cw // kiss
Disarankan sambil denger playlist ini: https://open.spotify.com/playlist/0qMiaNE78nEE8WhJlQL493?si=58c50612157e48ba
Jari-jemari sang puan terlihat lihai mengibas, menciptakan rasa sejuk menggunakan tangannya tepat di depan parasnya nan elok. Perempuan itu sesekali mencebikkan bibirnya disertai runtutan frasa sumpah-serapah yang sahaja ia serukan dalam hatinya. Surainya yang lepek membuat sang puan tak dapat membendung lagi rasa kesalnya. Hingga tepat di detik kesepuluh, ia secara tak sadar menghentakkan kedua tungkainya dengan pelan namun masih dapat terdengar jelas oleh seseorang di sampingnya.
Tanpa sebuah klausa yang diucapkan, Harri lekas segera sembarang melipat kertas brosur berada dalam genggamannya kala melihat aksi sang kekasih. Berbicara mengenai mengapa Harri bisa mendapatkan secarik brosur itu, sebab ketika keduanya tengah terdiam sekonyong-konyong seseorang datang dan sukarela memberi beberapa kertas penuh aksara mengenai sebuah produk tersebut kepadanya. Tentu sebagai tata krama yang telah ia dapatkan dari keluarga kecilnya, maka dengan sukacita Harri menerimanya. Terbukti kertas tersebut dapat ia gunakan untuk menciptakan angin buatan walau tak begitu kencang.
“Iket aja atuh rambutnya, kamu bawa iketan nggak?” ujar Harri di sela-sela mengibaskan angin buatan untuk sang kekasih.
Gelengan dari Fara sukses membuat Harri meloloskan sebuah helaan napasnya. Harri sahaja mengedarkan pandangannya, berusaha menemukan suatu objek yang dapat mengatasi masalah tengah dirasakan kekasihnya. Beruntungnya tak lama dari situ, netra Harri telah berhasil menemukan sebuah tempat teramat begitu menarik untuknya. Harri menolehkan wajahnya ke arah samping lalu merangkul pundak kekasihnya untuk mengikuti langkahnya menuju suatu tempat di seberang sana.
“Duduk di sana dulu we, yuk, Yang. Nggak usah ngantri-ngantrilah, kita mah nonton konsernya nggak usah di depan. Mending di belakang lebih enak dan lebih leluasa.”
Fara melirik ke arah yang dimaksud oleh Harri di sela-sela kedua tungkainya melangkah—mengikuti langkah sang kekasih untuk menyambangi tempat yang dimaksud. Fara pun tak bisa menolak sebab dalam lubuk hatinya pun menginginkan suatu hal yang sama. Fara ingin segera mengistirahatkan kedua kakinya yang teramat pegal, pun rasa panas yang sedari tadi terus-menerus diusik oleh sinar matahari di atas sana.
“Ponco teh dibawa, kan, Yang?” tanya Harri.
Fara mengangguk setelah mendudukkan dirinya persis di seberang Harri. Ia menepuk ransel hitam yang berada di atas meja seolah tengah menyakinkan bahwa barang yang dicari kekasihnya aman terkendali di bawah jangkauannya. “Iya, dibawa. Ada di sini.” Harri mengacungkan jempol kanannya, merasa bangga dengan Fara yang telah menuruti perintahnya.
Kota Bandung akhir-akhir ini sedang rewel, seringkali cuaca tak bersahabat dan terkesan tak acuh dengan masyarakat pribuminya. Tak menutup kemungkinan raja siang di atas sana yang tengah menyombongkan dirinya dengan sinar matahari begitu terik akan berubah menjadi percikan air yang perlahan turun dari atas langit sana.
“Aku mau makan mi ayam dulu, ah. Soalnya yakin pisan kalau udah di dalem mah makanannya mahal-mahal!” Harri mengerlingkan kedua matanya. Ia mulai bangkit dengan menjadikan kedua tungkainya sebagai tumpuan. “Kamu mau apa, Yang?”
“Mau ifumi.”
Harri mengangguk dan mencatat pesanan sang kekasih baik-baik dalam kepalanya. Baru saja ia akan melangkah namun tiba-tiba sebuah suara lebih dulu menginterupsinya. Sontak membuat Harri urung dan kembali menatap kedua manik perempuan itu penuh kasih.
“Sama nutrisari milky mango tapi es nya harus yang banyak, banyak, banyak, BANGET!”
Harri terkekeh pelan, menghantarkan rasa hangat yang memasuki raganya secara perlahan. Ia mengacungkan jari jempolnya, memberikan sebuah isyarat bahwa apa yang diinginkan oleh perempuan itu akan segera ia kabulkan dengan senang hati.
Ingar-bingar tercipta begitu meriah diserukan oleh saban insan di depan sana. Perempuan pemilik surai hitam yang berkilau hanya dapat memandang sekumpulan orang-orang di sana dengan tatapan iba.
Raksi makanan secara tiba-tiba menginvasi indra penciumannya tanpa permisi. Hal tersebut mampu mengalihkan atensinya untuk segera menolehkan wajah dan membidik ke arah sumber raksi itu berada.
Obsidian indahnya mulai dipenuhi oleh kepulan asap yang diciptakan dari makanan berada dalam tapak lengan Harri. Fara sahaja memejamkan kedua matanya untuk sekadar menghirup aroma tersebut ketika kekasihnya sudah kembali duduk di hadapannya. Di bawah alam sadarnya, kepala Fara bergerak mengikuti kepulan asap itu berlari. “Hah, harumnya!” puji selepas menhirup dalam-dalam aroma yang mampu menggugah seleranya.
Harri dengan cekatan menahan surai sang kekasih yang terurai agar tak masuk ke dalam mangkuk mi ayam miliknya. “Rambut kamu ih itu, Sel. Iket dulu coba.” Harri melepaskan gelang yang semula melingkari pergelangan tangannya, lalu menyerahkan kepada perempuan di hadapannya.
Fara mengernyitkan kening tatkala melihat lelaki itu mengulurkan suatu barang kepadanya tanpa penjelasan lebih. “Apaan?”
“Pake gelang aing dulu aja buat ngiket rambutnya, soalnya aing nggak punya iket rambut.” Harri kembali menggerakkan gelang hitam miliknya agar perempuan itu bergegas meraihnya tanpa harus membuat dirinya menunggu lebih lama lagi.
“Takut rusak.”
“Nggak apa-apa, daripada maneh kesusahan makannya.”
“Ya udah kalau gitu.” Fara meraih gelang hitam milik kekasihnya untuk segera ia ikatkan pada surai hitam nan lebatnya. “Makasih, Harri!” lanjutnya menjulurkan lidah ke arah lelaki itu setelah surainya sudah berhasil ia ikat dengan barang seadanya.
Harap-harap mendapatkan sebuah celotehan dari lelaki itu, Harri justru berdecak diiringi matanya yang mengerling saat mendengar namanya diserukan begitu saja dengan entengnya oleh sang kekasih.
Fara melemparkan tatapan penuh tanya ketika ia hendak mengambil satu suapan makanan miliknya, namun secara tiba-tiba Harri menepis lengannya dengan cepat.
“Sama aku tiupin dulu, kamu mah kebiasaan suka nggak sabaran. Nanti teh ngelepuh lidahnya terus BT nya mah ke aku,” sindir Harri sembari memutar bola matanya malas.
Fara mencebikkan bibirnya seolah tengah mengulangi perkataan kekasihnya. Harri yang tak sengaja mengedarkan pandangan ke depannya pun sontak menatap sengit perempuan itu, namun sayangnya tatapan maut yang dilemparkan olehnya seakan tak berarti untuk Fara. Terlihat dari sang puan yang masih setia mengikuti pergerakan yang dilakukan kekasihnya.
Lantas Harri tak mengindahkan Fara dan memilih untuk meniup satu suapan ifumi dengan telaten agar kekasihnya dapat segera melahapnya. Sementara Fara bergeming sembari menatap lamat lelaki di hadapannya tengah meniup-niup makanan miliknya. Padahal Fara sendiri tak meminta Harri meniupkan untuknya sebab ia pun tentu dapat melakukannya itu sendiri, namun nampaknya lelaki itu tetap bersikeras membuat dirinya pun sukarela mengiakan keinginan Harri.
Harri membuka mulutnya, membawa satu suapan ifumi tersebut ke depan mulutnya. Fara terlihat malu-malu untuk menerima suapan tersebut, akan tetapi ketika ia sahaja mengedarkan pandangan dan tempat di sekelilingnya tidak memperlihatkan siapa pun selain mereka berdua, ia pun dengan cepat segera melahap suapan tersebut.
“Pinter, anaknya Papa besok langsung sekolah, ya,” ejek Harri seraya mengusap-ngusap puncak kepalanya dengan penuh sayang, seolah-olah tengah memuji anak kecil yang berhasil menyantap makan siang dengan lahap.
Fara berdecak sebal. Ia layangkan tatapan tak suka namun ironisnya tatapan itu tak digubris oleh sang empu. Fara pun bergegas meraih sendoknya setelah lelaki itu menyerahkan kembali kepadanya. Keheningan mulai tercipta sebab kedua sejoli itu saat ini tengah menikmati satu mangkuk mi ayam dan ifumi dengan khusyuk.
“Ih tapi kita salah nggak sih, Yang, malah makan dulu?!” ujar Fara setelah memasukkan satu suapan ifumi ke dalam kerongkongannya. Melihat lelaki itu hanya memandang ke arahnya disertai alis yang terangkat membuat Fara melanjutkan kembali ucapan yang sempat terhenti. “Aku takut nanti kita bakalan kalikiben kalau makan dulu, kan kita mau joget bukan?!”
Belum sempat Harri menelan makanannya, ia justru dibuat tersedak oleh kalimat yang baru saja dilontarkan sang kekasih. “EH, KENAPA YANG?!” Fara terkesiap. Ia dengan cepat menyerahkan gelas miliknya ke arah lelaki itu. Pun, Harri segera meraihnya sebab kini mulutnya tak kunjung henti terbatuk-batuk.
“Maneh ngomong kayak gitu seakan-akan mau moshing dan mengguncangkan satu dunia aja, anjir!” ketus Harri selepas selesai menenggak air minum untuk menghilangkan rasa batuk yang telah menyakiti tenggorokannya.
Tawa Fara menggelegar kala untaian frasa tersebut terdengar jelas oleh kedua rungunya. Psithurism siang itu membantu mengisi kekosongan yang tercipta sebab sang empu tengah menikmati hidangan dalam mulutnya. Sesekali tak jarang mereka saling menyelipkan obrolan kecil untuk memberikan suasana ramai agar suasana di sana tak begitu sunyi. Entah memang kebetulan atau tidak, mereka berdua berhasil membuat sebagian orang turut mengikuti jejaknya. Bangku-bangku yang sebelumnya kosong tak berpenghuni, secara kini telah terisi satu per satu. Jua, mereka berdua tak perlu susah payah untuk berbincang sebab suasana ramai itu telah berdatangan dengan sendirinya.
Tak terhitung sudah berapa lama ia berdiri dengan kedua tungkai di atas bentala tengah dipijaknya, yang pasti ia masih ingat betul matahari yang semula berada di atas kepalanya kini sudah tak berada di sana lagi. Angin sepoi-sepoi secara tiba-tiba datang dan berusaha mengalihkan atensinya dari rasa kesal yang tengah dirasakannya. Namun, nyatanya angin tersebut kalah telak dengan ego sang puan yang sulit untuk dirayu.
“Lama banget, ih, nggak mula-mulai!”
Harri yang berada tepat di samping Fara menghela napasnya. Ia mengelus surai sang kekasih kemudian beralih mengelus pundak perempuan itu seraya menarik kedua ujung bibirnya, membentuk sebuah lengkungan nan indah. “Sekarang masih panas nggak, Yang?” tanyanya berusaha mengalihkan perhatiaan perempuan di sebelahnya.
Alih-alih menjawabnya secara lisan, Fara justru menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan yang telah dilontarkan Harri untuknya.
Harri melepaskan topi miliknya lalu ia simpan di atas kepala Fara untuk mengurangi rasa panas akibat teriknya sinar matahari di atas sana. Ia hanya tidak ingin membuat kekasihnya kembali memberengut, terlebih ia tak mau apabila hal itu justru akan berakibat untuknya.
“Pake, biar nggak langsung kena kepala maneh.” Harri segera mengeluarkan suaranya ketika ia melihat gerak-gerik Fara yang berancang-ancang akan melepaskan topi miliknya.
Kini manik Harri terjatuh pada lengan Fara yang tengah menengadah di depannya. “Apa?” tanya dirinya dengan sebelah alis yang terangkat.
“Ayo, ih, pegangan tangan!”
Harri menggeleng. “Nggak mau, ah, malu! Diliatin banyak orang.” Netra Harri beralih untuk mengedarkan pandangan pada di sekelilingnya.
Fara merengut kesal. Ia kembali menghentakkan lengannya di udara. “Kenapa malu?! Liat, kamu liat, tuh!” Fara menunjuk satu per satu pasangan yang tak jauh dari tempatnya berpijak menggunakan dagunya. “Mereka semua juga pada pegangan tangan!” Fara merajuk disertai bibirnya yang mengerucut.
Maka, satu respons yang terlontar dari birai Harri hanyalah helaan napas penuh makna di dalamnya. Lantas tangannya terulur, segera meraih tangan sang kekasih untuk menyelipkan jari-jemari mereka dalam tautan hangat.
“Nih, udah.”
Harri mengangkat tautan lengan mereka persis di depan netra sang kekasih. Alih-alih mendapatkan untaian frasa tak suka, ia justru mendapatkan sebuah senyuman manis yang dilemparkan secara sukacita oleh perempuan di sampingnya. Sementara netranya masih setia mematri obsidian hitam sang kekasih.
“Mulainya masih lama, Yang. Mau duduk dulu sekalian nunggu nggak?” tanya Harri dihadiahi anggukkan pelan dari sang kekasih.
“Boleh.”
Selepas mendapat persetujuan dari Fara, Harri pun membawa langkah mereka untuk menyambangi suatu tempat yang jauh dari lalu-lalang kerumunan orang sekitar. Fara hendak akan melayangkan celotehannya kala genggaman mereka terputus begitu saja secara sepihak, namun saat melihat lelaki itu justru tengah membersihkan tempat yang akan mereka duduki pun segera ia telan kembali kalimat-kalimat tersebut yang sudah berada di ujung lidahnya.
“Udah bersih, Yang! Sini duduk!” Harri menepuk tempat di sebelahnya disertai senyuman yang terpancar di wajahnya.
Tanpa bersusah payah untuk menggerakan bibirnya, ia bergegas menuruti perintah sang kekasih dengan cepat. Tautan yang semula terlepas, saat ini sudah kembali saling mengaitkan jari-jemari mereka seperti semula. Sejujurnya Fara sendiri terkesiap melihat reaksi dari kekasihnya yang berbanding terbalik dengan sebelumnya.
“Ayah jadi lamar Tante Fifi minggu depan?” tanya Harri secara tiba-tiba mampu mengalihkan atensi Fara dari kerumunan orang-orang di depannya.
Fara menjadi orang pertama yang memutuskan tatapan. Ia mengedikkan pelan bahunya. “Jadi kayaknya, nggak tau juga.”
Merasa perubahan suasana hati kekasihnya tak bersahabat, lantas Harri segera menarik lengannya dari sebuah genggaman hangat untuk merangkul pundak perempuan itu disertai usapan-usapan kecil.
“Aing nggak sabar nunggu maneh ada yang teteh-in, deh.” Ucapan dari Harri berhasil membuat guratan-guratan halus tercipta pada kening Fara. “Teteh isel adek mau makan, suapin.”
“Itu mah maneh kali kalau lagi manja sama aing!”
“Hahaha bener sih.” Usapan-usapan pada pundak kini telah beralih untuk mengelus punggung Fara penuh kasih. “Tapi aing yakin nanti kalau maneh jadi kakak. Maneh bakalan jadi sosok kakak yang terhebat satu Kopo, percaya sama aing. Bahkan nanti aing sendiri akan tersingkirkan menjadi kakak yang terbaik, soalnya masih kalah saing sama maneh.” Harri menepuk puncak kepalanya berkali-kali dengan lembut.
“Nanti kalau ayah nikah kamu harus dateng temenin aku, aku nggak mau sendirian.”
Harri tersenyum dan mengangguk. “Iya, geulis. Nanti aku bakalan dateng dan nemenin kamu biar nggak kesepian. Aku sekalian bawa anak-anak, deh, biar makin rame juga,” sahut Harri sembari melirik sekilas ke arah tangan Fara, lalu meraihnya dan mengusap-ngusapnya dengan pelan. “Itu juga kalau dibolehin sama maneh, sih.” Harri tatap kedua obsidian hitam di depannya dengan tatapan penuh puja.
“Boleh!” timpal Fara cepat seraya menganggukkan kepalanya, tak mau apabila lelaki itu akan kembali menarik kata-katanya. “Aku juga pasti ngundang mereka ke pernikahan ayah.”
Harri mengangguk dan menghentikan usapan yang ia salurkan kepada punggung tangan kekasihnya. “Okenk.” Kemudian tak lama tangan kanannya kembali hinggap di atas puncak kepala Fara. Ia kembali menepuk-nepuknya dengan penuh kasih. Setelah itu Harri kembali memeluk kedua lututnya dan memusatkan pandangan ke objek di depannya.
Fara yang diperlakukan seperti itu, hatinya
ikut terenyuh tatkala puncak kepalanya ditepuk penuh kasih oleh lelaki di sampingnya. Ia menerbitkan sebuah senyuman manis ketika obsidian hitamnya menatap lamat wajah sang kekasih dari dekat. Kulit eksotis dipadukan dengan surai hitamnya mampu membuat perhatiannya terhipnotis secara sukacita. Rahangnya yang tegas berkali-kali terlihat jauh lebih indah apabila sang empu memamerkan sebuah senyuman yang acap kali membuatnya candu ketika matanya bertemu.
“Aing emang ganteng, sih, Yang. Nggak usah ditatap kayak gitu juga soalnya aing suka malu,” ucap Harri sembari menolehkan wajah ke arah samping dan mengunci pandangannya dengan perempuan itu.
Fara membelakakan kedua matanya ketika ia tertangkap basah sedang pandangi wajah tampan lelaki kelahiran bulan Juni secara diam-diam. Kepalanya sontak mundur saat menyadari wajah mereka hanya menyisakan jarak yang terpaut beberapa jengkal saja. Bukan hanya Fara yang terkejut, Harri pun sama terkejutnya melihat wajah mereka sangat berdekatan.
“Anjir aing kaget! Maneh kenapa deket pisan liatin muka aing nya?!”
“UDAH ATUH JANGAN DIBAHAS TERUS! DA AKU TEH MALU KETAUAN LAGI NATAP KAMU MEUNI NGGAK PEKA PISAN!”
Entah mengapa debaran jantung Harri berdegup kencang berkali-kali lipat dari biasanya. Ia berdeham untuk menghilangkan rasa kecanggungan dengan sang kekasih pasca kejadian beberapa menit lalu. Bahkan, selama hampir lima menit lamanya Harri tak berani untuk menolehkan wajahnya dan menatap kembali wajah sang kekasih.
“Aku jadi salfok sama rambut kamu.” Fara menyentuh surai hitam lelaki yang masih setia menatap objek lain selain dirinya. “Udah gondrong gini, nggak akan dipotong? Takutnya malah kena razia.” Tangannya sesekali mengelus dan merapikan surai sang kekasih akibat ikut terhempas oleh angin yang secara tiba-tiba datang membuatnya berantakan.
Harri ikut menyentuh surainya untuk memastikan apakah ia perlu dengan cepat memotongnya atau tidak. “Belum lewatin telinga da, masih aman,” sahut Harri.
Fara mengangguk. Ia melepaskan tangannya dari rambut lelaki itu untuk melirik arloji yang berada pada pergelangan tangan kanannya. Alisnya menukik ketika arloji tersebut menunjukkan pukul tiga sore, artinya sudah hampir satu jam ia menunggu namun rupanya konser tersebut belum terlihat tanda-tanda akan segera dimulai. Sinar matahari pun tak se-terik semula, bahkan suasana kali ini cukup terbilang sejuk sebab beberapa kali angin datang dan membuat suasana hatinya kembali membaik.
“Punteun A, manawi gaduh korek? Abdi bade nambut sakedap.”
Permisi Bang, barangkali punya korek? Saya mau pinjem sebentar.
Harri refleks meraba saku celananya dan menggeleng cepat. “Aduh, punteun A abdi teu ngaroko janten teu gaduh korek. Tapi upami Aa butuh pisan mah hayu abdi bantosan milarianna.”
Aduh, maaf A saya nggak ngerokok jadi nggak punya korek. Tapi kalau Aa butuh banget ayo saya bantuin cari.
Lelaki asing itu menggeleng, menolak secara halus ucapannya. “Eh, teu kedah A sawios abdi janten teu enak atos ganggu Aa sareng si tetehna. Hapunten pisan.”
Eh, nggak usah Bang nggak apa-apa saya jadi nggak enak udah ganggu Abang sama Mba-nya. Maaf banget.
Harri menegakkan tubuhnya. Ia tersenyum kecil sembari lagi-lagi menggelengkan kepalanya tak bosan. “Teu sawios, Aa nyalira sanes didieu?”
Nggak masalah, Abang sendiri bukan di sini?
“Henteu, kaleresan abdi teh sareng kabogoh teras sareng rerencangan. Nu sanesna mah aya di payun, mung abdi hungkul nu ngaroko janten abdi kaditu kadieu milarian nyalira da teu enak bade ngaroko diditu mayoritas istri tea.”
Nggak, kebetulan saya sama pacar dan temen-temen. Yang lainnya ada di depan, cuman saya aja yang ngerokok jadi saya ke sana ke sini nyari sendiri soalnya nggak enak mau ngerokok di sana mayoritas perempuan.
Pandangan Harri otomatis mengikuti arah yang ditunjuk lelaki asing itu di depannya. Harri yang semula duduk kini sudah sepenuhnya berdiri, pun Fara yang melihatnya langsung mengikuti pergerakan kekasihnya.
“Harri A, abdi linggih di Buah Batu. Ini pacar abdi, Fara,” kenal Harri sembari mengulurkan tangan untuk memberikan salam kepada seseorang yang lebih tingginya beberapa senti itu. Sementara Fara tersenyum dan enggan mengulurkan tangannya, takut apabila perlakuan darinya akan menimbulkan masalah bagi kekasih orang tersebut apabila mengetahuinya.
Harri Bang, saya tinggal di Buah Batu. Ini pacar saya, Fara.
“Ramdan, abdi ngekost di Tamansari upami bumi mah di Tasikmalaya.” Lelaki yang bernamakan Ramdan meraih uluran tangan yang diberikan Harri, lalu membalas senyum Fara sebelum akhirnya mengarahkan kembali pandangannya kepada Harri.
Ramdan, saya ngekost di Tamansari kalau rumah di Tasikmalaya.
Harri melebarkan kedua matanya merasa antusias ketika mendengar asal lelaki yang baru berkenalan dengan dirinya beberapa saat lalu. “Tasik na mana, A? Abdi oge gaduh sodara di Tasik di daerah Sukamanah.”
Tasiknya di sebelah mana, Bang? Saya juga punya saudara di Tasik di daerah Sukamanah.
“Oh muhun Sukamanah satu kecamatan sareng abdi, abdi di Nagarasari. Hayu atuh ameng A ka Tasik engkin ku abdi ajak ka tempat-tempat anu rame.”
Oh iya Sukamanah satu kecamatan sama saya, saya di Nagarasari. Ayo main ke Tasik Bang nanti saya ajak ke tempat-tempat yang rame.
Kehadiran Fara seakan tak kasat mata oleh kedua orang tersebut yang tengah asyik bercengkerama tanpa memedulian kehadirannya. Ia hanya bisa menghela napasnya ketika melihat Harri begitu mudah akrab dengan orang asing yang baru dikenalnya. Capek pisan aku mah asli kenapa sih si Harri bisa-bisanya cari temen pas lagi nonton konser gini?!
“Gas pisan ini mah, A. Punteun atuh sateuacanna abdi nyuhunkeun nomor Aa supados engkin gampil kontek A Ramdan na.” Harri merogoh saku celananya untuk menarik paksa benda pipih tersebut dan menyerahkan kepada seseorang di hadapannya. “Upami tiasa engkin tuliskeun Aa kuliah atau kerja di mana na supados abdi gampil ngingetna.” Ramdan mengangguk dan mulai mengetikan beberapa angka di ponsel milik sang empu.
Gas banget, Bang. Maaf sebelumnya saya minta nomor Abang biar nanti gampang kontek A Ramdan nya. Kalau bisa nanti tulisin Abang kuliah atau kerja di mana nya biar saya gampang ngingetnya.
“Sakedapnya geulis,” bisik Harri sembari mengelus pundak Fara dan melayangkan senyuman hangat yang kemudian dibalas anggukkan disertai senyuman tak kalah hangat dari Fara.
Sebentar, ya, cantik.
Bola mata Harri terbelalak ketika melihat nama kontak yang dituliskan oleh lelaki itu. “Aa, ai Aa teh anak ITB?!” tanya Harri masih tak percaya.
Ramdan mengangguk. “Iya.” Sekon kemudian Ramdan mengernyitkan dahinya saat melihat raut wajah orang tersebut yang sulit untuk diartikan olehnya. “Kenapa emang?”
Wah ini mah beneran langsung dikabulin permintaan aing pengen punya temen anak ITB teh. Harri merespons pertanyaan dari Ramdan dengan gelengan cepat agar tak menimbulkan rasa curiga untuk orang tersebut. “Itu Harri udah misscall A Ramdan, ya, A.” Harri memperlihatkan sekilas layar ponselnya untuk meyakinkan lelaki tersebut.
Ramdan lagi-lagi mengangguk. “Siap, atos abdi save. Upami kitu abdi ti payun nya bisi anu sanesna milarian.”
Siap, udah saya save. Kalau gitu saya duluan, ya, takut yang lainnya nyari.
“Korek nggak jadi, A?”
“Nggak jadi, nanti abdi milarian di warung we sugan aya. Nuhun nya Harri, Fara, abdi ti payun, mangga.”
Nggak jadi, nanti saya cari di warung kali aja ada. Makasih ya, Harri, Fara, saya duluan.
“Hadeh emang dasar si paling friendly sampe aku dicuekin dari tadi!” ketus Fara, bibirnya mengerucut pun kedua tangannya bersedekap di dada dan pandangannya ia alihkan ke objek yang lain.
Tawa Harri mengalun, membuat Fara yang mendengarnya makin merasa sebal sebab saat ini Harri seperti tengah mengejeknya. Melihat kekasihnya sedang merajuk membuat Harri segera memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celananya, lalu ia berjalan mendekati Fara yang sudah melangkahkan kedua kakinya lebih dulu untuk meninggalkannya.
Harri mensejajarkan langkahnya dengan langkah sang kekasih. “Maaf atuh geuli, kan tadi aku teh udah minta izin bentar dulu bitan ning.” Harri mencolek lengan Fara disertai kedua alisnya yang menaik turun dengan cepat.
Fara menepis lengan lelaki itu yang sedari tadi menyentuhnya tanpa henti. “Jangan colak-colek, aku bukan sabun!”
“Sabun colek meren ah!”
Harri segera menautkan kembali genggaman mereka seperti semula, sebelum perempuan itu akan meninggalkannya kembali. “Langsung ke sana we, ya, Yang. Soalnya orang-orang udah pada lari-larian ke panggung pasti udah mau dimulai.” Sebuah ekspresi yang semula merengut secara tiba-tiba kini sudah berubah menjadi ekspresi riang penuh antusias. Lantas, Harri yang melihatnya ikut terbawa suasana untuk membentuk sebuah kurva pada bibirnya. Sekonyong-konyong genggamannya melayang ke sana dan kemari, sebab perempuan di sebelahnya sahaja mengayunkan akibat perasaan senang tengah menyelimuti dirinya.
Semilir pawana menyergap raga para insan tengah menyenandungkan suara indahnya dengan riang. Alunan musik begitu meriah serta-merta mampu meredam senandung yang berduyun-duyun dilantunkan saban jiwa di sekelilingnya.
Seorang perempuan tengah menggerakkan kepalanya penuh gembira. Tangannya tak henti bergerak selaras dengan gerakan kepalanya, mengikuti alunan musik telah mengisi penuh rungunya. Obsidian hitam miliknya mematri ke arah panggung di depan sana.
Fara sesekali menoleh ke belakang, memastikan kekasihnya masih berada di sana dan tak menghilang dari jangkauannya. Harri yang menangkap jelas pergerakan dari perempuan di depannya sontak kembali menautkan jemari mereka. Pun dengan Harri yang memeluknya dari arah belakang dan mengistirahatkan tangannya yang terbebas di pundak sang kekasih.
“Aku di sini,” ucap Harri seraya berbisik sebab takut akan suaranya tak bisa didengar oleh perempuan dalam dekapannya. Harri cukup tahu bahwa kekasihnya itu tengah ketakutan apabila akan terpisah darinya.
Fara tersenyum dalam anggukkannya. Pandangannya sudah kembali ia pusatkan pada panggung megah di depannya. Kedua rungunya berkali-kali dimanjakan oleh perpaduan alat musik dengan suara indah lelaki atas panggung sana membuat dirinya lagi-lagi mempertontonkan raut gembira yang tercetak pada parasnya secara sukarela bagi siapa pun yang melihatnya.
Jika kau dapat melihat parasmu dari mataku~
Jika kau dapat mendengar suaramu dari telingaku~
Jika kau dapat menyentuh ragamu lewat jemariku~
…
…
Akan kau tau pasti dirimu t’lah perindah hariku~
Harri menelan ludahnya sebelum ia membawa kepalanya mendekati telinga sang puan dan berbisik, “kekasih… kau bingkisan Tuhan untukku. Sekian lama ku menunggu. Kekasih, ku tergila-gila padamu. Kusajikan bentuk hatiku. Kekasih… dengar janjiku.” Harri bersenandung kecil tepat di sebelah telinga kekasihnya. Lelaki itu mengikuti alunan musik di depannya dan sahaja ia nyanyikan untuk sang puan, masih dengan lengan kanannya yang memeluk erat pundak perempuan itu.
Jangan tanyakan perasaan perempuan itu bagaimana. Sebab saat ini sang puan bergeming dengan tatapan kosong setia menatap objek di depannya. Debaran jantungnya mulai berpacu cepat, pun bibirnya terasa kelu. Fara tak sebodoh itu mengenai cuacanya saat ini. Ia teramat yakin bahwa kini ia tengah merasakan hawa dingin, terlihat dari bulu-bulu halus di lengannya mulai meremang. Namun entah mengapa hal itu kontradiktif dengan kedua pipinya sekonyong-konyong merasa panas tatkala rungunya mendengar jelas sebuah nyanyian yang diserukan lelaki itu. Terlebih ketika bait per bait lirik tersebut sukses membuat rona merah menjelajari paras eloknya.
Harri terkekeh melihat reaksi kekasihnya yang mematung tanpa bergerak sedikit pun. Ia kembali menjauhkan kepalanya dari telinga Fara dan memilih untuk kembali ke tempat semula.
Fara tak tahu jika menonton konser dengan Harri akan memberikan jutaan kupu-kupu beterbarangan riang di dalam perutnya. Fara tak tahu jika menonton konser dengan Harri akan memberikan rona merah yang masih setia menghiasi wajahnya. Pun, Fara tak tahu jika menonton konser dengan Harri akan memberikan kesan romantis baginya. Ia pun seketika tidak menyesal sebab selalu mendamba-dambakan untuk dapat pergi ke tempat konser berdua dengan kekasihnya.
Tiga puluh menit kita di sini~
Tanpa suara~
Dan aku resah harus menunggu lama~
Harri menarik paksa tangan Fara untuk segera mengikuti langkahnya. Fara yang sebelumnya tengah menikmati musik tersebut harus terusik oleh gangguan seseorang yang menarik sepihak dirinya. Belum sempat ia melayangkan pertanyaan namun lelaki itu lebih dulu mengucapkan sebuah kalimat, “ikut aku, kita diem di belakang aja biar leluasa.” Lantas Fara tak berkutik dan mempersilakan lelaki itu akan membawanya ke mana pun yang ia mau.
Jam dinding pun tertawa~
Karena ku hanya diam dan membisu~
Ingin kumaki diriku sendiri~
Yang tak berkutik di depanmu~
Fara otomatis menghentikan langkahnya ketika Harri lebih dulu menghentikannya. Ia menatap penasaran dengan tingkah kekasihnya yang secara tiba-tiba merubah pikirannya untuk menikmati konser pada jarak yang sangat jauh dari panggung itu berada.
Harri menjilat bibirnya gugup. Ia memegang kedua pundak Fara untuk membalikkan tubuh perempuan itu ke arahnya. Mata bertemu mata. Matanya seakan tengah berusaha memasuki obsidian indah dari kekasihnya. Sekon kemudian, kedua tangannya beralih untuk menggenggam tangan sang puan dengan kedua netranya setia mematri netra sang kekasih.
“Ada yang lain di senyummu, yang membuat lidahku gugup tak bergerak… ada pelangi, di bola matamu… dan memaksa diri tuk bilang—” Harri membawa genggaman Fara ke depan dadanya dan mempersilakan perempuan itu untuk merasakan debaran jantungnya yang kian tak berangsur normal. “—aku sayang padamu.” Harri melukiskan sebuah senyuman teramat indah dan tulus untuk ia perlihatkan pada kekasihnya.
Fara kalah telak. Perempuan itu sedari tadi hanya mengerjapkan matanya dan membisu. Ia tak akan menyangka akan diperlakukan seperti sekarang ini oleh kekasihnya. Kendatinya Fara pun mafhum bahwa Harri memang lelaki yang selalu memberikan apapun agar dirinya dapat bahagia, namun entah mengapa perlakuan romantis darinya saat ini seperti memperlihatkan seorang sisi Harri Agung yang lain, yang tak pernah ia rasakan dan ia lihat sebelumnya.
Masa bodoh dengan tatapan dari para insan yang tengah menatap dan menjadikan mereka berdua sebagai pusat atensinya, Harri sama sekali tidak memedulikannya. Ia ingin menikmati waktu berdua dengan kekasihnya dan memberikan kesan yang indah untuk mereka berdua pada konser kali ini, hanya itu saja.
Semburat merah muda dapat Harri lihat jelas di wajah indah sang kekasih. Terlebih ketika rona merah muda tersebut makin terlihat indah sebab dipadukan dengan semburat senja yang tercipta di langit atas sana. Bahkan semesta tengah memihaknya dan secara tidak langsung telah menjadi saksi bisu atas kedua sejoli yang sedang dimabuk cinta itu.
Enggan mengeluarkan suara indahnya, Fara justru menabrakan diri pada tubuh tegak lelaki di depannya. Ia dengan cepat menyembunyikan wajahnya sebab terlalu malu melihat pasang mata penuh asmara menatap lamat mata miliknya. “Kamu jangan kayak gitu, ih, onyet! Aku malu soalnya jadi diliatin banyak orang!” celoteh Fara tak begitu jelas sebab teredam oleh tubuh kokoh lelaki itu.
Alih-alih meresponsnya, Harri justru tertawa mendengar celotehan si manis walau sebenarnya ia tak begitu dapat mendengarnya dengan jelas. Ia hendak mengelus punggung kekasihnya, namun kedua tangan yang semula melingkari pinggangnya lebih dulu menarik diri dan melepaskan pelukan hangat mereka berdua. Sontak hal itu membuat Harri mengurungkan niatnya.
Harri berusaha keras untuk membungkam mulutnya agar tak menyinggung kejadian sebelumnya yang telah membuat perempuan itu sukses merona. Ia menjadi orang pertama yang melepaskan pandangan dari sang puan untuk kembali menikmati musik dan menatap panggung megah di depan sana. Sementara Fara tengah berusaha mengatur napasnya, terlihat dari tangannya mengibas-ngibas pelan tepat di depan wajahnya.
Semua tentangmu selalu membekas di hati ini~
…
…
Ku tak rela ku tak ingin kau lepaskan semua~
Ikatan tali cinta yang telah kita buat selama ini~
“Iya jangan, ya.”
Lambaian tangan yang semula Fara angkat tinggi-tinggi secara tiba-tiba terhenti saat lelaki di sebelahnya sekonyong-konyong menyerukan sebuah kalimat.
“Kenapa? Jangan kenapa?”
Harri menoleh dan berancang-ancang mengucapkan sebuah kalimat. “Tadi Vierra bilang ku tak rela ku tak ingin kau lepaskan semua ikatan tali cinta yang telah kita buat selama ini iya aing setuju, kalau aing pun sama nggak relanya.” Harri melirik tangan Fara yang terbebas dan segera menautkan jemari mereka. “Jangan, ya, Sel, jangan dilepas,” lanjutnya dengan tautan hangat yang ia salurkan diiringi usapan kecil pada punggung tangan kekasihnya.
Semua tentangmu selalu membekas di hati ini~
Cerita cinta kita berdua akan selalu~
Semua kenangan tak mungkin bisa, ku lupakan ku hilangkan~
Takkan mungkin ku biarkan cinta kita berakhir~
Fara mengangguk dengan cepat walaupun ucapan Harri belum sepenuhnya selesai, namun ia tahu arah pembicaraan lelaki itu. Bukan hanya Harri, ia pun sama tak maunya apabila hubungan yang sudah mereka jalani ini harus kandas secara tiba-tiba dengan mudahnya. Jika bukan dengan Harri ia tak yakin bahwa ia akan sama senangnya apabila menjalain kasih bersama lelaki itu.
Ketika alunan musik itu berpindah dan memainkan sebuah lagu yang lain, keduanya kini terlihat makin menikmatinya. Terlihat dari kedua sejoli itu melompat-lompat jua menyenandungkan suara mereka dengan intonasi cukup keras. Mereka berdua berlagak bak penyanyi papan atas, bermain peran di atas panggung yang megah. Tak peduli dengan beberapa pasang mata yang acap kali mengarahkan pandangan ke arah mereka. Kendatinya Fara dan Harri sangat menikmati konser malam ini. Konser musik pertama yang Fara ikuti bersama kekasihnya.
Harri menunjuk eksistensi perempuan di sampingnya penuh semangat. “KAU CANTIK HARI INI!” Harri bernyanyi begitu keras terlihat dari urat-urat pada lehernya yang tercetak jelas di sana. Beruntungnya suara bariton lelaki itu mampu teredam oleh suara alunan musik yang masih kalah apabila dibandingkan dengan suaranya. “DAN AKU SUKA!” Harri berkali-kali menepuk dadanya, menandakan bahwa nyanyian tersebut memang secara khusus diperuntukan untuk kekasihnya.
Di bawah pendar rembulan malam, lagi-lagi sang puan terjatuh atas perlakuan kekasihnya yang berkali-kali lipat jauh lebih manis. Angin-angin malam yang datang tak berhasil membuat dirinya meremang, sebab ia sendiri sudah lebih dulu dibuat hangat oleh presensi lelaki yang acap kali mengisi lubuk hatinya secara sukacita. Bagaimana ia bisa lepaskan ikatan tali cinta begitu saja apabila tiap sekon dirinya justru dibuat jatuh teramat dalam.
Harri langsung menyerbu sofa empuk berada di ruang tamu kediaman kekasihnya. Sesekali ia meregangkan tubuhnya akibat perjalanan jauh yang sudah mereka tempuh. Jarak dari tempat sebelumnya pada rumah kekasihnya terbilang tak main-main. Padahal rasa pegal pada tubuhnya berkali-kali lipat ia rasakan bahkan tak jarang ia meringis pelan saat rasa sakit itu tiba-tiba datang.
Suasana sunyi berada di dalam rumah perempuan berzodiak libra itu hampir saja membuat dirinya menutup kedua mata dan terlarut dalam tidurnya. Untungnya sang pemilik rumah datang tepat waktu sehingga ia kembali menegakkan tubuhnya.
“Eh, kalau kamu mau rebahan mah rebahan aja, Yang!” Fara merasa tak enak sebab kedatangannya membuat lelaki itu mampu mengurungkan Harri untuk merebahkan tubuhnya.
“Nggak, aing nggak mau rebahan, da. Cuman mau ngelurusin punggung aja.” Fara mengangguk dan mulai menyerahkan satu gelas air minum kepada lelaki itu karena Fara sendiri tahu bahwasannya Harri membutuhkan minuman untuk kembali menyegarkan tubuhnya yang lelah. “Nuhun, geulis.” Harri menerima minuman itu dengan senang hati, lalu meneguknya tak sabar sebab rasa dahaga telah menghantui tenggorokannya sedari tadi.
“Hug, Hag, Hug, Hag! Aku punya sesuatu!” seru Fara antusias berhasil mengalihkan atensi Harri dari yang masih berada dalam mulutnya. “Bentar, tunggu lima menit!” Perempuan itu mulai menghilang dalam pandangannya dengan sekejap. Gelas yang semula terisi penuh oleh cairan bening kini sudah tak memperlihatkan setetes air itu.
Suara gemuruh kembali terdengar, ia dapat pastikan suara tersebut berasal dari kekasihnya yang sedang berlari ke tempatnya berada. Benar saja, sosok perempuan itu sudah kembali dengan beberapa barang dalam genggamannya. Harri yang melihat barang-barang tersebut hanya bisa menautkan kedua alisnya.
“Selamat ulang tahun, Harri!”
Harri terbelalak melihat Fara menyerahkan beberapa barang tersebut ke arahnya. Harri tak langsung meraihnya, melainkan ia dengan cepat merogoh benda pipih dalam saku celananya untuk memastikan apakah hari ini betul hari ulang tahunnya?
Secara mendadak, Harri menerbitkan sebuah senyuman tulus pada wajah tampannya. Ia berjalan mendekati tempat Fara berpijak, kemudian meraih beberapa barang tersebut yang sudah diserahkan sang puan kepadanya.
“Lima… empat… tiga…,” Harri menghitung mundur sembari berdiri persis di hadapan sang puan dengan kedua tangannya sudah dipenuhi barang tersebut. “dua… satu. Nah sekarang baru, selamat ulang tahun, Harri,” ulang Harri seolah mengatakan bahwa tepat pada dua detik yang lalu ia resmi bertambah usia.
Fara terkekeh dan membawa Harri untuk kembali duduk di tempat semula. “Maaf, ya, aku nggak beli kue. Tadinya aku bikin tapi gagal banget, ih, rasanya nggak enak jadi aku kasihin ke ikan, deh. Terus mau beli tadi pagi tapi aku nggak sempet soalnya bangunnya telat!”
Harri mengelus surai perempuan yang terus-menerus merapalkan permintaan maaf kepadanya penuh kasih. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, anjir. Lagian jam segini siapa juga yang mau makan kue, orang rumah juga pasti udah pada tidur,” timpal Harri menenangkan agar Fara tak perlu merasa bersalah padanya.
“Aku nggak punya korek sama lilin, ih, kamu mau nggak tiup lilinnya pake kompor aja?!”
“Nggak mau, anjir! Menurut maneh aja! Udah we nggak usah, Yang, soalnya aing nggak terlalu mentingin tiup lilin juga.”
Fara memamerkan deretan giginya. Matanya tak sengaja terarah pada barang yang belum disentuh sama sekali oleh sang empu. “Buka, Yang, buka cepet! Itu aku special banget buat kamu!”
Tak perlu susah payah memerintah yang kedua kalinya, terbukti lelaki itu kini sudah menuruti kemauannya untuk segera membuka hadiah itu secara satu per satu.
Harri membelalak ketika dapati suatu barang yang sudah didamba-dambakan olehnya. “Yang?! Ini teh bener kamu ngasih sepatu futsal?!” ucap Harri masih tak percaya melihat hadiah yang diberikan sang kekasih kepadanya. Tapi, ini sepatu teh asa mirip sama yang ditanyain si Jagat waktu itu.
“Bener, Yang! Masa aja, we, aku nge-prank!”
“Ini bukan dari uang si ayah, kan?”
“Bukan!”
“Jadi, uang kamu?”
“Bukan juga!”
“Terus uang siapa, anjir?! Uang dari nenek-kakek, nya?”
“Bukaaaan! Udah kamu nggak perlu tau aku dapet uang dari siapa pokoknya itu khusus buat kamu, terus jangan lupa hadiah untuk aku! Aku pengen tas buat sepatu basket!”
Harri mengangguk, mengiakan permintaan dari Fara. “Hadiah kamu udah ada di rumah, geulis. Besok ku aku bawa, nya.” Harri menyimpan kembali sepatu tersebut pada kotaknya, lalu ia menatap sang kasih dengan merentangkan tangannya. Fara awalnya terbingung, namun sekon kemudian ia mengerti dan langsung mendekap tubuh Harri. “Makasih, ya, geulis, buat kado ulang tahunnya ini mah aing beneran seneng pisan!” ucap Harri tak mampu menutupi rasa senangnya. Bahkan secara tak sadar Harri bubuhi kecupan singkat di atas puncak kepala sang kasih.
Fara mengangguk dalam dekapan, ia pun membalas untaian frasa itu dengan senyuman. Pelukan kembali dilepaskan oleh Harri, sedang Fara tengah membereskan bekas bungkusan yang sembarang Harri robek tak beraturan.
“Wow anjir ini mah maneh niat banget ngasih aing kadonya, mana ada sarung tangan yang aing mau. Padahal, kan, aing maunya nanti pas ulang tahun maneh aja, Yang.” Harri membolak-balikan sarung tangan tersebut dan ia hirup dalam-dalam aromanya. “Kelamaan kalau nunggu ulang tahun aku kasian, jadi sengaja ngasih sekarang biar kamu makin semangat jadi kipernya!”
“Jelas ini mah aing bakalan semangat pisan!” Fara terkekeh melihat raut antusias dari lelaki itu.
Tiba-tiba saja guratan halus tercipta saat kedua matanya melihat hadiah terakhir yang telah disiapkan oleh sang kekasih untuknya. Tangannya sibuk meraba dan merobek bungkusan yang menghalanginya. “Kamu kenapa ngasih bola futsal juga anjir, Yang?!” Harri terkejut bukan main melihat suatu barang yang tak pernah terbesit dalam benaknya akan dijadikan sebagai hadiah ulang tahunnya.
“Hehehe, itu aku sengaja ngasih biar kamu bisa main bola sama si kembar di rumah!”
Harri menepuk jidatnya yang tak bersalah. Ia menghela napas lalu mengembuskannya secara perlahan, tak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan itu yang acap kali membuat dirinya harus sukarela mengelus dadanya penuh kesabaran.
“Makasih, ya, Yang. Aku nggak berekspektasi kamu bakalan ngasih bola kayak gini. Makasih, ya, kado kamu ini bisa buat si kembar mengasah hobinya penuh semangat,” timpal Harri seperti tercipta nada sarkasme di dalamnya.
Fara mengangguk riang, bahkan wajahnya berseri mendengar tuturan dari Harri yang mengatakan bahwa lelaki itu amat bahagia mendapatkan hadiah spesial darinya. Tak sia-sia ia telah menguras dan meminta bantuan seseorang untuk mengabulkan barang yang diinginkannya untuk hadiah ulang tahun lelaki bangir di hadapannya.
Mata Harri tak sengaja melirik benda bulat yang terpampang di dinding ruangan saat membereskan sisa-sisa sobekan bungkus kado. Ia spontan terbelalak melihat jam tersebut menunjukkan hampir pukul satu pagi, sehingga dengan cepat ia merapikan kekacauan yang sudah dibuatnya. “Aku harus cepet pulang ini mah, soalnya Babeh Asep beres ngeronda jam dua, bahaya!” Ia menyimpan asal hadiah ulang tahunnya dalam satu bungkus agar memudahkannya untuk membawa pulang.
“Kamu hati-hati, ya, nanti kalau udah sampe wajib ngasih tau aku!” Harri mengangguk dengan langkahnya yang berjalan menyambangi pintu dan diikuti Fara di belakangnya. “Jangan ngebut!”
“Iya, Isel. Kamu nganterinnya sampe sini aja, nggak usah sampe gerbang. Dingin.”
Fara menggeleng dan tak mengindahkan ucapan dari Harri. “Nggak, aku mau nganterin sampe gerbang biar sekalian aku gembok.” Tuturannya selaras dengan kedua tungkainya tengah berjalan menuju gerbang untuk mengantarkan kekasihnya pulang.
Harri mendorong kendaraan roda dua miliknya menuju gerbang agar tak membuat kebisingan yang ditakutkan sewaktu-waktu akan membangunkan orang-orang dalam tidurnya. “Nanti salam ke nenek sama kakek, ya, maaf aku nganterin kamu pulang selarut ini,” ucap Harri di tengah-tengah perjalanan.
Fara mengangguk. “Iya, nanti aku bilangin pas paginya. Lagian bukan salah kamu, kan, emang konsernya baru selesai jam sebelas terus jalanan macet banget soalnya pada bubaran.”
Harri mulai menyalakan mesin motornya, sebelum nanti ia benar-benar akan mengendarainya. Pertama kali yang Harri lihat hanyalah jalanan sepi tak berpenghuni. Ditambah keadaan gelap cukup membuat kesan horor untuknya. Lagi pula siapa yang akan berani berlalu-lalang di waktu dini hari seperti ini?
Baru saja ia akan memasangkan helm, namun sebuah suara tiba-tiba menginterupsinya. “Harri.” Maka, Harri pun mengurungkan niatnya dan beralih untuk menatap perempuan di depannya dengan tatapan penuh tanda tanya.
Melihat perempuan itu justru terdiam dan tak kembali melanjutkan ucapannya membuat Harri makin dibuat penasaran. “Kenapa, Isel?” tanya Harri sembari menatap teduh sang pujaan hati di hadapannya.
“Sini dulu, aku mau ngomong sesuatu.”
Harri menyipitkan matanya, kendaraannya kembali ia matikan dan bergerak untuk menyambangi perempuan itu berdiri walaupun masih tercipta sejuta pertanyaan di dalam benaknya.
“Kenapa? Mau ngomong apa?”
Fara meneguk ludahnya secara paksa. Ia melirik ke arah sekelilingnya yang nampaknya memang benar-benar sepi. Tangannya melambai kecil seolah tengah memberikan isyarat untuk lelaki itu untuk lebih mendekatinya. Harri sukacita menyerahkan telinga kirinya kepada sang puan sebab melihat kekasihnya seperti berancang-ancang akan membisikkan sesuatu kepadanya.
Cupp!
Bola mata Harri sukses melebar tatkala merasakan sebuah kecupan singkat baru saja mendarat pipi kirinya. Iya, perempuan itu memberikan sebuah kecupan singkat pada pipinya. Seketika aliran darahnya seakan berhenti mengalir disertai degupan jantungnya makin terasa kencang dibandingkan dengan degupan sehari-hari ketika bersama kekasihnya.
“Kamu hati-hati, ya, pulangnya!” ucap Fara terakhir kali sebelum akhirnya ia berlari memasuki kediamannya, meninggalkan Harri seorang diri yang masih membeku di tempat.
Dalam relungnya ada rasa ingin segera menolehkan wajahnya dan meminta penjelasan atas perlakuan secara tiba-tiba yang diberikan sang puan kepadanya. Namun, untuk dirinya sekadar mengalihkan pandangannya sedikit pun tak bisa. Jangankan mengalihkan pandangan, untuk ia mengerjapkan matanya pun tak bisa. Sekujur tubuhnya seakan kaku dan tak bisa ia gerakan begitu saja.
Sementara sang tersangka di dalam rumah berkali-kali berupaya menutupi muka dengan telapak tangannya ketika sekelebat memori itu hadir kembali dalam isi kepalanya. Ia benar-benar malu, bahkan wajahnya sudah seperti semerah tomat. Ia hanya berharap apabila bertemu dengan kekasihnya esok hari, lelaki itu akan segera melupakan kejadian yang memalukan untuknya.
“Anying, aing baru aja dicium pipinya sama si Isel….”
Harri memegang dadanya dengan erat, takut akan sewaktu-waktu jantung miliknya terlepas dari tempatnya. Meskipun itu sangat amat mustahil.
“Tuur aing naha jadi leuleus kieu….”
Lutut gue kenapa jadi lemes gini.
Bersamaan setelah menyelesaikan ucapannya, badan Harri sukses ambruk. Ia tak dapat berdiri kembali untuk beberapa saat sebab kakinya terlalu lemas untuk melakukannya. Harri berulang memejamkan mata dan mengatur napasnya, ia tak ingin terlihat seperti orang bodoh apabila sewaktu-waktu ada orang yang melintasi dirinya. Rasanya saat ini juga Harri ingin berteriak sekuat tenaga akibat rasa salah tingkahnya yang tak kunjung menghilang. Untung saja pencahayaan di luar begitu minim sehingga keadaan temaram tak dapat melihat wajahnya sudah dipenuhi semburat merah yang menjalar hingga pada kedua telinganya.
—THE END.—
Kolase Asmara Universe.
by NAAMER1CAN0