya. Diam-diam ia membuka lebar-lebar kedua telinganya, ingin ikut mendengar namun tak ingin memperlihatkan dirinya yang terang-terangan sedang penasaran. Ia sampai-sampai berusaha menyamarkan obrolan lain yang tak begitu penting. Tak tahu karena sumber obrolan itu dekat dengan posisinya berada atau karena topik yang sedang mereka angkat telah mengalihkan sepenuhnya perhatian Jaya. Bahkan, sampai-sampai ia mengabaikan notifikasi ponselnya yang sedari tadi terus bergetar dari dalam saku celana.

“Eh, urang juga denger desas-desus itu. Padahal Abi sama Deni sohib pisan, tapi gara-gara cewek mereka kayak udah nggak saling kenal,” kata Hasan tiba-tiba ikut menimbrung obrolan Rio dan Ilyas.

“Kenapa bisa? Main belakang apa gimana?” tanya Rio penasaran.

“Nggak, Yo. Gosipnya mah Abi lagi deket sama si cewek itu, eh Deni diem-diem deket juga sama cewek yang Abi taksir,” jelas Ilyas. “Terus ketauanlah dan akhirnya mereka adu omong, dan udah nggak pernah keliatan nongkrong bareng lagi.”

Dari ujung mata Jaya bisa lihat Rio tengah mengerutkan dahinya. “Tapi, mereka nggak saling tau, kan?”

Ilyas mengangguk. “Heeh, dari gosipnya, sih, si Abi-nya nggak terus terang kalau suka sama itu cewek.”

Nakula mengembuskan napas. “Yaudah, kalau gitu mah salah dua-duanya kata aing. Coba aja mereka jujur, nggak akan berakhir deketin cewek yang sama,” kata Nakula ikut bersuara setelah mencoba berdiam diri untuk menikmati sisa-sisa suapan terakhir bekal makan siangnya. “Menurut aing jujur soal perasaan ke temen deket mah nggak masalah, sih, malah bagus. Biar wanti-wanti hal gituan bakalan terulang, soalnya sayang kalau sampe buat pertemanan hancur mah.”

Mereka yang berada di sana serempak menganggukkan kepala, menyetujui dengan kalimat dari Nakula.

Merasa ada yang memperhatikan, lantas Ilyas menoleh. “Maneh kenal nggak, Jay, sama si Abi Deni?” tanya Ilyas dibalas gelengan cepat oleh Jaya.

Bertepatan dengan itu, mereka melanjutkan obrolan dengan berbagai topik yang herannya terus-menerus mengalir tanpa henti. Sementara Jaya sudah tak menyimpan perhatian pada obrolan mereka. Ia sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri. Bahkan, Jaya sempat mengabaikan keberadaan nasi yang tinggal menyisakan beberapa suapan terakhir.

Kalimat terakhir dari Nakula itu sukses telah menusuk hatinya.

Dan, anehnya, mengapa ketika melihat adegan di kantin tadi ia justru merasa kepanasan sendiri? Padahal ia sendiri kerap menyangkal semua pernyataan yang mengatakan bahwa ia mulai menaruh hati untuk gadis itu. Lalu, mengapa rasanya saat gadis itu mulai tak mengirimkan pesan—atau walau hanya sebatas membalas stori Instagram—rasanya, seperti ia merasa kehilangan?


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


https://open.spotify.com/track/1RyqmamAZTAB9WSZpX4S3f?si=2ff6ac23fdde40aa


Rasanya sangat asing ketika ia membawa langkahnya menyusuri tiap jalanan dengan langit masih berwarna hitam pekat. Dinginnya pagi itu benar-benar terasa sampai menembus kulit. Ketika angin datang, laki-laki itu merapatkan ritsleting jaketnya—tak membiarkan sedikit pun angin pagi itu akan membuat tubuhnya tumbang.

Harri sangat was-was lantaran jalanan yang sedang ia lewati ini hanya diberikan oleh lampu-lampu di beberapa titik saja, itu pun keadaan lampunya sudah sangat remang. Beruntung, Harri masih diberikan cahaya lainnya oleh bulan di atas sana yang setia menemani Harri melewati jalanan cukup sepi ini.

Langkah Harri tergontai dengan kedua tangan sengaja disembunyikan di saku jaket—tengah membungkus tubuhnya. Helaan napas lagi-lagi keluar dari bibir Harri. Harri hanya bisa tersenyum simpul saat perkataan dari orang yang selalu Harri anggap segalanya sudah menyayat hatinya. Sekalipun perkataan itu terlontar dengan kesadaran di batas ambang. Namun, rasa sakit yang menghantam dadanya, pun bagaimana perkataan itu terlontar justru masih tertinggal di kepala dan hati Harri.

Sia teu baleg pisan jadi lanceuk, téh! Cenah rék ngabantuan urang ngajagaan adi-adi sia, tapi sia sorangan anu ingkar kana janji!

“Lo nggak becus banget jadi kakak, tuh! Katanya mau bantuin Bapa ngejagain adek-adek lo, tapi lo sendiri yang ingkar sama janji!”

Sia.

Sia.

Sia.

Untuk pertama kalinya, kata yang biasa ia ucapkan kepada teman-teman sebayanya kini terlontar dari bibir sang kepala keluarga. Kata tersebut adalah kata yang selama ini ia takuti akan keluar dari bibir Papa Asep. Kata tersebut adalah kata yang selama ini ia hindari untuk mendengar langsung dari bibir orang paling diseganinya.

Namun, hari ini, segala ketakutan itu justru mendatanginya tanpa permisi.

Bagai disambar petir, ketika kalimat itu terucap begitu saja, tubuh Harri langsung membeku. Ia masih ingat betul dengan tiap-tiap kejadian yang berada di dalam rumahnya. Bahkan, hal-hal yang tak disangka-sangka pun ikut hadir. Orang yang selama ini Harri hormati, hampir melemparkan remote televisi yang ikut tergeletak di bawah lantai bersama kepingan kaca televisi yang telah hancur melebur kepadanya. Beruntung, malam itu Tuhan langsung mengirimkan perempuan amat disayanginya yang datang dan membantu menepis barang sialan tersebut dari tangan Papa Asep. Harri tak tahu, apabila satu detik saja Tuhan telat mengirimkan malaikat tak bersayap, mungkin barang itu akan menjadi salah satu barang paling ia benci setelah laptop.

Untuk pertama kalinya, air yang selama ini selalu berhenti di pelupuk mata, mengalir begitu saja melewati kedua pipi sehingga membuat Harri tak bisa menatap jelas objek apa yang berada di hadapannya.

Untuk pertama kalinya, malam itu, ia menangis di depan mata sang kepala keluarga.

Untuk pertama kalinya, malam itu, ia selalu berpikir apa yang kurang dari dirinya sampai setiap hal masih terlihat salah di mata sang kepala keluarga?

Pun, untuk pertama kalinya, pagi itu, Harri meninggalkan sejuta kenangan di dalam rumah dengan pergi tanpa arah. Pergi tanpa satu patah kata yang terucap. Pergi tanpa menatap dan mencium kening ketiga adiknya.

Pagi itu, rasa emosi menyelimuti dirinya sampai-sampai Harri tak diperkenankan untuk berpikir jernih. Harri tak diperkenankan untuk menghalau segala permasalahan yang selama ia anggap akan berakhir baik-baik saja.

Setiap orang pasti memiliki titik terendahnya masing-masing. Baginya, mendapatkan sesuatu kata bahkan kalimat yang tak seharusnya ia dengar dari mulut orang tua adalah salah satu kesedihan yang sulit untuk dilupakan.

Papa Asep yang selalu berucap lemah lembut, yang selalu mengajarkan dirinya untuk bertutur kata yang baik dan sopan kepada siapa pun, yang tak segan akan memarahi dan memberikan berbagai kalimat nasihat, seketika hilang dan tergantikan oleh Papa Asep yang kasar.

Bahkan, Harri tak pernah sekali pun mendengar Papa Asep berucap kalimat serupa pada teman-teman sebayanya. Papa Asep adalah salah satu wujud laki-laki yang selalu menjadi panutan untuknya.

Dan, untuk pertama kalinya pula, malam itu, segala rasa hormat kepada sang kepala keluarga seketika hilang—mengalir bersamaan dengan tetesan air mata yang telah terjatuh dari kedua matanya.

Merasa kedua kakinya terasa pegal, akhirnya Harri lebih memilih untuk duduk pada salah satu batu besar dengan kondisi jalanan dilalui oleh beberapa kendaraan. Harri tak berani untuk sekadar beristirahat dalam keadaan sepi, sebab perkataan Papa Asep untuk selalu waspada di mana pun berada terus terngiang-ngiang di dalam kepala.

Tenggorokannya telah mengering. Peluh keringat sudah menghiasi dahi Harri. Kemudian, tak lama keberadaan keringat itu seketika hilang lantaran angin tiba-tiba datang dan membawa keringat tersebut dengan sukarela.

Namun sayang, angin tak bisa membawa pula segala hal buruk dalam kepala Harri.

Harri merogoh ponsel, mencari sebuah kontak untuk ia kirimkan beberapa pesan atas perasaan sedang dirasakannya saat ini. Selama jari-jari itu bergerak liar di atas layar ponsel, Harri hanya bisa memasang wajah tersenyum memaksakan. Bagaimana sekuat-kuatnya ia berusaha tersenyum, hal itu selaras dengan tusukan-tusukan mengenai hatinya.

Harri tak benci Papanya. Tidak. Harri hanya benci mengapa tadi malam ia tak bisa melarang kedua adiknya dalam bermain bola di dalam rumah. Harri hanya benci mengapa tadi malam ia sebaiknya tak mengungkapkan apa yang sedang dibutuhkannya. Harri hanya benci mengapa ia tak bisa mencegah Mama Iis dalam mempercayai satu hal yang sama sekali belum terbukti benar atau tidaknya.

Ironisnya, hal yang tak sepatutnya Harri sesali justru membuat laki-laki itu terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Terus-menerus dihantui oleh kesalahan ini, dan kesalahan itu.

Lagipula, tak semua hal bisa ia cegah.

Tak selamanya hidup dapat berjalan sesuai rencana. Harri cukup sadar berapa pun tawa yang telah ia lantunkan, pasti akan ada kesedihan dan tangisan di kemudian hari. Sebab, hidup itu akan selalu seimbang antara kesenangan dan kesedihan. Makin banyak rasa senang yang ia dapatkan, maka makin banyak pula rasa sedih kemungkinan datang mendatangi hidupnya. Dan kini, Harri percaya akan hal itu.

Selepas pesan-pesan itu ia kirimkan pada salah satu temannya. Harri kemudian mematikan data seluler yang dapat diakses oleh aplikasi tersebut. Harri ingin tenang mencari angin sampai semuanya kembali seperti semula.

Harri menyugar rambut, terdiam beberapa saat untuk ia pikirkan tempat akan didatanginya. Bodoh rasanya ketika sedang berada salam situasi ini, Harri sampai melupakan membawa buku-buku pelajaran, baju ganti, bahkan kendaraan yang biasa ia pakai. Sebab, Harri berpikir dengan membawa segala barang tersebut justru akan menyadarkan mereka bahwa ia benar-benar pergi untuk sementara waktu. Meskipun ia sendiri meninggalkan beberapa kata untuk Mama dan Papanya.

Berbicara tentang mengapa Harri bahkan tak membawa kendaraannya, ia berpikir untuk sekadar membuka garasi lalu menyalakan mesin—membuka gerbang lebar-lebar, takut membuat orang-orang di rumah terbangun dengan kebisingan yang dibuatnya. Sehingga, pada akhirnya Harri memilih untuk keluar tak membawa apa pun kecuali barang-barang berharga. Sebab, Harri masih bisa berpikir jernih untuk hidup di luar sana nanti.


Harri berdiri di depan gerbang murah sangat familier sebab ia sering kali bertemu gerbang tersebut hampir setiap hari. Bahkan, diibaratkan gerbang itu bisa berbicara, mungkin ia akan mengucapkan betapa bosan terus bertemu dengannya tak henti. Dan, saat itu pula mungkin Harri akan menjawabnya dengan tawa renyah.

Senyum Harri mengembang setelah kedua matanya menangkap sebuah postur dari gadis yang dicintainya sedang mengeluarkan motor dari garasi rumah. Harri tak beranjak sedikit pun dari tempatnya walau gadis itu perlahan berjalan mendekati gerbang rumah, kemudian sesaat kemudian Harri bisa lihat raut keterkejutan yang tercetak gelas pada wajah gadis itu.

“Isel.”

Fara terdiam di tempat dengan mulut menganga. “Harri?! Kan jadwal hari ini bukan jadwal kamu jemput aku?!” Fara mendorong gerbang rumah, membuka lebar-lebar sekaligus mempersilakan Harri untuk masuk.

“Kenapa kamu pake baju kayak ginian?” Kepala Fara kemudian celingak-celinguk seakan sedang mencari sesuatu barang yang hilang. “Motor kamu mana?”

“Grisel....”

Ketika mendengar panggilan kedua kalinya dari laki-laki itu disertai sorot mata terlihat kosong, Fara hanya bisa menepis segala hal buruk yang sempat mengisi pikirannya.

“Kenap—”

Kalimat Fara belum sepenuhnya terucap, namun sebuah rangkulan tiba-tiba saja hinggap pada tubuhnya. Apabila Fara tak segera menyeimbangkan tubuhnya, mungkin detik itu juga mereka berdua terjatuh secara bersamaan.

Pikiran Fara kalut. Berbagai pertanyaan terus-menerus datang tanpa mendapatkan jawaban yang diinginkan. Melalui rangkulan itu, Fara sadar bahwa laki-laki dalam pelukannya saat ini sedang tak baik-baik saja.

Fara tersenyum. Gadis itu meneduhkan tatapannya dengan elusan tangan tak henti diberikan pada punggung Harri. Pada detik berikutnya, elusan tersebut Fara ganti dengan tepukkan pelan. Tepukkan yang biasa Ayah Yudhis berikan ketika Fara sedang rindu dengan mendiang Ibunya.

“Soal rumah, ya?” tebak Fara kemudian dibalas anggukkan oleh Harri.

Fara tak tahu sebesar apa permasalahan itu, yang pasti ini adalah pertama kalinya Harri langsung mengeluarkan air mata ketika pelukan tersebut Fara dapatkan. Fara hanya bisa menerka-nerka apa yang telah terjadi. Fara berpikir bahwa permasalahan kali ini lebih besar dari permasalahan-permasalahan sebelumnya. Sebab, bahu Harri terus bergetar sampai kedua telinga Fara dapat mendengar jelas isakkan tersebut. Isakkan tangis memilukan yang tanpa sadar telah membuat dadanya ikut sesak pula.

Sekuat apa dia selama ini sampai-sampai tangisan itu terdengar memilukan? Sekuat apa dia selama ini sampai-sampai tubuhnya merosok dengan kepala menunduk seakan tak berani untuk sekadar berbagi pilu lewat tatapan mata untuknya. Sekuat apa dia selama ini sampai-sampai hari ini terlihat hari yang dia nantikan untuk datang.

Mau tak mau Fara pun ikut berjongkok, menyejajarkan tubuh miliknya dengan tubuh laki-laki itu. “Jangan duduk di sini, Yang, kotor!” Fara berusaha menarik kedua lengan Harri, walaupun usaha itu berakhir sia-sia karena Harri menginginkan hal sebaliknya. “Ayo masuk, Yang, nggak ada Ayah, kok di dalem! Cuman ada Bibi aja!”

Tanpa harus diberitahu keberadaan sang kepala keluarga pun Harri telah menyadarinya lebih dulu ketika ia menginjakkan kaki di depan gerbang dan tak melihat tanda-tanda keberadaan mobil Ayah Yudhis berada. Maka dari itu, Harri menyimpulkan bahwa beliau memang benar-benar tak berada di rumah.

“Nggak mau, malu muka aku lagi nangis.”

“Ya, nggak apa-apa. Emang kalau aku liat muka kamu lagi nangis kenapa? Nggak semua hal wajar yang sering kita lakuin itu jadi sumber rasa malu buat kamu!”

“Jangan liat mata aku dulu.”

Fara kembali berusaha meraih kedua lengan Harri dengan tatapan terarah pada objek di sampingnya sesuai dengan permintaan laki-laki itu untuk tak menatap wajah—terutama matanya.

“Iya! Aku nggak akan liat mata kamu, ini aku lagi liat pohon di rumah aku!”

Harri mendongakkan kepala. Seulas senyuman terbit di bibir manis laki-laki itu ketika melihat Fara tengah memandang asal pada tiap-tiap sumber hijauan di halaman rumah itu.

Harri berdiri, menopang beban tubuh menggunakan kedua kaki yang masih terasa lemas. Terima kasih kepada kekasihnya yang sigap membantu tubuh Harri untuk masuk ke dalam kediaman Fara.

“Bi! Maaf mau tolong ambilin air minum, ya!” teriak Fara saat kedua kaki miliknya telah melewati batas pintu rumah. Keduanya kini sedang berjalan menuju sofa, lalu mendudukkan Harri di sana dengan kedua mata memejam—masih menepati janji untuk tak menatap mata laki-laki itu.

“Udah, buka aja mata kamu.”

Fara membuka mata persis di hadapan wajah Harri. “Ya, nggak di depan muka aku banget! Aku kaget sendiri!” amuk Harri dikejutkan dengan kedua bola mata yang telah membulat menatap dirinya tanpa aba-aba.

Fara menarik kepalanya dari sana, kemudian gadis itu terkekeh sembari mendudukkan diri di sebelah Harri.

“Aku abis dimarahin Papa.”

Fara yang semula tengah tertawa sontak membungkam mulut saat Harri mulai menceritakan alasan di balik tangisan memilukan tadi. Fara membiarkan Harri bercerita tanpa berniat untuk ia interupsi barang sejenak. Mempersilakan Harri mengambil pusat perhatiannya kali ini. Mempersilakan suara bariton laki-laki itu memenuhi indra pendengarannya. Fara selalu siap untuk mendengarkan tanpa pernah akan merasa bosan.

“Mereka berdua berantem gara-gara aku abis minta barang yang dari awal seharusnya nggak aku minta.”

“Mama Iis baru kena tipu sampe buat tabungan Papa Asep sisa dikit.”

Mata Fara melotot. Gadis itu tampak akan mengeluarkan suaranya, namun segera diurungkan setelah melihat Harri akan kembali melanjutkan ucapannya.

Kepala Harri menunduk. “Aku di-sia-sia-in sama Papa gara-gara suatu hal yang nggak bisa aku jelasin ke kamu.” Salah satu ujung bibir Harri ditarik seolah sedang tersenyum secara terpaksa. “Maaf.”

Fara manggut-manggut. Telapak tangannya kembali meraih punggung Harri untuk ia berikan usapan-usapan kecil.

Aku nggak mau cerita soal beratnya jadi seorang sulung ke kamu, ketika kamu sebentar lagi ada kemungkinan bakalan jadi seorang kakak, Sel. Aku nggak mau buat kamu takut jadi seorang kakak. Aku yang terlalu lebay aja belum bisa jadi kakak yang baik, makanya lagi-lagi masalah kayak gini terus terjadi sama aku.

Menyadari Harri telah kembali bungkam membuat Fara memberanikan diri untuk bertanya. “Jadi, itu alesan kamu kabur dari rumah, Yang?” tanya Fara hati-hati, takut menyinggung perasaan Harri.

Harri menggeleng cepat. “Aku nggak kabur! Aku cuman keluar cari angin aja!” sanggah Harri bersungut-sungut. “Aku sakit hati banget dikasarin sama Papa, Sel. Aku belum pernah sama sekali Papa ngomong sekasar itu. Ya, walaupun aku tau diri kalau aku kasar. Tapi, kalau dikasarin orang tua itu rasanya aneh banget. Aku nggak suka....”

Fara menepuk punggung Harri, menggenggam telapak tangan laki-laki itu yang sibuk memainkan jari jemarinya.

“Aku kadang suka mikir aku terlalu lebay apa gimana baru dikasih masalah kayak gini aja sampe nangis, aku malu sama dunia. Aku seharusnya liatin sisi ceria aku ke dunia, bukan sisi lemahnya aku, Yang.”

“Hush, nggak boleh ngomong kayak gitu. Setiap orang yang hidup di muka bumi ini berhak memvalidasi perasaan mereka sendiri, berhak buat nangis sekenceng-kencengnya. Bukan cuman orang, bahkan makhluk hidup kayak hewan aja mereka bisa nangis. Tangisan—air mata yang keluar itu bukan tolak ukur seseorang lemah atau enggaknya. Itu adalah salah satu bentuk cara mengekspresikan diri, karena dengan kalimat mungkin rasa emosional di hatinya itu belum tentu bisa tersampaikan dengan baik. Kamu nggak boleh berpikiran kayak gitu lagi!”

Harri mencermati tiap-tiap untaian kata yang disusun menjadi tiap kalimat mampu menusuk sekaligus menenangkan dirinya. Sorot mata dipenuhi rasa sedih itu kemudian menatap balik kedua mata Fara.

“Aku nggak suka kalau kamu selalu berpikir, kalau kamu nangis itu salah. Itu enggak sama sekali salah Harri! Sekuat-kuatnya orang pun pasti pernah nangis.” Fara menghela napasnya sejenak. “Aku nggak suka kamu keluar rumah kayak gini…, aku tau pasti susah banget kalau kamu terus ada di rumah waktu semuanya lagi nggak baik-baik aja. Tapi, apa dengan kamu keluar gini semua masalah di rumah bakalan selesai?” Fara menatap kedua bola mata Harri sembari meraih salah satu tangan laki-laki itu. “Jawabannya enggak, Harri. Yang ada, tanpa kamu sadari, dengan kamu keluar gini malah nambah permasalahan yang nggak kamu tau.”

“Tapi, Sel—”

Genggaman Fara pada tangan Harri menguat. Gadis itu tak lupa memberi elusan kecil untuk menenangkan Harri.

“Aku tau kamu butuh waktu sendiri, tapi nggak harus dengan cara kabur, Harri. Kamu bisa diem di kamar dan kunci pintu. Kamu bisa pergi dan nginep di rumah temen kamu. Asal jangan keluar. Papa, Mama, Adik-adik kamu pasti khawatir banget, Harri. Gimana kalau misalnya dengan kamu keluar waktu ada masalah gini malah dicontoh adik-adik kamu nanti?” tanya Fara lembut, meneduhkan sorot matanya.

Harri menggeleng pelan. “Nggak mau….”

“Kadang adik-adik tuh nyontoh sikap dan sifat kakaknya. Aku cuman takut secara nggak sadar, kamu buat mereka ngelakuin hal sama persis yang kamu lakuin sekarang.”

Bersamaan dengan Fara tak sengaja melihat jam di dinding, Bibi pun datang dengan satu gelas air di atas nampan. “Kamu minum dulu.” Fara meraih gelas tersebut dan segera menyerahkan pada Harri. Setelah menangis, kadang membuat tenggorokannya pasti mengering. Pun, Fara tau laki-laki itu pasti sudah kelelahan terlihat dari cara berdiri dan berjalan pun sedikit berbeda dari biasanya. “Kamu mau sekolah nggak?”

Harri menggeleng di tengah-tengah kegiatan meneguk air minum.

“Udah bikin surat?”

Harri menjawab pertanyaan itu dengan menganggukan kepala, mengiakan.

Fara tak bertanya lagi, melainkan gadis itu berlari ke luar rumah membuat Harri yang masih asyik menikmati satu gelas air berakhir bertanya-tanya. Namun, baru saja Harri ingin bangkit untuk menyusul Fara, tiba-tiba Fara kembali dengan satu kotak makan berada di tangannya.

“Harri!” teriak Fara, berlari kecil menghampiri Harri yang terduduk di sofa dengan wajah keheranan. “Aku tadi masak nasi goreng buat bekel makan siang kita—aku sengaja bawain buat kamu. Tapi, karena kamu nggak akan sekolah, jadi kamu makan aja sekarang, ya!” Fara menyerahkan satu kotak makan itu.

Harri menatap bekal kotak makan siang itu sekilas, sebelum kembali menatap kedua bola mata Fara. “Terus bekel kamu?”

Fara menepuk pundak Harri sebanyak dua kali dengan penuh kasih sayang. “Kamu tenang! Bekel aku ada di motor!” tunjuk Fara menuju pintu—menujuk kendaraan yang terparkir di luar sana.

Harri mengulas sebuah senyuman seraya meraih kotak makan itu. “Makasih, Sel. Kamu hati-hati, ya, berangkat sekolahnya. Jangan ngebut, liat spion kalau mau belok. Jaketnya disleting yang rapet. Terus nanti kalau temen-temen aku nanya, kamu jawab nggak tau, ya.” Harri mengusap rambut Fara, kemudian diakhiri dengan menepuk pelan pada puncak kepala gadis itu.

“Iya siap!” jawab Fara sembari memberikan gestur hormat dengan senyuman lebar, sampai-sampai Harri bisa melihat jelas deretan gigi kekasihnya.

Harri menengok ke arah jam, lalu berdiri. “Ya udah cepet berangkat, Sel, takut nanti kesiangan.”

Mata Fara menyipit, dengan garis-garis halus telah memenuhi dahinya. “Kamu mau ke mana?” tanya Fara heran sebab Harri tiba-tiba berdiri, seolah akan segera keluar dari kediamannya.

“Ke...luar?” jawab Harri ragu-ragu.

Fara menggeleng cepat, mendorong tubuh Harri sampai laki-laki itu kembali terduduk di sofa. “Nggak boleh! Kamu diem aja di sini sampe aku pulang sekolah! Kamu nanti tidur di kamar tamu, nanti aku bilang Bibi buat bersihin! Jangan ke mana-mana sampe aku pulang! Nanti aku beliin kamu mi ayam pulangnya!”

Rentetan kalimat yang terus-menerus keluar dari bibir Fara membuat tawa Harri melantun.

“Harri kamu denger nggak tadi aku bilang apa!” Fara kembali bertanya sembari menghadang tubuh Harri.

“Iyaaaa, Grisel, aku denger.”

“Nanti kalau mau mandi, mandi aja, ya. Nanti aku suruh Bibi kasih kaos Ayah yang udah kecil buat kamu.”

Harri lagi-lagi mengangguk seraya memberikan senyuman terbaiknya. “Iya. Ya udah, gih, kamu berangkat.”

Harri bukan bermaksud mengusir kehadiran Fara, hanya saja waktu telah menunjukkan hampir pukul enam pagi. Harri hanya takut apabila Fara akan terlambat datang ke sekolah. Mengingat hari ini adalah hari Jum'at.

“Aku berangkat, ya. Setelah pulang sekolah aku bakalan langsung pulang cepet!”

Namun sayangnya, harapan Fara untuk bertemu Harri selepas pulang sekolah hanya sebatas angan-angan. Setelah bergulat dengan segudang mata pelajaran dan tugas-tugas di sekolah, Fara pulang disambut oleh keheningan. Tak ada Harri di sana sesuai dengan pesannya tadi pagi. Bahkan, sandal yang dipakai laki-laki itu pun telah lenyap di depan teras rumah. Awalnya Fara berpikir bahwa sandal Harri akan disimpan di dalam rumah. Akan tetapi, ternyata lenyapnya sandal itu bersamaan dengan lenyapnya Harri di dalam rumah.

Sia-sia Fara yang sudah terburu pulang dan membelikan satu bungkus mi ayam. Sebab, kehadiran Harri sudah tak di sana lagi.

Neng... tadi Harri nitipin surat ini ke Bibi,” ucap Bibi dari arah belakang kemudian berjalan menghampiri Fara yang terduduk lemas di sofa. Bibi menyerahkan satu lembar surat.

Dengan penuh perasaan campur aduk, Fara mulai membuka surat itu dan membacanya dalam diam.

“Harri....”


Kolase Asmara Universe

by NAAMER1CAN0


https://open.spotify.com/track/6xeqCawPZngDVqw2W2aGaR?si=4a424a26e1324658


Bentakan-bentakan kecil tak bisa lepas begitu saja dengan cepat dalam isi kepala Harri. Bentakan sekecil apa pun memungkinkan menjadi salah satu penghuni terlama di hati, meninggalkan bekas yang sulit untuk ia halau sendiri.

Tetapi, bentakan kecil yang diberikan oleh orang paling disegani di dalam rumah apakah sama dengan bentakan yang mungkin tak sengaja ia berikan untuk mereka? Apakah mereka dapat merasakan rasa sakit yang sama? Rasa sakit yang berakhir membuat kedua kakinya melangkah tak tahu arah. Melangkah dan terus melangkah sampai-sampai tak tahu di mana ia saat ini berada. Melangkah mengikuti setiap angin berembus. Melangkah mengikuti air mengalir. Dan melangkah mengikuti burung-burung beterbangan riang tanpa arah yang pasti.

Terkadang Harri merasa iri dengan keberadaan sang burung di atas sana yang selalu riang beterbangan tanpa perlu khawatir akan tersesat. Ketika sedang merasa gundah, mereka akan beterbang. Mengepakkan sayap, membiarkan tubuh mereka diterjang kerasnya embusan angin.

Bagaimanapun, tindakan dirinya saat ini tetap salah. Tak seharusnya ia berlari dan meninggalkan rumah tanpa satu patah kata yang terucap. Benar kata kekasihnya, dengan ia memilih jalan seperti ini justru secara tidak sadar bahwa ia telah memberi contoh hal yang salah kepada tiga adiknya di rumah. Bodoh. Harri sangat bodoh. Susah payah ia menjadi sosok kakak yang berusaha untuk selalu melindungi para adiknya—menjadi garda terdepan di setiap masalah, namun hari ini ia justru telah mengacaukan dengan dalih emosi sesaat yang tumbuh—dan membiarkan emosi tersebut mengontrol dirinya.

Tak seharusnya ia mengedepankan rasa egois ketika di belakang sana banyak orang-orang yang bergantung padanya. Apabila bisa memutar kembali waktu, mungkin Harri dengan lantang menginginkan sejak dini hari itu ia lebih memilih tidur di kamar dengan segala perasaan gundah dibandingkan pergi berkelana tanpa arah dan menciptakan permasalahan baru.

Apalagi yang perlu ia cari kala berawal dari kaki itu melangkah sampai berhenti, potongan-potongan kejadian tersebut masih melekat jelas di dalam kepala. Jika angin tak bisa ikut membawa segala ingatan perihal kejadian telah membuatnya kecewa, lalu apalagi yang harus ia jadikan opsi lain? Apakah opsi tersebut tidak jauh lebih baik dengan ia membawa kedua kakinya untuk kembali pulang pada rumah yang selalu ia elu-elukan pada semua orang?

Sebab, Harri selalu berpikir bahwa permasalahan yang datang berawal dari rumah, akan terselesaikan di rumah pula. Sehitam-hitamnya keadaan rumah dalam pandangannya sendiri, akan terdapat ruang tersendiri untuk dirinya memandang bangunan itu seperti dilapisi emas pada setiap sisinya. Satu permasalahan yang datang menghampirinya tidak akan membuat seluruh pandangan Harri terhadap keluarga sepenuhnya tertutup. Bagaimanapun, keluarganya adalah rumah terbaik sepanjang masa yang Harri punya.

Pun, Harri selalu berpikir selelah-lelahnya ia mendapatkan title sebagai kakak tertua, akan jauh lebih lelah kedua orang tua yang sudah merawat ia beserta ketiga adiknya sedari kecil. Untuk menjaga dan menjadi garda terdepan bagi ketiga adiknya seharusnya tidak semelelahkan itu.

Harri menarik napas panjang. Jemari laki-laki itu mencengkeram erat tas berwarna abu yang telah ia pinjam dari kekasihnya. Harri tatap sejenak bangunan yang tak terlalu megah di depan, sebelum akhirnya Harri memutuskan untuk melangkah melewati gerbang yang menjadi saksi utama atas kepergian dirinya sejak pagi hari itu.

Satu hal yang Harri rasakan ketika kedua kakinya sudah berada persis di depan pintu, ia tak bisa mendengar keributan yang biasa selalu bantu menghangatkan rumah mereka. Entah keributan dari kedua adik kembar yang saling merengek karena menolak untuk disuruh tidur, keributan dari Papa Asep dengan si kembar saling berebut saluran televisi, atau keributan teriakan dari Kaila karena diganggu si kembar ketika sedang belajar. Harri tertawa kecil, bahkan kenangan-kenangan seperti itu yang akan selalu ia rindukan. Bagaimana ia mampu meninggalkan rumahnya ini dengan semudah itu?

Ah, berbicara perihal televisi, mungkin benda itu masih rusak sehingga ia tak dapat mendengar sedikit pun siaran televisi seperti biasanya. Pun, ketika Harri tak sengaja menangkap jam pada pergelangan tangan, Harri sendiri disadarkan oleh waktu yag telah menunjukkan malam hari. Pantas saja kediamannya sunyi, sebab mungkin mereka telah berlarut dalam tidurnya masing-masing.

Agar tak membangunkan seisi rumah atas kedatangannya yang tak tahu malu ini—datang dan pergi sesuka hati—Harri mendorong pelan-pelan pintu di hadapannya. Setelah pintu terbuka, Harri tak langsung masuk, melainkan laki-laki itu membuka sepatunya terlebih dahulu dan menjinjing untuk disimpan di atas rak sepatu.

Betapa terkejutnya Harri ketika pintu itu sudah sepenuhnya ia buka, sebuah teriakan pun kedatangan seseorang langsung menyergap kedatangannya.

Aa!”

Dan, ya, teriakan tersebut berasal dari ketiga adiknya beserta Mama Iis. Mereka berempat berbondong-bondong memeluk tubuh Harri. Bahkan, mereka tak mengizinkan Harri untuk menyapa barang sejenak.

Harri tak begitu memikirkan sepatunya yang terjatuh. Bila lantai rumahnya kotor, ia sendiri akan membersihkannya.

Mendengar isakan tangis begitu memilukan dan saling bersahutan, secara tak sadar membuat air mata Harri mengalir tanpa diduga-duga. Harri merengkuh erat tubuh Mama Iis yang berkali-kali mengatakan permohonan maaf dan mengatakan betapa rindunya perempuan tersebut kepadanya.

Meskipun pandangan Harri mengabur, tetapi ia masih bisa lihat jelas sosok Papa Asep yang berdiri di depan sana tanpa berniat menghampirinya. Walau dengan pandangan tak begitu jelas, Harri menyadari tatapan dari Papa Asep menyorotkan kekhawatiran begitu mendalam.

Mau tahu rasa sakit yang menusuk relung hati dan tak bisa disembuhkan oleh semua hal yang ada di muka bumi ini? Yaitu jawabannya ketika Papa Asep berniat mendekati Harri namun laki-laki itu justru menundukkan wajah dan bersembunyi di ceruk leher Mama Iis dengan tangan berusaha melindungi kepalanya. Jangan tanyakan seberapa hancur perasaan Papa Asep malam itu. Papa Asep sangat jarang memperlihatkan tangisan kepada anak-anaknya. Namun malam itu, air mata Papa Asep mengalir bersamaan dengan rasa penyesalan yang sudah tak bisa ia hindari.

Apa yang sudah Papa Asep perbuat sampai-sampai memberikan rasa trauma dan ketakutan dari putra kesayangannya. Rasanya Papa Asep ingin sekali mengembalikan waktu untuk memperbaiki sedari awal. Sebab Papa Asep tahu, jika sudah begini, untuk mendapatkan kepercayaan dari putra sulungnya mungkin akan sulit atau bahkan tak bisa mengembalikan seperti sedia kala.

Tubuh Papa Asep merosot, berlutut di lantai dengan kepala menunduk—menutupi wajahnya sedang menangis.

Mama Iis mengendurkan pelukan, meraih wajah Harri dan mengusap air mata yang mengalir pada pipi putra sulungnya. “Aa ke mana aja kasep? Mama kangen Aa, Aa makan nggak? Aa tidur di mana?” Tak peduli dengan air mata yang terus mengalir bahkan sudah terjatuh membasahi bagian depan baju tidurnya, Mama Iis hanya ingin melepaskan segala rindu dengan Harri yang sudah pergi tanpa memberi kabar.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus diucapkan Mama Iis tanpa berniat untuk Harri jawab. Sebab apabila boleh jujur, ia sendiri tak kuasa untuk menjawab rentetan pertanyaan itu. Harri ingin kejadian kemarin dianggap menjadi kejadian selewat yang tak perlu dipikirkan. Harri pun malu sendiri ketika harus mengingatnya.

Di depan sana, Harri bisa lihat Papa Asep yang masih setia berlutut di lantai. Tak berniat bangkit lantaran masih menyesal dengan perbuatan yang sudah membuat putra sulungnya pergi tak tahu arah.

“Maafin Mama, ya, Aa….”

Apabila sebelumnya Harri berpikir bahwa kejadian ini seratus persen karena ulahnya yang terlalu egois untuk mencari kesenangan sendiri. Maka, lain dengan Mama Iis yang beranggapan bahwa permasalahan ini memang murni atas keteledorannya. Mama Iis terlalu mudah menyimpan rasa percaya pada orang lain sampai-sampai dirinya berakhir tertipu.

Harri menggelengkan kepala. “Udah, Ma, udah. Ini bukan salah Mama, emang Aa juga salah nggak liat situasi.” Harri mengelus punggung Mama Iis dengan beraturan. “Lain kali kalau ada apa-apa jangan lupa langsung bilang Aa atau Papa, ya, Ma. Mama jangan nutup-nutupin sendiri kayak kemaren. Aa sedih liatnya.”

Mama Iis tersenyum seraya mengangguk. Tangan Mama Iis bergerak menyugar rambut Harri yang sedikit basah karena keringat.

Aa, Aa jangan pergi-pergi lagi… Kaila sedih banget kalau nggak ada Aa di rumah. Maafin Kaila kalau selama ini Kaila bandel, tapi jangan pergi tinggalin Kaila sendiri lagi, ya.”

Tangis Harri kembali pecah ketika mendengar ucapan yang sukses menyayat hatinya. Ingatan Harri kembali pada saat hari di mana kedua orang tuanya bertengkar hebat dan Kaila mengucapkan sebuah kalimat yang tak diduga-duga akan dikatakan oleh seorang anak SD.

Aa, kalau misalnya nanti Papa sama Mama beneran pisah. Kaila mau ikut sama Aa, ya. Kaila nggak mau ikut Papa atau Mama. Kaila pengen ikut Aa aja. Kaila nggak mau kepisah sama Aa.”

Tubuh Harri merosot, berlutut menggunakan kedua kaki yang ditekuk dan segera memeluk tubuh Kaila erat-erat. “Aa nggak akan pergi lagi, Aa ada di sini, ya, geulis, ya, bageur. Maafin Aa kemarin udah ninggalin Ila sendirian.” Harri mencium puncak kepala Kaila, menenangkan si kecil dari tangisan yang belum terlihat tanda-tanda akan segera berhenti.

Pandangan Harri kemudian tertuju pada si kembar—sibuk memeluk dari belakang punggung Harri. Tak berselang dari situ Harri dibuat tertawa kecil lantaran Aariz yang jarang sekali menangis di hadapan Harri, kini si bungsu tak malu untuk memperlihatkan tangisannya.

Hidung yang memerah dengan bibir mengerucut. Seharusnya Harri merasa iba. Namun anehnya Harri justru menangkap pemandangan itu sangat lucu.

“Kenapa si kembar belum pada tidur, Ma?”

Mama Iis menghapus jejak air mata di kedua pipi Aarash dan Aariz yang telah mengering. “Tadi Papa bilang katanya Aa mau pulang, jadinya si kembar bangun lagi terus mau nungguin Aa barengan di ruang tengah,” sahut Mama Iis sembari tersenyum, seakan masih tak percaya dengan kehadiran Harri di depannya.

Harri hampir saja lupa akan keberadaan sang kepala keluarga di depan sana.

Harri memutuskan pandangan dari Papa Asep, memandang si kembar dengan senyuman begitu manis dari sebelumnya. “Hayu tidur lagi, kasep, besok sekolah, kan?”

Mereka berdua menggelengkan kepala kompak. “Nggak mau, takut kalau Aarash tidur nanti Aa keluar lagi dari rumah,” kata Aarash lengkap dengan raut cemberut, masih teringat jelas keberadaan si sulung yang tiba-tiba menghilang.

Bagai sedang dilempar ribuan batu-batuan, hati Harri mencelus. Laki-laki itu merasakan nyeri di bagian dada bersamaan dengan kalimat yang selesai diucapkan Aarash.

Harri tersenyum kecil dan menggeleng pelan. Kedua tangannya terbuka untuk merangkul Aarash dan Aariz. “Nggak, bageur. Aa bakalan ada di rumah terus, nggak akan keluar cari angin lagi!” timpal Harri berusaha meyakinkan.

Ketika Harri bergerak ke kanan dan ke kiri—memeluk si kembar penuh kasih sayang, tiba-tiba saja telinga Harri mendengar suara yang berasal dari dalam tas. Sontak Harri langsung melepaskan rangkulan.

“Ma!” panggil Harri dengan sedikit nada seperti berteriak. “Aa tadi nggak sengaja ketemu tukang parabot serba lima ribu terus beli ini!” Harri melepaskan tas, menariknya ke pangkuan dan mulai membuka ritsleting perlahan. “Aa beli tempat makan buat Kaila, Aarash, Aariz, beli baskom kecil, sama beli gelas kecil buat Papa minum!” Barang-barang tersebut Harri keluarkan secara satu per satu sembari menyusunnya di atas lantai, mempersilakan Mama Iis untuk melihat langsung dengan barang telah dibelinya.

Lagi-lagi tetesan air dari mata Mama Iis terjatuh. Mama Iis terburu menghapus sebelum Harri akan melihatnya. Mama Iis dibuat tersentuh akan perlakuan si sulung yang masih sempat-sempatnya memikirkan penghuni rumah di saat dia sendiri berada dalam keadaan yang tidak sedang baik-baik saja.

“Semuanya berapa Aa? Nanti Mama ganti, ya, uangnya.”

Kepala Harri menggeleng cepat. “Nggak usah, Ma! Aa emang mau beliin aja buat kalian!” balas Harri, menolak akan kalimat dari Mama Iis yang mengatakan akan mengganti uangnya.

Harri tak berbohong, ia membeli barang-barang itu memang atas kemauannya sendiri. Harri masih ingat dengan keluhan si kecil yang mengatakan tempat makannya sudah tak bisa menutup sempurna. Pun, dari keluhan Papa Asep mengenai perlu mengganti gelas kaca dengan gelas plastik agar si kembar tak akan memecahkan kembali ketika membawanya.

“Makasih, ya, Aa kasep.”

Harri mengangguk riang, membuat sedikit rambut-rambutnya ikut bergerak naik dan turun.

Aa udah makan? Aa lagi mau makan apa kasep? Mama masakin bentar, ya?”

“Nggak usah, Ma. Kalau Aa boleh minta, Aa mau mi kuah pake telur aja boleh nggak?”

“Boleh, Aa. Mama buatin, ya, Aa jangan ke mana-mana.”

Jangan ke mana-mana. Baru kali ini Harri benci mendengarkan kalimat tersebut.

Aarash mau ikut bantuin masakin mi buat Aa Harri!”

Aariz juga!”

Kaila menyeka air mata yang tersisa di pelupuk mata. “Aa, Ila juga mau ikut ke dapur, ya.” Harri mengangguk mempersilakan Kaila untuk ikut bergabung bersama mereka yang sudah lebih dulu memasuki dapur.

Harri menghela napas panjang. Matanya menatap Papa Asep masih berlutut di atas lantai yang terasa sangat dingin lantaran waktu sudah hampir menunjukkan pukul sebelas malam.

Harri berjalan pelan-pelan menuju Papa Asep berada. “Pa,” panggil Harri tak kunjung mendapatkan balasan dari sang kepala keluarga.

Papa Asep sebenarnya mendengar jelas panggilan itu, namun ia terlalu enggan untuk sekadar mendongakkan kepala dan menjawab panggilan tersebut.

“Papa.”

Akhirnya, pada panggilan kedua pun Papa Asep berhasil menatap balik kedua bola mata Harri setelah semua keberanian sudah Papa Asep kumpulkan.

“Pa—”

Sayangnya, belum sempat Harri mengucapkan maksud kalimat tersebut sampai akhir, akan tetapi Papa Asep lebih dulu memotongnya dan membuat Harri mau tak mau memilih untuk kembali bungkam.

Aa,” panggil Papa Asep dengan tatapan kembali mengabur. “Papa minta maaf, ya, Aa. Papa nggak bermaksud buat Aa sakit hati sama perkataan dan tingkah laku Papa.” Papa Asep menjeda sedikit kalimatnya untuk mengais udara dalam-dalam. “Maaf kalau selama ini Papa masih belum bisa jadi Papa yang baik buat Aa dan adik-adik Aa.”

Tangis Papa Asep kembali pecah. Untuk pertama kali Harri melihat Papa Asep menangis sambil berlutut. Memohon-mohon untuk dimaafkan segala kesalahan yang telah diperbuat dan telah memberikan goresan luka di hati Harri.

Harri menggeleng cepat, ikut berlutut dan mendekap tubuh Papa Asep. “Nggak! Papa udah jadi Papa terbaik buat Aa dan adik-adik Aa! Aa emang masih sakit hati sama omongan Papa, tapi jangan khawatir nanti juga Aa bakalan lupa sendiri!”

“Tapi, Aa—”

“Pa, Aa emang kecewa sama Papa. Tapi bukan berarti Papa gagal. Papa justru berhasil ngedidik Aa dan adik-adik Aa buat jadi orang yang bertanggungjawab. Tapi, maaf, Pa, buat kali ini Aa ngelanggar dan malah lari dari masalah. Aa terlalu egois buat diri sendiri, maafin Aa, ya, Pa.”

Aa nggak salah, Papa yang salah. Papa salah nggak bisa ngontrol emosi Papa sampe akhirnya tanpa sadar Papa ngebentak dan ngucapin kata-kata yang nggak seharusnya Papa ucapin ke Aa.”

Harri mengangguk selaras dengan tangan masih sibuk mengeratkan pelukan pada tubuh Papa Asep. Rasanya sangat jarang ia dapat memberikan atau merasakan pelukan hangat dari Papa Asep. Dirinya terlalu gengsi untuk sekadar memeluk tubuh Papa Asep.

Papa Asep melepaskan pelukan, mencengkeram erat bahu Harri dan memberikan senyuman.

Aa kasep, atos rengse bageur milarian anginna?

“Aa ganteng, udah selesai nyari anginnya?”

Harri tersenyum dan mengangguk.

Kumaha? Atos puas teu acan milarian anginna ayeuna? Atanapi masih hoyong milarian deui angin anu sanes?

“Gimana? Udah puas belum nyari anginnya sekarang? Atau masih mau nyari lagi angin yang lain?”

Masih dengan senyuman terpancar pada wajah laki-laki itu, Harri kembali mengangguk. “Atos, Papa. Aa atos puas milarian anginna.

“Udah, Papa. Harri udah puas nyari anginnya.”

Papa Asep mengulas sebuah senyuman selaras dengan tangan yang memgusap bahu Harri.

Janteun, angin mana anu paling Aa resep? Angin di Bandung atanapi angin di Sumedang?

“Jadi, angin mana yang paling Aa suka? Angin di Bandung atau angin di Sumedang?”

Harri menggerakkan sedikit kaki yang terlipat ke belakang, sekadar menggoyangkan kecil agar tak merasa pegal.

“Ternyata kesimpulan yang udah Aa dapet dari hasil berkelana, yaitu sebaik-baiknya angin yang udah Aa cari, masih nyamanan angin di kamar Aa,” sahut Harri. “Angin dari kipas angin Aa di kamar lebih nyegerin dan lebih bisa bantu hal berisik di kepala Aa ilang gitu aja,” tambah Harri dengan senyuman masih tercipta jelas pada wajah tampan laki-laki berkelahiran bulan Juni itu.

Harri menggaruk belakang kepala. “Oh iya, Pa—” Harri sedikit memberikan jeda pada ucapannya buat Papa Asep yang mendengar kalimat itu terheran. “Aa bawa oleh-oleh dari kegiatan beberapa hari ini Aa berkelana nyari angin dari Bandung sampe Sumedang.”

Tatapan Papa Asep masih setia menyelami bola mata Harri. Diam-diam Papa Asep tersenyum sebab ketika melihat wajah tampan putra sulungnya, Papa Asep teringat seperti kembali pada zaman saat muda dulu. Seperti sedang berkaca lantaran saking miripnya wajah Harri dengan wajah miliknya yang sudah sedikit tercipta keriputan. Rambut hitam lurus, bola mata berwarna hitam, hidung bangir, dan tata cara bagaimana laki-laki itu berucap persis seperti dirinya dahulu. Hanya saja, Harri memiliki jiwa sosialisasi dan keberanian lebih besar dari Papa Asep dulu ketika berada di bangku yang sama.

“Hadiah dari kegiatan berkelana kemaren yaitu.. Aa bawa angin-angin itu di sini.” Tangan Harri bergerak untuk menepuk pundak. Kemudian diakhiri dengan tawa renyah.

Papa Asep ikut terkekeh mendengar guyonan tersebut. “Nanti Papa kerokin Aa, Papa bakalan bantu usir oleh-oleh yang nggak sengaja Aa bawa waktu Aa sibuk nyari angin di luar.”

Harri mengangguk cepat. “Ok!” jawab Harri lantang dengan memberikan gestur hormat.

Baik Harri maupun Papa Asep masih setia pada posisinya—berlutut di atas lantai tanpa beralaskan apa pun. Dingin yang bermula hanya terasa pada kaki mereka, secara tiba-tiba justru membuat suasana di tengah-tengah mereka ikut dingin pula. Tak ada obrolan lagi. Hanya ada keheningan dan kecanggungan. Harri dan Papa Asep seolah enggan untuk beranjak—takut hal tersebut akan meciptakan perhatian dari salah satu mereka.

Anjir suku aing singsiremeun kieu?! Ieu si Babe iraha rek nantungna, nya.

“Kaki gue kesemutan gini?! Ini Babe kapan mau berdirinya, ya.”

Harri berkali-kali menelan ludah, jakun laki-laki itu bergerak turun dan naik. Ada sedikit keraguan dalam dirinya untuk mengajak Papa Asep berbincang. Harri menyesal, kejadian paling membodohkan itu justru berakhir membuat Papa Asep sedikit menjaga jarak dengannya.

“Papa,” panggil Harri lagi.

Papa Asep menoleh, memperlihatkan raut penuh tanya atas panggilan yang baru saja diucapkan Harri. Papa Asep hanya bisa setia menunggu sampai Harri akan kembali melanjutkan kalimatnya.

“Boleh nggak nanti kalau Mama selesai buatin mi, Aa mau minta Papa buat suapin Aa?”

Kerutan di dahi Papa Asep berangsur hilang dengan penjelasan dari Harri yang mengatakan permintaan akan laki-laki itu minta untuk dimanjakan malam hari ini. Papa Asep lantas bersemangat mengiakan, Papa Asep berharap dengan perlakuan itu bisa membuat hubungannya bersama Harri akan kembali seperti dulu.

Aa! Mi nya udah selesai Mama masak! Aa mau makan di mana?!

Harri terkekeh mendengar teriakan yang melengking dari dapur. Harri beranjak sembari menjawab pertanyaan dari Mama Iis yang ikut teriak pula. “Aa makan di ruang tengah, Ma! Nanti disuapin Papa!”

Harri melirik Papa Asep. “Iya, kan, Pa?” tanya Harri memastikan, takut apabila Papa Asep sewaktu-waktu akan menarik janji tersebut.

Papa Asep mengangguk mengiakan.

Satu yang bisa Harri jadikan pembelajaran yaitu untuk tidak melakukan segala sesuatu ketika emosi dirinya sedang tidak stabil. Nalarnya seakan buntu, tak bisa memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi saat ia sudah memilih jalan sesuai keinginannya saat itu.

Sekecewa apa pun ia terhadap Papa Asep, namun Papa Asep adalah Papa terbaik sepanjang masa baginya.

Satu kesalahan yang telah diperbuat Papa Asep, tak mampu melenyapkan segala kebaikan yang sudah dilakukan sang kepala keluarga tersebut.

Sebaik-baiknya manusia, pasti pernah melakukan kesalahan. Yang membedakannya, apakah dari kesalahan itu bisa diambil pelajaran atau justru mengulang untuk kesekian kali.

Hari ini, hari Minggu pukul setengah dua belas malam, Harri menutup rasa kecewa dan membuang seluruh jiwa ego yang sempat mengontrol dirinya. Malam ini, perihal rasa sedih, rasa sakit, dan rasa kecewa sudah Harri kubur dalam-dalam. Harri tak perlu susah payah memikirkan hal buruk ketika kenyatannya ia justru tengah dikelilingi hal-hal baik dan kebahagiaan yang tak bisa diukur oleh apa pun.

Harri kembali menangis. Kali ini bukan karena sepenggal memori saat itu, melainkan menangis penuh haru saat dirinya tersadar berada di situasi sedang disuapi mi kuah oleh Papa Asep dan ditemani Mama Iis beserta ketiga adiknya di ruang tengah.

Ketika Harri sibuk membuka mulut dan mengunyah, ketiga adiknya sibuk bercerita. Bahkan, televisi yang sempat dinyalakan Kaila kini sama sekali tak diindahkan keberadaannya. Jika televisi bisa berbicara mungkin barang itu akan merajuk, merajuk karena di antara keenam orang di sana tak ada satu pun yang melirik ke arahnya.

Omong-omong perihal televisi Harri tak tahu sejak kapan barang tersebut sudah terpasang rapi di tempat semula. Padahal sebelumnya televisi itu tergeletak di lantai dengan serpihan kaca di sekelilingnya. Dan, apabila Harri lihat lebih rinci, televisi itu tampak baru. Ah! setelah mencoba mengingatnya ternyata televisi itu memang sudah diganti sesuai dengan apa yang Papa sebutkan di dalam pesan tadi.

Manis, pahit adalah sebuah bentuk dari penjabaran mengenai keluarga kecilnya. Tak ada keluarga yang sempurna. Termasuk keluarga Harri sendiri. Maka dari itu, mulai hari ini Harri bertekad untuk membuat keluarga kecil itu terasa sempurna. Sempurna karena hanya ada gelak tawa yang mengudara dibandingkan tangisan suara.


Kolase Asmara Universe

by NAAMER1CAN0


https://open.spotify.com/track/6WUqv9T3RPTHHNKw0zVJuM?si=eFO0KbDbSkyCA8Yb0yalnQ


Sudah hampir satu jam lamanya mereka diam di kelas dengan kondisi di luar sana masih hujan sejak bel pulang dibunyikan. Ada sebagian yang telah pulang karena jemputannya sudah datang. Ada sebagian yang menerobos hujan dengan jas hujan. Bahkan, ada pula sebagian yang terpaksa menunggu di dalam kelas sampai hujan tersebut reda. Akan tetapi, setelah melihat kondisi hujan di luar yang tampak tak memperlihatkan tanda-tanda mereka akan berhenti. Membuat salah satu dari mereka menghela napas panjang.

“Ini mah cuman ada dua pilihan,” ucap Yolan menghela napas seraya berjalan kembali menghampiri kelima temannya yang sedang terduduk bosan di atas kursi. “Pertama si kami nunggu di sini sampai gerbang sekolah di kunci, atau… mau nggak mau si kami nerobos hujan.”

Mereka sukses dibuat terdiam dengan raut wajah terlihat menimang-nimang kedua opsi yang sudah disebutkan Yolan.

“Sebenernya saya nggak masalah, sih, kalau mau hujan-hujanan. Tapi, masalahnya besok kita masih harus sekolah,” kata Jagat.

Harri membenarkan duduknya. “Di sini siapa aja yang bawa jas ujan?” Harri menatap satu per satu teman-temannya, menunggu jawaban di antara mereka.

Semuanya serempak menggelengkan kepala, terkecuali satu orang. “Si aku bawa!” balas Yolan, mengacungkan tangan.

“Yolan doang yang bawa?”

Mereka mengangguk mengiakan.

Sebenarnya, mereka tak tahu apabila hujan akan turun hari ini. Lantaran, ketika melihat cuaca tadi pagi bahkan sampai siang tadi, tak ada tanda-tanda sedikit pun yang memperlihatkan akan turunnya hujan. Pun, mereka biasanya selalu menyimpan jas hujan di dalam bagasi motor. Terkecuali Jagat dan Jaya yang kebetulan memakai motor tanpa adanya bagasi.

Tetapi, biasanya mereka berdua selalu membawa jas hujan di dalam tas. Namun, entah mengapa atas keteledorannya Jagat dan Jaya justru melupakan barang penting untuk selalu berada di dalam tasnya selain buku-buku pelajaran.

Rakha memandang ke luar jendela kelas. “Kayaknya ini hujan cuman di daerah sekolah aja, kalau misalnya kita hujan-hujanan juga cuman sebentar.”

“Jadi, kita mau gas aja ke rumah si Yolan sekarang?” Aksara berucap sembari mencabut ponsel yang semula dicas. Kabel casan itu Aksara gulung dengan rapi sebelum memasukkan ke dalam tas.

Harri mengangguk. “Gas! Aing sama si Jagat, ya.” Harri menepuk pundak Jagat. “Aing sama maneh, Ler.” Sementara Jagat hanya menjawab ucapan itu dengan menganggukkan kepala, seolah mengiakan permintaan dari Harri.

“Aing sama Mang Ajay!” ucap Aksara.

Kepala Rakha mengangguk pelan. “Heg, berarti aing sama si Yolan, ya,” timpal Rakha seraya menatap Yolan yang sedang siap-siap memakai kembali jaket yang sempat dibuka oleh laki-laki itu. Dengan cepat, Yolan mengacungkan jempol setelah dirasa jaket tersebut sudah dipakainya dengan rapi. Saking rapinya, Yolan bahkan tak membiarkan kancing-kancing pada jaket itu terbuka dan membuat tubuhnya akan kedinginan nanti.

“Eh, Yolan. Maneh kalau mau pake jas ujan mah nggak apa-apa pake aja.”

Yolan menggeleng, menolak ucapan dari Harri dengan halus. “Nggak ah, si aku nggak enak. Masa si kalian semua ujan-ujanan, tapi cuman si aku yang pake jas ujan. Nggak adil!”

“Ya, nggak apa-apa atuh. Orang yang teledornya juga itu mah kita, kenapa maneh sendiri yang nggak enak sama kita, Jir!” balas Aksara dengan nada ucapan sedikit meninggi.

“Udah nggak apa-apa, anggap aja si aku nggak bawa jas ujan kayak si kalian.” Yolan mulai meraih tas dan memakainya. “Lagian kayaknya bener kata Mang Rakuy, paling hujannya di sekitaran daerah kita aja!”

Ingatkah kalian dengan ucapan dari Rakha yang mengatakan besar kemungkinan hujan deras yang menghambat perjalanan pulang mereka tadi di sekolah hanya turun di daerah sana aja? Nyatanya, setelah mereka benar-benar coba untuk menerobos derasnya hujan di kota Pasundan, mereka bahkan tak melihat tanda-tanda hujan itu akan segera berhenti.

Ironisnya, tubuh mereka kini sudah benar-benar basah kuyup. Mereka bahkan tak mempersiapkan untuk sekadar membungkus buku-buku pelajaran, ponsel, serta barang-barang penting lainnya dengan plastik untuk menghindari tetesan dari air tersebut. Jangankan untuk mempersiapkan, untuk berpikir ke arah sana pun sepertinya tidak ada.

Entahlah bagaimana kondisi semua barang bawaan yang berada di dalam tas mereka saat ini. Mungkin, kerja kerasnya untuk mencoret tinta-tinta hitam di atas kertas bergaris itu perlahan luntur, atau bahkan bisa saja tulisan-tulisan itu sudah sepenuhnya hilang.

Bangsat! Cenah hujanna di daerah sakola hungkul. Ieu mah asa tatadi arurang maju eweuh we tanda-tanda rek raat teh!

“Katanya hujannya cuman di daerah sekolah aja. Ini dari tadi kita maju belum ada tanda-tanda mau reda, tuh!”

Harri sudah tak bisa menahan segala sumpah-serapah yang berada di ujung lidahnya. Laki-laki itu terus-menerus melontarkan kalimat demi kalimat tak senonohnya. Beruntung, derasnya hujan saat ini membuat ucapan laki-laki itu sedikit tersamarkan. Bahkan, Jagat yang sedang mengendarai motor pun tak dapat mendengar jelas kalimat protes dari Harri.

WOY! IEU REK TERUS MAJU NEPI IMAH SI YOLAN ATAWA REK NGIUHAN HEULA?!

“WOY! INI MAU TERUS MAJU SAMPAI RUMAH YOLAN ATAU MAU NEDUH DULU?!”

LANJUT WE, KAGOK! GEUS KAPALANG BASEUH BISI TIRIS MUN NGIUHAN HEULA MAH!” balas Jaya tak kalah keras dari pertanyaan Rakha sebelumnya.

“LANJUT AJA, NANGGUNG! UDAH TERLANJUR BASAH TAKUT DINGIN KALAU NEDUH DULU!”

Mereka sempat dibuat ragu ketika ingin terus melanjutkan perjalanan, tiba-tiba saja salah satu dari mereka khawatir akan datangnya petir. Akan tetapi, sampai sejauh ini, beruntung petir tak ikut menampakkan diri. Hanya ada derasnya hujan dengan disertai angin sesekali datang yang tak begitu besar.

Sudah dingin, malah terjebak di tengah-tengah lampu merah. Aksara, Harri, dan Rakha serempak membungkuk dengan kepala menunduk. Sementara Jagat, Jaya, dan Yolan yang menyetir hanya bisa pasrah ketika tubuh bagian depan mereka menjadi sasaran empuk cipratan air dari para kendaraan di depan.

Sudah tahu sedang menerobos hujan, tetapi keenam pemuda itu tak ada inisiatif untuk mengendarai motor mereka dengan cepat—untuk secepat mungkin sampai tujuan. Melainkan, Jagat, Jaya, dan Yolan mengendarai motor mereka dengan kecepatan maksimal 40 km/jam. Sebenarnya Jaya sudah mengusulkan untuk menggunakan kecepatan 60 km/jam, namun Yolan menolak mentah-mentah ide itu sehingga pada akhirnya Jaya mengikuti usulan dari Yolan. Jaya ingat betul kalimat dari Yolan yang mengatakan. “Keselamatan itu paling penting!” Jadi, mereka pun tak bisa menyanggah ucapan tersebut karena ada benarnya pula.

Anjir, macet naon deui ieu teh!” ucap Harri sembari kepala laki-laki itu celingak-celinguk.

Jagat memiringkan sedikit kepala ke belakang. “Hah?” Jagat tak sengaja mendengar ucapan Harri yang tak begitu jelas, sehingga Jagat secara tidak langsung meminta Harri untuk mengulangi kalimatnya.

“Itu, macet apaan lagi di depan?” ujar Harri mengulangi ucapan sebelumnya.

Jagat menggeleng. “Nggak tau.”

“Mobil mogok!” teriak Aksara seraya lari terbirit-birit kembali menghampiri motor Jaya. Harri tak tahu sejak kapan kepergian Aksara untuk mengetahui situasi di depan sana. “Di depan ada mobil pick up nggak bisa nanjak terus berakhir mogok, kasian cuman ada sopirnya sendirian!”

Setelah mendengar penuturan dari Aksara, Jagat mulai memundurkan motornya, membelokkan motornya ke arah sebelah kiri dan menjalankan motor itu dengan pelan-pelan. Di belakang, Jaya dan Yolan langsung mengikuti hal yang dilakukan Jagat walau beberapa pertanyaan menghantui kepala mereka berdua.

Melihat mobil di depan sana sedang kesusahan untuk menanjak, secara spontan membuat Jagat dan Harri terburu-buru turun dari motor. Saking terburunya, sampai-sampai Jagat lupa untuk menarik standar motor. Alhasil, motor laki-laki itu langsung terjatuh dengan sang pemilik berlari tak mengindahkan sama sekali kondisi motornya—sang pemilik sibuk berlari menghampiri mobil itu.

Berbeda dengan Jagat dan Harri yang terburu-buru, Jaya dan Yolan masih sempat untuk sekadar menarik standar dan mengunci setang motor sebelum keduanya ikut menyusul berlari ke arah mobil. Sementara Rakha dan Aksara yang tak sengaja melewati motor Jagat pun dibuat sibuk menarik motor laki-laki itu yang terjatuh.

Saat Harri, Jagat, Jaya, dan Yolan sibuk berlari menghampiri mobil yang mogok. Aksara dan Rakha justru disibukkan membenarkan motor milik salah satu temannya—Jagat—yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Untung saja, keadaan di sekitar mereka cukup sepi dari lalu lalang kendaraan.

“Jagat tolol!”

“Tarik yang bener, Sa!”

“Berat, Anying!”

“Ah Babi, tau gini mah kita nggak usah bantu benerin dulu motor si Jagat!”

Selepas mengeluarkan tenaga untuk membenarkan motor Jagat, akhirnya kendaraan itu sudah terparkir dengan benar. Rakha tak lupa mencabut kunci motor itu dan ikut menyusul membantu teman-temannya yang sudah siap mendorong mobil itu.

“Pa! Saya dan teman-teman bantu dorong dari belakang. Bapa jangan rem mobilnya!” ucap Jagat sedikit teriak, lantaran takut sang sopir tak dapat mendengarnya.

“Bensin mobil Bapa habis, Dek!”

“Nggak apa-apa, Pa. Kami bantu dorong sampai depan tanah kosong itu, nanti Bapa tolong belokin ke arah kiri!”

“Makasih, Dek!”

Jagat kembali berlari ke belakang. Ia memberi isyarat kepada teman-temannya untuk segera mengambil posisi mendorong mobil. “Kita dorong sampe tanah kosong itu.” Jagat menunjuk ke tempat yang dimaksud. Kemudian kelima temannya serempak mengangguk kepala, menyetujui perintah dari Jagat.

Dorong, daks, dorong!

Walaupun mereka terasa lelah dan dingin, namun setelah mencoba mendorong mobil pick up yang mogok ini seketika rasa semangat mereka berapi-api. Mereka sudah tak peduli dengan seluruh tubuh yang terus-menerus terkena derasnya tetesan hujan, mereka sudah tak peduli dengan barang bawaan mereka, mereka sudah tak peduli isi sepatu yang sepenuhnya telah berisi air, bahkan mereka tak peduli keadaan kendaraan mereka di belakang sana. Sebab, yang mereka pedulikan hari ini adalah membantu mobil ini sampai di tanah kosong tersebut. Mereka tak ingin membuat kemacetan yang lebih parah. Mereka tak ingin sang sopir menjadi bulan-bulanan caci makian dari pengendara yang terkena akibatnya.

ANGGAP AJA KITA LAGI NGE-GYM, DAKS!

AYO GUYS SI KAMI PASTI BISA DORONG MOBIL INI SAMPE SANA!

SEMANGAT DAKS ABIS INI KITA LANGSUNG MAKAN LIWET SEPUASNYA DARI IBU HENI!

Tak peduli dengan kondisi sepatu yang berkali-kali tergelincir akibat lincinnya jalanan itu, mereka tetap fokus untuk mendorong mobil itu.

Ironisnya, masyarakat yang berada di sekeliling mereka hanya bisa menyaksikan saja.

Tak ada yang bisa melebihi rasa bangga Jagat saat melihat betapa semangatnya kelima orang itu dalam mendorong mobil. Satu hal yang selalu membuat hati Jagat terenyuh, di antara semua orang yang berada di sekeliling mereka—hanya menyaksikan tanpa berniat membantu—hanya mereka berenam yang berani untuk terjun langsung. Seakan, mereka tak peduli apa yang akan terjadi setelah ini.

Mereka tak tahu tetesan air yang terjatuh dari dahinya itu keringat, air hujan, atau bahkan keduanya yang sudah bercampur, mereka tak begitu memedulikannya.

Dengan seluruh tenaga yang sudah dikeluarkan, akhirnya mobil itu sudah terparkir di tempat yang diusulkan Jagat. Keenam tubuh pemuda itu serempak membungkuk dengan napas terengah-engah.

Suara pintu mobil yang dibuka dan beberapa detik setelahnya kembali ditutup oleh sang sopir mulai mengalihkan sebagian perhatian mereka. “Dek, Adek, makasih banyak udah bantu Bapa, ya!” ucap sang sopir dengan senyuman sangat tulus tercetak di wajahnya.

Jagat menelan ludah sekaligus menelan segala rasa lelah yang ada. “Iya, Pa, kembali kasih. Memang sudah salah satu kewajiban kita dalam saling tolong-menolong,” sahut Jagat yang diangguki kelima temannya di belakang. “Mobil Bapa pakai bensin apa?” tanya Jagat.

“Eh, nggak apa-apa, Dek. Nanti saya cari sendiri aja buat bensin. Adek-adek langsung pulang aja, nggak tega Bapa liat Adek-adek pada hujan-hujanan.”

Harri menggeleng. “Nggak, Pa. Kita emang udah ujan-ujanan dari awal. Lagian setau saya teh pom bensin di daerah sini lumayan jauh,” balas Harri, mencoba mengingat-ingat letak secara pasti pom bensin yang terdekat.

“Iya, Pa. Jadi, biar kita bantu Bapa cari pom bensin terdeket aja mumpung kami bawa motor,” timpal Rakha, berusaha membuat sang sopir mengiakan bantuan kedua kalinya dari mereka.

“Saya pakai pertamax, tapi nggak usah, Dek. Nanti saya minta tolong teman Bapa aja.”

“Kalau gitu, sedot dari tangki bensin motor saya aja, Pa. Kebetulan bensin motor saya full dan sama-sama memakai pertamax.” Jagat mulai meraba-raba pada setiap saku yang berada di seragam sekolahnya. Dahinya mengernyit ketika barang yang sedang dicarinya tak kunjung ia temukan juga.

Rakha merogoh saku seragam dan menyerahkan kunci itu pada sang pemilik motor. “Kunci motor maneh, nih, Gat.”

“Nah! Terima kasih, Kha.” Jagat meraih kunci motor tersebut dan bersiap-siap untuk berjalan membawa motornya, namun baru saja satu langkah Jagat kembali menghentikan langkah. “Ada yang bawa selang?” tanya Jagat, menatap satu per satu kelima temannya.

“Si aku ada!”

Maka, setelah itu Jagat, Jaya, dan Yolan melangkah bersama untuk menuju motor dan membawa kendaraan ketiga orang itu untuk ikut terparkir di samping pick up.

Lantaran Jagat tak terlalu mahir dalam memindahkan bensin dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya, sehingga Harri menawarkan diri secara sukarela untuk membantu.

“Hati-hati nyedotnya,” kata Jaya sembari mengarahkan selang tersebut pada tangki bensin mobil pick up.

Kegiatan seperti ini bukan menjadi kegiatan pertama kalinya bagi Harri. Sebab, jauh-jauh hari ia sudah melakukannya. Bahkan, Harri sendiri sudah tak ingat seberapa banyak ia melakukan kegiatan memindahkan bensin menggunakan selang. Namun, perlu dicatat hal seperti ini tidak untuk ditiru. Jika Papa Asep tahu, mungkin Harri sudah dihukum. Sebab, itu sangat bahaya ketika dilakukan—takut apabila bensin tersebut tak sengaja terminum.

“Udah, Dek, udah cukup.”

Mendengar itu, Jagat mulai menarik perlahan selang tersebut dari tangki motornya. Ia menggulung selang sebelum diberikan kepada Yolan. “Hati-hati nyimpennya,” ucap Jagat dibalas anggukkan kepala dari Yolan.

Entah terlalu nyaman mengguyur kota Pasundan atau memang hujan tersebut sedang menyombongkan keahlian membuat para penghuni bumi menunduk kepadanya, sebab hujan itu sedari tadi belum berhenti juga. Justru yang ada hujan itu berakhir makin deras.

“Dek, ini ada sedikit uang buat Adek-adek karena udah bantu saya. Terima kasih, ya, Dek. Kalau misalnya nggak ada kalian kayaknya saya nggak tau bakalan kayak gimana nanti.”

Aksara menggeleng cepat. “Eh, nggak perlu, Pa. Kita-kita bantuin Bapa karena emang kebetulan lagi lewat aja, nggak ada maksud lain.” Aksara mendorong halus uang yang akan disodorkan oleh yang lebih tua.

Bukan berniat menolak rezeki, tetapi ucapan Aksara tentang mereka memang ingin niat membantu tanpa ada alasan dibaliknya memang lah benar. Mereka sama sekali tak berpikir untuk diberi imbalan karena sudah membantu. Karena, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang akan selalu mengulurkan tangan dan menolong yang sedang kesusahan.

“Kalau gitu, kalian terima aja sebagai traktiran dari Bapa buat kalian beli wedang jahe biar kalian nggak kedinginan, ya.”

Se-berusaha apa pun mereka menolak pemberian uang dari yang lebih tua, ternyata pria itu tetap bersikeras untuk memberi dengan dalih rasa terima kasih. Sampai uang tersebut disimpan langsung oleh sang Bapa di salah satu saku seragam di antara mereka berenam. Jaya yang menjadi korban atas keberadaan uang tersebut di seragamnya hanya bisa mengedip-ngedipkan mata tanpa mengatakan satu patah kata apa pun.

“Terima kasih banyak, ya, Pa! Semoga rezeki Bapa lancar terus!” ucap Harri disertai kepala yang membungkuk.

Melihat tingkah Harri, refleks membuat teman-temannya ikut membungkukkan kepala dilengkapi berbagai kalimat ucapan terima kasih. Sedangkan pria tersebut hanya tersenyum dan menepuk pundak keenam pemuda itu secara satu per satu, sembari mengucapkan kalimat perpisahan karena harus melanjutkan perjalanan.

Mereka berenam berbaris rapi seraya melambaikan tangan kepada mobil pick up yang perlahan mulai menjauh. Hanya dalam hitungan beberapa detik, mobil tersebut sudah benar-benar lenyap karena terhalang oleh beberapa kendaraan yang ikut melintas di atas jalanan itu.

“Eh, dikasih berapa itu?” tanya Harri kepada Jaya.

Jaya merogoh saku, mengeluarkan lembaran uang tersebut dan memperlihatkan kepada teman-temannya.

“Banyak bangetlah ngasih seratus lima puluh ribu!”

“Eh, hayu kita nge-wedang jahe! Aing udah nggak kuat kabulusan!”

Dahi Jagat mengernyit. “Kabulusan itu apa?” tanya Jagat kebingungan, lantaran baru mendengar kosa kata baru itu.

“Kedinginan sampe menggigil,” timpal Rakha.

Memang benar, jari-jari tangan mereka sudah mengerut, bibir membiru, dan tubuh yang mengeluarkan reaksi menggigil yang alami. Sampai-sampai, jaket yang mereka pakai sudah tak berarti, sebab bukannya memberi kehangatan, justru dengan memakai jaket itu memberikan rasa dingin yang berkali-kali lipat.


Di sini lah mereka berada, di tempat hangat dengan aroma jahe menguar kuat—mengisi indera penciuman mereka. Mereka terduduk rapi di tepi jalan dengan gelas wedang jahe berada di tangan mereka. Gelas tersebut mengeluarkan asap yang terus-menerus mengepul, tetapi syaraf sensorik mereka seakan sedang terganggu sehingga mereka tak merasakan rasa panas sedikit pun dari gelas itu.

H-haing nggak kuat dingin pisan!” ucap Rakha susah payah, lantaran tubuhnya sudah sedikit menggigil.

Bukan hanya Rakha, melainkan keenam orang itu sedang merasakan hal yang sama. Mereka saling terdiam bukan karena bingung akan membawa topik apa untuk dibicarakan malam itu, namun keadaan lidah mereka seakan kelu untuk sekadar mengucapkan sepatah kata.

Dari seragam sekolah yang basah kuyup, kini seragam mereka sudah kering sempurna. Dari hujan deras, kini telah mereda. Dan, bahkan dari langit masih terang, kini sudah gelap. Tak terhitung sudah berapa lama mereka terjebak di bawah aliran hujan yang deras, yang pasti hujan tersebut meninggalkan rasa dingin yang tak kunjung hilang.

“Saya boleh nambah lagi nggak wedang jahenya… saya nggak kuat dingin banget.”

Mereka mengangguk kompak dengan lemas. “Boleh, mau segerobak juga boleh. Tapi pesen sendiri soalnya aing nggak kuat berdirinya,” balas Harri dengan badan membungkuk—meletakkan dagu di atas lutut.

Jaya menoleh ke arah Aksara. “Gantian bawa motornya,” kata Jaya tanpa basa-basi.

“Nggak mau, nanti aing ngerasain rasa dingin berkali-kali lipat kalau yang nyetir!”

Maneh mau pake kecepatan 10 km/jam juga nggak apa-apa, asal maneh yang nyetir,” sahut Jaya bersikeras menginginkan Aksara yang melanjutkan perjalanan menuju rumah Yolan nanti.

“Rak—”

“Nggak mau! Aing nggak mau nyetir!” tolak Rakha, tahu akan arah pembicaraan laki-laki itu yang sudah menatapnya dengan tatapan wajah memelas.

Malam itu, tak ada lagi obrolan-obrolan hangat yang berbondong-bondong mereka serukan untuk mengangkat euforia di antara mereka. Khusus malam ini, mereka hanya saling berbagi kehangatan melalui satu gelas wedang jahe. Tak ada yang lain.

Bahkan, mereka tak tahu bahwa keesokkan harinya, lagi-lagi mereka memperlihatkan jiwa solidaritas yang tinggi—tak masuk sekolah dengan kompak. Mereka saling tak tahu, sebab, ponsel mereka lagi-lagi memperlihatkan ke-solidaritas-an—mati bersamaan karena terlalu lama berada di bawah aliran air.

Walaupun begitu, di dalam hati mereka sangat senang karena telah membantu. Setiap bantuan yang mereka berikan, terdapat rasa kebanggaan tersendiri setelahnya. Mereka tak akan pernah menyesal karena sudah rela untuk hujan-hujanan bersama, sebab karena itulah mereka dibukakan jalan untuk membantu orang lain.


ib: video anak SMA rela hujan-hujanan demi bantu dorong mobil pick up yang mogok di tengah-tengah tanjakan. [https://vt.tiktok.com/ZSNM6HQty/]


Jagat Lingga Erlangga Universe

by NAAMER1CAN0


Entah sudah berapa banyak saya melewati jalanan ini, jalanan yang selalu saya lalui untuk menjemput dan mengantarkan Grace pulang. Saya tidak terlalu ingat secara pasti. Namun, hal itu tak pernah melunturkan semangat saya untuk selalui melewati jalanan ini. Walau bagi sebagian orang jalanan ini mereka hindari karena tak semulus jalanan lain seperti di jalanan Dago. Saya hanya bisa menimpali ucapan itu dengan tawa kecil, walaupun diam-diam saya membenarkan tentang perbedaan jalanan di kedua tempat itu yang sangat bertolak belakang. Hanya mengiakan tanpa saya berniat ikut membicarakan seperti yang lain.

Perut saya tiba-tiba keroncongan. Saat cacing-cacing saya di dalam perut sudah mulai bernyanyi, bertepatan dengan motor saya sedang berhenti di lampu merah yang cukup padat. Pukul tujuh malam menjadi waktu saya hindari untuk pulang karena akan merasakan kemacetan seperti sekarang ini.

Saya membawa pandangan saya untuk melihat sekeliling, memastikan ada satu atau dua pedagang yang menepi ataupun berjualan di sana untuk memberi asupan cacing-cacing di perut saya. Sayangnya, di depan sana saya tak dapat melihat apa-apa selain pohon besar dengan penerangan yang minim—gelap. Saya tidak tahu mengapa lampu yang seharusnya menerangi jalanan itu justru mati. Apabila dilihat-lihat, lampu itu baru saja mati karena saya bisa merasakan ketidakacuhan orang yang bertugas menangani hal tersebut. Pun, di ujung jalan tersebut ada lampu yang masih menyala.

Lampu sudah berubah hijau, saatnya saya bergegas menarik pedal gas.

Saya tak membawa motor untuk melaju lurus, melainkan saya membelokkan motor menuju jalanan lain yang mungkin saya pikir akan ada beberapa pedagang beroperasi di sana. Semoga saja.

Senyum saya mengembang setelah sadar tepat di arah Selatan sana ada tenda penjual pecel lele yang tak begitu sepi, namun tak begitu ramai pula. Jika dilihat dari sini hanya ada enam motor yang terparkir. Mungkin salah satunya motor sang penjual karena motor itu terlihat sudah dimodifikasi.

Saya memarkirkan motor tepat di sebelah motor sudah saya ceritakan tadi—dimodifikasi. Standar motor sudah saya turunkan bersamaan dengan kunci motor yang saya lepas. Saya sempat mencuri-curi pandang ke dalam tenda melalui spanduk bertuliskan ‘Pecel Lele Pak Amin’ yang sedikit sudah sobek di bagian samping.

Saya cukup heran, di antara seluruh menu makanan yang disajikan mengapa hanya satu-satunya ikan Lele yang ditampilkan di spanduk tersebut? Sementara Ayam, Bebek, serta makanan lain menjadi figuran saja. Padahal setelah saya coba tengok masuk ke dalam tenda, hampir seluruh pengunjung makan Ayam goreng. Lalu mengapa Pak Amin hanya menuliskan ikan Lele? Namun, ya sudahlah, mungkin itu trik jualan beliau.

Saya berjalan masuk ke dalam tenda.

Saya tidak tahu apakah Pak Amin itu yang sedang bertugas menggoreng segala lauk-pauk, yang sedang mengulek sambal, atau bahkan yang baru berangkat mengantarkan piring ke meja pengunjung. Saya tidak menyebutkan satu orang lainnya, karena hanya orang tersebut satu-satunya wanita yang ada di sana. Dan, saya pastikan seratus persen bahwa wanita itu bukan bernama Amin.

“Mau makan di sini atau dibawa pulang, A’?” kata wanita itu menyapa hangat kedatangan saya yang terlihat kebingungan mencari di mana Pak Amin.

“Dibungkus dua, ya, Bu. Saya mau nasi uduk dan ayam goreng, nggak usah pakai sambal,” jawab saya kemudian dibalas senyuman wanita itu.

Saya terduduk di salah satu bangku yang dekat dengan keberadaan kompor. Tujuan saya duduk di sini agar memudahkan membayar dan pergi dari sini. Lantaran saya takut apabila sewaktu-waktu tempat ini menjadi ramai tiba-tiba. Namun, baru saja saya duduk satu menit, badan saya sudah kegerahan sendiri. Mungkin karena panasnya dari tungku api itu—asapnya terbang ke arah saya. Saya sendiri tak begitu mempermasalahan selagi bukan asap sate dan asap akibat membakar sampah.

Satu hal yang saya bingungkan adalah saya sedang merasa kelaparan, tetapi saya justru meminta pesanan makanan tadi dibungkuskan. Bukan karena saya rakus karena sekaligus membeli dua, saya hanya berniat akan memakan nasi pecel ayam tersebut bersama satpam di rumah saya yang sedang bekerja.

Apabila kedua orang tua saya sedang bekerja dan tidak bisa pulang, saya selalu meminta pada pekerja di rumah untuk tak dibuatkan malam malam. Saya berpikir, untuk apa saya makan di atas meja sendirian dengan lauk-pauk yang hampir memenuhi meja? Saya pun tidak bisa untuk menghabiskan itu semua. Sehingga, saat di waktu-waktu seperti ini, saya lebih memilih untuk membeli makan di luar saja.

Angin pun tahu apa yang harus beliau antarkan pada penciuman saya. Saya selalu menyukai bau harum ayam yang digoreng dengan minyak panas memenuhi wajan, lalu ditambah dengan bau harum dari kubis goreng. Saya tidak memesan kubis goreng tersebut, mungkin itu milik orang lain yang sengaja digoreng di tempat penggorengan yang sama dengan pesanan saya.

Berbicara perihal kubis goreng, saya pernah sekali mencobanya, namun saya tidak melanjutkan karena setelahnya ada sedikit gangguan pada tenggorokannya saya. Sehingga saya mengambil langkah untuk menghindari makanan yang sering dipuja-puja oleh teman-teman saya.

Saya pernah beberapa kali menikmati satu piring ayam pecel dengan teman-teman saya. Ketika kami selesai memesan lalu duduk, obrolan-obrolan hangat pun langsung tersajikan di atas meja. Dan, tepat beberapa menit setelahnya, pesanan akhirnya datang. Saya sempat kebingungan, padahal saya merasa bahwa mereka baru saja memesan makanan itu, namun tanpa disangka-sangka datang secepat kilat. Hal itu kontradiktif ketika saya melakukan secara sendirian—menunggu pesanan saya selesai. Mungkin apabila dilakukan dengan bersama-sama saya tidak berpacu pada waktu yang tiap detiknya berganti.

“A’, pesenannya udah selesai.”

Akhirnya, setelah saya beberapa kali ganti posisi duduk, pesanan saya pun selesai juga.

Saya bangkit. “Semuanya berapa, Bu?” ucap saya seraya mengeluarkan dompet—siap untuk menarik uang dan bayar.

“Tiga puluh enam ribu, A’.”

Saya mengangguk, meraih uang berwarna merah muda lalu diserahkan kepada sang Ibu penjual. “Kembaliannya nanti tolong dikasih sama orang yang keliatan butuh satu atau dua piring nasi aja, ya, Bu. Terima kasih,” kata saya selepas melihat Ibu penjual akan menyerahkan kembalian kepada saya.

Muhun mangga, A’. Hatur nuhun.”

Saya tersenyum, menundukkan sedikit kepala sebelum akhirnya membawa kedua langkah kaki saya untuk kembali ke atas motor. Saya sudah sangat tidak sabar untuk menikmati makanan ini selagi masih panas-panasnya.

Saya tak tahu apakah Ibu penjual itu akan benar-benar mengabulkan permintaan saya untuk kembalian tersebut diberikan kepada orang yang kelaparan atau tidak. Saya berharap kalau Ibu penjual itu akan mengabulkan permintaan saya. Lagi pula, tidak baik apabila harus memakan yang memang bukan hak miliknya.

Satu bungkus makan malam itu saya gantungkan pada setang motor, lalu memakai kembali helm sebelum saya menyalakan mesin motor dan melaju untuk pulang. Saya sempat kebingungan karena tak melihat kehadiran juru parkir seperti di tempat-tempat biasanya. Pada detik selanjutnya, saya pun akhirnya paham mengapa tempat pecel lele itu lebih ramai dibandingkan dengan pecel lele yang baru saja saya lewati. Sebab, di sana terdapat juru parkir yang sedang berdiri sembari memantau motor satu dua yang terparkir.

Sepanjang perjalanan saya dibuat berpikir bahwa hidup ini kalau tidak dipertemukan dengan kesenangan, ya, dipertemukan dengan kesedihan. Banyak orang-orang yang baru membuka lapak untuk berjualan, dan ada pula yang baru selesai berjualan. Hidup akan selalu berjalan, berputar. Dan, yang membuat saya sedih adalah bagaimana anak-anak yang bukan usianya justru harus ikut berkelana mencari uang di waktu yang seharusnya mereka beristirahat di atas hangatnya kasur dengan satu gelas air teh hangat. Namun, mau bagaimana lagi? Hidup itu ketika ada yang berada di puncak, maka ada pula yang berada di akar. Tidak adil, namun itulah takdir.

Dahi saya mengerut kala melihat keberadaan seorang pria sedang mengubek-ubek tempat sampah. Seolah terdapat dorongan untuk menepikan kendaraan, akhirnya saya pun mengikuti keinginan tersebut.

Saya matikan mesin, menarik kunci tersebut bersamaan dengan saya turun dari motor dan berjalan menghampiri pria tersebut.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya saya tiba-tiba—semoga saja kedatangan saya tidak mengejutkan beliau.

Sayangnya, keinginan saya hanya sekadar harap-harap lantaran saya bisa melihat dengan jelas bagaimana kedua bahu pria tersebut menaik dengan bola mata melebar.

Saya terburu-buru menyatukan kedua tangan di depan wajah, meminta maaf karena kedatangan saya yang tiba-tiba ini membuat beliau terkejut.

“Bapak lagi cari apa? Ada yang bisa saya bantu?” Saya mengulangi pertanyaan sebelumnya. Sebab, saya pikir beliau sedang mencari sesuatu barang kehilangan sampai perlu mengubek-ubek tempat tersebut.

Saya bisa lihat beliau mulai menggelengkan kepala dengan memberikan senyuman tipis untuk saya. Ah, senyuman itu begitu hangatnya.

“Nggak, Dik. Bapak sedang cari sisa-sisa makan, barangkali masih ada satu atau dua makanan yang masih bisa layak Bapak makan.”

Bagai disambar petir, tubuh saya langsung membeku. Aliran darah saya seakan berhenti beberapa saat. Lidah saya kelu. Kedua ujung bibir saya sulit untuk ditarik. Pun, kedua mata saya sulit untuk memperlihatkan sorot mata teduh.

Saya meneguk ludah, melirik ke arah setang motor sampai akhirnya saat ini saya sudah bisa menarik kedua ujung bibir saya membentuk suatu lengkungan indah.

“Pak, saya kebetulan tadi abis beli pecel ayam. Bapak mau nggak temenin saya makan?” Menyadari beliau saya diam saja, lantas saya segera melanjutkan kalimat. “Saya kebetulan sedang lapar, Pak. Saya nggak biasa makan sendirian, makanya apa Bapak bersedia temenin saya makan?”

Raut keraguan itu terpancar, dan saya bisa merasakannya.

“Saya kebetulan beli dua nasi, Pak. Nanti kita makan di pinggir sana.” Saya menunjuk pada sebuah tempat di bawah pohon—aman dari lalu-lalang orang—tepat di seberang warung kecil yang dipenuhi oleh para ojek online.

“Tapi badan saya kotor, Dik.”

Saya menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, Pak. Badan saja juga kotor, kok, saya kebetulan abis ke tempat yang banyak debunya.” Saya menggerakkan kedua tangan, memberi isyarat untuk beliau tunggu sebentar selagi saya berlari menuju motor dan membawa makanan yang tergantung.

“Yuk, Pak? Kebetulan saya udah laper….”

Saya tak dapat membunyikan kesenangan yang ada di raut wajah saya ketika akhirnya beliau mengangguk mengiakan. Kami berdua berjalan menuju tempat yang sudah saya maksud. Beliau dengan menenteng kantong keresek beserta satu karung—entah apa di dalamnya, dan saya mendorong motor.

Sesampainya di sana, saya langsung terburu-buru duduk dan membuka makanan malam kami berdua. Saya berusaha menyembunyikan rasa pilu ketika tak sengaja melihat binar yang terdapat di kedua bola mata beliau. Saya tak tahu, apabila keinginan saya untuk menikmati pecel ayam bersama satpam di rumah saya justru diberikan jalan untuk menikmati dengan beliau.

“Pak, sebentar, ya, saya beli minum dulu sekalian beli air buat kita cuci tangan!” ucap saya kembali berdiri dan berlari menuju warung di depan. Saya ingin berterima kasih kepada sang pemilik warung telah mendirikan dagangannya di tempat yang tepat. Sehingga saya tidak perlu berlari jauh sampai ujung jalan.

Saya senang ketika beliau selalu menyambut saya dengan senyuman hangat. Bahkan, beliau masih enggan membuka makanan tersebut karena saya habis membeli air yang dijanjikan.

“Ini, Pak!” Saya menyerahkan dua botol air minum. “Yang satu buat minum, yang satunya lagi buat cuci tangan, ya, Pak.”

Saya membuka tutup botol dan mulai mengalirkan air tersebut ke atas tangan saya—saya sekarang sudah siap untuk menikmati makan malam itu.

“Silakan dimakan, Pak.”

“Adik dulu, soalnya Adik yang ngasih Bapak makan. Jadi sebaiknya dimulai dari orang yang ngasih lebih dulu.”

Saya tersenyum. “Kalau gitu barengan aja, Pak,” balas saya, berancang-ancang mengambil secuil nasi untuk dimasukkan ke dalam mulut.

Kami mulai menikmati makan malam. Kami duduk di pinggi trotoar, saling bersebelahan, dan saling diam karena sibuk mengunyah makanan—sekaligus sibuk mengapresiasi betapa lezatnya menu makan saya malam ini. Bukan karena apa yang ada di atas kertas nasi itu, melainkan dengan siapa saya menyantap makanan ini.

“Adik kelas berapa?”

Saya cepat-cepat menelan kunyahan makanan. “Saya SMA kelas 11, Pak.”

Beliau mengulas senyum. “Adik masih muda, tapi hatinya sangat dermawan.”

Saya membalas senyuman tersebut sembari mengucapkan terima kasih atas pujian yang sudah buat wajah saya tersipu.

“Adik rumahnya di mana?”

“Saya rumahnya di daerah Dago, Pak.”

Beliau membulatkan mulut, mungkin terkejut dengan apa yang baru saja saya ucapkan. “Jauh sekali datang ke daerah sini, Dik.”

“Saya tadi abis nganterin pulang seseorang, Pak.”

Beliau manggut-manggut. “Nanti pulangnya hati-hati, ya, jangan bawa kendaraan cepet-cepet.”

Saya mengangguk, mengiakan.

“Bapak doakan semoga semua apa yang Adik impikan bisa segera terkabulkan, ya.”

“Amin,” balas saya cepat-cepat. “Saya juga berdoa semoga Bapak disehatkan selalu, ya, Pak.”

Beliau tak menanggapi ucapan saya, melainkan beliau kembali memberikan senyuman hangat untuk saya.

“Itu botol-botol bekas, Dik. Saya kebetulan kerja cari botol-botol bekas yang masih layak biar bisa saya jual buat makan sehari-hari,” ucap beliau seperti mengetahui ke arah mana tatapan saya tertuju. “Nanti botol Adik jangan dibuang, ya, buat saya aja.”

Saya mengangguk semangat. Kemudian tatapan saya beralih pada segerombolan orang di seberang sana. Saya bisa lihat beberapa di antara mereka sedang menikmati satu botol air minum yang kemudian botol-botol itu mereka biarkan dijejerkan dengan rapi. Saya mengambil kesimpulan bahwa selesai makan nanti saya perlu menghampiri mereka dan meminta botol-botol bekas itu.

“Nama saya Aceng. Kalau Adik?”

Ah, saya bahkan sampai melupakan untuk sekadar bertukar nama. Padahal sedari tadi kami berdua sudah saling melemparkan puluhan pertanyaan.

“Saya Jagat, Pak.”

Malam itu kami berdua kembali habiskan untuk menikmati nasi pecel ayam sembari sesekali diisi dengan pertanyaan lalu diakhiri oleh tawa kecil. Saya senang, beliau sangat ramah dan tak jarang memberikan kalimat-kalimat yang mampu membuat saya merasa aman dan nyaman berada di sisi beliau.

Cahaya temaram sang bulan dengan setia menemani kami. Bising suara kendaraan justru membuat suasana di antara kami makin terasa nyala, saya senang tatkala beliau memperlakukan saya seperti anaknya. Beliau bercerita bahwa beliau tinggal seorang diri di sini—tak memiliki keluarga. Beliau pindah ke Bandung setelah diusir oleh keluarganya—di Jakarta Pusat tepat dua tahun lalu. Kemudian kemalangan lainnya, beliau diberhentikan dari pekerjaannya sehingga mau tak mau beliau harus menjalani pekerjaan ini untuk bertahan hidup. Dari cerita beliau saya dapat pelajaran untuk terus berjuang walau tidak tahu titik terang itu akan kita temukan dalam jarak waktu berapa lama. Pekerjaan apa pun tidak masalah selagi kita dapat mensyukurinya.

Ada satu hal lain yang membuat saya tertarik dan merasa tersentuh dengan sikap beliau. Padahal beliau sendiri tengah kelaparan, namun beliau masih sempat membagi nasi serta ayam beliau untuk kucing-kucing liar yang datang—duduk persis di sisi nasi kami, seakan menunggu untuk diberikan secuil ayam tersebut. Terkadang, mereka yang hidupnya serba kekurangan paling mengetahui bagaimana caranya untuk saling berbagi. Sebab, mereka perlu berada di posisi yang sama untuk dapat merasakan hal serupa.


Jagat Lingga Erlangga Universe

by NAAMER1CAN0


Mama paling suka kalau misalnya ada temen dari Jaya atau Teh Iva dateng ke rumah, soalnya Mama bisa masakin buat mereka.

Nanti kalau Hartigan mau main ke Bandung lagi, jangan lupa sering-sering main ke sini, ya. Mama nanti masakin lebih banyak lagi makanan yang enak-enak.

Jaya memutar mata. “Nggak mau katanya, dia trauma main ke sini soalnya cuman dikasih menu sayur doang nggak ada dagingnya,” timpal Jaya.

Hartigan melotot. “NGGAK, BU! NGGAK GITU!” Kepala Hartigan masih setia menggeleng.

Maneh waktu itu bilang katanya enek makan di sini soalnya isinya sayur semua.”

Emang Jaya bangsat!

Hartigan cengengesan. “Jangan dipikirin ucapan Jaya, ya, Bu, dia asal ngomong aja. Hartigan suka-suka aja, kok, sama menu makannya,” jelas Hartigan tak mau membuat Mama Sumarni merasa tersinggung dengan ucapan asal dari Jaya.

“Nanti kapan-kapan ajak juga Kakak Hartigan ke sini, sekalian ajak temen-temen yang di Jakarta. Soalnya Mama kayaknya jarang liat atau bahkan belum pernah ketemu sama mereka kecuali Jagat aja.”

Semua orang yang berada di meja makan sontak menghentikan aktivitas menyuapkan makanan yang berada di atas piring itu ke dalam mulut. Pun, Mama Jaya semula asyik berbicara spontan terdiam. Mereka saat ini sedang berlomba-lomba saling memberikan raut kekhawatiran ketika salah satu di antara mereka tak sengaja tersedak.

Jika kalian berpikir kalau itu adalah suara batuk dari Teh Ivanka, maka jawabannya salah. Sebab, suara batuk itu justru berasal dari Hartigan yang sebelumnya asyik menyanggah semua ucapan omong kosong Jaya.

“Uhukk … uhukk!”

Tanpa memakan waktu lama, Mama Sumarni langsung memberikan satu gelas air kepada laki-laki yang masih terus-menerus memukul dada—berusaha menghilangkan batuk tersebut.

“Minum dulu minum, Hartigan.”

Tentu, sebagai etika kepada sang pemilik rumah, Hartigan meraih uluran gelas dari Mama Sumarni dengan sukarela. Diteguklah cairan bening itu tak sabaran. Namun, setelah beberapa tegukan, Hartigan masih merasakan keganjalan berada pada kerongkongannya.

“Ibu … kayak ada yang nyangkut di tenggorokan Hartigan ….”

Gelas kosong tersebut masih Hartigan pegang erat, lengkap dengan tatapan takut sekaligus khawatir yang terpancar pada kedua bola mata laki-laki itu.

Jaya yang sedari tadi masih menikmati makan malamnya, langsung menelan cepat-cepat kunyahan itu. “Ma, kayaknya duri ikannya nyangkut di tenggorokan Hartigan!” panik Jaya, kelimpungan sendiri mencari keberadaan sendok nasi.

“Ma, ini Ma kasih nasi!”

Ternyata, sendok nasi itu masih berada di tangan Papa Jajang—yang baru saja menyendokkan nasi dalam Bakul untuk dipindahkan ke atas piring. Kemudian, Papa Jajang kembali menyendokkan sedikit nasi untuk diserahkan kepada Mama Sumarni.

Mama Sumarni meraih nasi yang diberikan Papa Jajang. Dicomot nasi tersebut sebelum mulai dikepal-kepal, membuat bulatan kecil agar mempermudahkan Hartigan untuk menelannya nanti.

Konon katanya, ketika sedang tersedak duri ikan, cara yang paling ampuh adalah menelan kepalan nasi tanpa harus dikunyah terlebih dahulu. Namun, perlu menjadi catatan, bahwa kepalan nasi tidak boleh besar. Hanya perlu diambil secukupnya sampai duri tersebut sudah tak menghalangi tenggorokan lagi.

“A,” titah Mama Sumarni. Hartigan hanya mengikuti untuk membuka mulut walau tak tahu akan terjadi apa setelahnya. “Nasinya langsung Hartigan telen, jangan dikunyah dulu. Pelan-pelan telennya.” Kemudian, kepalan nasi yang sangat kecil itu Mama Sumarni masukkan ke dalam mulut Hartigan.

Jaya, Teh Ivanka, dan Papa Jajang hanya bisa menyaksikan dalam keadaan bungkam. Denting alat makan yang semula ribut dan sesekali melantunkan nada konstan, sekarang suah menghilang.

Teh Ivanka sudah siaga dengan satu gelas air. Mama Sumarni sudah siap dengan kepalan nasi lainnya ketika nanti duri tersebut belum sepenuhnya hilang. Sementara Jaya dan Papa Jajang, hanya diam dan membantu doa saja.

“Langsung ditelen udah?”

Hartigan mengangguk.

“Coba, sekarang masih kayak ada duri yang nyangkut nggak?” tanya Teh Ivanka.

Hartigan menyipitkan mata, lalu tak lama membawa kedua mata itu memejam seraya berkali-kali menelan air liur untuk memastikan apakah masih ada benda asing yang tersangkut pada tenggorokannya.

Gelengan dari Hartigan akhirnya berhasil meloloskan napas lega dari keempat orang itu. Teh Ivanka menyerahkan kembali satu gelas air minum untuk membuat nasi tersebut lebih cepat terjatuh ke dalam alat pencernaan.

“Ikan pindang bandeng emang banyak durinya, makanya kadang Jaya kalau makan ikan pindang bandeng pasti disuapin Mamanya,” ucap Papa Jajang secara tiba-tiba.

Sementara, Jaya yang menjadi topik pembicaraan tak beniat untuk merespons ucapan Papa Jajang. Seakan, apa yang baru saja diutarakan Papanya bukan hal harus ditutup-tutupi. Toh, memang faktanya begitu.

Jaya menunjuk isi piringnya. “Makanya aing nggak makan ikan bandeng, soalnya trauma kalau makan sendiri.” Jaya mengaduk isi piring sebelum akhirnya kembali menyuapkan makanan itu pada mulutnya.

Di atas piring Jaya hanya ada menu makan cah brokoli, pakcoy bawang putih, dan beberapa sayur lainnya yang sulit untuk Hartigan lihat secara pasti.

Kalau sudah begini, tidak hanya Jaya yang merasa trauma. Melainkan, setelah ini mungkin Hartigan akan menjauhi jenis ikan tersebut. Pasalnya, Hartigan tak terlalu pandai dalam memilah dan menyingkirkan ikan dari durinya. Sebenarnya inilah menjadi salah satu alasan mengapa Hartigan sangat jarang mengonsumsi ikan dibandingkan dengan menu protein hewani lainnya.

Hartigan menatap nanar pada makanan di atas piringnya. Padahal tinggal menyisakan beberapa suap lagi makanan itu, namun seketika selera makan Hartigan sudah hilang setelah terjadi hal yang tak diinginkan.

“Mama beresin dulu makan Mama tinggal sedikit lagi, abis itu nanti Mama bantu suapin Hartigan, ya.”

Kepala Hartigan yang tertunduk otomatis mendongak. Kedua matanya membulat sempurna dengan mulut menganga. Hartigan tak akan pernah menyangka bahwa ucapan itu akan keluar dari mulut Mama temannya.

Apa? Ia akan disuapi, katanya?

Hartigan rasanya ingin menolak, namun sebesar keinginannya itu, tak bohong dalam hatinya Hartigan mengangguk senang. Hartigan ingin merasakan rasanya disuapi makan oleh seorang ibu—walaupun bukan dari ibu kandungnya.

Hartigan menggeleng cepat, menepis semua keinginan konyol yang sempat terlintas. Eh, Ibu nggak usah … Hartigan nanti lanjutin sendiri aja makannya.”

“Nggak apa-apa jangan sungkan, semua teman Jaya udah Mama anggep seperti anak sendiri. Mama suapin biar nanti Hartigan nggak trauma buat makan ikan bandeng lagi, nanti Mama sekalian kasih tau caranya buat misahin duri sama ikannya. Sayang banget soalnya ikan bandeng sebenernya enak banget! Liat aja sampe Papa Jaya abis satu ekor ikan bandeng,” ucap Mama Surmani seraya menoleh ke arah Papa Jaya yang tengah menikmati ikan bandeng tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata.

Namun, benar saja. Tanpa disangka-sangka, beberapa menit setelahnya, Mama Sumarni benar-benar menarik kursi di sebelah Hartigan dan mulai menyuapi laki-laki itu dengan telaten—memperlakukan Hartigan seperti anak kandungnya.

Bukannya cemburu melihat pemandangan itu, akan tetapi justru Jaya tersenyum di tengah-tengah kegiatan menyantap makanan yang belum habis juga sedari tadi. Pun, reaksi dari Jaya sama persis dengan reaksi Teh Ivanka yang memandang ke arah Hartigan dengan tatapan sulit untuk dijelaskan.

Papi … jadi gini, ya, rasanya disuapin seorang ibu. Jian akhirnya ngerasain, Pi. Sekarang Jian nggak terlalu cemburu sama Bang Kaleel yang lebih dulu sering disuapin Mami dulu ….

Mulanya, Hartigan merasa canggung ketika harus menyantap makanan itu dengan tatapan lekat dari ketiga orang yang berada di atas meja. Namun, hal itu berangsur mereda setelah Mama Sumarni kembali bercerita dengan sesekali ditimpali Papa Jajang dan Teh Ivanka. Sementara Jaya sedari tadi hanya membungkam mulutnya dan merespons percakapaan dengan senyuman.

Lel … gua tiba-tiba ngerasa insecure sama keluarga dari cewek yang lu suka. Keluarga mereka bener-bener beda sama keluarga kita, Lel. Semoga lu nanti nggak ikut insecure kayak gua yang lagi di tengah-tengah keluarga ini.


Kaleel Ivanka Stori

by NAAMER1CAN0


“Mama paling suka kalau misalnya ada temen dari Jaya atau Teh Iva dateng ke rumah, soalnya Mama bisa masakin buat mereka.”

“Nanti kalau Hartigan mau main ke Bandung lagi, jangan lupa sering-sering main ke sini, ya. Mama nanti masakin lebih banyak lagi makanan yang enak-enak.”

Jaya memutar mata. “Nggak mau katanya, dia trauma main ke sini soalnya cuman dikasih menu sayur doang nggak ada dagingnya,” timpal Jaya.

Hartigan menggelengkan kepala cepat. “NGGAK, BU! NGGAK GITU!”

Maneh waktu itu bilang katanya enek makan di sini soalnya isinya sayur semua.”

Emang Jaya bangsat!

Hartigan cengengesan. “Jangan dipikirin ucapan Jaya, ya, Bu, dia asal ngomong aja. Hartigan suka-suka aja, kok, sama menu makannya,” jelas Hartigan tak mau membuat Mama Sumarni merasa tersinggung dengan ucapan asal dari Jaya.

“Nanti kapan-kapan ajak juga Kakak Hartigan ke sini, sekalian ajak temen-temen yang di Jakarta. Soalnya Mama kayaknya jarang liat atau bahkan belum pernah ketemu sama mereka kecuali Jagat aja.”

Semua orang yang berada di meja makan sontak menghentikan aktivitas menyuapkan makanan yang berada di atas piring itu ke dalam mulut. Pun, Mama Jaga semula asyik berbicara spontan terdiam. Mereka saat ini sedang berlomba-lomba saling memberikan raut kekhawatiran ketika salah satu di antara mereka tak sengaja tersedak.

Jika kalian berpikir kalau itu adalah suara batuk dari Teh Ivanka, maka jawabannya salah. Sebab, suara batuk itu justru berasal dari Hartigan yang sebelumnya asyik menyanggah semua ucapan omong kosong Jaya.

“Uhukk … uhukk!”

Tanpa memakan waktu lama, Mama Sumarni langsung memberikan satu gelas air kepada laki-laki yang masih terus-menerus memukul dada—berusaha menghilangkan batuk tersebut.

“Minum dulu minum, Hartigan.”

Tentu, sebagai etika kepada sang pemilik rumah, Hartigan meraih uluran gelas dari Mama Sumarni dengan sukarela. Diteguklah cairan bening itu tak sabaran. Namun, setelah beberapa tegukan, Hartigan masih merasakan keganjalan berada pada kerongkongannya.

“Ibu … kayak ada yang nyangkut di tenggorokan Hartigan ….”

Gelas kosong tersebut masih Hartigan pegang erat, lengkap dengan tatapan takut sekaligus khawatir yang terpancar pada kedua bola laki-laki itu.

Jaya yang sedari tadi masih menikmati makan malamnya, langsung menelan cepat-cepat kunyahan itu. “Ma, kayaknya duri ikannya nyangkut di tenggorokan Hartigan!” panik Jaya, kelimpungan sendiri mencari keberadaan sendok nasi.

“Ma, ini Ma kasih nasi!”

Ternyata, sendok nasi itu masih berada di tangan Papa Jajang—yang baru saja menyendokkan nasi dalam Bakul untuk dipindahkan ke atas piring. Kemudian, Papa Jajang kembali menyendokkan sedikit nasi untuk diserahkan kepada Mama Sumarni.

Mama Sumarni meraih nasi yang diberikan Papa Jajang. Dicomot nasi tersebut sebelum mulai dikepal-kepal, membuat bulatan kecil agar mempermudahkan Hartigan untuk menelannya nanti.

Konon katanya, ketika sedang tersedak duri ikan, cara yang paling ampuh adalah menelan kepalan nasi tanpa harus dikunyah terlebih dahulu. Namun, perlu menjadi catatan, bahwa kepalan nasi tidak boleh besar. Hanya perlu diambil secukupnya sampai duri tersebut sudah tak menghalangi tenggorokan lagi.

“A,” titah Mama Sumarni. Hartigan hanya mengikuti untuk membuka mulut walau tak tahu akan terjadi apa setelahnya. “Nasinya langsung Hartigan telen, jangan dikunyah dulu. Pelan-pelan telennya.” Kemudian, kepalan nasi yang sangat kecil itu Mama Sumarni masukkan ke dalam mulut Hartigan.

Jaya, Teh Ivanka, dan Papa Jajang hanya bisa menyaksikan dalam keadaan bungkam. Denting alat makan yang semula ribut dan sesekali melantunkan nada konstan, sekarang suah menghilang.

Teh Ivanka sudah siaga dengan satu gelas air. Mama Sumarni sudah siap dengan kepalan nasi lainnya ketika nanti duri tersebut belum sepenuhnya hilang. Sementara Jaya dan Papa Jajang, hanya diam dan membantu doa saja.

“Langsung ditelen udah?”

Hartigan mengangguk.

“Coba, sekarang masih kayak ada duri yang nyangkut nggak?” tanya Teh Ivanka.

Hartigan menyipitkan mata, lalu tak lama membawa kedua mata itu memejam seraya berkali-kali menelan air liur untuk memastikan apakah masih ada benda asing yang tersangkut pada tenggorokannya.

Gelengan dari Hartigan akhirnya berhasil meloloskan napas lega dari keempat orang itu. Teh Ivanka menyerahkan kembali satu gelas air minum untuk membuat nasi tersebut lebih cepat terjatuh ke dalam alat pencernaan.

“Ikan pindang bandeng emang banyak durinya, makanya kadang Jaya kalau makan ikan pindang bandeng pasti disuapin Mamanya,” ucap Papa Jajang secara tiba-tiba.

Sementara, Jaya yang menjadi topik pembicaraan tak beniat untuk merespons ucapan Papa Jajang.

“Makanya aing nggak makan ikan bandeng, soalnya trauma kalau makan sendiri.”

Kalau sudah begini, tidak hanya Jaya yang merasa trauma. Melainkan, setelah ini mungkin Hartigan akan menjauhi jenis ikan tersebut. Pasalnya, Hartigan tak terlalu pandai dalam memilah dan menyingkirkan daging ikan dari durinya.

Hartigan menatap nanar pada makanan di atas piringnya. Padahal tinggal beberapa suap lagi makanan itu, namun seketika selera makannya hilang setelah terjadi hal yang tak diinginkannya.

“Mama beresin dulu makan Mama sedikit lagi, abis itu nanti Mama bantu suapin Hartigan, ya.”

Kepala Hartigan yang tertunduk otomatis mendongak. Kedua matanya membulat sempurna dengan mulut menganga. Hartigan tak akan pernah menyangka bahwa ucapan itu akan keluar dari mulut Mama temannya.

Apa? Ia akan disuapi, katanya?

Hartigan rasanya ingin menolak, namun sebesar keinginannya itu, tak bohong dalam hatinya Hartigan mengangguk senang. Hartigan ingin merasakan rasanya disuapi makan oleh seorang ibu—walaupun bukan dari ibu kandungnya.

Hartigan menggeleng cepat, menepis semua keinginan konyol yang sempat terlintas. Eh, Ibu nggak usah … Hartigan nanti lanjutin sendiri aja makannya.”

“Nggak apa-apa jangan sungkan, semua teman Jaya udah Mama anggep seperti anak sendiri. Mama suapin biar nanti Hartigan nggak trauma buat makan ikan bandeng lagi, nanti Mama sekalian kasih tau caranya buat misahin duri sama ikannya. Sayang banget soalnya ikan bandeng sebenernya enak banget! Liat aja sampe Papa Jaya abis satu ekor ikan bandeng,” ucap Mama Surmani seraya menoleh ke arah Papa Jaya yang tengah menikmati ikan bandeng tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata.

Namun, benar saja. Tanpa disangka-sangka, beberapa menit setelahnya, Mama Sumarni benar-benar menarik kursi di sebelah Hartigan dan mulai menyuapi laki-laki itu dengan telaten—memperlakukan Hartigan seperti anak kandungnya.

Bukannya cemburu melihat pemandangan itu, akan tetapi justru Jaya tersenyum di tengah-tengah kegiatan menyantap makanan yang belum habis juga sedari tadi. Pun, reaksi dari Jaya sama persis dengan reaksi Teh Ivanka yang memandang ke arah Hartigan dengan tatapan sulit untuk dijelaskan.

Papi … jadi gini, ya, rasanya disuapin seorang ibu. Jian akhirnya ngerasain, Pi. Sekarang Jian nggak terlalu cemburu sama Bang Kaleel yang lebih dulu sering disuapin Mami dulu ….


Kaleel Ivanka Stori

by NAAMER1CAN0



Jij Bent Mooi Universe

by NAAMER1CAN0


Mulanya, pertemuan itu diadakan sebatas membicarakan tentang rencana apa yang sudah Harri buat. Namun, siapa sangka, setelah satu jam berlalu, mereka kini justru sedang asyik saling berbagi cerita. Syifa yang awalnya takut merasa canggung, sekarang gadis itu sudah mulai bisa berbaur dengan keempat kakak kelasnya.

“Terus, ya, dulu Aa sama si Ajay pernah ditonjok si Rakha. Sumpah itu mah Aa langsung shock berat!” ujar Harri dengan dramatis.

Rakha yang baru saja menelan kopi langsung menyanggah ucapan tersebut. “Eh, sumpah aing juga ngelakuin itu gara-gara maraneh duluan yang berantem,” ucap Rakha tak terima disalahkan begitu saja. “Lagian sebelumnya aing udah pake cara baik tapi maraneh masih aja berantem. Jadi, mau nggak mau aing pake cara itu!”

“Emang berantem gara-gara apa gitu kalau Syifa boleh tau?”

“Harri nyedot bensin dari tanki motor Ajay,” sahut Rakha tanpa basa-basi.

Syifa sukses dibuat melongo. Tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu.

“Kan, emang aneh si mereka itu, si aku aja suka capek sendiri liat drama dari si mereka.”

Syifa masih ingat betul dengan perkataan, “Apabila ingin mengambil hati seseorang yang kamu suka, kamu perlu mengambil hati dari lingkungan orang tersebut terlebih dahulu. Termasuk keluarga serta teman-temannya.” Syifa sendiri agak lupa telah menemukan kalimat tersebut dari mana. Yang pasti, untuk mengambil hati dari teman-teman Kak Jaya, rupanya Syifa bisa melakukannya.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya Syifa bisa satu meja dan saling berbagi cerita dengan kelima orang ini dalam waktu yang bersamaan. Selama ini, ia hanya melihat interaksi Kak Jaya dengan teman-temannya dari jauh, walau ada beberapa orang yang baru pertama kali dilihatnya.

Syifa makin merasa yakin bahwa Kak Jaya memang benar-benar orang baik. Karena, dari bagaimana lingkungan pertemanan Kak Jaya menyambut Syifa pun, ia sendiri sudah bisa merasakan dan mengetahui ketulusan yang diberikan mereka untuknya.

Otomatis, desas-desus yang kerap tak sengaja terdengar olehnya yang mengatakan hal-hal kurang baik tentang mereka, jelas Syifa tepis dengan jauh. Sebab, dalam kacamata pandangannya mereka bukan orang seperti itu.

Seolah tak membiarkan Syifa berlarut dalam pikirannya seorang diri, salah satu dari mereka mulai kembali membuka suara dan menceritakan kejadian yang lucu. Aksara menceritakan kejadian di mana ia beserta kelima temannya pada saat itu sedang menaiki perahu yang berada di danau sekolah. Awalnya kegiatan itu lancar-lancar saja, sebelum akhirnya dua pasang Angsa datang dan ikut berenang seakan tengah mengejar mereka di atas perahu. Karena salah satu dari mereka tak bisa diam, akhirnya dengan sesuai dugaan, mereka semua tercebur ke dalam danau yang bahkan tingginya tak lebih dari satu meter. Kejadian itu akan terus melekat dan menjadi sejarah bagi Aksara dan kelima temannya.

Syifa tak tahu lagi harus merespons apa selain membalas cerita itu dengan tawa renyah. Syifa tak ingat sudah berapa banyak tawa yang ia lantunkan malam ini, yang pasti hal itu telah berhasil membuat perutnya terasa kram.

Kepala Jagat mendongak, menatap persis Syifa di seberang sana. “Syifa ada jam malem nggak pulangnya?” tanya Jagat, tak sengaja melihat jam pada ponsel miliknya setelah membalas pesan dari seseorang.

Syifa yang sedang asyik mengobrol itu seketika menghentikan ucapannya. “Ada, Kak, jam sembilan,” timpal gadis itu dengan raut berseri, seolah cerita lucu dari Aksara masih ingat betul dalam kepalanya.

Jagat kembali menyalakan dan membuka kunci ponsel milik laki-laki itu, lalu memperlihatkan kepada Syifa. “Sebentar lagi udah mau jam sembilan.” Bukan berniat untuk mengusir adik kelas itu, hanya saja Jagat takut apabila gadis itu mendapatkan teguran tak menyenangkan dari kedua orang tuanya ketika mengetahui anaknya pulang larut melebihi jam yang sudah ditentukan.

Syifa otomatis terbelalak. “Ih iya! Syifa harus cepet-cepet pulang takut ayah Syifa marah!” Seakan tak membiarkan cairan hijau itu tersisa sedikitpun, lantas Syifa kembali menyeruputnya hingga habis.

Kondisi perutnya sudah kembung ketika Syifa baru menyadari bahwa ia sudah menghabiskan dua gelas minuman itu dalam waktu yang berdekatan.

“Rumah kamu di mana emang, Syifa?”

“Baleendah, Kak!”

“Ya udah, yuk, pulang. Saya anterin. Kebetulan saya bawa mobil tadi bareng sama Harri.”

Harri mengangguk. “Hayu, Cip, pulang bareng Aa sama Jagat. Jangan naik ojek sendiri takut, udah malem soalnya.”

Syifa menggeleng. “Eh, nggak apa-apa, A. Syifa udah biasa pulang pergi naik ojek sendirian, kok!” nolak Syifa secara halus, lantaran tak enak apabila merepotkan kedua kakak kelasnya untuk mengantarnya pulang terlebih dahulu.

“Syifa biar bareng sama si aku aja, Lang. Kebetulan si aku mau ke daerah sana abis dari sini. Paling si aku nitip Aksa, tadi si aku ke sininya bareng Aksa soalnya,” kata Yolan, sembari melirik ke arah Aksara seolah sedang bertanya melalui tatapannya. “Gapapa, kan, Sa?” tanya Yolan memastikan.

Aksara mengangguk. “Iya gapapa, Mang. Besok maneh berarti jemput aing dulu, ya. Helm aing jangan lupa buat dibawa.”

Yolan mengacungkan jempol kanan. “Siap!”

Harri menolehkan wajah. “Maneh ke sini naik apaan, Kha?”

Aing naik motor, tapi aing kayaknya langsung pulang ke rumah si Jagat.”

“Nginep maneh?”

Rakha mengangguk, mengiakan ucapan Aksara. “Iya, bapak aing lagi ada acara di Bogor. Di rumah kosong jadinya aing mau nginep di si Jagat aja.”

“Ya udah berarti kamu sama aku, ya, Syifa, pulangnya. Nanti kasih tau aja jalan nya, soalnya aku nggak tau jalanan sana.”

Syifa tampak sedang berpikir sejenak. “A Yolan beneran nggak apa-apa nganterin dulu Syifa?” Sebenarnya Syifa ingin sekali menolak ajakan kakak kelas itu, namun setelah mendengar sebuah debatan dari kakak kelasnya tentang siapa saja yang akan ikut pulang dengan ini dan itu membuat Syifa tak berani menolak ajakan tersebut.

“Beneran nggak apa-apa, daripada kamu naik ojek sendiri.”

“Maaf ngerepotin, ya, A.”

Yolan menggelengkan kepala cepat. “Ih, enggak ngerepotin, kok, Syifa, santai aja!”


“Kamu ambil ekstrakurikuler apa, Syifa?”

Yolan menyerahkan sebuah helm berlogokan salah satu tokoh kartun jepang, tak lupa dengan sebuah kalimat tertulis ‘i love anime’ di bawahnya.

Syifa memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu meraih helm tersebut dan segera memakainya. “Syifa ambil paduan suara sama palang merah remaja, A,” jawab Syifa, “kalau A Yolan ekstrakurikuler apa?”

Sebelum menjawab pertanyaan dari Syifa, kedua tangan Yolan kini sedang sibuk membuka pijakan motor agar adik kelas itu tak perlu membukanya lagi nanti. “Aku ekskul basket.” Kemudian, Yolan tak lama menyuruh Syifa untuk segera naik sebelum waktu benar-benar telah menunjukkan pukul sembilan.

“Ih, iya! Syifa sampe lupa, kan, A Yolan ketua basket putra, ya.”

Entah terlalu bersemangat atau terkejut atas kesadaran sesuatu hal, hingga gadis itu terlalu bertenaga saat menaiki motor sampai-sampai Yolan dibuat sedikit oleng. Beruntung, laki-laki itu sigap untuk menurunkan kaki satunya untuk dijadikan tumpuan.

Yolan terkekeh sembari sesekali mengangguk. “Iya bener, btw Syifa bisa nyanyi?” Setelah merasa yang di belakang tak melakukan pergerakan apa-apa lagi, lantas Yolan segera menyalakan mesin motor dan perlahan menarik gas—mengendarai motor tersebut untuk membelah jalanan pada malam hari.

“Semua orang juga bisa nyanyi, A Yolan. Tapi, ada yang fals sama enggak. Nah, kalau Syifa sendiri, sih, kebetulan nggak fals.”

“Berarti jago nyanyi, ya, Syifa.”

“Bukan jago, tapi untungnya nggak fals aja, A Yolan!”

Yolan kembali terkekeh. Setelah dipikir-pikir, apa bedanya jago bernyanyi dengan tidak fals?

Kerlap-kerlip dari lampu sepanjang jalanan yang dipadukan lampu dari kendaraan yang berlalu-lalang berhasil memanjakan mata. Syifa yang semula dibuat takut akan merasa canggung sepanjang perjalanan menuju rumahnya ternyata hanya sekedar kekhawatirannya saja. Kakak kelasnya itu tak henti melayangkan beberapa pertanyaan yang membuat Syifa melupakan pikiran negatifnya.

“Berarti yang setiap senin baris di atas deket paskibra itu Syifa sama ekskul Syifa, ya?”

Pertanyaan itu terdengar sedikit samar-samar, lantaran dengan kurang ajarnya ada kendaraan yang melintas dengan knalpot super berisik. Apabila motor itu melintas pada perumahannya mungkin sudah dilempar dengan sandal secara bertubi-tubi. Lagi pula, enaknya memakai kendaraan yang punya knalpot berisik itu apa, sih? Yang ada bisa jadi incaran para polisi yang sedang bertugas. Sungguh mengesalkan!

A Yolan boleh ulangi pertanyaannya nggak? Soalnya Syifa nggak bisa denger jelas tadi ….”

Dengan penuh kesabaran, Yolan mengulangi pertanyaan itu. “Setiap senin Syifa berarti suka upacara deket barisan paskibra itu yang ada di atas?”

Syifa mengangguk, kemudian tak lama menggelengkan kepala. “Kadang Syifa suka jaga di belakang barisan murid gara-gara dapet piket PMR.”

“Oh yang suka baris di belakang pake syal warna biru, tuh, PMR?” tanya Yolan, “eh warna biru atau apa ya aku lupa.”

“Warna kuning, A Yolan. Kalau warna biru itu PMR Madya yang masih SMP.”

Yolan manggut-manggut setelah mencoba kembali mengingat warna syal yang selalu dipakai anggota PMR pada setiap hari senin di belakang barisan para murid. Bisa-bisanya Yolan melupakannya di saat warna tersebut begitu nyentrik apabila dipadukan dengan seragam sekolah putih-abu.

“Kenapa nggak ikut ekstrakurikuler basket?”

Dengan tatapan yang masih terarah ke depan jalanan, lantas Syifa diam-diam mengerutkan dahu. “Nggak, ah, capek harus lari-larian. Jangankan disuruh olahraga basket yang harus ngerebutin bola, Syifa disuruh olahraga lari aja males banget rasanya!” gerutu Syifa terdengar jelas oleh kedua telinga Yolan, sebab situasi jalanan yang mereka lewati pada saat itu kebetulan tak seramai sebelumnya.

Bahu Yolan bergetar—naik dan turun—menandakan sang empu tengah mengudarakan tawanya. Bukan hanya Yolan, namun Syifa yang melihat respons itu ikut tertawa pula, walaupun tak serenyah tawa yang dilantunkan oleh Yolan.

Tiba-tiba saja Yolan mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. “Kamu gimana ceritanya bisa suka sama Ajay? Kenal dari mana?”

Mendengar pertanyaan yang baru saja diucapkan kakak kelasnya itu, lantas Syifa terdiam. Bukan karena gadis iu tak ingin menjawab pertanyaan dari Yolan, melainkan Syifa tengah berpikir bagaimana cara menceritakan kepada laki-laki itu.

Syifa membasahi bibir sejenak akibat terpaan angin yang mengenai mukanya dan membuat bibirnya terasa kering. “Jadi, dulu itu Syifa, A Harri, dan Kak Jaya satu SMP. Syifa awalnya cuman kepo sama cowok yang lagi main basket di lapangan, eh lama-kelamaan Syifa malah kepikiran terus sampe akhirnya tau kalau orang itu namanya Kak Jaya.” Syifa tak henti tersenyum saat menceritakan hal tersebut, seakan sekelebat memori tentang hari itu kembali terulang. “Syifa sempet nyesel karena dulu cuman bisa ngagumin Kak Jaya dari jauh, makanya sekarang Syifa nggak mau buang-buang waktu lagi. Soalnya, belum tentu nanti kuliah Syifa masih bisa ketemu Kak Jaya.”

Selama Syifa sibuk bercerita Yolan hanya diam dan memasang kedua telinganya dengan baik. Motor yang dikendarakannya pun kini sudah berada di sebelah kiri, seakan mempersilakan kendaran lain untuk mendahului sebab ada hal yang lebih penting, yaitu mendengarkan orang di belakangnya asyik bercerita.

“Terus, ya, A Yolan, alam tuh kayak ngasih Syifa jalan gitu, tau!”

“Gimana? Gimana? Ngasih jalan gimana? Coba ceritain aku mau tau,” balas Yolan tak kalah antusias dari Syifa yang sedari tadi sibuk merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat untuk menjelaskan mengapa gadis itu tertarik dengan temannya—Jaya.

“Syifa kan dapet seni modern, terus waktu itu ada guru sebelah yang nggak bisa masuk jadi guru Syifa dibagi dua ngajarnya sama guru sebelah, terus nggak tau kenapa kelas Syifa dibantuin ngajarnya sama Kak Jaya dan temennya Kak Jaya!”

Oh, kayaknya yang dimaksud dia Pandu.

Yolan tak merespons kembali, melainkan laki-laki itu Diam-diam menyeringai di balik helm yang dikenakan. Bagaimana cara adik kelas itu menceritakan alasan dibalik ketertarikan dengan salah satu temannya, Yolan cukup sadar kalau gadis itu memang benar-benar menyukai Jaya.

“Kalau gitu, semangat, ya, Syifa! Aku berdoa semoga rencana kita nanti bakalan berhasil!”

Syifa membalas ucapan itu dengan senyuman yang teramat manis, bahkan lesun pipinya sampai terlihat. Tak tahu mengapa, mendapatkan kalimat penyemangat itu benar-benar membuat Syifa makin bersemangat untuk melaksanakan rencana dari Harri walaupun awalnya Syifa sendiri sempat ragu untuk melakukannya.

Mereka tak tahu saja, saking asyik bercengkerama berdua, sampai-sampai mereka sendiri tidak sadar bahwa sedari tadi terdapat pasang mata yang menyaksikan tiap-tiap pergerakan mereka. Pun, mereka tak tahu bahwa itu adalah awal mula dari permasalahan baru yang akan terjadi.

Tersangka—orang yang sedari tadi tengah memperhatikan mereka hanya bisa tersenyum miris. Entah apa yang sedang berada dalam pikiran orang tersebut, sebab tepat bersamaan kendaraan Yolan berbelok ke arah kiri, orang tersebut justru melajukan mobilnya berlawanan dengan kendaraan Yolan berjalan.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0