NAAMER1CAN0


Netra hitam milik seorang pria kelahiran bulan Juni menatap lamat kedua insan di depannya sedang bercengkerama diiringi tawaan kecil yang sukses membuat gejolak rasa cemburu mendatanginya. Lelaki itu terlonjak ketika sebuah tepukan dirasakan pada bahu kanannya. Ia menoleh sembari melayangkan tatapan penuh tanya.

“Panas, ya, Hag?” ucap Jaya secara tiba-tiba seraya menyejajarkan tubuhnya dengan sang empu. “Gimana? Udah ngerasa nyesel belum maneh malah backstreet?” ledek Jaya tanpa menolehkan wajahnya pada lelaki di sampingnya yang masih menatap ke arahnya. Tangannya bersedekap di depan dada, pun dengan kedua maniknya sibuk memandangi objek di depannya.

Dengan cepat Harri memutuskan pandangan pada lelaki di sampingnya dan kembali menatap pemandangan di depan. Ia tak menjawab runtutan kata itu secara vokal, melainkan menjawabnha dengan sebuah gestur tubuh—menggelengkan kepalanya seraya mengedikkan bahunya. Berupaya terlihat tak acuh.

Sejatinya Jaya mafhum dengan pancaran tatapan lelaki itu. Tatapan penuh rasa sendu yang sedang berusaha dibendung sendirian. Tangannya terjulur untuk sekadar menepuk punggung temannya sekilas.

Harri melengos. Tungkainya menjauhi pemandangan yang kerap membuat gejolak di dadanya mendidih. Dalam perjalanannya ia secara tak sadar memamerkan guratan tak suka yang terlihat jelas raut wajahnya. Untung saja keadaan di sekitarnya sedang sepi sehingga tidak ada orang yang melihatnya.

Maneh mau ke mana?” tanya Jaya ketika melihat lelaki itu mulai berjalan meninggalkannya tanpa adanya untaian kata perpisahan.

“Ke dalem biar adem!” timpal Harri dingin enggan menolehkan wajah, Pun menghentikan langkah kakinya.

Jaya mengangguk, paham dengan suasana hati temannya. Ia hanya bisa menatap punggung lebar milik temannya dengan tatapan iba. Lantas ia kembali menatap kedua orang di depannya yang masih setia berbincang tanpa memedulikan kehadirannya.

Ironisnya, sekonyong-konyong Harri berusaha menutupi rasa tidak suka namun semesta masih dapat mengetahuinya secara jelas. Pun dengan seekor kucing yang kini menatap ke arahnya, lalu tak lama kucing tersebut mengikuti langkah sang empu.

Merasa ada yang mengikuti, Harri langsung menghentikan langkahnya. Ia berjongkok untuk sekadar mengelus kucing tersebut sebentar, hanya mengelus lalu pergi. Niatnya. Tak ayal lelaki itu memiliki alergi terhadap bulu kucing.

Aing kira kucing adalah makhluk hidup paling menyedihkan karena cuman bisa ngeong-ngeong. Ternyata dugaan aing salah, yang menyedihkan adalah diri aing sendiri,” tutur Harri penuh candaan di dalamnya.

Harri menganggap makhluk menggemaskan yang masih setia dielusnya itu akan menimpali ucapannya. Namun alih-alih segera pergi dari hadapan kucing berwarna oranye di bawahnya, melainkan ia masih setia berada di sisinya.

Bahkan kini lengan kanannya terjulur untuk mengelus kucing tersebut dari kepala hingga pangkal punggung secara berulang. Tak ayal kucing tersebut yang merasa diperlakukan istimewa seperti itu malah makin semangat bermanjaan dengan sang empu.


Harri menatap sengit objek di depannya yang memperlihatkan seorang lelaki dengan perempuan yang sedang asyik berbincang dengan beberapa anak panti asuhan. Harri mengetuk pelan papan tulis di hadapannya secara berulang untuk mengalihkan atensi para anak-anak panti asuhan yang sedang asyik sendiri. Terlebih mengalihkan atensi seseorang di sana yang sedari tadi tak memandang ke arahnya.

“Maaf banget ini mah tapi Aa yang di sini teh mau menjelaskan, kalian tolong perhatiin Aa dulu, ya.”

Lelaki di sebelahnya sudah berancang-ancang memberikan sebuah gestur untuk mengajak anak-anak di dalam ruangan itu terdiam dengan membawa jari telunjuk yang disimpan di depan mulutnya.

“Temen-temen semuanya yang cantik dan ganteng ayo perhatiin Aa Yolan sama Aa Harri dulu, ya!”

Beruntungnya tanpa harus mengeluarkan tenaga ekstra, mereka pun mengikuti perintah yang telah diserukan beberapa detik yang lalu. Kegiatan mengajar pun berjalan dengan lancar. Walaupun sesekali ada sebagian anak yang bersengketa sebab berebut alat tulis, untungnya berangsur kembali damai tatkala seorang perempuan datang dan melerainya.

“Rambut maneh, Sel, ngalangin Dian,” ucap Rakha di kala keheningan yang menyertainya. Tangannya secara spontan membawa rambut perempuan itu ke bahunya agar tak menghalangi pandangan si kecil di sebelahnya.

“HACHIM!”

Suara itu berhasil mengejutkan seluruh penghuni dalam ruangan yang sedang ditempatinya. Tak banyak dari mereka dengan cepat mengelus dadanya, berupaya menetralisir rasa keterkejutannya akibat suara bersin dari lelaki yang masih setia berdiri di depan.

“Maaf guys, nggak SENGAJA! Tadi A Harri pegang kucing, padahal A Harri teh alergi!” seru Harri penuh penekanan pada kata 'sengaja' agar seseorang di sana akan mengerti maksud dari perkataannya.

Sul, Sal, Sul, Sel, sok kenal banget, anying!, pikir Harri. Matanya mengerling akibat kedua telinganya tak sengaja mendengar sebuah panggilan special miliknya yang telah diserukan oleh pemuda itu.

Benar saja, setelah berucap demikian seorang perempuan di sana telah menegakkan tubuhnya. Badannya perlahan menggeser agar tak terlalu dekat dengan pemuda di sebelahnya.

Ucapan dari Harri beberapa detik lalu berhasil membuat seorang lelaki yang memiliki rahang tegas menggelengkan kepalanya. Ia—Jaya—menghela napasnya lalu mengembuskan dengan pelan. Tak habis pikir dengan satu temannya itu yang kerap memperlihatkan tindakan di luar nalar.

“Gantian dong yang ngajarnya, bosen.” Jaya mengedarkan pandangannya, seolah sedang menimang-nimang orang selanjutnya yang akan mengajar para anak panti asuhan kali ini. “Fara maneh sama si Aksara dong gantian yang ngajar di depan,” tunjuk Jaya selaku ketua pelaksana kegiatan. Sebetulnya Jaya ingin sekali membantu temannya agar bisa berduaan dengan kekasihnya di depan, namun sepertinya alam semesta belum memihak pada kesempatan kali ini.

Fara awalnya ingin menolak. Akan tetapi setelah melihat penuh harap dari Jaya seperti sedang berusaha mentransfer isi kepala kepadanya pun akhirnya ia mengangguk mengiakan. Farabangkit, lalu berjalan ke arah depan sesuai dengan permintaan ketua pelaksana. Pun seorang pemuda lainnya menyeimbangi pergerakan perempuan itu.

Bersamaan dengan Fara yang berjalan ke arah depan ruangan, Harri berjalan ke arah Jaya dan mendudukan dirinya persis di sebelah temannya itu. Yang pertama kali Jaya dengar hanyalah suara deru napas tak beraturan dari lelaki di sampingnya.

Jaya menyenggol pelan tangan Harri yang sedang memeluk kedua kakinya. Harri menoleh tanpa mengeluarkan suaranya. Ia hanya mengangkat kedua alisnya seperti sedang bertanya maksud dari lelaki itu telah mengusik aktivitasnya.

Bukannya mengeluarkan suaranya, lelaki itu malah bergeming dan menatap kedua matanya. Tahu maksud dari tatapan itu, Harri menggeleng dan menyunggingkan sebuah senyuman kecil. Tatapannya pun kembali ia arahkan ke objek di depannya.

Perempuan itu mengajar anak-anak panti asuhan dengan riang. Harri mati-matian menahan raut wajahnya agar tidak tersenyum dengan lebar melihat pemandangan itu. Apalagi ketika melihat binaran yang tercetak di kedua manik hitam sang kekasih.

Namun seketika seluruh pujian yang ia gumamkan dalam relungnya berganti dengan sebuah umpatan saat Aksara mulai meraih lengan baju Fara dan membantu menggulungnya agar pakaian itu tak mengenai noda hitam di papan tulis.

“Bangsat, Ajay! Sama aja, anying!” bisik Harri kepada lelaki di sampingnya.

Jaya dengan refleks memukul lengan Harri tatkala ia merasakan sebuah cubitan pada lengan kanannya.

“Ya, aing mana tau bakalan ada adegan kayak gitu, bangsat!”


“Udah tau alergi bulu harusnya sia sadar diri, anjing.” Emosi Rakha tersulut tatkala kedua telinganya tak henti mendengar bensin yang dilontarkan oleh Harri.

Harri terkikik geli kala indra pendengarannya dipenuhi kekhawatiran dari temannya itu.

“Pake masker,” Rakha menyerahkan satu buah masker yang telah dibelinya di supermarket terdekat. “Sia cuci tangan belum?” Harri mengangguk, mengiakan ucapan Rakha bahwa ia telah lebih dulu membersihkan tangannya.

Mata Rakha memicing, membidik bulu kucing mungkin masih menempel di pakaian temannya. Tangannya secara cepat tergerak kala maniknya berhasil menemukan beberapa bulu yang tertinggal di bagian celana Harri.

Maneh nanti pulang langsung ganti baju, Hag,” ujar Aksara. Ia pun mengikuti jejak Rakha untuk membantu mencari bulu kucing yang tertinggal di pakaian sang empu.

“Aman, BTW si Galer udah nganterin si Grace pulang?” tanya Harri di tengah-tengah kegiatan memasangkan masker hitam untuk menutupi area hidung dan mulutnya.

“Udah.”

“Fa, nanti si aku mau ke supermarket dulu ya beliin titipan si Aa si aku. Nggak apa-apa?”

Baru saja Fara akan menjawab ucapan itu, akan tetapi seseorang lebih dulu menginterupsinya.

Maneh pulang ke mana gitu, Fa?” tanya Jaya basa-basi. Padahal ia sudah tahu di mana tempat tinggal perempuan itu.

“Di Kopo.”

Jaya mengangguk. “Si Fara sama aing aja, Lan. Aing soalnya sekalian mau ke Kopo.” Harri menatap Jaya menggunakan ujung ekor matanya. Ia sedang berusaha seolah-olah tak tertarik dengan perdebataan kedua lelaki itu.

“Sama si aku aja weh, soalnya tadi datengnya sama si aku masa pulangnya jadi sama si kamu?” tolak Yolan. Ia bersikeras ingin mengantarkan Fara pulang. Menurutnya, apabila perempuan itu datang dengannya maka artinya ia pun harus pulang bersamanya.

Aing sama Jaya aja deh, Lan. Kasian maneh kalau harus muter, sayang bensin,” timpal Fara, menyetujui ucapan Jaya setelah melihat sebuah isyarat yang telah disalurkan oleh lelaki itu.

“Ya udah kalau gitu mah. Si kamu hati-hati, Jay. Si kamu bawa cewek bukan cowok jadi jangan kebut-kebutan.”

“Aman.”

Aksara kembali berdiri di hadapan lelaki yang sudah rapi menggunakan masker hitamnya. “Hag, maneh kuat nggak bawa motor sendirian? Mau aing bonceng aja nggak? Motor aing mah biar si Rakha aja yang bawa.” Demi apapun bukan main. Aksara sangat khawatir dengan temannya itu yang kerap bersin sampai tak mampu ia hitung sendirian.

Heeh, maneh sama Aksa aja. Aing takut kenapa-napa di jalan.”

Harri menggeleng cepat. Badannya seketika tegak dan ia goyangkan kecil untuk memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja.

“Santai aja, anjir. Aing nggak apa-apa asli. Nggak terlalu parah juga cuman bersin-bersin, nanti juga ilang.”

“Ya udah, sia hati-hati. Kalau udah sampe rumah berkabar di grup.”

Harri mengangguk menimpali ucapan Jaya sembari mengacungkan jempolnya. Tanda ia memahami dan akan melakukan perintah itu setelah sampai pada kediamannya.

Melihat Harri yang sudah menaiki kendaraannya, lantas Jaya segera berjalan ke arahnya. Harri yang awalnya akan memasangkan helmnya harus segera ia urungkan ketika pemuda itu berancang-ancang akan membisikkan sesuatu padanya.

“Ikutin aing tapi maneh seakan-akan mau pulang ke Buah Batu. Nanti aing tungguin di Griya setelah Borma.”

Mengerti akan sebuah perintah itu, Harri menganggukkan kepalanya lalu kembali memasangkan helm yang sempat terhenti.

Mereka kini satu per satu mulai meninggalkan kawasan Panti Asuhan. Jaya dan Fara menjadi orang paling terakhir di antara mereka. Kecanggungan pun mulai menghantui keduanya. Berduaan dengan Jaya membuat Fara sulit untuk memulai interaksi, mengingat lelaki itu cenderung sering diam dan tak sebanyak bicara teman-temannya yang lain.

“Nanti maneh pulangnya dianter Hag. Aing nanti drop-in di Griya depan.”

Sebenarnya jika boleh jujur Fara tidak mendengar sama sekali tuturan yang dilontarkan lelaki di depannya. Entah karena helmnya, suara angin dan lalu-lalang kendaraan di sekitarnya, atau bahkan karena suara pemuda itu amat pelan sehingga sulit untuk ia cerna.

“Enggak, Jay!”

Jaya lantas mengernyitkan dahinya penuh keheranan. “Enggak apa, anjir?!” tanyanya dengan intonasi yang tinggi.

Maneh mau beliin aing es dawegan bukan?! Aing nggak mau!” tolak Fara setelah menimang-nimang dan bergulat dengan pikirannya atas ucapan yang dilemparkan Jaya kepadanya.

“Semerdeka manehlah.”

“Hah?!”

HENTEU!” (Enggak!)

Si Ajay aneh pisan anjir! Tiba-tiba mau ngasih aing dawegan, emang aing terlihat seperti monyet kah?! pikir Fara, tangannya sibuk meraba wajahnya untuk memastikan jati dirinya.

Sumpah aneh pisan anjir ini cewek, nggak heran cocok sama si Hag, batin Jaya, di tengah-tengah kegiatan mengendari kendaraan roda duanya.


Kecanggungan itu berangsur menjadi-jadi saat kendaraan mereka lebih dulu sampai di tempat yang telah dijanjikan oleh Jaya kepada Harri sebelumnya. Jaya menyipitkan matanya sembari mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan seseorang yang sedang dicarinya.

Fara sedari tadi hanya celingak-celinguk, berusaha mencerna situasinya saat ini. Ia ingin sekali bertanya pada lelaki itu, namun setelah ia menolak ajakan dari Jaya perihal membelikan es kelapa membuatnya segera menepis keinginnya itu jauh-jauh.

Deru suara motor yang dihafalnya sukses mengalihkan Fara dari kegiatan bergulat dengan isi pikirannya. Lelaki itu segera mematikan mesin motornya dan menghampiri mereka berdua lengkap dengan helm yang ia bawa di lengan kirinya.

Mang, hampura aing lama, kepegat macet di belokan depan,” jelas Harri kala melihat raut bosan yang terpancar dari raut wajah temannya. “Yang, hayu pulang.” Fara masih mencerna kejadian di depannya. Meskipun dalam benaknya terdapat jutaan pertanyaan, kedua tungkainya mengikuti langkah kekasihnya untuk menuju motor hitam yang kerap menjadi kebanggaannya.

“Hag, Fa, aing duluan,” pamit Jaya terakhir kali sebelum akhirnya lelaki itu sudah benar-benar menghilang dalam pandangan keduanya.

“Ini akal-akalan si Ajay biar aing bisa nganterin maneh pulang,” jelas Harri karena mengerti dengan raut penuh tanya yang diperlihatkan kekasihnya.

Fara yang dijelaskan secara singkat hanya bisa ber’oh’ria. Fara kira bahwa Jaya memang benar-benar ada urusan di daerah Kopo sehingga ia hanya menurut saja.

“Nggak akan naik ini teh?”

Fara dengan cepat menaiki kendaraan Harri lengkap dengan rutinitasnya untuk memeluk lelaki itu dari belakang. Kepalanya sudah ia sandarkan dengan nyaman di bahu kiri kekasihnya.

“Kamu masih bersin-bersin nggak? Kita ke apotek dulu aja atuh,” ucap Fara secara tiba-tiba ketika maniknya tak sengaja menangkap sebuah masker hitam yang menutupi sebagian paras tampan kekasihnya.

Harri menggeleng pelan. “Nggak usah, udah nggak separah tadi da.” Tangan Harri mengelus pelan tangan kekasihnya yang telah melingkari perutnya. Ia sedikit menyalurkan rasa agar perempuan itu tak perlu mengkhawatirkan dirinya secara berlebihan.

“Nanti kalau kambuh bilang Mama terus minum obatnya, ya, Yang.”

Sumuhun, geulis.” (Iya, cantik.)


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


“KAILA?!” teriak Harri kala kedua tungkainya telah memasuki kediamannya. Ia dengan terburu berlari menaiki anak tangga rumah untuk menuju salah satu ruangan yang ia pastikan orang yang sedang dicarinya berada di sana dengan peluh keringatnya sedari tadi sudah membasahi dahinya.

“Kaila!”

Suara gemuruh yang secara tiba-tiba datang mampu membuat kedua orang tersebut menghentikan aktivitasnya, mulai terusik dengan kehadiran seseorang tanpa sebuah salam yang terucap.

“Kenapa Aa?” sahut Kaila dengan lembut, berbanding terbalik dengan sang kakak yang menyerukan namanya penuh rasa emosi yang dipendamnya.

Baik Kaila maupun Fara menolehkan wajahnya pada seseorang yang masih berdiam diri di depan pintu sembari berupaya mengatur napasnya.

“Kamu ngapain bantuin Kaila dandan?” tanya Harri sewot, melihat kekasihnya malah membantu sang adik dalam kegiatan berkencannya.

“Ya, emang kenapa? Ada larangannya kah aku nggak boleh bantuin Kaila dandan?” tanya Fara kembali, dahinya mengernyit kala ucapan itu mampu membuat dirinya bertanya-tanya.

Harri mendengkus, tungkainya berjalan menghampiri sang adik yang masih asyik terduduk di depan cermin besar. “Nggak usah dandan-dandan gitu, ini pipi kamu jangan terlalu merah, Aa nggak suka.” Harri mencoba mengelus pelan kedua pipi merona adiknya dengan pelan, berharap polesan merah muda itu akan menghilang. Fara otomatis menepis tangan kekasihnya kala lelaki itu terus-menerus berusaha menghilangkan hasil riasannya. Enak saja mahakaryanya harus disia-siakan begitu saja. Padahal Harri belum tahu saja seberapa lama ia berupaya membuat adik iparnya terlihat lebih cantik dari biasanya yang memang sudah cantik.

“Itu nggak terlalu merah, Harri. Lagian aku pakein blush on itu biar Kaila nggak terlalu pucet!” sanggah Fara, tak terima hasil riasannya dicela begitu saja oleh seseorang di hadapannya.

Kaila hanya bisa mengatupkan bibirnya dengan kedua mata yang mengerjap penuh kebingungan melihat adegan dua orang di sampingnya yang sedang beradu argumentasi tanpa henti.

Harri berdecak kesal, ia bangkit dari kegiatan jongkoknya lalu berjalan untuk duduk di ujung ranjang milik sang adik. Mulutnya tak henti komat-kamit dalam mengeluarkan umpatan-umpatan yang berada di dalam mulutnya.

Fara mengerlingkan matanya malas. Ia kembali memusatkan pandangannya untuk menatap obsidian hitam melalui pantulan cermin. “Kamu rambutnya mau Teh Isel catok curly, kepang, iket satu, atau mau digerai aja?”

Kaila yang baru saja akan menjawab pertanyaan itu langsung mengurungkan niatnya ketika sebuah suara lebih dulu menginterupsinya. Ia pun hanya bisa menghela napasnya dengan penuh kesabaran.

“Nggak usah gitu-gituan, kayak biasa aja!” timpal Harri secara tiba-tiba. Padahal dirinya sedang bermain games online namun hal tersebut tidak mengurungkan niatnya turut andil dalam kegiatan kencan pertama adiknya.

“Aku ngomong sama Kaila, kamu nggak diajak!” sewot Fara. Rasanya ia ingin layangkan cubitan secara bertubi-tubi pada seseorang yang sedang terfokuskan pada benda persegi dalam genggamannya. Fara kembali menoleh untuk menatap Kaila dari pantulan cermin di depannya. “Mau diapain rambutnya?” bisik Fara, tak mau seseorang di sana kembali ikut campur dalam obrolannya.

“Kaila mau dicurly aja.”

Fara mengacungkan jempolnya tanpa mengeluarkan suaranya, takut seseorang di sana kembali terpancing emosinya. Dalam keadaan diam, Fara mulai meraih rambut Kaila secara perlahan. Fara tak lupa merapikan rambut itu terlebih dahulu menggunakan sisir merah muda bergambarkan barbie. Kemudian ia membagi rambut yang lebih muda ke dalam beberapa bagian, agar proses curly rambutnya lebih mudah.

Harri sesekali melayangkan tatapan tak suka pada adiknya yang masih didandani oleh sang kekasih. Entah mengapa rasanya ia sangat tidak rela melepas adik kesayangannya mulai memasuki tahap remaja. Harri sangat tidak rela ketika nanti harus melihat adiknya bersedih karena patah hati, ia tidak rela ketika adik yang selalu ia sayangi harus disakiti oleh seorang lelaki di luar sana.

“Aa, kenapa liatin Kailanya gitu banget, ih!” protes Kaila ketika tak sengaja netranya menangkap jelas tatapan dari sang kakak yang sulit untuk ia tafsirkan sendirian.

Harri menggeleng pelan. Ia kembali memainkan games-nya yang sempat terhenti karena pikirannya yang secara tiba-tiba melayang jauh di luar kendalinya.


“Pulang jam berapa? Nanti ke mana aja? Share live location jangan lupa. Harus udah di rumah sebelum jam tujuh malem. Kalau udah pulang terus Aa nggak ada, suruh kakak kelas cowok kamu itu tungguin sampe Aa pulang. Etika.”

Kaila memejamkan matanya ketika runtutan ucapan tanpa henti itu berduyun-duyun memasuki indra pendengarannya. Ia layangkan sebuah senyum simpul kepada sang kakak yang sudah berdiam ikut mengantarkan dirinya sampai pintu gerbang rumah.

“Iya, Aa. Nanti Kaila kirim live location-nya, Kaila belum tau mau ke mana aja.” Dengan penuh kesabaran Kaila menjawab pertanyaan dari si sulung satu per satu. “Terus itu matanya jangan kayak gitu, ah, Kaila takut! Aa juga jangan galak-galak nanti ke kakak kelas Kailanya!”

“Nggak janji,” timpal Harri dingin.

Fara mengembuskan napasnya, merasa lelah dengan sikap posesif kekasihnya. Sifat posesif yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. “Kaila nanti hati-hati, ya! Kalau udah beres kencan harus cerita sama Teh Isel!” Kaila mengangguk penuh semangat, mengiakan permintaan dari kakak iparnya itu.

“Bawa jaket Aa, kalau dingin pake jaket Aa jangan pake jaket cowok itu. Modus.” Harri melepaskan jaket hitam yang semula membaluti tubuhnya, lalu ia menyerahkan pada sang adik. Karena tidak mau membuat amarah kakaknya muncul kembali, ia pun langsung meraihnya tanpa berkomentar atau sekadar menyanggahnya.

Deru suara motor yang baru saja datang mampu menghentikan obrolan yang dipenuhi rasa kekesalan di dalamnya. Seorang lelaki mulai turun dari motornya, lalu membuka helmnya untuk menghampiri sang pemilik rumah yang sudah berdiam diri lebih dulu di sana.

“Selamat sore, A, Teh,” sapa lelaki tersebut sembari mencium lengan Harri dan Fara secara bergantian.

Harri berdeham kecil membalas sapaan itu. Ia masih sulit menerima sebuah fakta bahwa adiknya sudah remaja.

“Nanti pulangnya jangan kemaleman ya, Iyas, kalau bisa jam tujuh udah pulang,” ucap Fara diiringi dengan senyuman kecilnya.

Satria—atau biasa disapa Iyas menganggukkan kepalanya. Tangan kanannya yang semula memegang helm, sudah ia pindahkan ke tangan kirinya. Sedang tangan kanan yang sudah terbebas membawa jempolnya di udara. “Siap, Teh! Iyas izin ajak Ila nya keluar dulu.”

“Ila siapa?”

“Kaila, A.”

“Ula Ila Ula Ila, itu panggilan khusus dari aing buat adik aing!”

“Siap, A, maaf maksudnya Kaila.” Iyas menundukkan kepalanya, merasa bersalah sebab ucapannya malah dihadiahi amukan dari seseorang di hadapannya.

Kaila menggelengkan kepalanya melihat kakak sulungnya tak memedulikan ucapannya bahwa ia harus ramah dan tidak boleh marah-marah pada kakak kelasnya itu.

“Kak, mau jalan sekarang?” ujar Kaila, berupaya memecahkan kecanggungan yang terjadi di antaranya. Iyas pun mengangguk, menyetujui ucapan dari Kaila. Untung saja adik kelasnya itu segera berucap demikian, karena demi Tuhan sedari tadi jantung Iyas berdegup kencang bahkan hingga kedua pelipisnya sudah dipenuhi oleh bulir-bulir keringat yang entah sejak kapan sudah menampakkan dirinya di sana.

“A, Teh, Iyas pamit dulu,” Iyas kembali meraih kedua tangan orang yang lebih tua di depannya itu. Hingga ketika lengannya kembali memegang lengan seseorang lelaki di depannya membuat degup jantungnya kembali berpacu dengan cepat. Ia pun dengan terburu mencium lengan itu dan ingin bergegas menuju kendaraan roda duanya yang sudah terparkir.

“Ya,” sahut Harri singkat. Bahkan netranya tak menatap balik netra yang sudah menatapnya lebih dulu.

“Jangan marah-marah!” Kaila mengembungkan pipinya kesal akibat perlakuan kakaknya yang terkesan sangat kasar. “Hm,” Harri lagi-lagi berdeham. Ia membawa kepala adiknya untuk bubuhi kecupan di puncak kepalanya. “Inget pesen, Aa.”

Tanpa harus diulangi pun Kaila masih ingat betul tiap-tiap untaian kata yang diserukan oleh kakak sulungnya itu. “Iyaa, Aa!”

Pandangan Harri pun kini ia bawa untuk menatap pergerakkan kedua sejoli di depannya itu. Harri berjalan cepat menyambangi kendaraan motor itu ketika lelaki yang tak dikenalnya secara tiba-tiba akan membantu memasangkan helm di kepala adiknya.

“Nggak usah modus! Aing aja yang pakein, itu adik aing.” Harri merampas sebuah helm yang berada di genggaman Iyas, padahal Iyas belum mengizinkannya namun sang empu telah lebih dulu melancarkan aksinya.

“Pake helm sendiri, ini pengaitnya kalau mau dipasang kayak gini,” Harri mengajari adiknya agar ia mampu memakai helm tanpa harus dibantu oleh lelaki itu. “Kalau mau dibuka, tarik yang ini.” Kaila sudah tidak habis pikir dengan tingkah kakaknya ini, padahal orang tuanya pun tidak mempermasalahkan dalam kencannya hari ini.

“Siap, maaf, A.”

Maneh jangan ngerem mendadak! Lain kali pake tas biar maneh nggak bakalan modus sama adik aing!” Seperti memiliki dendam tersendiri pada Iyas, Harri terus-menerus melayangkan ucapan kekhawatiran bahwa Iyas akan mengambil kesempatan dari adiknya. “Aing bawa dulu tas, deh. Biar maneh nggak modus!”

“Nggak usah, kita udah telat! Nanti takut macet terus pulangnya kemaleman! Kan Aa yang bilang pulangnya harus jam tujuh teng!”

Harri yang semula akan melangkahkan kakinya pun langsung mengurungkan niatnya. Ia pun pada akhirnya mengalah dan menuruti ucapan adiknya tanpa mengeluarkan suaranya kembali.

Baik Iyas maupun Kaila kini sudah terduduk di atas motor dengan jaket hitam milik sang kakak sudah membaluti tubuh gadis itu. Ucapan dari Iyas menjadi sebuah kata terakhir sebelum akhirnya mereka berdua mulai menjauhi Harri dan Fara yang masih terdiam diri di depan pintu gerbang rumahnya.

“Aku pulang, ya, Yang. Mau lanjutin skripsi.”

Harri tidak menggubris ucapan kekasihnya, bak kata-kata itu ia anggap seperti angin lalu. Fara yang tidak mendapatkan respons akan ucapannya pun berdecak pelan, sebal merasa teracuhkan.

“Apa aing buntutin si Kaila aja, ya, Yang? Hati aku nggak nerima si Kaila udah kenal cinta, anying!”

Fara menepuk dahinya, ternyata kekasihnya masih saja tak menerima proses pendewasaan dari adiknya. Padahal ia sendiri lebih dulu mengenal cinta sejak berada di sekolah menengah pertama, jauh daripada Kaila yang baru mengenal cinta sejak memasuki tingkat dua di sekolah menengah atasnya.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


Setelah mengungkapkan apa yang ia inginkan kepada ayahnya malam kemarin, di sinilah saat ini ia berada. Kaus putih dengan rok abu masih setia membaluti tubuhnya, padahal waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Langit-langit di luar pun mulai menampakkan semburat senja yang masih tertunda.

Bunyi aliran air menemani keheningan dirinya seorang diri di tengah-tengah luasnya ruangan yang sedang ia singgahi. Tanganya bergerak dengan cekatan mengusap bahan makanan di bawah aliran air di hadapannya.

Neng beneran mau belajar masak?” tanya Mama Iis ketika sudah berada di samping yang lebih muda. Bahan makanan yang sebelumnya Mama Iis pegang sudah ia sodorkan kepada perempuan di sebelahnya. “Tolong sekalian dicuci, ya, Neng.”

Fara mengangguk dengan semangat hingga membuat rambutnya yang semula terikat kini mulai mencuat, beberapa helaian rambutnya terlepas dan mengganggu penglihatannya dalam membasuh sebagian bahan makanannya yang belum selesai.

“Beneran, Ma!”

Fara mematikan keran wastafel setelah menjawab ucapan Mama Iis. Kemudian ia berlari kecil, menghampiri sang puan rumah yang sibuk memotong bumbu masakan dengan lihai.

Neng Isel tolong potong kolnya panjang-panjang kayak gini, ya.” Mama Iis memperlihatkan hasil potongan sebelumnya untuk dijadikannya referensi.

Fara melirik sekilas lalu mengangguk paham. Tangannya mulai meraih satu buah pisau yang tidak dipakai oleh sang puan rumah. Ia mulai memotong kubis tersebut sesuai dengan instruksi dari sang guru masaknya hari ini.

“Ma, gini bukan? Isel bener nggak motongnya?”

Mama Iis menghentikan sejenak kegiatan dalam menyiapkan bumbu dapurnya. Matanya melirik kepada sebuah objek yang telah diperlihatkan oleh yang lebih muda. “Ih, pinter. Itu ning Neng Isel jago!” Mama Iis mengacungkan jempolnya, ucapannya tak berbohong dalam memuji. Ia memang bangga kepada perempuan itu yang mampu belajar dengan cepat.

Salah satu kelemahan Fara adalah ketika seseorang dengan lantang memuji di hadapannya. Ia kurang pandai dalam menutupi sebuah ekspresi yang tercetak dalam mimik wajahnya. Kini semburat merah mulai muncul beriringan dengan hawa panas yang datang begitu saja secara cepat.

“Nih tips masak mi aci ala Mama mah kayak gini, Neng. Pertama, bawang merah sama bawang putihnya dialusin dulu jangan lupa dikasih kemiri 1-2 biji aja. Gunanya ini teh biar masakan lebih harum. Kalau misalnya dipake dimakanan berkuah mah kemiri bisa bantu kentelin kuah.”

Fara lagi-lagi mengangguk, bola matanya sedari tadi sibuk memerhatikan Mama Iis yang pandai beradaptasi dengan lingkungan dapur. Ia pun sedikit menyesal karena di usianya saat ini ia baru memiliki keinginan untuk belajar memasak. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan?

“Nah kalau udah halus jangan lupa masukin tomat, daun bawang, sama cabe. Nanti diulek lagi tapi uleknya kasar aja jangan sehalus yang awal, pokoknya sampai kayak gini teksturnya.” Mama Iis dengan perlahan memberitahu setiap langkah-langkah menu masakan kali ini yang menjadi menu masakan favorit di keluarganya.

“Siapin minyak, nanti bumbunya langsung ditumis semua sampe harum. Setelah itu masukin kolnya sampai layu baru masukin mi kuningnya.”

Fara seakan terlena dengan cara memasak Mama Iis yang acapkali membuatnya terkagum-kagum kala memandangnya. Ketika tips itu diserukan oleh sang empu, maka Fara langsung mengingat dalam otak kepalanya. Ia mengingat semua yang sedang diajarkan oleh Ibu dari kekasihnya.

“Tips biar makin enak jangan lupa dikasih bumbu lada putihnya yang banyak, ini ciri khas mi aci ala keluarga Mama.” Mama Iis menuangkan satu bungkus lada putih ke atas masakan yang berada di atas wajannya. Tangannya kembali bergerak untuk mengaduk makanan itu agar bumbunya merata. “Jangan lupa terakhir dikasih seledri sama bawang goreng, abis itu makanannya udah jadi deh!” Kompornya sudah ia matikan. Fara membawa satu wadah besar untuk menampung hasil menu masakan pertamanya.

Tanpa harus mengeluarkan tenaganya, indra penciumannya pun langsung disuguhi sebuah aroma yang sangat nikmat. Fara dibuat takjub kala makanan itu sudah berdiam diri dengan cantik di atas meja makan. Matanya berbinar, ingin segera menyicipinya namun masih harus melanjutkan masakan yang lain.

“Masakan kedua sayur asem nah kalo Mama mah biasanya bawang merah, bawang putih, sama cabenya suka diulek nanti baru dimasukin ke kuahnya. Terus, lengkuasnya digeprek dulu baru dimasukin. Nah yang utama jangan lupa terasi merahnya dibakar dulu biar harum baru dimasukin ke kuahnya.”

Ketika ucapan dari Mama Iis selesai diucapkan, otaknya bekerja untuk mengulangi runtutan kata-kata itu agar ia dapat mengingatnya. Salahkan ia yag sedari tadi tak membawa alat tulisnya, sehingga ia hanya memanfaatkan daya ingatannya dalam belajar memasak pada hari ini.

“Melinjo, jagung, labu, kacang merah direbus duluan sampe empuk. Nanti setelah itu baru masukin kacang panjang, daun melinjo, daun salam, sama bumbu lain kayak asam jawa, gula merah, dan garam. Abis itu ditunggu aja, udah selesai.”

“Sayur asem gini enaknya makan sama ikan teri yang digoreng kering sama tempe goreng. Neng gorengin tempe goreng, ya.”

Fara mengangguk, membawa telapak tangannya untuk ia simpan di pelipis dahinya. “Siap, Ma!” Mama Iis terkekeh melihat anak gadisnya memperlihatkan pergerakkan yang menggemaskan. “Neng ... Neng,” ucap Mama Iis sembari menggelengkan kepalanya.


“Waduh, rame gini ini teh dapur,” ucap Harri setibanya di dapur rumahnya dan langsung disambut oleh kedua orang yang asyik bergulat dengan kompornya.

“Aa, pulang kapan?” tanya Mama Iis, terkejut melihat putranya secara tiba-tiba muncul tanpa diketahuinya

“Baru aja Aa dateng.”

Harri berjalan menuju tempat Mama Iis berada. Harri menarik tangan kanan Mamanya untuk ia layangkan sebuah ciuman di atasnya, tak lupa ia pun bubuhi kecupan singkat di kedua pipi sang ibunya.

Harri menghampiri kekasihnya yang sedang terfokus pada masakan di depannya. Ia menepuk pelan kepala kekasihnya sembari menyunggingkan senyuman kecil.

“Udah beres futsalnya?” Harri mengangguk kecil merespons ucapan yang diserukan Fara.

Tangan Harri terulur untuk menyelipkan rambut kekasihnya ke belakang telinganya. “Rame banget ih ternyata masak teh, ya!” Harri terkekeh, ia mengusak pelan rambut sang kekasih atas kegemasannya yang tertangkap dengan jelas oleh kedua netranya. Untung saja tindakan secara tiba-tiba dari Harri tidak membuat Fara kesulitan dalam kegiatan memasaknya. “Ya udah, kalau rame lanjutin. Aing mau ke atas mandi dulu, ya.”

“Ma, Aa ke atas dulu ya mau mandi.” Mama Iis berdeham kecil merespons ucapan anak sulungnya.

Fara mengangkat kedua ujung bibirnya membentuk lengkungan sempurna. Acapkali menerima sebuah validasi akan apa yang dilakukannya hari ini membuat dirinya makin semangat untuk belajar lebih dalam di dunia dapur. Walaupun ia sempat meringus pelan akibat minyak panas yang secara tak sengaja mendarat di kulit tangannya, namun hal tersebut tak mengurungkan niatnya dalam belajar memasak.


“Coba tebak mana sayur asem buatan Mama sama buatan Neng Isel,” ucap Mama Iis pada anak sulungnya.

Baik Mama Iis dan Fara memandang lelaki itu penuh harap. Harapan bahwa ia dapat menemukan masakan sang empu tanpa harus memberikan sebuah isyarat secara tersirat.

Harri menyipitkan matanya, ia menatap lamat dua hidangan makanan di depannya. Tangannya sudah bersedekap di atas meja, bahkan indra penciumannya sudah ia tajamkan untuk menambah kesan seperti orang yang memang sedang menilai dari sisi objektivitas.

Tangannya sudah menyendokkan sayur di mangkuk sebelah kirinya untuk segera ia makan, lalu tak lama ia mengulanginya pada mangkuk di sebelah kanan. Kepalanya mengangguk pelan tatkala cairan itu mulai mengaliri tenggorokannya. Sendoknya ia simpan kembali di tempat semula. Tangannya kembali bersedekap dengan pandangan yang menatap kedua orang perempuan di depannya dengan lamat.

“Mana sayur yang buatan Mama, terus mana sayur yang buatan Neng Isel?”

Harri menggeserkan mangkuk sebelah kirinya beberapa senti dari mangkuk sebelah kanan. “Ini buatan Mama,” tunjuk Harri pada mangkuk tersebut. Mama Iis pun menganggukkan kepalanya, seolah sedang mengatakan bahwa tebakan dari anak sulungnya benar.

“Kenapa bisa bilang itu punya Mama?” tanya Mama Iis penuh penasaran.

Harri kembali menyendokkan kuah sayur asam itu untuk dimasukkan ke dalam mulutnya. “Kuah Mama agak hambar, sedangkan punya Isel pas di mulut Aa yang suka asin,” sahut Harri setelah kuah di dalam mulutnya sudah hilang.

Mama Iis mengacungkan jempolnya, merasa bangga karena putra sulungnya dapat mengetahui dan memahami karakteristuk dari masakannya.

Apa yang dikatakan Harri itu benar, bahwa Mama Iis beserta Papa Asep dan ketiga adiknya memang menyukai makanan yang terkesan hambar. Sedang dirinya sedikit suka dengan citra rasa yang sedikit asin, akan tetapi tidak terlalu asin. Sehingga hanya dalam satu suapan saja Harri mampu mengetahui mana masakan Mamanya dan mana masakan kekasihnya.

“Harri kadang kalau makan sup atau masakan Mama suka ditambahin garem lagi,” tutur Mama Iis sembari berbisik pelan pada perempuan di sampingnya. Fara hanya menganggukkan kepalanya diiringi senyuman kecil untuk merespons ucapan yang dilemparkan perempuan paruh baya di sampingnya itu.

“Enak, masakan dua-duanya enak. Hebat!” puji Harri membuat kedua orang di depannya menghadiahi senyuman manis yang tercetak pada birai masing-masing orang itu.

“Kaila, Aa, Ii, ayo makan dulu!” teriak Mama Iis.

Panggilan itu seperti mutlak, tanpa harus ada bantahan. Sehingga mereka bertiga yang dipanggil pun langsung bergegas menghampiri ke arah sumber suara. Mereka saling berlomba untuk sampai lebih dulu ke arah ruang makannya. Kaila yang melihat kedua adiknya hanya bisa menggelengkan kepalanya, terkadang lelah melihat tingkah si kecil yang tak ada habisnya.


“Sel, sini,” tepuk Harri pada sebuah tempat kosong di sampingnya. Fara yang mendengar namanya diserukan pun langsung menengok dan berjalan mengikuti titahan dari sang pemilik rumah.

“Kenapa?” tanya Fara, setelah mendudukan dirinya tepat di tempat yang dipinta sang kekasih.

Harri menyimpan sebuah bantal di atas paha kekasihnya. “Aing mau tidur bentar, ya. Sepuluh menit aja.” Harri merebahkan tubuhnya, kepalanya ia simpan di atas bantal itu dengan hati-hati.

“Ih, tidurnya di kamar kamu aja biar nyaman! Aku mau pulang.”

“Nanti aku anterin, aku ikutin dari belakang. Tapi, aku tidur dulu bentar, ya?”

Fara pun mengangguk, ia tidak bisa menyanggah ucapan kekasihnya karena takut membuat mood sang kekasih yang secara tiba-tiba akan rusak.

Fara membawa tangannya untuk mengelus surai sang kekasih yang kini sudah tertidur pulas dengan dengkuran yang rendah. Ia tahu bahwa lelaki itu sedang merasakan kelelahan akibat jadwal latihan futsalnya. Tangan yang semula mengelus surai dengan penuh kehati-hatian pun kini bergerak untuk mengelus pelan kedua alis lelaki yang tertidur pulas di atas pahanya.

“Aku ngiri banget anjir, alis kamu tebel banget.”

Entah mengapa ia seringkali dibuat keheranan dengan lelaki yang lebih mendominasi memiliki alis yang lebih tebal dibandingkan dengan alis milik perempuan. Ia pun melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 19.20, artinya sudah 15 menit lelaki itu tertidur. Ia ingin membangunkannya namun Fara tak enak akan mengganggu lelaki itu.

“Jam berapa sekarang?” tanya Harri secara tiba-tiba, masih dengan matanya yang terpejam dan kedua tangannya yang bersedekap di dada.

“Jam setengah delapan kurang sepuluh menit.”

Harri langsung membelakkan matanya. Dengan cepat ia bangun dan mengatur kesadarannya agar segera pulih.

“Kamu kalau masih ngantuk tidur aja, aku pulang sendiri nanti aku share live location aja,” tukas Fara yang dihadiahi gelengan tak setuju dari sang empu.

“Nggak, pulang sama aing. Bentar aing bawa jaket dulu.” Harri pun mulai meninggalkan Fara yang masih terduduk dengan bantal yang berada di atas pahanya. Ia pun meraih ranselnya lalu membawa jaket untuk segera ia pakai. Karena apabila ia tak memakainya, Harri akan memarahinya tanpa henti. Bahkan, ia masih teringat jelas setiap kata-kata yang akan diucapkan lelaki itu


Mesin motor sudah Harri matikan. Ia meninggalkan kendaraan kesayangannya tepat di depan gerbang rumah sang kekasih. Harri berjalan untuk membukakan gerbang itu agar kekasihnya tak usah repot-repot turun dari motornya.

“Makasih, Hawwy!” ucap Fara saat kendaraan roda duanya melewati sang kekasih yang masih setia memegang pintu gerbang rumahnya.

Fara mematikan mesin kendaraan roda duanya, pun dengan motornya yang sudah distandarkan. Fara turun dari motornya secara perlahan, kemudian Harri langsung menghampirinya untuk membantu membukakan pengait helmnya.

“Kamu hebat, Yang! Baru pertama belajar masak, makanannya langsung enak!” puji Harri dengan kedua mata yang masih sibuk mencari pengait helm kekasihnya. Ia menyunggingkan senyumannya ketika pengait helm itu sudah berhasil dibukakan.

Semesta sedang tak memihak padanya, pun dengan dirinya yang tak mampu menahan rasa salah tingkah di hadapan lelaki ini. Semburat merah kian muncul perlahan dan menjelajari kedua pipinya.

Harri terkekeh kala menyadari perempuan di depannya sedang menahan malu akibat sebuah perkataan yang dilontarkannya beberapa saat lalu.

“Apaan ini teh dipuji gitu aja langsung salting kamu, Yang.”

“Nggak tau, ih. Akhir-akhir ini aku gampang salting kalau ada yang muji. Apalagi kalau dipuji maneh sama Mama kamu.”

Lagi-lagi Harri tertawa, ia menyentil pelan dahi kekasihnya membuat sang empu berhasil mengaduh pelan.

“Ih, kenapa dahi aing disentil! Marah pisanlah!”

Aing juga salting maneh bilang gitu, anjir!”

Keduanya pun tertawa bersama. Membuat langit-langit hitam di atasnya menjadi saksi bisu atas kedua sejoli yang sedang dimabuk asmara di bawahnya. Harri mengulurkan tangannya di sela kegiatan tertawanya untuk mengelus dahi sang kekasih, takut akan sentilannya beberapa saat lalu memberikan bekas merah di sana.

“Aku pulang, nya,” pamit Harri secara tiba-tiba membuat Fara yang semula tertawa kini sudah mengatupkan kembali mulutnya.

Fara mengangguk pelan. “Iya, hati-hati. Kalau udah sampe nanti kabarin aku. BTW makasih banyak, ya, Yang, buat hari ini!” Harri melayangkan senyumannya dengan lengan kanan yang mengusak surai Fara dengan perlahan. “Sama-sama geulis.”

“Kamu langsung pulang?”

Harri menggeleng pelan. Helm yang sedari tadi masih di genggamnya kini sudah ia simpan di atas spion kendaraan roda dua kekasihnya. “Nggak, aku mau ke kosan si Aksa dulu kayaknya mah. Mau ngasih sayur asem buatan Mama dulu ke dia, anaknya pasti jarang makan sayur, kasian,” tunjuk Harri pada suatu barang yang tergantung sempurna di motornya.

“Ya udah, kalau gitu hati-hati! Nanti kalau Papa kamu udah pulang salam dari aku, ya, Yang!”

“Iya, geulis. Aing pulang, ya.”

Fara berjalan mengekori sang kekasih yang telah berpamitan untuk kembali ke rumahnya. Ia terus-menerus memperlihatkan senyuman manisnya sampai akhirnya sebuah klakson dibunyikan sang empu. Fara melambaikan tangannya di udara, kemudian kendaraan tersebut kian menghilang dalam pandangannya. Ia membalikkan badannya untuk mengunci kembali gerbang yang semula terbuka lebar. Bahkan hingga lelaki tersebut sudah menghilang sepenuhnya, senyuman itu masih setia tercetak di raut wajahnya.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


Pikiran Harri mulai kalut selepas melihat sebuah notifikasi dari akun twitter kekasihnya, apalagi setelah jemarinya mencoba membuka notifikasi itu namun hanya menampilkan sebuah kata This Tweet has been deleted. Harri tentu dibuat kebingungan, hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk segera menemui kekasihnya. Padahal dirinya beserta teman-temannya belum genap enam puluh menit bercengkerama bersama di kegiatan pertemuan rutinnya, malam minggu.

Harri beserta kendaraannya sudah berada di depan pagar megah berwarna coklat keemasan. Pagar yang dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi badan dirinya. Matanya mulai menelisik, mencoba menemukan sosok seseorang yang sedang dikhawatirkan olehnya sedari tadi.

Ia refleks berdiri ketika melihat perempuan itu sedang berjalan menuju tempatnya berada. Harri tersenyum sembari menengadahkan lengan kanannya agar perempuan itu menyerahkan benda bulat yang berada di genggamannya.

“Bilang Bibi nggak kamu mau ke rumah aku?” tanya Harri di kala kegiatan memasangkan helm.

Fara membalas ucapan Harri dengan anggukkan kecil, karena ia tak mau membuat lelaki itu kesusahan dalam memasangkan alat pelindung dalam berkendara pada kepalanya.

Click.

Suara pengait helm itu mulai mengalun. Suara dengan intonasi rendah namun mampu menyerbu rungunya sebab suasana di sekitar mereka cukup sunyi, sehingga indra pendengeran mereka dengan senang hati menerima kedatangannya untuk memasuki gendang telinganya. “Udah.” Harri menepuk kepala Fara yang masih terbalutkan helm dengan pelan. Fara tersenyum sembari menggumamkan kata terima kasihnya yang kemudian kembali dibalas sebuah senyuman dari lelaki itu.

“Nggak hujan, Yang, kamu jangan khawatir baju kamu bakalan kotor!” panik Harri ketika Fara memandang kendaraan roda duanya dengan raut wajah yang sulit ia artikan sendiri.

Berbicara perihal kendaraan motor yang Harri bawa hari ini, motor itu telah membuat rasa kesal Fara bergejolak ketika suatu hari mereka berdua berangkat kesekolah menggunakan motor yang Harri iming-imingkan dapat dari Ayahnya. Awalnya Fara merasa senang-senang saja, ia sama sekali tidak mempermasalahkan perihal kendaraan yang dinaikinya, toh mau apapun kendaraannya ia tetap akan sampai di tempat tujuannya. Namun, terkecuali untuk motor satu itu yang telah membuat seragam putihnya sukses dipenuhi dengan noda hitam yang berasalkan dari genangan air selepas hujan yang membasahi kota Bandung. Kesal? Tanpa harus dijawab pun semua orang akan tahu betapa kesalnya ia pada hari itu.

Fara terkekeh sembari menepuk pelan bahu sang kekasih. “Apa ai kamu, aku cuman liatin aja kenapa panik pisan.” Kekehan itu kemudian berubah menjadi sebuah alunan tawa kala ia tak sengaja melihat wajah Harri yang dipenuhi rasa ketakutan.

“Anjir, kirain teh bakalan marah!” sahut Harri dilengkapi dengan sebuah nada penuh ketenangan. Harri berjalan mendahului Fara yang masih berdiam diri di tempat semula. Harri menepuk jok motor belakangnya seraya berkata, “ayo, Yang, naik!” Tanpa menunggu lama, Fara pun segera berlari untuk menuruti ucapan dari kekasihnya yang kini sudah duduk di atas motornya dengan mesin yang sudah menyala.

Fara mengalungkan kedua lengannya di pinggang lelaki itu. Kepalanya ia bawa untuk bersandar di pundak kirinya. “Yang, mau belanja di mana? Kenapa tumben malem-malem gini Mama mau ngeliwet?” Harri menggeleng pelan atas pertanyaan yang dilayangkan secara bertubi-tubi oleh seseorang di belakangnya. “Di warung aja, tunjukin nanti.” Fara lagi-lagi mengangguk, mengiakan ucapan dari kekasihnya.

Bersamaan dengan kendaran itu yang kembali dilajukan sang empu, mereka pun saling terdiam seakan sedang menikmati suasana di sekitarnya.

Sukmanya memang sedang berada di atas motor, namun pikirannya entah sedang berlari ke mana. Ingatannya seketika kembali saat Ayahnya mengirimkan sebuah pesan yang membuat dirinya sukses dibuat kalut.

Seperti sudah ada ikatan batin, Harri sedari tadi membungkam mulutnya. Sejujurnya banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, namun setelah melihat tingkah laku kekasihnya itu membuat dirinya segera mengurungkan niat tersebut.


“Mama, Isel angkat ya ini ikan pindangnya takut gosong!”

Sejak kedatangannya Fara bergegas menuju Dapur untuk membantu Mama Iis dalam menghidangkan menu makan malamnya. Fara memang tidak terlalu jago dalam urusan masak-memasak, namun untuk sekadar menggoreng, memotong, mencuci saja sih ia tentu bisa.

“Iya, Neng, angkat aja. Bentar ya Mama lagi balikin nasi liwetnya dulu!”

Mendengar ucapannya yang telah disetujui tuan rumah, maka, Fara pun segera mematikan kompornya dan mulai mengangkat menu makanan itu dengan penuh kehati-hatian.

“Yang, cobain udah pas belum bumbunya?” Harri menyerahkan jari kelingking kanannya ke depan mulut Fara. Ia menatap lamat perempuan di depannya, menunggu respons dari Fara atas sambal yang telah dibuat olehnya.

Fara mengangguk cepat, matanya berbinar ketika rasa pedas namun masih bisa merasakan rasa manisnya dari sambal itu mulai memenuhi mulutnya.

“Udah enak, Yang!”

“Oke, mantap ai gitu mah!”

Harri kembali meninggalkan Fara setelah mendapatkan jawaban kepuasan dari hasil masakannya.

Fara saat ini sudah kembali menghidupkan kompornya, ia meraih satu genggam kerupuk mentah untuk dirinya goreng. Namun, secara tiba-tiba suara seseorang kembali menginterupsinya.

Neng Isel! Minumnya mau es durian atau es kelapa aja?” ucap Asep—Papa Harri.

“Es kelapa kayaknya seger, Pa, kalau buat ngeliwet!”

“Oke, es kelapa aja.”

Acapkali ia menginjakkan kakinya di rumah ini, ia merasa telah menjadi salah satu bagian dari keluarga kekasihnya. Bagaimana cara mereka memperlakukan dirinya, seperti seorang Ayah dan Ibu memperlakukan putri kandungnya.

Rasanya senang, namun tersimpan rasa kesedihan pula di dalamnya. Ia sedih karena tak bisa merasakan semua ini pada keluarganya.

“Bengong wae heh!” Harri menyenggol bahu Fara menggunakan bahunya dengan pelan. Ia secara spontan mematikan kompornya dan meraih sebuah saringan juga spatula yang sebelumnya sedang Fara genggam. “Sama aku aja.” Fara mulai melepaskan genggaman pada peralatan masaknya, tubuhnya menggeser pelan agar kekasihnya tak kesusahan dalam kegiatan menggoreng kerupuk.

“Harri, makasih ya.”

Santai, Yang. Teu pira ngagoreng kerupuk kieu wae anjir teu kudu dipusingin.” (Santai, Yang. Cuman ngegoreng kerupuk gini aja anjir gak usah dipusingin.)

Fara tersenyum, matanya tak lepas dari pemandangan di depannya. Pemandangan kekasihnya yang dengan telaten mengambil alih pekerjaannya beberapa saat lalu.

Bukan itu, makasih udah ngajak aku ke rumah kamu. Kamu selalu siaga setiap aku butuh kamu. Makasih, Harri.

“Sama-sama.”

Mata Fara terbelalak, ia cukup terkejut ketika ucapan dalam hatinya dijawab begitu saja oleh lelaki di depannya. Jadi, selama ini Harri bisa baca pikirannya, kah?

“Tadi aing belum jawab sama-sama. Sama-sama, geulis.”

Ah, begitu rupanya. Fara hampir saja mempercayai bahwa kekasihnya memiliki kemampuan dalam membaca pikirannya.


Waktu menunjukkan pukul 21.00, waktu yang cukup telat untuk jadwal makan malam biasanya.

Mereka saat ini sedang menikmati makan malamnya berupa nasi liwet bersama yang dihidangkan di atas daun pisang di teras rumahnya. Angin sepoi-sepoi sedari tadi datang lalu pergi, seakan mereka sedang meminta izin untuk bergabung dalam kegiatan makan malamnya. Bulan di langit pun nampak indah, apalagi dipadukan langit hitam dengan ditemani bintang-bintang di sekitarnya. Makan malam yang cumup sederhana, namun penuh makna dan rasa.

Neng, aaa~” Fara sejujurnya malu ketika Mama Iis mulai memajukan tangannya untuk menyuapi dirinya dengan menu makanan kesukannya. Malu karena Aarash, Aariz, dan Kaila pun tidak disuapi oleh Mamanya.

Fara memajukan mulutnya untuk menerima cumi yang telah disodorkan Mama Iis. Semburat merah mulai tercipta kala makanan itu sudah ia kunyah dalam mulutnya.

“Aaaa~”

“Kenapa ai kalian?” heran Mama Iis melihat keempat anaknya sedang membuka mulutnya dengan kompak.

“Kita juga mau disuapin, bener nggak, Dek?” tanya Harri kepada ketiga adiknya, kemudian mereka mengangguk secara kompak. “Aaa~ Mama, Aaa~” Harri masih berusaha keras agar dirinya bisa mendapatkan sebuah suapan dari Mama tercintanya.

“Aaa~”

Mama Iis menggelengkan kepalanya, ia menghela napasnya sekilas melihat tingkah keempat anaknya yang sama sekali tak pernah terbesit dalam benaknya. Mau tak mau ia pun mulai menyuapi anak-anaknya secara satu persatu mulai dari si sulung hingga si bungsu.

Mama Iis mengernyitkan dahinya saat melihat seseorang di depannya pun ikut membuka mulutnya. “Kenapa ai Papa?” tanya Mama Iis penuh keheranan.

“Papa juga mau disuapin, Aaa~”

Gelak tawa pun mulai saling mereka lontarkan dan bersahutan satu sama lain. Tingkah Papa Asep sukses membuat atmosfer yang sudah hangat, kian semakin hangat. Makan malam kali ini dipenuhi canda dan tawa yang tak akan pernah ia lupakan begitu saja. Fara akan selalu mengingat momen berharga ini. Terlebih ketika ia disuapi, Fara sangat merindukan rasa kasih sayang seorang Ibu yang sudah lama tak pernah ia rasakan.


“Haaah~ kenyang banget!” ucap Fara setelah menghempaskan dirinya begitu saja di atas sofa. Kedua tangannya menempuk pelan perutnya seolah sedang memperlihatkan bahwa ucapannya tidaklah bohong.

“Abis makan nggak boleh tiduran ai kamu, bangun.” Harri meraih lengan Fara untuk membenarkan posisinya. Fara awalnya kesal, namun ketika sadar ini bukan kediamannya maka ia langsung mendudukkan dirinya.

Harri menolehkan wajahnya, ia menatap ragu sang kekasih atas ucapan yang ingin ia lontarkan. Padahal ucapan itu sudah berada di ujung lidahnya dan sudah siap ia ucapkan.

“Kamu kenapa?” tanya Fara, lebih dulu mengeluarkan suaranya saat melihat kekasihnya memperlihatkan raut keraguan.

“Mau cerita sekarang nggak?” Sebuah gelengan pun ia dapatkan atas pertanyaan yang baru saja ia lemparkan. Harri paham, perempuan itu jarang sekali bercerita secara empat mata. Padahal Harri sendiri lebih senang mendengarkan secara langsung dibandingkan harus melalui sebuah tulisan.

Harri mengelus pelan punggung Fara dengan lembut seakan melalui sentuhan itu ia sedang berupaya menyalurkan sebuah kata yang akan menenangkan perempuan berzodiak libra. “Ya udah, kalau mau cerita nanti chat aing aja, ya.” Fara mengangguk, untuk saat ini ia tak mau membuat suasana hatinya kembali kelam.

“Mau pulang sekarang?”

“Kamu ngusir aku bukan?” sahut Fara, mendramatisir keadaan dengan menundukkan kepalanya seolah telah tersakiti oleh ucapan lelaki itu.

“ENGGAK ANJIR, AING CUMAN TAKUT KEMALEMAN AJA MANEH PULANGNYA, YANG. BUKAN MAU NGUSIR!”

Fara terkekeh, kepalanya mendongkak dan menatap obsidian hitam yang sedang menatap ke arahnya. “Aku bercanda, nanti anterin aku ke Setia Budi ya. Aku lagi males pulang ke Kopo.” Fara meraih lengan Harri lalu memainkannya.

Harri, si pemilik lengannya yang sedang dimainkan oleh kekasihnya pun hanya bisa menatap kegiatan tersebut “Iya, heg.” (Iya, boleh.)

Harri memang tipikal yang menyukai segala sesuatu melalui sentuhan. Dirinya tidak terlalu pandai dalam bertutur perihal perasaannya melalui sebuah lisan, maka dari itu ia mampu menyalurkannya lewat sentuhan.

“Yang, ayo mabar!” ucap Fara antusias, saking antusiasnya genggaman mereka terputus begitu saja.

Harri nampak mendengkus ketika menyadari tautan mereka berdua terlepas.

Maneh udah download belum games-nya?” Fara mengangguk cepat. Ia segera meraih ranselnya dan mencari keberadaan benda pipihnya. “Udah, nih!” Fara mendekatkan ponsel miliknya ke arah Harri, berusaha memperlihatkan games yang biasa dimainkan oleh kekasihnya itu kini sudah tersedia di dalam ponselnya.

Aing berdoa supaya menang biar rank aing nggak turun ….”

Fara hanya bisa merespons ucapan yang terlontar di bibir manis kekasihnya penuh kebingungan. Masih banyak hal tentang games tersebut yang sama sekali belum ia kuasai.

Ruang tamu itu kini dipenuhi oleh suara-suara seperti; First blood!, An emeny has been slain!, Double kill., You have slain an enemy!, atau bahkan Ledendary!.

“YANG, YANG, YANG! TOLONGIN AKU DIKEJAR-KEJAR INI GIMANA, WOI!” Fara panik ketika menyadari ada lawan tim yang sedang berusaha mengejar dirinya, ia tak tahu harus melakukan apa hingga ia hanya berlari-lari saja.

“DI MANA ITU POSISINYA?!”

“NGGAK TAU, NGGAK TAU. SEMUANYA KELIATAN SAMA!”

Harri melirik dengan cepat posisi kekasihnya berada, ia saat ini sedang berusaha membunuh beberapa lawan tim yang sudah lebih dulu mendatanginya.”

“YANG, BERTAHAN AING MAU BUNUH SI HAMA DULU!”

You has been slain!

“YANG, AKU MATI!”

“ANYING PADAHAL AKU BARU AJA BILANG BERTAHAN DULU, BELUM JUGA ADA SEPULUH DETIK!”

Entahlah rasanya sangat sulit Fara deskripsikan saat mencoba permainan yang biasa dimainkan kekasihnya dengan teman-temannya. Ia ketika main selalu dibuat deg-degan sebab dirinya selalu dikejar tim lawan.

Fara terkekeh melihat reaksi Harri yang sedang memajukan bibirnya atas kekalahan dirinya dengan mudah dibunuh oleh tim lawan. Ia hanya bisa berdoa agar lelaki itu tak memarahi dirinya, terlebih ia takut apabila kekasihnya tak mau bermain kembali dengannya.


Kolase Asmara Alternate Universe.

by NAAMER1CAN0


Lantunan suara yang ditimbulkan dari sendok yang beradu dengan piring mulai berdesing, memberikan kesan lebih ramai di suasana siang hari. Terik matahari lebih panas dibanding hari sebelumnya membuat istirahat kali ini amat tersiksa. Selain merasakan udara panas di siang hari ini, pun mereka harus merasakan suasana pengap kantin sekolah yang entah mengapa berkali-kali lipat lebih ramai dari biasanya.

“Anjir ada apaan ini teh meuni rame gini ini kantin,” keluh Harri sembari menyimpan menu makan siang di atas meja dan segera mendudukkan dirinya di salah satu bangku yang masih kosong.

Jagat yang sedang menyuapkan makanan ke dalam mulutnya pun ikut memandang ke arah kanan dan kirinya, memperlihatkan beberapa siswa dan siswi mulai memenuhi kantin sekolahnya.

“Nggak ditungguin anjir kebangetan maraneh!” ketus Aksara melihat rekan-rekannya yang sudah menikmati makan siangnya masing-masing.

Rakha mengangkat kedua jarinya di udara membentuk huruf 'v' disertai cengiran tak bersalahnya.

“Abisnya maraneh lama, aing udah lapar banget.”

Aksara mendengkus, memutar bola matanya sekilas lalu mendudukan dirinya persis di samping Rakha.

Harri yang hendak ingin menyuapkan makanannya pun seketika terhenti ketika mendengar teriakan seseorang.

“ANJIR AING NGGAK MAU DUDUKNYA SEBELAHAN SAMA DIA!” tunjuk Fara pada sang empu yang kini sedang memandang ke arahnya lengkap dengan kedua matanya yang berkedip pelan seolah berusaha memproses sebuah perkataan yang baru saja memasuki rungunya.

Hanya ada satu bangku yang tersisa di sana, yaitu sebelah seseorang yang sangat Fara hindari ketika di sekolah. Entah karena sebuah titel 'musuh' ketika mereka sedang di hadapan teman-temannya atau karena kejadian semalam yang masih membuat dirinya tersipu malu kala potongan-potongan kejadian itu mendatangi pikirannya.

Satu detik ... dua detik ... persis di detik ketiga seketika bola mata Harri melebar. Ia melempar begitu saja sendok yang sedang digenggamnya secara sembarang. “EH ANYING MARUKNA AING HAYANG KITU DUDUK SEBELAHAN JEUNG MANEH? IH HOREAM BANGET AING!” timpal Harri sembari berdiri dan menunjuk ke arah perempuan itu yang menghadiahi sebuah tatapan kesalnya.

Lu pikir gua mau gitu duduk sebelahan sama lu? Ih males banget gua!

Semua orang yang sedang menikmati makan siangnya refleks berhenti. Mereka secara serempak mengedarkan pandangan ke sekelilingnya yang menampakkan orang-orang di sana sedang memperhatikan ke arah meja miliknya.

Jagat dengan cepat menarik Harri untuk kembali duduk di tempatnya semula. “Ri, udah, Ri. Malu diliatin orang-orang.”

Atuh da dia duluan yang ngajak ribut!” ngadu Harri tak terima ketika dirinya disalahkan oleh Jagat.

“Iya, iya, udah, ya. Ayo duduk lagi, lanjutin makannya nanti terlanjur dingin jadi kurang enak.”

Jagat kembali menarik Harri dan menyodorkan makan siang milik Harri lebih dekat dengan sang empu agar memudahkan untuk kembali menikmati makan siang yang sempat terhenti.

Fara mendelik ke arah Harri sembari membawa kedua tungkainya untuk menuju salah satu tempat duduk paling strategis untuknya.

“Aksa tukeran ih,aing pengen duduk di sini!” Aksara yang baru saja menguyah makanannya hanya bisa pasrah dan segera berpindah karena takut membuat perempuan itu semakin marah.

“Sabar, Sa, kayaknya teh emang lagi badmood itu si dia, jadi si kamu jangan takut,” bisik Yolan dengan memajukkan badannya ketika Aksara sudah duduk di hadapannya. Yolan hanya memberikan sebuah kata penenang sebab Aksara memperlihatkan raut yang sulit diartikan di matanya.

“Iya anying, aing takut, Mang Yol.”

“Apa maneh ketawa-tawa!” ketus Fara kepada lelaki di hadapannya yang sedari tadi menyerukan sebuah kekehannya. Matanya memicing, menatap lelaki itu seolah tidak menyukai akibat sebuah reaksi yang baru saja diperlihatkan.

Lantas lelaki itu hanya bisa menyatukan kedua alisnya seraya menghentikan kekehannya. “Ya emang kenapa anjir? Aing ketawa aja dilarang,” sahut Jaya tak terima ketika dirinya secara tiba-tiba mendapatkan sebuah ketusan dari perempuan di seberangnya.

Harri tentu terkejut ketika dirinya sedang asyik menikmati makan siangnya dan langsung mendapatkan sebuah teriakan yang Harri sendiri tak tahu mengapa perempuan itu seperti sedang menahan amarah kepadanya. Kedua matanya kini secara diam-diam melirik ke arah perempuan itu yang sudah mulai menikmati makan siangnya. Ia terlihat bodoh ketika kedua maniknya bertabrakan dengan manik perempuan itu.

“APA LIAT-LIAT!”

Harri terlonjak dan berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya. “IH MONYET AING SALAH TERUS!” frustasi Harri ketika dirinya baru saja menatap ke arah Fara dan langsung dihadiahi sebuah omelan yang dilontarkannya. “LAGIAN AING LAGI LIAT SI AJAY TEMEN AING BUKAN LIAT MANEH, GR AMAT ANYING JADI CEWEK TEH!

“BODO AMAT!”

Merasa kesal dengan sebuah celotehan yang sedari tadi tak kian menghilang. Maka Rakha dengan cepat menghentakkan kedua tangannya di atas meja. “HEUP, GARADENG WAE ANJING AING TEH HAYANG DAHAR LAIN HAYANG NGADENGE JELEMA KEUR DEBAT!

Sut, berisik terus gua tuh pengen makan bukan pengen denger orang yang lagi debat!

Harri menggelengkan kepalanya, berupaya meyakinkan Rakha. “ITU SI CEWEK BAR-BAR DULUAN ANJIR, KHA!” tunjuk Harri pada perempuan yang di ujung sana.

“APA! ORANG MANEH DULUAN!” sanggah Fara tak terima dirinya ditunjuk begitu saja.

Yolan mengacak rambutnya pelan. Kedua tangannya ia bawa untuk menutup telinganya karena sudah muak mendengar pertengkaran yang tiada akhir. “Ribut mulu anying, si kalian jodoh tau rasa!”

“AMIT-AMIT!” sahut keduanya secara serentak dan langsung membuang mukanya. Wajah Fara sudah memerah, entah karena ia sungguh sedang menahan rasa amarahnya atau ia yang sedang tersipu malu.

Mereka tak tahu saja ada satu orang yang sedang menikmati makan siangnya sembari menahan tawa yang sangat ingin ia lantunkan dengan keras, namun tentu ia tidak akan melakukannya mengingat dirinya sudah berjanji kepada temannya—Harri—untuk membantu menutupi perihal hubungannya.

Kak Harri, aku duluan, ya!

Ucapan itu sukses membuat mereka menolehkan wajahnya kepada sumber suara. Bahkan, Harri yang sedang menikmati makan siangnya pun ikut menolehkan wajahnya. Kedua alisnya menyatu ketika melihat punggung seorang perempuan yang sama sekali ia tak mengingat orang tersebut siapa.

“Siapa itu, Hag?” tanya Aksara yang dijawab sebuah gelengan olehnya. “Nggak tau anying, aing nggak kenal.” Harri mengedikkan kedua bahunya secara tak acuh. Tak mengindahkan sebuah kata pamitan dari adik kelasnya.

“Jadi si kamu teh sama adik kelas itu apa sama teman kelas si aku?” tanya Yolan secara tiba-tiba setelah melihat adegan yang sama sekali belum pernah dilihatnya.

“Temen kelas maneh siapa anjir!” Harri sedikit panik, ujung ekor matanya melihat kekasihnya yang sedang menikmati makanannya tanpa merasa ingin bergabung dengan obrolannya itu secara tiba-tiba terjadi.

“Itu yang si kamu biasa kedipin di kelas si aku, si Zalfa.”

Harri menggeleng cepat. Ia segera mengambil air minumnya dan meneguknya secara terburu-buru. “NGGAK ANJING MANA ADA! ITU MAH HEREUY, AING HEREUY, ANYING!” Harri menimpali ketika makanannya sudah mulai turun dari panggal tenggorokannya. Ia belingsatan dalam duduknya, khawatir ucapan dari Yolan akan membuat masalah besar dalam hubungannya.

“Berisik anjir, makan mah makan jangan sambil ngobrol,” ujar Jaya di tengah-tengah percakapan genting antara Harri dan Yolan.

Benar saja setelah melemparkan ucapan tersebut, kini suasana di antara mereka sudah sunyi kembali. Harri langsung menatap ke arah Jaya seolah sedang berterima kasih atas bantuannya secara tidak langsung dan dia berikan. Setelah menatap Jaya, kedua matanya menatap sosok seorang perempuan yang masih asyik menikmati menu makan siangnya. Harri hanya bisa menghela napasnya dengan lega kala tak melihat sebuah tanda-tanda yang tidak ia inginkan pada raut wajah perempuan itu.

“Tenang, Fa, aman,” bisik Jaya dengan pelan, seakan sedang memberitahu bahwa Fara tidak perlu memikirkan ucapan dari kedua temannya itu.

Fara yang mendengar ucapan itu mendongakkan kepalanya seraya mengangguk. Ia sebenarnya tak memerdulikan ucapan dari Yolan maupun Aksara, karena ia yakin bahwa Harri tidak mungkin melakukan hal tersebut. Hubungannya memang disembunyikan, namun rasa kasih sayang, rasa percaya, dan komunikasi di antaranya tak pernah mereka sembunyikan seperti hubungannya.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


Bandung hari ini telah diguyur hujan sejak kepulangannya dari kediaman Harri—kekasihnya—beberapa jam yang lalu. Aroma yang dihasilkan setelah hujan pun masih membekas di setiap penjuru daerah Bandung, membuat ia yang sedari tadi melewati jalanan menikmati aroma segar yang menenangkan.

Bicara mengenai kejadian tadi siang, saat itu ia memang benar-benar sedang menahan rasa laparnya, sebab ketika bel istirahat kedua dibunyikan ia tidak sempat untuk makan siang; jangankan makan siang, untuk sekadar melangkahkan kakinya ke kantin pun ia tidak melakukannya. Fara harus mengorbankan waktu istirahatnya untuk mengerjakan tugas yang sudah ia lupakan sebelumnya.

Dengan perasaan yang dipenuhi rasa penyesalan, membuat Harri bersikukuh ingin menemui Fara untuk menebus kesalahannya. Seperti sekarang ini, kedua sejoli itu sedang terduduk nyaman di atas kendaraan motor milik Harri lengkap dengan kedua tangan Fara yang sudah melingkari perut sang empu pemilik motor hitam ini.

Harri kerap mencuri pandang perempuan itu melalui spion motornya karena selama perjalanan Fara masih bersikeras untuk membungkam mulutnya.

“Udah atuh, Yang, jangan marah, ih. Aku juga, kan, nggak tau kalau mereka teh mau main ke rumah. Tiba-tiba datang aja weh itu dua burung teh.”

Harri mencolek lutut Fara dengan manja menggunakan jari telunjuk kirinya. Matanya masih sibuk memandangi perempuan di belakangnya yang masih setia memberikan raut cemberut melalui spion motornya.

Harri menghela napasnya sekilas ketika ucapannya tidak digubris oleh sang puan. “Aing traktir sok mau makan apa aja bebas! Asal abis aja, nanti aing yang bayarin!” sogok Harri, masih berusaha keras agar kekasihnya tak mendiamkannya kembali pasca kejadian tak terduga tadi sore di kediamannya.

Deal?!

Dipenuhi rasa kasihan, akhirnya Fara menyerukan ucapannya untuk pertama kali. Ia menyerahkan tangan kanannya melalui sela-sela kegiatan memeluk Harri sembari mengistirahatkan dagunya di pundak kanan lelaki itu.

Harri melirik sekilas tangan Fara yang terjulur. Tangan kirinya mulai ia lepaskan dari pegangan motornya secara perlahan. “Maaf pake tangan kiri, Yang. Soalna kalau tangan kanan dilepas nanti motornya teh takut berhenti tiba-tiba.” Harri segera mengaitkan tangan kirinya dengan tangan kanan Fara yang sudah lebi dulu terulur. “DEALL!” Setelah itu, Harri melepaskan uluran tangannya dan kembali menyimpan tangan kirinya di tempat semula agar tidak membuat keseimbangannya sewaktu-waktu akan hilang.

Senyum Harri merekah tatkala merasakan pelukan yang diberikan kekasihnya kian mengerat, Pun dengan sang empu telah memamerkan senyumannya lebih dulu. Tangan Harri kembali terulur untuk menepuk kepala Fara yang masih terbungkuskan oleh benda bulatnya.

“Jangan ditepuk kenceng-kenceng nanti aku takut bodoh!”

“Kan, bukan emangnya udah dari dulu?” ejeknya membuat Fara dengan refleks memukul kepala Harri hingga sang empu mengaduh pelan.

“Onyet!”

Harri lagi-lagi dibuat tertawa acapkali dirinya berhasil membuat perempuan itu merasa kesal. Entah mengapa setiap kali melihat Fara mendecak kesal di matanya terlihat sangat lucu. Maka dari itu, tiada hari tanpa dirinya untuk sekadar menggoda sang kekasih.

Keheningan mulai tercipta. Mereka berdua sedang menelusuri tiap-tiap jalanan untuk menuju tempat yang akan ditujunya. Jalanan yang licin dengan genangan air di atasnya membuat Harri harus menjalankan pelan kendaraannya agar genangan air tersebut tidak mengenai para pejalan kaki yang berada di bahu jalan.

Mereka berdua telah berusaha untuk menghargai orang lain, namun mereka berdua tidak dihargai oleh kendaraan roda empat yang baru saja melintas dengan kecepatan tinggi. Sontak genangan air tersebut sukses membasahi tubuh kedua sejoli di atas motornya. Untung saja mereka tidak memakai pakaian dengan warna terang, namun tetap saja hal tersebut meninggalkan rasa kesal.

“DASAR MONYET MANEH MOBIL AVANZA SILVER, AING DOAIN SEMOGA RUMAH MANEH KALO HUJAN BOCOR TERUS! TERUS KALAU HUJAN, HUJANNYA DI RUMAH MANEH AJA, DI RUMAH YANG LAIN NGGAK! KALAU MAKAN NASI SEMOGA DAPET BATU! MOBILNYA SEMOGA KOTOR TERUS NGGAK BERSIH-BERSIH MESKIPUN UDAH MANEH CUCI! SEMOGA KALAU MANEH JALAN KENA KARMA DICIPRATIN KENDARAAN YANG LEWAT!” maki Fara yang dihadiahi sebuah kekehan dan gelengan kecil dari Harri. Harri membantu mengusap lutut sang kekasih agar rasa emosinya tidak berapi-api.

Lantas sepersekian sekon kemudian senyum Harri seketika luntur tatkala kedua telinganya mendengar obrolan orang asing yang telah menjelekkan kekasihnya.

Ih awewe naonnya eta teh meuni butut kitu omonganna teh, munyat monyet ceunah kasar pisan, ajig. Mana omonganna doa butut kabeh. Pasti awewe nu teu bener.” (Ih cewek apaan ya itu tuh jelek banget omongannya, munyat monyet katanya kasar banget, ajig. Mana doanya jelek semua. Pasti cewek yang nggak bener.)

Harri mengertakkan giginya saat ucapan itu tanpa permisi memasuki rungunya. Rahangnya mengeras, pun dengan lengan yang sudah terkepal di sela-sela menjalankan kendarannya. Ia melirik sekilas ke arah kekasihnya dan memperlihatkan Fara kini sedang menundukkan kepalanya. Sontak emosi Harri sudah tak bisa ia tahan ketika menyangkuti kekasihnya yang telah dibuat sedih oleh orang lain. Terlebih ketika pelukannya seketika terlepas begitu saja membuat Harri semakin geram.

Harri membawa kedua lengan Fara untuk memeluknya dengan kencang. Fara awalnya menolak, namun akhirnya ia pun menurut setelah melihat raut wajah kekasihnya yang sulit diartikan.

Harri menjalankan kendaraannya dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya. Ia sedang berusaha mengejar kendaraan di depannya yang seenak jidat mengatai kekasihnya begitu saja. Saat kendaraannya sudah persis di samping kendaraan orang itu, lantas Harri segera berkata, “DASAR ANJING!” teriak Harri tiba-tiba membuat beberapa pasang mata pengendara lain sedang memandang heran ke arahnya. Termasuk Fara, orang yang di belakangnya pun sudah mendongkakkan kepalanya dan memandang heran Harri melalui spion motornya. Pun bersamaan dengan pelukannua yang secara otomatis terlepas.

“Sel, lanjutin, Sel. Dasar tikus gitu, cepet!” bisik Harri sembari menepuk lututnya secara tergesa.

Tanpa sebuah pertanyaan maupun tanpa sanggahannya, Fara pun mengangguk dan menuruti ucapan Harri. “DASAR TIKUS!” Ucapan dari Fara sukses dihadiahi sebuah senyuman lebar dari sang empu.

“DASAR BABI!” lanjut teriak Harri masih dengan menjalankan motornya berdekatan dengan orang yang sudah membuat kekasihnya bersedih. “ITULAH NAMA-NAMA HEWAN!” seru Harri terakhir kali, badannya sedikit ia condongkan ke arah kanan seakan sedang meneriaki orang tersebut persis di sebelah telinganya.

Freak pisan, anjing,” ketus orang tersebut sembari menjalanakan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, membuat jarak yang jauh dengan kendaraan Harri yang sebelumnya dengan sengaja Harri ikuti secara terang-terangan.

SIA YANG FREAK ANJING! DIADULAH JEUNG AING SETAN! LAGIAN MUN SIA HAYANG DOA NU ALUS NGADOA SORANGAN!” (LU YANG FREAK! BERADULAH SAMA GUA! LAGIAN KALAU LU MAU DOA YANG BAGUS YA BERDOA SENDIRI!) maki Harri di dalam hati, ia tak berani menyuarakan ucapan tersebut di depan Fara karena perempuan itu sedang memperlihatkan raut wajah yang tidak baik-baik saja.

“Kamu ngapain kayak gitu tadi? Biarin aja jangan diladenin. Lagian itu emang salah aku yang terlalu kasar.”

Harri menggeleng, tidak menerima ucapan Fara untuk tidak menimpali perilaku yang seenaknya orang tersebut layangkan untuk kekasihnya terlebih ketika ia menyalahkan dirinya sendiri. “Sekali-kali mah emang harus dikasih pelajaran. Lagian maneh berhak marah, aing juga sama kok tadi maki-maki di dalem hati. Apa mau aing tumpahin makian tadi?”

Fara menggeleng cepat. “Jangan, lagipula perbuatan jelek jangan dibales sama yang jelek juga, Harri.”

“Tapi aing nggak bales sama perbuatan jelek, Grizelle. Aing emang lagi ngabsen nama-nama hewan aja itu. Kalau masalah makian aing no comment,” eleknya yang dibalas decakan dari seseorang di belakangnya.

Tangan Harri terulur untuk menarik kepala Fara dan kembali mengistirahatkannya di bahu kiri miliknya. “Udah jangan pusingin orang gila. Maneh kayak tadi lagi dong posisinya, aing suka.”

Fara pun menuruti ucapan Harri tanpa harus menunggu lama untuk kembali memeluk kekasihnya sembari menyimpan kepalanya di bahu lelaki itu dengan nyaman. Ia dengan refleks memejamkan kedua matanya ketika angin malam mulai menerpa paras eloknya. Bibir manisnya tersenyum kecil acapkali lelaki yang sedang menjalankan kendaraannya mengelus punggung tangan miliknya yang bertengger nyaman di pinggang lelaki itu.

Melalui sentuhan kecil darinya mampu membuat perasaan sedihnya seketika hilang begitu saja.

Aing nggak akan pernah ngebiarin siapapun buat maneh sedih, Sel. Kalau ada yang berani buat maneh sedih, dia harus berhadapan sama aing dulu.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


Fara tersenyum kala melihat sosok yang lebih muda sudah berdiam diri di depan pintu rumahnya dengan penuh rasa antusias yang dipendamnya. Fara segera turun dari motor. Saat hendak berlari menghampiri si kecil, tangan Harri sudah lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya.

“Apa?”

Harri menatap benda bulat yang masih berada di kepala Fara tanpa mengeluarkan sepatah kata. Fara yang menyadari sebuah isyarat itu, lantas memperlihatkan sederetan giginya dan memajukan kepalanya kepada seseorang yang masih asyik terduduk di atas motornya.

“Hehehe, maaf Yang, lupa!”

Tangan Harri terulur untuk membuka pengait helmnya. Ini sudah menjadi rutinitas dirinya ketika mengantar-jemput kekasihnya untuk selalu membukakan pengait helmnya. Padahal Fara sendiri mampu membukanya, meskipun terkadang acapkali merasa kesulitan. Namun, Harri tidak membiarkan untuknya melakukan hal tersebut apabila sedang bersama dirinya.

“Gih, sana. Si Kaila udah nungguin.” Fara mengangguk, ia tersenyum dan merapalkan kata terima kasih sebelum akhirnya ia berlari untuk menghampiri Kaila yang masih setia menunggunya di depan pintu.

“Teh Isel!” sambut Kaila langsung menyodorkan lengan kanannya, kemudian langsung Fara raih. Seketika senyum Fara merekah ketika dapati si kecil yang sudah mencium lengannya. “Kaila ayo kita main barbie sekarang!” Kaila mengangguk antusias, pintu rumahnya sudah ia buka lebar-lebar agar Fara bisa memasuki dengan leluasa.

“Teh Isel masuk duluan, aku mau nunggu Aa Harri dulu!” Fara mengangguk, mengiakan ucapan Kaila untuk memasuki rumah sang empu lebih dulu. Sedangkan si kecil setia menunggu sang kakak untuk memasuki rumahnya secara bersama.

“Aa, salim!” Harri menyerahkan lengan kanannya, Pun langsung segera diraih Kaila untuk menciumnya. “Si kembar mana?” tanya Harri ketika menyadari kediamannya yang sedikit sunyi.

“Les inggris.”

Ai kamu nggak les?” tanya Harri kembali sembari membuka kedua sepatunya lalu ia simpan dengan rapi di atas rak sepatu.

Kaila memandangi kakaknya dengan lihai membuka alas kakinya sebelum akan memasuki kediamannya. “Kaila lesnya besok. Aa besok jemput Kaila, ya, pulangnya jam lima sore jangan sampe telat!” Harri mengangguk diiringi mengelus puncak kepala Kaila dengan penuh kasih sayang.

“Mama Iis mana?”

“Belum pulang, masih di sekolah.”

“Tumben belum pulang,” ucap Harri, menyipitkan kedua matanya seolah sedang menerka alasan mengapa Mamanya pulang tak tepat waktu.

Kaila mengangkat kedua bahunya secara tak acuh. “Kaila enggak tau.”

“Ya udah, Aa mau ke atas dulu ganti baju. Temenin Teh Iselnya, ya, pintu rumah jangan lupa dikunci.” Harri mencium kepala Kaila sekilas sebelum ia benar-benar meninggalkannya. Kaila mengangkat jempolnya diiringi kedipan untuk merespons sebuah titahan dari kakak sulungnya.

“Oke!”

Fara mendongkakkan kepalanya kala melihat Harri berjalan di depannya tanpa melirik ke arahnya. “Kamu mau ke mana?” Harri menghentikan langkahnya, lalu menatap obsidian yang kini sedang menatap lamat ke arahnya.

“Mau ganti baju, kamu sama si Kaila dulu, ya.” Fara membawa kepalanya untuk tergerak naik dan turun dengan konstan.

“Teh Isel ayo kita main barbie, tapi mainnya di kamar Kaila, ya. Soalnya Kaila males kalau harus bawa barbie nya satu per satu ke sini!”

Fara langsung bangkit dari kegiatan duduknya. Ranselnya ia simpan secara sembarang, lalu mengikuti jejak si kecil untuk menuju kamarnya. Ada perasaan bahagia di benak Fara karena sudah lama tidak bermain mainan masa kecilnya.

Semenjak menjalin hubungan kasih dengan Harri, Fara tidak pernah merasa kesepian kembali. Dirinya yang menjadi anak satu-satunya kerap membuat Fara selalu merasa kesepian. Rumahnya memang megah, namun rasa sunyi yang selalu didapatkannya. Pun tak banyak yang dilakukannya ketika ia berada di rumahnya. Fara selalu menginap di rumah Mama dan Papanya—Nenek dan Kakeknya—untuk mengisi kekosongan.

“Teh Isel kenapa bengong aja? Sini masuk!”

Fara mulai tersadar. Ia menggeleng pelan lalu melangkahkan kedua kakinya untuk memasuki kamar Kaila yang dipenuhi dengan warna merah muda kesukaannya.

Fara langsung mendudukkan dirinya persis di samping Kaila. Tangannya terulur untuk meraih barbie yang sangat mencolok di matanya. “Teh Isel mau barbie yang dokter! Kaila yang barbie reporter, ya. Nanti barbienya Kaila diperiksa sama barbienya Teh Isel.”

“Oh, nanti barbie Kaila pura-puranya sakit gitu, ya?”

“Iya, bener!”

“Oke!”

Keduanya mulai bermain barbie dengan penuh canda dan tawa. Acapkali Fara berperan bak dokter membuat Kaila menyenandungkan gelak tawanya. Ibu dokter yang galak kalau kata Kaila. Sedari tadi Kaila perhatikan Fara kerap memarahi pasien yang sangat bandel dan susah diatur. Hingga pada akhirnya barbie miliknya sudah berada di ruangan barbie milik yang lebih tua.

“Keluhannya apa, Mbak?” tanya Fara, sedang bermain peran seolah menjadi dokter sungguhan.

“Pusing, terus mual. Kira-kira aku kenapa, ya, Ibu Dokter?”

Fara nampak berpikir sejenak dan memandang langit-langit kamar Kaila. “Hm, itu sih kayaknya Ibu terlalu banyak kerja di bawah sinar matahari. Coba Ibu resign aja, nanti pasti sembuh!” jawab Fara dengan asal membuat si kecil mendengkus dan menahan kesal.

“Ih, kok gitu malah nyuruh barbie nya Kaila berhenti kerja!”

Alih-alih meminta maaf, Fara justru menyuarakan gelak tawanya begitu nyaring. Sudah dipastikan seseorang yang berada di tembok sebelahnya akan mendengar gelak tawa yang dilontarkan olehnya.

“Teh Isel capek, laper.” Fara memegang perutnya, lalu kembali menatap Kaila yang sedang berbalik menatap ke arahnya. “Teh Isel mau mie … Kaila punya mie?” Kaila mengangguk dan memberitahu letak mie berada di mana. Fara pun langsung berdiri ketika otaknya sudah mencerna dan mengingat letak keberadaan mie yang sudah diserukan oleh Kaila.

“Teh Isel minta mienya, ya! Kaila mau nggak?” Kaila hanya menggeleng, menolak tawaran dari Fara.

“Nggak, ah. Kaila kemarin udah makan mie, nanti dimarahin Aa Harri kalau kebanyakan makan mie.”

“Oke, deh. Teh Isel makan mie dulu, ya, nanti dilanjut lagi, oke?”

Kaila membawa jempol kanannya di udara. Mengiakan ucapan yang lebih tua untuk izin mengisi perutnya yang sudah memberontak minta untuk diisi. Fara sudah menghilang dari pandangan Kaila, Pun Kaila yang saat ini kembali memainkan barbienya secara sendirian.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


Harri dibaluti rasa cemas ketika pikirannya mulai kembali pada sang kekasih yang mengendari kendaraan roda duanya. Terakhir kali melihatnya, ia bisa pastikan bahwa Fara memang pandai dalam mengendarakannya. Namun, rasa cemas dan khawatir tetap saja menghantui dirinya.

Pintu rumahnya sudah Harri tutup kembali. Ia baru saja membalikkan tubuhnya dan langsung dihadapkan dengan adiknya yang menatapnya penuh kebingungan.

“Teh Isel mana, A?” tanya Kaila, melirik kanan kirinya dan nihil tidak dapat menemukan sosok seseorang yang sedang dicarinya. Kedua matanya kini tertuju pada bola mata sang kakak berharap yang lebih tua akan segera menjawab pertanyaannya.

“Udah pulang.”

“Ih, kok, pulang? Padahal katanya tadi mau makan mie dulu. Kaila masih pengen main barbie ....”

Harri menelan ludahnya dengan susah payah. Ia mengelus surai adiknya dengan pelan agar Kaila tidak merasakan kesedihan akibat ditinggalkan Fara atas perintahnya. “Ya, udah, ayo Aa temenin main barbie.” Sontak hal tersebut mampu mengejutkan Kaila yang mendengarnya. Mata Kaila membulat dengan mulut yang menganga. “Aa beneran mau main barbie sama Kaila?” Harri menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari mengangguki ucapan Kaila bahwa dirinya bersedia untuk bermain bersama adiknya. Sudah terlanjur menyerahkan diri, jadi, mau tak mau Harri harus menepati ucapannya.

“Asik!”

Dengan penuh rasa riang, Kaila menarik lengan Harri untuk berjalan menuju kamarnya. Betapa terkejutnya Harri kala melihat keadaan kamar Kaila yang sedikit berantakan. Apalagi ditambah dengan beberapa mainan yang berserakan dimiliki adiknya.

“Aa ini harus ngapain?” tanya Harri dengan hati-hati setelah mendudukkan dirinya di seberang Kaila.

Kaila menyerahkan satu barbie lengkap dengan seragam putih yang membaluti tubuh itu bak koki terkenal. “Aa mainin barbie ini, Aa nanti pura-puranya jadi koki terus Kaila jadi pelanggannya. Nah, nanti ternyata masakan Aa ada racunnya terus Kaila berubah deh dari reporter yang bawain berita, ya!” antusias Kaila menjelaskan alur dari permaianan yang akan mereka perankan.

“Kenapa peran Aa jadi orang jahat ...,” cicit Harri dengan pelan, tidak terima karena dirinya mendapatkan sebuah peran yang jahat.

“Oh, Aa nggak mau jadi orang jahat?”

“Ya, nggak mau .... Menurut kamu aja we.” Harri memutar bola matanya dengan malas kala jawaban tak masuk akal dari Kaila memasuki gendang telinganya.

Kaila membawa kedua matanya untuk menatap ke arah dinding kamarnya dengan sembarang sembari mengetukkan jari telunjuk di dagunya dengan irama konstan. “Hm ... ya udah, Aa jadi koki aja tapi nanti ada orang yang jelek-jelekin restaurant Aa terus Kaila dateng jadi reporter, deh!” Harri menghela napasnya ketika sang adik menyerukan peran yang diinginkannya dengan bersikukuh.

“Ya udah, mulai.”

Harri meraih barbienya, lalu menuju dapurnya seakan sedang memasak dan menyiapkan sebuah menu yang telah dipesan oleh para pelanggan.

“Misi,” ucap Kaila sembari menggerakkan tangan barbienya seolah sedang memencet bel yang berada di depan kasirnya.

Tak lama barbie Harri datang sembari menyeka keringatnya karena sedari tadi berhadapan dengan beberapa kompor yang sukses membuatnya kegerahan.

“Mau pesan apa, Teh?”

“Ibu, di sini makanan paling disukai apa, ya?”

“Tumis daging naga,” jawab Harri dengan kesal. Ingin segera menyelesaikan permainan ini, namun Harri tidak ingin membuat adiknya bersedih. Lagipula ini pun atas kemauannya sendiri untuk menemani adiknya yang merasa kesepian selepas ditinggalkan kekasihnya sebelah pihak.

“AA IH YANG BENER! MASA ADA DAGING NAGA!”

Harri terkekeh mendengar sebuah protesan yang dilayangkan oleh adiknya. Bibir Kaila mengecurut dengan kedua alis yang bertaut. “Oke, ulang-ulang.”

Kaila menghela napasnya, ia mengulangi ucapan sebelumnya dengan nada dan tekanan suara yang sama dengan sebelumnya. “Ibu, di sini makanan paling disukai apa, ya?”

“Tongseng daging dinosaurus.”

“AA IH! KAILA MAH SEBEL AH NGGAK MAU MAIN BARBIE LAGI SAMA AA!” Kaila melempar pelan barbienya yang sedari tadi ia pegang. Tangannya sudah bersedekap di dada akibat rasa kesal yang sedang dirasakannya.

Yes, batin Harri yang kemudian sudah berancang-ancang untuk berdiri dan meninggalkan kamar adiknya. Akhirnya ia kini dapat terbebas dari permainan yang bahkan sebelumnya ia tak pernah sekali pun terbesit untuk memainkannya jika tidak terpaksa seperti sekarang ini.

“Aa mau ke mana?”

Intrupsi dari adiknya mampu menghentikan langkah Harri. Lantas ia segera membalikkan badannya dan menatap Kaila yang masih terduduk dengan raut wajah cemberut yang sangat terlihat jelas ditangkap oleh kedua matanya. “Aa diusir, kan, tadi? Aa mau balik ke kamar.”

“Ih Kaila tadi boongan aj—–”

Suara klakson mulai terdengar dari arah depan rumahnya. Kaila yang sebelumnya sedang mengucapkan sesuatu pun seketika terhenti dan kembali membungkam mulutnya. Matanya menatap kedua netra sang Kakak penuh dengan pertanyaan yang ingin diberikan jawaban sesegera mungkin.

“Itu temen Aa, A Aksa sama A Yolan. Nanti kamu jangan sebut Teh Isel di depan mereka, ya. Terus nanti kalau mau main barbie mending sama mereka, mereka jago banget dibanding Aa Harri apalagi sama yang namanya A Yolan.”

Sebenarnya Kaila masih ingin mendapatkan jawaban lain selain jawaban yang terlontar beberapa detik lalu, namun kini sang kakak sudah menghilang dalam pandangannya. Hingga akhirnya Kaila mengedikkan kedua bahunya dengan tak acuh dan kembali bermain barbie itu sendirian.


“Lama banget si monyet bukain pintu, teh!” kesal Aksara yang sedari tadi sudah berdiri di depan pintu, namun sang pemilik rumah tak kunjung membukakan pintunya.

Harri hanya terkekeh dan membukakan pintu rumahnya dengan lebar. “Maaf, Mang, tadi aing abis dipaksa main barbie sama si Kaila.” Sontak Harri dengan refleks memukul pundak Aksara kala lelaki itu menertawai dirinya. “Sia ketawa, cabut dari rumah aing!” Aksara pun segera membungkam mulut menggunakan tangannya, akan tetapi tubuhnya tak bisa menyembunyikan bahwa lelaki itu sedang menahan tawanya terlihat dari tubuhnya yang sedikit bergetar.

“Mana pesenan aing?” Tangan Harri menengadah, siap menerima pesanannya secara sembarang untuk menyelamatkan hubungannya dari kedua orang di hadapannya ini.

“Pesenan sia sangat menyusahkan!” ketus Yolan sembari menyerahkan beberapa makanan yang sebelumnya masih asyik menggantung di atas motornya.

Harri segera merampas makanan tersebut, lalu memeriksanya satu per satu takut ada yang terlewatkan. Padahal ia pun sudah lupa pesanan apa saja yang sudah dimintanya. “Parah banget sia bilang pesenan Mama aing menyusahkan!”

Yolan menggelengkan kepalanya secara cepat. Pandangannya sibuk menilik ke arah belakang pintu yang sudah terbuka lebar. “Tenang, indung aing lagi nggak ada,” sahut Harri seakan mengetahui raut ketakutan yang diperlihatkan Yolan.

“Monyet, terus kenapa maneh pesen ini martabak kalau misalnya Mama maneh nggak ada di rumah!” murka Yolan tidak bisa dibendung lagi sendirian. Pasalnya ia hari ini sudah menghabiskan satu bar bensin untuk menuju kediamannya. Ditambah di pertengahan jalan, ia disuruh putar balik secara paksa untuk membelikan camilan yang mana hal itu membuat rasa sebalnya memuncak.

“Buat malem, anying. Sekalian biar maraneh bisa makan martabaknya, soalnya di rumah aing lagi nggak ada apa-apa.”

“Tapi Mama nyangu?”

Beungeut sia nyangu. Hayu ah abus, asa siga rentenir kieu di laluar.” (Muka lu masak nasi. Ayo ah masuk, kayak rentenir aja pada di luar.)

Ketiganya tertawa lalu mengikuti langkah Harri untuk memasuki kediamannya. Pertama kali yang menyambut kedatangan mereka adalah rasa sejuk menengkan dan keheningan yang tak biasanya mereka rasakan ketika sudah memasuki kediaman Harri.

“Si kembar lagi nggak ada, ya?” tanya Yolan secara asal dan mendudukkan dirinya di salah satu sofa. Suara hempasan tubuhnya secara tiba-tiba pun menjadi pengisi keheningan di antaranya.

Harri mengangguk, mengiakan pertanyaan dari Yolan. Ia pun ikut untuk mendudukan diri di sofa ruang tamunya. Punggungnya ia sandarnya dengan nyaman pada sofa yang didudukinya.

“Eh?” heran Aksara saat kakinya tak sengaja menendang sesuatu di bawah meja. Ia menunduk untuk melihat sebuah barang yang ditendangnya. Aksara mengernyitkan dahinya ketika sebuah barang tak asing yang pertama kali dilihatnya. “Ini jaket cewek siapa, njir?” tanya Aksara sembari mengangkat satu jaket warna kuning gading ke udara.

Mampus aja anjing, Isel teledor.

Jujur Harri sangat terkejut, namun ia harus tetap memasang wajah seolah tak terjadi apa-apa agar kedua temannya itu tak mencurigai gerak-geriknya.

“Punya si Kaila, deh, kayaknya. Masa we punya aing.”

“Punya indung maneh juga bisa, sih.” Harri lagi-lagi mengangguki ucapan Yolan. Di dalam hatinya Harri sedang berterima kasih karena Yolan secara tidak langsung membantu dirinya dalam menyembunyikan sesuatu.

“Kayak kenal gini jaketnya,” ucap Aksara yang langsung dibalas Harri, “iya, ya, kenapa adik aing malah mau beli jaket yang pasaran kayak gitu. Nggak di mana-mana aing juga nemuin jaket kayak gitu.” Harri mengangkat kedua bahunya disertai gelengan kecil. Tak tahu saja sedari tadi Harri sedang mengontrol detak jantungnya yang sedang berpacu dengan cepat.

“Eh, Mang Yol maneh tadi dicariin Kaila disuruh buat ke kamarnya ceunah.” Yolan menukikkan kedua alisnya, ia dibaluti rasa bingung saat Harri mengatakan bahwa Kaila mencari dirinya. Tak biasanya. “Ngapain ceunah?” Harri hanya menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa karena itu hanyalah sebuah ucapan spontanitas untuk mengalihkan pembahasan mengenai jaket yang ditemui Aksara sebelumnya di bawah meja.

Tidak mau membuat Kaila menunggu lama, pada akhirnya Yolan sudah melangkahkan dirinya untuk menghampiri Kaila yang berada di kamarnya. Sedangkan Aksara kini sudah mulai mengeluarkan laptopnya untuk mengerjakan tugas sekolahnya yang sempat terganggu oleh jaringan internetnya yang tidak stabil.

“Sa, aing bawa air minum dulu ke dapur.”

Aksara membalas ucapan Harri dengan sebuah anggukkan tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.

“Anjir, anjir, anjir. Ini mah double headshot anjing, hari Rabu teh hari ter-bad banget untuk aing!”


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0


Mesin motor keduanya telah dimatikan oleh sang empu. Baik kendaraan Harri dan kendaraan Fara kini sudah terparkir sempurna di halaman rumah Harri. Harri berjalan untuk kembali menutup gerbang rumahnya yang semula terbuka.

Kepala Fara mendongkak, menatap langit sore hari yang dipenuhi semburat warna Jingga membuat kesan yang sangat indah kala memandanginya. Kemudian sesaat kemudian suara derap langkah yang menghampirinya mulai mengalihkan atensi Fara dari memandangi langit sorenya.

Harri menghampiri Fara dan membantu melepaskan helm yang masih membaluti kepala sang kekasih. Ia cukup mafhum bahwa perempuannya sering kesulitan untuk membuka pengait helmnya.

“Makasih, Harri,” goda Fara dengan menjulurkan lidahnya. Ia sangat suka melihat raut wajah kesal yang selalu diperlihatkan kekasihnya kala dirinya selalu memanggil dia dengan sebutan namanya.

Harri berdecak diiringi bola matanya yang memutar. Ia berusaha menulikan pendengarannya, namun kalah cepat karena ucapan sang empu sudah memasuki gendang telinganya. “Nanti mah jangan ngebut-ngebut, maneh bukan Rossi.”

Fara mendecak kesal saat mendengar dirinya disepelekan oleh lelaki di depannya. Fara menukikkan alisnya, tak lupa menajamkan pandangannya agar Harri akan takut dengan tatapannya.

“Kamu aja we yang lambat itu mah, bukan aku yang ngebut!”

Harri menjitak kepala Fara membuat sang empu mengaduh kesakitan. “Awh! Parah banget penganiayaan dalam hubungan kekasih ini mah!”

Harri memutar bola matanya malas. Ia melangkah lebih dulu untuk memasuki kediamannya yang kemudian tak lama disusul oleh Fara di belakang sana.

“Kamu mau kemana, ih?” protes Fara melihat Harri yang sudah melangkah meninggalkannya tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Langkah Harri berhenti dan membalikan badannya untuk menatap sang kekasih di belakangnya. “Mau ganti baju, kamu sama si Mama dulu sebentar.” Harri menepuk puncak kepala Fara lalu kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti beberapa saat lalu.

Mulut dan kakinya selaras. Fara sedari tadi sedang berceloteh dengan kedua tungkainya yang berjalan menuju ruang tamu, sebab Harri malah meninggalkannya begitu saja. Fara yang baru saja akan duduk pun langsung dikejutkan oleh teriakan seseorang. Hingga akhirnya ia kembali menegakkan tubuhnya dan memperlihatkan senyuman indahnya kepada seseorang di seberang sana.

“Neng, kemana aja ih Mama kangen Neng Isel!” Wanita paruh baya itu segera memeluk perempuan yang lebih muda penuh semangat ketika sudah di depannya. Lewat pelukan itu Mama Iis menyalurkan rasa rindunya kepada Fara.

Bahkan kedatangan Fara bisa Mama Iis hitung dengan jari saking jarangnya perempuan itu mengunjungi rumahnya.

“Isel lagi sibuk, Ma, jadinya jarang main ke sini deh! Oh iya, Papa ke mana, Ma?” tanya Isel, mengecupi punggung tangan wanita paruh baya itu sembari mengedarkan pandangannya ke samping kanan dan kirinya berharap bisa menemukan sosok seseorang yang sedang diperbincangkan.

“Lagi di belakang buka durian, si Papa mau buat es duren katanya soalnya ada Neng Isel.”

Hati Fara tersentuh ketika merasakan bahwa kedua orang tua kekasihnya memperlakukan dirinya dengan sangat baik. Jika ia sedang seorang diri, mungkin ia sudah meneteskan air matanya.

“Neng, ayo kita makan. Mama udah masakin makanan kesukaan Neng Isel!” Mama Iis meraih lengan Fara dan menyeret menuju dapur rumahnya.

Seketika sampai di sana, Fara hanya bisa melebarkan bola matanya ketika melihat hidangan lezat menu makan sore hari ini. Cacing-cacing di perut pun seakan memberontak untuk segera diberi asupan.

“Teteh Isel!” teriak Kaila antusias saat melihat sosok seseorang yang sudah berada di kursi dapur rumahnya. Ia berlari kecil untuk menyodorkan lengan kanannya. “Teh Isel kemana aja? Udah lama nggak ke rumah!” Kaila mengecup lengan Fara dan mendudukkan dirinya persis di samping kursi Fara.

“Teteh lagi sibuk, tugas Teteh banyak banget! Ini juga, abis makan sore Teteh mau ikut ngerjain tugas di sini!” Fara menghela napasnya, memperlihatkan sedikit rasa lelah yang dirasanya kepada si kecil.

“Nanti kalau udah nggak sibuk, sering-sering main ke sini, ya! Kaila punya barbie baru yang dokter sama reporter pokoknya Teh Isel harus main sama Kaila!”

Fara menyatukan jari telunjuk dan jempol membentuk bulatan sempurna. “Ok, nanti Teh Isel sering main ke sini!” Kaila tersenyum sembari menganggukkan kepalanya antusias tatkala mendengar jawaban dari Fara yang sukses membuat dirinya semakin tidak sabar untuk menantikan hal tersebut.

“Mama, ih! Aquarium di kamar Aa airnya ditumpahin sama si kembar. Mana karpet Aa jadi basah semua!” ketus Harri, mengusakkan kepalanya kepada punggung Mamanya seakan sedang mengadu atas perilaku kedua adik kembarnya yang selalu membuat emosinya berhasil memuncak.

Fara terkekeh melihat pemandangan di depannya yang sedang memeperlihatkan kekasihnya bak kanak-kanak mengadu.

“Aa, ih, malu itu sama pacar kamu diliatin.” Harri melirik sekilas ke arah Fara yang sedang tersenyum kepadanya, lalu kembali melanjutkan kegiatannya untuk bermanjaan kepada Mamanya. “Biarinlah, Aa mah nggak malu. Mama atuh, ih, karpet Aa gimana?!”

Mama Iis menghela napasnya, tangannya seketika terhenti dan berjalan menuju wastafel untuk membersihkan tangannya. Seakan seperti ada magnet di antaranya, Harri pun tak lelah untuk mengikuti langkah sang Mamanya.

“Iya nanti Mama ganti, lagian Aa kan biasanya juga suka dikunci bukan kamarnya?”

Harri mulai menjauhkan kepalanya dari punggung Mamanya. “Udah Aa kunci tapi nggak tau kenapa tiba-tiba kebuka, aneh pisan rumah teh kenapa ya.”

“Kaila yang buka … Kaila buka kamar Aa mau ambil pensil warna Kaila yang ketinggalan di meja belajar Aa ….”

Harri menolehkan wajahnya menatap sang adik sedang terduduk sembari menundukkan kepalanya. Harri mulai menghampiri dan duduk persis di depan Kaila.

“Kaila, Aa mah nggak pernah ngelarang Kaila buat masuk kamar Aa. Sok, Aa pernah nggak ngelarang Kaila buat masuk?” tanya Harri yang dijawab sebuah gelengan dari sang adik. “Kaila harus tau kalau abis dari kamar orang apalagi yang sebelumnya dikunci, Kaila harus ngunciin lagi. Sama halnya kayak Aa pinjem spidol Kaila yang isinya 12, Aa harus balikinnya juga 12. Harus balikin kayak waktu dipinjem.”

Kaila mengangguk, kepalanya mulai mendongkak pelan dan menatap kedua mata Harri secara diam-diam.

“Kaila minta maaf Aa … soalnya Kaila buru-buru takut ditinggalin temen Kaila … Kaila janji nanti Kaila nggak akan gitu lagi!”

Harri mengembuskan napasnya pelan disertai anggukkan kecil. Ia memang sedang marah akibat keteledoran adiknya, namun Harri tak bisa lama marah sebab dia sangat menyanyangi ketiga adiknya, walaupun setiap hari ia selalu dibuat ngelus dada akan tingkah lalu para adiknya.

“Teh Isel, Teh Isel, Papa udah bongkar durennya nanti tinggal dibuatin teh es durennya!” teriak Aariz, berlari kecil ke arah Fara untuk memperlihatkan buah durian yang sudah dibuka oleh Papa dari kekasihnya.

“Teh Isel, liat!” Aarash tidak mau kalah untuk memamerkan hasil jerih payah Papanya untuk membelah buah Durian.

Fara lagi-lagi menarik ujung kedua bibirnya untuk memberikan senyum terbaiknya disertai acungan jempol untuk respons antusias si kecil yang membutuhkan sebuah pujian untuknya.

Fara sontak berdiri dari tempat duduknya dan berjalan untuk memberikan kecupan pada punggung tangan Papa Asep. “Pa,” sapa Fara sembari membawa punggung tangan itu pada keningnya.

“Ayah sehat, Neng?”

“Sehat, Pa.”

“Salam ya buat si Ayah.”

Fara tersenyum dan mengangguk. “Iya, nanti Isel sampein kalau Ayah udah pulang, ya, Pa.” Papa Asep membalas ucapan Fara dengan anggukkannya.

Setelah itu Fara kembali duduk di tempat semula. Harri yang sebelumnya ada di depannya, kini sudah berpindah di samping Fara.

Harri baru saja akan membawa nasi pun langsung dihentikan oleh tangan Fara yang menggenggam pelan tangannya. “Sama aku aja dibawain.” Lantas, dengan senang hati Harri menerimanya. Tangannya kini sudah bersedekap di atas meja sembari kedua matanya asyik memperhatikan kegiatan Fara yang lihai dan telaten untuk memenuhi piring kosongnya dengan lauk-pauk yang sudah dibuat Mamanya.

“Kamu makan yang banyak, kalau bisa sayur lodehnya abisin, ya, Neng.”

Fara terkekeh kecil dan menggeleng, menolak perintah dari Mama Iis dengan halus. “Aduh, Mama mah suka seucap-ucap.”

“Ma, tah Isel diet. Marahin, Ma, orang Isel punya maag.”

Harri mengaduh ketika pinggangnya sukses dicubit oleh perempuan di sampingnya.

“Sakit, anjir!” keluh Harri dan menatap tajam Fara. Namun, tatapannya masih kalah oleh tatapan penuh arti dari Fara.

“Neng, jangan diet-diet. Nanti sakit. Orang sakit aja mau makan susah nikmatin, masa orang sehat kayak kita mau membatasi makanan? Jangan diet, ah, ya. Mending olahraga aja sama camilannya diganti buah-buahan aja mulai sekarang.”

Tah, dengerin kata Mama Iis!”

Fara sendiri tak pernah mengatakan bahwa dirinya sedang berdiet. Hanya saya Fara kerap menolak ajakan Harri makan, sebab dirinya sudah lebih dulu makan sehingga tak mampu untuk mengiakan ajakan dari kekasihnya.

Fara menggeleng cepat, tak mau membuat Mama Iis semakin salahpaham dengannya. “Mama, Neng mah nggak diet-diet. Harri mah bohong! Mama jangan percaya!”

Ruangan tersebut dipenuhi dengan gelak tawa. Obrolan-obrolan kecil saling mereka lontarkan. Harri tersenyum di sela-sela kegiatan makannya. Ia senang ketika melihat Fara makan dengan lahap dan terhibur oleh keluarganya.

Bahagia terus, Sel, aing bakal buat maneh bahagia terus.


Fara menghempaskan tubuhnya begitu saja pada salah satu sofa di ruang keluarga kediaman Harri. Keadaan perutnya kini sangat penuh, ia tak kuasa untuk sekadar memasukkan makanan lainnya.

“Mana? PR nya mana?” tanya Harri ketika sudah menyusul Fara untuk duduk di bawahnya. Tangannya menengadah, menunggu sang empu menyerahkan tugas sekolahnya yang kerap membuatnya penasaran karena Fara selalu mengeluh dengan tugasnya. Sedangkan, tangan satunya menyimpan sebuah minuman di atas meja—yang telah dibuat oleh Papanya.

Fara meraih ranselnya yang tak jauh dari tempatnya berada. Tangannya merogoh dan memilah sebuah buku yang sedang dicarinya. Ketika sudah mendapatkan buku itu, Fara bergegas menyerahkan kepada Harri dan ikut terduduk di bawah menyusul kekasihnya.

“Ini!” Harri mengikuti arah tunjuk Fara. “Oh, turunan.” Tangan Harri kembali menengadah, seolah sedang meminta sesuatu yang kemudian Fara langsung menyerahkan satu kotak alat tulisnya.

“Aku kerjain satu yang setipe. Kamu perhatiin, nanti coba isi. Aku bakal jelasin nanti.” Fara mengangguk, matanya tak lepas dari buku-buku itu yang semula bersih kini sudah mulai ternodai oleh tinta hitam yang mulai memenuhi kertasnya.

Ai aku ngapain dong?” tanya Fara yang dibalas Harri dengan menunjuk minuman menggunakan dagunya. “Makan itu, si Papa sengaja buatin untuk maneh.”

Sebenarnya perut Fara saat ini sudah sangat kenyang. Namun, untuk memasukkan minuman kesukaannya tak mungkin bisa ia tolak begitu saja. Buktinya kini mulut Fara sudah dipenuhi dengan minuman tersebut.

“Enak banget! Sumpah ini mah maneh kayaknya harus buat ‘Es Duren ala Bapa Asep’!” Harri terkekeh dan menggelengkan kepalanya. Ia masih terfokus pada sebuah soal yang dikeluhkan kekasihnya.

“Abisin.”

“Iya, pasti. Ai kamu nggak?”

Harri menggeleng. “Nggak, aing udah berada ditahap bosen pisan sama duren, anjir. Atuh da setiap hari hayoh we rumah teh selalu makan durian, gimana aing nggak enek.”

Apa yang diucapkan Harri itu benar. Keluarganya sangat menyukai buah durian. Bahkan, setiap pagi buah itu selalu tersedia di atas meja makannya. Awalnya Harri senang-senang aja menikmatinya, namun semakin lama Harri tentu saja merasa bosan. Sampai buah durian di matanya sudah tidak menggugah seleranya.

“Kamu masih marah nggak?”

“Marah apaan?” Harri kembali bertanya dengan mengernyitkan dahinya, berupaya mencerna pertanyaan yang secara tiba-tiba Fara layangkan.

“Yang ngerangkul.”

“Oh,” jawab Harri sekilas dan menjeda sedikit ucapannya. “Sedikit,” lanjutnya tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya.

“Sumpah aku nggak sadar!”

“Ya udah, udah terjadi juga, kan? Lagian itu akibat dari kita yang backstreet.”

Fara mengembuskan napasnya. Ia mengangguk mengiakan ucapan dari Harri. Namun rasa tidak enak masih menghantui dirinya. Padahal Fara kira Harri tidak akan cemburu ketika dia bersama dengan teman sekelasnya.

“Lanjutin.” Harri menyerahkan buku serta alat tulisnya ke arah Fara. Fara langsung menghentikan kegiatan menikmati minuman duriannya. Tangannya mulai meraih sebuah pulpen. Matanya menajam, memperhatikan setiap tulisan yang telah dicoretkan Harri sebelumnya.

“Nomor tiga sama lima ikutin kayak gitu, sama persis cuman beda angka.”

Fara mengangguk dan mulai mencoba mengerjakan tugas matematika wajib yang paling dihindarinya. Fara beruntung rasanya memiliki kekasih seperti Harri yang pandai dalam segala bidang. Meskipun terkadang Harri terlihat seperti orang yang tidak telaten dalam akademik, namun tentu pandangan itu salah. Harri kerap menjadi peringkat lima besar di kelasnya. Artinya, Harri sangat pandai dalam bidang akademik.

Mereka berdua saling terdiam. Hanya ada suara televisi yang menemaninya. Fara masih terfokus pada tugas-tugas sekolahnya, sedangkan Harri sedari tadi menyuapkan minuman ke dalam mulut Fara agar perempuan itu masih bisa menikmatinya; matanya sibuk memastikan bahwa Fara mengerjakan tugasnya dengan benar.


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0

LANGIT JINGGA DI BUAH BATU.


“Kamu mau kemana, ih?” protes Fara melihat Harri yang sudah melangkh meninggalkannya.

Langkah Harri berhenti dan membalikan badannya untuk menatap sang kekasih di belakangnya. “Mau ganti baju, kamu sama si Mama dulu sebentar.” Harri menepuk puncak kepala Fara lalu kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti beberapa saat lalu.

Mulut dan kakinya selaras. Fara sedari tadi sedang berceloteh sebab Harri malah meninggalkan seorang diri di rumahnya. Fara yang baru saja akan duduk pun langsung dikejutkan oleh teriakan seseoang. Hingga akhirnya ia kembali menegakkan tubuhnya dan memperlihatkan senyuman indahnya kepada seseorang di seberang sana.

“Neng, kemana aja ih Mama kangen Neng Isel!” Wanita paruh baya itu segera memeluk perempuan yang lebih muda penuh semangat ketika sudah di depanny. Lewat pelukan itu Mama Iis menyalurkan rasa rindunya kepada Fara.

Bahkan kedatangan Fara bisa Mama Iis hitung dengan jari saking jarangnya perempuan itu mengunjungi rumahnya.

“Isel lagi sibuk, Ma, jadinya jarang main ke sini deh! Oh iya, Papa ke mana, Ma?” tanya Isel sembari mengedarkan pandangannya ke samping kanan dan kirinya berharap bisa menemukan sosok seseorang yang sedang diperbincangkan.

“Lagi di belakang buka durian, si Papa mau buat es duren katanya soalnya ada Neng Isel.”

Hati Fara tersentuh ketika merasakan bahwa kedua orang tua kekasihnya memperlakukan dirinya dengan sangat baik. Jika ia sedang seorang diri, mungkin ia sudah meneteskan air matanya.

“Neng, ayo kita makan. Mama udah masakin makanan kesukaan Neng Isel!” Mama Iis meraih lengan Fara dan menyeret menuju dapur rumahnya.

Seketika sampai di sana, Fara hanya bisa melebarkan bola matanya ketika melihat hidangan lezat menu makan sore hari ini. Cacing-cacing di perut pun seakan memberonta untuk segera diberi asupan.

“Teteh Isel!” teriak Kaila antusias saat melihat sosok seseorang yang sudah berada di kursi dapur rumahnya. Ia berlari kecil untuk menyodorkan lengan kanannya. “Teh Isel kemana aja? Udah lama nggak ke rumah!” Kaila mengecup lengan Fara dan mendudukkan dirinya persis di samping kursi Fara.

“Teteh lagi sibuk, tugas Teteh banyak banget! Ini juga, abis makan sore Teteh mau ikut ngerjain tugas di sini!”

“Nanti kalau udah nggak sibuk, sering-sering main ke sini, ya! Kaila punya barbie baru yang dokter sama reporter pokoknya Teh Iseo harus main sama Kaila!”

Fara menyatukan jaru telunjuk dan jempol membentuk bulatan sempurna. “Ok, nanti Teh Isel sering main ke sini!” Kaila tersenyum sembari menganggukkan kepalanya antusias tatkala mendengar jawaban dari Fara yang sukses membuat dirinya semakin tidak sabar untuk menantikan hal tersebut.

“Mama, ih! Aquarium di kamar Aa airnya ditumpahin sama si kembar. Mana karpet Aa jadi basah semua!” ketus Harri, mengusakan kepalanya kepada punggung Mamanya seakan sedang mengadu atas perilaku kedua adik kembarnya yang selalu membuat emosinya berhasil memuncak.

Fara terkekeh melihat kelakukan kekasihnya seperti kanak-kanak.

“Aa, ih, malu itu sama pacar kamu diliatin.” Harri melirik sekilas ke arah Fara yang sedang tersenyum kepadanya, lalu kembali melanjutkan kegiatannya untuk bermanjaan kepada Mamanya. “Biarinlah, Aa mah nggak malu. Mama atuh, ih, karpet Aa gimana?”

Mama Iis menghela napasnya, tangannya seketika terhenti dan berjalan menuju wastafel untuk membersihkan tangannya. Seakan seperti ada magnet di antaranya, Harri pun tak lelah untuk mengikuti langkah sang Mamanya.

“Iya nanti Mama ganti, lagian Aa kan biasanya juga suka dikunci bukan kamarnya?”

Harri mulai menjauhkan kepalanya dari punggung Mamanya. “Udah Aa kunci tapi nggak tau kenapa tiba-tiba kebuka, aneh pisan rumah teh kenapa ya.”

“Kaila yang buka … Kaila buka kamar Aa mau ambil pensil warna Kaila yang ketinggalan di meja belajar Aa ….”


Kolase Asmara Universe.

by NAAMER1CAN0