NAAMER1CAN0


Harri melangkahkan kedua tungkainya untuk segera memasuki ruangan kelas yang sangat familier baginya. Bagaimana tidak ketika hampir setiap saat ia selalu mendatangi ruang kelas ini untuk sekadar bertemu dan makan bersama dengan kekasihnya.

Harri yang baru selesai melaksanakan pertandingan futsal dibuat terkejut ketika dirinya sekonyong-konyong mengirimkan sebuah pesan kepada sang kekasih untuk bertanya keberadaannya, justru ia dihadiahi kalimat yang terkesan ketus. Tentu Harri yang baru saja membacanya dibuat bingung, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menemui kekasihnya dan bertanya secara langsung mengingat apabila melalui ruang obrolan takut membuat perubahan suasana kekasihnya akan berubah lebih parah.

“Yang!” Harri berlari menghampiri perempuan itu yang sedang duduk di atas bangkunya dengan layar ponsel yang sepertinya kekasihnya tengah menikmati tontonan serial kesukaannya.

Merasa tak diacuhkan membuat Harri menarik satu kursi kosong di sebelah Fara lalu mendudukkan dirinya di sana. “Yang, sumpah aku salah ambil minum! Itu minuman teh harusnya buat si Jojo dari gebetannya. Tapi aku karena nggak kuat haus banget jadi, we, aku minum, serius!” Harri membawa kedua jarinya untuk ia simpan di samping wajahnya. “Aku udah ganti minuman itu, kirain teh emang ngasih, we, ke semuanya.”

Fara terdiam, isi pikirannya kembali melayang pada kejadian beberapa saat lalu. Meskipun kedua matanya sedang ia pusatkan pada layar ponselnya, namun isi pikirannya sibuk berkelana dan mengingat kejadian yang sukses membuat dirinya dibakar api cemburu.

Tak terhitung sudah berapa kali ia terus-menerus mengulangi kalimat pujian untuk kekasihnya, nampaknya ia tak akan pernah bosan mengelu-elukan lelaki itu yang terlihat sangat atraktif di matanya. Tubuh kokohnya sedang berdiam diri di depan gawang, seolah-olah menghalangi bola dari lawan timnya agar tak dapat memasukinya.

Kalimat pujian baru saja selesai ia loloskan dalam hatinya, namun belum genap tiga puluh detik ia justru kembali menyerukan kembali saat lelaki di depan sana dengan gagahnya menangkis bola yang berusaha dibobol oleh sang lawan.

Sumpah, pacar aing emang kiper paling keren se-Buah Batu! Tangannya selaras dengan belah birai yang tengah semangat meneriaki seseorang di sana untuk memberikan pujian secara tersirat. Jua, memberikan semangat walaupun mungkin saja kehadirannya tak dapat disorot oleh netra sang kekasih, sebab ia berada di tengah-tengah lautan para insan memakai warna kostum yang sama.

Fara dengan riang menepuk tangannya ketika mendengar sebuah peluit panjang yang dilantunkan oleh wasit pertandingan. Hanya selang beberapa detik, sorak-sorai gemuruh tak dapat bendung tatkala tim sekolah mereka memenangkan pertandingan dengan dua poin lebih besar daripada tim sang lawan.

Fara meraih satu botol air yang telah ia beli sebelumnya untuk ia berikan pada seseorang di sana. Namun, harapannya harus pupus begitu saja kala melihat lelaki itu justru meraih botol air minum yang diberikan seorang perempuan yang entah ia sendiri pun tak tahu orangnya.

Fara tak pernah sekesal ini sebelumnya, perihal air minum saja sebenarnya tak begitu dipermasalahkan olehnya. Akan tetapi, ketika matanya melihat langsung kejadian itu justru sukses membuat gemuruh di hatinya terasa meluap-luap. Ia berkali-kali meyakini dirinya bahwa ia tak harus seperti ini. Mungkin saja kekasihnya membutuhkan air minum dengan cepat mengingat jaraknya dengan lelaki itu terpaut jauh sekali.

“Fara, ayo kita ke lapangan sana!” ajak Grace dibalas gelengan dengan cepat oleh Fara.

“Kamu aja sendiri, aku mau ke kelas. Ternyata aku ada kelupaan sesuatu,” kilahnya, berharap Grace tak akan bertanya lebih jauh tentang kebohongannya. “Aku duluan, ya.”

Grace menatap kepergian Fara penuh tanda tanya. Perubahan sikap perempuan itu terlihat jelas bahkan sangat drastis berbeda dengan sebelumnya yang masih teramat antusias. Awalnya ia ingin bertanya lebih lanjut, namun saat melihat raut wajah yang ia pun yakini pasti terdapat sesuatu membuat Grace mengurungkan niatnya.

“Yang, ih!”

Demi apapun, Fara terlonjak saat seruan dari lelaki di sampingnya membuat ia hampir saja melayangkan sebuah pukulan pada lengan kekasihnya. Namun beruntungnya ia dapat lebih dulu mengontrolnya.

Harri meloloskan helaan napasnya ketika lagi-lagi ucapannya tak digubris oleh sang puan. Lelah dengan keberadaannya seakan tak kasat mata membuat Harri berinisiatif mendekati kekasihnya, ia menyimpan kepalanya di atas pundak sang kekasih lalu bergerak ke kiri dan ke kanan dengan tempo teratur.

“Harri, ih, rambut kamu keringetan!” Fara menjauhkan kepala Harri dari pundaknya. Ia menyeka bekas bulir keringat yang masih tercetak jelas di sana dengan tangan kosong.

Harri mendengkus pelan ketika keringat miliknya dihapus oleh sang kekasih membuat dirinya secara tak sadar mengerucutkan bibirnya.

“Ih, sumpah, ya, Harri. Kamu kenapa, sih?!”

Fara lagi-lagi dibuat heran dengan tingkah laku manja yang akhir-akhir ini acap kali diperlihatkan kekasihnya. Ia menatap lekat lengan kirinya yang dipeluk erat oleh Harri, seakan tak mengizinkannya untuk berjauhan dengan lelaki itu.

“Yang, maafin, ih,” ucap Harri, berharap permintaan maafnya kali ini akan dijawab oleh perempuan di sebelahnya.

Ketika ia tengah sibuk bermanjaan dengan Fara, matanya tak sengaja menangkap sebuah botol air minum yang ia yakini itu adalah botol untuknya. Rangkulan Harri pada lengan Fara otomatis terlepas begitu saja seiringan dengan tangannya mulai meraih botol itu. Harri mulai meneguk botol air minum berada dalam genggamannya hingga habis tak menyisakan setetes pun.

“Minuman dari kamu jauh lebih seger, andai aja aku tadi lebih sabar kayaknya aku bakalan dapet minuman ini.” Harri membolak-balikan botol air minum yang sudah kosong itu, lalu menyimpan kembali di atas meja. “Sel, makasih, ya, buat minumannya *aing *beneran suka!”

“Lebay, orang itu cuman air minum biasa.”

“Nggak, anjir. Menurut aing itu spesial banget, bahkan tadi pas aing minum rasanya beneran manis.” Harri tersenyum dan memusatkan pandangan pada wajah sang kekasih. “Soalnya sambil liat muka maneh.” Tatapannya yang penuh puja tak sedikit pun ia alihkan atau mengedipkannya, seperti enggan menyia-nyiakan paras elok perempuan di sampingnya.

Fara berlagak akan memuntahkan seluruh isi di perutnya setelah mendengar kalimat menggelikan yang baru saja diloloskan Harri dengan tak tahu malu. Harri tertawa dan melayangkan sebuah jitakan pelan pada kepalanya membuat Fara yang sedang asyik menonton harus bersusah payah menjeda videonya.

“Kurang ajar!”

“Sakit anjir!”

Cik, coba kalau maraneh mau pacaran teh liat dulu sekeliling. Aing yang lagi tidur jadi terganggu gini. Mending maraneh berdua backstreet lagi aja, lah!” ketus seseorang yang baru saja terbangun dari kegiatan tidurnya. Terlihat dari garis-garis yang tercetak rapi di wajahnya menandakan bahwa orang tersebut benar-benar menikmati waktu istirahatnya.

“Maaf, Ki! Sok-sok sia tidur lagi aja, hampura udah aing ganggu!” Harri menyatukan kedua tangannya seolah tengah memperlihatkan gerakan permintaan maaf sebab dirinya merasa tak enak sudah mengganggu teman satu kelas kekasihnya yang terlelap.

“Yang, ih, maafin aing! Nanti pulang sekolah maneh boleh jajan apapun asal maafin aing!”

Deal!” sahut Fara dengan cepat, takut akan Harri merubah pikirannya kembali.

Harri mengerling disertai helaan napas yang dikeluarkan penuh penekanan. “Euh, kahoyongna.”

Euh, maunya.

Fara menjulurkan lidahnya mendengar nada ucapan yang berbanding terbalik dengan sebelumnya. Akhirnya ia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk membeli semua jajanan yang diinginkannya sebab lelaki itu sudah mengiming-imingkan akan mentraktir makanan yang ia mau. Beruntungnya ia dapat menahan ekspresi sejak kedatangan Harri ke dalam kelasnya, jika saat itu ia tak bisa menahannya mungkin penawaran itu tak akan pernah ia dapatkan.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


Malam ini hanya ada suara dentingan jarum jam yang menemani dirinya di tengah-tengah kesunyian sedang dirasakannya. Lelaki berzodiak gemini menegakkan tubuhnya dengan punggung yang sahaja ia sandarkan pada headboard ranjang di belakangnya. Kelima jarinya mengetuk pelan di atas paha miliknya yang terjulur lurus ke depan sembari menunggu sebuah panggilan darinya akan diangkat oleh seseorang di seberang sana.

Seharusnya ia saat ini berada di atas meja dengan mulut yang dipenuhi oleh berbagai hidangan makan malamnya. Namun ketika ia hendak bersiap-siap pergi, tiba-tiba saja sebuah pesan tunggal sampai pada ponselnya. Sehingga mau tak mau ia lebih memilih untuk urung pergi ketimbang mengetahui bahwasannya kedua adik bungsunya sedang menangis tersendu-sendu.

Sudah hampir satu menit lamanya ia menunggu dengan tatapan kosong tepat ke depan layar televisi yang hanya menampilkan gerak-gerik tanpa bersuara. Hingga tepat di menit satu tiga puluh tiga detik panggilan itu terputus sebab sang empu tak kunjung jua mengangkatnya. Helaan napas ia loloskan begitu saja. Saat hendak beranjak dari atas ranjangnya tiba-tiba sebuah panggilan riang melantun pada ponsel miliknya, tanpa berpikir panjang Harri segera mengangkatnya sembari kembali menyandarkan punggungnya.

“Halo, Ila. Si kembar mana?”

Alih-alih menjawab pertanyaan darinya, seseorang di sana justru menyerukan namanya dengan sebuah isakkan kecil. Lantas Harri segera menegakkan tubuhnya dan membawa kedua tungkainya untuk berjalan asal di tempat sedang ia singgahi.

Aa….”

Harri tersenyum dan menghela napasnya terlebih dahulu sebelum menjawab panggilan dari seseorang di seberang sana. “Ini Aarash atau Aariz?” tanya Harri, matanya memejam ketika otaknya berusaha bekerja untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja ia loloskan.

Ini Aarash,” jawab Aarash seadanya.

“Aariz mana?”

Aarash menggelengkan kepalanya kendatipun Harri tak bisa melihat jawaban dari pergerakan adiknya di tengah-tengah suara isakkan yang masih terdengar lirih di telinganya.

Ada di sini.” Si kecil melambaikan tangannya, walaupun kenyataannya hanya kembarannya—Aarash—yang bisa melihat pergerakan darinya.

“Udah jangan nangis lagi, ya, kasep. Aa nggak apa-apa, da, Aa juga nggak nangis.” Harri melebarkan senyuman tatkala mengucapkan kalimat tersebut. Ada rasa iba di dalamnya saat ia harus mengetahui bahwa kedua adiknya susah payah mengeluarkan air mata karena dirinya.

Aariz nggak nangis, Aarash aja yang nangis mah.”

Aku nangis soalnya kasian liat Aa Harri kalah!

Oh, kok sekarang nggak nangis lagi?

Kamu diem jangan ganggu aku lagi ngomong sama Aa Harri, Aa aku!

A Harri juga Aa aku, bukan cuman Aa kamu aja.”

Pertikaian demi pertikaian asyik diserukan oleh kedua orang di seberang sana hingga melupakan bahwa dirinya masih berada di sini. Harri kini sibuk membuka lebar-lebar kedua telinganya untuk mendengarkan semua runtutan klausa pertikaian yang sepertinya tak kunjung reda. Ternyata menyatukan kedua adiknya memang sangat sulit saat menyadari bahwa sikap keduanya yang saling bertolak belakang.

“Udah, udah, jangan ribut. Kan, kemarin Aa nitip pesen jangan ribut kalau Aa lagi nggak ada di rumah. Aarash sama Aariz lupa?”

Maaf,” timpal keduanya dengan kompak sembari mengangguk, membuat surai mereka ikut terhempas akibat pergerakan itu.

Tapi, Aa kalah. Aa nggak menang…,” Seseorang di sana nampaknya menjeda ucapannya sejenak, sebelum akhirnya beberapa sekon kemudian si kecil kembali melanjutkan ucapannya. “Padahal Aa sebelumnya udah semangat buat lomba, terus setiap hari suka latihan biar menang.” Setelah itu si kecil kembali terisak sedang satu orang lainnya hanya berdecak melihat kembarannya kembali menangis.

Harri terkekeh mendengar ucapan Aarash dengan lantang mengatakan bahwa ia sedang bersedih atas kekalahan yang baru saja diterima oleh rekan timnya. Ia melirik jam dinding sekilas sebelum akhirnya ia membawa kedua tungkainya untuk berhenti di depan jendela, memperlihatkan pencakar langit di tengah keadaan gelap gelita yang hanya ditemani oleh rembulan dan gemerlap bintang di sekitarnya.

Kasep, bageur, dengerin Aa, ya, sebentar.” Harri memindahkan benda pipih itu pada telinga sebelah kirinya, sedangkan tangan kanannya sudah berancang-ancang membuka pintu balkon agar dapat memandang lebih jelas pemandangan indah kota Malang di malam hari. “Aa latihan bukan karena buat menang, tapi buat ngelatih skill Aa dalam bermain futsal.” Angin malam tanpa permisi langsung menerpa wajah tampannya saat kedua kakinya sukses menyambangi tempat itu. Matanya sontak mengedar, menghitung satu per satu bintang di atas sana dalam hatinya.

Skill itu apa?” tanya Aariz secara tiba-tiba

“Keahlian, keterampilan.”

Oh.”

Harri kembali memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kanan untuk memudahkan dalam berinteraksi dengan kedua adiknya. “Aarash sama Aariz mau liat pemandangan di sini, nggak? Di sini pemandangannya lagi bagus pisan, Aa lagi di ketinggian lantai dua puluh delapan.” Harri melirik ke arah bawahnya lalu memejamkan sejenak matanya dan menghirup dalam-dalam udara segar di kota yang terkenal dengan wisatanya nan beragam.

Setelah membuka kedua matanya Harri langsung dikejutkan dengan sebuah panggilan video, nampaknya si bungsu teramat riang untuk ikut melihat pemandangan yang tak bosan ia elu-elukan saat berada dalam panggilan.

Geser dikit aku nggak keliatan muka A Harri, Aarash.”

Kamu aja atuh yang pegangnya, aku pegel dari tadi pegang terus hp-nya!

Tanpa mengeluarkan suaranya Aariz langsung meraih ponsel yang diserahkan Aarash kepadanya. Namun bukannya kedua anak tersebut segera bertegur sapa dengannya, justru salah satu dari mereka kembali saling melayangkan seruan tak suka.

Aariz, ih, muka aku nya nggak keliatan! Itu muka kamu semua!

Ya udahlah kamu aja lagi yang pegang, kamu ribet dari tadi salahin aku terus!

Lagi-lagi Harri bergeming oleh tindakan kedua adiknya selalu mempermasalahkan hal kecil yang seharusnya bagi ia sendiri hal itu tak perlu susah payah dibuat pusing. Denyut kepalanya makin terasa ketika layar ponselnya terus-menerus bergerak tak beraturan, membuat dirinya yang memandang sukses memijat sekilas pelipis kepalanya seraya mengembuskan napas dengan kasar melihat kejadian itu yang hampir setiap hari selalu ia rasakan.

“Liat di bawah hotel yang Aa tempatin ada kolam renangnya.” Harri berucap sembari mengarahkan kamera belakang menuju tempat yang ia maksud di bawah sana, dalam hatinya ia berharap bahwa si kecil dapat melihat tempat itu sebab jarak pun pencahayaan sangat minim.

Namun nampaknya kekhawatirannya tak kunjung bertahan lama, sebab kini senyuman miliknya makin merekah tatkala dua pasang mata nampak berbinar memandang ke arah layar ponsel miliknya. Hanya selang beberapa detik saja ia mampu membuat kedua orang itu kembali akur tanpa melayangkan celotehan, seperti sebelumnya.

Ih keren banget! Aa renang nggak?

Harri menggeleng. “Nggak, Aa nggak bawa baju lebih buat renang,” timpal Harri menjawab pertanyaan antusias dari Aarash.

Ih sayang banget,” sahut Aarash dijawab tawa kecil olehnya.

A Harri bobonya sama siapa aja?

Harri kembali menekan salah satu ikon untuk mengarahkan kamera tersebut pada wajahnya. “Aa tidur sama A Ajay, A Jagat, sama A Jojo.” Sementara Aariz yang baru saja melayangkan pertanyaan hanya menjawab ucapan Harri dengan sebuah anggukkan yang panjang.

Aa udah makan?

“Belum, kalau adik-adik Aa udah makan belum, kasep?”

Harri terkekeh melihat jawaban kompak dari si kembar yang saling menganggukkan kepalanya untuk sekadar menjawab pertanyaan darinya. Terkadang ia berhasil dibuat gemas oleh tingkah kedua adiknya, namun saat yang bersamaan pula ia selalu dibuat naik pitam oleh kelakuan adik-adiknya yang sulit mengerti akan perintahnya.

Apaan kamu belum makan, Ii!” Aarash menolehkan wajahnya seraya memasang sarat amarah yang tercipta pada wajahnya. Kemudian tak lama ia kembali memandang layar ponselnya sembari mencebikkan bibirnya gemas. “Aa, Aariz belum makan dia bohong!

“Kenapa belum makan, kasep? Kalau nanti Aariz sakit gimana?” tanya Harri dengan lembut, tak mau membuat suasana adiknya buruk apabila ia berbicara dengan nada yang terkesan kasar.

Nanti.”

“Jangan lupa nanti langsung makan, ya, bageur, abis telfon sama Aa.”

Aariz mengangguk. “Iya.” Si kecil beranjak untuk membawa kedua tungkainya berdiri dan menjadikannya sebagai tumpuan tubuhnya. “Aa juga.”

Belum sempat Harri untuk membalas ucapan itu, akan tetapi Aariz lebih dulu meninggalkannya. Padahal Harri sudah berancang-ancang untuk bertanya maksud dari ucapan si kecil, namun setelah ia berusaha mencerna sendirian sebuah senyuman pun telah sekonyong-konyong terukir pada wajahnya. Ia menggelengkan kepalanya tatkala menyadari bahwa si kecil sama khawatir dengan dirinya.

“Ya udah kalau gitu Aa matiin, ya. Aa mau mandi dulu abis itu nanti Aa mau makan.”

Iya, Aa tidurnya jangan kemaleman, ya. Nanti pulangnya juga hati-hati.”

“Iya, kasep.”

Setelah lambaian tangan yang memenuhi obsidiannya pun ucapan perpisahan, kini layar ponselnya kembali kosong tak memperlihatkan kedua orang yang sebelumnya asyik bertukar kabar dengannya. Harri mengunci layar ponselnya terlebih dahulu sebelum ia masukkan secara asal pada salah satu saku di celananya. Kemudian tangannya saling menggenggam satu sama lain dan ia istirahatkan di atas pembatas balkon untuk sekadar menikmati suasana sunyi sendirian.

Rasa hampa menyergap dirinya saat sekelebat memori menghampirinya bersamaan dengan tiupan angin mendatangi tubuhnya yang hanya terbalutkan kaos hitam polos dengan celana pendek di atas lututnya. Kedua adiknya memang yang selalu mengusik hari-harinya namun jauh berada di dalam lubuk hatinya ia merindukan dengan sosok si kecil yang acap kali mengisi hari-harinya dengan sejuta tingkah teramat sukses menghibur dirinya.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


cw // kiss


Semerbak aroma daging tengah dibakar di atas bara api menguar, terbawa oleh angin malam dan berkelana hingga tanpa permisi memasuki indra penciumannya. Bukan hanya hidungnya saja yang sedang dimanjakan, kedua telinganya pun ikut dimanjakan dengan alunan musik yang sedari tadi dilantunkan oleh segerombol orang di bawah pohon sana.

Memasuki liburan panjang memang sangat menyenangkan, terlebih ketika ia berkumpul bersama dengan orang-orang yang selalu menyalurkan rasa hangat untuknya. Kesepian yang acap kali ia rasakan saat ini sudah mulai tergantikan oleh rasa suam yang jarang sekali ia dapatkan sebelumnya. Ia tak akan pernah bosan selalu mengucapkan bahwa ia benar-benar beruntung mendapatkan seorang kekasih yang mampu menjadi teman pun obat untuknya di kala kesunyian menghantuinya.

Harri datang membawa setitik api pada kehidupannya yang kelam, lalu atas inisiatifnya sendiri ia membantu mengobarkan hingga rasa kelam itu tergantikan dengan terang benderang. Kehidupannya yang semua monokrom kini lebih berwarna berkat lelaki itu, lelaki amat dicintainya dan selalu ia agung-agungkan kepada ayah pun kakek dan neneknya.

“Bengong wae, heh!” Harri datang secara tiba-tiba dan sahaja menyenggol pundak Fara menggunakan pundaknya sendiri. Alih-alih mendapatkan makian, ia berhasil dibuat bingung kala perempuan itu justru tersenyum ke arahnya sembari mengucapkan sebuah kata yang membuat dirinya makin dipenuhi tanda tanya.

“Api.”

Harri menukikkan kedua alisnya. “Api apaan ai kamu?” tanya Harri heran seraya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, berusaha menemukan objek yang dimaksud perempuan itu. “Api apa? Api yang lagi dipake ngebakar sama Jagat?”

Fara menggeleng dan menghalau isi pikirannya jauh-jauh agar ia dapat menikmati acara liburan kali ini dengan indah tanpa harus susah payah memusingkan beban berada di dalam kepalanya.

“Nggak, ini udah beres aku potongin buahnya.” Fara merapikan potongan buah terakhir ke dalam piring untuk segera ia serahkan pada Harri agar membawakan ke meja sana.

“Udah aja ini teh cuman ini aja?”

“Iya udah, cuman itu aja.”

“Okenk.”

Harri meraih piring berisikan puluhan potong buah yang nampak menggiurkan itu untuk ia bawa ke tempat yang maksud Fara. Dalam perjalanannya ia sesekali melahap buah tersebut akibat tak dapat menahan hasratnya sendiri. Bukan murni salahnya mengapa ia sampai berani menyantap buah-buahan itu dan curi start dari teman-teman lainnya, salahkan pada eksistensi buah-buahan itu sendiri yang amat terlihat menggiurkan di matanya.

Kobaran api perlahan melahap riang bara kayu saling bertumpuk satu sama lain. Sesekali api itu bergejolak lebih besar dua kali lipat akibat tetesan-tetesan lemak yang terjatuh dari daging sedang di panggangnya. Lelaki bertubuh tinggi berkali-kali memindahkan daging mulai dari arah jarum dua belas hingga arah jarum jam enam, mencari kobaran api yang sempurna agar mendapatkan tingkat kematangan daging yang pas.

“Kamu kepanasan nggak, Agat?”

Pertanyaan dari Grace terdengar cukup retoris ketika ia yakini perempuan itu sudah melihat objek apa yang berada di depannya. “Gimana ceritanya depan api malah ngerasain dingin, Ay. Aneh-aneh aja pertanyaan dari kamu.” Jagat mengerlingkan mata tatkala pertanyaan itu memasuki indra pendengarannya.

Grace tertawa mendengar jawaban ketus yang dilayangkan Jagat untuknya. “Ada yang perlu aku bantuin nggak?” tawar Grace, berharap ia bisa membantu tugas lelaki itu daripada dirinya harus berdiam diri tanpa melakukan apa-apa.

“Hm….” Jagat nampak berpikir sejenak, kemudian matanya menatap ke arah daging-daging yang sedang ia bakar di atas alat panggangan di depannya. “Bantuin potong dagingnya aja, deh, slice kecil-kecil tapi jangan terlalu tipis.” Grace mengangguk semangat, ia berlari untuk mengambil satu buah piring dan menunggu lelaki itu akan menyerahkan daging yang matang agar ia bisa mulai melaksanakan tugasnya.

“Hati-hati panas, ya, cantik.”

Tanpa harus diwanti-wanti pun Grace sudah dapat melihatnya sendiri sepanas apa daging berada di tangannya, mengingat kepulan asap itu tak henti memenuhi indra penglihatannya. Jagat terkekeh seraya menggelengkan kepalanya saatm melihat perilaku Grace yang begitu menggemaskan di matanya.

U-uhm, sorry…,” cicit Charlotte membuat Fara menghentikan kegiatannya untuk sekadar menolehkan wajahnya dan menatap ke arah perempuan itu. “Iya kenapa, Char?” tanya Fara sembari menyimpan kembali ponsel miliknya untuk ia pusatkan secara penuh perhatiannya kepada Charlotte.

“Ini makanan yang lagi gue makan apa, ya, namanya, Far?” Charlotte mengangkat satu makanan asing agar orang tersebut dapat melihatnya.

“Itu combro, oncom dijero!” Fara turut mengambil satu makanan itu dan segera melahapnya, menemani Charlotte tengah menikmati combro sendirian. “Oncom di dalem, ini itu terbuat dari singkong. Hm…kalau bahasa inggrisnya itu apa, ya, sebentar aku lupa, Char!” Fara menepuk jidatnya seraya mengingat bahasa asing dari singkong.

“Gue tau, kok, apa itu singkong! Gue nggak segitunya sampe dikira nggak tau, ya!” ketus Charlotte memperlihatkan wajah sebalnya. Sontak hal itu membuat Fara berhasil meloloskan sebuah tawanya. “Ya, aku cuman jaga-jaga aja takut kamu nggak tau karena udah kelamaan di Amerika!”

“Enak banget makanan ini, sayang banget di tempat gue di sana nggak ada yang jual.”

“Ya kali di Amerika ada yang jual combro, aneh-aneh pisan!” Kini giliran Charlotte melayangkan kekehan mendengar celotehan dari teman baru yang baru dikenalnya pagi tadi.

I’m sorry for bothering you guys,” timpal Horace secara tiba-tiba dengan sarat wajah kebingungan tercetak pada wajahnya. “Bae, did you see my wallet?” tanya Horace kepada Charlotte—kekasihnya—sembari terus-menerus meraba setiap kantong berada di tubuhnya. Tak terhitung sudah berapa lama Horace mencari dompetnya yang tak kunjung ia temui.

“Ada, in my bag. Lo ceroboh banget kebiasaan!” sungut Charlotte yang sudah lelah melihat drama barang yang sering kali dilupakan kekasihnya dengan mudahnya. “Sorry, bae, tadi beneran nggak sengaja soalnya gue lagi ribet turunin semua belanjaan, kan.” Horace berusaha membela dirinya sendiri dengan sebuah fakta yang tak diketahui Charlotte agar dirinya tak dilayangkan celotehan secara terus-menerus.

“Ya udah kalau gitu, gue izin balik ke sana lagi, ya. Enjoy your meals guys,” pamit Horace sembari menunjuk ke arah teman-temannya berada. “Aku ke sana, ya, pretty.” Horace mengusap puncak kepala Charlotte sebelum akhirnya ia meninggalkan kembali Charlotte dan Fara yang tengah menikmati camilan ringan sempat terhenti beberapa menit lalu.

Charlotte menatap kepergian punggung Horace yang sudah terpaut jarak beberapa langkah dari tempatnya berada. “Lo suka kesel nggak, sih, kalau pacar lo teledor naro barang?” ucap Charlotte mengawali pembicaraan, sebab selepas sepeninggalan Horace keduanya kembali saling bungkam.

Fara menggeleng. “Nggak, soalnya yang teledor itu aing bukan pacar aing jadi yang kesel pasti Harri,” timpal Fara dengan cengengesan.

Charlotte memutar bola matanya saat mendengar jawaban yang tak diharapkan keluar dari belah birai teman perepuan di depannya. “Ih ceroboh banget, jangan kayak gitu lagi nanti lo jadi kebiasaan hilangin barang tau!” seru Charlotte, berusaha mengingatkan perihal kebiasaan jelek dari teman barunya.

“Ih maneh mirip sama Grace, bawel terus galak!”

“Mana ada galak!”

“Ya, itu tadi buktinya marahin aing!”

Oh my gosh… itu gue lagi ngasih petuah sama lo biar nggak ceroboh lagi! Bukan galak or whatever, i don’t even care!”

Sayup-sayup perdebatan tak sengaja sampai pada telinga lelaki yang semula asyik bernyanyi riang dengan beberapa kawanannya. Harri sontak mengedarkan pandangan, membidik mencari keberadaan Fara yang nampaknya perempuan itu sedang tersulut emosi.

“Bagus, Char, marahin aja tah si Fara soalnya teledor pisan anaknya, teh!” teriak Harri yang dihadiahi tatapan sengit oleh seseorang di sana. Namun, ia sendiri tak memedulikan tatapan itu. Justru Harri menjulurkan lidahnya sebagai tanda bahwa ia tengah mengejek kekasihnya.

“Harri onyet, sebel lah banget aku sama dia!”


Malam makin larut, terlihat dari bulan kian temaram akibat tertutupi oleh awan abu yang mengelilinginya. Pawana yang datang pun tak sesejuk sebelumnya dan terkesan berkali-kali lipat lebih dingin. Bulu-bulu halus pada kedua tangannya mungkin dengan sukarela berdiri saat terpaan angin datang dan menyergap raganya. Beruntungnya kobaran api di depannya justru memberikan hal kontradiktif sebab kini tubuhnya terasa hangat.

“Gue awalnya gitu, Far, nggak mau punya sister. Tapi pas my sister born into the world, gue excited banget.” Hartigan mengangguk, menyetujui ucapan Farzan. “Bener, bahkan saking bahagianya itu anak selalu ngajak adiknya kalau kita lagi nongkrong. Katanya biar orang-orang tau dia punya adik yang cakep.” Farzan hanya membalas ucapan Hartigan dengan sebuah tawa kecil dan secara tidak langsung ia telah mengiakan ucapan dari temannya.

“Kalau anak satu itu beda, dia suka rungsing kalau adiknya mau ikut nongkrong sama kita.” Jaya menunjuk ke arah lelaki yang sedang asyik menikmati makanan sedari tadi seperti tak tertarik dengan obrolan mereka.

Rungsing apaan?” tanya Samuel heran.

“Uring-uringan,” timpal Rakha cepat dibalas anggukkan paham dari sang empu.

Harri meraih gelas dan segera meneguk air minumnya untuk meloloskan makanan yang masih hinggap di dalam mulutnya dengan mudah. “Anying, aing tau saria semua buaya makanya aing nggak pernah mau ngajak adik aing si Kaila kalau kita lagi nongkrong, biar nggak termakan rayuan saria semua!” hardik Harri tak terima ketika makanan dalam mulutnya sudah sepenuhnya lenyap. “Apalagi sama saria berdua!” tunjuk Harri kepada Jaya dan Yolan secara bergantian.

Yolan yang tengah menikmati secangkir sop buah pun membelalakkan matanya ketika namanya diserukan oleh sang empu. Ia telan cepat-cepat minuman berada di dalam mulutnya. “KENAPA SI AKU?! SI AKU NGGAK NGAPA-NGAPAIN ADIK SI KAMU KAILA!”

Sia buaya banget! Harus jauh-jauh dari adik aing pokoknya!” Harri menggeleng-geleng, menepis jauh-jauh hal yang tidak-tidak berada dalam isi kepalanya. “MASA, YA, MARANEH SEMUA HARUS TAU! SI YOLAN PERNAH NGAJAKIN SI KAILA NONTON KE BIOSKOP BERDUA!” murka Harri, wajahnya telah dipenuhi oleh guratan amarah tak suka. “BERDUA!” Harri mengulang kata-katanya sembari mengacungkan dua jari pada tangan kanan dan kirinya.

Runtutan untaian frasa yang diserukan Harri dengan emosi yang meluap-luap sukses membuat seluruh orang yang berada di meja itu meloloskan sebuah tawa secara bersamaan. Terkecuali tersangka yang menjadi bahan perbincangan sebab ia tengah berkacak pinggang dan melayangkan tatapan tak kalah emosi kepada sang empu.

“Horace juga gitu posesif sama kembarannya,” ucap Charlotte secara tiba-tiba, membuat seseorang yang diserukan namanya membalas ucapan itu melemparkan tatapan tajam ke arahnya.

“Banget!” balas Hartigan lagi-lagi menyetujui ucapan Charlotte.

“Chelsea kenapa nggak diajak, Ras?” tanya Jagat, mengalihkan tatapannya ke arah lelaki itu.

Horace memasukkan satu suapan salad ke dalam mulut, lalu mengunyahnya dengan tempo teratur membuat Jagat yang baru saja melayangkan pertanyaan itu membutuhkan waktu untuk mengetahui jawabannya. “Chelsea nggak pulang, dia liburan di sana.”

“Keren nama kembaran maneh namanya kayak club bola kesukaan babeh aing.”

“Sialan lo!”

Fara menghela napasnya, merasa malu dengan kelakar yang acap kali Harri serukan secara asal. Sekian detik kemudian ia menolehkan wajahnya tatkala sebuah tepukan dirasakan pada bahu kirinya. Alisnya mengangkat, seolah tengah bertanya kepada lelaki di sampingnya yang memperlihatkan raut penuh tanya.

“Mau air minum nggak?” tawar Harri melihat gelas kosong di hadapan kekasihnya. “Aku mau ambil ambil air minum.”

Fara menggeleng, menolak tawaran dari Harri mengenai apakahnya dirinya membutuhkan satu gelas air minum kembali atau tidak. “Okenk.” Selepas itu ia dapat merasakan bangkunya bergerak menandakan seseorang telah beranjak, tanpa harus bersusah payah menolehkan wajahnya pun ia sudah tahu bahwa sosok itu tak ayal adalah kekasihnya sendiri.

“Lo selama ini suka sendirian di rumah, Far?” tanya Samuel retoris dijawab sebuah anggukkan oleh perempuan itu.

“Iya, tapi kadang suka tinggal di rumah kakek nenek di Setiabudi.”

“Nggak kesepian?” tanya Farzan.

“Kesepian, tapi kadang Harri suka dateng nemenin atau aing yang main ke rumah Harri. Berkat dia aing nggak terlalu kesepian banget kayak dulu.” Fara menjawab pertanyaan Samuel sembari menatap pergerakan seorang lelaki di sana tengah menuangkan air ke dalam gelas miliknya. “Berkat dia juga aing bisa duduk di sini sama kalian. Makasih, ya, udah mau main ke rumah aing.” Tatapannya beralih dan menatap netra orang-orang berada di sekelilingnya satu per satu dan menarik kedua ujung bibirnya.

Senyum Fara makin merekah tatkala merasakan sebuah usapan halus yang berduyun-duyun diberikan dua orang sekaligus padanya. Grace mengelus punggung tangannya; Charlotte mengelus pundaknya; jua orang-orang di sana membalas ucapannya dengan senyuman tak salah riang dari senyuman yang ia berikan sebelumnya.

“Tapi, gue akui emang Harri anaknya totalitas banget, sih. Dulu aja waktu awal Jale pindah ke Bandung, dia ngelakuin segala hal biar temen gue itu nyaman tinggal di sini,” sahut Hartigan, menunjuk Harri yang berada di sana serta Jagat secara bergantian.

Fara membenarkan semua ucapan yang dilontarkan Hartigan di dalam hatinya. Ia bisa merasakan sendiri acap kali Harri datang dan membawa sejuta ide konyol yang selalu membuat dirinya bahagia atas perlakuan sekecil apapun darinya. Rasanya ia ingin mendeklarasikan secara rinci semua tindakan dari lelaki itu untuknya, namun apabila harus menceritakan dalam satu malam rasanya sangat tidak cukup. Mungkin ia membutuhkan waktu sekurangnya satu minggu atau bisa jadi lebih dari itu. Sudah terbayang, kan, sebanyak apa perlakuan lelaki itu untuknya?

Fara selalu merasa dispesialkan walaupun ia tak pernah memintanya. Bahkan ia masih ingat sebuah kalimat yang selalu Harri ucapkan untuknya. Aing nggak akan pernah ngizinin siapapun buat maneh sedih, Sel. Karena aing di sini berjuang susah payah buat maneh bahagia. Semua ucapan Harri tak pernah diingkari. Nyatanya lelaki itu memang selalu berhasil membuat dirinya selalu bahagia, pun makin jatuh kepadanya.

Aing apaan?” tanya Harri penasaran setelah kembali menyambangi dan duduk di tempat semula. “Sia, Suharti, ngomongin aing apaan?!”

“Kepo lo, Asep!”

Anying sia, Daniel!” Harri melemparkan gelas plastik miliknya yang sudah ia remas sebelumnya ke arah tepat lelaki itu berada.

Hartigan menggebrak meja, tak terima lemparan gelas plastik itu mengenai makanan yang tengah ia santap dengan lahap. “Anjing lo, Asep! Gue lagi makan, bego!” hardik Hartigan, melemparkan kembali gelas plastik tersebut kepada sang empu dan menatap sengit ke arah sang lawan.

Entah sudah berapa kali mereka semua menatap lelah ke arah Harri dan Hartigan yang sedari tadi tak lelah saling menyumpahi disertai runtutan kalimat umpatan yang tak lupa mereka lontarkan. Fara hampir melupakan sebuah fakta bahwa dibalik Harri Agung yang selalu totalitas dan penuh ambisi, emosi lelaki itu bersumbu pendek.


“Kertas, gunting, batu!”

Rock, paper, scissors!”

Fara terkekeh saat mendengar perbedaan bahasa yang mereka gunakan, namun beberapa kemudian kekehan itu tergantikan oleh celotehan tak terima. “IH KENAPA AING YANG HARUS BERSIHIN!” ketus Fara, tangan kanannya masih setia mengepal seperti enggan untuk menurunkannya.

“Lo kalah, Fara, jadi lo yang harus bersihin semuanya,” timpal Charlotte seraya menjulurkan lidah, mengejek sebab dirinya terbebas dari hukuman yang telah disepakati sebelumnya secara bersaa.

“TEMENIN ATUH SAMA SATU ORANG LAGI MASA AING HARUS BERSIHIN SEMUA INI SENDIRIAN?!”

“Hag yang nemenin,” ucap Jaya secara tiba-tiba, sembari meninggalkan meja agar Fara dapat membersihkan sampah-sampah berserakan dengan leluasa.

Harri yang tengah asyik menikmati potongan demi potongan buah segar pun sontak menghentikan kunyahannya dan segera menoleh pada sumber suara. “APAAN KENAPA MALAH AING?!”

Hartigan sudah berancang-ancang berdiri dan siap meninggalkan meja untuk segera menyusul kepergian Jaya, namun mendengar selepas Harri menyerukan sebuah kalimat membuat dirinya mengurungkan niat. “Lo pacarnya, harusnya lo temenin dia, lah!” timpal Hartigan dibalas gelengan cepat dari Harri yang ia yakini bahwa itu adalah jawaban penolakan. “WAH PARAH BANGET, FAR, MASA COWOK LO NGGAK MAU BANTUIN LO!” Hartigan sahaja memprovokasi sebab ia menyukai melihat lelaki itu yang mudah tersulut emosi.

Harri dibuat gelapan, ia melirik wajah kekasihnya untuk memastikan apakah perempuan itu sudah terprovokasi dengan ucapan dari Hartigan atau bahkan sebaliknya. Ketika melihat sarat wajah Fara yang menampilkan raut tenang, ia dapat bernapas lega. Namun tak selang lama, ia membelalakan matanya saat menyadari raut perubahan yang terpancar pada wajah kekasihnya. Maka, dengan cekatan ia segera berjalan mendekati Fara sebab takut dirinya akan mendapatkan amarah dari kekasihnya.

Harri meraih kantong plastik dan memasukkan satu per satu sampah berserakan di atas meja ke dalamnya dengan telaten. Sesekali ia mendapatkan runtutan celoteh sebab dirinya turut andil membuat kegaduhan sehingga banyaknya sampah yang terbuang tak beraturan.

“Kamu, sih, lempar-lemparin ini-itu, jadi, kita sekarang harus pungutin satu per satu!”

Harri membuka lebar-lebar telinganya untuk ia serahkan secara penuh akan kalimat protes yang sahaja dilayangkan untuknya tanpa membantahnya. “Iya, maaf, ya, geulis.” Di antara semua kalimat yang bisa ia ucapkan, hanya itu yang mampu Harri balas agar dirinya tak mendapatkan celotehan yang entah sampai kapan perempuan itu akan terus-menerus mengungkitnya.

“Nanti yang cuci piring biar sama aku, aja. Kamu nanti buangin sampah nya aja yang udah aku kumpulin.”

“Kenapa gitu?” jawab Fara heran.

“Nggak apa-apa, kasian maneh kalau harus nyuci banyak. Lagian aing udah biasa, kok, cuci piring sebanyak itu di rumah. Sudah terlatih sejak dini,” sahut Harri dengan berguyon ria.

Fara mengangguk memahami. “Ya udah, tapi nanti yang bagian ngelap piring yang udah kamu cuci sama aku, ya.”

“Iya boleh, Isel.”

Bekerja secara bersama memang cukup meringankan, terlebih ketika ia menyadari betapa cekatannya Harri untuk mengumpulkan sampah yang bersebaran di mana-mana. Namun tentunya pekerjaan mereka berdua tak sampai di situ, mengingat masih ada hal yang harus cepat diselesaikan agar mereka berdua dapat segera bergabung dengan teman-temannya yang lebih dulu sudah berdiam di ruang keluarga dan menyaksikan serial film bersama-sama.

“Yang, makasih, ya. Kamu udah bawa mereka ke rumah aku, apalagi ditambah bawa temen-temennya Jagat dari Jakarta. Ternyata mereka nggak semenyebalkan itu, ya.”

Harri tersenyum selaras dengan kedua tangannya yang masih disibukkan untuk mengelap meja bekas mereka pakai. “Sama-sama, Isel. Kan, aku udah bilang kalau temen aku itu temen kamu juga.” Kemudian, bekas selampai yang sudah ia gunakan untuk membersihkan meja dari noda-noda yang tercecer diserakkan kepada perempuan di sebelahnya.

BTW, ayah pulangnya kapan, katanya?”

Fara menggeleng. Tangannya sibuk melipat-lipat asal selampai yang sudah berada dalam genggamanya. “Nggak tau, kayaknya lusa atau tiga harian lagi mungkin,” jawabnya sembari mengedikkan bahu, lalu selampai itu ia bawa untuk membersihkan bagian meja yang tak terjangkau kekasihnya.

Harri mengangguk-angguk seolah memahami tuturan dari kekasihnya. Matanya yang semula memandang meja di bawahnya, kini beralih untuk memperhatikan keadaan sekitar dengan sekilas. Harri menggeser tubuhnya, menghapus jarak yang memisahkan antara dirinya dengan sang kekasih.

“Sel!” seru Harri sembari menepuk pundak perempuan itu sebanyak dua kali dengan teramat pelan dan terkesan tak bertenaga, sebab tak mau apabila ia menepuk terlalu kencang akan meninggalkan bekas di sana.

Fara menolehkan wajahnya seakan-akan tengah memperlihatkan raut bertanya mengapa lelaki itu telah memanggilnya. Alih-alih menjawab, Harri justru berdiam sembari memperlihatkan sebuah senyuman yang sukses membuat dirinya makin dibuat bingung.

“Ih, nggak jelas!” ketus Fara sebab tak kunjung mendapatkan penjelasan dari Harri yang sudah mengusik dirinya ari pekerjaan tengah dilakukannya.

Harri terkekeh melihat raut kesal yang tercipta di wajah sang kekasih. Namun kemudian sebuah ide konyol mendatangi pikirannya setelah sekelebat memori perihal tempo hari tak sengaja ia ingat kembali. Maka, dengan harap-harap ia dapat membalas perbuatan perempuan itu yang telah berhasil membuat dirinya tak karuan sampai beberapa hari pasca kejadian.

“Sel, Sel!”

Fara yang baru saja akan menolehkan wajahnya dibuat terkesiap kala lelaki itu mengecup singkat pipinya sekilas. “AP—” Bahkan terlampau terkejut, ia sampai tak bisa menyelesaikan ucapannya. Sementara sang tersangka hanya membalasnya dengan sebuah senyuman jahil yang memang secara khusus diperuntukan bagi dirinya.

“BUSET, MALEM-MALEM DINGIN GINI EMANG ENAK BAT DAH, YE, DIKASIH KECUPAN SAMA PACAR. DIA KIRA INI TEMPAT CUMAN MILIK BERDUA KALI, YE, RAS!” sindir Hartigan penuh luapan emosi. Ia serta Horace tak sengaja melihat adegan itu dengan mata kepalanya sendiri.

Harri otomatis melunturkan senyumannya yang semula ia terbitkan dengan sahaja pada wajahnya. Tetapi sesaat kemudian ia dibuat salah tingkah ketika menyadari kehadiran orang lain selain mereka berdua. Ia refleks menggeser tubuhnya, memberikan ruang kosong di tengah-tengah antara mereka berdua. Jika seandainya ia mengetahui ada pasang mata yang lain, tentu saja ia tak akan seberani itu melakukan hal tersebut.

Ironisnya, ia tak bisa membalikkan tubuh dan menyanggah ucapan yang dilayangkan lelaki itu kepadanya. Harri justru dibuat bergeming di tempat sebab ia tengah bersikeras menyembunyikan rasa malu akibat telah tertangkap basah melayangkan sebuah ciuman kepada sang puan. Pun, seseorang di sampingnya yang ikut terdiam dan enggan mengeluarkan sepatah kata kepada orang yang telah mengecup pipinya secara tiba-tiba.

Mendengar sayup-sayup langkah yang menjauhi mereka, lantas Fara segera menolehkan wajahnya dan mendaratkan sebuah pukulan secara bertubi-tubi kepada kekasihnya.

“ONYET IH KENAPA MALAH CIUM AKU!”

AING SENGAJA MAU BALAS DENDAM YANG WAKTU ITU, IH! SI MONYET SUHARTI MALAH LIAT ADEGAN ITU AING SANGAT AMAT MALU ANYING GIMANA INI KALAU DIA CEPLOSIN KE ANAK-ANAK DI DALEM, YANG?!” Panik Harri tak bisa disembunyikan terlihat dari kedua netranya tengah memancarkan tatapan penuh kekhawatiran.

Alih-alih membantu menghilangkan kekhawatiran yang tidak-tidak dalam pikirannya, justru Fara meninggalkannya seorang diri dan memilih untuk berjalan menyambangi kediamannya.

“YANG, IH! AING MALAH DITINGGAL LAH PARAH PISAN!”

Baru saja Harri melangkahkan kakinya, namun dengan cepat ia kembali mengurungkan niatnya sebab Harri tahu betul apabila mengikuti jejak sang puan ia akan diolok-olok habis-habisan oleh teman-temannya di dalam.

“HARTIGAN CEPU JIANTARA!”

Amarah Harri bergejolak saat mendengar namanya diserukan dengan lantang oleh para insan di dalam ruangan itu lalu diiringi sebuah tawa menggelegar yang ia pastikan bahwa Hartigan memang sudah memberitahu perihal kejadian yang telah dilihatnya. Lagi-lagi atas kebodohannya sendiri Harri harus mampu menahan rasa malunya. Padahal sebelumnya Harri sudah memastikan bahwa keadaan sekelilingnya benar-benar sunyi dan tak menampilkan seorang pun berada di sekitarnya. Kendatinya, memang semesta senang menjahilinya.

Kolase Asmara resmi selesai, 15/12/2022.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


cw // kiss


Disarankan sambil denger playlist ini: https://open.spotify.com/playlist/0qMiaNE78nEE8WhJlQL493?si=58c50612157e48ba


Jari-jemari sang puan terlihat lihai mengibas, menciptakan rasa sejuk menggunakan tangannya tepat di depan parasnya nan elok. Perempuan itu sesekali mencebikkan bibirnya disertai runtutan frasa sumpah-serapah yang sahaja ia serukan dalam hatinya. Surainya yang lepek membuat sang puan tak dapat membendung lagi rasa kesalnya. Hingga tepat di detik kesepuluh, ia secara tak sadar menghentakkan kedua tungkainya dengan pelan namun masih dapat terdengar jelas oleh seseorang di sampingnya.

Tanpa sebuah klausa yang diucapkan, Harri lekas segera sembarang melipat kertas brosur berada dalam genggamannya kala melihat aksi sang kekasih. Berbicara mengenai mengapa Harri bisa mendapatkan secarik brosur itu, sebab ketika keduanya tengah terdiam sekonyong-konyong seseorang datang dan sukarela memberi beberapa kertas penuh aksara mengenai sebuah produk tersebut kepadanya. Tentu sebagai tata krama yang telah ia dapatkan dari keluarga kecilnya, maka dengan sukacita Harri menerimanya. Terbukti kertas tersebut dapat ia gunakan untuk menciptakan angin buatan walau tak begitu kencang.

“Iket aja atuh rambutnya, kamu bawa iketan nggak?” ujar Harri di sela-sela mengibaskan angin buatan untuk sang kekasih.

Gelengan dari Fara sukses membuat Harri meloloskan sebuah helaan napasnya. Harri sahaja mengedarkan pandangannya, berusaha menemukan suatu objek yang dapat mengatasi masalah tengah dirasakan kekasihnya. Beruntungnya tak lama dari situ, netra Harri telah berhasil menemukan sebuah tempat teramat begitu menarik untuknya. Harri menolehkan wajahnya ke arah samping lalu merangkul pundak kekasihnya untuk mengikuti langkahnya menuju suatu tempat di seberang sana.

“Duduk di sana dulu we, yuk, Yang. Nggak usah ngantri-ngantrilah, kita mah nonton konsernya nggak usah di depan. Mending di belakang lebih enak dan lebih leluasa.”

Fara melirik ke arah yang dimaksud oleh Harri di sela-sela kedua tungkainya melangkah—mengikuti langkah sang kekasih untuk menyambangi tempat yang dimaksud. Fara pun tak bisa menolak sebab dalam lubuk hatinya pun menginginkan suatu hal yang sama. Fara ingin segera mengistirahatkan kedua kakinya yang teramat pegal, pun rasa panas yang sedari tadi terus-menerus diusik oleh sinar matahari di atas sana.

“Ponco teh dibawa, kan, Yang?” tanya Harri.

Fara mengangguk setelah mendudukkan dirinya persis di seberang Harri. Ia menepuk ransel hitam yang berada di atas meja seolah tengah menyakinkan bahwa barang yang dicari kekasihnya aman terkendali di bawah jangkauannya. “Iya, dibawa. Ada di sini.” Harri mengacungkan jempol kanannya, merasa bangga dengan Fara yang telah menuruti perintahnya.

Kota Bandung akhir-akhir ini sedang rewel, seringkali cuaca tak bersahabat dan terkesan tak acuh dengan masyarakat pribuminya. Tak menutup kemungkinan raja siang di atas sana yang tengah menyombongkan dirinya dengan sinar matahari begitu terik akan berubah menjadi percikan air yang perlahan turun dari atas langit sana.

“Aku mau makan mi ayam dulu, ah. Soalnya yakin pisan kalau udah di dalem mah makanannya mahal-mahal!” Harri mengerlingkan kedua matanya. Ia mulai bangkit dengan menjadikan kedua tungkainya sebagai tumpuan. “Kamu mau apa, Yang?”

“Mau ifumi.”

Harri mengangguk dan mencatat pesanan sang kekasih baik-baik dalam kepalanya. Baru saja ia akan melangkah namun tiba-tiba sebuah suara lebih dulu menginterupsinya. Sontak membuat Harri urung dan kembali menatap kedua manik perempuan itu penuh kasih.

“Sama nutrisari milky mango tapi es nya harus yang banyak, banyak, banyak, BANGET!”

Harri terkekeh pelan, menghantarkan rasa hangat yang memasuki raganya secara perlahan. Ia mengacungkan jari jempolnya, memberikan sebuah isyarat bahwa apa yang diinginkan oleh perempuan itu akan segera ia kabulkan dengan senang hati.

Ingar-bingar tercipta begitu meriah diserukan oleh saban insan di depan sana. Perempuan pemilik surai hitam yang berkilau hanya dapat memandang sekumpulan orang-orang di sana dengan tatapan iba.

Raksi makanan secara tiba-tiba menginvasi indra penciumannya tanpa permisi. Hal tersebut mampu mengalihkan atensinya untuk segera menolehkan wajah dan membidik ke arah sumber raksi itu berada.

Obsidian indahnya mulai dipenuhi oleh kepulan asap yang diciptakan dari makanan berada dalam tapak lengan Harri. Fara sahaja memejamkan kedua matanya untuk sekadar menghirup aroma tersebut ketika kekasihnya sudah kembali duduk di hadapannya. Di bawah alam sadarnya, kepala Fara bergerak mengikuti kepulan asap itu berlari. “Hah, harumnya!” puji selepas menhirup dalam-dalam aroma yang mampu menggugah seleranya.

Harri dengan cekatan menahan surai sang kekasih yang terurai agar tak masuk ke dalam mangkuk mi ayam miliknya. “Rambut kamu ih itu, Sel. Iket dulu coba.” Harri melepaskan gelang yang semula melingkari pergelangan tangannya, lalu menyerahkan kepada perempuan di hadapannya.

Fara mengernyitkan kening tatkala melihat lelaki itu mengulurkan suatu barang kepadanya tanpa penjelasan lebih. “Apaan?”

“Pake gelang aing dulu aja buat ngiket rambutnya, soalnya aing nggak punya iket rambut.” Harri kembali menggerakkan gelang hitam miliknya agar perempuan itu bergegas meraihnya tanpa harus membuat dirinya menunggu lebih lama lagi.

“Takut rusak.”

“Nggak apa-apa, daripada maneh kesusahan makannya.”

“Ya udah kalau gitu.” Fara meraih gelang hitam milik kekasihnya untuk segera ia ikatkan pada surai hitam nan lebatnya. “Makasih, Harri!” lanjutnya menjulurkan lidah ke arah lelaki itu setelah surainya sudah berhasil ia ikat dengan barang seadanya.

Harap-harap mendapatkan sebuah celotehan dari lelaki itu, Harri justru berdecak diiringi matanya yang mengerling saat mendengar namanya diserukan begitu saja dengan entengnya oleh sang kekasih.

Fara melemparkan tatapan penuh tanya ketika ia hendak mengambil satu suapan makanan miliknya, namun secara tiba-tiba Harri menepis lengannya dengan cepat.

“Sama aku tiupin dulu, kamu mah kebiasaan suka nggak sabaran. Nanti teh ngelepuh lidahnya terus BT nya mah ke aku,” sindir Harri sembari memutar bola matanya malas.

Fara mencebikkan bibirnya seolah tengah mengulangi perkataan kekasihnya. Harri yang tak sengaja mengedarkan pandangan ke depannya pun sontak menatap sengit perempuan itu, namun sayangnya tatapan maut yang dilemparkan olehnya seakan tak berarti untuk Fara. Terlihat dari sang puan yang masih setia mengikuti pergerakan yang dilakukan kekasihnya.

Lantas Harri tak mengindahkan Fara dan memilih untuk meniup satu suapan ifumi dengan telaten agar kekasihnya dapat segera melahapnya. Sementara Fara bergeming sembari menatap lamat lelaki di hadapannya tengah meniup-niup makanan miliknya. Padahal Fara sendiri tak meminta Harri meniupkan untuknya sebab ia pun tentu dapat melakukannya itu sendiri, namun nampaknya lelaki itu tetap bersikeras membuat dirinya pun sukarela mengiakan keinginan Harri.

Harri membuka mulutnya, membawa satu suapan ifumi tersebut ke depan mulutnya. Fara terlihat malu-malu untuk menerima suapan tersebut, akan tetapi ketika ia sahaja mengedarkan pandangan dan tempat di sekelilingnya tidak memperlihatkan siapa pun selain mereka berdua, ia pun dengan cepat segera melahap suapan tersebut.

“Pinter, anaknya Papa besok langsung sekolah, ya,” ejek Harri seraya mengusap-ngusap puncak kepalanya dengan penuh sayang, seolah-olah tengah memuji anak kecil yang berhasil menyantap makan siang dengan lahap.

Fara berdecak sebal. Ia layangkan tatapan tak suka namun ironisnya tatapan itu tak digubris oleh sang empu. Fara pun bergegas meraih sendoknya setelah lelaki itu menyerahkan kembali kepadanya. Keheningan mulai tercipta sebab kedua sejoli itu saat ini tengah menikmati satu mangkuk mi ayam dan ifumi dengan khusyuk.

“Ih tapi kita salah nggak sih, Yang, malah makan dulu?!” ujar Fara setelah memasukkan satu suapan ifumi ke dalam kerongkongannya. Melihat lelaki itu hanya memandang ke arahnya disertai alis yang terangkat membuat Fara melanjutkan kembali ucapan yang sempat terhenti. “Aku takut nanti kita bakalan kalikiben kalau makan dulu, kan kita mau joget bukan?!”

Belum sempat Harri menelan makanannya, ia justru dibuat tersedak oleh kalimat yang baru saja dilontarkan sang kekasih. “EH, KENAPA YANG?!” Fara terkesiap. Ia dengan cepat menyerahkan gelas miliknya ke arah lelaki itu. Pun, Harri segera meraihnya sebab kini mulutnya tak kunjung henti terbatuk-batuk.

Maneh ngomong kayak gitu seakan-akan mau moshing dan mengguncangkan satu dunia aja, anjir!” ketus Harri selepas selesai menenggak air minum untuk menghilangkan rasa batuk yang telah menyakiti tenggorokannya.

Tawa Fara menggelegar kala untaian frasa tersebut terdengar jelas oleh kedua rungunya. Psithurism siang itu membantu mengisi kekosongan yang tercipta sebab sang empu tengah menikmati hidangan dalam mulutnya. Sesekali tak jarang mereka saling menyelipkan obrolan kecil untuk memberikan suasana ramai agar suasana di sana tak begitu sunyi. Entah memang kebetulan atau tidak, mereka berdua berhasil membuat sebagian orang turut mengikuti jejaknya. Bangku-bangku yang sebelumnya kosong tak berpenghuni, secara kini telah terisi satu per satu. Jua, mereka berdua tak perlu susah payah untuk berbincang sebab suasana ramai itu telah berdatangan dengan sendirinya.


Tak terhitung sudah berapa lama ia berdiri dengan kedua tungkai di atas bentala tengah dipijaknya, yang pasti ia masih ingat betul matahari yang semula berada di atas kepalanya kini sudah tak berada di sana lagi. Angin sepoi-sepoi secara tiba-tiba datang dan berusaha mengalihkan atensinya dari rasa kesal yang tengah dirasakannya. Namun, nyatanya angin tersebut kalah telak dengan ego sang puan yang sulit untuk dirayu.

“Lama banget, ih, nggak mula-mulai!”

Harri yang berada tepat di samping Fara menghela napasnya. Ia mengelus surai sang kekasih kemudian beralih mengelus pundak perempuan itu seraya menarik kedua ujung bibirnya, membentuk sebuah lengkungan nan indah. “Sekarang masih panas nggak, Yang?” tanyanya berusaha mengalihkan perhatiaan perempuan di sebelahnya.

Alih-alih menjawabnya secara lisan, Fara justru menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan yang telah dilontarkan Harri untuknya.

Harri melepaskan topi miliknya lalu ia simpan di atas kepala Fara untuk mengurangi rasa panas akibat teriknya sinar matahari di atas sana. Ia hanya tidak ingin membuat kekasihnya kembali memberengut, terlebih ia tak mau apabila hal itu justru akan berakibat untuknya.

“Pake, biar nggak langsung kena kepala maneh.” Harri segera mengeluarkan suaranya ketika ia melihat gerak-gerik Fara yang berancang-ancang akan melepaskan topi miliknya.

Kini manik Harri terjatuh pada lengan Fara yang tengah menengadah di depannya. “Apa?” tanya dirinya dengan sebelah alis yang terangkat.

“Ayo, ih, pegangan tangan!”

Harri menggeleng. “Nggak mau, ah, malu! Diliatin banyak orang.” Netra Harri beralih untuk mengedarkan pandangan pada di sekelilingnya.

Fara merengut kesal. Ia kembali menghentakkan lengannya di udara. “Kenapa malu?! Liat, kamu liat, tuh!” Fara menunjuk satu per satu pasangan yang tak jauh dari tempatnya berpijak menggunakan dagunya. “Mereka semua juga pada pegangan tangan!” Fara merajuk disertai bibirnya yang mengerucut.

Maka, satu respons yang terlontar dari birai Harri hanyalah helaan napas penuh makna di dalamnya. Lantas tangannya terulur, segera meraih tangan sang kekasih untuk menyelipkan jari-jemari mereka dalam tautan hangat.

“Nih, udah.”

Harri mengangkat tautan lengan mereka persis di depan netra sang kekasih. Alih-alih mendapatkan untaian frasa tak suka, ia justru mendapatkan sebuah senyuman manis yang dilemparkan secara sukacita oleh perempuan di sampingnya. Sementara netranya masih setia mematri obsidian hitam sang kekasih.

“Mulainya masih lama, Yang. Mau duduk dulu sekalian nunggu nggak?” tanya Harri dihadiahi anggukkan pelan dari sang kekasih.

“Boleh.”

Selepas mendapat persetujuan dari Fara, Harri pun membawa langkah mereka untuk menyambangi suatu tempat yang jauh dari lalu-lalang kerumunan orang sekitar. Fara hendak akan melayangkan celotehannya kala genggaman mereka terputus begitu saja secara sepihak, namun saat melihat lelaki itu justru tengah membersihkan tempat yang akan mereka duduki pun segera ia telan kembali kalimat-kalimat tersebut yang sudah berada di ujung lidahnya.

“Udah bersih, Yang! Sini duduk!” Harri menepuk tempat di sebelahnya disertai senyuman yang terpancar di wajahnya.

Tanpa bersusah payah untuk menggerakan bibirnya, ia bergegas menuruti perintah sang kekasih dengan cepat. Tautan yang semula terlepas, saat ini sudah kembali saling mengaitkan jari-jemari mereka seperti semula. Sejujurnya Fara sendiri terkesiap melihat reaksi dari kekasihnya yang berbanding terbalik dengan sebelumnya.

“Ayah jadi lamar Tante Fifi minggu depan?” tanya Harri secara tiba-tiba mampu mengalihkan atensi Fara dari kerumunan orang-orang di depannya.

Fara menjadi orang pertama yang memutuskan tatapan. Ia mengedikkan pelan bahunya. “Jadi kayaknya, nggak tau juga.”

Merasa perubahan suasana hati kekasihnya tak bersahabat, lantas Harri segera menarik lengannya dari sebuah genggaman hangat untuk merangkul pundak perempuan itu disertai usapan-usapan kecil.

Aing nggak sabar nunggu maneh ada yang teteh-in, deh.” Ucapan dari Harri berhasil membuat guratan-guratan halus tercipta pada kening Fara. “Teteh isel adek mau makan, suapin.”

“Itu mah maneh kali kalau lagi manja sama aing!”

“Hahaha bener sih.” Usapan-usapan pada pundak kini telah beralih untuk mengelus punggung Fara penuh kasih. “Tapi aing yakin nanti kalau maneh jadi kakak. Maneh bakalan jadi sosok kakak yang terhebat satu Kopo, percaya sama aing. Bahkan nanti aing sendiri akan tersingkirkan menjadi kakak yang terbaik, soalnya masih kalah saing sama maneh.” Harri menepuk puncak kepalanya berkali-kali dengan lembut.

“Nanti kalau ayah nikah kamu harus dateng temenin aku, aku nggak mau sendirian.”

Harri tersenyum dan mengangguk. “Iya, geulis. Nanti aku bakalan dateng dan nemenin kamu biar nggak kesepian. Aku sekalian bawa anak-anak, deh, biar makin rame juga,” sahut Harri sembari melirik sekilas ke arah tangan Fara, lalu meraihnya dan mengusap-ngusapnya dengan pelan. “Itu juga kalau dibolehin sama maneh, sih.” Harri tatap kedua obsidian hitam di depannya dengan tatapan penuh puja.

“Boleh!” timpal Fara cepat seraya menganggukkan kepalanya, tak mau apabila lelaki itu akan kembali menarik kata-katanya. “Aku juga pasti ngundang mereka ke pernikahan ayah.”

Harri mengangguk dan menghentikan usapan yang ia salurkan kepada punggung tangan kekasihnya. “Okenk.” Kemudian tak lama tangan kanannya kembali hinggap di atas puncak kepala Fara. Ia kembali menepuk-nepuknya dengan penuh kasih. Setelah itu Harri kembali memeluk kedua lututnya dan memusatkan pandangan ke objek di depannya.

Fara yang diperlakukan seperti itu, hatinya ikut terenyuh tatkala puncak kepalanya ditepuk penuh kasih oleh lelaki di sampingnya. Ia menerbitkan sebuah senyuman manis ketika obsidian hitamnya menatap lamat wajah sang kekasih dari dekat. Kulit eksotis dipadukan dengan surai hitamnya mampu membuat perhatiannya terhipnotis secara sukacita. Rahangnya yang tegas berkali-kali terlihat jauh lebih indah apabila sang empu memamerkan sebuah senyuman yang acap kali membuatnya candu ketika matanya bertemu.

Aing emang ganteng, sih, Yang. Nggak usah ditatap kayak gitu juga soalnya aing suka malu,” ucap Harri sembari menolehkan wajah ke arah samping dan mengunci pandangannya dengan perempuan itu.

Fara membelakakan kedua matanya ketika ia tertangkap basah sedang pandangi wajah tampan lelaki kelahiran bulan Juni secara diam-diam. Kepalanya sontak mundur saat menyadari wajah mereka hanya menyisakan jarak yang terpaut beberapa jengkal saja. Bukan hanya Fara yang terkejut, Harri pun sama terkejutnya melihat wajah mereka sangat berdekatan.

“Anjir aing kaget! Maneh kenapa deket pisan liatin muka aing nya?!”

“UDAH ATUH JANGAN DIBAHAS TERUS! DA AKU TEH MALU KETAUAN LAGI NATAP KAMU MEUNI NGGAK PEKA PISAN!”

Entah mengapa debaran jantung Harri berdegup kencang berkali-kali lipat dari biasanya. Ia berdeham untuk menghilangkan rasa kecanggungan dengan sang kekasih pasca kejadian beberapa menit lalu. Bahkan, selama hampir lima menit lamanya Harri tak berani untuk menolehkan wajahnya dan menatap kembali wajah sang kekasih.

“Aku jadi salfok sama rambut kamu.” Fara menyentuh surai hitam lelaki yang masih setia menatap objek lain selain dirinya. “Udah gondrong gini, nggak akan dipotong? Takutnya malah kena razia.” Tangannya sesekali mengelus dan merapikan surai sang kekasih akibat ikut terhempas oleh angin yang secara tiba-tiba datang membuatnya berantakan.

Harri ikut menyentuh surainya untuk memastikan apakah ia perlu dengan cepat memotongnya atau tidak. “Belum lewatin telinga da, masih aman,” sahut Harri.

Fara mengangguk. Ia melepaskan tangannya dari rambut lelaki itu untuk melirik arloji yang berada pada pergelangan tangan kanannya. Alisnya menukik ketika arloji tersebut menunjukkan pukul tiga sore, artinya sudah hampir satu jam ia menunggu namun rupanya konser tersebut belum terlihat tanda-tanda akan segera dimulai. Sinar matahari pun tak se-terik semula, bahkan suasana kali ini cukup terbilang sejuk sebab beberapa kali angin datang dan membuat suasana hatinya kembali membaik.

Punteun A, manawi gaduh korek? Abdi bade nambut sakedap.”

Permisi Bang, barangkali punya korek? Saya mau pinjem sebentar.

Harri refleks meraba saku celananya dan menggeleng cepat. “Aduh, punteun A abdi teu ngaroko janten teu gaduh korek. Tapi upami Aa butuh pisan mah hayu abdi bantosan milarianna.”

Aduh, maaf A saya nggak ngerokok jadi nggak punya korek. Tapi kalau Aa butuh banget ayo saya bantuin cari.

Lelaki asing itu menggeleng, menolak secara halus ucapannya. “Eh, teu kedah A sawios abdi janten teu enak atos ganggu Aa sareng si tetehna. Hapunten pisan.”

Eh, nggak usah Bang nggak apa-apa saya jadi nggak enak udah ganggu Abang sama Mba-nya. Maaf banget.

Harri menegakkan tubuhnya. Ia tersenyum kecil sembari lagi-lagi menggelengkan kepalanya tak bosan. “Teu sawios, Aa nyalira sanes didieu?

Nggak masalah, Abang sendiri bukan di sini?

Henteu, kaleresan abdi teh sareng kabogoh teras sareng rerencangan. Nu sanesna mah aya di payun, mung abdi hungkul nu ngaroko janten abdi kaditu kadieu milarian nyalira da teu enak bade ngaroko diditu mayoritas istri tea.”

Nggak, kebetulan saya sama pacar dan temen-temen. Yang lainnya ada di depan, cuman saya aja yang ngerokok jadi saya ke sana ke sini nyari sendiri soalnya nggak enak mau ngerokok di sana mayoritas perempuan.

Pandangan Harri otomatis mengikuti arah yang ditunjuk lelaki asing itu di depannya. Harri yang semula duduk kini sudah sepenuhnya berdiri, pun Fara yang melihatnya langsung mengikuti pergerakan kekasihnya.

Harri A, abdi linggih di Buah Batu. Ini pacar abdi, Fara,” kenal Harri sembari mengulurkan tangan untuk memberikan salam kepada seseorang yang lebih tingginya beberapa senti itu. Sementara Fara tersenyum dan enggan mengulurkan tangannya, takut apabila perlakuan darinya akan menimbulkan masalah bagi kekasih orang tersebut apabila mengetahuinya.

Harri Bang, saya tinggal di Buah Batu. Ini pacar saya, Fara.

Ramdan, abdi ngekost di Tamansari upami bumi mah di Tasikmalaya.” Lelaki yang bernamakan Ramdan meraih uluran tangan yang diberikan Harri, lalu membalas senyum Fara sebelum akhirnya mengarahkan kembali pandangannya kepada Harri.

Ramdan, saya ngekost di Tamansari kalau rumah di Tasikmalaya.

Harri melebarkan kedua matanya merasa antusias ketika mendengar asal lelaki yang baru berkenalan dengan dirinya beberapa saat lalu. “Tasik na mana, A? Abdi oge gaduh sodara di Tasik di daerah Sukamanah.”

Tasiknya di sebelah mana, Bang? Saya juga punya saudara di Tasik di daerah Sukamanah.

Oh muhun Sukamanah satu kecamatan sareng abdi, abdi di Nagarasari. Hayu atuh ameng A ka Tasik engkin ku abdi ajak ka tempat-tempat anu rame.”

Oh iya Sukamanah satu kecamatan sama saya, saya di Nagarasari. Ayo main ke Tasik Bang nanti saya ajak ke tempat-tempat yang rame.

Kehadiran Fara seakan tak kasat mata oleh kedua orang tersebut yang tengah asyik bercengkerama tanpa memedulian kehadirannya. Ia hanya bisa menghela napasnya ketika melihat Harri begitu mudah akrab dengan orang asing yang baru dikenalnya. Capek pisan aku mah asli kenapa sih si Harri bisa-bisanya cari temen pas lagi nonton konser gini?!

Gas pisan ini mah, A. Punteun atuh sateuacanna abdi nyuhunkeun nomor Aa supados engkin gampil kontek A Ramdan na.” Harri merogoh saku celananya untuk menarik paksa benda pipih tersebut dan menyerahkan kepada seseorang di hadapannya. “Upami tiasa engkin tuliskeun Aa kuliah atau kerja di mana na supados abdi gampil ngingetna.” Ramdan mengangguk dan mulai mengetikan beberapa angka di ponsel milik sang empu.

Gas banget, Bang. Maaf sebelumnya saya minta nomor Abang biar nanti gampang kontek A Ramdan nya. Kalau bisa nanti tulisin Abang kuliah atau kerja di mana nya biar saya gampang ngingetnya.

Sakedapnya geulis,” bisik Harri sembari mengelus pundak Fara dan melayangkan senyuman hangat yang kemudian dibalas anggukkan disertai senyuman tak kalah hangat dari Fara.

Sebentar, ya, cantik.

Bola mata Harri terbelalak ketika melihat nama kontak yang dituliskan oleh lelaki itu. “Aa, ai Aa teh anak ITB?!” tanya Harri masih tak percaya.

Ramdan mengangguk. “Iya.” Sekon kemudian Ramdan mengernyitkan dahinya saat melihat raut wajah orang tersebut yang sulit untuk diartikan olehnya. “Kenapa emang?”

Wah ini mah beneran langsung dikabulin permintaan aing pengen punya temen anak ITB teh. Harri merespons pertanyaan dari Ramdan dengan gelengan cepat agar tak menimbulkan rasa curiga untuk orang tersebut. “Itu Harri udah misscall A Ramdan, ya, A.” Harri memperlihatkan sekilas layar ponselnya untuk meyakinkan lelaki tersebut.

Ramdan lagi-lagi mengangguk. “Siap, atos abdi save. Upami kitu abdi ti payun nya bisi anu sanesna milarian.”

Siap, udah saya save. Kalau gitu saya duluan, ya, takut yang lainnya nyari.

“Korek nggak jadi, A?”

Nggak jadi, nanti abdi milarian di warung we sugan aya. Nuhun nya Harri, Fara, abdi ti payun, mangga.”

Nggak jadi, nanti saya cari di warung kali aja ada. Makasih ya, Harri, Fara, saya duluan.

“Hadeh emang dasar si paling friendly sampe aku dicuekin dari tadi!” ketus Fara, bibirnya mengerucut pun kedua tangannya bersedekap di dada dan pandangannya ia alihkan ke objek yang lain.

Tawa Harri mengalun, membuat Fara yang mendengarnya makin merasa sebal sebab saat ini Harri seperti tengah mengejeknya. Melihat kekasihnya sedang merajuk membuat Harri segera memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celananya, lalu ia berjalan mendekati Fara yang sudah melangkahkan kedua kakinya lebih dulu untuk meninggalkannya.

Harri mensejajarkan langkahnya dengan langkah sang kekasih. “Maaf atuh geuli, kan tadi aku teh udah minta izin bentar dulu bitan ning.” Harri mencolek lengan Fara disertai kedua alisnya yang menaik turun dengan cepat.

Fara menepis lengan lelaki itu yang sedari tadi menyentuhnya tanpa henti. “Jangan colak-colek, aku bukan sabun!”

“Sabun colek meren ah!”

Harri segera menautkan kembali genggaman mereka seperti semula, sebelum perempuan itu akan meninggalkannya kembali. “Langsung ke sana we, ya, Yang. Soalnya orang-orang udah pada lari-larian ke panggung pasti udah mau dimulai.” Sebuah ekspresi yang semula merengut secara tiba-tiba kini sudah berubah menjadi ekspresi riang penuh antusias. Lantas, Harri yang melihatnya ikut terbawa suasana untuk membentuk sebuah kurva pada bibirnya. Sekonyong-konyong genggamannya melayang ke sana dan kemari, sebab perempuan di sebelahnya sahaja mengayunkan akibat perasaan senang tengah menyelimuti dirinya.


Semilir pawana menyergap raga para insan tengah menyenandungkan suara indahnya dengan riang. Alunan musik begitu meriah serta-merta mampu meredam senandung yang berduyun-duyun dilantunkan saban jiwa di sekelilingnya.

Seorang perempuan tengah menggerakkan kepalanya penuh gembira. Tangannya tak henti bergerak selaras dengan gerakan kepalanya, mengikuti alunan musik telah mengisi penuh rungunya. Obsidian hitam miliknya mematri ke arah panggung di depan sana.

Fara sesekali menoleh ke belakang, memastikan kekasihnya masih berada di sana dan tak menghilang dari jangkauannya. Harri yang menangkap jelas pergerakan dari perempuan di depannya sontak kembali menautkan jemari mereka. Pun dengan Harri yang memeluknya dari arah belakang dan mengistirahatkan tangannya yang terbebas di pundak sang kekasih.

“Aku di sini,” ucap Harri seraya berbisik sebab takut akan suaranya tak bisa didengar oleh perempuan dalam dekapannya. Harri cukup tahu bahwa kekasihnya itu tengah ketakutan apabila akan terpisah darinya.

Fara tersenyum dalam anggukkannya. Pandangannya sudah kembali ia pusatkan pada panggung megah di depannya. Kedua rungunya berkali-kali dimanjakan oleh perpaduan alat musik dengan suara indah lelaki atas panggung sana membuat dirinya lagi-lagi mempertontonkan raut gembira yang tercetak pada parasnya secara sukarela bagi siapa pun yang melihatnya.

Jika kau dapat melihat parasmu dari mataku~ Jika kau dapat mendengar suaramu dari telingaku~ Jika kau dapat menyentuh ragamu lewat jemariku~ … … Akan kau tau pasti dirimu t’lah perindah hariku~

Harri menelan ludahnya sebelum ia membawa kepalanya mendekati telinga sang puan dan berbisik, “kekasih… kau bingkisan Tuhan untukku. Sekian lama ku menunggu. Kekasih, ku tergila-gila padamu. Kusajikan bentuk hatiku. Kekasih… dengar janjiku.” Harri bersenandung kecil tepat di sebelah telinga kekasihnya. Lelaki itu mengikuti alunan musik di depannya dan sahaja ia nyanyikan untuk sang puan, masih dengan lengan kanannya yang memeluk erat pundak perempuan itu.

Jangan tanyakan perasaan perempuan itu bagaimana. Sebab saat ini sang puan bergeming dengan tatapan kosong setia menatap objek di depannya. Debaran jantungnya mulai berpacu cepat, pun bibirnya terasa kelu. Fara tak sebodoh itu mengenai cuacanya saat ini. Ia teramat yakin bahwa kini ia tengah merasakan hawa dingin, terlihat dari bulu-bulu halus di lengannya mulai meremang. Namun entah mengapa hal itu kontradiktif dengan kedua pipinya sekonyong-konyong merasa panas tatkala rungunya mendengar jelas sebuah nyanyian yang diserukan lelaki itu. Terlebih ketika bait per bait lirik tersebut sukses membuat rona merah menjelajari paras eloknya.

Harri terkekeh melihat reaksi kekasihnya yang mematung tanpa bergerak sedikit pun. Ia kembali menjauhkan kepalanya dari telinga Fara dan memilih untuk kembali ke tempat semula.

Fara tak tahu jika menonton konser dengan Harri akan memberikan jutaan kupu-kupu beterbarangan riang di dalam perutnya. Fara tak tahu jika menonton konser dengan Harri akan memberikan rona merah yang masih setia menghiasi wajahnya. Pun, Fara tak tahu jika menonton konser dengan Harri akan memberikan kesan romantis baginya. Ia pun seketika tidak menyesal sebab selalu mendamba-dambakan untuk dapat pergi ke tempat konser berdua dengan kekasihnya.

Tiga puluh menit kita di sini~ Tanpa suara~ Dan aku resah harus menunggu lama~

Harri menarik paksa tangan Fara untuk segera mengikuti langkahnya. Fara yang sebelumnya tengah menikmati musik tersebut harus terusik oleh gangguan seseorang yang menarik sepihak dirinya. Belum sempat ia melayangkan pertanyaan namun lelaki itu lebih dulu mengucapkan sebuah kalimat, “ikut aku, kita diem di belakang aja biar leluasa.” Lantas Fara tak berkutik dan mempersilakan lelaki itu akan membawanya ke mana pun yang ia mau.

Jam dinding pun tertawa~ Karena ku hanya diam dan membisu~ Ingin kumaki diriku sendiri~ Yang tak berkutik di depanmu~

Fara otomatis menghentikan langkahnya ketika Harri lebih dulu menghentikannya. Ia menatap penasaran dengan tingkah kekasihnya yang secara tiba-tiba merubah pikirannya untuk menikmati konser pada jarak yang sangat jauh dari panggung itu berada.

Harri menjilat bibirnya gugup. Ia memegang kedua pundak Fara untuk membalikkan tubuh perempuan itu ke arahnya. Mata bertemu mata. Matanya seakan tengah berusaha memasuki obsidian indah dari kekasihnya. Sekon kemudian, kedua tangannya beralih untuk menggenggam tangan sang puan dengan kedua netranya setia mematri netra sang kekasih.

“Ada yang lain di senyummu, yang membuat lidahku gugup tak bergerak… ada pelangi, di bola matamu… dan memaksa diri tuk bilang—” Harri membawa genggaman Fara ke depan dadanya dan mempersilakan perempuan itu untuk merasakan debaran jantungnya yang kian tak berangsur normal. “—aku sayang padamu.” Harri melukiskan sebuah senyuman teramat indah dan tulus untuk ia perlihatkan pada kekasihnya.

Fara kalah telak. Perempuan itu sedari tadi hanya mengerjapkan matanya dan membisu. Ia tak akan menyangka akan diperlakukan seperti sekarang ini oleh kekasihnya. Kendatinya Fara pun mafhum bahwa Harri memang lelaki yang selalu memberikan apapun agar dirinya dapat bahagia, namun entah mengapa perlakuan romantis darinya saat ini seperti memperlihatkan seorang sisi Harri Agung yang lain, yang tak pernah ia rasakan dan ia lihat sebelumnya.

Masa bodoh dengan tatapan dari para insan yang tengah menatap dan menjadikan mereka berdua sebagai pusat atensinya, Harri sama sekali tidak memedulikannya. Ia ingin menikmati waktu berdua dengan kekasihnya dan memberikan kesan yang indah untuk mereka berdua pada konser kali ini, hanya itu saja.

Semburat merah muda dapat Harri lihat jelas di wajah indah sang kekasih. Terlebih ketika rona merah muda tersebut makin terlihat indah sebab dipadukan dengan semburat senja yang tercipta di langit atas sana. Bahkan semesta tengah memihaknya dan secara tidak langsung telah menjadi saksi bisu atas kedua sejoli yang sedang dimabuk cinta itu.

Enggan mengeluarkan suara indahnya, Fara justru menabrakan diri pada tubuh tegak lelaki di depannya. Ia dengan cepat menyembunyikan wajahnya sebab terlalu malu melihat pasang mata penuh asmara menatap lamat mata miliknya. “Kamu jangan kayak gitu, ih, onyet! Aku malu soalnya jadi diliatin banyak orang!” celoteh Fara tak begitu jelas sebab teredam oleh tubuh kokoh lelaki itu.

Alih-alih meresponsnya, Harri justru tertawa mendengar celotehan si manis walau sebenarnya ia tak begitu dapat mendengarnya dengan jelas. Ia hendak mengelus punggung kekasihnya, namun kedua tangan yang semula melingkari pinggangnya lebih dulu menarik diri dan melepaskan pelukan hangat mereka berdua. Sontak hal itu membuat Harri mengurungkan niatnya.

Harri berusaha keras untuk membungkam mulutnya agar tak menyinggung kejadian sebelumnya yang telah membuat perempuan itu sukses merona. Ia menjadi orang pertama yang melepaskan pandangan dari sang puan untuk kembali menikmati musik dan menatap panggung megah di depan sana. Sementara Fara tengah berusaha mengatur napasnya, terlihat dari tangannya mengibas-ngibas pelan tepat di depan wajahnya.

Semua tentangmu selalu membekas di hati ini~ … … Ku tak rela ku tak ingin kau lepaskan semua~ Ikatan tali cinta yang telah kita buat selama ini~

“Iya jangan, ya.”

Lambaian tangan yang semula Fara angkat tinggi-tinggi secara tiba-tiba terhenti saat lelaki di sebelahnya sekonyong-konyong menyerukan sebuah kalimat.

“Kenapa? Jangan kenapa?”

Harri menoleh dan berancang-ancang mengucapkan sebuah kalimat. “Tadi Vierra bilang ku tak rela ku tak ingin kau lepaskan semua ikatan tali cinta yang telah kita buat selama ini iya aing setuju, kalau aing pun sama nggak relanya.” Harri melirik tangan Fara yang terbebas dan segera menautkan jemari mereka. “Jangan, ya, Sel, jangan dilepas,” lanjutnya dengan tautan hangat yang ia salurkan diiringi usapan kecil pada punggung tangan kekasihnya.

Semua tentangmu selalu membekas di hati ini~ Cerita cinta kita berdua akan selalu~ Semua kenangan tak mungkin bisa, ku lupakan ku hilangkan~ Takkan mungkin ku biarkan cinta kita berakhir~

Fara mengangguk dengan cepat walaupun ucapan Harri belum sepenuhnya selesai, namun ia tahu arah pembicaraan lelaki itu. Bukan hanya Harri, ia pun sama tak maunya apabila hubungan yang sudah mereka jalani ini harus kandas secara tiba-tiba dengan mudahnya. Jika bukan dengan Harri ia tak yakin bahwa ia akan sama senangnya apabila menjalain kasih bersama lelaki itu.

Ketika alunan musik itu berpindah dan memainkan sebuah lagu yang lain, keduanya kini terlihat makin menikmatinya. Terlihat dari kedua sejoli itu melompat-lompat jua menyenandungkan suara mereka dengan intonasi cukup keras. Mereka berdua berlagak bak penyanyi papan atas, bermain peran di atas panggung yang megah. Tak peduli dengan beberapa pasang mata yang acap kali mengarahkan pandangan ke arah mereka. Kendatinya Fara dan Harri sangat menikmati konser malam ini. Konser musik pertama yang Fara ikuti bersama kekasihnya.

Harri menunjuk eksistensi perempuan di sampingnya penuh semangat. “KAU CANTIK HARI INI!” Harri bernyanyi begitu keras terlihat dari urat-urat pada lehernya yang tercetak jelas di sana. Beruntungnya suara bariton lelaki itu mampu teredam oleh suara alunan musik yang masih kalah apabila dibandingkan dengan suaranya. “DAN AKU SUKA!” Harri berkali-kali menepuk dadanya, menandakan bahwa nyanyian tersebut memang secara khusus diperuntukan untuk kekasihnya.

Di bawah pendar rembulan malam, lagi-lagi sang puan terjatuh atas perlakuan kekasihnya yang berkali-kali lipat jauh lebih manis. Angin-angin malam yang datang tak berhasil membuat dirinya meremang, sebab ia sendiri sudah lebih dulu dibuat hangat oleh presensi lelaki yang acap kali mengisi lubuk hatinya secara sukacita. Bagaimana ia bisa lepaskan ikatan tali cinta begitu saja apabila tiap sekon dirinya justru dibuat jatuh teramat dalam.


Harri langsung menyerbu sofa empuk berada di ruang tamu kediaman kekasihnya. Sesekali ia meregangkan tubuhnya akibat perjalanan jauh yang sudah mereka tempuh. Jarak dari tempat sebelumnya pada rumah kekasihnya terbilang tak main-main. Padahal rasa pegal pada tubuhnya berkali-kali lipat ia rasakan bahkan tak jarang ia meringis pelan saat rasa sakit itu tiba-tiba datang.

Suasana sunyi berada di dalam rumah perempuan berzodiak libra itu hampir saja membuat dirinya menutup kedua mata dan terlarut dalam tidurnya. Untungnya sang pemilik rumah datang tepat waktu sehingga ia kembali menegakkan tubuhnya.

“Eh, kalau kamu mau rebahan mah rebahan aja, Yang!” Fara merasa tak enak sebab kedatangannya membuat lelaki itu mampu mengurungkan Harri untuk merebahkan tubuhnya.

“Nggak, aing nggak mau rebahan, da. Cuman mau ngelurusin punggung aja.” Fara mengangguk dan mulai menyerahkan satu gelas air minum kepada lelaki itu karena Fara sendiri tahu bahwasannya Harri membutuhkan minuman untuk kembali menyegarkan tubuhnya yang lelah. “Nuhun, geulis.” Harri menerima minuman itu dengan senang hati, lalu meneguknya tak sabar sebab rasa dahaga telah menghantui tenggorokannya sedari tadi.

“Hug, Hag, Hug, Hag! Aku punya sesuatu!” seru Fara antusias berhasil mengalihkan atensi Harri dari yang masih berada dalam mulutnya. “Bentar, tunggu lima menit!” Perempuan itu mulai menghilang dalam pandangannya dengan sekejap. Gelas yang semula terisi penuh oleh cairan bening kini sudah tak memperlihatkan setetes air itu.

Suara gemuruh kembali terdengar, ia dapat pastikan suara tersebut berasal dari kekasihnya yang sedang berlari ke tempatnya berada. Benar saja, sosok perempuan itu sudah kembali dengan beberapa barang dalam genggamannya. Harri yang melihat barang-barang tersebut hanya bisa menautkan kedua alisnya.

“Selamat ulang tahun, Harri!”

Harri terbelalak melihat Fara menyerahkan beberapa barang tersebut ke arahnya. Harri tak langsung meraihnya, melainkan ia dengan cepat merogoh benda pipih dalam saku celananya untuk memastikan apakah hari ini betul hari ulang tahunnya?

Secara mendadak, Harri menerbitkan sebuah senyuman tulus pada wajah tampannya. Ia berjalan mendekati tempat Fara berpijak, kemudian meraih beberapa barang tersebut yang sudah diserahkan sang puan kepadanya.

“Lima… empat… tiga…,” Harri menghitung mundur sembari berdiri persis di hadapan sang puan dengan kedua tangannya sudah dipenuhi barang tersebut. “dua… satu. Nah sekarang baru, selamat ulang tahun, Harri,” ulang Harri seolah mengatakan bahwa tepat pada dua detik yang lalu ia resmi bertambah usia.

Fara terkekeh dan membawa Harri untuk kembali duduk di tempat semula. “Maaf, ya, aku nggak beli kue. Tadinya aku bikin tapi gagal banget, ih, rasanya nggak enak jadi aku kasihin ke ikan, deh. Terus mau beli tadi pagi tapi aku nggak sempet soalnya bangunnya telat!”

Harri mengelus surai perempuan yang terus-menerus merapalkan permintaan maaf kepadanya penuh kasih. Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, anjir. Lagian jam segini siapa juga yang mau makan kue, orang rumah juga pasti udah pada tidur,” timpal Harri menenangkan agar Fara tak perlu merasa bersalah padanya.

“Aku nggak punya korek sama lilin, ih, kamu mau nggak tiup lilinnya pake kompor aja?!”

“Nggak mau, anjir! Menurut maneh aja! Udah we nggak usah, Yang, soalnya aing nggak terlalu mentingin tiup lilin juga.”

Fara memamerkan deretan giginya. Matanya tak sengaja terarah pada barang yang belum disentuh sama sekali oleh sang empu. “Buka, Yang, buka cepet! Itu aku special banget buat kamu!”

Tak perlu susah payah memerintah yang kedua kalinya, terbukti lelaki itu kini sudah menuruti kemauannya untuk segera membuka hadiah itu secara satu per satu.

Harri membelalak ketika dapati suatu barang yang sudah didamba-dambakan olehnya. “Yang?! Ini teh bener kamu ngasih sepatu futsal?!” ucap Harri masih tak percaya melihat hadiah yang diberikan sang kekasih kepadanya. Tapi, ini sepatu teh asa mirip sama yang ditanyain si Jagat waktu itu.

“Bener, Yang! Masa aja, we, aku nge-prank!”

“Ini bukan dari uang si ayah, kan?”

“Bukan!”

“Jadi, uang kamu?”

“Bukan juga!”

“Terus uang siapa, anjir?! Uang dari nenek-kakek, nya?”

“Bukaaaan! Udah kamu nggak perlu tau aku dapet uang dari siapa pokoknya itu khusus buat kamu, terus jangan lupa hadiah untuk aku! Aku pengen tas buat sepatu basket!”

Harri mengangguk, mengiakan permintaan dari Fara. “Hadiah kamu udah ada di rumah, geulis. Besok ku aku bawa, nya.” Harri menyimpan kembali sepatu tersebut pada kotaknya, lalu ia menatap sang kasih dengan merentangkan tangannya. Fara awalnya terbingung, namun sekon kemudian ia mengerti dan langsung mendekap tubuh Harri. “Makasih, ya, geulis, buat kado ulang tahunnya ini mah aing beneran seneng pisan!” ucap Harri tak mampu menutupi rasa senangnya. Bahkan secara tak sadar Harri bubuhi kecupan singkat di atas puncak kepala sang kasih.

Fara mengangguk dalam dekapan, ia pun membalas untaian frasa itu dengan senyuman. Pelukan kembali dilepaskan oleh Harri, sedang Fara tengah membereskan bekas bungkusan yang sembarang Harri robek tak beraturan.

“Wow anjir ini mah maneh niat banget ngasih aing kadonya, mana ada sarung tangan yang aing mau. Padahal, kan, aing maunya nanti pas ulang tahun maneh aja, Yang.” Harri membolak-balikan sarung tangan tersebut dan ia hirup dalam-dalam aromanya. “Kelamaan kalau nunggu ulang tahun aku kasian, jadi sengaja ngasih sekarang biar kamu makin semangat jadi kipernya!”

“Jelas ini mah aing bakalan semangat pisan!” Fara terkekeh melihat raut antusias dari lelaki itu.

Tiba-tiba saja guratan halus tercipta saat kedua matanya melihat hadiah terakhir yang telah disiapkan oleh sang kekasih untuknya. Tangannya sibuk meraba dan merobek bungkusan yang menghalanginya. “Kamu kenapa ngasih bola futsal juga anjir, Yang?!” Harri terkejut bukan main melihat suatu barang yang tak pernah terbesit dalam benaknya akan dijadikan sebagai hadiah ulang tahunnya.

“Hehehe, itu aku sengaja ngasih biar kamu bisa main bola sama si kembar di rumah!”

Harri menepuk jidatnya yang tak bersalah. Ia menghela napas lalu mengembuskannya secara perlahan, tak habis pikir dengan jalan pikiran perempuan itu yang acap kali membuat dirinya harus sukarela mengelus dadanya penuh kesabaran.

“Makasih, ya, Yang. Aku nggak berekspektasi kamu bakalan ngasih bola kayak gini. Makasih, ya, kado kamu ini bisa buat si kembar mengasah hobinya penuh semangat,” timpal Harri seperti tercipta nada sarkasme di dalamnya.

Fara mengangguk riang, bahkan wajahnya berseri mendengar tuturan dari Harri yang mengatakan bahwa lelaki itu amat bahagia mendapatkan hadiah spesial darinya. Tak sia-sia ia telah menguras dan meminta bantuan seseorang untuk mengabulkan barang yang diinginkannya untuk hadiah ulang tahun lelaki bangir di hadapannya.

Mata Harri tak sengaja melirik benda bulat yang terpampang di dinding ruangan saat membereskan sisa-sisa sobekan bungkus kado. Ia spontan terbelalak melihat jam tersebut menunjukkan hampir pukul satu pagi, sehingga dengan cepat ia merapikan kekacauan yang sudah dibuatnya. “Aku harus cepet pulang ini mah, soalnya Babeh Asep beres ngeronda jam dua, bahaya!” Ia menyimpan asal hadiah ulang tahunnya dalam satu bungkus agar memudahkannya untuk membawa pulang.

“Kamu hati-hati, ya, nanti kalau udah sampe wajib ngasih tau aku!” Harri mengangguk dengan langkahnya yang berjalan menyambangi pintu dan diikuti Fara di belakangnya. “Jangan ngebut!”

“Iya, Isel. Kamu nganterinnya sampe sini aja, nggak usah sampe gerbang. Dingin.”

Fara menggeleng dan tak mengindahkan ucapan dari Harri. “Nggak, aku mau nganterin sampe gerbang biar sekalian aku gembok.” Tuturannya selaras dengan kedua tungkainya tengah berjalan menuju gerbang untuk mengantarkan kekasihnya pulang.

Harri mendorong kendaraan roda dua miliknya menuju gerbang agar tak membuat kebisingan yang ditakutkan sewaktu-waktu akan membangunkan orang-orang dalam tidurnya. “Nanti salam ke nenek sama kakek, ya, maaf aku nganterin kamu pulang selarut ini,” ucap Harri di tengah-tengah perjalanan.

Fara mengangguk. “Iya, nanti aku bilangin pas paginya. Lagian bukan salah kamu, kan, emang konsernya baru selesai jam sebelas terus jalanan macet banget soalnya pada bubaran.”

Harri mulai menyalakan mesin motornya, sebelum nanti ia benar-benar akan mengendarainya. Pertama kali yang Harri lihat hanyalah jalanan sepi tak berpenghuni. Ditambah keadaan gelap cukup membuat kesan horor untuknya. Lagi pula siapa yang akan berani berlalu-lalang di waktu dini hari seperti ini?

Baru saja ia akan memasangkan helm, namun sebuah suara tiba-tiba menginterupsinya. “Harri.” Maka, Harri pun mengurungkan niatnya dan beralih untuk menatap perempuan di depannya dengan tatapan penuh tanda tanya.

Melihat perempuan itu justru terdiam dan tak kembali melanjutkan ucapannya membuat Harri makin dibuat penasaran. “Kenapa, Isel?” tanya Harri sembari menatap teduh sang pujaan hati di hadapannya.

“Sini dulu, aku mau ngomong sesuatu.”

Harri menyipitkan matanya, kendaraannya kembali ia matikan dan bergerak untuk menyambangi perempuan itu berdiri walaupun masih tercipta sejuta pertanyaan di dalam benaknya.

“Kenapa? Mau ngomong apa?”

Fara meneguk ludahnya secara paksa. Ia melirik ke arah sekelilingnya yang nampaknya memang benar-benar sepi. Tangannya melambai kecil seolah tengah memberikan isyarat untuk lelaki itu untuk lebih mendekatinya. Harri sukacita menyerahkan telinga kirinya kepada sang puan sebab melihat kekasihnya seperti berancang-ancang akan membisikkan sesuatu kepadanya.

Cupp!

Bola mata Harri sukses melebar tatkala merasakan sebuah kecupan singkat baru saja mendarat pipi kirinya. Iya, perempuan itu memberikan sebuah kecupan singkat pada pipinya. Seketika aliran darahnya seakan berhenti mengalir disertai degupan jantungnya makin terasa kencang dibandingkan dengan degupan sehari-hari ketika bersama kekasihnya.

“Kamu hati-hati, ya, pulangnya!” ucap Fara terakhir kali sebelum akhirnya ia berlari memasuki kediamannya, meninggalkan Harri seorang diri yang masih membeku di tempat.

Dalam relungnya ada rasa ingin segera menolehkan wajahnya dan meminta penjelasan atas perlakuan secara tiba-tiba yang diberikan sang puan kepadanya. Namun, untuk dirinya sekadar mengalihkan pandangannya sedikit pun tak bisa. Jangankan mengalihkan pandangan, untuk ia mengerjapkan matanya pun tak bisa. Sekujur tubuhnya seakan kaku dan tak bisa ia gerakan begitu saja.

Sementara sang tersangka di dalam rumah berkali-kali berupaya menutupi muka dengan telapak tangannya ketika sekelebat memori itu hadir kembali dalam isi kepalanya. Ia benar-benar malu, bahkan wajahnya sudah seperti semerah tomat. Ia hanya berharap apabila bertemu dengan kekasihnya esok hari, lelaki itu akan segera melupakan kejadian yang memalukan untuknya.

Anying, aing baru aja dicium pipinya sama si Isel….”

Harri memegang dadanya dengan erat, takut akan sewaktu-waktu jantung miliknya terlepas dari tempatnya. Meskipun itu sangat amat mustahil.

Tuur aing naha jadi leuleus kieu….”

Lutut gue kenapa jadi lemes gini.

Bersamaan setelah menyelesaikan ucapannya, badan Harri sukses ambruk. Ia tak dapat berdiri kembali untuk beberapa saat sebab kakinya terlalu lemas untuk melakukannya. Harri berulang memejamkan mata dan mengatur napasnya, ia tak ingin terlihat seperti orang bodoh apabila sewaktu-waktu ada orang yang melintasi dirinya. Rasanya saat ini juga Harri ingin berteriak sekuat tenaga akibat rasa salah tingkahnya yang tak kunjung menghilang. Untung saja pencahayaan di luar begitu minim sehingga keadaan temaram tak dapat melihat wajahnya sudah dipenuhi semburat merah yang menjalar hingga pada kedua telinganya.

THE END.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


Alunan suara gitar memeriahkan suasana hening dan memanjakan indra pendengarannya. Bibir tipis miliknya seketika terangkat kala dirinya ikut terbuai dengan syair-syair syahdu yang dikumandangkan orang-orang di hadapannya.

Sembilu yang dulu Biarlah berlalu Bekerja bersama hati Kita ini insan Bukan seekor sapi~.

Kepala Fara tergerak mengikuti alunan melodi indah tersebut. Dalam hati ia bersorak riang. Sebab sebuah lagu yang saat ini sedang dinyanyikan tak ayal adalah lagu kesukaannya. Entah kebetulan atau memang seseorang di sampingnya sengaja meminta orang tersebut untuk menyanyikan lagu itu untuknya.

Angin malam yang datang bahkan tak mampu membuat dirinya urung berada pada kegiatan malam ini. Dinginnya cuaca di malam hari masih terkalahkan oleh hangatnya yang diberikan oleh teman-temannya. Jua, oleh seseorang di sampingnya.

Satu jam yang lalu ia sahaja mengirimkan sebuah pesan tunggal pada kekasihnya agar dapat membawa dirinya menikmati suasana kota Bandung di malam hari. Jelas, sebab malam ini adalah malam minggu. Malam terbaik untuk dirinya menghabiskan waktu secara cuma-cuma. Pun, menghabiskan waktu dengan seseorang yang amat disayanginya.

Alih-alih mengiakan serta menuruti pinta darinya, kekasihnya justru membawa teman-temannya untuk berkumpul bersama di kediamannya. Dan, ya, di sinilah mereka berada. Di sebuah halaman yang tak begitu luas, namun mampu membuat orang-orang tersebut nyaman bersantai ria di kediamannya.

Agenda malam hari ini menghabiskan waktu bersama untuk tertawa riang, katanya. Sebagai tuan rumah, dirinya pun mengikuti kegiatan acara berlangsung tanpa membantahnya sedikit pun.

Kepulan asap berasal dari sebelah barat tiba-tiba tanpa permisi datang kepadanya. Sebuah aroma lezat yang tidak sengaja tercium oleh hidung bangirnya. Ia menoleh, mencari ke arah asap itu berasal. Matanya berbinar kala dapati sebuah makanan yang sudah ia idam-idamkan sejak kedatangan kekasihnya beberapa jam lalu.

“Fara sini! Jagat udah selesai bakar dagingnya!” seru perempuan tak ayal kekasih dari seorang lelaki yang telah disebutkan namanya.

Ia dengan senang hati akan menyambangi tempat Grace berada. Namun, saat ia hendak berdiri dan menghampiri ke arah tempat itu berada. Justru ia dibuat terduduk kembali ketika lengan seseorang menahannya.

“Sama aing aja bawainnya, maneh diem di sini, ya.”

Lantas, Fara hanya bisa terdiam dan menuruti perintah kekasihnya. Lagi pula, jika boleh jujur ia sendiri pun malas untuk menjalankan kedua tungkainya untuk menyambangi tempat itu yang terpaut cukup jauh dari tempat ia berada.

Baru saja ia akan terlarut dalam pikirannya, sayangnya kedatangan seseorang membuat dirinya harus menepis jauh-jauh khayalannya.

“Geser, Yang.”

Harri memberikan sebuah isyarat dengan menggerakkan ketiga jemari yang terbebas. Fara pun langsung menggeser, memberikan ruang agar kekasihnya dapat merasa nyaman ketika duduk di sampingnya.

“Minumnya belum beres, si Rakha masih marah-marah gara-gara di duo semprul nggak mau bantuin ngancurin es batu,” jelasnya sembari mengibaskan lengannya persis di atas makanan yang sedang digenggam olehnya.

Fara terkekeh. Ia melirik ke arah depannya yang menampilkan Aksara serta Yolan sedang asyik menyanyi seraya menggerakkan tubuhnya dengan lihai. Sementara Jaya asyik memetik gitarnya untuk memberikan suasana hangat di antaranya.

“A, Yang.”

Harri sudah berancang-ancang untuk menyuapkan satu potongan daging ke mulut kekasihnya. Tetapi, perempuan di sebelahnya justru menanggapi ucapannya dengan sebuah gelengan.

“Nggak mau disuapin, aku malu!”

Harri memutar bola matanya. Malu katanya. Padahal jelas-jelas saat ini tidak ada satu pun pasang mata yang sedang memandang ke arahnya. Karena dirinya tak mau menimbulkan sebuah pertikaian, ia pun langsung menyerahkan piring yang sebelumnya ia pegang ke arah perempuan itu.

“A, Yang!” ucap Harri, mulutnya terbuka seakan menunggu seseorang akan memberikan makanan lezat itu untuknya.

Fara hendak memasukkan satu potongan daging ke dalam mulutnya pun sukses mengurungkan niatnya. Dahinya mengerut, heran dengan ucapan dari Harri tanpa sebuah konteks yang jelas.

Seolah paham akan pandangan kekasihnya, Harri sontak menunjuk mulut dengan jari tunjuknya. “Kalau kamu nggak mau suapin aku, artinya kamu yang suapin aku,” ucap Harri disertai sebuah senyuman kecil yang mengejek. “A, Yang!” lanjutnya sembari membuka lebar-lebar mulutnya bak bentuk sebuah hati itu.

Fara mengerlingkan matanya namun tangannya tetap menyuapi lelaki itu tanpa mengeluarkan sebuah bantahan apapun.

“Hmm... enak.” Kepala Harri bergerak ke kanan dan ke kiri, memperagakan kebiasaan kekasihnya yang selalu memperlihatkan gerakan tersebut ketika menikmati sebuah makanan yang menurutnya sangat lezat. “Kebiasaan kamu tah kalau misalnya makan pasti kayak gini kepalanya.” Harri kembali mengulangi gerakan kepalanya untuk diperlihatkan kepada kekasihnya.

“Aku nggak sealay kamu juga mereun!”

Fara mencubit lengan Harri yang berada di atas kaki milik lelaki itu. Pipinya menggembung akibat menahan kesal selepas melihat reka adegan diperlihatkan kekasih untuknya.

Cubit-cubitan, o ... o, cubit-cubitan~ Senggol-senggolan, o ... o, senggol-senggolan~

Harri baru saja akan melayangkan sebuah keluhannya sebab perempuan itu dengan sengaja memberikan sebuah cubitan cukup keras untuknya. Kulitnya kian memerah pun rasa panas mulai dirasakan olehnya.

Fara memberikan tatapan sinisnya kepada tiga pemuda di hadapannya. Namun irosnya mereka sama sekali tak memedulikan sebuah isyarat darinya.

“Sumpah aku kesel banget sama mereka, kamu mending putus pertemanan ajalah sama tiga dedemit itu!”

Kini giliran Fara yang dibuat pitam oleh ketiga pemuda itu. Sekarang ia tahu mengapa kekasihnya selalu kesal ketika sudah berhadapan dengan ketiga orang tersebut, terlebih saat sudah berhadapan dengan Aksara dan Yolan. Ternyata mereka memang semenyebalkan itu.

Harri terkekeh, tak dapat menyembunyikan gelak tawanya kala indra pendengarannya dipenuhi oleh runtutan kalimat ketus yang keluar dari bibir manis sang kekasih.

“Udah biarin aja, mereka mah emang hobinya gangguin hubungan kita. Biasa, sirik mereun,” sahut Harri diiringi kedua bahunya terangkat tak acuh.

Disamping itu, meskipun ada rasa kesal yang berada pada benaknya namun jauh dari lubuk hatinya ia merasa bahagia sebab dapat merasakan momen indah saat ini yang mungkin ia tak dapat merasakannya apabila tak bersama dengan lelaki di sampingnya.

Sebuah senyuman manis sekonyong-konyong terbit pada wajah eloknya. Maniknya setia menatap wajah rupawan sang kekasih dari arah sampingnya. Rahang yang tegas, rambut hitam yang berkilau, serta mulut yang masih sibuk mengunyah daging yang telah disuapinya beberapa saat lalu.

“Apa?” tanya Harri terheran. Alisnya ikut terangkat; maniknya sibuk menerobos obsidian hitam perempuan di depannya yang entah sejak kapan kekasihnya menatap dirinya tanpa berkedip.

Fara menggelengkan kepalanya. “Nggak, aku cuman mau liat aja wajah tampan kekasihku ini sampai membuat aku mabuk kepayang.” Tatapannya makin dalam, berupaya menembus obsidian lelaki itu.

“Alay pisan, terlalu hiperbola omongan maneh!”

Kini giliran Fara yang dibuat tertawa karena ucapan darinya berhasil membuat lelaki tersebut meninggalkannya seorang diri. Fara tahu betul bahwa lelaki itu sedang menutupi rasa salah tingkahnya, terlihat dari kedua netranya yang tak berani balik menatap netra miliknya membuat ia makin yakin dengan aforismenya.


“Terus, gimana, Fa?” penasaran Aksara setelah mendengar Fara menceritakan masalah yang sedang dirasakannya.

Fara mengangkat telapak tangannya, memberi isyarat ia membutuhkan waktu sejenak untuk meneguk cairan putihnya terlebih dahulu. “Minggu ini katanya mau coba lamar tante Fifi,” timpalnya selepas cairan itu sudah sepenuhnya ia teguk dan mengaliri tenggorokannya.

“Nggak apa-apa, Fa. Nanti mah kalau si kamu udah punya ibu baru, si kamu bisa cerita ke dia. Si kamu nggak usah mendem apa-apa sendiri lagi.”

Semua mengangguk, menyetujui ucapan yang dilontarkan oleh Yolan. Pun, Fara sendiri ikut mengangguk. Walaupun dalam lubuk hatinya masih tercipta keraguan serta rasa tidak rela sebab eksistensi ibunya akan segera tergantikan oleh orang asing yang diiming-imingkan akan menjadi ibu barunya.

Maneh jangan khawatir kalau mikir ibu maneh bakalan ada yang gantiin, Fa. Karena emang pada dasarnya mendiang ibu maneh bakalan tetep jadi prioritas buat maneh dan buat ayah maneh. Percaya sama aing,” tutur Rakha secara tiba-tiba.

Fara sontak terkejut kala kekhawatirannya dapat diketahui oleh lelaki itu. Sekarang ia tahu mengapa kekasihnya acap kali menyebut bahwa Rakha salah satu temannya yang paling peka di antara temannya yang lain.

“Bener itu, Yang! Jadi seorang kakak juga nggak sepenuhnya capek juga, da. Malahan banyak serunya.”

Grace mengangguk, menyetujui ucapan Harri. “Iya bener kata Harri, jadi kakak rame, kok! Nanti kamu nggak sendirian lagi di rumah, ada temennya!”

Grace berusaha meyakinkan perihal stigma menjadi seorang kakak itu melelahkan. Memang benar ada sisi melelahkannya, namun terlepas dari itu banyak suka dibandingkan dengan rasa dukanya.

“Betul kata Grace, nanti si kamu nggak akan ngerasa kesepian lagi di rumah. Kalaupun si kamu ngerasa kesepian nanti kita siap meramaikan rumah si kamu lagi. Betul teu, daks?”

“Betul!” seru mereka dengan kompak, sukses membuat Fara menyunggingkan sebuah senyumannya.

“Tapi, ya, kalau bisa mah nanti nongkrongnya di daerah Setiabudi aja jangan di Kopo, anying. Bensin aing langsung mau abis ini mah asli!” keluh Aksara sembari mengacungkan kedua jarinya di udara.

“Ini mah aing juga setuju sih sebenernya, apalagi aing yang notaben pacaranya tiap hari anter-jemput anjir. Bayangkan sia semua bayangkan, tiap hari aing harus menempuh perjalanan sangat jauh kayak dari ujung ke ujung! Ini mah aing beli bensin udah kayak mandi alias sehari dua kali!”

Ucapan Harri dibalas tatapan sengit dari sang kekasihnya. Bahkan apabila Harri diibaratkan secarik kertas, mungkin ia akan berlubang sebab tatapan itu cukup mematikan bagi siapa saja yang melihatnya.

“Ya udah kalau nggak ikhlas mah jangan! Aku juga nggak minta harus selalu di anter jemput sama maneh!” timpal Fara penuh kekesalan. Pipinya mengembung memberikan kesan nyata bahwa ia sedang menahan rasa kesal pun amarah yang dibendungnya.

Jaya spontan menggaruk pelipisnya ketika kedua rungunya harus mendengar pertikaian sekian kali sejak ia mengetahui kedua orang tersebut memiliki hubungan yang khusus.

Maneh jemput aja si Harri sekali-kali, Fa, kalau gitu mah,” usul Aksara dihadiahi gelengan kepala secara cepat dari sang empu yang disebutkan namanya.

“Nggak usah! Nggak apa-apa, mending aing aja deh yang jemput serius! Aing nggak masalah kok kalau harus beli bensin terus, lagian ada untungnya jadi si Babe suka ngelebihin uang jajan!” tolaknya secara halus.

Tiba-tiba saja ingatannya mulai menampilkan kembali potongan-potongan kejadian beberapa hari lalu saat dirinya dibonceng oleh sang kekasih. Itu menjadi salah satu pengalaman terburuk yang sama sekali Harri tak ingin merasakannya kembali.

“Grace! Ayo nanti kita jemput pacar kita! Kamu jemput Jagat, aku jemput Harri terus berangkat sekolahnya barengan!”

“Boleh, ide bagus! Aku setuju!”

Demi apapun, rasanya Harri ingin kembali memutar waktu dan ingin membungkam mulut Aksara agar tak sembarang menyerukan sebuah ide konyolnya.

Harri dan Jagat saling bertatapan, berupaya melayangkan dan menyalurkan rasa ketakutannya. Tatapan itu hanya mereka berdua yang tahu. Terlebih manakala pikirannya mulai membayangkan hal itu akan terjadi kembali pada dirinya. Harri dan Jagat menggeleng cepat untuk menepis pikiran itu jauh-jauh.

Maraneh berdua kenapa?” tanya Jaya heran melihat kedua temannya menggelengkan kepala dengan kompak.

“Nggak, bukan apa-apa. Tadi ada lalet jadi saya gelengin kepala.”

“Betul sama kayak si Jagat, tapi aing disamperin nyamuk bukan lalet jadi aing refleks geleng weh.”

Sekuat-kuatnya mereka berdua menutupi kebohongan, Rakha masih dapat merasakannya. Ia tertawa kala dirinya merasakan bahwa kedua orang itu berusaha menutupi sesuatu yang ia yakini ada kaitannya dengan usulan dari Aksara.

Langit hitam yang dihiasi miliaran bintang di sekelilingnya membuat kesan indah tatkala netranya sibuk membidik satu-satu benda di angkasa itu. Angin-angin yang datang mampu menyamarkan alunan musik yang sedang dimainkan oleh seseorang di depannya dengan serta-merta rungunya kini mulai didominasi oleh suara desiran pohon.

Malam ini bulan terlihat pendar. Mungkin akibat halimun yang berusaha menyombongkan dirinya bahwa mereka seakan mengatakan keberadaannya tak ingin dikalahkan oleh angin-angin yang sedari tadi terus berdatangan tanpa dipintanya.

Ia tak pernah menyesal bahwa kejadian menangis di dalam kelasnya justru memberikan momen indah saat ini. Jika ia tahu bahwa hubungan secara terang-terangan berakhir seperti ini mungkin ia akan menjadi orang pertama yang menolak mentah-mentah sebuah ide konyol dari kekasihnya. Memang semua hal yang disembunyikan tak akan selamanya indah.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


cw // harsh word

Be wise ok! Thank you<333


Gemercik rintik air hujan yang jatuh ke bumi cukup membuat sebagian insan turut terbuai, bak alunan penenang untuknya segera terlelap. Genangan air akibat jalanan berlubang membuat percikan tersebut mulai memenuhi lantai kantin sekolahnya. Ada orang yang langsung memasuki kantin tanpa membersihkan tapak kakinya terlebih dahulu, jua ada yang membersihkannya dahulu dengan kardus coklat sengaja dikoyak beberapa bagian oleh seseorang yang ia sendiri tak tahu siapa dalangnya. Sekolahnya ini tampak kesulitan untuk sekadar membeli lap kaki agar para siswa pun orang-orang yang berlalu-lalang tak terjatuh akibat licinnya lantai kantin oleh lebatnya air hujan di luar sana.

Bulu-bulu halus pada kedua tangannya mulai meremang tatkala sebuah pawana tiba-tiba datang di tengah-tengah cuaca hujan yang masih setia mengguyur bumi Pasundan. Fara serta-merta mengusap kedua lengannya untuk menghantarkan rasa panas pun menghilangkan rasa dingin yang tengah dirasakannya.

Sekonyong-konyong Fara menoleh ketika seseorang tanpa aba-aba menyodorkan kain berwarna abu kepadanya begitu saja. Dahinya mengernyit, meminta jawaban atas perlakuan sang empu yang secara tiba-tiba menyerahkan jaket tersebut untuknya. “Apa?” tanya Fara pada seorang lelaki yang baru saja mendudukan diri persis di sebelahnya.

“Kata si Hag pake ceunah,” timpal Aksara sembari menggoyangkan kecil jaket yang berada di genggamannya tersebut agar sang puan segera meraihnya.

Fara membawa netranya untuk menatap sekilas seseorang yang masih berada di salah satu gerobak jajanan di sana. Sedang dirinya sudah terduduk rapi di atas meja beserta beberapa teman lainnya. Fara langsung meraih uluran jaket dari Aksara untuk segera ia pakai.

Selang beberapa menit, lelaki itu sudah terduduk di seberangnya. Rasa canggung menyelimuti dirinya. Fara terus-menerus menelan ludahnya, berharap kecanggungan itu akan hilang. Ironisnya, lelaki di hadapannya tak menunjukkan gerak-gerik seperti dirinya.

Merasa dirinya tengah ditatap seseorang, Harri pun mendongakkan kepalanya. Alisnya terangkat kala maniknya bertabrakan dengan manik indah seseorang di depannya. Mulutnya tak bisa mengeluarkan sebuah frasa sebab di dalamnya sudah dihuni oleh kuah sotonya lebih dulu.

Masa cuman aing doang yang ngerasa canggung?! Soalnya pacar aing dari tadi malah nyuap terus kayak nggak ada beban?! batin Fara. Fara menggeleng untuk menjawab pertanyaan itu. Dirinya langsung meraih teh panas untuk segera ia teguk.

“Si kalian kenapa malah diem-dieman aja?”

Harri menelan paksa makanan dalam mulutnya selepas mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Yolan. “Hai, Fa,” sapa Harri kepada perempuan di depannya diiringi lambaian tangan di udara.

“Kaku banget anying! Biasanya juga maraneh berdua suka berantem!”

Aing malu bangsat!” sahut Harri cepat sontak mengundang gelak tawa dari orang-orang di sekelilingnya, jua mengundang tawa dari perempuan di depannya.

Mulanya tawa yang mengalun indah dari birainya hanya sebuah tawa biasa dan cenderung pelan, namun setelah melihat kedua telinga lelaki tersebut yang sukses memerah buat dirinya secara tak sadar melepaskan sebuah tawa yang mengalun kencang. Badannya bergetar. Bahunya naik dan turun dengan cepat. Pun, kedua matanya yang terpejam sebab tak tahan melihat tingkah laku menggemaskan dari kekasihnya itu.

“Pantes aja sia dari tadi diem, anying.”

Seakan sedang menulikan telinganya, Harri tak mendengar semua ucapan pun sumpah-serapah yang dilontarkan untuknya. Ia saat ini tengah menyibukan dirinya dengan makan siangnya. Bahkan, untuk sekadar menatap kekasih di hadapannya pun tak ia lakukan mengingat acap kali melihatnya membuat desiran jantungnya berpacu cepat.

Harri menahan surai Fara yang terjuntai dan akan mengenai makanan di bawahnya jika saja ia tak segera menyelamatkannya. Tanpa ada sebuah ucapan verbal, Harri terburu menyerahkan lengan kirinya dengan kedua mata yang masih terfokus pada menu makan siang sotonya.

Fara melirik sekilas lengan sang kekasih, kemudian tersenyum dan menarik sebuah ikat rambut yang bertengger nyaman di pergelangan kekasihnya.

Aneh rasanya ketika biasanya meja yang mereka tempati dipenuhi dengan pertikaian tiada ujung yang selalu mereka lontarkan satu sama lain. Akan tetapi kini hanya ada kecanggungan di antara keduanya. Baik Harri maupun Fara enggan untuk memulai percakapannya setelah hubungan mereka diketahui oleh teman-temannya. Sandiwara yang selalu mereka perlihatkan pun kini harus mereka kubur dengan sukacita. Tak akan adalagi sandiwara-sandiwara untuk hubungan keduanya.

“Abisin ya … tolong ….”

Harri menggeleng, menolak mentah-mentah makanan yang telah disodorkan kepadanya. “Atulah aku nggak mau, kenyang! Tau gitu tadi aku nggak usah beli soto. Kamu abisin sendiri ah, Sel.” Pasalnya Harri tak sanggup akan menghabiskan makanan itu ketika melihat isi piring kekasihnya yang bisa terbilang masih utuh.

Please … aku udah kenyang.”

Harri menghela napasnya. Ia berdecak kesal setelah menyadari selera makan kekasihnya yang acap kali tak beraturan. Maka dengan terpaksa ia pun mau tak mau harus menghabiskannya meskipun kapasitas perutnya perlahan terisi penuh.

“Abisin dong, Yang, aku udah kenyang banget.”

“Nggak mau ah kenyang.”

“Kalau kamu nggak abisin berarti kamu nggak sayang sama aku.”

“Ya, udah iya aku abisin. Aku kan sayang banget sama kamu.”

Yolan dengan sahaja bermonolog seolah tengah menyindir kedua insan yang terlihat malu-malu. Entah mereka sadar atau tak sadar dengan ucapannya. Yolan tanpa adanya rasa bersalah pun tertawa setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya. Tak hanya dirinya yang tertawa, namun ia berhasil mengundang beberapa orang di meja tersebut untuk bergabung tertawa dengan dirinya.

“Bangsat!” Harri menghentikan kedua lengannya yang sedari tadi asyik menyuapi makanan ke dalam mulutnya. “F-ck you besar untuk sia, Hewani!” Harri mengacungkan jari tengahnya ke arah Yolan.

Yolan yang diperlakukan seperti itu bukannya takut, ia justru makin mengeraskan tawanya. Bahkan, suara deras hujan di luar sana masih kalah dengan tawa menggelegar darinya.


Derap suara langkah atas hentakan sepatu dengan keramik yang sedang mereka pijak saling bersahutan bersama gegak para individu di sekelilingnya. Harri berusaha menyeimbangkan langkahnya dengan perempuan di sebelahnya. Maniknya melirik ke arah depannya yang memperlihatkan sepasang kekasih saling menautkan lengannya satu sama lain.

Tak lama maniknya tertuju pada lengan seseorang di sampingnya yang terjuntai dan bergerak seirama dengan langkahnya. Ada rasa gejolak pada dirinya yang menggebu-gebu untuk mengikuti jejak seseorang di depannya, terlebih ketika lengan miliknya tak sengaja bersentuhan dengan kulit lengan kekasihnya. Namun ketika rasa canggung itu kembali menghantuinya buat dirinya segera menepis jauh-jauh keinginannya.

Fara berdeham untuk menghilangkan rasa canggung antar keduanya. Ia sahaja merapatkan tubuhnya dengan lelaki di sebelahnya. Pundak mereka saling bersentuhan membuat lengan miliknya berkali-kali mengenai lengan kekasihnya. Fara melirik singkat lengan kekasihnya yang mengayun mengikuti ritme langkahnya.

Tangan kokoh nan besar dilengkapi dengan urat-urat yang menghiasi tangan kekasihnya seakan sedang memanggil keberanian dalam dirinya untuk segera menautkan tangan mereka berdua. Apalagi ketika mata miliknya tak sengaja melihat seseorang di depan sana yang saling berpegangan tangan sukses membuat rasa iri kerap dirasakannya.

Harri merasa aneh dengan gerak-gerik perempuan di sampingnya, lantas ia mulai mengambil dua langkah ke samping kiri untuk menggeser tubuhnya. Sebab ia merasa takut apabila jalanan yang dilalui kekasihnya tak seluas jalanan miliknya.

“Kenapa deket-deket ih?!” ketus Harri ketika perempuan itu terus-menerus mendekati tubuhnya. Membuat pundak keduanya saling bertabrakan satu sama lain. Padahal Harri sendiri sudah memberi jarak agar perempuan itu lebih leluasa ketika berjalan.

Fara refleks menautkan kedua alisnya mendengar Harri menyerukan sebuah kalimat tak suka sebab dirinya terus-menerus mendekati lelaki itu. “Ya, emang kenapa?! Ada larangannya kah?!” timpal Fara, tak terima ia ditolak mentah-mentah oleh seseorang di sampingnya. Pipinya menggembung, masih terasa kesal atas tuturan tersebut.

Perdebatan itu sukses membuat Jagat dan Grace membalikkan tubuh dan mengundang tanda tanya ke arah mereka berdua. “Lucu banget, ya, mereka,” ucap Grace secara asal.

Jagat hanya menimpali ucapan kekasihnya dengan sebuah tawa canggung tanpa berniatan untuk membalasnya. Wah, dia belum aja liat mereka berdua kalau berduaan kayak gimana. Aneh banget pokoknya, batin Jagat. Ujung bibirnya terangkat, memperlihatkan senyuman tulus kepada sang kekasih.

Hareudang ih tong deket-deket teuing!”

Gerah ih jangan deket-deket banget!

Harri bohong. Fara tahu bahwa lelaki itu tengah berusaha berbohong, terlihat dari kedua netranya yang berkedip secara berulang. Jua, Fara sendiri dapat merasakan lengan dingin dari kekasihnya. Sehingga lelaki itu tak mungkin sedang merasakan kegerahan, manalagi cuaca saat ini sedang dingin sebab sekolah mereka tengah diguyur hujan lebat.

“Apa?” tanya Harri, melihat perempuan di sebelahnya menyerahkan lengan kiri kepadanya begitu saja.

“Mau pegangan tangan biar kayak mereka!” tunjuk Fara kepada Jagat dan Grace di depan sana. Tak sepenuhnya berbohong, Fara memang menantikannya. Namun lelaki tersebut tak kunjung melakukannya sehingga ia harus rela menurunkan rasa egonya untuk meminta lebih dulu.

Harri menghentikan langkahnya. Ia memandang ke arah sampingnya untuk melihat situasi di sekitarnya. Aing malu ih, Yang, seriusan ini mah bukannya nggak mau pegangan sama maneh, batin Harri. “Agresif gini maneh.” Bebanding terbalik dengan ucapan batinnya, Harri lantas segera menyatukan tautan mereka. Rasa hangat pertama kali ia rasakan ketika kulit telapak tangannya bersentuhan langsung dengan kulit tangan kekasihnya.

Walaupun dalam hatinya Harri berniat menolak keinginan kekasihnya, namun pada akhirnya ia menuruti permintaan itu sebab takut membuat kekasihnya merajuk apabila ia tak melakukannya.

Wajahnya berseri tatkala menyadari tangan mereka berdua sudah saling bertaut. Mata Fara menghilang seraya sebuah kekehan ia lantunkan. Dipikir-pikir ucapan Harri ada benarnya saat lelaki itu mengucapkan bahwa dirinya terkesan lebih agresif untuk memperlihatkan hubungan mereka berdua pada seluruh siswa berada di koridor yang mereka tempati.

“Kamu kenapa diem aja?”

Aing malu!” sahut Harri sembari membuang muka agar seseorang di sampingnya tak bisa melihat raut wajahnya yang sudah memerah. Harri tak pernah merasakan salah tingkah separah ini. Ini menjadi pengalaman salah tingkah terhebat setelah kekasihnya secara terang-terangan mengucapkan sebuah kalimat yang selalu ia damba-dambakan.

“Kamu kenapa jadi pe—”

Pegang tanganku, hentikan tawamu sejenak~

Alunan suara sekonyong-konyong terdengar oleh rungunya berhasil mengejutkan Fara dan Harri yang tengah menggenggam satu sama lain. Harri menjadi orang pertama yang melepaskan tautan tersebut. Sementara Fara masih tak percaya akan kehadiran kedua temannya dan mengganggu aktivitas dirinya dengan sang kekasih.

“Emang paling cocok sih pegangan tangan pas hujan-hujanan gini, wah itu mah si aku yakin bakalan langsung anget!” ucap Yolan penuh dengan cemooh yang disengaja, lantaran kedua sejoli itu tertangkap basah oleh dirinya pun Aksara. “Bener nggak, Sa?” Aksara mengangguk, menyetujui ucapan Yolan. diiringi sebuah tawa yang mengalun.

“Pegangan tangan, yuk, Sa?” Yolan menyerahkan lengannya kemudian langsung disambut hangat oleh temannya—Aksara—tanpa sebuah kalimat yang terucap.

Aksara dan Yolan kini sudah mendahului Fara dan Harri yang masih setia membeku pasca kejadian sebelumnya. Harri berdecak kesal. Berbagai makian sudah ia lontarkan dalam hatinya. Persetan dengan pasang mata yang tengah menatapnya, Harri saat ini tengah berlari dan mengejar kedua temannya untuk memberikan sebuah pelajaran.

“MONYET SIA AKSA YOLAN!”

Aksara dan Yolan sontak berlari kencang tatkala sang korban tengah memperlihatkan sarat wajah menahan amarahnya. Bahkan, mereka yang semula berpegangan tangan pun harus terlepas sebab Harri sedang mengejarnya bak kesetanan.

AING BERCANDA MANG HARRI! JANGAN KEJAR AING ANJING!” Tak peduli kondisi perutnya, yang ia pedulikan saat ini hanyalah dapat terbebas dari kejaran seseorang di belakangnya. “KEJAR SI YOLAN AJA PLIS MANG AING CUMAN NGIKUTIN SI BURUNG YOLAN!”

Naasnya, sang dewi fortuna seakan tak sedang memihak kepadanya. Selepas menyelesaikan ucapannya, Aksara tidak bisa menopang tubuhnya sehingga ia harus merasakan pantatnya yang sukses mencium lantai sekolahnya dengan cuma-cuma. “ANJING!” umpat Aksara, spontan mengusap pantatnya seolah tengah berusaha menghilangkan rasa sakitnya pasca terjatuh di tengah-tengah keramaian.

Kendatinya ia memang tengah menahan rasa sakit akibat terjatuh atas kebodohannya, namun entah mengapa dibandingkan dengan rasa sakitnya Aksara lebih merasakan malu sebab ia menjadi tontonan para siswa yang tak jauh dari tempatnya berada.

Harri terbahak kala melihat jelas adegan Aksara terjatuh terjadi persis di depan matanya. “MAMPUS ANYING, LEBOK! KARMA TI AING TAH MONYET!” Harri menarik kerah baju Aksara agar lelaki tersebut tak bisa berlari dan kabur darinya kembali. Aksara tentu pasrah, padahal seharusnya yang berada di posisinya saat ini adalah Yolan bukan dirinya.

Lebok (kasar) = mampus/rasain.

“HAG, SI YOLAN DI KELAS IPS 5 TUH!” teriak salah satu teman sebayanya.

Sudah jelas, setelah mendengar tuturan itu Harri lekas membawa kedua tungkainya untuk menyambanyi salah satu kelas yang telah disebutkan oleh Adimas—teman satu ekstrakurikulernya. Aksara masih setia mengikuti ke arah mana lelaki itu menyeretnya. Saat ini Aksara hanya bisa berharap bahwa suara bel sekolah segera dilantunkan agar ia bisa secepat mungkin terbebas dari siksaan temannya.

“Aksa, sia kalau mau selamet bantuin aing bawa si Yolan kadieu,” ucap Harri kepada Aksara.

Kadieu = ke sini.

Itu bukan sebuah permintaan tolongnya, namun sebuah titahan mutlak yang mau tak mau harus ia lakukan. Masa bodoh akan terjadi suatu hal pada hubungannya dengan Yolan, Aksara hanya ingin terbebas dari satu temannya itu.

“AKSA ANJING SI AKU BAKALAN MARAH BANGET SAMA SI KAMU INI MAH ASLI ANJING!” teriak Yolan, terus-menerus menghindar dari kejaran Aksara yang membabi buta. Sedang Harri tengah berdiam diri di depan pintu kelas untuk mencegah lelaki itu akan berusaha kabur darinya.

“YOLAN ANJING SINI GAK MANEH?! ERA ANYING INI BUKAN KELAS KITA!”

Era (kasar) = malu. | ps. bahasa halusnya 'isin'

“HAG ANYING AING MINTA MAAF! SI AKU NGGAK AKAN CENG-CENGIN SI KAMU SAMA TEMEN SI AKU FARA LAGI, JANJI!” Yolan bersungut seraya mengacungkan kedua jari kelingkingnya di udara, memperlihatkan bahwasannya ia tak sedang membual dengan ucapannya.

Harri tak menghiraukan ucapan itu, ia hanya ingin memberi pelajaran kepada kedua rekannya terlebih memberi pelajaran kepada Yolan. Sebab sedari tadi malam, ia selalu mengolok-ngolok dirinya tanpa henti. Dengan begitu, mungkin saja setelah ini Yolan akan merasa jera dan tidak akan mengulanginya kembali. Sejujurnya Harri tak begitu memedulikan semua perkataan yang dilontarkan oleh teman-teman kepadanya, hanya saja setelah merasakan atmosfer canggung di antara dirinya dengan sang kekasih membuat Harri bersikukuh untuk memberikan sebuah pelajaran.

Beruntungnya, deras hujan di luar sana mampu membantu meredamkan suaranya yang begitu menggelegar di koridor yang mereka tempati. Bagaimana tidak akan terdengar apabila lorongnya saat ini mulai sunyi sebab sebagian siswa yang sebelumnya di luar kini sudah masuk ke dalam kelasnya satu per satu. Termasuk Fara yang ditinggalkan begitu saja tanpa adanya sebuah kata perpisahan yang diucapkan Harri kepadanya.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


Harri menggelengkan cepat kepalanya kala satu suapan nasi goreng yang masih mengeluarkan kepulan asap itu, tak sabar ia santap dengan lahap. Baru saja beberapa detik makanan itu masuk kini mulutnya terbuka sukarela. Ia sengaja untuk memberi ruang agar rasa panas yang sedang ia rasakan akan berangsur mereda atau bahkan menghilang. Tangannya ikut mengibas, berharap bahwa angin-angin buatan darinya itu dapat bantu menetralisir rasa panas nasi goreng dalam mulutnya.

Hanhying hanas!” ucap Harri, mulutnya bergerak tak beraturan sebab tak mampu menahan rasa panas yang sudah membuat lidahnya melepuh.

Yolan dengan cepat menyerahkan es teh manis miliknya agar segera diteguk oleh Harri ketika kedua rungunya mendengar sebuah keluhan tak berujung menghilang.

Harri meraih minuman itu dan mulai diteguknya tak sabaran. Netranya memejam dengan helaan napas lega ia senandungkan kala air dingin tersebut berhasil mengaliri mulut dan tenggorokannya yang melepuh.

Hanupis, Mang Yols!” Harri mengangkat jempol kanannya sebagai gestur ucapan terima kasih sebab telah membantu dirinya. Yolan yang melihat pergerakan dari Harri pun menganggukkan kepalanya seakan itu bukan menjadi sesuatu hal yang besar baginya.

Aing mau beli ayam geprek,” ucap Jaya secara tiba-tiba. Matanya berbinar kala menatap suatu tempat makan. Sadar tak sadar, Jaya telah menelan ludahnya sebab tak tahan ingin segera menyantap menu makan yang sudah ia idam-idamkan sedari tadi.

Rakha yang persis berada di samping Jaya pun mengerutkan dahinya, merasa heran dengan ucapan satu temannya itu. “Itu maneh bawa bekel anjir, Jay!” timpal Rakha, sembari menunjuk kotak bekal Jaya menggunakan dagunya.

Jaya melirik sekilas ke arah bekal makan siangnya. Ia kembali mengarahkan pandangannya ke arah depan dan menggeleng pelan. “Aing mau ayam geprek, tolong abisin dong, daks. Soalnya kata si Mama bekelnya harus abis.” Jaya mulai membuka kotak bekalnya, lalu menyendokkan nasi tersebut secara sembarang untuk segera ia suapkan kepada teman-temannya satu per satu.

Aksara menjadi orang pertama yang dipaksa Jaya untuk menghabiskan bekal makan siangnya. Tanpa sebuah sanggahan maupun penolakan, Aksara dengan sukarela membuka mulutnya untuk menyantap satu suapan penuh dari seseorang di hadapannya. Hal ini sudah biasa terjadi mengingat Jaya tidak menyukai sayuran sehingga setiap orang tuanya membawakan dirinya menu makan siang sayur, ia akan selalu meminta teman-temannya untuk menghabiskannya.

Harri memutar bola matanya malas. “Apa jadinya, ya, kalau aing bilang sejujurnya ke Mama Sumarni kalau anaknya nggak pernah makan sayur. Semua itu fake!” ucap Harri selepas menelan paksa satu suapan dari Jaya. Ia sudah sangat lelah menghadapi situasi seperti ini yang acap kali terjadi.

Sok mun sia wani ngomong mah.”

Silakan aja kalau lu berani ngomong.

Jaya menggulung lengan bajunya dengan tangannya sudah mengepal sempurna. Ia mengangkat tinggi-tinggi kepalan tangan itu untuk memperlihatkan secara jelas ke arah lelaki yang telah berniat mengungkapkan kejadian sebenarnya. Jua, matanya melotot memberi kesan lebih seram dan serius bahwa ucapannya tak sedang bermain-main.

Gelak tawa mengudara. Lantangnya tawa renyah dari mereka berhasil menyita perhatian beberapa pasang mata insan di sekelilingnya. Sebuah meja yang tak bersalah pun menjadi korban atas kejadian konyol di siang hari ini. Perut-perut yang seharusnya kram karena terlalu banyak diisi nasi pun malah harus terasa kram akibat banyak tertawa.

Salah satu orang di sana spontan melunturkan tawanya ketika benda dalam saku seragam sekolahnya mulai bergetar dan mengalihkan perhatian sang empu. Diraihlah benda tersebut dengan cepat. Kerutan di dahinya membuat seseorang di hadapannya melayangkan sebuah pertanyaan penuh penasaran lantasan mimik wajah Jagat berbanding terbalik dengan mimik wajah keempat temannya.

“Kenapa, Gat?” tanya Rakha.

Jagat menatap obsidian Rakha lalu berganti untuk menatap lamat seseorang di samping lelaki itu. “Yolan, Grace bilang cek handphone kamu penting.” Jagat kembali memasukkan ponsel tersebut pada tempat semula. Ia mengangkat bahunya tatkala Yolan melontarkan sebuah pertanyaan yang sama sekali Jagat sendiri tak mengetahui jawabannya.

Tawa yang semula mendominasi di tengah-tengah ingar-bingar kantin sekolahnya kini mulai meredup. Keheningan terjadi secara tiba-tiba. Mereka sengaja memberikan sedikit ruang agar Yolan tak terganggu dengan sebuah kelakar yang telah dilontarkan Jaya sebelumnya.

“AKSA HAYU KITA KE KELAS TEMEN SI KITA LAGI NANGIS CEUNAH!”

Aksara yang baru saja akan menyuapi dirinya kembali dengan nasi kuning tersebut langsung ia urungkan. Badannya sukses menegak, lalu sepersekian detik kemudian sang empu telah sukses berpijak—menjadikan kedua tungkainya untuk menopang tubuhnya—dan siap untuk segera berlari menuju kelasnya.

“Temen kalian siapa?” tanya Jaya penasaran, meskipun ia sendiri mungkin tak akan mengenal orang tersebut.

“SI FARA!” panik Yolan, terlihat jelas dari kedua bola matanya yang membesar. “SI DIA JARANG NANGIS, KAYAKNYA LAGI ADA MASALAH BESAR! SI KAMI IZIN KE KELAS DULUAN, YA!” pamit Yolan. Ia meraih pergelangan Aksara agar dapat menyambangi langkahnya. Yolan benar-benar berharap bahwa ia bisa secepat mungkin sampai di kelasnya.

Ucapan itu sukses membuat lelaki kelahiran bulan Juni menghentikan kunyahan nasi goreng dalam mulutnya. Tanpa harus berpikir panjang ia terburu untuk segera berlari menuju kelas sang kekasih. Jaya dan Jagat yang melihat tindakan gegabah Harri pun ikut menyusul sang empu tanpa harus berpikir dua kali.

Rakha makin dibuat bingung ketika ketiga temannya sudah meninggalkan dirinya seorang diri. Mau tak mau ia pun ikut untuk berlari dan mengikuti seseorang di depannya sebelum ia kehilangan jejak itu.

“Anying ih kenapa pada lari?! Padahal aing baru aja nyuap mi?!” Rakha terus-menerus melayangkan celotehan meskipun tak ada seseorang yang dapat mendengarnya, terkecuali orang-orang yang tak sengaja ia lewati.

Aksara dan Yolan mengerjapkan matanya dengan cepat ketika merasakan sebuah angin kencang berduyun-duyun menyerbunya. Yolan menyipitkan keduanya matanya untuk mencari tahu sang tersangka. Setelah ditelusuri, tak ayal itu berasalkan dari seseorang yang sudah berlari mendahului keduanya. Beberapa detik kemudian, angin tersebut berkali-kali lebih cepat mereka rasakan saat kedua orang yang dikenalnya mengikuti jejak sang empu sebelumnya.

“INI TEH KENAPA JADI KAYAK LAGI AJANG LOMBA LARI GINI, ANYING!” ketus Aksara di tengah-tengah kegiatan larinya. Yolan yang mendengar lelucon tersebut lantas segera menepuk kepala Aksara agar temannya itu kemabli fokus pada tujuan awal mereka berdua.


Pikiran Harri kini sedang kacau-balau. Bayangkan saja ketika temannya dengan lantang menyebutkan bahwa seseorang yang penting dalam hidupnya sedang merasa terpuruk. Ia berulang memeriksa ponselnya, takut akan seseorang di sana telah mengirimkan sebuah pesan namun tak kunjung dibalasnya. Namun ternyata hanya ada notifikasi dari salah satu aplikasi ojek online-nya.

Bulir-bulir keringat yang sudah menghiasi dahinya ia tak acuhkan begitu saja. Terlebih ketika perlahan ia merasakan perutnya kram akibat berlari setelah makan siang yang tak sampai selesai itu.

Punteun-punteun, cai panas!”

Permisi-permisi, air panas!

Harri merentangkan kedua lengannya, meminta akses sedikit ruang agar dirinya dapat berlari dengan leluasa di tengah-tengah keramaian koridor anak sosial.

“Sel!”

Teriakan itu bagai seruan mutlak pun bagai titahan agar dirinya secepat mungkin mendongkakkan kepalanya dan menatap sang empu. Bahkan tanpa harus menimangnya dua kali pun ia sangat hafal dengan suara bariton tersebut. Suara bariton dari lelaki yang sangat disayanginya.

Hati Harri teriris kala obsidiannya menangkap jelas derai air mata yang keluar dari netra indah sang kekasih. Harri segera berlari munuju tempat perempuan itu yang masih memancarkan tatapan sendu. Persetan dengan hubungannya yang akan terbongkar setelah ini. Jua, Harri tak peduli seberapa banyak pasang mata tengah tertuju padanya, yang ia pedulikan saat ini hanyalah satu, perasaan kekasihnya sedang memendam sendirian.

“Sel?! Kenapa, Sel?! Aku di sini! Aku di sini!”

Harri merengkuh tubuh kekasihnya sembari mengelus punggung perempuan itu penuh kasih. Fara yang diperlakukan seperti itu membuat tangisnya kian pecah.

Grace dengan raut penuh pertanyaan mulai bangkit dari tempat duduknya. Ia sengaja mengosongkan kursi tersebut agar lelaki itu dapat duduk dengan nyaman di atas kursi miliknya.

“Jay, Gat, punteun,” titah Harri. Netranya menatap satu per satu para siswa yang berada di kelasnya. Tanpa melanjutkan ucapannya jua membutuhkan penjelasan secara rinci, Jaya dan Jagat mengangguk secara serempak. Mereka berdua mulai mengusir para siswa di kelas yang sedang disinggahinya untuk memberikan seseorang di sana ruang dalam meluapkan rasa sedihnya dengan nyaman.

Aksara, Rakha, dan Yolan yang baru saja menginjakkan kakinya di sana pun disuguhi sebuah pemandangan yang penuh akan tanda tanya.

Aku di sini, Sel. Kamu nangis aja, nggak apa-apa. Aku di sini, ya, geulis. Aku di sini.

Mereka bertiga tak bisa berkutik selepas mendengar runtutan kalimat yang keluar dari birai Harri. Pun, kedua kaki mereka seakan sulit untuk sekadar melangkah dan mendekati kedua orang tersebut.

“Kamu tau mereka ada hubungan?” bisik Grace pelan ke arah kekasihnya.

Jagat menoleh dan tersenyum simpul. “Nanti, ya, kalau masalah itu. Kamu ada air minum?” Grace menganggukkan kepalanya, tangannya dengan cekatan meraih air minum miliknya dan segera diserahkan kepada sang kekasih.

Jagat meraih botol minum yang diserahkan Grace untuknya. “Nanti aku ganti, ya.” Jagat mengelus surai Grace sekilas sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya untuk mendekati kedua orang yang masih setia berpelukan.

“Perlu saya buatin surat pulang nggak, Ri? Takutnya Fara mau pulang,” ucap Jagat, dijawab langsung sebuah anggukkan dari seorang perempuan yang masih setia membenamkan wajahnya di pundak Harri.

“Mau, katanya.”

“Oke, sebentar, ya.” Jagat menyerahkan botol air minum milik kekasihnya ke arah Harri. “Kamu kasih dia minum kalau udah selesai nangis biar tenggorokkannya nggak sakit.” Harri meraih air minum tersebut disertai senyuman kecil. Jagat yang paham akan senyuman itu pun hanya bisa membalasnya dengan menganggukkan kepalanya.

“Jay, tutupin CCTV tolong. Saya mau ke ruang TU dulu buatin surat izin pulang buat Fara,” ucap Jagat saat dirinya persis di samping lelaki itu. Jaya yang mendapatkan perintah itu pun lagi-lagi hanya mengangguk tanpa sebuah bantahan yang keluar dari birainya.

“Sama aing, biar lebih gampang dapet izinnya,” ucap Rakha secara tiba-tiba sebab tak sengaja mendengar obrolan kecil antara Jagat dengan Jaya yang tak jauh dari tempatnya berpijak. Jagat yang mendapatkan tawaran tersebut justru dengan senang hati menerimanya.

Setelah kepergian Jagat dan Rakha, baik Aksara maupun Yolan setia berdiam diri di depan pintu kelasnya untuk mencegah seseorang akan masuk. Meskipun sebenarnya ada jutaan pertanyaan yang ingin ia lontarkan kepada dua sejoli itu, namun setelah melihat situasinya saat ini mereka hanya bisa bungkam terlebih dahulu. Tak mau memperkeruh suasana yang sebelumnya sudah keruh.

“Ayah ... Ayah ....”

Harri mengangguk paham atas sebuah frasa yang akan diucapkan perempuan dalam dekapannya. Tangannya tak henti mengelus punggung Fara pun sesekali ia bergerak untuk mengelus surai hitamnya.

Setelah merasa dirinya tenang, Fara mulai berani untuk melepaskan pelukan mereka. Kepalanya menunduk, enggan menatap seseorang di depannya. Sebab malu apabila matanya terlihat membesar pasca kegiatan nangisnya beberapa saat lalu.

Tanpa mengeluarkan suaranya, Fara memperlihatkan layar ponsel yang berisikan roomchat dirinya dengan sang ayah. Harri membulatkan matanya, jujur ia sedikit terkejut ketika membacanya. Harri pun mati-matian untuk menahan raut wajahnya agar tidak berekspresi yang berlebihan, takut akan perempuan itu kembali bersedih.

Harri menarik ponsel itu dari genggaman Fara, lalu mengunci layarnya dan kembali ia serahkan pada sang empu. “Ceritanya nanti aja, ya?” Harri menangkat dagu Fara dengan pelan. Ia tersenyum dan mulai menghapus jejak air mata yang masih terlihat jelas di kedua pipi merah sang kekasih.

“Mau pulang sendiri atau aku temenin?” tanya Harri. Kedua tangannya kini sibuk melepas jaket hitam yang membaluti tubuhnya. “Terus, nanti mau pulang ke Kopo atau ke Setia Budi?” lanjutnya setelah jaket hitam itu berhasil ia lepaskan pada tubuhnya.

“Sendiri aja, nanti mau pulang ke Setia Budi.”

“Boleh.” Harri menyodorkan botol minum yang sebelumnya telah diserahkan Jagat kepadanya. “Minum dulu, biar nggak serak.” Fara melirik sekilas ke arah perempuan di seberangnya yang masih setia berdiri dan memandang ke arahnya dilengkapi sebuah senyuman manisnya. Perempuan itu mengangguk seolah memberi izin bahwa dirinya diperbolehkan untuk meneguk air bening milik orang tersebut.

“Pake jaket aku, ya. Ada penutup kepalanya, takutnya nanti kamu malu lewatin orang-orang.” Fara mengangguk dan mengizinkan sang kekasih untuk memakaikan jaket hitam itu pada tubuhnya. “Nanti pas udah pulang aku nyusul ke rumah Nenek-Kakek, ya.” Harri merapikan rambut Fara sebelum ditutup oleh balutan kain tebal.

“Nanti jangan nangis lagi, ya, geulis, takut pusing. Tunggu aku kalau mau nangis lagi, tunggu ini aku dateng.” Harri menepuk bahunya secara bergantian dengan bangga. Fara yang melihat tindakan kekasihnya itu sukses membuat dirinya tertawa secara tak sadar.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


Pawana dengan sahaja berlalu-lalang menciptakan tatanan rambutnya yang tak terikat ikut terhempas mengikuti ritme angin itu berlari. Ada rasa bergelora ingin segera ia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang lelaki di depannya. Hanya saja ia tahu apabila mengikuti kata hatinya mereka berdua akan berada dalam masalah. Jua, tentu hal itu akan berdampak pada hubungan yang sedang mereka jalankan tanpa sepengetahuan orang-orang di depannya.

Keheningan tercipta saat kendaraan roda duanya mulai berjalan. Sepanjang perjalanan dirinya membuka rungunya sukacita untuk dipenuhi suara kendaraan, pekikan para insan, pun tawa mengudara dari orang-orang yang melaju dan mendahului kendaraannya lebih dulu.

Netranya sibuk memperhatikan tiap-tiap objek yang tak sengaja mereka lalui. Di antara semua objek yang ada, ia paling menyukai objek warna hijau dengan gagahnya berdiri seolah ia satu-satunya objek dengan mudahnya mendapatkan perhatian orang-orang. Harapannya benar, nyatanya objek itu mampu mengalihkan atensinya dari semua objek yang ada.

Pikirannya sedang asyik berlari ke sana dan kemari. Memikirkan sebuah skenario paling bahagia untuk kegiatan liburannya kali ini. Saking larut dalam pikirannya, ia tak merasakan bahwa seseorang di depannya sedang mengelus lututnya penuh kasih.

“Yang, pegel nggak?” Tak kunjung mendapatkan sebuah jawaban verbal, lantas Harri menepuk pelan kaki kiri perempuan itu yang kini sedang menghimpit tubuhnya di atas motor. “Isel?”

Mulai tersadar dari lamunannya, Fara dengan cepat mencondongkan sedikit tubuhnya agar ia dapat mendengar dengan jelas ucapan lelaki itu. “Kenapa?”

“Kamu pegel nggak, Yang?”

Fara menggeleng. Ia menjauhkan kembali tubuhnya. “Nggak kok.” Matanya ia bawa untuk menatap spion kirinya, berupaya memudahkan lelaki itu agar melihat wajahnya. “BTW, jangan nyebut Yang takut kamu keceplosan!” Fara melirik sekilas ke arah motor depan yang untungnya pengendara itu tak sedang menatap balik ke arah kendaraannya berada.

Harri menyunggingkan sebuah senyuman. Cukup kecil agar mereka yang berada di depan tak menaruh kecurigaan besar kepadanya jua kepada perempuan di belakangnya.

Aing berasa hampa deh,” celetuk Harri secara tiba-tiba. “Hampa baru kali ini naik motor berdua tapi nggak pelukan. Aing udah kayak tukang ojek sama penumpangnya.” Ia sisipkan sebuah tawa kecil, ikut terhibur dengan ucapan yang baru saja ia loloskan dari birainya.

“Nanti aku peluk kalau udah pulang.”

Tak dipungkiri, sebuah senyuman riang tercetak jelas pada wajah sang empu secara tiba-tiba. Hebatnya hanya melalui sebuah kalimat itu, perutnya kini seperti sedang terdapat hewan yang beterbangan.

Fara mengalihkan wajahnya sekilas akibat terlalu malu dengan ucapannya itu. Namun sesaat kemudian jemari lentiknya sudah penuhi punggung sang kekasih dengan menggambar asal sebab rasa bosan tiba-tiba menghantuinya.

“Batu.”

“Hah?”

“Itu maneh gambar batu, kan?” timpal Harri, mengernyitkan dahinya seperti berusaha menebak sebuah gambar tak beraturan pada punggungnya

“Salah! Coba tebak kalau ini apa?” Jari telunjuk Fara mulai bergerak, menggambar sebuah objek yang sedari tadi telah memenuhi isi pikirannya. Kepalanya sedikit ia miringkan agar dapat melihat wajah sang kekasih dengan jelas dari arah sampingnya.

“Keluarga.”

Harri berusaha membagi fokusnya untuk menimpali kegiatan sang kekasih, pun dengan jalanan di depannya.

Fara melotot. Kepalanya bergerak ke arah kanan dan kiri dengan cepat. “Bukan! Kenapa juga keluarga?!” tanyanya sedikit emosi karena lelaki itu tak bisa menjawab hasil gambarnya dengan benar.

“Keluarga cemara ai maneh! Alias pohon! maneh tadi gambar pohon.”

“Hah? Kok bisa dari keluarga cemara ke pohon?” Fara menukik alisnya, bingung dengan jawaban Harri yang tak bisa ia cerna sendirian.

Harri menghela napasnya sebelum emosinya mulai ia tumpahkan. “Kampungan ih maneh! Itu teh film ai kamu, Yang!” Harri menggeleng, tak percaya karena kekasihnya itu tak mengetahui sebuah serial film yang sempat pernah booming.

Fara terdiam dan memperlihatkan deretan giginya. “Tebak lagi, ini harus bener jawabnya jangan pake perumpamaan tadi, ah!”

Mangga, geulis. Sok atuh enggal.”

Iya, cantik. Boleh cepet.

Fara kembali membawa jemarinya yang sibuk menari riang di atas punggung sang kekasih terbalutkan jaket hitamnya. Tebalnya jaket hitam tersebut seakan tak menghalangi Harri dalam menjawab semua hasil gambar perempuan yan dicintainya, walaupun sebenarnya Harri sendiri tak bisa merasakan hasil gambar tersebut dengan jelas.


Harri mengernyitkan dahinya. Matanya sibuk mencari keberadaan teman-temannya yang kini sudah lenyap dalam pandangannya. “Ke mana yang lainnya?” tanya Harri, dirinya berjalan menghampiri salah satu meja dan duduk tepat di sebelah Fara yang sedang asyik bermain ponselnya.

Fara melirik sekilas. Sesaat kemudian tatapannya kembali ia fokuskan pada benda persegi dalam genggamannya. “Ke bawah semua, mau jalan-jalan katanya.”

Maneh kenapa nggak ikut?” Harri meraih gelas minumannya, lalu meneguk secara perlahan.

Harri mendengkus melihat jawaban dari sang kekasih hanya dibalas sebuah gelengan tanpa menyuarakan secara lisan. “Games terus!” Bibir Harri mencebik. Wajahnya memberengut seperti sedang berupaya menarik atensi perempuan di sampingnya.

“Yang, ih!” Harri kesal, lantaran pertanyaannya tak digubris. Akhirnya dengan terpaksa Harri membawa kepalanya untuk ia istirahatkan pada bahu sang kekasih lengkap dengan tangannya yang melingkari pinggang gadis itu.

“Nyesel aing nyuruh Kaila dulu ngajakin maneh buat main games itu.” Mulutnya tak henti mengucapkan runtutan kalimat meskipun orang di samping tak memedulikannya. Harri mendengkus dengan bola mata yang memutar.

“YAAAANG!” frustasi Harri karena Fara tak mengubris semua ucapannya.

“Kamu diem, ih! Aku lagi fokus main games!”

Derap suara langkah membuat aktivitas lelaki itu spontan melepaskan pelukannya. “Permisi, Mba. Pesanannya.” Awalnya Harri kebingungan melihat berbagai makanan di depannya, namun akhirnya ia tersenyum dan mengucapkan kata terima kasih kepada pelayan tersebut.

“Yang, anjir! Maneh asli mau makan sebanyak ini?!” Harri melongo, masih menatapnya dengan tak percaya.

Fara mengangguk dengan riang. “Yang, suapin! Sekali-kali aku juga mau disuapin. Aku lagi main games!” Fara menggoyangkan kecil ponsel dalam genggamannya. Ia hanya menggoyangkan sekilas sebab tak mau kalah dari permainan yang sedang dimainkannya.

Harri menghela napasnya. Seakan ucapan yang keluar dari birai kekasihnya mutlak dan tak bisa ia sanggah, saat ini Harri sudah mengangkat satu piring nasi goreng yang masih mengepulkan asapnya. Harri mengaduk-aduk nasi goreng itu agar rasa panasnya akan berangsur hilang.

Harri menyendokkan nasi goreng dan ia tiup perlahan agar kekasihnya tak merasa terganggu dengan rasa panasnya nanti. “A, Yang.” Harri membawa satu suapan ke depan mulut yang kekasih. Tanpa sebuah lirikan dan masih dengan tangannya yang bergerak lihai, Fara pun langsung menyantapnya.

“Panas nggak?”

Fara menggeleng. Mulutnya mengunyah dengan cepat. Setelah dirasa dalam mulutnya kian kosong, Fara kembali membuka mulutnya seolah memberi isyarat agar lelaki itu cepat-cepat menyuapinya kembali.

Harri dengan telaten menyuapi sang kekasih yang masih setia memainkan games online-nya. Matanya sedari tadi sibuk menatap sekitar lalu beralih menatap perempuan di sebelahnya. Ia hanya berjaga-jaga agar temannya itu tak secara tiba-tiba mendatanginya. Ponselnya pun sedang menampilkan sebuah lokasi teman-temannya bergerak. Ia memantau pergerakan itu melalui benda persegi yang ia simpan di atas meja. Terkadang ia bangga dengan kecerdasan yang dimilikinya, jua bangga mempunyai teman seperi Jaya yang mudah untuk mengiakan segala permintaannya.


Suasana sunyi dari keramaian ditemani alunan musik menenangkan membuat Harri hampir terlelap dan terhenyak jika saja sebuah bahu tak langsung disodorkan seseorang di sampingnya. “Sini bobo,” ucap Fara sembari menyimpan kepala kekasihnya untuk bersandar di bahunya.

Harri yang diperlakukan seperti itu tentu tak menolak. Matanya kini telah terpejam tatkala sebuah tepukan pelan dengan irama konstan ia rasakan pada pipi kirinya. Tangan kanannya sibuk menggenggam tangan kiri sang kekasih, seakan ia tak mengizinkan perempuan itu untuk pergi darinya.

Fara yang tidak melakukan aktivitas apapun mulai memainkan jari-jemari kekasihnya. Telunjuknya bergerak mengikuti garis-garis urat yang menghiasi kulit sawo matang lelaki itu. Netranya beralih pada kulit tangannya. Ia sedang membandingkan lengannya dengan lengan Harri.

Tiba-tiba suara hiruk-pikuk dari orang-orang yang sedang bercengkerama disertai derap langkah makin terdengar dekat. Fara memicingkan matanya, jua kedua rungunya yang ia buka secara lebar-lebar. Netranya membulat sempurna kala suara tak asing itu terdengar dengan jelas.

Harri terlonjak dari kegiatan tidurnya saat tubuhnya digoyangkan secara brutal oleh perempuan di sampingnya. Lantas, masih dengan kesadaran yang minim Harri mulai membuka matanya. Ia menoleh ke samping dengan wajahnya telah dipenuhi tanda tanya.

“YANG! MEREKA DATENG!” panik Fara, menggeser sedikit badannya agar menjauhi kekasihnya yang masih berusaha mengumpulkan nyawanya pasca kegiatan tidurnya. Fara meraih satu gelas minuman dan meminumnya untuk menetralisir rasa keterkejutan yang tercetak jelas pada mimik wajahnya.

“IH KENAPA DEKET-DEKET AING ANJIR! SANA IH!” Fara mendorong tubuh Harri penuh tenaga. Harri yang tak ada persiapan pun sukses terhuyung, untung saja ia tak langsung jatuh ke lantai.

Awalnya Harri bingung dan akan melayangkan sebuah kata ketusannya, namun ujung matanya malah tak sengaja menangkap kedatangan teman-temannya dari arah Barat. “ANJIR! AING DULUAN DI SINI! MANEH YANG KE SANA!” timpal Harri tak terima dirinya harus berpindah tempat. Bak aktor dan aktris hebat, mereka berdua sedang memainkan sebuah peran yang begitu terlihat nyata.

Kesepuluh orang yang baru saja datang pun saling melemparkan tatapan bingungnya melihat kedua insan di depannya sedang berdebat. “Lu berdua ribut mulu, jodoh tau rasa!” sahut Hartigan sembari mendudukan dirinya di salah satu bangku dekat Harri. Tangannya langsung menyambar kentang goreng yang sudah dingin dan langsung memasukkannya ke dalam mulut.

“AMIT-AMIT!” ucap keduanya dengan kompak. Tangan Harri bersedekap di dada, sedang Fara membuang mukanya dengan pipinya yang menggembung—menahan kesal.

Di antara semua orang yang ada, hanya terdapat dua orang yang sedang menahan tawanya. Ia adalah Jagat dan Jaya yang kini saling memandang satu sama lain dan menggelengkan kepalanya. Cukup lelah melihat sandiwara yang tak ada ujungnya itu.

“WEI SUHARTI!” Fara menunjuk piring di depan lelaki itu, lalu beralih menunjuk sang empu. “ITU KENTANG GORENG AING YANG LAGI MANEH MAKAN!” ketus Fara melihat kentang goreng miliknya dilahap begitu saja oleh seseorang di sana.

Aduh anying padahal aing udah bilang jangan sebut Suharti, Yang! batin Harri, menatap cemas kedua orang di samping kanan dan kirinya secara bergantian.

Tak terima dirinya disebut seperti itu, Hartigan merampas paksa minuman yang sedang diteguk oleh Rakha. Ia menulikan telinganya kala lelaki itu sudah menyumpahinya dengan beberapa umpatan. “MINTA! GUA MINTA! LAGIAN PELIT BANGET LU!” timpal Hartigan, setelah semua kentang goreng berada dalam mulutnya sudah turun ke alat pencernaannya. “LAGIAN SUHARTI SIAPE! LU SAMA SI DAY MAKIN KELIATAN JODOHNYA DAH, SAMA-SAMA MANGGIL SUHARTI. JADIAN DAH SONO!”

Harri menggaruk pelipisnya tatkala telinga kirinya dipenuhi celotehan dari Fara, sedangkan telinga kanannya dipenuhi celotehan dari Hartigan. Ia pun dengan sigap langsung berdiri dan menyeret Hartigan untuk segera pergi agar tidak melanjutkan perdebatan itu.

“EMANG BERISIK BANGET ITU CEWEK! MENDING KITA MABAR, TI!” ucap Harri, tangannya asyik merangkul pundak temannya itu. Meskipun keduanya kerap bertengkar tak tahu waktu dan tempat, namun untuk sekadar bermain games online mereka berdua akan akur dan tak terlihat seperti seorang musuh.

“Aneh banget, bukannya si Teteh itu sama si Aa itu tadi teh masih mesra-mesraan, ya?” tanya salah satu pelayan yang sedari tadi asyik menonton sebuah pertunjukan gratis di depannya. Salah satu orang di sampingnya menganggukkan kepalanya, mengiakan ucapan yang dilontarkan perempuan itu.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


Gemercik suara hujan terdengar samar lantaran kedua insan yang berada di dalam mobil dengan tak tahu diri memutarkan sebuah musik begitu keras. Mereka berdua sesekali bersenandung mengikuti alunan musik begitu menenangkan. Padatnya jalanan di antaranya membuat keduanya makin nyaman berada di dalam mobil.

Seorang lelaki berzodiak gemini tak henti menyuarakan isi hatinya, sedang lelaki di sampingnya hanya terdiam sembari mencerna tiap-tiap runtutan kata yang dilontarkan sang empu.

“Pokoknya maneh nanti jangan senyum-senyum waktu aing ribut sama si Fara, jangan tatap aing sama si Fara curiga, jangan merhatiin aing sama si Fara!”

Demi apapun tanpa harus diberitahu pun Jagat tentu tidak akan melakukan semua ucapan yang dilontarkan oleh lelaki di sebelahnya.

“Iya, Harri. Kamu udah ngasih tau saya tiga kali, bahkan saya masih inget semua larangan kamu itu.”

Jagat memutar bola matanya malas. Tangan kanannya memijat pelan pelipis kepalanya yang berdenyut, sedang tangan kirinya ia istirahatkan di atas kemudinya.

“Lagi pula *maneh+ kenapa sih harus traktir kita di rumahnya si Grace? Terus ngajak si Fara?”

Tangan Jagat bergerak untuk mengecilkan alunan musik yang cukup mengganggu pelafalan lelaki itu. “Dia katanya mau buatin kalian kue, jadi sekalian aja. Nanti kalau misalnya kamu nggak cocok sama kuenya tolong filter ucapan kamu sedikit, ya, Ri,” timpal Jagat, masih dengan tatapan fokus pada jalanan di depannya.

Ingatan Harri kembali pada kebodohannya yang kerap tak dapat mengontrol setiap ucapan yang keluar dari birainya. Oleh sebab itu, lelaki di sampingnya mewanti-wanti dirinya untuk dapat mengendalikan tiap-tiap kata yang akan diucapkannya.

Kendaraan roda empat milik Jagat kini telah terparkir sempurna pada sebuah halaman rumah yang cukup luas. Harri berjalan menuju pintu mobil belakang. Ia perlahan membuka pintu tersebut lalu membawa beberapa kantong plastik berisikan makanan.

“Gat, sisanya maneh yang bawa, ya!” Jagat menganggukkan kepalanya kala mendengar sebuah titahan yang terucap dari mulut Harri.

Harri melangkahkan kedua tungkainya untuk menyambangi sebuah ruangan yang sudah dipenuhi oleh teman-temannya. Mereka seketika terdiam kala melihat kedatangan Harri secara tiba-tiba. Gelak tawa yang sebelumnya mengudara kini sudah lenyap dan menyisakan keheningan di antaranya.

Yolan segera bangkit dari tempat duduknya untuk menghampiri Harri dan membantunya. “Anjir, ini mah beneran si kami pesta dimsum!” rancau Yolan sembari menerima beberapa kantong plastik yang telah diserahkan Harri kepadanya.

“Bukan cuman dimsum, Mang Yols! Tapi ada pizza sama chicken, agaknya si Galer udah stress!” ucap Harri menunjuk ke arah belakang yang mulai menampilkan seseorang dengan kedua tangan dipenuhi makanan.

Aksara, Fara, Jaya, dan Rakha tercengang kala dapati berbagai makanan yang sudah menghiasi mejanya. Padahal sebelumnya meja itu hanya berisikan gelas kosong, namun kini telah terisi dengan penuh.

“Grace mana?” tanya Jagat yang dijawab dengan jari telunjuk mengarahkan ke arah dapur oleh Aksara. Lantas Jagat mulai menyambangi ruangan itu dan meninggalkan teman-temannya yang masih menatap takjub makanan di hadapannya.

Harri berdeham pelan saat maniknya tak sengaja melihat Fara sedang asyik bercengkerama dengan lelaki di sebelahnya. Naasnya tatapan itu tak digubris oleh seseorang di seberang sana.

“Eh, Hag tadi ada cewek yang minta nomor HP maneh,” ucap Jaya secara tiba-tiba mampu menghentikan Harri dalam memainkan ponselnya. Pun menghentikan seseorang yang sebelumnya masih asyik berbincang.

Saha?” sahut Harri nampak tak tertarik dengan ucapan Jaya.

saha = siapa.

“Tagel.”

“Anjing eta nu gelo di deket imah sia teu sih, Jay?” sahut Rakha yang kemudian dibalas anggukkan oleh Jaya.

Itu orang gila yang deket rumah lu bukan sih, Jay?

“ANJING SI TATA GELO?!”

Gelak tawa mulai menghangatkan suasana sunyi di antara mereka. Yolan yang tak dapat menahan tawanya mulai terjatuh ke lantai kemudian selang beberapa detik diikuti oleh Aksara. Fara yang tak mengerti pun ikut tertawa karena melihat reaksi lelaki itu begitu lucu di matanya.

“Anjir itu teh masih suka mintain nomor HP orang-orang, Jay?” tanya Aksara yang masih bersemayam di atas lantai dengan Yolan di sampingnya.

“Masih.”

“Monyet, Aksa, sakit!” Yolan meringis tatkala ia mendapatkan sebuah tepukan keras pada punggungnya. Ia segera mengusap bekas tepukan itu untuk meredakan rasa sakitnya.

“Dulu mah bawa-bawa batu terus sekarang mah diganti HP mainan da takut anying meresahkan warga komplek aing.”

Rakha baru saja akan membuka mulutnya untuk menimpali ucapan Jaya, tetapi seorang perempuan di sana lebih dulu berseru hingga membuat dirinya dengan terpaksa mengurungkan niat tersebut.

“Yeay!” seru Fara mengalihkan obrolan kelima temannya dan segera mengikuti tatapan perempuan itu.

Rakha segera merapikan meja yang sebelumnya masih berantakan akibat makanan yang disimpan dengan asal. Harum kue yang masih panas pun berduyun-duyun tanpa permisi memasuki indra penciuman mereka. Bahkan hanya dilihat dari bentuknya saja mereka bisa pastikan kue-kue tersebut sangat lezat.

“Grace sumpah aing bilangnya suruh si Jagat beli dimsum aja, tapi dia malah beli sebanyak itu!” tutur Harri kala melihat tatapan bingung dari pancaran mata Grace melihat meja ruang tamunya yang telah dipenuhi berbagai makanan.

Jagat yang ditatap secara tiba-tiba oleh perempuan di sebelahnya hanya memperlihatkan deretan giginya tanpa berniat menjelaskan apapun.

Mendengar helaan napas dari Grace buat nyali Jagat seketika menciut. “Bakal habis, kok, kamu tenang aja.”

Aing nggak yakin bakalan abis, sih.” Ucapan dari Jaya dihadiahi tepukan cukup keras pada bahu kirinya. “Sakit, anjing, Gat!” Sang empu yang tak tahu diri memukul bahunya hanya membalas dengan tatapan sengitnya.


Mereka berenam mulai memilah tiap makanan berada di depannya untuk segera dimasukkan ke dalam mulutnya. Mata Harri memincing kala melihat sumpit perempuan di seberangnya akan berancang-ancang memilih makanan tersebut. Dengan cepat Harri segera membawa ke arahnya.

“Ih! Aing mau makan itu!” ketus Fara tak terima makanan yang sudah ia cita-citakan itu harus berpindah tangan pada sang empu.

Aing mau makan dimsum udang ini!” sahut Harri tak kalah tinggi dengan nada suara itu sebelumnya. Lantas Fara segera terdiam dan mempersilakan lelaki itu untuk menyantapnya secara sukacita.

“Nih, punya si aku aja. Ini juga udang, Fa.” Yolan menyerahkan satu kotak dimsum ke arah perempuan itu. Alih-alih menerimanya Fara malah menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk menolak tawaran dari Yolan.

“Nggak jadi, ah. Aing mau dimsum ayam aja,” ucap Fara sembari meraih satu dimsum di depannya dan segera melahapnya dengan riang.

Nuhun.” Jaya yang merasa terganggu dengan satu kotak dimsum di depan matanya itu langsung segera meraihnya dan mulai menyicipi makanan tersebut. Beruntungnya Yolan tak mempermasalahkan hal itu dan mempersilakan Jaya untuk menghabiskannya.

Nuhun = Makasih.

Mungkin sebagian orang akan berpikir Harri rakus. Kendatinya siapa yang akan menyangka bahwa perlakuan Harri itu secara tidak langsung telah menyelamatkan dirinya.

Hingga pada akhirnya setiap Fara akan menyantap dimsum di depannya, ia akan mencuri pandang sekilas ke arah lelaki di ujung sana. Fara akan menyantap makanan yang dihadiahi sebuah anggukkan pelan dari kekasihnya. Untung saja fokus mereka semua terhanyut oleh hidangan di depannya hingga tak begitu memedulikan sekelilingnya, pun memedulikan gerak-gerik padanya.

“Ada yang mau kulit?” tawar Jagat, menunjuk sebuah kulit berada di atas piringnya.

Aing!”

Aing mau, Jag!”

Mereka berdua berlari menghampiri ke arah tempat Jagat berada. Tangan Fara lebih dulu meraih kulit tersebut, namun secara tiba-tiba sebuah tangan lebar tengah menggenggam erat tangannya dari atas.

Aing duluan yang dapet!” Fara tak terima ketika tangan tersebut tak ayal adalah tangan Harri, kekasihnya sendiri.

“Tapi aing duluan yang bilang mau!”

“Bodo amat! Soalnya yang duluan ambil itu aing bukan maneh!”

Pertengkaran itu dianggap bagai angin lalu oleh beberapa pasang mata yang masih asyik menikmati makanannya. Namun tentu tidak dengan Jagat yang kini hanya bisa menghela napasnya dengan gusar.

“Fara, kamu makan kulit ayam aku aja. Aku kebetulan lagi nggak mau kulit ayam!”

Fara menggeleng. Ia menolak mentah-mentah tawaran dari Grace. Fara tahu bahwa Grace pun menyukai kulit ayam seperti dirinya, jadi ia tidak akan mengiakan tawaran tersebut.

“Anjing!” Harri refleks melepaskan tangannya kala sebuah gigitan keras ia rasakan pada kulitnya. “Sia jorok anjir, ih!” Harri meraih satu lembar tisu lalu segera ia usapkan pada punggung tangannya yang memperlihatkan jelas bekas gigitan sang puan.

Seolah sedang menulikan telinganya, Fara tak menggubris ucapan itu. Ia kini dengan lahap mengunyah kulit ayam yang mati-matian telah dipertahankannya.

“Ya udah, Ri, nggak apa-apa. Kan masih banyak ayam yang lain.”

“Nggak mau, aing udah nggak mood!” ketus Harri sembari melengos pergi dari hadapan Jagat dan Fara untuk kembali ke tempat duduknya berada.

Jagat tak habis pikir dengan kedua sejoli itu yang nampaknya seperti seorang rival. Namun siapa sangka bahwa sebenarnya kedua orang tersebut adalah sepasang kekasih.


“Mau aing anterin nggak, Fa?” tawar Aksara basa-basi.

Fara menggeleng. “Nggak usah, Sa.” Tangannya mulai meraih benda persegi panjang dalam saku celananya. “Aing naik ojek online aja.” Fara mengangkat ponselnya untuk memperlihatkan sebuah aplikasi hijau agar temannya itu tak perlu repot-repot mengantarkannya sampai rumah.

“Bareng saya aja sama Harri, kebetulan saya bawa mobil.”

“Nggak, deh, kasian maneh harus muter,” tolak Fara sengaja meskipun ia sudah mengetahui tatapan yang diperlihatkan Jagat seolah sedang menyimpan sebuah isyarat untuknya.

Jagat menggeleng, tak merasa keberatan walaupun ia perlu lebih lama waktu untuk sampai pada kediamannya. “Nggak apa-apa, santai. Nanti saya anterin kamu dulu baru anterin Harri.”

“Ya udah, deh, boleh kalau maneh maksa.”

Lambaian dari sang pemilik rumah pun suara klakson yang secara sengaja mereka bunyikan lantang menjadi interaksi terakhir.

Jagat dengan sengaja memutar sebuah musik secara acak untuk mencairkan suasana di antaranya. Terlebih kala ingatannya kembali pada kejadian dua sejoli itu saling berebut kulit ayam yang ditawarinya.

“Tangan maneh sakit nggak?”

Ucapan retoris yang sebenarnya tak perlu dijawab pun sang puan sudah tahu jawabannya. Bekas gigitan merah masih tercetak pada punggung lengan kekasihnya memperlihatkan bahwa gigitan darinya tak bisa terbilang main-main.

“Sakit anjir, Yang! Maneh kebiasaan, deh, kalau gigit suka pake tenaga dalem!”

Jagat sedari tadi hanya diam. Meskipun terkadang jutaan kupu-kupu terbang di perutnya kala lelaki di sebelahnya dengan lantang mengucapkan sebuah kata yang masih terasa asing di telinganya.

BTW, badan maneh gatel-gatel nggak, Yang? Maneh kan punya alergi udang, takut secara nggak sadar tadi maneh makan dimsum udangnya.”

Fara menggeleng, meskipun gelengan darinya tak dapat dilihat oleh orang tersebut. “Nggak.”

“Nanti kalau misalnya tiba-tiba ngerasa gatel kabarin aku.”

Fara mengangguk, memahami intrupsi dari kekasihnya. Sejatinya ia tak pernah mengatakan bahwa ia memiliki alergi udang. Maka dari itu, ketika mereka makan dimsum tak ada yang menyadari kecuali kekasihnya sendiri. Beruntungnya Fara mendapatkan seorang kekasih yang cepat tanggap segala tentang mengenai dirinya.

“Kamu mau ke mana?” tanya Jagat melihat gerak-gerik lelaki di sampingnya yang akan berancang-ancang beranjak ke kursi belakang.

Aing mau pindah ke kursi belakang sama pacar aing!”

“Diem di situ, brengsek. Saya bukan supir kalian.”

Jagat menarik belakang kerah pakaian Harri menggunakan tangan kiri yang terbebas dari kemudinya. Harri meringis pelan kala pantatnya secara tiba-tiba terbentur dengan kursi yang sebelumnya ia duduki. Beruntungnya kursi tersebut empuk sehingga ia tak perlu susah payah merasakan sakitnya.

Harri berdecih dan menepis lengan temannya yang masih setia mencengkeram kerah pakaiannya.

Sedang seseorang di belakang hanya bisa mengulum senyumnya. Meskipun hubungannya secara satu per satu mulai diketahui oleh teman dari kekasihnya, namun mereka tak pernah mengikut campuri hubungannya. Justru mereka acapkali membantunya walau Fara dan Harri tak pernah memintanya.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0.


Burung-burung beterbangan riang bersamaan dengan lembayung senja mulai menampakkan dirinya di ufuk barat. Padatnya suasana di sore hari tak membuat kedua sejoli yang berada di atas motornya mengurungkan niat dalam berkencan.

“Ke arah mana lagi abis dari sini, Yang?” tanya seorang lelaki yang sedang menjalankan kendaraan roda duanya.

Perempuan di belakangnya tak langsung menjawab pertanyaan itu, melainkan ia terus-menerus memutar ponselnya. Ia sedang memastikan apakah mereka berdua berada di jalan sesuai yang diarahkan dalam ponselnya.

Merasa ucapannya tak digubris sang kekasih, Harri membawa kendaraan roda duanya untuk menepi di bahu jalan. Harri menolehkan kepalanya ke belakang. Mesin motornya ia biarkan menyala begitu saja.

“Yang, ih, jangan bilang maneh salah liat maps!”

Harri meraih ponsel berada dalam genggaman kekasihnya. Ia lirik sekilas untuk memastikan posisi mereka saat ini. Matanya memejam diiringi helaan napas pelan untuk sekadar menetralisir rasa emosinya. Tempat yang mereka pijak saat ini tidak sesuai dengan titik seharusnya.

“Yang, harusnya kita ke belokan tadi. Ah, ini mah kita harus muter lagi! Katanya tadi bisa baca maps. Tenang aja aku anak IPS jago baca maps.” Harri menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia ingat betul ucapan dari kekasihnya itu.

“Udahlah, aku udah nggak mood makan katsu Maranatha!” pekik Fara senderut. Tak terima disalahkan sebelah pihak. Padahal sebelumnya lelaki itu pun menyetujui untuk dirinya memandu perjalanan kali ini.

Kedua tangannya bersedekap di dada. Pipinya menggembung menahan amarah. Netranya sibuk menatap kendaraan yang berlalu-lalang. Ia kesal ketika lagi-lagi dirinya disalahkan oleh lelaki di depannya. Lantas kalau memang begitu mengapa tidak kekasihnya saja yang membaca maps? Mengapa harus menyuruh dirinya?

Lagi-lagi terdengar suara helaan napas dengan samar. Harri tak memedulikan ucapan sang kekasih yang merajuk. Netranya kini sibuk menghafalkan jalananan yang akan ditempuhnya. Awalnya ia akan kembali menyerahkan ponsel itu, namun ketika melihat raut kekasih yang tidak bersahabat itu membuat Harri segera mengurungkannya. Ponsel hitam itu dengan cepat Harri masukan ke dalam kantong celananya.

“Pegangan, Yang.”

Sadar ucapannya tak digubris oleh perempuan di belakangnya membuat Harri berinisiatif untuk menarik lengan kekasihnya dan segera ia melingkarkan pada pinggangnya. “Pegangan, takut jatoh.” Masih dengan perasaan kesal, Fara tak merespons ucapan itu. Suara miliknya kini terbilang mahal sehingga ia tak mau untuk sekadar membalas ucapan dari sang kekasih.

Suara deru kendaraan menjadi satu-satunya alunan yang menemani perjalanan mereka kali ini. Tak ada obrolan hangat seperti biasanya. Hanya ada keheningan menyertai keduanya.

Harri sangat mengerti dengan sikap sang kekasih apabila sedang kesal. Harri tak segan akan mendiamkannya hingga perempuan itu kembali memperlihatkan raut seperti semula. Lagi pula ia yakin bahwa kekasihnya tak benar-benar tak menginginkan makanan itu.

“Aku nggak beneran kok bilang nggak mau katsu Maranathanya, aku pengen banget itu, Yang.”

Kan, tebakannya benar. Sejatinya Harri memang mafhum dengan kebiasaan kekasihnya ketika merajuk. Suasana hati kekasihnya cukup labil dan mudah tergoyahkan.

“Geli, anjir!” Harri menepis lengan Fara yang sedang asyik menggambar di atas perut yang terbalutkan jaket hitam. Fara mendengkus pelan. Ia tak terima bahwa ucapannya sama sekali tidak direspons oleh sang empu.

“Aku mau katsu Maranatha, ih!”

“Iya, geulis, iya. Kan ini teh aing lagi menjalankan motornya menuju tempat itu! Maneh pikir aing mau ke mana gitu?!”

Tangannya Harri masih setia menutup akses agar perempuan itu tak kembali menarikan jemarinya di atas perut miliknya. Karena demi apapun itu sangat geli. Harri paling tidak tahan ketika seseorang dengan sengaja menyentuh bagian pinggang dan perutnya.

“Oh, kirain hehe,” cengenges Fara, malu ketika menyadari kekasihnya tak mengiakan ucapannya beberapa waktu lalu.

Raut wajahnya kini kembali bersinar. Bahkan, saking senangnya sang puan hingga memamerkan sederetan giginya dengan sengaja. Tak peduli angin sore akan membuat giginya mengering. Ia hanya ingin memperlihatkan bahwa sore ini ia sedang bahagia.


Kedua lengan Fara kini sudah dipenuhi kantong plastik berisikan makanan yang sudah ia dambakan dari lama. Pasalnya acapkali ia membuka media sosial akan langsung disuguhkan dengan beberapa review dari makanan yang kini sudah berada di genggamannya.

“Makannya di rumah aku, kan, Yang?” tanya Fara memastikan sembari menyerahkan kantong plastik itu kepada seseorang yang sudah lebih dulu duduk di atas kendaraan roda dua.

Harri mengangguk tanpa mengeluarkan suaranya. Tangannya masih sibuk menggantungkan makanan itu pada dek motornya. Setelah dirasa sudah tergantung rapi, Harri mendongakkan kepalanya untuk menatap netra sang kekasih.

“Sini, Yang.” Harri melambaikan tangan seolah sedang menyuruh perempuan itu segera mendekatinya.

Tahu apa yang akan dilakukan kekasih terhadapnya. Fara segera melangkah mendekati sembari menundukkan sedikit kepalanya. Harri tersenyum dan segera meraih helm untuk ia pasangkan pada kepala sang kelasih.

“Aku berasa anak kecil soalnya terus-terusan maneh pasang dan buka helmnya. Seolah-olah aku teh tidak bisa melakukan kegiatan itu sendirian!”

Harri terkikik geli. Ia menepuk pelan helm di depannya seraya memamerkan kedua maniknya yang telah menyipit akibat sang empu tak tahan untuk sekadar menahan gelak tawanya.

“Emang, kan, maneh masih anak kecil. Makan ice cream aja suka masih belepotan, kalah sama adi aing si Kaila.”

“Ih!”

Harri mengaduh pelan tatkala kepalanya sukses dipukul sang puan tanpa perasaan. Tangannya terjulur untuk mengelus pelan kepalanya yang masih dibaluti helm itu.

“Sakit, anjir!”

Melihat sang kekasih memancarkan raut kesakitan membuat Fara tak tega dan ikut mengelus kepala Harri. “Eh, maaf. Aing kayaknya terlalu bersemangat menimpuk kepala maneh, Yang!” Ucapan darinya hanya dibalas dengkusan pelan dari sang empu.

Fara refleks menaik kembali ke atas motor sang kekasih ketika melihat lelaki itu berancang-ancang akan menyalakan mesin motornya. Sepersekian detik kemudian, kendaraan roda duanya kembali membelah jalanan. Tak ada lagi pemandangan senja di langit di atas kepalanya. Kini yang ada hanya langit yang sudah berubah menjadi warna abu dan ia yakini beberapa menit lagi langit tersebut akan berganti menjadi warna hitam sepenuhnya.

Harri menyesal telah melewati jalanan yang dipenuhi oleh beberapa kendaraan yang sedang berdiam menunggu lampu lalu lintas itu berubah menjadi warna hijau. Rasa bosan mulai mendatangi dirinya, hingga ia membawa kelima jarinya untuk mengetuk pelan di atas paha kanannya dengan irama konstan. Kaki kirinya terjuntai kebawah untuk menahan beban keduanya di atas motor, pun menahan keseimbangan. Sedang perempuan di belakangnya masih setia memeluk dirinya sembari kepalanya ia istirahatkan pada bahu kirinya.

“Kesel banget, ih. Lama pisan, ya, ini teh lampu merahnya, Yang.”

Harri mengangguk menyetujui ucapan sang kekasih. Mereka sudah menunggu hampir lima menit lamanya, namun lampu lalu lintas itu tak kunjung memperlihatkan tanda-tanda akan berganti warna.

“Malam-malam lagi dingin gini memang enaknya pelukan di atas motor sambil nunggu lampu lalu lintas berubah jadi warna hijau, sih. Apalagi pas banget sama cuaca Bandung yang baru aja selesai dari hujan. Kayaknya makin nyaman gitu, ya. Sayang sekali jok belakang motor saya kosong.”

Apa sih sok kenal, batin Harri. Hingga akhirnya ia terpaksa menolehkan wajahnya ke arah samping kanannya untuk memastikan orang tersebut apakah sedang berbincang padanya atau bukan.

Seketika aliran darah Harri seakan berhenti. Bibirnya memucat pun matanya yang terbelalak. Ia ingin mengerjapkan matanya untuk memastikan seseorang di depannya bukanlah sebatas halusinasi, namun sepertinya kedua matanya begitu berat dan menolak apa yang ia inginkan.

“Kamu kenapa, Yang—”

Ucapan Fara menggantung begitu saja kala kedua maniknya melihat sosok seseorang yang sama sekali tak pernah terbesit dalam pikirannya akan bertemu dengan cara seperti saat ini. Sontak pelukan pada lelaki di depannya ia lepas dengan cepat.

Lelaki itu tersenyum sembari melambaikan tangan kanannya. “Hai.” Cukup satu kata yang terucap mampu membuat keduanya makin bungkam.

Alih-alih menjawab sapaan darinya, kedua orang di depannya itu tak berniat untuk sekadar membalas sapaannya. Padahal membalas sapa seseorang adalah basic manner yang harus dimiliki setiap individu.

Lelaki itu telah berancang-ancang menginjak pedal gasnya ketika lampu lalu lintas di depannya secara tiba-tiba berubah menjadi warna hijau. Ia memutuskan pandangan pada lampu lalu lintas di depannya untuk kembali menoleh pada kedua insan di sampingnya yang masih setia menatap penuh kejut ke arahnya.

“Saya duluan, ya, Harri, Fara,” pamit lelaki itu lebih dulu.

Jika saja kendaraan belakang tak membunyikan klaksonnya, ia mungkin masih setia bergeming di atas motornya. Masih dengan rasa keterkejutan yang dirasanya, ia mulai menjalankan kendaraannya dengan pelan. Hanya kecepatan 20 km/jam. Berbeda dengan sebelumnya yang melajukan dengan kecepatan 40 km/jam.

Pada hari itu keduanya menyesal karena telah menyambangi sebuah tempat makan yang diiming-imingkan oleh sebagian orang. Padahal seharusnya setelah kejadian tersesat itu mereka tak melanjutkan perjalanannya. Seolah kejadian itu menjadi sebuah pertanda bagi keduanya agar tak mengalami kejadian naas beberapa menit yang lalu.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0