NAAMER1CAN0


Semua yang terjadi pada hidupnya serba tiba-tiba. Siang tadi ia tiba-tiba mendapatkan pesan ajakan untuk menongkrong bersama Harri dan teman-teman. Beberapa saat setelahnya, ia tiba-tiba ditawari untuk datang bersama seseorang yang tak disangka-sangka akan memberinya tumpangan. Lalu, tiba-tiba kerongkongannya terasa kering sampai-sampai ia sama sekali tak dapat membawa percakapan sedikit pun di atas motor sang pemiliknya.

Anehnya sang pemilik motor tak terasa keberatan saat ia memilih membungkam mulut alih-alih mengajaknya berbicara. Namun, ada sedikit kekecewaan lantaran laki-laki itu tak memiliki inisiatif untuk memunculkan topik obrolan. Sampai akhirnya, tiba-tiba saja kendaraan itu berhenti tepat di tempat yang sudah dijanjikan untuk mengisi waktu yang luang. Lagi-lagi semua terasa tiba-tiba.

Syifa turun dari motor, dengan perasaan penuh rasa sungkan, ia mencengkeram pundak sang kakak kelas—menjadikan pundak itu sebagai bantuan. Secuil perasaan senang muncul ketika laki-laki itu tak menarik pundak, Syifa menarik simpulan kalau tindakan secara impulsif itu tak memberatkan sang pemilik motor.

“Nanti yang masuk duluan mau Kak Jaya dulu atau Syifa dulu, Kak?” tanya Syifa.

Tangan Syifa bergerak merapikan pakaian yang mungkin tak sengaja terlipat oleh angin ketika dalam perjalanan tadi.

Jaya yang sedang sibuk membenarkan motornya terparkir spontan mengerutkan dahi. “Kenapa masuknya harus gantian?”

“Biar nggak nimbulin pertanyaan dari Aa-Aa yang udah dateng duluan kalau liat Syifa sama Kak Jaya datengnya barengan.” Syifa menjawab pertanyaan itu seadanya.

Jaya diam sejenak, sampai akhirnya ia luangkan waktu untuk menatap penuh kedua bola mata hitam sang adik kelas. “Emang kenapa kalau mereka liat Jaya sama Syifa dateng barengan?”

Jaya berani sumpah, ia menjawab pertanyaan itu tanpa adanya intonasi menggertak. Tetapi sepertinya sang adik kelas mengartikan lain, sampai-sampai Jaya bisa lihat pupil mata gadis itu melebar.

Aduh, Syifa jadi menyesal sendiri karena sudah menjawab pertanyaan itu tanpa merangkai kata-kata yang lebih halus untuk didengar.

“Takut mereka mikir macem-macem, Kak.” Syifa memainkan jari, kentara memperlihatkan gerak-geriknya yang merasa bersalah.

Jaya mencabut kunci motor, lalu menggerakkan setang motor untuk memastikan kalau motornya benar-benar sudah terkunci. “Jaya nggak masalah. Tapi, kalau Syifa emang nggak nyaman, yaudah. Syifa duluan aja yang masuk, nanti Jaya masuk lima belas menit kemudian.”

Syifa menggeleng cepat, tubuhnya menegak. “Nggak, Kak. Bukan kayak, gitu!” Tangannya menyilang di depan dada, lalu kepalanya tak henti menggeleng-geleng. “Kalau emang Kak Jaya nggak keberatan, ayo kita sekarang masuk barengan aja, Kak!”

Melalui intonasi suara itu, Jaya paham kalau sang adik kelas tengah berusaha menebus rasa bersalahnya.

Syifa baru saja akan melangkahkan kaki, namun ia langsung urungkan begitu menyadari sang kakak kelas masih terdiam duduk di atas motornya. “Kenapa nggak turun, Kak? Kak Jaya berubah pikiran? Mau Syifa duluan yang masuk?” Rentetan pertanyaan itu Syifa lontarkan dalam satu kali tarikan napas.

Alih-alih segera menjawabnya, Jaya malah menyilangkan tangan sembari mengabsen Syifa dari atas kepala sampai kaki.

Menerima perlakuan itu, Syifa makin dibuat bingung. “Kak Jaya kenapa?”

Dagu Jaya bergerak menunjuk ke arah kepala sang gadis. “Syifa beneran mau pake itu sampe ke dalem sana?” Salah satu alis Jaya terangkat, seolah tengah mencari alasan mengapa sang adik kelas bersikeras ingin membawa benda itu ke dalam sana alih-alih menyimpannya di motor.

Syifa buru-buru meraba benda di atas kepalanya. Sepersekian detik kemudian Syifa membulatkan mata. Mengapa ia selalu melupakan keberadaan benda bulat di kepalanya? Dulu, ia pernah berada di posisi ini ketika kakak kelas itu mengantarkan pulang.

Jaya terkekeh-kekeh. “Udah Jaya tebak, sih, kalau nggak kerasa masih pake helm.” Tangannya menengadah siap untuk menerima helm yang akan diserahkan Syifa.

Syifa pernah mengatakan kalau pemandangan laki-laki itu sedang tertawa merupakan salah satu pemandangan yang ia sukai, namun pada saat-saat tertentu—seperti sekarang ini, Syifa sebal sendiri saat tawa renyah itu memasuki indra pendengarannya.

“Cih, ketawanya kayak lagi ngeledek Syifa banget, tau, Kak.” Syifa menyerahkan helm, kemudian langsung diterima dan disimpan di atas motor sang pemiliknya.

“Emang.” Jaya mengangguk membenarkan.

Tak berselang dari jawaban yang sukses membuat Syifa mengerucutkan bibir sebal, laki-laki itu turun dari motor dan bersiap-siap memasuki kafe. Jaya yang memandu perjalanan, sementara Syifa berjalan satu langkah lebih lambat. Sebab, Syifa berpikir kalau Jaya pasti sudah bertukar kabar dengan teman-temannya di dalam sana. Sehingga, ia tak perlu repot-repot mencari di mana meja mereka berada.

Usai berhasil melangkahkan kaki memasuki bangunan itu, Syifa spontan mengedarkan pandangan. Ia dan Jaya sempat beberapa kali bertukar pandangan untuk bertanya apakah akan memesan sekarang atau nanti setelah mengetahui meja mereka. Awalnya Syifa menjawab kalau lebih baik memesan setelah mengetahui di mana letak meja mereka—sekaligus untuk mengetahui nomor meja agar memudahkan memesan. Tetapi, setelah Jaya mengungkapkan keinginannya, ia menyetujui untuk memesan lebih dulu dan mengambil nomor baru.

Syifa hanya perlu memperhatikan para pengunjung yang berada di dekat kolam, sebab Jaya mengatakan kalau keberadaan teman-temannya ada di sana.

Jaya kembali bersama nomor meja yang sudah berada di genggaman laki-laki itu.

“Punya Syifa jadi berapa, Kak?” tanya Syifa, sudah siap mengeluarkan uang namun segera dicegah dengan tepukan yang ia rasakan pada punggung tangan.

“Nggak usah.”

“Ah, nggak mau kayak gitu. Udah ditumpangin dateng ke sini, masa Syifa sampe dibayarin juga?”

Jawaban itu menuai tawa yang lolos dari mulut Jaya. “Yaudah, Syifa nanti bayarin parkir aja pas mau pulang.”

Alis Syifa bertaut. “Mana bisa kayak gitu! Nggak adil, dong?”

“Daripada nggak sama sekali?” Jaya mengangkat bahu. “Kalau emang nggak mau, yaudah, nggak usah bayar. Uang dari Syifa nanti juga nggak akan Jaya ambil.” Bon pesanan itu Jaya masukkan ke dalam saku, sengaja agar sang adik kelas tak mengetahui berapa banyak gadis itu perlu mengeluarkan uang demi membayar pesanannya.

“Yaudah, oke, Syifa nanti yang bayar biaya parkirnya.” Syifa cemberut, kakinya mengentak-entak kecil ketika berjalan demi menghampiri meja teman-teman laki-laki itu.

Tinggal menyisakan beberapa langkah untuk dapat mendatangai meja itu, Syifa dan Jaya langsung dibuat bingung usai disuguhkan pemandangan mereka sedang bergantian menyentil dahi Aksara dan Yolan.

Syifa menoleh, ingin meminta jawaban dari apa yang sudah dilihatnya pada Jaya. Sedang Jaya yang tak tahu-menahu hanya bisa menggelengkan kepala. Bagaimana Jaya bisa mengetahui ketika sedari tadi ia bersama gadis itu?

“Hayu taruhan kata maraneh si Ajay sama si Cipa datengnya bakal barengan atau misah?” kata Harri, menyandarkan punggung.

Sebagai salah satu kegiatan menghabiskan waktu—pun sebagai agenda menunggu kedua orang yang belum terlihat akan tanda-tanda kedatangannya—Harri berusaha memunculkan percakapan-percakapan agar di meja mereka tak terlalu senyap. Sampai sebuah kalimat itu tanpa sengaja lolos dari mulutnya begitu saja.

“Misah, sih. Aing mikir kalau si Ajay kayaknya nggak akan seberani itu buat ngajak barengan ke sini,” sahut Aksara.

Bukan tanpa alasan Aksara menuturkan kalimat itu, sebab adegan demi adegan yang masih tersimpan rapi di otaknya mengenai tindakan Jaya kepada sang adik kelas, Aksara mampu mengungkapkan kalimat itu tanpa berpikir panjang.

Jagat menyunggingkan senyuman di tengah-tengah kegiatan menyeruput kopi. “Saya pilih mereka dateng barengan.” Gelas kopi itu Jagat simpan kembali di meja.

“Nggak mungkin, si mereka pasti dateng misah bener kata si Aksa!” Yolan menentang.

Rakha memajukan badan. Tangannya mengacung. “Acungin tangan kalau maraneh pilih si Ajay sama si Syifa dateng barengan.” Rakha menganggukan kepala saat melihat Harri dan Jagat mengacungkan tangan penuh percaya diri. “Sekarang acungin tangan kalau maraneh pilih mereka pasti dateng misah.” Rakha menurunkan tangan, dan melihat hanya Aksara Yolan yang mengacungkan tangan.

Rakha menjentikkan jari. “Oke, tiga lawan dua, ya. Yang kalah diapain, Hag?” tanya Rakha.

Harri bergantian memandang Aksara dan Yolan dengan wajah penuh arti. “Jepat tarang,” ucap Harri menghadiahi kerutan pada dahi Jagat.

Jagat menoleh ke arah Rakha. Paham akan perlakuan itu, Rakha mempercepat menelan cairan yang baru saja disesapnya. “Nyentil dahi,” kata Rakha, menerjemahkan ucapan Harri untuk Jagat.

Kemudian Jagat mengangguk-angguk menyetujui saran itu. “Deal. Dua kali, ya.”

Harri menyambut kedatangan dua orang itu dengan senyuman lebar. Laki-laki itu bahkan sampai berdiri, meraih gelasnya untuk pindah ke kursi yang lain. Menyadari akan tepukan yang Harri berikan, Aksara pun mengikuti gerak-gerik temannya untuk berpindah. Menyisakan kedua kursi bersebelahan untuk Jaya dan Syifa yang baru datang.

“Jam empat banget, ya,” kata Jagat, sedikit menyiratkan kalimat sindiran karena pada kenyataannya kedua orang itu terlambat sekitar dua puluh menit dari waktu yang sudah dijanjikan.

Yolan melirik sembari cengengesan. “Kayaknya, sih, abis jalan-jalan dulu. Liat aja baju si mereka sampai senada gitu!” goda Yolan.

Jaya dan Syifa refleks menatap pakaian yang mereka gunakan. Jaya menggunakan celana jin hitam panjang sedikit sobek pada bagian lutut, kaos hitam bergambar salah satu band rock asing, lalu jaket polos berwarna hitam. Sementara Syifa menggunakan celana jin putih, kaos ungu muda, serta cardigan ungu yang selalu ia pakai ke mana pun. Syifa sangat sayang dengan cardigan-nya sampai-sampai ia menginginkan seluruh orang mengetahui keberadaannya.

“Mana ada, beda juga warnanya,” timpal Jaya.

“Sama!” Yolan menyipitkan mata. “Si kalian sama-sama pake celana jin, kaos, terus jaket!”

Jaya menunjuk Harri serta Aksara bergantian. “Itu si Hag sama si Aksa juga pake baju kayak aing.” Jaya berusaha keras menentang agar ia dan Syifa tak menjadi bulan-bulanan teman-temannya. Karena demi apa pun, Jaya tahu apa yang ada dalam pikiran mereka saat ini.

Kepala Yolan menegok, mengabsen pakaian temannya. “Tapi si mereka celananya pendek! Nggak panjang kayak punya si kalian!”

“Udah, Lan. Kasian mereka nanti salah tingkah kalau kamu gertak kayak gitu. Dengan mereka dateng barengan aja harusnya kamu udah ngerti, sih, apa yang lagi terjadi,” ujar Jagat, kedua alisnya turun dan naik seakan sedang menggoda kedua orang itu.

Maraneh dateng ke sini barengan atau nggak sengaja ketemu di depan?” Rakha penasaran.

“Syifa sama Kak Jaya nggak sengaja ketemu di—”

“Bareng, aing jemput ke rumahnya.”

Syifa memelotot, menengok pada Jaya. Namun sayang, ia tak menemukan sedikit pun ekspresi apa pun dari wajah laki-laki itu selain tatapan datar.

Bagong, bengeut aing!” hardik Harri setelah merasakan semburan yang berasal dari Yolan. Sedangkan Yolan yang menjadi tersangka tengah terbatuk-batuk karena tak mempercayai apa yang baru saja ia dengar.

Harri meraih tisu yang diberikan Rakha, ia mengusap-ngusap wajahnya yang terkena cipratan dari mulut Yolan. Berani sumpah, Harri lupa untuk menghindari satu temannya itu ketika menongkrong. Titik kesabaran Harri sudah berada di ujung tanduk kalau harus berhadapan dengan tingkah laku Yolan yang selalu tersedak dan berakhir mengeluarkan seluruh air minum di dalam mulutnya tanpa melihat situasi.

“Cieeeee.” Siulan kecil Jagat lantunkan. Tangannya menempuk-nepuk bangga dengan tindakan Jaya yang sudah jauh lebih berani dari kemarin-kemarin.

Jaya menatap sinis. “Diem, Monyet.” Lalu Jagat langsung membungkam mulut, memberikan gestur hormat untuk mengikuti perintah dari yang bersangkutan.

“Syifa.” Panggilan dari Harri dibalas tatapan penasaran, Syifa diam untuk menunggu kalimat apa yang akan dilanjutkan kakak kelasnya. “Syifa pasti bertanya-tanya, kan, kenapa tiba-tiba diajakin nongkrong sama Aa?” Syifa mengangguk.

“Syifa mau tau nggak alesannya apa?” Syifa lagi-lagi mengangguk. “Jadi, alesannya itu karena—”

Tanpa berpikir panjang mengenai efek dari tingkah lakunya, Jaya secara tiba-tiba langsung melempar nomor meja ke arah Harri yang sedang menyeringai. “Diem, Monyet!”

Lantas, perlakuan itu langsung dihadiahi gelak tawa dari seisi meja. Syifa yang belum sempat menemukan jawaban itu hanya bisa mengedip-ngedipkan mata kebingungan.

“Kenapa emang, Kak? Kak Jaya tau jawabannya?” bisik Syifa.

“Nggak. Nanti kalau mereka ngomong yang aneh-aneh, Syifa jangan dengerin.” Jaya mewanti-wanti, sebab ia tahu betapa lancarnya mulut teman-teman itu dalam mengungkapkan sesuatu. Ia sedikit khawatir, kalau mulut itu akan mengucapkan kalimat yang tidak-tidak mengenainya.

Lantaran terus dihadiahi tatapan tak bersahabat dari laki-laki yang duduk di samping Syifa, akhirnya mereka pun segera mengganti topik obrolan. Satu per satu dari mereka mulai membawa cerita yang mampu membuat dihadiahi tatapan tak percaya. Contohnya seperti Harri membawa cerita gosip hangat mengenai kisah percintaan guru muda di sekolah yang ia dapatkan dari kakak kelasnya.

Di tengah-tengah Harri bercerita, Jaya melirik jam pada tangannya yang sudah menunjukkan hampir jam setengah tujuh malam. “Mau pulang jam berapa, Syifa?”

“Syifa nanti bareng Kak Jaya lagi pulangnya?”

Jaya mengangguk. “Iya. Kan, tadi Jaya yang jemput, berarti Jaya juga yang nganterin Syifa pulang.”

Syifa berpikir sejenak. “Pulangnya nanti barengan aja sama yang lainnya, Kak Jaya.”

Pandangan Jaya tertuju pada wajah serius keempat temannya yang sedang mendengarkan Harri bercerita. “Mereka kayaknya bakalan pulang malem. Soalnya abis dari sini Jaya mau ngajak Syifa makan bakmi dulu.” Bola mata hitam miliknya kemudian bersinggungan dengan bola mata gadis itu.

Mendengar nama makanan yang baru saja disebutkan laki-laki itu, mata Syifa berbinar. “Gimana kalau jam tujuh malem, Kak Jaya?”

Jaya tersenyum seraya mengangguk. “Boleh.”

Lalu, Syifa bisa rasakan tepukan pelan pada pundaknya. “Udah. Sekarang Syifa udah bisa perhatiin lagi Harri yang lagi cerita. Maaf tadi udah Jaya ganggu bentar.”

Jika kalian berpikir kalau lilin dan plastik adalah salah satu barang yang mudah meleleh, maka jawabannya salah. Sebab, jawaban yang benar adalah ketika ia dihadapkan dengan sang kakak kelas itu. Jari-jarinya tak mampu digerakkan untuk meraih gelas demi membasahi kerongkongan yang tercekat akibat perlakuan lembut dari laki-laki itu. Lututnya terasa lemas, saking lemasnya ia tak bisa memindahkan ketika merasakan ada kaki lain yang mengenainya. Setelah ditelusuri, itu adalah kaki Jaya.

Intonasi suara laki-laki itu ketika mengajak teman-temannya bicara dan ketika mengajaknya bicara sangat berbeda. Dengan teman-temannya, Jaya mampu meninggikan suaranya. Tapi, saat berbicara dengannya, telinga Syifa tak pernah sedikit pun mendengar ucapan laki-laki itu meninggi. Belum lagi ditambah senyuman yang terus menghiasi wajah tampannya ketika mengajaknya mengobrol. Syifa sudah kalah telak dari berbagai sisi mana pun.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Ketika gadis itu menawarkan apakah ia akan masuk ke dalam rumah sekadar untuk menghilangkan dahaga, ia seharusnya menolak. Padahal saat pertanyaan itu selesai diucapkan sang pemilik rumah, Jaya telah berusaha sekuat tenaga memerintah otaknya mempersiapkan kalimat halus untuk menolak. Namun, kakinya dengan tak tahu diri malah bertolak belakang—bergerak melangkah mendekati rumah dengan nuansa warna ungu.

Selama ini Jaya hanya berani untuk memarkirkan motornya di depan pagar putih itu, tetapi hari ini tanpa diduga-duga, motor hitamnya berhasil melintasi pagar tersebut. Sudah ada kemajuan, bukan?

Rumah minimalis berwarna ungu. Di halamannya terdapat pohon rambutan yang tak terlalu besar, ajaibnya pohon itu sudah berbuah walau masih kecil-kecil. Di dekat pintu masuk, daun-daun hijau merambat di sekitaran jendela. Jaya sudah pastikan meski terik sinar matahari di atas sana sedang merajalela, rumah ini tetap memberikan suasana sejuk. Meskipun ketika sore menjelang petang tiba, besar kemungkinan akan menjadi ladang para nyamuk-nyamuk untuk berkumpul.

Mendengar pintu dibuka, seorang laki-laki yang lebih muda lantas membulatkan mata saat melihat si sulung tak pulang sendiri—melainkan bersama seseorang yang tak disangka-sangka menyambangi kediamannya.

Kedua ujung bibir Ary—adik Syifa—terangkat dengan lebar, senang sekali melihat pemandangannya saat ini. “Ih, ka—”

Di belakang Syifa, Jaya terburu-buru menyimpan jari telunjuk di depan bibir seraya menggelengkan kepala. Melalui gestur itu, Jaya berharap laki-laki di seberang sana akan mengerti perintahnya untuk tak membeberkan rahasia mereka.

Seolah paham, Ary lantas bungkam.

“Ary, ini aku bawa tamu. Namanya Kak Jaya, dia kakak kelas aku di sekolah. Kak Jaya tadi nganterin aku pulang terus aku suruh masuk dulu buat minum soalnya pasti panas dan haus.” Syifa beralih menatap Jaya. “Kak Jaya itu Ary adik Syifa. Kak Jaya duduk dulu aja, ya, Syifa mau ambilin minum dulu.”

Melihat kepergian Syifa menuju dapur, Ary terburu-buru bangkit, kepalanya mengangguk bersamaan dengan telapak tangan bergerak-gerak seakan memanggil yang lebih tua untuk menghampiri dan ikut duduk di sebelahnya. Meskipun tak bersuara, tetapi Jaya masih bisa mengerti akan pergerakan bibir Ary.

Ary tak henti mengumbarkan senyuman lebar saat Jaya mengikuti perintahnya untuk duduk. “Kenalin aku Ary, adik Teteh Syifa. Aku kelas 2 SMP, senang bisa kenalan sama kamu,” kata Ary mengulurkan tangan disertai mata memancarkan tatapan penuh binar.

Jaya hampir saja menutup telinga ketika mendengar suara melengking dari sang pemilik rumah. Selama bermain games dengan Ary, mereka tak pernah main bersama sembari bertelepon. Sehingga, saat mendengar suara Ary secara langsung, Jaya dibuat kaget sendiri.

Jaya tersenyum dan menjabat balik tangan yang lebih muda. “Jaya.”

Ary menggigit bibir, berupaya mati-matian menahan agar senyumannya tak kembali lebar. “Aku udah kenal kamu. Aku seneng banget, deh, kita akhirnya bisa ketemu langsung gini. Artinya kita bisa main games,” bisik Ary mendatangkan tawa kecil dari yang lebih tua.

Kali ini suara Ary lebih rendah, mungkin perkenalan tadi sengaja Ary ucapkan dengan kencang agar kalimat itu bisa sampai ke telinga Syifa yang berada di dapur.

“Main games, yuk, sayang banget kita udah ketemu tapi nggak main games bareng.”

Jaya sempat melirik terlebih dahulu ke arah dapur sebelum mengangguk mengiakan ajakan Ary. “Boleh.” Jaya merogoh ponsel dari kantong celananya, sedang Ary sudah tak sabar menginginkan permainan itu segera dimulai.

Jaya tak tahu apabila niat berkunjung sejenak untuk meneguk cairan segar malah berakhir menundukkan kepala dan menatap lekat layar ponselnya. Padahal Jaya sudah membuat skenario, jika telah selesai menghabiskan air minumnya ia harus buru-buru pergi dari sini. Tapi, keinginan itu tampaknya tak bisa segera terlaksana mengingat di sebelahnya ini adalah seseorang yang gila dalam bermain games.

“Kak Jaya maaf, ya, Syifa lama soalnya tadi susah buat ngeluarin es batunya.” Syifa datang bersama satu gelas es teh manis, dan diletakkan di atas meja.

Jaya melirik sekilas. “Nggak apa-apa. Makasih, ya, Syifa, maaf jadi ngerepotin.” Selepas kalimat itu selesai diucapkan, fokus Jaya kembali tertuju pada ponselnya.

Syifa terdiam sejenak, memandang kedua orang itu penuh tanda tanya. Ada rasa penasaran yang tergambar jelas. Setahunya, Syifa tak sampai meninggalkan mereka berpuluh-puluh menit lamanya, namun mengapa setelah kedatangannya kembali Syifa justru disuguhkan oleh pemandangan kedua orang itu terlihat sangat akrab seakan teman lama yang baru bertemu kembali?

Bahkan, Syifa sendiri tak melihat sedikit pun gelagat canggung dari Ary dalam berkomunikasi dengan Jaya. Justru telinga Syifa dipenuhi gelak tawa saling bersahutan.

Aneh.

“Heh, Anak Kecil, kamu jangan langsung ngajak Kak Jaya main games. Dia capek tau abis ujian tadi.” Jaya menggelengkan kepala, menentang kalimat dari Syifa.

Syifa mendengkus kala mendapati juluran lidah dari adiknya.

Syifa melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang lebih dua belas menit. “Kamu udah makan siang belum? Nanti, kan, jam setengah dua kamu harus les.”

“Kata Ibu kalau kamu udah pulang, kamu disuruh beli lauk-pauk ke warung nasi depan buat beliin aku makan. Soalnya Ibu tadi kesiangan jadi nggak sempet masak.” Dagu Ary menunjuk meja televisi. “Uangnya Ibu taro di bawah figura.”

Syifa menghela napas. Bukan tak senang dengan perintah sang ibu, melainkan Syifa malas kalau harus berjalan kaki sampai ujung komplek. Panas, dan malu karena pasti banyak anak-anak sekolah yang diam di warung sebelahnya.

“Kak Jaya, Syifa tinggalin sebentar, nggak apa-apa?” Jaya menatap Syifa, laki-laki itu memberi jawaban melalui senyumannya. Jaya tak keberatan jika ditinggal. “Syifa nitip rumah sebentar, ya. Nggak akan lama, janji!”

Jaya terkikik geli. Lewat kalimat itu seakan-akan ada seseorang yang berniat ingin mengangkut rumahnya. “Iya Syifa, Jaya nggak akan ke mana-mana. Syifa santai aja, nggak usah buru-buru.”


Hal pertama yang dilakukan Syifa saat kembali pulang, tatapannya langsung meluncur ke arah ruang tamu. Terlintas pertanyaan mengapa keberadaan laki-laki itu tak dapat ditemukan, sementara motornya masih terparkir rapi di pelataran.

“Ary, Kak Jaya ke mana?”

“Lagi ke toilet—tuh.” Ary menunjuk Jaya yang baru saja keluar toilet dengan keadaan pakaian basah di beberapa bagian, seperti di dalam sana ada tragedi yang membuat laki-laki itu terpeleset.

“Ih, baju kamu kenapa basah gitu?” Ary memelotot.

“Kak Jaya jatoh? Ada yang kebentur nggak?”

Jaya menggeleng seraya mengusap-ngusap pakaiannya yang basah sembari sesekali meremat. “Nggak jatoh. Tadi kayaknya jet shower-nya rusak, tapi udah Jaya benerin, kok,” timpal Jaya, berjalan menuju sofa. Selama berjalan, kepala Jaya menekuri langkahnya agar tak meninggalkan bekas jejak air dari pakaiannya.

Jet shower itu apa?” tanya kakak beradik itu kompak. Mereka saling bertatapan, kemudian dibalas gelengan juga bahu yang terangkat.

“Semprotan WC.”

Syifa menepuk jidat, suara yang dihasilkan cukup nyaring sampai-sampai membuat Ary dan Jaya menoleh cepat ke arahnya.

“Aduh, Syifa lupa bilang kalau semprotannya emang lagi rusak! Ngomong-ngomong makasih banyak, ya, Kak, udah bantu benerin. Kak Jaya butuh handuk nggak?”

Seharusnya Syifa sudah berlari menuju kamarnya untuk meraih handuk bersih dan menyerahkan kepada laki-laki itu, tetapi kedua kakinya tak dapat diajak kerjasama sehingga yang Syifa lakukan hanyalah memberikan tawaran.

Jaya melihat kondisi pakaiannya yang terkena air ketika mencoba membenarkan kerusakan semprotan toilet. “Nggak usah, nggak apa-apa. Nggak terlalu basah juga.” Jaya tak tahu apakah semprotan toilet itu sudah benar-benar berhasil ia perbaiki, atau akan kembali longgar dalam beberapa jam ke depan. Akan tetapi, setidaknya jika Syifa dan Ary akan memakainya dalam waktu dekat, ia pastikan semprotan itu tak akan serewel yang ia gunakan tadi.

“Ayo kita main games lagi, tadi lagi seru-serunya tapi kamunya malah ke toilet.”

Jaya terlihat ragu akan mengiakan, sebab beberapa detik setelahnya, Syifa kembali membawa piring. Tanpa bertanya dan mendapatkan jawaban pun Jaya sudah tahu apabila makan siang itu untuk Ary—ritual wajib sebelum berangkat les.

“Aku disuapin Teh Jihan, kok, kamu jangan khawatir aku nanti nggak bisa main,” ucap Ary seolah paham dengan kebingungan yang tercetak pada wajahnya.

Syifa merengut. “Emang siapa yang bilang kalau aku mau suapin kamu, Anak Kecil?”

“Aku bilangin Ibu Ratna kamu nggak mau suapin, lho. Kalau kamu nggak usapin aku, aku nggak akan makan. Terus, kalau aku nggak makan siang nanti waktu les perut aku keroncongan, dan jadinya nggak bisa fokus belajar. Kamu mau lihat aku nanti nggak bisa ngisi soal ujian?”

Jaya tersenyum. Kalau Mama nggak suapin Dede, Dede nggak mau makan. Biarin aja, paling nanti pas upacara Dede pingsan karena nggak sarapan dulu. Ancaman itu, persis selayaknya ancaman yang selalu ia berikan kepada Mama Sumarni. Apakah semua bungsu di bumi memiliki kebiasaan mengancam yang sama?

“Yaudah, iya, aku suapin. Tapi, kamu makannya harus yang cepet jangan cuman didiemin di dalem mulut.”

Teteh nggak mau nyuapin Dede, soalnya Dede kalau makan suka lama. Dede suka sengaja diemin makanan di dalam mulut.

Ah, jadi begini, ya, kebiasaan si bungsu. Yang manja, maunya diperhatikan, dan harus selalu dituruti kemauannya.

Jaya bisa lihat dirinya pada diri Ary.

Dan, usai berdebat, Syifa pun tak memiliki pilihan lain selain mengiakan permintaan si bungsu untuk disuapi. Ketika tangannya sibuk memasukkan suapan demi suapan ke dalam mulut, Syifa hanya bisa sabar menunggu Ary mengosongkan mulut.

“Kak Jaya mau makan nggak?” Pandangan Jaya pada layar ponselnya terputus. Mata laki-laki itu bergerak menelusuri tangan Syifa yang sudah berancang-ancang siap untuk menyuapkan. Badan Jaya mendadak kaku.

Mengerti ke arah mana tatapan Jaya tertuju, Syifa langsung menggeleng cepat. “E-eh, bukan, Kak! Kalau misalnya Kak Jaya mau makan Syifa nanti bawain!”

Bodoh. Bisa-bisanya ia telah membimbing jalan pikirannya mengira kalau Syifa akan menyuapinya.

Jaya lantas berdeham guna menghilangkan rasa malunya. “Nggak usah, Syifa. Jaya nggak laper, kok.”

Syifa manggut-manggut. Sendok besi itu kemudian memasuki mulut Ary saat adiknya menolehkan wajah dengan mulut terbuka.

“Ih, kamu kenapa mainnya jadi nggak fokus. Itu hati-hati di depan ada musuh, tadi dia mau nembakin kamu, tau!” Lengkingan suara itu refleks membuat Jaya memejamkan mata sebelah kiri.

“Aku bilangin Ayah, lho, kamu nggak sopan manggil yang lebih tua. Kak Jaya itu lebih tua dari kamu,” ketus Syifa. Syifa tak masalah apabila Ary memanggil dirinya seperti itu, namun untuk dilakukan ke orang lain, jelas-jelas Syifa harus menegurnya. Syifa tak ingin apabila sang adik melakukan kebiasaan itu nantinya.

“Nanti mainnya lebih fokus lagi, ya, Aa,” ralat Ary setelah mendapat teguran dari si sulung.

“Maaf. Tadi Aa kayak denger suara kecoa mau dateng ke sini, makanya jadi nggak fokus.” Di antara banyaknya alasan yang mungkin Jaya berikan, entah mengapa Jaya harus mengucapkan kalimat yang secara logika sukar untuk dipercaya.

“Kamu—Aa takut kecoa?” Jaya mengangguk. “Tuh, kan, kalau orang normal pasti bakalan takut sama kecoa. Masa, ya, Teteh aku suka banget ambilin kecoa yang lewat terus dimasukkin ke wadah dan dimainin. Mana Teteh aku nggak henti bilang ‘ih kamu lucu banget gini masa ditakutin seluruh orang di bumi’?!” Ary menirukan gaya bicara Syifa seolah-olah sedang bertukar cerita dengan makhluk tersebut.

“Nggak, ya! Aku bilangnya nggak se-alay kayak gitu!” protes Syifa setelah menyadari gaya bicara Ary terlalu dilebih-lebihkan.

Jaya menanggapi dengan tawa kecil.

“Aa ilfeel nggak sama cewek yang suka main sama makhluk patut dimusuhi nomor satu di dunia?” Salah satu Alis Ary terangkat, tak sabar menanti jawaban.

Jaya melirik Syifa yang tengah menundukkan kepala. Entah sedang menatap apa di bawah sana. “Nggak.”

Meski pertanyaan Ary hanya dijawab dengan satu kata, pipi Syifa terasa memanas.

Ary berani sumpah kalau kedua matanya tak salah lihat kakak sulungnya tengah salah tingkah. Pipi memerah, bibir menyunggingkan senyuman, lalu tak lupa dengan gelagat aneh—seperti sedang duduk di atas aspal panas, tak mau diam.


“Teteh aku kayaknya suka sama kamu, deh.”

“Ha?”

“Teteh aku kayaknya naksir sama kamu.” Ary mengulangi dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya.

Bukan. Jaya bukan tak dapat mendengar ucapan Ary, melainkan Jaya sedang kebingungan mengapa Ary membawa topik bahasan itu secara tiba-tiba.

Tadi, bertepatan Jaya akan berpamitan untuk pulang, Ary sudah siap dengan tas biru tuanya menunggu jemputan untuk pergi ke tempat les. Jaya berpikir tak ada salahnya jika ia menawarkan Ary untuk pergi bersamanya, mengingat tempat les Ary masih satu arah dengan jalannya pulang. Awalnya Syifa menolak keras, tak mau merepotkan, Jaya tak mengerti di mana letak merepotkan sementara ide itu tercetus oleh dirinya sendiri. Jaya yang menawarkan lebih dulu.

Setelah berdebat cukup panjang, akhirnya Syifa mengiakan. Jaya tak merasa keberatan karena telah menawarkan untuk mengantarkan Ary. Walaupun Ary cukup cerewet, tapi laki-laki itu begitu penurut. Jadi, Jaya senang-senang aja.

“Ary kenapa bisa tiba-tiba ngomong kayak gitu?”

Tahu kalau Jaya sedang menatapnya dari spion, Ary membalas. “Soalnya tadi Teteh aku malu-malu. Aku nggak pernah lihat Teteh aku kayak gitu, apalagi dia bawa cowok ke rumah. Kamu yang pertama kali.”

Ary terperanjat, tubuhnya hampir oleng. Untung saja Ary cepat-cepat mencengkeram erat tas yang lebih tua. “Ih, aku kaget! Kamu pencet klakson kenapa nggak bilang-bilang dulu, sih, Aa?! Kalau aku tadi nggak pegangan sama tas kamu, pasti aku udah jatoh sekarang!” Ary tak henti mengomel. Alisnya menyatu menahan amarah.

“Maaf, maaf. Tadi tangan Aa kepeleset.”

Sial, mengapa bisa ia melakukan tindakan berbahaya seperti itu setelah mendengar kalimat terakhir dari Ary? Mengapa jari-jarinya harus terpeleset menekan tombol klakson di tengah-tengah lampu merah sedang menyala?

Habis sudah. Selepas mencoba menoleh, ia langsung disuguhkan oleh pemandangan berbagai ekspresi dari pengendara sekelilingnya. Ada yang menatapnya penuh tanya, ada yang menatapnya penuh kebencian, ada pula yang tak mengacuhkan kejadian memalukan tadi.

Walau saat ini Jaya sedang menjalankan motor, namun pikirannya malah melayang pada perkataan Ary.

“Kamu sendiri gimana? Suka nggak sama Teteh aku—”

“Itu di depan tempat les aku!” kata Ary, melupakan pertanyaan sebelumnya seraya menepuk-nepuk pundak Jaya untuk segera memberhentikan motornya.

Jaya menarik rem. Tak terhitung berapa kali Jaya menghela napas, lantaran bertepatan dengan Ary melayangkan pertanyaan, motor Jaya berhasil menyambangi tempat les sehingga menggagalkan niat Ary untuk mengungkit pertanyaan itu lagi.

Ary celingak-celinguk, memastikan kondisi jalanan dari orang-orang yang melintas. Lalu Ary terburu-buru turun, dan menyerahkan helm. “Makasih, ya, udah antar aku les. Kamu baik banget sama aku dan Teteh. Aku jadi pengen punya Aa sebaik kamu, deh.” Ary tersenyum lebar. “Aku les dulu, ya. Kamu nanti hati-hati pulangnya jangan ngebut-ngebut, soalnya kamu masih sekolah bukan pembalap kayak di televisi-televisi.”

Jaya mematung dengan kondisi mesin motor masih menyala ketika Ary tiba-tiba meraih tangannya, lalu menempelkan dahi laki-laki itu pada punggung tangan miliknya. Jaya mengedip-ngedipkan mata berulang.

Jaya spontan tertawa geli setelah menyadari kalau Ary baru saja menyalaminya.

Jaya tak menyesal karena telah berinisiatif untuk mengantarkan Syifa pulang. Justru, jika Jaya tak pernah menawarkannya, sudah dipastikan ia akan sangat menyesal.

Setelah ini, Jaya tak perlu bersembunyi-sembunyi untuk bertukar pesan dengan Ary, sebab misinya dalam merahasiakan kedekatan mereka dari Syifa tak ketahuan. Entahlah Syifa akan curiga atau tidak, yang pasti Jaya sudah berusaha sekuat tenaga berlagak baru pertama kali bertemu dengan Ary.

Dan ada yang lebih mengejutkan dari sekadar Syifa mengenalkan ia dengan Ary. Sepertinya, ide cemerlang ia untuk mencuri hati adiknya sudah berhasil.

Jaya tersenyum bangga. Tak percaya kalau ia bisa juga berada sampai di titik ini tanpa bantuan teman-temannya.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Peluh keringat menghiasi dahi Jaya selaras dengan lengan kaos terus ditarik menuju pundak. Bulir-bulir tetesan air asin itu berjatuhan, menyebabkan kondisi di beberapa bagian kaos menjadi basah. Ke mana perginya angin sampai-sampai Jaya tak bisa merasakan sedikit pun udara sejuk untuk menghilangkan rasa gerah?

“De, ambilin wadah satu lagi buat nampung oli gardan. Nanti selesai ganti oli mesin, Dede langsung ganti oli gardannya.”

Jaya beringsut, berlari demi membawakan wadah baru sesuai permintaan Papa Jajang. Keringat yang sedari tadi terus menyombongkan diri tak lain dan tak bukan salah satunya karena kegiatan Jaya yang terus-menerus berlari membawa barang ini dan barang itu. Sialnya, seolah tengah dipermainkan, jarak barang satu dengan barang lainnya sangat berjauhan.

Dengan napas masih terengah-engah, Jaya mulai melepaskan baut. Entah karena fokusnya terpecah belah atau kurang hati-hati, oli mesin meleber keluar dan mengotori lantai. Jaya memaki dirinya saat sadar kalau wadah untuk menampung oli bekas tak disimpan persis di bawahnya.

Melihat oli mesin tak lagi menetes, Jaya segera meraih corong untuk mengganti dengan oli mesin yang baru. Setelah selesai, Jaya singkirkan wadah terisi oli bekas menuju tempat lebih aman agar tak tersenggol dan tumpah—dan membuat Jaya menambah pekerjaan baru.

Jaya merasa sangat sibuk ketika sedang memperbaiki motor, ponsel dalam kantongnya terus berbunyi. Hingga akhirnya Jaya mengalah untuk memastikan siapa yang sedari tadi telah meneleponnya, setelah membaca sebuah nama pada lockscreen ponsel, Jaya hanya bisa mengerutkan dahi sembari membalas pesan itu.

Jaya memasukkan kembali ponsel, dan mengelap tumpahan oli mesin telaten. “Kata Dede, sih, ada kemungkinan pelampung bensinnya yang bermasalah, Pa,” ucap Jaya menduga-duga. Sebab, dua hari kemarin ketika Jaya menggunakan motor Teh Ivanka, fuel meter-nya masih aman.

“Belum tau, masih Papa cari penyebabnya.” Papa Jajang menjawab tanpa mengalihkan pandangan.

“Kayaknya bukan dari aki atau speedometer-nya, Pa. Soalnya tadi waktu Dede pake, speedometer-nya masih jalan normal. Teteh juga bilang di grup speedometer-nya jalan.”

Papa Jajang mengangguk. “Iya, bukan speedometer-nya yang bermasalah.”

Jaya bangkit, membersihkan tangan dengan sisa kain lap lainnya yang masih baru. Jaya mencoba membuka tangki bensin. Kedua mata Jaya menyipit, memperhatikan bagian dalam tangki yang terhalang genangan bensin. “Tapi kalau karena tangki bensinnya yang penyok mah kayaknya nggak, ya, Pa. Soalnya Dede liat asa masih aman-aman aja.”

Papa Jajang tak merespons ucapan Jaya. Sang kepala keluarga sibuk melempaskan pelampung bensin. Sedang Jaya bergantian memperhatikan aktivitas Papa Jajang dan menatap sekitar.

Papa Jajang melepaskan soket kabel, lalu menghubungkan kabel dengan pelampung bensin. Papa Jajang melirik fuel meter yang tidak memperlihatkan tanda-tanda bergerak sedikit pun. Maka, setelah itu, Papa Jajang bergegas melepaskan pelampung bensin dan memeriksa dengan teliti.

Helaan napas yang terdengar sontak membuat Jaya mengalihkan perhatian pada Papa Jajang. Selepas menyadari Papa Jajang seakan sedang mencari sesuatu, dengan cepat Jaya menyerahkan avometer. Dugaan Jaya benar, alat itu langsung diraih Papa Jajang dan langsung sibuk mengecek kondisi kabel menggunakan avometer bersamaan dengan pelampung dinaik-turunkan.

“Bener kata Dede, pelampung bensinnya yang harus diganti.”

Jaya melongok di balik bahu Papa Jajang. “Mau Dede beliin aja sekarang nggak?” tawar Jaya.

“Udah tutup, toko yang biasa bukanya cuman sampe jam tujuh malem,” kata Papa Jajang seraya melirik kondisi langit makin menggelap. Papa Jajang sudah hafal dengan jam operasi toko tersebut, sebab selain toko itu menjadi langganannya, Papa Jajang pun kenal dengan sang pemilik toko.

“Terus, kalau besok Teteh mau pergi keluar gimana, Pa?”

“Bisa pake motor Papa dulu, atau pake mobil sekalian mumpung besok Mama sama Papa libur.” Jawaban penuh keyakinan dari Papa Jajang langsung membuat Jaya mengiakan.

Sejujurnya Jaya kurang menyukai pekerjaan yang ditunda-tunda, sengaja diberhentikan sebentar lalu kembali dilanjutkan pada keesokan harinya. Menurutnya, pekerjaan yang dilakukan setengah-setengah nantinya akan kurang maksimal. Namun, mau bagaimana lagi? Toh, itu semua atas perintah dari Papa Jajang sendiri untuk dilanjutkan di esok hari.

“Pa! Sekalian tolong benerin remnya, soalnya setiap Teteh rem suka ada bunyinya!” teriak Teh Ivanka dari dalam rumah.

Mendapatkan tatapan dari Papa Jajang tanpa bersuara, Jaya pun paham. Melalui tatapan itu, Papa Jajang seolah-olah sedang berbicara dan memberinya komando untuk melaksanakan keluhan dari sang kakak. Lantas, tanpa berlama-lama, Jaya langsung mengabulkan permintaan Teh Ivanka saat itu juga.

Bunyi suara ketika melakukan pengereman, ditimbulkan karena keadaan kampas rem yang kotor. Sehingga, Jaya mau tak mau perlu membongkarnya. Pada rem bagian ban depan, Jaya tak perlu sampai membongkarnya karena kampas rem berada di samping ban. Sedangkan untuk rem bagian belakang ban, Jaya perlu membongkarnya—melepaskan knalpot sampai ban, karena kampas rem berada di tengah-tengah.

Baik Jaya maupun Papa Jajang memiliki kesibukannya masing-masing. Jaya sampai melupakan pekerjaan sebelumnya yang belum sama sekali melanjutkan aktivitas mengganti oli gardan. Seharusnya, tadi setelah mengganti oli mesin, Jaya langsung mengganti oli gardan. Namun, Jaya malah dibuat salah fokus dan berakhir mengabulkan permintaan Teh Ivanka untuk membenarkan rem motornya yang berisik.

Di tengah-tengah sedang fokus membenarkan rem, telepon yang berada di saku bokser Jaya kembali berdering. Ah, janjinya. Jaya tak langsung mengangkat, melainkan ia perlu buru-buru memasangkan kembali komponen motor terlebih dahulu yang telah ia bongkar. Jaya takut komponen-komponen itu nantinya akan berceceran dan berakhir menambah pekerjaan baru.

Merasa ponselnya masih berdering, Jaya langsung berdiri dan merogoh benda pipih itu. Takut kalau sambungan teleponnya terlanjur mati. “Pa, bentar ada telepon, Dede angkat dulu.” Jaya memamerkan layar ponselnya, namun Papa Jajang tak melirik, dan membalas ucapan Jaya dengan berdeham kecil.

Jaya menjauhi Papa Jajang, berpindah ke tempat agak sepi agar berisik dari pekerjaan sang kepala keluarga tak mengganggu. “Halo, Syifa? Kenapa?” Jaya kebingungan saat sapaan darinya tak dibalas dari seberang sana. Jaya menarik telepon, mengintip ingin memastikan kalau telepon itu masih tersambung.

“Maaf baru bisa ngangkat sekarang. Kenapa?”

Jaya menyandarkan pundak pada tiang tembok rumah yang menghubungkan atap dan teras. “Halo?” Panggil Jaya untuk kedua kalinya. Jaya bahkan sudah merelakan fakta kalau ponselnya sudah kotor. Di layar ponselnya tercetak bekas jejak debu, oli telah mengering, juga kotoran-kotoran lain berasalkan dari komponen motor.

Ketika baru saja telepon itu akan dimatikan, sebuah suara akhirnya membalas. Namun, alih-alih mendengar suara syifa yang lemah lembut, telinga Jaya justru mendengar suara laki-laki yang lebih berat dan terkesan seperti bapak-bapak.

Halo, ini dengan kakak kelasnya Syifa?

Mata Jaya menyipit kebingungan. Jaya sampai memastikan kembali bahwa sambungan telepon ini berasalkan dari telepon Syifa melalui fitur Instagram. “Iya? Ini dengan siapa, ya, maaf?” jawab Jaya ragu-ragu.

Ini dengan Ayahnya Syifa.

Jaya spontan memelotot, mulutnya menganga seolah tak percaya. Kemudian ia merasa kalau saat ini juga waktu telah berhenti, menyisakan detak jantung bertalu-talu lebih cepat dari biasanya. Lidahnya terasa kelu. Kata-katanya tertahan di tenggorokan susah untuk diucapkan.

Jaya meremas dada, berusaha mengontrol detakan di dalam sana. “Kenalin, Pak, sebelumnya saya Jaya.” Jaya memperkenalkan diri, walau jauh di dalam sana ia masih bertanya-tanya dan tak menemukan jawaban satu pun tentang alasan mengapa Ayahnya Syifa tiba-tiba meneleponnya.

Salam kenal juga, ya, Jaya. Ini Ayahnya Syifa, Ayah Isal. Tadi siang katanya kamu mampir ke rumah terus bantu benerin semprotan toilet yang rusak. Maaf, ya, niatnya mampir malah jadi harus bantu benerin kerusakan yang ada di rumah kami.

Jaya menggeleng cepat. Saking cepatnya Kepala Jaya sampai terbentur tembok. Jaya mengaduh pelan, mengusap-ngusap bekas benturan guna menyamarkan rasa sakit. “Nggak apa-apa, Pak. Malah Jaya yang harusnya minta maaf karena lancang nyentuh yang ada di rumah Bapak tanpa izin dulu. Tadi kebetulan Jaya ikut mampir ke rumah niatnya mau istirahat sebentar karena kebetulan cuacanya lagi panas banget.”

Telinga Jaya mendengar seseorang di seberang sana sedang terkekeh-kekeh. Entah karena suara benturan tadi terdengar sampai sana, atau karena jawaban darinya yang menyiratkan ketakutan. Entahlah, Jaya sendiri tak tahu.

Nggak apa-apa, Jaya, Bapak jadinya merasa diuntungkan soalnya jadi nggak perlu manggil tukang sekaligus benerin semprotannya, hehehe.

Jaya ikut menimpali dengan tawa meski terdengar canggung.

“Kalau misalnya di rumah Ayah Syifa lagi ada perabotan rumah yang rusak, bisa hubungin Jaya aja, Pak. Jaya siap bantu benerin, daripada harus keluar uang bayar tukang, hehehe.” Tawa pelan itu mengisyaratkan betapa gugupnya Jaya saat ini.

Kakak kelasnya Syifa memang bisa?

Kakak kelasnya Syifa, katanya. Jaya menggelengkan kepala guna menghalau tindakan yang hampir dibuat salah fokus.

Kalau nggak bisa, Jaya nggak akan sampai rela nawarin, Pak. Jaya menggelengkan kepala, menepis keinginan untuk menjawab pertanyaan dengan kalimat itu. Jaya takut kalau sewaktu-waktu ia keceplosan mengutarakan kalimat yang terlintas di kepala. “Kebetulan kalau tentang perabotan di rumah Jaya bisa benerin, tapi kalau kerusakan elektronik—kayak kerusakan televisi, laptop, komputer, Jaya belum terlalu bisa karena masih harus banyak latihan, Pak.”

Keren ….” Pujian itu menimbulkan senyuman pada wajah Jaya. Jaya memandang ke arah kakinya yang sedang digerak-gerakan—seakan sedang menggambar di atas lantai secara sembarang. “Oh iya, tadi juga anak saya yang bungsu bilang kalau Jaya antar dia ke tempat lesnya. Terima kasih lagi, ya, Jaya.

“Iya, Pak, sama-sama. Itu juga karena kebetulan Jaya mau pulang, jadi sekalian aja nganterin Ary ke tempat les.” Cengiran di akhir kalimatnya kentara kalau Jaya sedang salah tingkah. Gelagatnya tak henti bergerak-gerak seperti cacing sedang kepanasan.

Rumah Jaya di mana?

“Di Bojongsoang, Pak,” balas Jaya cepat, kemudian berdeham untuk mengurangi rasa bersemangat dalam menjawab pertanyaan dari Ayah Syifa.

Maaf jadi ngerepotin berulang kali, ya.

Hehehe, nggak apa-apa, Pak. Nanti kalau di rumah ada kerusakan dan butuh bantuan, Jaya siap buat bantuin.” Jaya mengubah kakinya untuk menahan beban. “Syifa nyimpen nomor Jaya, kok, kalau Bapak sewaktu-waktu butuh bantuan Jaya.”

Iya, makasih. Kalau gitu Bapak balikin teleponnya ke Syifa, ya, Jaya.

“Iya, Pak.” Badan Jaya refleks menegak, seolah-olah Ayah Syifa berada di hadapannya. Bahkan, Jaya sampai ikut menundukkan kepala, mempersilakan Ayah Syifa untuk menarik diri.

Terdengar suara grasah-grusuh sebelum akhirnya ia mendengar suara yang lemah lembut, namun terasa menggebu-gebu dalam menyapanya. “Halo, Kak Jaya?

Pundak Jaya terjatuh, melepaskan segala beban yang semula bertumpuk di sana. “Syifa, kenapa nggak bilang kalau yang mau ngomong sama Jaya itu Ayahnya Syifa.” Jaya menggaruk-garuk kepala sembari sesekali memperhatikan Papa Jajang yang sibuk mengotak-ngatik motor Teh Ivanka. Bibirnya perlan memucat.

“*Syifa juga nggak tau, Kak Jaya. Ayah Isal tadi tiba-tiba minta Syifa hubungin Kak Jaya gitu aja. Maaf, ya, Kak Jaya, Syifa langsung main telepon aja tadi. Mana spam banget lagi.*” Terdengar suara penyesalan, dan hal itu ikut membuat Jaya ikut menyesal pula.

“Nggak apa-apa. Lain kali bilang dulu, ya, biar Jaya ada persiapan buat ngobrol sama Ayah Syifanya.” Jaya menghela napas. Percakapan tadi dengan Ayah gadis itu terulang kembali di kepala, sehingga Jaya hanya bisa memohon kalau percakapan tadi bukanlah percakapan terakhir dengan beliau.

Iya, Kak Jaya. Kak Jaya ini masih sibuk, ya?” tebak Syifa, mungkin gadis itu di seberang sana bisa mendengar berisik bunyi peralatan motor yang berasalkan dari Papa Jajang.

Jaya melirik ke arah Papa Jajang yang masih bergelut dengan motor si sulung. “Iya, kebetulan belum selesai benerin motornya. Masih ada yang mau disampein nggak Syifa?”

Bukan maksud Jaya untuk segera mengakhiri sambungan telepon itu. Hanya saja, apabila masih ada yang ingin disampaikan oleh gadis itu, Jaya akan meminta waktu sebentar untuk menyelesaikan tugasnya agar percakapan mereka tak terpotong.

Nggak, Kak Jaya. Nggak ada lagi yang mau Syifa sampein sama Kak Jaya.

Jaya manggut-manggut. “Yaudah kalau gitu Jaya tutup, ya, teleponnya.” Jaya medongak, memandang langit dengan secuil senyuman terlukis pada wajahnya.

“Iya. Makasih, ya, Kak Jaya.”

Ketika baru saja Jaya akan menutup sambungan telepon, Syifa dengan cepat kembali bersuara dan menggagalkan pergerakan Jaya menekan tombol merah.

Eh, Kak Jaya, sebentar!

Jaya kembali menempelkan ponsel pada telinganya. “Ya?”

Semangat, ya, benerin motornya. Tadi di rumah Ayah Syifa nggak henti muji-muji Kak Jaya, tau.” Syifa terkekeh-kekeh, dari bagaimana gadis itu tertawa Jaya jadi dibuat penasaran. Pujian apa yang tak henti Ayah Syifa ucapkan sampai gadis itu tertawa menahan rasa geli?

Syifa tutup, ya, teleponnya. Dadah, Kak Jaya!

Belum sempat Jaya membalas, sambungan itu benar-benar telah diputuskan secara sepihak oleh Syifa. Jaya bergeming dengan kondisi mata membulat, kemudian pada detik selanjutnya mengedip-ngedip seakan tengah berusaha memberi sinyal pada otaknya agar ia tak diberikan gelagat salah tingkah untuk kesekian kalinya.

Jaya berjalan mendekati Papa Jajang dengan kondisi wajah tersenyum lebar. “Pa, Dede mau cuci motor sekarang.” Benda pipih itu sudah Jaya masukkan kembali ke dalam bokser bergambarkan kepala tengkorak.

Papa Jajang menengok. “Lah, Dede, kan, tadi lagi benerin rem. Emangnya udah selesai?”

“Udah.” Telunjuk Jaya bergerak menunjuk ban depan dan belakang secara bergantian. Papa Jajang pun mengikuti arah tunjuk dari si bungsu. Dan benar saja, pekerjaan itu telah selesai dengan kondisi seperti semula.

Merasa tak ada lagi tanda-tanda Papa jajang akan membalas, Jaya kembali berbicara. “Dede mau cuci motor. Benerin motor Tetehnya Papa lanjutin sendiri aja, ya.”

Si bungsu pergi melewati Papa Jajang begitu saja.

“Lah, Dede, itu oli satunya lagi belum diganti!” teriak Papa Jajang berharap si bungsi akan memutar badan dan kembali berjongkok—menyelesaikan aktivitas mengganti oli gardan yang belum tersentuh sama sekali. “Motor Papa nggak usah dicuci! Kemarin banget baru Dede cuci!”

Sayangnya, Jaya sama sekali tak mengindahkan kalimat dari Papa Jajang. Kini, dua motor sudah distandar dua di hadapannya. Selang air di arahkan pada masing-masing motor secara bergantian. Aliran air keluar dari selang dan membasahi setiap bagian motor.

Papa Jajang yang bisa menyaksikan aksi si bungsu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Mana ada orang yang rajin mencuci motor setiap hari? Terlebih, mana ada orang yang selalu mencuci motor pada malam hari. Dalam keadaan cuaca panas maupun hujan, si bungsu selalu bersemangat mencuci motor. Normalnya, orang-orang tidak akan mencuci motornya ketika sedang hujan.

Dan, yang lebih Papa Jajang bingungkan adalah, Papa Jajang selalu menyaksikan bagaimana raut wajah si bungsi saat mencuci motor. Si bungsu akan tersenyum lebar dengan berbagai jenis tawa keluar dari mulutnya. Papa Jajang bahkan pernah sampai terpikirkan akan mendatangkan orang pintar demi mengusir jin yang mungkin sudah memasuki tubuh anaknya.

Seperti saat ini, si bungsu sedang tertawa kegirangan sendiri di tengah-tengah kegiatan mencuci motor, seolah-olah sudah berhasil mendapatkan hadiah terbaik yang tak ternilai harganya.


Puspas Niskala Universe by NAAMER1CAN0


Syifa sudah siap di tempat duduknya ketika bel sekolah berbunyi. Satu per satu orang tergesa menempati bangku, tak sabar menantikan sang pengawas yang akan duduk di meja depan. Namun, tidak untuk dua orang sedang asyik diam diri di pintu. Kedua laki-laki itu tengah harap-harap cemas saat mulai melihat guru-guru berhamburan pergi ke kelasnya masing-masing.

“Siapa, euy, pengawas kelas arurang, Ri, Cip?” kata Hasan.

Bukannya menjawab pertanyaan Hasan, Cipta dan Harri malah menggelengkan kepala serta tangan mengepal di dada, seolah tengah berdoa apabila yang dilihat saat ini tak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan.

Sayangnya, untuk kali ini doa mereka tak terkabulkan. Alih-alih menjauhi kelasnya, salah satu sang pengawas di depan sana malah makin mendekat.

“Siap-siap, kelas arurang sama Sensei Turi!” Harri berlari menuju tempat duduk. Suasana yang semula tenang berubah sekejap menjadi bising. Jika dilihat dari raut wajah para kakak kelasnya, sepertinya sang pengawas nanti bukanlah pengawas yang diidam-idamkan untuk datang.

“Emang kenapa sama Sensei Turi, A Jagat?” tanya Syifa penasaran, sebab ia tak pernah diajar oleh guru Bahasa Jepang tersebut. Dan setahunya, kelas sepuluh pun tak ada yang kedapatan diajar oleh beliau.

“Beliau orangnya tegas. Kadang kalau ngerasa lagi bosen, beliau sesekali suka jalan-jalan sambil liatin kita ngerjain soal.”

Mulut Syifa membulat. Ia menatap Jaya dan Harri bergantian. Lalu bagaimana dengan permintaan mereka nanti?

Jaya yang merasa pandangan dari adik kelasnya itu bukan tatapan biasa—seperti dibaluti kekhawatiran, lantas menaikkan alis seolah bertanya mengapa telah menatapnya dengan ekspresi seperti itu. Namun yang bersangkutan membalasnya dengan gelengan kepala.

“Cip!” Syifa menoleh. “Jangan lupa, ya, titipan Aa nanti!” kata Harri berseri-seri seraya mengacungkan jempol.

“Harri nitip apa sama kamu?” tanya Jagat, sebab jika dilihat dari gelagat Harri cukup membuat Jagat curiga. Kecurigaan itu dikuatkan oleh tatapan Syifa yang memperlihatkan gelisah melirik Jaya dan Harri bergantian.

Syifa menggeleng. “O-oh, itu … A Harri nitip sesuatu yang ada kaitannya sama Kak Jaya, A Jagat,” kilah Syifa, mengucapkan asal jawaban yang saat itu terlintas dalam kepalanya.

Alis Jagat menaik, terdengar dari bagaimana Syifa menjawab pertanyaan darinya, Jagat bisa menarik simpulan bahwa sang adik kelas tengah berbohong. Mata yang terus-menerus menatap langit-langit ruangan, jari-jemari saling memainkan satu sama lain, dan suara sedikit gelagapan.

“Saya cuman mau ngingetin aja, hati-hati. Apa pun permintaan itu yang sekiranya buat kamu rugi, jangan dilakuin. Sensei Turi nggak main-main tegasnya.”

Entah kalimat itu sebatas gertakan atau memang sungguhan, nyali Syifa mendadak hilang terbawa angin yang datang melalui ventilasi. Apabila diingat-ingat dari kata per kata yang telah diucapkan Jagat, Syifa yakin bahwa sang kakak kelas tidak sedang mengada-ngada.

Helaan napas kasar keluar dari mulut Syifa saat selembar kertas jawaban beserta soal telah tersimpan rapi di atas meja. Masih pagi sudah disuguhkan dengan soal matematika yang memusingkan. Bahkan, hanya dengan melihat sekilas pertanyaan-pertanyaan itu, kepala Syifa langsung berdenyut.

Dengan susah payah melawan rasa malas, Syifa akhirnya memulai untuk memberikan bulatan pada bagian identitas diri. Syifa tak tahu apakah ia beserta murid di ruangan delapan termasuk orang-orang yang beruntung atau tidak, sebab Sensei Turi saat ini sedang sibuk dengan beberapa berkas di atas mejanya.

Karena tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Syifa cepat-cepat mengerjakan soal dari yang menurutnya paling mudah dan tak akan banyak menyita waktu.

Kekhawatiran perihal ia tak dapat mengerjakan soal tak sepenuhnya benar, lantaran waktu sudah hampir berjalan selama dua puluh menit dan ia masih sanggup menghitung soal-soal selanjutnya.

Belum genap lima menit berlalu dari memuji kelancaran mengerjakan soal, sampai akhirnya Syifa kini hanya bisa menatap salah satu soal dengan raut kebingungan. Kuku-kuku jari tak henti ia gigit, sebagian rambutnya telah berantakan—ia acak-acak—dengan harapan rumus-rumus yang sudah dilupakan akan kembali teringat.

Sayangnya, makin ia mencoba mengingat, makin kosong pula isi kepalanya.

Pada akhirnya, Syifa hanya bisa menggigit bibir seraya menolehkan wajah ke samping. “A Jagat, t-tau rumus beberapa bangun ruang, nggak?” bisik Syifa penuh keraguan dalam ucapannya, takut apabila suaranya mampu terdengar sampai telinga sang pengawas.

“Tau.”

“Boleh nggak kalau Syifa minta A Jagat buat tulisin beberapa rumus bangun ruang yang lengkap di kertas coretan Syifa yang ini?” Bola mata Syifa memperlihatkan tatapan penuh harap. “Syifa beneran lupa rumusnya, mau capcipcup tapi takut nanti nilai Syifa jadi taruhannya.”

“Deketin kertasnya ke arah saya, biar saya tulis.”

Maka, pandangan Syifa langsung tertuju pada sang pengawas di depan. Ia mencoba memberikan raut pura-pura berpikir, sedang tangan kirinya berusaha menggeser kertas coretan pada Jagat. Kalau soal akting-akting seperti ini, ia sendiri ahlinya.

Tak berselang lama, kertas coretan Syifa sudah kembali pada posisi semula. Baru saja Jagat akan kembali mengerjakan soal, Syifa tiba-tiba mencolek lengannya. Jagat melirik ke arah gadis itu, kemudian terjatuh pada beberapa huruf yang selesai Syifa tuliskan di atas kertas. Jagat mengangguk pelan, memberi jawaban dari tulisan ‘makasih A Jagat’.

Syifa kagetnya bukan main ketika seseorang berdiri di sampingnya. Ia pikir hidupnya akan berakhir pada detik itu juga. Tapi setelah mencoba mengingat-ingat, ia sama sekali belum meluncurkan aksi kepada Jaya maupun Harri.

“Tanda tangan dulu di nomor empat belas,” ujar sang pengawas.

Begitu kalimat itu selesai diucapkan, Syifa bisa bernapas lega. Ia kira sang pengawas datang karena telah mencurigai dirinya.

Tak sengaja melihat tindakan sang adik kelas yang sedari tadi tak henti menepuk dada, Jagat malah dibuat salah fokus oleh salah satu soal yang sepertinya baru gadis itu selesai kerjakan.

“Nomor sepuluh kamu salah hitung, tuh. Harusnya jawabannya B bukan C, coba dilihat lagi baik-baik,” ceplos Jagat menghentikan aktivitas Syifa dalam menenangkan diri.

“Eh, masa, sih, salah? Syifa kerjainnya udah bener, kok, A Jagat.” Alis Syifa menekuk, memperhatikan satu per satu angka serta lambangnya. Ia takut jika benar-benar salah dalam menghitungnya.

Lantas, Jagat segera menarik kertas coretan sang adik kelas tanpa mengeluarkan suara. Jagat menulis ulang soal serta jawaban yang tak sepenuhnya ia isi—sengaja agar dilanjutkan oleh Syifa nanti. Namun, ketika Jagat mencoba fokus membantu sang adik kelas, tiba-tiba seutas senyuman muncul membuat laki-laki itu tak mampu menahan raut wajahnya kala tak sengaja membaca beberapa kalimat di kertas coretan tersebut.

“Lanjutin sisanya, tinggal kamu isi-isi aja.”

Syifa mengangguk. Ternyata ada untungnya juga ia bisa berbagi meja dengan orang pintar. Rasanya Syifa telah menyesal karena pernah meragukan kemampuan kakak kelasnya itu.

Saat sedang asyik menghitung ulang, tiba-tiba Syifa teringat dengan permintaan Jaya dan Harri. Maka, Syifa cepat-cepat memastikan bahwa sang pengawas telah fokus dengan pekerjannya sendiri sebelum akan melancarkan aksinya.

Syifa lirik sekilas ke arah lembar jawaban Jagat. Tangan yang sibuk menulis ulang jawaban dari laki-laki di sampingnya, sementara matanya bergerak menatap jawaban serta sang pengawas penuh kehati-hatian.

Senyum Syifa merekah selepas berhasil menyalin tiga puluh lima nomor soal pilihan ganda. Untuk dua nomor esai harus Syifa relakan, sebab ia sendiri bingung harus menyerahkan jawaban dengan cara apa pada mereka.

“Jangan berisik, ya, saya mau ke toilet sebentar. Jangan ada yang berani saling tukar jawaban dengan temannya,” kata Sensei Turi sebelum pergi meninggalkan ruangan.

Sepeninggalan sang pengawas, kelas yang semula tenang berubah agak ricuh. Bisikan demi bisikan bisa Syifa dengar termasuk bisikan dari Harri yang tak henti memanggil namanya.

Seolah tahu apa yang akan dilakukan Syifa pada Harri, Jaya tak berniat memutuskan pandangan sedari tadi. Matanya sudah siap membaca gerakan mulut Syifa dan tangannya sudah siap mencatat.

Syifa berusaha tenang, kepalanya tetap lurus ke depan. Namun mulutnya tak henti bergerak tanpa suara dengan tangan memberikan gestur angka satu dan angka lain-lainnya secara bergantian.

Selain takut apabila ternyata diam-diam sang pengawas penyimpan kamera tersembunyi, Syifa pun takut apabila laki-laki di sampingnya sadar bahwa ia telah menyalin ulang jawabannya.

Bertepatan Syifa menggumamkan nomor terakhir, sang pengawas pun kembali datang. Ricuhnya ruangan tersebut seketika langsung hening dalam sekejap, menyisakan suara lembar soal yang dibuka-tutup dan denting jarum jam.

Entah karena sang pengawas telah mendengar berisiknya ruang delapan dari kejauhan atau memang merasa kalau anak-anak di ruang delapan tak menuruti perintahnya, pada menit-menit terakhir Sensei Turi tak henti berjalan-jalan dan memeriksa satu per satu lembar jawaban para muridnya.

Syifa yang ingat kalau pada kertas coretannya memuat contekan dari jawaban Jagat, lantas cepat-cepat Syifa balikan. Syifa memperlihatkan bagian sisi coretan lain agar tak menjadi bulan-bulanan sang pengawas.

“Lembar jawaban sama soal disimpan saja di atas meja, tapi untuk lembar jawaban jangan lupa dibalik biar nanti saya yang rapikan sendiri. Kalau sudah selesai silakan keluar meninggalkan kelas.”

Pada detik-detik terakhir, Syifa dibuat was-was lantaran ia menyisakan satu soal terakhir yang belum diisi. Syifa sudah mencoba untuk fokus, tapi suara langkah dari sepatu hak sang pengawas membuat isi kepalanya buyar.

Sampai akhirnya bel yang menyatakan ujian hari kedua pada jam pertama telah selesai, Syifa pun memilih untuk asal membulatkan jawaban. Tak apa-apa, yang penting ia sudah menjawab soal sisanya dengan sungguh-sungguh.

Sesuai dengan arahan Sensei Turi, Syifa meninggalkan soal serta jawaban di meja. Kertas coretan serta papan dan alat tulisnya akan Syifa kembali masukkan ke dalam tas—sengaja disimpan di depan kelas.

“Syifa,” panggil Jagat membuat Syifa menoleh. “Lembar coretan kamu tadi boleh saya bawa nggak? Saya mau mastiin kalau hitungan yang saya kasih tadi bener atau nggak.”

Syifa mengangguk, menyerahkan semua lembar coretan itu tanpa banyak bertanya. “Boleh A Jagat, ngomong-ngomong makasih banyak udah bantu Syifa, ya, tadi.”

Jagat mengangguk dan mengulas senyum. “Sama-sama.”

Jaya yang tak sengaja mendengar percakapan dari kedua orang itu hanya bisa memutar bola mata malas. “Cih.” Raut masam tercetak jelas pada wajah Jaya. Ia menarik pundak Harri secara paksa untuk segera keluar dari kelas. Bahkan parahnya, ia tak berniat menunggu Jagat barang sejenak yang masih merapikan barang-barangnya di dalam.

Eta si Jagat tinggaleun, Jang!” ucap Harri dengan langkah yang susah payah untuk diseimbangkan.

“Itu Jagat ketinggalan, Jang!”

“Biarin, entar juga nyusul sendiri anaknya,” balas Jaya sedikit ketus.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Berisik obrolan tentang soal ujian pada jam pertama cukup mengganggu Jaya dalam melewati segerombolan orang-orang yang diam di depan kelas dan menghalangi jalan. Lagi pula untuk apa tetap membahas soal ujian yang sudah dilaksanakan? Toh, hal itu tidak akan merubah apa pun jawaban yang sudah diisi. Apabila mereka melakukan itu untuk berjaga-jaga jika gagal dalam ujian hari ini, bukankah secara tidak langsung mereka sudah meremehkan kemampuannya sendiri?

Kerjakan dan lupakan adalah prinsip yang selalu ia lakukan ketika berhadapan dengan ujian. Setelah keluar dari ruang ujian, ia tak akan membuang waktu untuk memikirkan segala tentang soal-soal yang memusingkan. Jika hal itu ia lakukan, yang ada, obrolan tentang mengoreksi soal-soal itu berpeluang membuat sesal karena takut apabila jawaban ia dengan mereka berbeda. Sehingga hal tersebut akan mempengaruhi ujian selanjutnya.

“Gat,” panggil Jaya membuat laki-laki di sebelahnya yang sedang mengemut permen menoleh.

Jaya membasahi bibir, sedang mempertimbangkan apakah ia perlu mengucapkan hal tersebut atau tidak. “Nitip, dong, Gat. Kasihin ke temen sebangku maneh.” Akhirnya setelah pertimbangan yang lama, kalimat itu keluar juga dari mulut Jaya.

Jagat melirik sekilas pada barang yang disodorkan Jaya, kemudian menggeleng. “Males, kasihin sendiri aja sana.” Penolakan tersebut menghadirkan dengkusan tak suka dari Jaya.

“Tolong, Gat.” Jaya menggoyangkan makanan dan minuman itu, bersikeras memohon agar Jagat bersedia membantunya. Lagi pula tak biasanya satu temannya itu langsung menolak tanpa mempertimbangkan dahulu.

Jagat mengangkat alis. “Yang butuh siapa?”

Jawaban itu diucapkan secara halus, namun terkesan ketus. “Anying, yaudah nggak jadi.” Dengan begini, mungkin saja hati Jagat tiba-tiba tergerakkan untuk bersedia membantu.

Jagat mengangkat bahu tak acuh. “Yaudah, mending nggak usah. Lagian percuma juga kalau niat ngasih, tapi nggak mau nyerahin sendiri.”

Sial, selama Jaya kenal dengan laki-laki itu, ia tak pernah sekali pun ditolak untuk dimintai tolong. Bagaimana dari betapa ketusnya balasan kalimat itu, ia sudah memantapkan hati agar tidak memaksanya lagi.

Kini hanya ada dua pilihan, antara mau tidak mau ia yang harus memberikannya sendiri atau tidak melakukannya sama sekali.

Jaya bertanya-tanya apa yang sudah menjadikan laki-laki itu terkesan ketus? Apakah karena ucapan asal Harri dan beberapa teman satu kelasnya yang telah mengatakan kalimat-kalimat penuh candaan perihal teman satu bangku? Jika jawabannya iya, seharusnya Jagat tidak menjadikan dirinya sebagai samsak persoalan tersebut. Toh, ia sendiri sama-sama korban dari kejahilan mereka.

Terlampau asyik bergumul dengan pikirannya sendiri, Jaya tidak sadar bahwa langkah kaki Jagat sudah lebih dulu berhenti di depan pintu kelas. Jagat menengok pada sesuatu yang sedang Jaya pegang. “Sana kasihin sendiri sebelum saya masuk, duduk di sebelahnya, dan cengcengin kamu kalau saya lihat sendiri kamu nyerahin makanan dan minuman itu di depan mata saya.”

Paham akan ucapan itu, kepala Jaya bergerak memutar untuk memastikan bahwa tak ada Harri ataupun temannya yang lain di sekitar mereka. “Harri lagi mampir ke ruangan pacarnya,” ucap Jagat.

Sepertinya ia terlalu terang-terangan memperlihatkan gerak-gerik tersebut sampai Jagat paham dengan gelagatnya yang ketakutan.

Perlahan Jaya memasuki ruangan, berjalan menuju meja seorang gadis yang tengah sibuk dengan buku mata pelajaran ujian selanjutnya.

Tanpa kata dan terkesan tiba-tiba, Jaya langsung menyimpan satu bungkus roti coklat serta susu coklat di atas meja sang gadis. Dan, tanpa berpamitan, Jaya meninggalkan meja tersebut lalu duduk di bangkunya sendiri.

Sontak Syifa dibuat terkejut dengan kehadiran roti dan susu yang tiba-tiba di atas mejanya itu.

Syifa menutup buku, menoleh pada Jaya yang sedang bermain ponsel. “Kak Jaya, kayaknya ini Kak Jaya salah naro, deh.” Roti dan susu itu baru saja akan Syifa geser, karena ia pikir makanan dan minuman itu titipan Jagat. Namun, yang ia lihat justru Jaya tengah menggelengkan kepala. “Nggak. Itu emang buat Syifa, kok. Jangan lupa dimakan soalnya dari tadi Syifa nggak keluar kelas.”

Tangan Syifa yang semula akan memindahkan roti dan susu itu, otomatis ditarik kembali. Dengan raut wajah masih terlihat terkejut, kemudian digantikan oleh senyuman manis sebab tak menyangka bahwa ia akan merasakan kejadian itu seperti yang biasanya sering ia lihat di layar-layar kaca.

“Makasih, Kak Jaya. Syifa minum, ya, susunya.”

Jaya membalas ucapan itu dengan dehaman kecil.

Syifa mendadak membenarkan duduknya, lalu berusaha sekuat tenaga menahan raut wajah agar tak kelepasan memamerkan senyuman yang akan membuat seseorang yang baru memasuki kelas bertanya-tanya. Laki-laki itu mengisi kursi di sebelahnya, kemudian menundukkan kepala—menenggelamkan wajah di antara tangan yang dilipat di atas meja. Melihat Jagat yang tampak tengah mengistirahatkan diri, senyuman yang semula mati-matian Syifa tahan pun kembali terlihat.

Aneh. Ini hanya sebuah susu biasa, tapi ajaibnya susu itu tak henti membuat bibirnya selalu ingin memperlihatkan senyuman yang lebar. Apa yang salah dengan dirinya? Lagi-lagi segala tentang kakak kelasnya itu selalu pintar membuatnya merona dengan perlakuan kecilnya.


Sejak sang pengawas datang, lalu membagikan kertas soal dan jawaban, Syifa sama sekali belum menggerakkan jemarinya untuk mengisi identitas diri di lembar kertas jawaban. Pikirannya tengah dipenuhi oleh sosok laki-laki pemilik nomor meja lima belas. Kedua ujung bibirnya menaik, merepresentasikan gadis itu kentara amat sedang bahagia.

Mendengar batuk kecil dari seseorang di sebelahnya, kemudian kesadaran Syifa kembali. Syifa tak tahu apakah laki-laki itu sengaja batuk atau memang batuk sungguhan, tapi yang pasti ia berterima kasih karena secara tidak langsung Jagat telah mengembalikan kesadarannya untuk segera mengisi soal-soal ujian tersebut.

Situasi di ruangan cukup tenang, tak terdengar sedikit pun suara-suara bisikan, yang terdengar hanyalah suara kertas yang dibuka saling bersahutan.

Baginya, pelajaran Bahasa Indonesia tergolong mudah—tidak seperti mata pelajaran matematika yang mengharuskan bergelut dengan angka-angka, hanya saja terkadang sering terkecoh oleh jawaban yang menurutnya benar. Belum lagi dihadapkan dengan soal-soal cerita yang rata-rata panjang. Jika ia lengah sedikit dan lupa dengan apa yang sudah dibaca, maka ia harus kembali membacanya dari awal. Dan berakhir menghabiskan waktu secara cuma-cuma.

Untuk mengistirahatkan otaknya yang sudah siap mengepulkan asap, Syifa diam-diam mencuri pandang ke meja sebelah. Kepalanya tak sepenuhnya menengok, sebatas mengandalkan matanya untuk melirik.

Bila satu minggu kemarin ia tak henti memuji betapa indahnya langit sore dari loteng rumahnya, sampai berulang kali mengatakan langit sore itu adalah objek terindah yang pernah ia pandangi dan ia menyukainya, maka dengan secepat kilat ia tambahkan kalau ucapan tempo hari ada kekeliruan. Sebab, alih-alih langit sore, ternyata ia lebih menyukai pandangi Jaya yang sedang disibukkan oleh soal ujian.

Alis yang mengerut, bibir yang tak henti bergerak membaca soal tanpa suara, tubuh membungkuk, adalah pandangan yang sulit untuk bisa ia padangi lagi di kemudian hari. Hanya dengan memandang kakak kelasnya secara diam-diam itu, ia sukses tersipu. Mati-matian Syifa mengulum senyum agar tak membuat sang pengawas curiga.

Sayangnya pertahanan untuk tak mempertontonkan senyumannya itu gagal, sebab saat berniat ingin melirik kertas jawaban miliknya, mata Syifa tak sengaja menatap kotak susu yang baru setengah ia minum—sengaja karena tak ingin langsung ia habiskan. Kemudian tatapan itu terjatuh pada bungkus roti. Alih-alih membuangnya, Syifa justru sengaja menyimpannya.

Adegan mencuri-curi pandang ini mengingatkan Syifa pada saat SMP dulu. Syifa pernah berada di situasi ini. Bedanya, dulu Jaya duduk di sebelahnya.

Ada kalanya Syifa kesal dengan sang kakak kelas teman satu bangkunya itu, bagaimana tidak ketika ia berniat ingin mencuri pandang ke arah Jaya lagi, akan tetapi tubuh Jagat malah menghalanginya. Syifa bingung sendiri mengapa Jagat lebih senang mengerjakan soal dengan posisi tubuh tegap dibandingkan membungkuk. Padahal apabila Jagat sedikit membungkukkan badannya, pasti dengan mudah ia bisa untuk memandang Jaya.

Lantaran kekesalan itu tak kunjung hilang, akhirnya Syifa memilih melanjutkan mengisi soal. Walau sesekali matanya tak bisa diam karena lagi-lagi bergerak menuju tempat yang sama.

Jika ditanya berapa perbandingan persentase Syifa fokus mengerjakan soal dan fokus memandang Jaya, maka Syifa akan menjawab 90% fokus mencuri pandang, sementara sisanya persentase ia fokus mengerjakan soal.

Saat sedang hening-heningnya, tiba-tiba seseorang mengacungkan tangan. “Bu, kalau misalnya ada yang udah selesai ngerjain, udah bisa dikumpulin dan pulang belum?” tanya Jagat menghadirkan tatapan terkejut dari penghuni ruangan delapan, termasuk Syifa di sebelahnya.

Sang pengawas melirik ke arah luar melalui jendela, lalu memperhatikan jam dinding di depan kelas. “Masih jam setengah sebelas, ruangan lain juga belum ada yang keluar. Setidaknya tunggu sampai jam sebelas lebih, ya.” Jagat menurunkan tangan, kemudian mengangguk. “Dicek lagi, ya, soal sama jawabannya. Pastiin identitasnya diisi dengan benar jangan sampai ada yang terlewatkan,” lanjut sang pengawas mewanti-wanti.

Sebab penasaran apakah Jagat benar-benar telah menyelesaikan ujiannya, mata Syifa bergerak untuk mencuri pandang pada lembar jawaban kakak kelasnya itu. Setelah menyadari bahwa Jagat tidak sedang membual, Syifa otomatis memelotot. Ia tiba-tiba teringat bahwa lembar jawabannya masih banyak yang kosong. Maka, Syifa cepat-cepat mengerjakan dengan khusyuk. Melupakan sejenak presensi Jaya di meja sebelah—sang tersangka yang sudah membuat ia tak menganggap keberadaan soal ujiannya ada.

Di tengah aktivitas Syifa sedang fokus mengerjakan soal, Jaya menoleh dan tersenyum kecil melihat pemandangan itu. Kemudian senyuman itu disusul tawa sangat pelan sebab merasa gemas dengan berbagai ekspresi yang baru saja Syifa perlihatkan.

Tepat di jam sebelas lebih dua puluh dua menit, sang pengawas pun mengatakan bagi siapa pun yang elah selesai mengerjakan soal ujian, boleh dikumpulkan. Namun dengan syarat memastikan telah menanda tangani kertas kehadiran. Sang pengawas tak lupa menambahkan kalau soal ujian cukup disimpan di atas meja, sementara lembar jawaban dibawa ke depan dan disimpan di meja guru.

Jagat menengok. “Syifa, mau saya bantuin nggak?” tanya Jagat sangat pelan terkesan seperti berbisik.

Alis Syifa menyatu keheranan. “Bantuin apa, A? A Jagat mau bantuin Syifa isi soal ujiannya?” balas Syifa sedikit berharap apabila Jagat akan mengiakan ucapannya.

Jagat menggeleng pelan. Laki-laki itu terburu mengemasi barang sembari menatap meja sebelah. “Udah saya bantuin, nih. Jangan lupa fokus sama soal, ya, soalnya itu masih banyak yang belum kamu isi,” kata Jagat sebelum akhirnya laki-laki itu mengedipkan mata dan meninggalkan meja mereka.

Syifa hanya bisa menatap kepergian Jagat dengan berbagai pertanyaan masih bersarang di kepala. Bantuan apa yang dimaksud kakak kelasnya itu?

Di tengah kebingungan yang masih melanda, Syifa tak sengaja menolehkan wajah—berniat ingin menatap bangku di sebelahnya yang kosong, namun berujung beradu tatap dengan mata milik Jaya. Syifa spontan memelotot lalu memutuskan pandangan untuk kembali membaca soal.

Sementara Jaya yang mendapatkan respons itu hanya kebingungan. Mengapa gadis itu begitu terburu-buru memutus pandangan ketika mata mereka saling bertemu?

Syifa menggurutu kesal di dalam hati. “Ah! A Jagat kenapa malah pulang duluan, jadinya Syifa udah nggak bisa ngintip Kak Jaya diem-diem lagi!


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Mata pelajaran kali ini menjadi ujian penutup di minggu pertama. Rasanya lega saat menyadari ia mendapatkan waktu dua hari untuk bersantai, melupakan sejenak apabila senin setelahnya masih harus bertempur dengan soal-soal.

Syifa menarik napas dalam-dalam, tangannya sibuk memasukkan barang ke dalam tas.

“Kalau didenger dari suara napasnya, kayak lagi pikul beban yang berat.”

Syifa mengekeh. Selain karena alasan mata pelajaran fisika yang sudah membuat rasa optimisnya lenyap begitu saja, Syifa pun merasa menyesal karena tak bisa menyelesaikan ujian lebih dulu. Jika sudah seperti ini, pasti di luar gerbang sana sudah dipadati para murid yang sedang mengantre memesan ojek online. Syifa harus merelakan waktu istirahatnya lebih awal.

“Emang Kak Jaya nggak pusing sama ulangan fisika tadi?”

“Pusing, tapi nggak sampe ngehela napas kayak gini,” kata Jaya sembari mencontohkan ulang bagaimana gadis itu tadi menghela napas penuh beban, seperti tengah memikul puluhan karung beras pada pundaknya.

Syifa nyaris mempertontonkan reaksi wajahnya yang memandang laki-laki itu dengan tatapan maut. Kakak kelas itu tampaknya sudah lebih mahir dalam berseloroh.

Padahal aslinya Jaya sedikit kikuk apabila senda gurau tadi sampai pada telinga beberapa orang yang masih tinggal di kelas. Harri dan Jagat untungnya sudah lenyap duluan. Jagat berpamitan untuk langsung pulang, sedang Harri berpamitan untuk ke kantin karena perlu menuntaskan rasa lapar. Sementara beberapa teman dekat Syifa pun tak dapat Jaya temukan di dalam kelas, sehingga ia berspekulasi bahwa mereka sudah ikutan lenyap meninggalkan kelas.

“Langsung pulang nggak, Syifa?” Jaya kembali membuka suara. Intonasi suaranya tak meninggi, juga tak merendah.

“Iya, Kak Jaya. Soalnya besok libur jadi buat apa juga Syifa belajar sekarang, yang ada udah terlanjur lupa duluan.” Kalimat itu diselingi tawa kecil.

Jaya mengeluarkan jaket dari dalam tas, lalu memakainya. Kancing jaket itu dibiarkan terbuka, memperlihatkan sebagian seragam putih. Jaya tak terlalu senang memakai jaket yang dikancingkan. Pengap, dan pergerakannya jadi terbatas.

“Ayo Jaya anter.” Nada suara itu terdengar sangat lembut sampai-sampai jantung Syifa langsung bereaksi tak mengenal situasi—berdegup tak karuan. Syifa sampai tak sadar bahwa dalam kalimat itu terkandung sebuah harapan.

Awalnya Syifa mengira kalau kalimat itu sebuah guyonan belaka, mengingat akhir-akhir ini Jaya sudah mahir melemparkan berbagai lelucon. Namun, selepas melihat Jaya berdiam di ambang pintu dengan tas sudah rapi tersampai di punggungnya, Syifa jadi sangat yakin kalau ajakan itu sungguh-sungguh Jaya tawarkan.

Ketika iris matanya bersinggungan dengan telinga laki-laki itu, Syifa mati-matian mengulum senyuman agar tak merekah. Telinga laki-laki itu memerah, hampir menyerupai warna lipstik yang dipakai pengawas tadi. Jaya sedang tersipu.

“Emang Kak Jaya bawa helm dua?” Syifa hanya memastikan.

Jaya mengangguk penuh keyakinan. “Ada. Jaya pergi duluan, ya, mau bawa motor. Nanti Syifa tunggu aja di gerbang.”

Bahkan, Syifa sama sekali belum mengiakan ataupun membalas ajakan itu. Tetapi, Jaya sudah undur diri duluan dari hadapannya. Bagaimana kalau misalnya sewaktu-waktu ia kabur lewat tembok belakang sekolah? Walaupun ide konyol tersebut tak mungkin pula ia lakukan.

Sepeninggalan Jaya, Syifa masih mencoba meyakinkan apakah ia sedang melakoni karakter dalam tidurnya? Apakah ia sekarang sedang bermimpi di tengah-tengah ujian fisika berlangsung? Atau, parahnya apakah ia masih tertidur di rumah dan telat berangkat sekolah karena terlalu asyik ikut berperan dalam mimpi indah ini?

Dugaan-dugaan itu terus berkeliaran di kepala. Begitu jemarinya menjumput punggung tangan—sepersekian detik setelahnya, asumsi yang bersemayam di kepala praktis menghilang. Syifa mengaduh, menandakan ini bukanlah semata-mata sedang bermimpi.

Meski jutaan pertanyaan belum juga keluar dari isi kepala, Syifa langsung memakai tas dan menyusul Jaya yang mungkin sudah menunggu di gerbang sekolah. Syifa tak boleh membuang-buang waktu secara cuma-cuma, sebab tiap satu detik waktu yang berjalan sangat berharga.


Berbagai jenis pertanyaan perihal helm siapa yang sedang ia pakai ini terus berlari-larian dalam kepala. Bentuk helm ini sangat familier. Baunya cukup maskulin. Jika terlintas jawaban sementara helm itu milik seorang gadis maka sudah dipastikan salah. Apabila helm itu milik Jaya, lalu mengapa ia jarang melihat laki-laki itu memakainya? Ia lebih sering melihat Jaya menggunakan helm full face, dibandingkan dengan helm merek Bogo. Jadi simpulannya, milik siapakah benda bulat tengah membungkus kepalanya sekarang ini?

Gumpalan awan membentang di langit—salah satu dari mereka seolah terngah berseri-seri. Tak tahu karena awan tersebut dengan jahil telah menyamarkan sinar sang matahari, atau seakan sedang mengejek dirinya yang tak pandai mengatur ekspresi juga tingkah laku.

Mulutnya boleh diam, tapi pikirannya berisik.

Sepertinya Syifa harus memperbanyak memperlakukan adiknya dengan baik pada waktu pagi hari. Nyatanya, karma baik justru berhendak membuat ia bisa ditakdirkan duduk di atas motor yang sama dengan Jaya. Seingatnya terakhir kali mereka berbagi kendaraan saat mereka selesai olahraga berenang, itu pun karena dipaksa oleh Harri. Kalau tidak salah.

Entahlah, memang karena waktu masih pagi hari sehingga laki-laki itu tidak berkeringat sama sekali, atau memang benar perihal isu laki-laki dan perempuan memiliki reaksi berbeda ketika menyemprotkan parfum ke tubuh. Sebab, semilir harum parfum dari tubuh laki-laki itu berbondong-bondong menyeruak, memaksa menerobos indra penciumannya. Ketika ia menggunakan parfum, wanginya tak semerbak ini.

Laki-laki itu harum maskulin, tidak membuat pusing ketika ia terus menarik napas—mengisi sebagian udara yang bercampur parfum. Terkadang ada beberapa wangi parfum apabila di tengah cuaca sedang panas, ataupun dihirup secara berulang akan menimbulkan efek samping memusingkan. Lain dengan parfum laki-laki itu. Makin ia mencoba menghirupnya, makin tergila-gila dengan wangi-wangian itu.

Tangan Syifa mengepal. Otaknya dipaksa berpikir untuk sesegera mungkin menyusun kalimat guna menepis keheningan di antara mereka.

“Kak Jaya,” panggil Syifa, berusaha menegakkan tubuh, ingin melihat ke arah spion agar bisa melihat wajah Jaya walau kesusahan sebab punggung laki-laki itu sangat tinggi dan menghalanginya.

“Ya?” Jaya melirik spion, membungkukkan sedikit tubuh—sampai rela memiringkan pundak sebelah kiri demi bisa melihat jelas wajah sang adik kelas dari spion.

Syifa menggigit pipi dalam melihat aksi responsif dari Jaya. Pipinya bersemu. “Kak Jaya tau nggak cerita tentang ada anak kelas sepuluh lagi kerja kelompok sampe sore, terus malah berakhir dijahilin penunggu sekolah?” Syifa mendesah lega saat kalimat itu berhasil ia sampaikan tanpa terbata.

“Masa iya?” Kedua ujung alis Jaya menyatu, iris matanya yang gelap menyorotkan reaksi tidak percaya.

“Iya! Kak Jaya udah pernah denger belum ceritanya?”

Gelengan dari Jaya langsung menjawab pertanyaan yang telah Syifa lontarkan.

Syifa menarik napas dalam-dalam, terus memaksa paru-parunya memasok udara. Sebab setelah ini ia akan sibuk berbicara sepanjang jalan.

“Jadi, katanya anak 10 IPA 1 waktu itu lagi kerja kelompok kerjain prakarya. Nah, karena sekolah bubar jam empat sore, jadi mereka milih buat terusin kerjaannya di sekolah. Tapi, kan, Kak Jaya tau sendiri rata-rata tugas prakarya itu ribet banget. Makanya waktu itu mereka ngerjain sampe sore—bahkan kayaknya melebihi jam enam.” Jaya terdiam, sementara Syifa sibuk berceloteh. “Pas jam setengah enam itu satpam mulai keliling sekolah, kan, buat kunciin semua ruangan. Pak satpam waktu itu udah nyuruh mereka pulang, tapi anak-anak IPA 1 itu keukeuh mau lanjutin karena nanggung. Jadi, ya udah, deh, Pak satpam biarin.”

Jaya melajukan motor dengan kecepatan lebih pelan daripada sebelumnya. Jaya membawa kendaraannya untuk melintas di jalur sebelah kiri, mempersilakan pada kendaraan lain apabila ingin menyusul.

Syifa mencondongkan sedikit badannya ke depan. Menarik napas, dan melanjutkan sesi ceritanya kembali. “Beberapa menit setelah Pak satpamnya pergi, kondisi sekolah makin gelap. Dan, keadaannya bener-bener sepi. Mereka udah ngira kalau misalnya di lingkungan kelas 10 itu cuman tersisa mereka berlima. Sampe ada salah satu dari mereka ngerasa kalau dia mulai risi sendiri setiap nggak sengaja tatapan sama pohon di depan kelas. Nggak berselang lama dari itu, kipas di dalem kelas tiba-tiba nyala terus—”

Jaya mengernyit. “Berisik.” Tecermin sarat yang telah terusik dalam tutur kalimatnya.

Syifa melongo. Bibirnya terkatup. Dari bagaimana intonasi suara Jaya berbicara, Syifa yakin kalau laki-laki itu dongkol mendengar ia berbicara terus-menerus tanpa jeda. “Eh? Maaf, ya, Kak Jaya, Syifa udah berisik. Maaf juga tadi Syifa heboh cerita sendiri, Syifa kira Kak Jaya mau denger ceritanya.”

Lagi pula, Syifa kira kakak kelas itu diam karena sibuk mendengarkan ia berceloteh. Ternyata justru sebaliknya.

Jaya menggeleng cepat, berusaha menangkap permintaan maaf sang adik kelas untuk ia tepis dengan jauh. “Nggak. Itu knalpot motor sebelah berisik, suara Syifa jadinya nggak bisa Jaya denger secara jelas.” Dagu Jaya bergerak menunjuk ke arah di mana motor itu berada.

Ah, ternyata karena motor itu, ia kira karena ia terlalu bersemangat dalam bercerita.

Syifa mengangguk-angguk, kepalanya mendongak mengikuti pergerakan burung yang melintas di atasnya. Syifa menjauhkan helaian rambut menempel pada bibirnya karena ulah angin yang menyerang tiba-tiba.

Suasana mendadak menjadi canggung selepas sadar keheningan kembali melanda mereka.

“Kenapa diem? Ayo lanjutin ceritanya. Jaya suka dengerin Syifa cerita.” Kalimat itu keluar dari mulutnya sangat lancar sampai-sampai Jaya sendiri tak memercayai apa yang telah diucapkannya.

Manik mata Syifa membesar. “Ha, apa, Kak Jaya?” Secercah harapan tiba-tiba muncul, menyebabkan dadanya bergemuruh.

Wajah Jaya nyaris memperlihatkan reaksi yang sama jika ia tak terburu-buru berdeham. “Lanjutin ceritanya.” Jaya memutus pandangan dari spion. “Nanggung.” Pipi Jaya bersemu. Wajah dan tubuhnya mendadak menjadi gerah.

Syifa berseru. “Ah! Jadi sampai mana, ya, tadi—”

“Kipas angin tiba-tiba nyala.” Sadar akan sebuah fakta laki-laki itu mendengarkan ia bercerita, pipi Syifa jadi panas sendiri.

“Kipas di kelas tiba-tiba nyala dan mengeluarin suara yang nyaring hampir mirip kayak kuntilanak lagi ketawa! Mereka saat itu juga langsung ngibrit kabur karena kaget.” Syifa melanjutkan sesi cerita yang sempat terhenti karena kesalahpahaman.

“Bukan suara ketawa dia kali, tapi suara dari suara mesin kipasnya yang rusak,” sanggah Jaya, berusaha berpikir rasional. Walaupun jika ia berada langsung di tempat kejadian belum tentu akan berpikiran sampai sana.

Syifa menjentikkan jari tepat di sebelah kepala Jaya. “Nah, kan, Syifa udah ngira Kak Jaya bakalan jawab itu. Tapi, faktanya adalah mesin kipasnya nggak rusak sama sekali!”

Perdebatan itu terus berlanjut. Jaya yang berusaha logis, sementara Syifa dengan sikap skeptis. Mulai dari lampu merah sebelumnya, sampai pemberhentian di lampu merah yang baru, perdebatan itu belum selesai juga. Meski sedang berdebat, tak sekali pun Jaya terdengar mengeluarkan nada suara yang meninggi. Laki-laki itu berusaha mengemukakan semua dugaan dengan nada suara lembut.

Sebenarnya Jaya sendiri percaya dan tidak percaya kalau suara yang muncul itu memang dari makhluk halus. Namun, Jaya berusaha cenderung tidak memercayainya sebab ia sengaja perpanjang sesi debat hanya untuk melihat reaksi wajah sang gadis yang terus berubah setiap detiknya ketika sedang berdebat. Reaksi wajahnya persis dengan reaksi yang Jaya lihat saat ujian di hari pertama. Lucu, dan gemas sendiri.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Dalam sejarah hidupnya selama berangkat sekolah, Syifa tak pernah terburu-buru untuk datang lebih awal—kecuali jika terlambat. Ketika langit masih tertutupi oleh awan dan kabut terasa nyata menyentuh kulit, Syifa sudah pergi meninggalkan rumah. Bermodalkan cardigan ungu muda, Syifa dan ojek langganan keluarganya menerjang jalanan yang belum terlalu ramai.

Bapak sang ojek pun sampai berkali-kali memastikan apakah pelanggannya itu benar-benar akan berangkat menuju sekolah sepagi ini? Bukan hanya sang ojek, kedua orang tuanya bahkan sampai mengira ia sedang menggigau. Sebab, biasanya si sulung akan mempersilakan sang adik untuk pergi lebih dulu, tapi yang dilakukan sekarang ini justru sebaliknya.

Alasan utama yang sudah menjadikan Syifa mengikuti isi hatinya, tak lain dan tak bukan karena Jaya. Ia ingin menyaksikan sendiri bagaimana kebiasaan laki-laki itu datang ke kelas. Saat ini, Syifa sedang berusaha menyuapi egonya.

Apakah Jaya sama seperti teman-teman laki-laki di kelasnya yang akan datang ketika bel sekolah hampir dibunyikan? Atau, Jaya tipikal yang senang datang pagi lalu memutarkan musik dan kembali melanjutkan tidur di kelas? Syifa ingin pertanyaan-pertanyaan itu segera terjawab dalam beberapa waktu ke depan.

Kedatangan sang gadis disambut ruang kelas yang masih kosong. Dengan perasaan tak sabar, Syifa cepat-cepat duduk di bangkunya. Tak berselang lama dari kedatangan Syifa, salah satu murid kelas sebelas yang Syifa sendiri tak tahu namanya itu menyusul kedatangannya dan menyapa hangat. Syifa bisa lihat kakak kelas itu kemudian membuka buku, mempelajari beberapa soal untuk ujian nanti.

Rasanya lucu ketika berada di situasi saat ini. Keduanya sama-sama datang lebih awal, namun alasan Syifa untuk datang pagi-pagi buta bertolak belakang dengan alasan kakak kelas itu. Sang kakak kelas datang untuk belajar, sementara Syifa datang untuk menemukan jawaban rasa penasarannya.

Lambat laun, satu per satu murid datang dan mengisi tiap-tiap bangku yang kosong. Syifa melirik jam dan menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Akibat seseorang yang menjadikan alasan utama mengapa ia sudah terduduk rapi di pagi buta belum kunjung datang juga, Syifa memilih untuk menghafal beberapa rumus agar memudahkan ujian nanti.

Merasakan bayangan yang makin mendekat, Syifa segera mendongak. “Gimana kemaren sukses nggak curi pandangnya?” kata seseorang yang baru saja datang dengan wajah berseri-seri, tampak terlihat tengah menggoda. “Seharusnya, kemarin kamu udah bisa mandang leluasa, dong?” lanjut laki-laki itu sembari membuka jaket untuk dilipat dan di simpan ke dalam tas.

Tuhkan. Ternyata apa yang ada di dalam pikirannya kemarin memang benar, Jagat dengan sengaja pulang lebih dulu—mengosongkan bangku agar ia bisa memandang Jaya secara bebas. Seharusnya Syifa senang, namun entah mengapa justru merasa sebal sendiri ketika cuplikan tentang hari kemarin kembali teringat.

“Mau lagi nggak saya bantuin?”

Syifa memutar bola mata malas. “Nggak.”

“Cepet amat jawabnya. Kemarin aja ada kali kamu beberapa kali ngegerutu sendirian gara-gara saya ngalangin kamu lagi curi-curi pandang ke dia,” tunjuk Jagat pada bangku sebelah yang masih kosong.

Syifa menutup buku kasar, tak menghiraukan kalimat dari Jagat. “A Jagat nanti kalau pas ujian udah selesai, jangan keluar duluan, ya, kalau bisa,” pinta Syifa menghadirkan kebingungan pada wajah Jagat.

“Kenapa memang?”

Tanpa raut bersalah, Syifa melanjutkan kalimatnya. “Soalnya, kata Kak Jaya sama A Harri, A Jagat pinter. Jadi, nanti kalau misalnya sewaktu-waktu Syifa kebingungan, dimohon kerjasamanya, ya, A Jagat.” Syifa menyengir, memamerkan deretan gigi bagian atas yang rapi.

Jagat melongo, tak menyangka ucapan itu akan keluar dari mulut sang adik kelas tanpa beban. Setelah mendengar keinginan Syifa, Jagat jadi ingin cepat-cepat melaksanakan ujian dan keluar kelas sesegera mungkin.

“Gat, ke ruangan si Rakha, yuk!” ajak Harri seraya menyimpan tas secara asal. Harri bahkan tak berniat untuk beristirahat sejenak selepas sampai di kelas. “Kali-kali arurang yang nyamperin dia.”

Jagat mengangguk mengiakan. Berhubung ruang mereka terpisah karena nomor urut absensi, sehingga mereka berinisiatif bergantian untuk saling menghampiri.

Harri menatap Syifa. “Nanti kalau Ajay udah sampe dan nyariin, suruh nyusul aja ke ruangan sebelah aja, ya, Cip.”

Mendapat anggukan kepala dari Syifa, Harri kemudian menarik pundak Jagat dan bergegas berjalan keluar ruangan. Harri menyeret Jagat tak sabaran sampai-sampai hampir membuat pinggang laki-laki itu mengenai ujung meja yang lancip.

“Sabar sedikit bisa nggak, Ri,” keluh Jagat di sela-sela langkah.

Bertepatan dengan sepeninggalan kedua laki-laki itu, Syifa kembali melanjutkan menghafal rumus. Sekelebat ide tiba-tiba muncul, namun Syifa sedikit ragu. Sebab, jauh di dalam hatinya tengah berusaha menyangkal. Syifa tidak berniat untuk menyontek, ia hanya ingin menuliskan beberapa rumus pada kertas kecil yang kemudian akan disimpan di dalam tempat pensil.

Ketika baru saja akan meluncurkan aksi tersebut, ia malah dibuat salah fokus oleh kehadiran figur di ambang pintu. Laki-laki itu tengah berbincang dengan salah satu temannya. Jadi, seperti ini penampakan laki-laki itu ketika hendak masuk kelas. Seragam putih abu yang rapi, jaket biru dongker yang sengaja dipakai agar angin tak langsung menyakiti tubuhnya, lalu ransel hitam setia bertengger di punggung. Jangan lupakan wajah yang terlihat segar dengan rambut sedikit basah. Jika diperbolehkan menebak, laki-laki itu pasti tadi tak lupa untuk membasuh rambut sebelum berangkat sekolah.

Alih-alih datang pagi buta dan melanjutkan mimpi di dalam kelas, ternyata laki-laki itu lebih memilih datang siang. Mungkin lebih tepatnya sengaja datang siang sebab ujian dimulai pukul delapan, sementara saat ini waktu masih menunjukkan pukul tujuh lebih dua puluh lima menit.

Saat Jaya sedang berjalan mendekati kursinya, ia dibuat salah fokus oleh kehadiran ransel sengaja dibiarkan tergeletak tanpa sang pemilik. “Jagat sama Harri ke mana?” tanya Jaya sembari menatap Syifa, berharap gadis itu mengetahui jawabannya.

“Tadi bilangnya mau ke ruangan A Rakha. A Harri juga tadi nitip pesen sama Syifa kalau Kak Jaya udah dateng disuruh nyusul ke sana katanya,” terang Syifa sesuai permintaan Harri supaya Jaya menyusul ke ruangan sebelah.

Jaya mengangguk-angguk. Melihat laki-laki itu tampak tak terlihat akan tanda-tanda segera menyusul, Syifa kembali bersuara. “Nggak ke sana, Kak?” tanya Syifa dibalas gelengan oleh Jaya.

Rasanya ingin sekali Syifa mempertanyakan alasan mengapa Jaya tak ikut menyusul, namun usai menyadari pertanyaan terakhir darinya hanya dijawab gelengan, Syifa mengurungkan.

Berbicara perihal laki-laki itu, Syifa dibuat bingung. Pasalnya, tindakan laki-laki itu kemarin sore di ruang obrolan tak selaras dengan tingkah lakunya sekarang ini. Bahkan, laki-laki itu kemarin tak malu mengatakan kalau dia sedang salah tingkah. Anehnya, ketika mereka bertemu hari ini, Syifa sendiri tak bisa menemukan gelagat itu—gelagat sang kakak kelas yang terang-terangan dalam berucap.

Rancangan ide yang tersusun rapi tentang mempersiapkan rumus untuk ujian nanti, sudah tak menarik lagi bagi Syifa. Ia segera menggelengkan kepala cepat guna membuang jauh-jauh pikiran tersebut.

Sebagai gantinya, Syifa makin bersemangat untuk menghafal. Mata yang terpejam, mulut sibuk bergumam—mengucapkan rumus secara berulang, tangan bergerak-gerak mengikuti tiap kata yang diucapkan. Kegiatan itu spontan menarik perhatian laki-laki yang tengah asyik bermain ponsel.

“Rumus itu bukan dihafal, tapi perlu latihan ngerjain soal biar hafal sendiri.”

Ucapan dari Jaya serta-merta menciptakan embusan napas kasar yang keluar dari mulut Syifa. Apa yang sudah diucapkan oleh Jaya tak sepenuhnya salah. Dan ia mengakui itu. Seperti adanya magnet, kepala Syifa otomatis menoleh. Di sana memperlihatkan Jaya tengah menopang dagu di atas jaket, sementara kedua tangan laki-laki itu sibuk bergerak lincah pada layar ponselnya. Tanpa harus bersusah payah melirik pada benda itu pun Syifa sudah tahu kalau Jaya sedang bermain games.

Merasa tengah sedang diperhatikan, Jaya menginterupsi. “Kenapa?” tanya Jaya tanpa menolehkan wajah.

Kakak kelasnya itu memang kelewat peka atau ia sendiri yang berlebihan memperhatikan sampai-sampai membuat Jaya merasa risi ditatap olehnya?

“Jangan ngeliatin Jaya terus, Jaya lagi main games nanti kalah.”

Syifa mengernyit. “Kenapa bisa kalah? Padahal Syifa nggak ngapa-ngapain.” Bahu gadis itu terangkat selaras dengan gerakan kepala menggeleng-geleng kebingungan.

“Kemarin, kan, udah dikasih tau. Jangan sering liatin Jaya diem-diem, nanti Jaya salting.”

Mata Syifa refleks melebar ketika mendengar penuturan itu. “O-oh,” jawab Syifa gelagapan. Matanya kini ia alihkan untuk memandang objek lain, asalkan bukan figur laki-laki itu.

Sial, telinganya baru saja mendengar tawa yang cukup pelan. Apakah kakak kelasnya itu sedang menertawai dirinya yang gelagapan? Ingin sekali rasanya ia menoleh, tapi ketika ucapan tanpa beban itu kembali teringat, Syifa jadi malu sendiri.

“Syifa.”

“Iya, Kak Jaya?” balas Syifa tanpa menolehkan wajah—bersikeras menatap objek yang berada di seberang sang kakak kelas berada.

Tubuh Jaya berubah tegak, entah sejak kapan sang benda pipih sudah menghilang dalam genggaman laki-laki itu. “Jaya ada di sebelah kiri, bukan di sebelah kanan.” Lantas dengan cepat Syifa menuruti untuk menolehkan ke arah yang Jaya mau. Alih-alih menatap balik sang lawan bicara, Syifa malah memejamkan mata.

Jaya mengekeh, kepalanya refleks menggeleng-geleng melihat tingkah dari adik kelasnya. “Nanti jangan lupa, ya.”

Syifa membuka satu mata, sedikit penasaran dengan pemandangan di depannya. “Soal apa, ya, Kak Jaya?” Begitu kalimat itu selesai Syifa tanyakan, matanya kembali terpejam.

Jaya menunjuk kursi sebelah Syifa menggunakan dagu, walaupun sangat disayangkan gerakan itu tak bisa dilihat Syifa. “Jangan lupa nanti tolong bantu diktein jawabannya orang itu.”

Syifa antara percaya dan tidak percaya mendengar jawaban itu, ia kira ucapan perihal dimintai tolong menjadi mata-mata jawaban Jagat sebatas bercandaan saja. Bahkan, tanpa membuka mata pun Syifa sudah tahu siapa yang dimaksud Jaya.

Secara otomatis, kedua mata Syifa terbelalak. “Ih, beneran mau nyontek!”

Melihat Jaya hanya merespons dengan tawa, seketika ingatan momen di mana laki-laki itu mengirimkan sebuah pesan suara yang sedang tertawa kembali teringat. Ucapannya kala itu memang benar, segala yang ada di dalam laki-laki itu memang tampan.

Sedang Jaya yang menyadari perubahan tatapan Syifa pun langsung berdeham guna melepas kecanggungan. Sial, padahal tadi gadis itu masih memperlihatkan bola mata yang terbuka lebar seolah tak percaya dengan ucapannya. Namun, sedetik kemudian tatapan gadis itu berubah, memperlihatkan tatapan penuh binar pada bola mata indahnya.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Konon katanya jika merasa bahwa waktu berlalu begitu cepat, artinya ia terlalu menikmati hari demi hari yang berganti. Padahal kenyataannya, ia sama sekali tak menganggap menikmatinya. Kadang kala pada waktu-waktu tertentu, ia merasa hari begitu lamban berlalu.

Syifa masih ingat saat pertama kali menjadi anak SMA. Hari itu, ia diminta untuk mengumpulkan tanda tangan para penggurus OSIS dan MPK sebagai salah satu dari rangkaian MPLS. Menggunakan seragam SMP, rambut dikuncir pita berwarna ungu, ia beserta beberapa teman satu kelompoknya menari dan menyanyi riang di tengah lapang.

Tak terasa hanya dalam hitungan beberapa minggu lagi, ia resmi akan menjadi seorang kakak kelas. Hidup sebagai anak kelas satu tak terlalu buruk, sebab hari-harinya ia lewati dengan mengagumi seorang kakak kelas. Walau ada sedikit penyesalan karena pertemuan dengan kakak kelas itu terjadi di semester genap. Padahal, jika saja ia bertemu lebih awal, mungkin ia akan mendapatkan lebih banyak kenangan lagi bersamanya.

Momen sederhana yang selalu berhasil membuatnya riang, selalu tak sabar menunggu hari esok. Menantikan apa yang akan terjadi dan bagaimana kedua matanya sibuk mencari presensi sang kakak kelas tanpa diketahui.

Apabila diperbolehkan membuat satu permintaan, ia ingin meminta memperpanjang satu minggu kemarin untuk belajar lebih giat guna menghadapi ujian hari ini serta beberapa hari yang akan datang. Jujur saja, ia belum terlalu siap untuk bertemu dan bertempur dengan soal-soal yang akan tersimpan rapi di meja nanti. Banyak kekhawatiran kalau-kalau nilai ujiannya akan lebih kecil dari hasil nilai ujian tengah semester kemarin.

Namun, hal itu tidak menjadikannya untuk menyerah di hari pertama ujian akhir semester. Apa pun yang akan terjadi, ia harus bisa melewatinya dengan baik. Karena, apa yang ia lakukan hari ini akan berdampak di kemudian hari. Sehingga, ia tidak boleh dengan asal-asalan menjawab soal ujian. Terlintas harapan bahwa siapa pun teman satu bangkunya nanti, setidaknya orang tersebut memiliki kapasitas otak lebih lancar dibandingkan dengan kapasitas otaknya yang terkadang sering macet.

Syifa berhenti tepat di bawah papan bertuliskan kelas XI IPA 2. Kedua matanya bergerak mencari informasi dengan kelas mana ia harus saling berbagi ruangan. Saat sedang memfokuskan penglihatan, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang, sampai akhirnya tindakan itu berhasil membuatnya tersentak.

“Lagi liatin apa, Cip?” Laki-laki yang telah mengejutkan itu otomatis menyipitkan mata, mengikuti gerak-gerik sang adik kelas.

Selepas mengetahui orang tersebut adalah kakak kelasnya yang jahil, Syifa membuang napas sembari menetralisasi detak jantungnya. “Eh, A Harri! Ini Syifa lagi liat kalau kelas Syifa dapetnya sama kelas mana.”

Jawaban dari Syifa tersebut sukses menciptakan kerutan pada dahi Harri. “Emang Syifa nggak tau?” Pertanyaan itu dijawab gelengan oleh Syifa. Kemudian tanpa sadar Harri tersenyum sembari menepuk punggung Syifa pelan secara berulang. “Aa masuk duluan, Cip.”

Syifa mengangguk mengiakan. Tak lama dari kejadian itu, Syifa pun mulai tersadar akan suatu hal yang mengganjal. “Eh sebentar?” Mata Syifa sukses melebar kala menyadari ke arah mana laki-laki itu memasuki ruangan, maka tanpa berlama-lama untuk memutuskan rasa penasaran, Syifa dengan cepat mendekati pintu kelas agar bisa melihat lebih jelas dengan kelas mana kelasnya saling berbagi ruangan.

Mulutnya sukses membulat saat melihat nama kelas yang tak disangka-sangka. Apa yang sudah ia selamatkan ketika di perjalanan menuju sekolah tadi sampai-sampai ia diberi hadiah yang tak ternilai ini?

Ruang delapan kelas X IPA 7 dan kelas XI IPA 4.

Dengan senyuman yang tak bisa ditutupi, Syifa membawa langkahnya untuk cepat-cepat masuk ke dalam ruangan. Angin pagi yang terkadang membuatnya sebal—karena selalu berhasil memanggil perutnya menuju toilet di pagi hari—itu entah mengapa terasa sangat menyejukkan. Ia tak merasakan sakit perut seperti biasanya, malah perutnya tiba-tiba terasa geli.

“Selamat pagi, Arkan!” Sapaan penuh ceria dari Syifa justru mnghadirkan wajah kebingungan dari Arkan. Arkan menaikkan salah satu alis seolah sedang bertanya apakah gadis itu tadi malam tak sengaja sudah mengonsumsi makanan yang salah?

“Bahagia banget kayaknya maneh, Syif,” sahut Bima yang tak sengaja mendengar sambutan selamat pagi dari gadis itu.

Syifa tak menjawab secara lisan, melainkan menjawab dengan senyuman tak kalah lebih ceria dari sebelumnya. Bagaimana tak riang ketika dalam hitungan beberapa menit, terbesit peluang untuk ia bisa duduk bersebelahan dengan kakak kelasnya itu besar kemungkinan akan terjadi.

Gocengan, itu budak pasti bahagia pisan karena ngira bakal satu meja sama si Ajay,” bisik Rakha sembari mengulurkan tangan ke arah Harri. “Nggak usah taruhan, si Cipa emang lagi ngarep-ngarep bakal sebelahan sama si Ajay. Soalnya dia tadi baru tau kalau misalnya kelas si Cipa satu ruangan sama kelas arurang,” balas Harri diakhiri kekehan.

Mata Rakha melebar. “Aslina?”

Harri mengangguk. “Aslina,” balas Harri sembari mengacungkan kedua jari.

“Cip!” panggil Frisilla, melambaikan tangan dari tempat duduknya. Sapaan itu sukses membuat beberapa orang yang berada di dalam ruangan ikut menoleh ke arahnya, termasuk Jaya yang sedari tadi sedang sibuk sendiri—berada persis di belakang meja Frisilla.

Ketika kedua mata mereka saling bertemu, Syifa tak bisa menghindari degup jantungnya yang begitu cepat. Senyuman yang sedari tadi menghiasi wajahnya tiba-tiba hilang saat laki-laki yang sedang terduduk di depan sana memberikan sapaan hangat melalui senyumannya. Syifa mendadak gugup, teramat gugup sampai-sampai hanya bisa mematung di tempat.

Harri menyunggingkan senyuman. “Coba tebak, kira-kira Cipa bakalan satu meja sama Aa, Jagat, atau Ajay?”

Kalimat dari Harri berhasil mengembalikan kesadaran Syifa. Kedua mata Syifa mengedip-ngedip kebingungan. “Ayo cepet, Cip, tebak-tebakan sama Aa,” ucap Harri sembari mengetuk-ngetuk jam di pergelangan tangan kiri.

Syifa berniat ingin memutar badan untuk melihat selembar kertas yang dipasang di samping papan tulis. Kertas tersebut memuat informasi dengan siapa ia akan berbagi meja, namun lanjutan kalimat dari Harri lebih cepat menggagalkan niatnya. “Jangan liat pengumumannya, Cipa tebak aja pake feeling.”

Bukan hanya Harri yang menunggu, melainkan Rakha yang sedang berkunjung ke ruangan itu dan duduk di samping Harri pun ikut menaruh perhatian. Termasuk Frisilla yang tadi sempat menyapa Syifa.

Syifa tak habis pikir, bagaimana bisa Harri berbicara selantang itu di depan orang-orang yang sebagian terasa asing untuknya. Apalagi sebagian besar di ruangan itu sudah terisi oleh kelas sebelas. Untung saja beberapa dari mereka ada yang tak tertarik dengan ucapan itu, sehingga memilih menaruh atensi pada kegiatannya sendiri.

Syifa meramat tangan. Mulutnya diam, tetapi kata hatinya tak henti menyuarakan harapannya. “Semoga sama Kak Jaya, semoga sama Kak Ja—” Ucapan itu menggantung ketika Johar datang dan melewatinya begitu saja. Laki-laki itu tanpa permisi menyimpan tasnya tepat di sebelah Jaya, lalu mendudukan diri di sana. Seketika harapan yang sedari tadi sudah ia lafalkan di dalam hati itu mendadak hilang, meninggalkan setitik kekecewaan.

Ngiring, A,” kata Johar dan dibalas anggukkan Jaya. Sang kakak kelas itu sudah tak lagi menaruh perhatian pada Syifa yang masih berusaha mencari jawaban, melainkan Jaya sudah sibuk kembali dengan ponselnya.

Jaya sedikit kecewa, padahal ada sekelebat rasa ingin melihat gadis itu mengharapkan duduk bersamanya. Sepertinya Jaya terlalu berpikir kejauhan.

Harri berdecak. “Ah anying si eta kalah datang ti heula padahal keur nungguan ieu teh.” Tangan Harri mengepal.

Untuk kali ini Rakha menyetujui ucapan Harri. “Naha, sih, barudak kelas sapuluh teh meuni resep datang isuk-isuk heeh.”

“Ah, dia malah dateng dulu padahal lagi nunggu ini, tuh.”

“Kenapa, sih, anak-anak kelas sepuluh, tuh, pada suka dateng pagi-pagi, ya.”

Jagat menghela napas, punggungnya yang semula menyandar berubah menjadi tegak. “Saya udah ngira kamu bakalan ngasih ekspresi itu, sih.” Kepala Jagat menggeleng-geleng sembari memindahkan tas miliknya, mengosongkan meja sebelah untuk sang adik kelas. “Ekspresi kecewa, soalnya kamu nggak satu meja sama Jaya,” lanjut Jagat dengan nada sedikit mengejek.

Syifa menggeleng cepat. Setelah mendengar ucapan itu, Syifa jadi tidak enak sendiri. “Nggak, kok. Nggak gitu!” balas Syifa seraya menarik kursi dan segera duduk di sebelah Jagat.

Rasanya saat ini Syifa ingin segera menenggelamkan wajah di ember yang sudah dipenuhi air es. Wajahnya memanas ketika teringat tanpa malu ia sudah sangat percaya diri bisa duduk bersebelahan dengan kakak kelas incarannya.

Sebab tak bisa menenggelamkan wajah di ember air es, Syifa akhirnya menenggelamkan wajah di atas lipatan tangan. Untuk sekadar mengangkat wajah, lalu menatap sang tersangka sudah membuatnya begini pun terasa sulit. Bayang-bayang penuh kepercayaan diri perihal teman sebangku itu terus menghantui isi pikirannya.

Jagat, maneh teh sing peka atuh euy. Itu temen aing teh kayaknya udah ngebul pisan kepalana. Mun keur masak cai mah geus disada titatadi mereun,” ceplos Harri sembari cengengesan.

“Jagat, lo, tuh, yang peka dong. Itu temen gue kayaknya udah berasap banget kepalanya. Kalau lagi masak air udah bunyi dari tadi kali.”

Jagat bergantian menatap Syifa dan teman sebangku Jaya. “Mau tukeran nggak duduknya sama temen kamu?” tawar Jagat.

Syifa mengangkat sedikit kepalanya. “Kak Jagat jangan digitu-gituin, please, Syifa takut Kak Jayanya nanti ilfeel….” Niat ingin mencuri pandang secara sekilas, sialnya ia justru berakhir kepergok laki-laki itu dan kini kedua mata mereka kembali bertemu. Mereka saling berpandangan untuk beberapa detik, sebab Syifa langsung memutuskan pandangan. “Maksudnya A Jagat, Syifa nggak jadi manggil Kak Jagat,” ralat Syifa walau ucapannya terdengar tak begitu jelas sebab diucapkan di antara lipatan tangannya.

Jagat spontan mengurai tawa. “Iya-iya nggak.”

Lagi pula Jagat tak sungguhan berkata demikian, mana berani harus melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh sekolah.

Sementara Harri si pencetus ide asal bersuara itu tak henti memamerkan wajah jahil. Tak disangka kejadian itu cukup menghibur dirinya sebelum bel sekolah akan bersuara dan menyita otaknya.

Harri menggeser kursi dengan sengaja agar bisa memutus jarak dengan Syifa. “Ngobrol atuh, Cip, sana mumpung satu kelas. Atau mau Aa yang bawa si Ajaynya ke sini?” tawar Harri, menaik-turunkan alis. Betapa menyebalkannya wajah itu, untung saja Syifa tak melihatnya.

“Nggak mau.”

Mata Harri menyipit, menatap Syifa yang masih asyik menundukkan kepala. “Ah, ini mah Cipa sengaja, ya, biar Aa bawa Ajaynya ke sini.”

“Kalau Aa lakuin itu Syifa bakalan marah.” Untuk kali ini kesabaran Syifa sudah dibatas ambang. Ia hanya berharap Harri akan segera meninggalkannya. Pasalnya, Syifa benar-benar takut apabila laki-laki itu nekat mengabulkan ucapannya sendiri.

“Yaudah, kalau nggak mau Aa bawa Ajaynya ke sini, berarti Cipa harus ajak ngobrol duluan,” goda Harri tanpa kasihan karena diam-diam di bawah lipatan tangannya, Syifa sedang menutupi wajah yang sudah semerah tomat.

“Nggak mau, ih, Aa!”

Rakha yang merasa nada suara gadis itu terdengar sedikit bergetar langsung menarik Harri untuk kembali ke tempatnya. “Geus ai sia, eta budak batur bisi ceurik,” ucap Rakha sembari melayangkan satu jitakan tepat di kepala Harri.

“Udah, itu anak orang takut nangis.”

Harri hanya tertawa. “Heeh emang sengaja aing, biar kayak pas SMP nangis gara-gara aing jailin.”

“Tolol.” Rakha memukul pelan kepala Harri, sebelum akhirnya bangkit untuk kembali ke ruangannya.

Ada satu hal yang Syifa bingungkan, mengapa saat ini tak ada satupun temannya yang datang menghampiri? Padahal ketiga temannya itu sedang duduk di meja yang sama. Seharusnya mereka cukup peka untuk menghampiri dirinya ketika lutut ia tak bisa dibawa berdiri karena terasa begitu lemas.

Aneh, padahal ia sendiri yang meminta untuk bisa duduk bersebelahan dengan laki-laki itu. Tapi, ketika diwujudkan dengan duduk terhalang dua orang, lututnya sudah sangat lemas. Apabila harapan itu benar-benar diwujudkan, mungkin sepanjang waktu ia hanya diam karena sekujur tubuh dibuat kaku.

“Hah? Apa Jay? Mau tukeran duduknya sama si Jagat? Maneh mau duduk semeja sama si Cipa? Emang boleh seterang-terangan itu minta tukeran tempat duduk, Jay?!”

Langkah Rakha berhenti tepat di ambang pintu. Laki-laki itu menghela napas, menggeleng-gelengkan kepala akibat terlalu lelah menyaksikan ulah Harri yang tak pernah absen barang satu hari.

Dengan secepat kilat, semua arah mata tertuju pada Jaya dengan tatapan terkejut dibalut tatapan tak percaya. Terlebih bagi teman kelasnya yang tak disangka-sangka bahwa Jaya sedang menaruh perhatian pada seorang gadis. Sebab, sehari-hari ketika di kelas, laki-laki itu hanya bisa bermain games dan tidak memperlihatkan gelagat sedang dekat dengan seorang gadis.

Demi Tuhan, bahkan Jaya sedari tadi sama sekali tak bersuara. Johar—adik kelas teman satu bangku—jadi saksinya ia asyik membungkam mulut.

Jaya memelotot. “Mana ada aing ngomong kayak gitu, Monyet!” hardik Jaya cukup keras karena teramat kesal dengan ucapan ceplas-ceplosnya Harri. Sedangkan sang tersangka tengah tertawa sembari memukul meja, bagi siapa pun yang tak sengaja mendengar tawa itu akan dibuat penasaran.

Keadaan di ruangan delapan seketika ricuh akibat kalimat yang tak henti menggoda Jaya dengan sang adik kelas.

“Oh ternyata maneh lagi deket sama yang itu Jay.”

Ajig kata aing mah si Jagat parah Jay nikung maneh!

“Oh si Ajay ternyata sama yang ini, daks.”

“Sikaaaat, Jay! Jangan kasih kendor!”

“Ternyata selera maneh adik kelas, ya, Jay.”

Jika saat ini tidak sedang berbagi ruangan dengan kelas sepuluh, mungkin Jaya sudah beranjak dan memukul punggung Harri secara bertubi-tubi. Sial, laki-laki itu selalu bisa menciptakan permasalahan yang bahkan ia sendiri tak ada pikiran untuk menciptakannya sendiri.

Bukan hanya Jaya yang tengah menahan rasa malu, Syifa yang sedari tadi berusaha menghindari tatapan kakak kelasnya itu justru dibuat malu berkali-kali lipat. Satu masalah tentang betapa percaya dirinya tadi pun belum mereda, malah ditambah masalah baru.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Jaya menggeliat tak nyaman di atas kasur. Tak biasanya ia tertidur dengan perasaan gelisah. Sehari-hari ia selalu tidur dengan posisi rapi—tak banyak bergerak, tapi kali ini posisi ia tidur sedikit acak-acakan. Selimut yang tersingkap—memperlihatkan sebagian kakinya, bantal berpindah ke kaki, serta guling yang entah sejak kapan sudah tergeletak di karpet.

Jika kegelisahan itu berasal dari udara di kamarnya yang pengap, seharusnya saat ini tubuh Jaya mengeluarkan bulir-bulir keringat bukan malah laki-laki itu makin mengeratkan selimut pada tubuhnya.

Sebelum tidur, perasaan Jaya sudah dibuat tidak tenang. Seperti ada yang sudah ia lupakan, namun Jaya sendiri tak dapat mengingatnya.

Kedua mata Jaya perlahan terbuka. Selagi laki-laki itu mengedip-ngedipkan mata guna menghilangkan penglihatan yang buram, tangan Jaya bergerak melepas casan pada ponselnya. Matanya spontan menyipit—membiasakan menerima perubahan cahaya dari gelap ke terang. Layar ponselnya memperlihatkan pukul dua malam.

Jaya menggaruk kepala, lalu menyimpan kembali ponsel itu di nakas. Menggaruk-garuk kepala sudah jadi salah satu ritual Jaya dalam terbangun dari tidurnya. Jaya sendiri tak tahu mengapa ia selalu melakukan hal itu secara berulang.

Guna mengembalikan kesadarannya, lantas Jaya duduk untuk beberapa menit sebelum akhirnya laki-laki itu bangkit. Jaya meraih kaos hitamnya di kursi dan memakainya, lalu berjalan menuju pintu—membukanya dengan pelan-pelan. Sadar akan waktu tengah menunjukkan dini hari, Jaya meminimalkan suara-suara dari setiap pergerakannya agar tak membangunkan seisi rumah.

Alasan Jaya mengapa ia lebih memilih keluar dari kamar daripada melanjutkan sesi tidurnya, karena ada hal penting yang harus Jaya lakukan sebelum matahari terbit. Target utamanya saat ini hanyalah dapur, Jaya sampai rela menuruni puluhan tangga dengan keadaan kepalanya yang masih pusing demi mendatangi tempat itu.

Sesampainya di dapur, Jaya membuka tudung saji. Ia mengabsen satu per satu menu makanan sore tadi yang sudah dibuat Mama Sumarni. Tanpa menunggu lama, Jaya berjalan menuju penanak nasi, meraih piring lalu menyendok nasi. Ketika jarinya hampir meraih sendok, laki-laki itu segera mengurungkan niat dan memilih makan menggunakan tangan agar bunyi denting dari sendok dengan piring nanti tak membangunkan keluarganya yang sedang tertidur. Jaya menyalakan keran, memposisikan kedua tangannya di bawah aliran air. Merasa tangannya sudah cukup bersih, Jaya mematikan keran. Air semula yang tak sabaran menetes kini lenyap dalam sekejap.

Jaya meneguk air setelah berhasil menuangkan air ke dalam gelas. Usai sesi membasahi kerongkongannya selesai, selanjutnya satu per satu lauk-pauk Jaya ambil dan ditaruh ke piringnya. Setelah merasa cukup, Jaya berdoa sebelum akhirnya menikmati agenda makan malam itu dengan kesunyian.

Bunyi yang bisa Jaya dengar saat ini hanyalah suara dari mulutnya yang sibuk mengunyah, suara kulkas dengan galon bersahutan. Bahkan, jika tiba-tiba ia bersendawa, mungkin Jaya akan ikut kaget sendiri dengan suara sendawanya.

Jaya berulang melakukan menikmati makan malam itu dengan keadaan mata tertutup. Ternyata rasa kantuk itu masih dapat dirasakan laki-laki itu. Walaupun begitu, mulutnya tak henti dalam mengunyah.

“Lagi ngapain, De?”

Tubuh Jaya menegang, matanya refleks membuka dengan kedua tangan saling mengepal. Mulutnya yang sedari tadi sibuk bergerak kini ikut terdiam. “Bisa nggak Teteh jangan ngagetin kayak gitu,” timpal Jaya sedikit sewot, namun harus tetap mengatur suara agar tak kelepasan mengeluarkan nada suara tinggi.

Ivanka terkikik. Perempuan itu berjalan mendekati adiknya, menarik kursi dan duduk persis di seberang Jaya. Ivanka menatap piring milik sang adik. “Tumben Dede makan malem-malem?” tanya Ivanka tak langsung digubris oleh Jaya, sebab laki-laki itu sibuk kembali menghancurkan lauk-pauk di dalam mulutnya. Ivanka berdecak kesal sembari melipat tangan di atas meja.

“Teteh mau ngapain ke dapur?” tanya Jaya usai menelan satu suapan nasi beserta tempe goreng.

“Teteh ta—”

Ssstttt!” Jaya menyimpan jari telunjuk di depan mulut, kepalanya sibuk celingak-celinguk. “Teteh ngomongnya jangan kenceng-kenceng, nanti papa sama mama takut kebangun.”

Ivanka mengangguk. “Teteh tadi denger suara air keran nyala, makanya langsung turun ke bawah buat liat. Awalnya Teteh ngira bocor, eh, tapi ternyata Teteh nggak sengaja liat Dede lagi makan sendirian di sini,” balas Ivanka dengan nada suara pelan cenderung berbisik-bisik, mengikuti titahan sang adik.

Pandangan Jaya tak sedikit pun berpindah pada kedua bola mata sang kakak walau sejenak. Laki-laki itu seperti tengah menikmati santapan malam. Sekarang ini bahkan ia benar-benar terlihat sedang kelaparan di mata Ivanka.

“Dede tadi makan sore nggak?” tanya Ivanka cukup terkejut melihat adiknya bersemangat makan di waktu malam seperti ini. Biasanya Jaya selalu menolak untuk makan lebih dari jam dua belas malam. Namun, pendirian adiknya itu tak selaras dengan gerak-geriknya sekarang ini.

Jaya mengunyah cepat dan menelan makanan itu tak sabaran. “Jam delapan malem tadi Dede udah makan kwetiau.”

Dahi Ivanka mengerut. “Loh, Teteh kira Dede nggak makan sama sekali makanya keliatan lahap banget makannya sekarang.”

Jaya meraih gelas, meneguk air sampai dirasa sudah tak ada satu pun makanan bersarang di kerongkongannya.

“Dede kebangun soalnya keinget mama udah masak. Dede takut buat mama sedih kalau Dede nggak nyicip masakannya, makanya Dede makan sekarang. Biar pas mama bangun nanti, isi lauk-pauk di tudung saji udah berkurang.” Usai menyelesaikan kalimatnya, Jaya kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.

Ivanka merespons ucapan Jaya dengan senyuman. Ivanka berdiri dari kursi, mengambil gelas sang adik lalu mengisikannya dengan air yang baru.

Walaupun terkadang Jaya terlihat sangat manja, tapi laki-laki itu tak pernah absen untuk menghargai masakan sang mama. Ivanka sangat tahu betapa gengsinya Jaya, namun jika sudah berhadapan dengan sang mama, sifat gengsi itu mendadak hilang. Jaya bahkan tak segan-segan memuji setiap hal yang berhubungan dengan Mama Sumarni.

Ivanka masih ingat, Mama Sumarni pernah membeli baju dan tampak tidak percaya diri ketika memakainya lantaran tak sengaja mendengar ada seseorang mengatakan bahwa baju yang sedang Mama Sumarni saat itu terlihat norak. Jaya yang menyadari raut wajah Mama Sumarni yang berubah dratis tak henti mengatakan apabila baju yang tengah dipakai Mama Sumarni sangat bagus.

Ivanka pun dulu pernah merasakan apa yang namanya salah memotong rambut, saat itu salon memotong poni Ivanka terlalu pendek dan membuat kepercayaan dirinya hilang. Alih-alih meledeknya, saat itu Jaya justru memuji potongan poninya terlihat lucu. Akan tetapi, merasakan Ivanka yang tetap tak percaya diri, akhirnya Jaya memutuskan untuk memberi Ivanka sebuah topi serta jaket untuk dipakai sehari-hari—memiliki keuntungan untuk menutupi potongan poninya.

Ivanka menujuk dengan dagu. “Sayurnya jangan lupa dimakan, tuh, De, jangan dipilih-pilih kasian.”

“Udah Dede makan sedikit tadi. Mama pernah bilang ngga apa-apa kalau makan sayur sedikit juga, yang penting Dede makan sayurnya walau sisa.”

Melihat Ivanka yang tiba-tiba berdiri, lantas Jaya mendongak dengan tatapan bingung. “Teteh mau ke mana?”

Ivanka melirik keberadaan piring di dalam lemari. “Ambil piring. Liat Dede makannya semangat, Teteh jadi ikutan laper.”

Dan benar saja, beberapa menit setelahnya Ivanka ikut bergabung makan dengan sang adik. Mereka berdua menikmati masakan Mama Sumarni dengan sangat lahap. Niat Ivanka turun sebatas ingin memastikan kondiri keran di dapur, malah berakhir menghabiskan sisa masakan sang mama.

“Dede udah ada mikirin belum nanti kuliah mau ambil jurusan apa sama mau di kampus mana?”

Jaya menggeleng. “Belum.”

“Pikirin baik-baik, ya, mulai sekarang lebih rajin lagi belajarnya. Jangan sampe nanti Dede salah pilih jurusan terus nyesel di tengah-tengah.”

Jaya merespons kalimat itu dengan anggukkan kepala.

“Dede nggak tau kalau selama ini Mama punya sihir,” kata Jaya tiba-tiba memunculkan kerutan di dahi Ivanka.

“Hah? Maksudnya?”

Jaya menatap kondisi piringnya dengan senyuman cerah. “Semua yang dimasak Mama rasanya selalu enak. Mama berguru di mana, ya, sampe bisa nyulap semua masakan rasanya enak-enak banget.”

Ivanka yang berniat menyuap pun, tangannya mendadak berhenti tepat di depan mulut. Ivanka menurunkan tangan, tersenyum kecil seraya mengusak rambut Jaya menggunakan tangan lain yang bersih.

“Kalau emang enak dan Dede sayang Mama, coba sayurnya itu abisin.” Ivanka tersenyum miring.

Dalam pikiran Ivanka, adiknya akan menolak dan mengerucutkan bibir kesal lantaran dipaksa memakan sayur. Terkejutnya, Ivanka bahkan tak berekspetasi apabila Jaya akan benar-benar menyantap sayuran itu tanpa protes sedikit pun.

Melihat kelapangan dada sang adik dalam menyantap makanan yang tak disukainya itu, Ivanka tahu bahwa sebesar apa rasa sayang sang adik kepada sang mama.

Di belakang sana tanpa di sadari kakak beradik itu, ada sang peran utama yang sedang mereka perbincangkan. Wanita itu berdiri lengkap dengan tatapan penuh haru melihat anak-anaknya menikmati masakannya. Air mata yang tak diharapkan muncul pun diam-diam menetes. Mama Sumarni sangat beruntung memiliki dua buah hatinya yang tak pernah sekali pun membuatnya sedih.

Jika ia adalah kupu-kupu, maka sayap kanan dan kirinya adalah kedua buah hatinya sendiri. Jika salah satu sayapnya hilang, ia tak akan pernah bisa untuk terbang.

Jika salah satu dari mereka hilang, maka jiwa Mama Sumarni pun akan ikut hilang pula.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0


Adegan yang terdapat di dalam narasi ini bukanlah tindakan yang baik. Maka dari itu, dimohon untuk tidak ditiru dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Terima kasih.


tw // violence


Jaya benci dirinya sendiri ketika ia tak bisa melawan segala keegoisan yang tanpa permisi mendatanginya kala itu. Ia kalah telak dalam mengontrol amarah yang mengakibatkan penyesalan tertinggal dalam dirinya. Bagaimana bisa ia menyakiti temannya yang sudah banyak membantu ia selama ini?

Terkadang manusia memang ladangnya berbuat salah. Namun Jaya tak menyangka apabila kesalahan dan kebodohan tersebut akan secepat itu ia lakukan.

Lalu, bagaimana caranya untuk melupakan kebodohan itu? Rasanya, dengan meminta maaf sampai berlutut pun penyesalan tersebut akan selalu bisa ia rasakan di setiap langkah yang ia bawa.

Ternyata benar, di umur-umur sekarang ini ia akan merasakan berbagai emosional yang sulit dikontrol. Seseorang akan kehilangan jati diri karena keegoisannya sendiri.

Setelah bergelut dengan semua masalah yang sudah terjadi, hanya sekadar menyesali perbuataan tidak menjadikan semua masalah akan selesai sendirinya. Permasalahan ini tidak akan terjadi jika bukan karena Jaya yang menciptakan. Dan Jaya telah menerima konsekuensi mendapatkan kekecewaan dari orang-orang sekitarnya. Hingga satu-satunya cara saat ini yang bisa Jaya lakukan hanyalah merenungkan kesalahan dan meminta maaf pada orang-orang yang telah ia kecewakan.

Bersama perasaan gelisah, kemungkinan-kemungkinan tentang Yolan yang tak akan mau memaafkannya menjadi peneman Jaya sepanjang jalan. Jaya tak memedulikan banyaknya kalimat sudah diucapkan Aksara di belakang sana. Pikirannya sedang kalang kabut. Mau disesali dengan gaya apa pun tak akan bisa merubah yang sudah terjadi.

“Jay, ai maneh! Udahlah sini biar aing aja yang ngetir,” kata Aksara sembari menepuk pundak Jaya berulangkali guna menyadarkan laki-laki itu. Lantaran beberapa detik lalu Jaya hampir saja menabrak motor yang akan berbelok, padahal jelas-jelas motor itu sudah menyalakan lampu sein dari jauh. Jika Jaya telat menekan rem, mungkin mereka berdua saat ini sudah tertidur di atas aspal.

Sorry, sorry.”

Usai berada di situasi cukup mencekam, Aksara memilih untuk menghentikan kegiatan bermain ponsel dan menaruh perhatian pada Jaya yang tengah berkendara.

Selama roda dua itu berputar, mulut Aksara tak henti menggumamkan kalimat meminta pertolongan agar mereka berdua diselamatkan selama perjalanan. Bukan karena kondisi jalanan sepi, melainkan karena cara Jaya membawa motor yang sedikit oleng lagi-lagi berhasil membuat Aksara mengepalkan tangan ketakutan.

“Harusnya tadi aing misah motor aja sama si Ajay,” ucap Aksara dengan nada suara pelan.

Awalnya Aksara kira mereka akan pergi ke rumah Yolan menggunakan motor masing-masing, lantaran setelah sesampainya di kosan, Jaya tak langsung membawa masuk motornya. Baru saja Aksara mengeluarkan motornya, tiba-tiba Jaya masuk dan memarkirkan motor laki-laki itu di tempat bekas motornya terparkir.

Setelah mencoba mengorek informasi karena rasa penasarannya yang cukup besar, Aksara pun akhirnya tahu maksud utama mengapa Jaya bersikeras ingin menggunakan motor Aksara untuk pergi ke rumah Yolan. Ternyata, Jaya membutuhkan ruang tempat penyimpanan barang karena ada yang perlu dibeli dulu sebelum menuju rumah Yolan.

Sebelumnya Aksara tak pernah terpikirkan hal bodoh untuk pergi mengelilingi kota Bandung demi mencari barang yang diinginkan Jaya. Beberapa toko telah mereka telusuri, sayangnya beberapa di antara toko itu sudah tutup. Bagaimana tidak tutup, pasalnya mereka pergi mencari barang tersebut pukul setengah dua belas malam. Lagi pula, tak semua toko buka dua puluh empat jam.

Dari kejauhan Aksara bisa lihat tiga motor sudah terparkir lebih dulu di halaman rumah Yolan. Aksara manggut-manggut, ternyata mereka bertiga benar-benar mendengarkan ucapannya agar datang lebih lambat dari kedatangan ia bersama Jaya. Kendati mereka melupakan janji darinya untuk menunggu di warung belokan sebelum menuju rumah Yolan.

Sementara Jaya yang sangat hafal betul dengan tiga kendaraan itu, mengernyitkan dahi kebingungan. Mengapa bisa mereka bertiga datang secara bersamaan? Terlihat dari bagaimana motor itu terparkir pun Jaya tahu apabila ketiganya belum lama datang.

Jaya mematikan mesin motor. Usai tak ada lagi kebisingan yang bisa ia dengar, sayup-sayup dari arah barat Jaya mendengar seseorang sedang berbicara. Walaupun tak terdengar begitu jelas, tapi Jaya pastikan nada suara itu terdengar sedikit lirih dan penuh penyesalan.

“Yolan, maafin aing, ya, gara-gara rencana aing maneh jadi ditonjok si Ajay.” Kepala Harri menunduk dengan kedua tangan menyatu di dada.

Aksara yang baru saja sampai langsung berlari terbirit-birit menghampiri kediga temannya yang serempak tengah berlutut di depan Yolan untuk meminta maaf. Sebenarnya Aksara sama sekali tak mengetahui rencana mereka ini, ia hanya ikut-ikutan sengaja meninggalkan laki-laki di belakang sana agar Jaya datang seorang diri.

“Kalau aja dari awal aing nggak pernah ngasih ide buat jalanin rencana ini kayaknya maneh nggak bakalan pernah dapet tonjokan itu,” lanjut Harri masih pada posisinya.

Melihat Yolan hanya diam, lantas Jagat ikut bersuara. “Saya juga minta maaf, ya, Yolan. Saya udah ikutan setuju jalanin rencana ini dan melibatkan kamu di dalamnya.”

Rakha mengangguk menyetujui ucapan Jagat. “Aing juga minta maaf, ya, Lan. Seharusnya maneh nggak ngerasain ini semua sendirian.”

“Maaf, ya, Lan. Tadi siang aing nggak dateng lebih cepet dan cegah si Ajay buat nonjok maneh. Coba kalau siang tadi aing dateng lebih cepet, kayaknya maneh nggak akan kena imbasnya dari rencana arurang ini.”

Yolan sama sekali tak berniat untuk tak menghiraukan permintaan maaf dari mereka, melainkan ia masih sedikit terkejut dengan kedatangan ketiga temannya secara tiba-tiba. Sebab ia hanya tahu yang akan datang dan meminta maaf secara langsung hanyalah Jaya. Tapi, ia justru menemukan ketiga temannya yang sudah memarkirkan motornya di halaman rumah Yolan.

Ketika Yolan hendak mengeluarkan suara, sekonyong-konyong seseorang dari seberangnya lebih dulu menggagalkan Yolan dalam merespons kalimat permintaan maaf ketiga temannya.

“Lan,” panggil Jaya dengan langkah gontai mendekati Yolan.

Euy—”

Seketika Yolan memelotot selepas dapati Jaya dengan tiba-tiba ikut berlutut di hadapannya, menumpu tubuhnya di atas rumput—satu langkah lebih maju dari Aksara, Harri, Jagat, dan Rakha berlutut. Bukan hanya Yolan yang terkejut, keempat temannya di belakang Jaya pun ikut terkejut sampai-sampai mata mereka melebar dengan mulut menganga. Tak pernah terpikirkan dalam benak mereka apabila Jaya rela menurunkan ego meminta maaf sampai berlutut.

Apalagi Harri yang melihat pemandangan itu, karena selama berteman dengan Jaya, Harri tak pernah melihat Jaya meminta maaf kepada seseorang sampai berlutut-lutut.

Aing udah tau semuanya dari Hag. Soal kedekatan maneh sama Syifa juga aing udah tau, ini semua cuman semata-mata rencana dari yang si Hag buat.” Jaya menunduk, memejamkan mata. “Sorry aing udah main nonjok maneh tanpa bilang apa pun. Aing akuin aing bodoh banget tadi siang. Sorry, Lan. Aing bener-bener nyesel. Kalau maneh mau bales mukul aing sekarang pun aing rela, Lan. Mungkin pukulan dari maneh nggak bisa ngilangin kekecewaan maneh buat aing, tapi seenggaknya aing juga pantes dapetin tonjokan itu dari maneh.”

Yolan menghela napas sembari diam-diam melirik Harri dengan tatapan seolah-olah Yolan mengatakan mengapa Harri tak mengikuti arahan darinya sesuai yang telah ia ucapkan di grup.

Aing ngga membenarkan tingkah laku aing yang tiba-tiba berani main tangan sama maneh. Aing di situ bener-bener kalang kabut liat maneh interaksi sama dua cewek di hari yang sama, dan perlakuan yang sama juga. Arurang dari dulu sering saling wanti-wanti buat nggak mainin perasaan cewek, makanya aing langsung bertindak kayak gitu tanpa cari tau dua cewek itu bener yang lagi maneh deketin atau bukan. Terlebih aing liat salah satu cewek yang aing suka ada di situ juga. Aing marah karena aing pikir cewek itu dijadiin mainan sama maneh.”

“Bintang?” tanya Yolan.

Jaya cepat-cepat mendongak dan menggeleng. “Syifa!”

Sial, Yolan tak dapat menahan gelak tawanya. Awalnya Yolan hanya berniat mempermainkan laki-laki yang masih berlutut itu, sengaja ingin melihat reaksi apa yang akan Jaya berikan. Yolan merasa lega sekaligus senang usai menyadari apabila Jaya benar-benar sudah tak menyangkal lagi soal perasaannya.

Dengan posisi masih berdiri Yolan berjalan mendekati Jaya. “Jay, si aku sama sekali nggak kecewa ataupun marah sama si kamu. Sumpah, si aku nggak sama sekali marah atau kecewa. Justru si aku seneng dengan adanya kejadian ini, si kamu bisa sadar sama perasaan si kamu sendiri.” Yolan menepuk pundak Jaya dengan tubuh sedikit membungkuk. “Si aku juga minta maaf, ya, Jay. Si aku udah ikut rencana itu dan udah ngelus kepala si dia siang tadi sampe buat si kamu salah paham liatnya. Si aku juga kalau ada di posisi si kamu bakalan ngelakuin hal yang sama, kok, ngeliat cewek yang si kami suka digituin sama cowok lain.”

Sorry, Lan,” ucap Jaya. Laki-laki itu masih dihantui oleh perasaan penyesalan, kendati Yolan sendiri sudah memaafkan kesalahan darinya.

“Udah, udah, si kami semua sama-sama salah. Jadi, si kami semua saling memafkan aja, ya.” Jaya menarik bahu Jaya untuk berdiri. “Si kalian juga berdiri jangan berlutut terus, untung di rumah lagi sepi jadi mamah sama papah si aku nggak akan mikir macem-macem.”

Dengan mulut sibuk mengunyah sesuatu, mereka berempat berdiri secara bersamaan.

Jaya memajukan wajah sembari memejamkan mata. “Ayo tonjok aing kayak tadi siang aing tonjok maneh, Lan. Bales tonjok aing sebanyak aing udah tonjok maneh,” kata Jaya dengan paksa.

Yolan menggeleng cepat, tak menyetujui dengan permintaan Jaya. “Nggak! Sampe kapan pun si aku nggak mau bales tonjokan si kamu!”

“Tapi aing nggak bisa nganggep semuanya baik-baik aja kalau misalnya maneh belum bales pukulan aing, Lan.” Jaya bisa lihat wajah kebingungan dari Yolan, tangan laki-laki itu sampai ikut mengepal di sisi kakinya. “Nggak apa-apa, ini aing yang minta. Aing nggak bakalan dendam atau bales maneh lagi. Aing cuman minta hak aing atas kejadian tadi siang di sekolah, nggak lebih.” Mata Jaya kembali memejam, sudah siap mendapatkan pukulan yang mendarat di pipinya.

Alih-alih pukulan itu ia rasakan, Jaya malah merasa ada orang yang ikut berdiri di kedua sisinya. Jaya membuka mata, lalu bergantian menoleh ke kiri dan kanan.

Harri terburu-buru membuang permen karet dari mulutnya ke sembarang arah. “Arurang juga pantes dapet tonjokan dari maneh, Lan.” Aksara, Jagat, dan Rakha mengangguk serempak. “Arurang pantes dapetin satu tonjokan dari maneh, dan satu tonjokan dari Ajay. Terlebih buat aing sendiri, aing pantes dapetin itu karena aing yang udah ngasih ide ini semua.”

Jaya menarik kembali kepalanya.

Yolan tiba-tiba merasa pening, ia cepat-cepat memijat pelipis. “Please, ini kenapa malah berakhir jadi ajang tonjok-menonjok, sih?”

“Karena arurang pernah janji kalau ada satu orang yang lagi sedih, semuanya harus ikut ngerasa sedih. Kalau ada satu orang yang kena tonjok, semuanya juga harus ikutan ngerasain. Arurang ada bukan soal seneng-senengnya aja, tapi soal susah, sedih, kecewa, marah, kita laluin bersama.”

Kalimat dari Harri itu mampu menyayat perasaan Jaya, ia tak menyangka perlakuannya tadi siang akan jadi melebar sampai sebesar ini.

Jaya merapikan rambut, memajukan kepala dan menutup mata. “Ayo tonjok aing sekeras tadi aing nonjok maneh di sekolah. Jangan dikurangin.” Yolan meremas kesepuluh jarinya cemas, sibuk memikir apakah ia perlu melakukannya atau tidak. “Kalau maneh emang niat maafin aing, pasti maneh bakalan lakuin it—”

Belum sempat Jaya menyelesaikan kalimatnya, Yolan sudah lebih dulu melayangkan pukulan sesuai permintaan laki-laki itu. “Maaf! Maaf kalau terlalu keras! Ini kurang lebih tenaga yang si kamu pukul buat si aku!” Yolan menarik napas, lalu berancang-ancang untuk memukul yang kedua kalinya. “Ini pukulan kedua, lebih pelan dari pukulan kesatu. Tapi lumayan buat pipi dalem si aku berdarah.”

Aksara, Harri, Jagat, dan Rakha sontak memejamkan mata usai mendengar suara cukup keras menghantam pipi Jaya. Mereka diam-diam berdoa agar kondisi pipinya nanti tak akan seburuk kondisi Yolan yang mengeluarkan darah dari dalam mulutnya. Tak ada satu pun dari mereka yang membuka mata dan melihat kejadian itu secara langsung, mereka tengah mempersiapkan diri menjadi kandidat selanjutnya.

Yolan menepuk punggung Jaya mengabsen wajah laki-laki itu dengan teliti. “Sakit nggak, Jay? Ada yang luka nggak?” tanya Yolan khawatir karena sedari tadi laki-laki itu hanya diam dengan mata menutup.

Jaya menggeleng. “Nggak, aing cuman kaget.”

Yolan menarik tangan dari punggung Jaya, lalu berganti menjadi posisi bersedekap. “Nah, itu yang si aku rasain tadi siang. Tiba-tiba ditonjok tanpa aba-aba!” timpal Yolan disertai nada suara yang terdengar menahan kesal.

Sorry….”

Aksara membuka mata. “Kalau gitu tinggal arurang yang maraneh tonjok, cepet takut orang tua si Yolan bangun nanti arurang dimarahin.” Aksara mengucapkan kalimat itu sedikit berbelit lantaran tercipta ketakutan di dalamnya.

“Nggak ada. Orang tua si aku lagi nggak di rumah, mereka lagi nginep di kosannya A Gingin di Bogor. Kalau Teh Devi lagi nginep di rumah temennya,” balas Yolan.

Jaya kira permintaan keempat temannya untuk dilayangkan pukulan hanya sebatas ucapan tanpa berniat merealisasikan, tetapi ternyata mereka benar-benar melakukannya. Keempat orang itu sudah berbaris, menutup mata dengan saling berpegangan tangan satu sama lain. Sejujurnya Jaya tak mau melakukannya, tapi usai mendengar betapa berisiknya keempat orang itu meminta untuk melakukan hal yang sama kepada mereka, mau tak mau Jaya dan Yolan pun mewujudkannya.

“Lakuin sesuai sama kerasnya pukulan Jaya tadi siang.”

Setelah berdiskusi siapa yang akan melakukannya lebih dulu, Yolan menyarankan kalau pukulan pertama perlu dilakukan oleh Jaya. Karena Jaya korban sekaligus target utama dalam rencana mereka.

“Badan maraneh ngadep kanan, aing mukul si Yolan cuman di satu pipi doang.” Tanpa mengulangi titahan itu, mereka serempak mengikuti arahan dari Jaya.

Satu per satu pukulan mulai dilayangkan Jaya, kerasnya sama seperti yang Jaya layangkan pada Yolan, namun kali ini Jaya sengaja memberikan satu tingkatan lebih keras dari pukulannya untuk Yolan.

Anjing, sakit banget!” Salah satu dari mereka mengaduh kesakitan, bahkan tangan laki-laki itu sudah melepaskan genggaman demi mengelus pipinya sendiri.

Jaya cengengesan. Semoga pukulan itu buat maraneh jera kalau misalnya nggak semua urusan bisa maraneh ikutcampuri semudah itu tanpa persetujuan dari aing.

Jaya melangkah mundur, memberikan ruang untuk Yolan melakukan tugasnya. “Berdiri yang bener, berdiri tegak biar si kalian nggak oleng nanti.”

Yolan menelan ludah. “Maafin si aku, ya!” Suara benturan dari jari-jemari dengan pipi kembali terdengar, kerasnya hampir seimbang dengan kerasnya pukulan dari Jaya. Sebelum Yolan berdiri di depan mereka, Jaya sempat mengucapkan bahwa laki-laki itu sengaja memberikan pukulan sedikit keras untuk efek jera bagi mereka. Dan, diam-diam Yolan mengikuti alur permainan yang Jaya buat tanpa keempat orang itu ketahui.

“Udah, ya, si aku harap pukulan kali ini pertama dan terakhir si kami rasain. Nggak ada pukulan lagi setelah ini.”

Ucapan Yolan dibalas anggukkan oleh mereka, sebab keempat orang itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sibuk mengelus pipi, sibuk membuang ludah demi memastikan bahwa tak ada pendarahan, ada yang sibuk memijat kepala karena tiba-tiba terasa pusing, dan bahkan ada yang sibuk memejamkan mata sembari mengepalkan tangan.

Yolan menoleh, menatap laki-laki di sampingnya. “Si kami sekarang udah baik-baik aja, kan? Nggak musuhan dan saling diem-dieman lagi?”

“Iya. Sorry kalau kemarin-kemarin aing udah childish, ya, Lan.”

Harri berjalan menghampiri keduanya. “Sok atuh sekarang mah pelukan dulu biar meyakinkan arurang kalau maraneh berdua udah baik-baik aja.” Harri mendorong punggung Jaya dan Yolan, membuat kedua orang itu refleks saling memeluk satu sama lain.

Yolan menepuk-nepuk punggung Jaya. “Semoga setelah ini nggak ada kecanggungan lagi di antara si kami, ya, Mang Ajay!” Jaya mengangguk dalam pelukan Yolan dan membalas perlakuan yang sama seperti yang diberikan Yolan—menepuk-nepuk punggung secara konstan.

Di tengah-tengah pemandangan penuh haru itu, mendadak bulu kuduk Jagat tiba-tiba berdiri selepas telinganya tak sengaja mendengar tangisan seseorang sangat pelan. Buru-buru Jagat mengusap belakang lehernya. Ia tak tahu apabila rumah Yolan ternyata cukup angker apabila malam hari.

Harri menegok usai menyadari ada yang tidak beres dengan salah satu temannya. “Anying, maneh kenapa nangis, Sa? Sebegitu terharunya, ya, maneh liat si Ajay sama si Yolan baikan lagi?”

Sontak kalimat itu berhasil membuat pelukan Jaya dan Yolan terlepas, serta membuat Jagat dan Rakha yang sibuk menyaksikan Jaya dan Yolan tadi ikut menoleh pada Aksara.

Aksara menggeleng. “Kaki aing diinjek si Jagat. Sakit banget, bagong! Kuku aing teh lagi kekeongeun gara-gara salah potong kuku!” Aksara spontan mendorong tubuh Jagat agar menjauh darinya.

“E-eh, maaf, Sa, saya nggak tau. Pantes aja, kok, dari tadi saya ngerasa nginjek yang lembek-lembek, mana tadi saya udah merinding kirain ada hantu soalnya denger ada yang nangis!” Jagat menyatukan tangan. “Anyway, kekeongeun, tuh, apa?” Jagat menoleh pada Rakha.

“Cantengan,” sahut Rakha.

Mata Jagat melebar. “Maaf, ya, Sa, saya bener-bener nggak tahu kalau kamu lagi cantengan!”

Sebetulnya dalam kalimat itu tidak ada yang aneh, namun Aksara merasa kalimat itu seakan diucapkan penuh sindiran untuknya. Kendati Aksara tahu mana mungkin Jagat akan melakukan itu.

Saat mengedarkan pandangan menuju arah Aksara, Jaya tak sengaja melihat satu barang yang berhasil menyita perhatiannya secepat kilat di seberang sana. “Lan, aing bawa sesuatu buat maneh.”

“Bawa apaan?” Alis Yolan menyatu.

Aing bawa satu dus mi soto buat maneh, maneh suka mi soto, kan?” tanya Jaya memastikan.

“Sumpah?!” Mulut Yolan membulat tak percaya. “Sumpah si kamu bawa satu dus mi? Buat si aku?”

Heeh, mi-nya ada di motor. Sekali lagi sorry, ya Lan.”

“Si kamu tau si aku suka mi soto?”

Jaya mengangguk. “Tau. Aing suka liat maneh kalau makan mi di sekolah pasti rasa soto.” Yolan tak dapat menyembunyikan raut wajah terharunya begitu mendengar temannya itu ingat dengan rasa dari mi yang biasa ia makan di sekolah. Bahkan, Yolan tak pernah ada pikiran akan mendapatkan mi sebanyak satu dus sebagai permintaan maaf dari seseorang untuknya.

“Najis, kalau maneh berani liatin muka kayak gitu lagi, aing nggak segan-segan nonjok maneh lebih kenceng dari sebelumnya.”

Yolan mengurai tawa. “Yaudah kalau gitu kita makan mi dulu barengan, yuk! Si aku masak 5 bungkus mi pake telur sayur disatu panci. Si kalian sekalian tidur di sini aja, nanti subuh-subuh pulang. Soalnya khawatir kalau pulang jam segini udah larut banget.”

Yolan menggerakkan dagu, memberi isyarat agar mereka segera masuk ke dalam rumahnya. Harri yang paham akan isyarat itu menarik pundak temannya untuk berjalan menuju tempat diminta Yolan. “Aing, Jagat, sama Rakha nginep di sini aja kalau gitu nemenin maneh.”

“Emang tadinya si kalian mau nginep di mana?”

“Di Aksa.”

Yolan manggut-manggut. “BTW, si kalian nggak ada yang jijik-an, kan? Soalnya nanti si aku masaknya di satu panci biar cepet.”

“Si Rakha, tah,” balas Harri.

Rakha yang tak terima namanya disebut langsung menoyor Harri cukup keras. “Eh, anying, aing nggak geleuhan. Tapi nanti kalau bisa maraneh jangan putus mi-nya, ya, Anjing, awas aja. Minimal suruput sampe abis, nggak sopan kalau diputus.”

Dahi Aksara mengerut. “Terus kalau misalnya mi-nya ternyata nyatu sampe mi terakhir gimana?” tanya Aksara dengan langkah hati-hati, sebab salah satu jempolnya berdenyut akibat diinjak Jagat tanpa belas kasihan.

Moal ai sia, da, eta teh mi-na sabaraha bungkus mereun lain sabungkus hungkul. Moal mungkin mi-na nyambung neupi akhir mah, tolol.” Harri tak dapat menahan kekesalannya sampai-sampai kaki ia ikut bergerak untuk menendang pantat Aksara. Sedang Aksara tak henti memaki tindakan Harri, karena selain kakinya yang menjadi korban Jagat, kini pantatnya menjadi korban keganasan Harri.

“Nggak akan, itu mi-nya beberapa bungkus, kali, bukan sebungkus doang. Nggak akan mungkin mi-nya nyambung sampai akhir.”

Jaya dan Yolan terkekeh-kekeh melihat adegan konyol dari teman-temannya sibuk mendebatkan soal mi. “Maneh nggak kenapa-kenapa, kan, Lan?”

Yolan merangkul Jaya, menepuk pundak laki-laki itu sebanyak dua kali sebagai jawaban dari pertanyaan telah Jaya lontarkan. “Si kamu liat aja si aku sekarang, sehat-sehat aja, kan? Di muka si aku juga nggak ada yang lebam, tuh.”

Jaya melirik wajah Yolan, memastikan sendiri bahwa di sana tak ada warna yang tak ingin Jaya lihat. “Tapi ada yang sakit nggak di wajah maneh?”

“Nggak ada, Mang Ajay. Si aku beneran nggak kenapa-kenapa.”

Jaya mengembuskan napas cukup kasar. “Lan, sorry, ya.”

“Udah, ih, maaf mulu. Lama-kelamaanaing juga bosen sendiri dengernya, Jay.”

Jaya mengurai tawa. Ia sama sekali tak keberatan dengan pukulan yang baru saja dilayangkan Yolan pada punggungnya. Pukulan itu tak sebanding dengan pukulan darinya tadi siang, pukulan penuh arti akibat kekesalan yang mendatanginya. Sementara pukulan dari Yolan tadi hanya menandakan pukulan kekesalan biasa tanpa adanya arti apa pun.

Pukul setengah satu malam itu mereka habiskan untuk saling mengobrol—menjelaskan bagaimana awal terciptanya rencana Harri sampai Aksara yang sengaja membuat kebohongan untuk membuat Jaya makin jera akan perlakuannya. Dinginnya malam ditemani oleh satu panci berisikan mi kuah. Lima bungkus untuk mereka hanya terasa sebagai pengganjal perut, sehingga Rakha kembali menambahkan lima bungkus mi baru. Biasanya makan dua bungkus saja sudah buat perut kenyang, hebatnya apabila dimakan secara bersama-sama sepuluh bungkus pun tak ada artinya untuk mereka. Entah karena kelaparan, atau mereka diam-diam sengaja sedang menambah waktu agar bisa menghabiskan waktu bersama sampai terasa sudah puas berbagi tawa.

Lucunya, mereka semua sama-sama merintih saat satu suapan masuk ke dalam mulut. Mereka kompak merasa ngilu akibat pukulan yang mereka terima.

Jika bukan karena Teh Ivanka yang sudah memberikan nasihat untuknya, mungkin Jaya akan lebih memilih menundanya dalam meminta maaf. Jaya akan memilih untuk mencari cara bagaimana menurunkan egonya yang tinggi, dan apabila hal itu terjadi, Jaya tak tahu kapan pastinya ia akan mengakui kesalahannya. Ia tak bisa membayangkan jika hubungan pertemannya retak oleh kesalahpahaman yang dibuat olehnya, mungkin ia tak bisa memaafkan dirinya sampai kapan pun.


Puspas Niskala Universe

by NAAMER1CAN0