HARI MINGGU, PANTI ASUHAN, DAN CEMBURU BUTA.
Netra hitam milik seorang pria kelahiran bulan Juni menatap lamat kedua insan di depannya sedang bercengkerama diiringi tawaan kecil yang sukses membuat gejolak rasa cemburu mendatanginya. Lelaki itu terlonjak ketika sebuah tepukan dirasakan pada bahu kanannya. Ia menoleh sembari melayangkan tatapan penuh tanya.
“Panas, ya, Hag?” ucap Jaya secara tiba-tiba seraya menyejajarkan tubuhnya dengan sang empu. “Gimana? Udah ngerasa nyesel belum maneh malah backstreet?” ledek Jaya tanpa menolehkan wajahnya pada lelaki di sampingnya yang masih menatap ke arahnya. Tangannya bersedekap di depan dada, pun dengan kedua maniknya sibuk memandangi objek di depannya.
Dengan cepat Harri memutuskan pandangan pada lelaki di sampingnya dan kembali menatap pemandangan di depan. Ia tak menjawab runtutan kata itu secara vokal, melainkan menjawabnha dengan sebuah gestur tubuh—menggelengkan kepalanya seraya mengedikkan bahunya. Berupaya terlihat tak acuh.
Sejatinya Jaya mafhum dengan pancaran tatapan lelaki itu. Tatapan penuh rasa sendu yang sedang berusaha dibendung sendirian. Tangannya terjulur untuk sekadar menepuk punggung temannya sekilas.
Harri melengos. Tungkainya menjauhi pemandangan yang kerap membuat gejolak di dadanya mendidih. Dalam perjalanannya ia secara tak sadar memamerkan guratan tak suka yang terlihat jelas raut wajahnya. Untung saja keadaan di sekitarnya sedang sepi sehingga tidak ada orang yang melihatnya.
“Maneh mau ke mana?” tanya Jaya ketika melihat lelaki itu mulai berjalan meninggalkannya tanpa adanya untaian kata perpisahan.
“Ke dalem biar adem!” timpal Harri dingin enggan menolehkan wajah, Pun menghentikan langkah kakinya.
Jaya mengangguk, paham dengan suasana hati temannya. Ia hanya bisa menatap punggung lebar milik temannya dengan tatapan iba. Lantas ia kembali menatap kedua orang di depannya yang masih setia berbincang tanpa memedulikan kehadirannya.
Ironisnya, sekonyong-konyong Harri berusaha menutupi rasa tidak suka namun semesta masih dapat mengetahuinya secara jelas. Pun dengan seekor kucing yang kini menatap ke arahnya, lalu tak lama kucing tersebut mengikuti langkah sang empu.
Merasa ada yang mengikuti, Harri langsung menghentikan langkahnya. Ia berjongkok untuk sekadar mengelus kucing tersebut sebentar, hanya mengelus lalu pergi. Niatnya. Tak ayal lelaki itu memiliki alergi terhadap bulu kucing.
“Aing kira kucing adalah makhluk hidup paling menyedihkan karena cuman bisa ngeong-ngeong. Ternyata dugaan aing salah, yang menyedihkan adalah diri aing sendiri,” tutur Harri penuh candaan di dalamnya.
Harri menganggap makhluk menggemaskan yang masih setia dielusnya itu akan menimpali ucapannya. Namun alih-alih segera pergi dari hadapan kucing berwarna oranye di bawahnya, melainkan ia masih setia berada di sisinya.
Bahkan kini lengan kanannya terjulur untuk mengelus kucing tersebut dari kepala hingga pangkal punggung secara berulang. Tak ayal kucing tersebut yang merasa diperlakukan istimewa seperti itu malah makin semangat bermanjaan dengan sang empu.
Harri menatap sengit objek di depannya yang memperlihatkan seorang lelaki dengan perempuan yang sedang asyik berbincang dengan beberapa anak panti asuhan. Harri mengetuk pelan papan tulis di hadapannya secara berulang untuk mengalihkan atensi para anak-anak panti asuhan yang sedang asyik sendiri. Terlebih mengalihkan atensi seseorang di sana yang sedari tadi tak memandang ke arahnya.
“Maaf banget ini mah tapi Aa yang di sini teh mau menjelaskan, kalian tolong perhatiin Aa dulu, ya.”
Lelaki di sebelahnya sudah berancang-ancang memberikan sebuah gestur untuk mengajak anak-anak di dalam ruangan itu terdiam dengan membawa jari telunjuk yang disimpan di depan mulutnya.
“Temen-temen semuanya yang cantik dan ganteng ayo perhatiin Aa Yolan sama Aa Harri dulu, ya!”
Beruntungnya tanpa harus mengeluarkan tenaga ekstra, mereka pun mengikuti perintah yang telah diserukan beberapa detik yang lalu. Kegiatan mengajar pun berjalan dengan lancar. Walaupun sesekali ada sebagian anak yang bersengketa sebab berebut alat tulis, untungnya berangsur kembali damai tatkala seorang perempuan datang dan melerainya.
“Rambut maneh, Sel, ngalangin Dian,” ucap Rakha di kala keheningan yang menyertainya. Tangannya secara spontan membawa rambut perempuan itu ke bahunya agar tak menghalangi pandangan si kecil di sebelahnya.
“HACHIM!”
Suara itu berhasil mengejutkan seluruh penghuni dalam ruangan yang sedang ditempatinya. Tak banyak dari mereka dengan cepat mengelus dadanya, berupaya menetralisir rasa keterkejutannya akibat suara bersin dari lelaki yang masih setia berdiri di depan.
“Maaf guys, nggak SENGAJA! Tadi A Harri pegang kucing, padahal A Harri teh alergi!” seru Harri penuh penekanan pada kata 'sengaja' agar seseorang di sana akan mengerti maksud dari perkataannya.
Sul, Sal, Sul, Sel, sok kenal banget, anying!, pikir Harri. Matanya mengerling akibat kedua telinganya tak sengaja mendengar sebuah panggilan special miliknya yang telah diserukan oleh pemuda itu.
Benar saja, setelah berucap demikian seorang perempuan di sana telah menegakkan tubuhnya. Badannya perlahan menggeser agar tak terlalu dekat dengan pemuda di sebelahnya.
Ucapan dari Harri beberapa detik lalu berhasil membuat seorang lelaki yang memiliki rahang tegas menggelengkan kepalanya. Ia—Jaya—menghela napasnya lalu mengembuskan dengan pelan. Tak habis pikir dengan satu temannya itu yang kerap memperlihatkan tindakan di luar nalar.
“Gantian dong yang ngajarnya, bosen.” Jaya mengedarkan pandangannya, seolah sedang menimang-nimang orang selanjutnya yang akan mengajar para anak panti asuhan kali ini. “Fara maneh sama si Aksara dong gantian yang ngajar di depan,” tunjuk Jaya selaku ketua pelaksana kegiatan. Sebetulnya Jaya ingin sekali membantu temannya agar bisa berduaan dengan kekasihnya di depan, namun sepertinya alam semesta belum memihak pada kesempatan kali ini.
Fara awalnya ingin menolak. Akan tetapi setelah melihat penuh harap dari Jaya seperti sedang berusaha mentransfer isi kepala kepadanya pun akhirnya ia mengangguk mengiakan. Farabangkit, lalu berjalan ke arah depan sesuai dengan permintaan ketua pelaksana. Pun seorang pemuda lainnya menyeimbangi pergerakan perempuan itu.
Bersamaan dengan Fara yang berjalan ke arah depan ruangan, Harri berjalan ke arah Jaya dan mendudukan dirinya persis di sebelah temannya itu. Yang pertama kali Jaya dengar hanyalah suara deru napas tak beraturan dari lelaki di sampingnya.
Jaya menyenggol pelan tangan Harri yang sedang memeluk kedua kakinya. Harri menoleh tanpa mengeluarkan suaranya. Ia hanya mengangkat kedua alisnya seperti sedang bertanya maksud dari lelaki itu telah mengusik aktivitasnya.
Bukannya mengeluarkan suaranya, lelaki itu malah bergeming dan menatap kedua matanya. Tahu maksud dari tatapan itu, Harri menggeleng dan menyunggingkan sebuah senyuman kecil. Tatapannya pun kembali ia arahkan ke objek di depannya.
Perempuan itu mengajar anak-anak panti asuhan dengan riang. Harri mati-matian menahan raut wajahnya agar tidak tersenyum dengan lebar melihat pemandangan itu. Apalagi ketika melihat binaran yang tercetak di kedua manik hitam sang kekasih.
Namun seketika seluruh pujian yang ia gumamkan dalam relungnya berganti dengan sebuah umpatan saat Aksara mulai meraih lengan baju Fara dan membantu menggulungnya agar pakaian itu tak mengenai noda hitam di papan tulis.
“Bangsat, Ajay! Sama aja, anying!” bisik Harri kepada lelaki di sampingnya.
Jaya dengan refleks memukul lengan Harri tatkala ia merasakan sebuah cubitan pada lengan kanannya.
“Ya, aing mana tau bakalan ada adegan kayak gitu, bangsat!”
“Udah tau alergi bulu harusnya sia sadar diri, anjing.” Emosi Rakha tersulut tatkala kedua telinganya tak henti mendengar bensin yang dilontarkan oleh Harri.
Harri terkikik geli kala indra pendengarannya dipenuhi kekhawatiran dari temannya itu.
“Pake masker,” Rakha menyerahkan satu buah masker yang telah dibelinya di supermarket terdekat. “Sia cuci tangan belum?” Harri mengangguk, mengiakan ucapan Rakha bahwa ia telah lebih dulu membersihkan tangannya.
Mata Rakha memicing, membidik bulu kucing mungkin masih menempel di pakaian temannya. Tangannya secara cepat tergerak kala maniknya berhasil menemukan beberapa bulu yang tertinggal di bagian celana Harri.
“Maneh nanti pulang langsung ganti baju, Hag,” ujar Aksara. Ia pun mengikuti jejak Rakha untuk membantu mencari bulu kucing yang tertinggal di pakaian sang empu.
“Aman, BTW si Galer udah nganterin si Grace pulang?” tanya Harri di tengah-tengah kegiatan memasangkan masker hitam untuk menutupi area hidung dan mulutnya.
“Udah.”
“Fa, nanti si aku mau ke supermarket dulu ya beliin titipan si Aa si aku. Nggak apa-apa?”
Baru saja Fara akan menjawab ucapan itu, akan tetapi seseorang lebih dulu menginterupsinya.
“Maneh pulang ke mana gitu, Fa?” tanya Jaya basa-basi. Padahal ia sudah tahu di mana tempat tinggal perempuan itu.
“Di Kopo.”
Jaya mengangguk. “Si Fara sama aing aja, Lan. Aing soalnya sekalian mau ke Kopo.” Harri menatap Jaya menggunakan ujung ekor matanya. Ia sedang berusaha seolah-olah tak tertarik dengan perdebataan kedua lelaki itu.
“Sama si aku aja weh, soalnya tadi datengnya sama si aku masa pulangnya jadi sama si kamu?” tolak Yolan. Ia bersikeras ingin mengantarkan Fara pulang. Menurutnya, apabila perempuan itu datang dengannya maka artinya ia pun harus pulang bersamanya.
“Aing sama Jaya aja deh, Lan. Kasian maneh kalau harus muter, sayang bensin,” timpal Fara, menyetujui ucapan Jaya setelah melihat sebuah isyarat yang telah disalurkan oleh lelaki itu.
“Ya udah kalau gitu mah. Si kamu hati-hati, Jay. Si kamu bawa cewek bukan cowok jadi jangan kebut-kebutan.”
“Aman.”
Aksara kembali berdiri di hadapan lelaki yang sudah rapi menggunakan masker hitamnya. “Hag, maneh kuat nggak bawa motor sendirian? Mau aing bonceng aja nggak? Motor aing mah biar si Rakha aja yang bawa.” Demi apapun bukan main. Aksara sangat khawatir dengan temannya itu yang kerap bersin sampai tak mampu ia hitung sendirian.
“Heeh, maneh sama Aksa aja. Aing takut kenapa-napa di jalan.”
Harri menggeleng cepat. Badannya seketika tegak dan ia goyangkan kecil untuk memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja.
“Santai aja, anjir. Aing nggak apa-apa asli. Nggak terlalu parah juga cuman bersin-bersin, nanti juga ilang.”
“Ya udah, sia hati-hati. Kalau udah sampe rumah berkabar di grup.”
Harri mengangguk menimpali ucapan Jaya sembari mengacungkan jempolnya. Tanda ia memahami dan akan melakukan perintah itu setelah sampai pada kediamannya.
Melihat Harri yang sudah menaiki kendaraannya, lantas Jaya segera berjalan ke arahnya. Harri yang awalnya akan memasangkan helmnya harus segera ia urungkan ketika pemuda itu berancang-ancang akan membisikkan sesuatu padanya.
“Ikutin aing tapi maneh seakan-akan mau pulang ke Buah Batu. Nanti aing tungguin di Griya setelah Borma.”
Mengerti akan sebuah perintah itu, Harri menganggukkan kepalanya lalu kembali memasangkan helm yang sempat terhenti.
Mereka kini satu per satu mulai meninggalkan kawasan Panti Asuhan. Jaya dan Fara menjadi orang paling terakhir di antara mereka. Kecanggungan pun mulai menghantui keduanya. Berduaan dengan Jaya membuat Fara sulit untuk memulai interaksi, mengingat lelaki itu cenderung sering diam dan tak sebanyak bicara teman-temannya yang lain.
“Nanti maneh pulangnya dianter Hag. Aing nanti drop-in di Griya depan.”
Sebenarnya jika boleh jujur Fara tidak mendengar sama sekali tuturan yang dilontarkan lelaki di depannya. Entah karena helmnya, suara angin dan lalu-lalang kendaraan di sekitarnya, atau bahkan karena suara pemuda itu amat pelan sehingga sulit untuk ia cerna.
“Enggak, Jay!”
Jaya lantas mengernyitkan dahinya penuh keheranan. “Enggak apa, anjir?!” tanyanya dengan intonasi yang tinggi.
“Maneh mau beliin aing es dawegan bukan?! Aing nggak mau!” tolak Fara setelah menimang-nimang dan bergulat dengan pikirannya atas ucapan yang dilemparkan Jaya kepadanya.
“Semerdeka manehlah.”
“Hah?!”
“HENTEU!” (Enggak!)
Si Ajay aneh pisan anjir! Tiba-tiba mau ngasih aing dawegan, emang aing terlihat seperti monyet kah?! pikir Fara, tangannya sibuk meraba wajahnya untuk memastikan jati dirinya.
Sumpah aneh pisan anjir ini cewek, nggak heran cocok sama si Hag, batin Jaya, di tengah-tengah kegiatan mengendari kendaraan roda duanya.
Kecanggungan itu berangsur menjadi-jadi saat kendaraan mereka lebih dulu sampai di tempat yang telah dijanjikan oleh Jaya kepada Harri sebelumnya. Jaya menyipitkan matanya sembari mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan seseorang yang sedang dicarinya.
Fara sedari tadi hanya celingak-celinguk, berusaha mencerna situasinya saat ini. Ia ingin sekali bertanya pada lelaki itu, namun setelah ia menolak ajakan dari Jaya perihal membelikan es kelapa membuatnya segera menepis keinginnya itu jauh-jauh.
Deru suara motor yang dihafalnya sukses mengalihkan Fara dari kegiatan bergulat dengan isi pikirannya. Lelaki itu segera mematikan mesin motornya dan menghampiri mereka berdua lengkap dengan helm yang ia bawa di lengan kirinya.
“Mang, hampura aing lama, kepegat macet di belokan depan,” jelas Harri kala melihat raut bosan yang terpancar dari raut wajah temannya. “Yang, hayu pulang.” Fara masih mencerna kejadian di depannya. Meskipun dalam benaknya terdapat jutaan pertanyaan, kedua tungkainya mengikuti langkah kekasihnya untuk menuju motor hitam yang kerap menjadi kebanggaannya.
“Hag, Fa, aing duluan,” pamit Jaya terakhir kali sebelum akhirnya lelaki itu sudah benar-benar menghilang dalam pandangan keduanya.
“Ini akal-akalan si Ajay biar aing bisa nganterin maneh pulang,” jelas Harri karena mengerti dengan raut penuh tanya yang diperlihatkan kekasihnya.
Fara yang dijelaskan secara singkat hanya bisa ber’oh’ria. Fara kira bahwa Jaya memang benar-benar ada urusan di daerah Kopo sehingga ia hanya menurut saja.
“Nggak akan naik ini teh?”
Fara dengan cepat menaiki kendaraan Harri lengkap dengan rutinitasnya untuk memeluk lelaki itu dari belakang. Kepalanya sudah ia sandarkan dengan nyaman di bahu kiri kekasihnya.
“Kamu masih bersin-bersin nggak? Kita ke apotek dulu aja atuh,” ucap Fara secara tiba-tiba ketika maniknya tak sengaja menangkap sebuah masker hitam yang menutupi sebagian paras tampan kekasihnya.
Harri menggeleng pelan. “Nggak usah, udah nggak separah tadi da.” Tangan Harri mengelus pelan tangan kekasihnya yang telah melingkari perutnya. Ia sedikit menyalurkan rasa agar perempuan itu tak perlu mengkhawatirkan dirinya secara berlebihan.
“Nanti kalau kambuh bilang Mama terus minum obatnya, ya, Yang.”
“Sumuhun, geulis.” (Iya, cantik.)
Kolase Asmara Universe.
by NAAMER1CAN0